Anda di halaman 1dari 14

[galeri karya] CATATAN HARIAN MAYA --- Novelet: Dimas Arika Mihardja

Dikemas 19/10/2002 oleh Editor

1
Ia Dipanggil Maya Pramuria
M
ASUK Diskotek Antique, aku disambut aroma alkohol, asap rokok, dan hentakan irama musik. Meski
batinku terusik, aku memutuskan untuk memasuki sebuah dunia yang menarik untuk dijadikan
feature dalam edisi sebuah penerbitan surat kabar--tempat aku mencurahkan bakat menulis. Dan
atas restu Pimpinan Redaksi, secara khusus aku ditugasi untuk menyibak dunia maya secara
lengkap, dari keremang-remangan pojok diskotek hingga berbagai persoalan bisnis ilegal yang biasa
marak di sebuah diskotek.
Beberapa saat setelah aku duduk di pojok sebuah cafetaria, seorang wanita berambut panjang
mendekatiku. Wajah wanita setengah baya itu sederhana tetapi manis. Penampilannya terkesan
kalem dan tenang. Dari pancaran matanya yang agak redup, aku melihat ada bongkahan beban
yang tak tertanggungkan oleh perem-puan itu. Aku memang bukan seorang psikolog. Namun, dari
sekian pengalaman bergaul dengan banyak orang dan karena ditunjang oleh pekerjaanku sebagai
penulis aku memang memiliki bakat untuk cepat memahami karakter orang yang baru kukenal
sekalipun. Wanita itu memperkenalkan namanya, Maya. Lengkapnya Maya Gita. Namun, rekanrekannya sering memanggilnya Maya Pramuria.
Minum apa, Mas? sapanya ramah dengan raut yang agak sumringah dan sedikit desah.
Soft drink saja.
Sebentar, ya Mas...
Maya melangkah meninggalkan bangku, meninggalkan aku, meninggalkan suatu pesona dan aroma
parfum Italiana. Aku mengikuti lenggak-lenggoknya dengan ekor mata. Tak berapa lama kemudian
Maya muncul dengan dua minuman ringan, sebungkus rokok, dan beberapa bungkus penganan
kecil. Sekali lagi Maya menebarkan senyum manis seraya meletakkan minuman ringan, rokok, dan
penganan ringan di depanku. Bersamaan dengan itu dari music box menyeruak desah Shanice
Wilson menyenandungkan I Love Your Smile.
Aku suka senyummu, aku berbasa-basi.
Ah, bisa aja. Maya tersipu sambil mencubit lenganku.
Suasana pun terasa hangat. Entah mengapa aku dan Maya cepat akrab. Cepat terjalin hubungan
manusiawi, yang untuk kali ini susah didefinisikan. Pengunjung Diskotek Antique rata-rata
berpasangan duduk diaduk oleh keasyikan masing-masing. Beberapa tempat duduk masih kosong.
Tempat duduk lainnya diisi oleh beberapa orang. Di tangan mereka rata-rata terselip sebatang
rokok, segelas minuman, atau camilan. Setelah berbasa-basi ke sana ke mari, aku mulai
pekerjaanku: menjalankan misi untuk mencari materi feature, cerpen, novelet, skenario sinetron
atau puisi yang biasa kutulis. Dari raut wajah Maya dapat segera kubaca bahwa dalam dirinya
tergambar sebuah lanskap perjalanan hidup yang tampaknya melelahkan.
Kenapa? tanyaku ketika tiba-tiba Maya mendesah seakan melepaskan kekalutan yang membalut
hidupnya.
Susah, Mas, Maya menjawab pendek.
Ia mengeluh dan mendesah lirih. Guratan wajahnya tidak bisa menyembunyikan rasa sedih.
Maya, ceritakan sesuatu padaku, bujukku seraya menatapnya lekat-lekat.
Ceritanya panjang, Mas.
Sepanjang apapun, aku siap menjadi pendengar setia.
Maya sekali lagi mendesah. Setelah menghela nafas dalam-dalam, dari kedua bibirnya meluncur
kata-kata yang cukup mengangetkanku.
Aku sesungguhnya tidak betah kerja di sini. Maya mulai berkisah. Orang sering keliru menilai aku
dan pekerjaanku sebagai pramuria.
Maksud Maya?
Lagi-lagi Maya menghela nafas yang cukup dalam. Lewat desah yang menggambarkan keresahan,
Maya melanjutkan penuturannya.
Setiap aku habis menyanyi, Mas, ada-ada saja lelaki yang mengajak kencan. Tiap malam selalu ada
lelaki yang berusaha mendekati aku dan mengajak ngamar. Beberapa lelaki lain sering mengajak
shoping, nonton, atau sekadar jalan-jalan di mall atau plaza.
Itu kan biasa? Wajar. Bukankah tugas Maya di diskotek ini memberikan servis yang memuaskan
kepada setiap tamu?
Benar, Mas. Tugasku memang melayani tamu. Tepatnya aku menyanyi di diskotek ini untuk

menghibur para tamu. Tetapi mereka sering kelewatan dalam menilai keberadaanku. Aku sering
diperlaku-kan sebagai wanita yang dengan gampang diajak berkencan. Batin ini tersiksa, Mas. Tapi,
ah....
Setiap profesi pasti ada risikonya, kataku menghibur.
Meskipun risiko itu menghancurkan masa depan dan reputasiku? Masa depanku masih panjang,
Mas. Aku tidak ingin menjerumuskan diri dan larut menceburkan diri dalam dunia yang menyiksa
batin. Dalam diriku kini berkecamuk berbagai masalah pelik yang sulit kuurai. Dulu, aku cukup
bangga bisa menyanyi di tempat ini. Tapi akhir-akhir ini, aku sulit menghindar dari suatu bahaya.
Setiap saat aku merasa ada semacam ancaman yang dari hari ke hari tumbuh menyiksa batin ini.
Mas tahu kan persoalan narkoba?
Aku pura-pura diam. Kuteguk soft drink. Kunyalakan sigaret dengan Zippo. Asap pun mengepul dari
cerobong mulutku. Wajah Maya kutatap lekat-lekat. Wajah Maya terselimuti kabut tebal. Maya diam.
Maya sama sekali belum menyentuh minuman ringan, rokok, dan penganan kecil. Kulihat Maya
mulai gelisah. Di luar sadar, tangan Maya yang berjemari lentik itu memainkan anak rambut yang
berjuntai di keningnya. Kami berdua diserang wabah gelisah. Kegelisahan kami semakin sempurna
dan memuncak manakala dari music box menggema lagu berturut-turut: Dust in the Wind, lalu
Somewhere, Idont Like to Sleep Alone. Bersamaan lagu Feeling kuberanikan menyentuh tangan
Maya.
Kenapa tidak kausentuh minumanmu, Maya?
Dingin. Entah kenapa akhir-akhir ini aku merasa kedinginan, tidak punya keinginan apa pun. Aku
serasa diserang oleh penyakit aneh. Rasanya, aku kehilangan selera untuk bekerja.
Kenapa?
Ah,... Lagi-lagi Maya mendesah, mendesah, dan mendesah.
Maya, kukira lebih baik kauceritakan masalahmu kepadaku. Siapa tahu, beban masalah yang
kautanggung menjadi berkurang?
Maya tidak dapat menyembunyikan kegelisahan dan beban berat yang menimpanya. Setelah
menghela nafas, dengan suara tertahan Maya berujar.
Masalah klasik, Mas. Uang, uang, uang, dan uang. Maya memberi sedikit penekanan ketika
menyebut kata uang. Lalu Maya menambahkan, Ibu dan adik-adikku adalah beban terberat yang
kusandang saat ini. Ibu diopname di sebuah rumah sakit di Jogja lantaran komplikasi stroke, darah
tinggi, dan lever. Adik-adik saat ini sedang banyak memerlukan biaya kuliah di perguruan tinggi
swasta.
Bagaimana dengan ayah Maya?
Ayah, ah, ayah. Raut wajah Maya semakin resah dan terbebani oleh masalah yang tidak
tertanggungkan. Aku sabar menunggu cerita Maya selanjutnya. Setelah sekali lagi menghela nafas,
dengan berat Maya berkata seakan menumpahkan kekesalan, Apakah yang dapat diharapkan dari
seorang ayah yang berselingkuh dengan wanita lain, menjadi buron akibat bandar narkoba, dan
telah lama tidak mengurusi keluarga?
Aku kaget. Trenyuh. Haru. Sebagai orang yang biasa bergumul dengan aneka permasalahan
manusia, aku mudah sekali terharu. Penuturan Maya yang polos dan apa adanya telah menusuk dan
menikam-nikam ulu hatiku. Tergambar dalam benakku betapa Maya menjadi korban broken home.
Apakah itu semua yang membuat Maya harus merelakan diri bekerja sebagai pramuria dan
terdampar di kota Metropolis Jakarta yang hiruk-pikuk ini? Aku tak bisa membayangkan betapa
Maya sering dihinakan oleh lelaki pengunjung diskotek ini yang memperlakukannya sebagai wanita
penghibur, sebagai kupu-kupu malam, atau bahkan pelacur murahan. Wanita selembut dan
seanggun Maya pantaskah menerima itu semua? Pikiran dan batinku terus berkecamuk. Gambaran
batin dan pikiran itu semakin lengkap manakala seorang pramuria di atas stage menjeritkan lagu
Kupu-kupu Malam. Dengan jerit lagu itu, Titiek Puspa melukiskan sebuah derita seorang wanita
penghibur di tengah-tengah lelaki yang takabur.
Maya, aku mengerti dan merasakan persoalan yang membelitmu. Menurutku....
Itulah yang terkadang membuatku sering putus asa. Sering aku digoda oleh pikiran yang sesat:
jadi pelacur sekalian, jual narkoba, memeras lelaki hidung belang, atau tidur bersama koruptor dan
melarikan uangnya. Pikiran-pikiran seperti itu selalu berkecamuk di benak. Pikiran-pikiran seperti itu
lalu berperang dengan suara hatiku yang paling dalam. Nuraniku. Dari waktu ke waktu hal itu
menjadi beban yang tak tertanggungkan. Itu semua mengusik batin dan jiwa ini. Ketika
menuturkan itu semua, Maya tampak menahan dan meredam gejolak emosinya. Akibatnya, Maya
terlihat tersengal-sengal.
Maya, tenanglah. Kendor. Bukannya aku sok jadi pahlawan. Bukannya aku seorang yang murah
hati. Bukannya aku seorang yang suka dipuji. Kemarin aku baru menerima honor dari novelet, cerita
bersambung, dan beberapa hasil riset. Besok pagi aku bisa mencairkan cek dari skenario sinetron
yang ditayangkan oleh stasiun TV swasta. Kukira, kau bisa menggunakannya, Maya.
Tidak, Mas. Aku tidak bisa menerima uang itu. Uang itu...

Alah, pakai sajalah. Tak usah banyak pertimbangan. Anggap saja itu rezeki buat ibu dan adikadikmu.
Tapi bagaimana aku mesti mengembalikannya nanti?
Maya, engkau tidak usah berpikiran untuk mengembalikan uang itu. Itu adalah bagianmu.
Ketahuilah bahwa orang-orang sepertimu justru telah membantu profesiku?
Em, apa maksudmu, Mas?
Maaf, orang-orang sepertimu sering menjadi inspirasi bagi karya-karya berupa cerita, puisi, atau
skenario sinetron yang kugubah. Penuturanmu itu juga dapat dijadikan referensi dalam penulisan
berita. Maaf, terus terang aku sesungguhnya seorang pengarang. Orang menyebutku sastrawan,
wartawan, penulis skenario, atau penyair. Selama ini orang sepertiku dianggap hidup di awan, di
awang-awang, tidak realistik, miskin, dan terlantar. Maaf, aku tidak berusaha menyombongkan diri.
Tetapi jujur saja kuakui bahwa aku tidak mungkin berkarya tanpa orang-orang menderita seperti
yang engkau alami saat ini. Langsung atau tidak langsung dari penuturanmu aku memiliki bahan
bagi karya-karya selanjutnya. Yang kuperlukan saat ini hanyalah mendapatkan bahan untuk tulisantulisan dengan cara pengamatan, pengakraban, dan pengolahan. Jika Maya mau, misalnya
menuturkan liku-liku kehidupan diskotek beserta serangkaian masalah peredaran narkoba,
perselingkuhan, atau perjudian kepadaku, itu sudah lebih dari cukup. Dan sebagai gantinya, Maya
bisa menggu-nakan uang itu.
Aku tidak bisa menerimanya, Mas. Uang itu adalah jerih payahmu. Cucuran keringatmu. Engkau
mati-matian mengolah gagasan ke dalam karya yang mengungkapkan rasa. Kukira, semua itu
untuk....
Untukmu! Sudahlah, Maya, tidak perlu diributkan benar. Engkau lebih baik menerima tawaranku.
Maya merunduk mendengar penuturanku. Aku tahu, di dalam pikiran dan batin Maya berkecamuk
sebuah keputusan. Keputusan yang cukup memerlukan pertimbangan. Sejenak Maya menatapku tak
berkedip. Dari balik tatapan Maya itu, aku melihat seberkas keharuan terpancar dari matanya yang
berkaca-kaca. Diam-diam, saat itu, aku menjatuhkan penilaian bahwa Maya adalah sosok wanita
yang anggun, tabah, dan terdidik. Semua itu dengan cepat kusimpulkan dari perilaku dan tutur kata
Maya yang lembut, tertata, terjaga, dan dewasa. Aku yakin bahwa Maya mengenyam pendidikan
tinggi, atau setidak-tidaknya pernah kuliah. Aku berfikir bahwa kesempatan bersama Maya ini tidak
boleh dilewatkan. Dengan ngobrol bersama Maya kukira akan terkumpul bahan yang kuperlukan
untuk menunjang profesi sebagai pengarang. Aku tak sempat berfikir panjang ketika dengan tibatiba Maya menyampaikan sebuah keputusan.
Baiklah, Mas. Aku setuju dengan tawaran itu. Maya menatapku dengan pandangan yang
menjanjikan. Jika Mas mau mengorek keterangan tentang masalah peredaran narkoba,
perselingkuhan, dan perjudian, mungkin aku bisa membantu.
Baiklah, kapan kita bisa ketemu lagi?
Apakah Mas berkeberatan jika malam ini mengantar aku pulang? Di rumah kukira kita bisa leluasa
berbincang dan menggambar peta peredaran narkoba, perselingkuhan, perjudian, dan berbagai
borok-borok moral lainnya.
Tanpa berfikir panjang aku segera menyetujui pendapat Maya. Aku harus menyempatkan diri
mengantar Maya pulang ke rumah.

2
Lukisan Maya
M
ALAM LARUT. Aku dan Maya berjalan menyusuri sudut-sudut kota metropolis yang berkabut.
Beberapa gelan-dangan, anak jalanan, dan kuli bangunan tampak tidur dalam keresahan. Mereka
tidur di trotoar berbantal penderitaan, berselimut keresahan, beralaskan penderitaan. Mereka
mendengkur-kan ketidakadilan dan ketimpangan sosial. Mereka, para gelandangan, anak-anak
jalanan, dan buruh bangunan itu, adalah korban pemba-ngunan. Dalam tidur atau jaga, mereka
mendekap impian hitam tentang kehidupan. Satu dua waria dan pekerja seks wanita sesekali
tampak di keremangan gang. Tampak juga seekor anjing kurus penuh luka sedang mengais-ngais
tong sampah. Sampah-sampah itu menebarkan aroma yang tidak sedap. Sesekali dari arah
kejauhan terdengar pula raung sirene mobil patroli polisi.
Kami memasuki sebuah gang yang lorongnya dicor dengan semen. Di kanan-kiri gang ini berdiri
berderet rumah, atau lebih tepatnya gubuk-gubuk kumuh seperti lukisan realis tentang pedihnya
hidup di kota metropolis. Di setiap gubuk itu, anehnya, berdiri antene TV seperti tangan yang
menggapai-gapai ke udara hampa. Ini identik dengan lukisan absurd, pikirku. Pada satu sisi, dari
bentuk rumah kumuh mengabarkan kemiskinan, tetapi dengan tangan yang menggapai, antene TV

itu, seakan mengabarkan bahwa mereka juga perlu mendapatkan hiburan. Itu adalah ironi
kehidupan. Di satu sisi, setiap hari penghuni rumah-rumah kumuh itu mendapatkan kesulitan
memenuhi standar hidup layak sebagai manusia normal, namun, pada sisi lain mereka rupanya
telah digilas budaya konsumerisme yang luar biasa gilanya. Inikah ironi dari pembangunan ekonomi
yang menghalalkan segala cara, yang menempatkan indikator ekonomi sebagai panglima? Inikah
warisan Orde Baru itu? Aku tak sempat menjawab berbagai pertanyaan kritis itu ketika tiba-tiba
terdengar desahan suara Maya.
Masuk dulu, Mas, ajak Maya sesampai di depan sebuah rumah.
Rumah kontrakan Maya mirip gerbong kereta api yang memiliki sepuluh pintu. Pintu-pintu rumah
kontrakan itu telah tertutup rapat. Namun, beberapa saat kemudian kulihat beberapa kain kordin
tersingkap dan bersamaan dengan itu muncul wajah-wajah sinis memandang kami berdua. Sorot
mata mereka, para penghuni rumah-gerbong itu, telah menyileti hati ini. Maya cepat menyeret
tanganku memasuki rumah kontrakannya.
Mas bisa melihat sendiri bagaimana sikap dan perilaku para tetangga itu. Di mata mereka aku ini
tidak ada bedanya dengan seorang pelacur. Mereka sengaja mengucilkan aku dari pergaulan karena
mereka takut anak-anaknya menjadi bejat moralnya.
Ya, mereka agaknya begitu jijik memandang kita. Aku pun bisa merasakannya.
Duduk dulu, Mas. Aku akan menyeduh kopi jahe untuk mengusir angin jahat dari tubuh kita.
Jangan sungkan-sungkan, di sini tidak ada orang lain, kok. Sambil menunggu, itu ada bacaan
terpajang di rak.
Aku menghempaskan diri ke sebuah sofa tua yang di berbagai bagiannya telah dijahit. Kuedarkan
pandanganku ke segenap ruangan. Di dinding sebelah kiri kulihat sebuah lukisan sepasang kuda
yang secara ekspresif dan impresionis menggambarkan pergolakan dua nafsu: nafsu jahat
berperang melawan kemauan baik. Seekor kuda berwarna merah dan kuda yang lain berwarna biru
sedang bergulat pada latar kelabu yang berdebu. Sebuah lukisan yang lumayan, pikirku.
Pandanganku bergeser ke arah kanan. Tepat di sudut ruangan aku lihat koleksi benda-benda bernilai
seni tinggi. Selain lukisan kuda itu, ada lukisan Matahari karya Affandi yang ekspresif, lukisan potret
Perempuan karya S. Sudjojono yang naturalis, lukisan batik dan kaligrafi Amri Yahya yang
mempesona. Beberapa topeng karya Danarto terpajang simetris bersanding dengan beberapa
patung Asmat lengkap berbagai aksesori dari berbagai daerah Jogja, Bali, Aceh, Papua, pedalaman
Kalimantan. Semuanya tertata dengan harmonis.
Di sebelah kanan tempat aku duduk terdapat rak buku. Aku melangkah memeriksa koleksi yang
ada. Aku kaget ketika ternyata di sana ada Albert Camus, Bertrand Russell, Naquib Mahfouz, Edwar
Said, George Orwell, Michael Faucault, Williams Shakespeare, Virginia Wolf, bahkan Salman Rusdie.
Berjajar di sebelahnya buku-buku filsafat, berselang-seling dengan buku psikologi dan sosiologi. Ada
juga Khahlil Gibran bersanding dengan Chairil Anwar, dan Iwan Sima-tupang. Sementara itu, Taufik
Ismail, Goenawan Mohamad, dan Sapardi Djoko Damono terjepit di antaranya. Aku tak tahu, apakah
di rak ini juga ada Suminto A. Sayuti, Ahmadun Y. Herfanda, atau Afrizal Malna. Kulihat sebuah buku
bersampul hijau tua, ternyata Al-Quran Bacaan Mulia yang disusun oleh H.B. Jassin yang
kontroversial itu. Di rak paling atas kulihat Alffin Tofler, Max Weber, dan beberapa buku tentang
ekonomi. Pada rak paling bawah, kulihat buku kumpulan puisi Renungan Closet-nya Rieke Dyah
Pitaloka, dan Supernova. Komik Crayon Sinchan dan Doraemon berbaur dengan aneka majalah dan
tabloit wanita.
Aku berdecak kagum memeriksa koleksi yang ada. Koleksi Maya sungguh luar biasa. Semua koleksi
itu melukiskan siapa sesungguhnya Maya Gita. Aku lebih kaget ketika kutemukan kumpulan tulisan
Maya Gita berjudul Catatan Harian. Gila! Ini gila, pikirku, setelah sekilas membaca beberapa
goresan tangan Maya Gita. Ini sebuah catatan berisi masalah-masalah kontekstual yang memotret
peristiwa aktual dengan pengungkapan yang kental dan kenyal. Sebuah dokumen yang memiliki
bobot persoalan penting dan diungkapkan dengan teknik yang luar biasa indahnya. Maya Gita
sungguh punya talenta untuk menulis. Aku membacalah sebuah goresan bertitimangsa 3 Juli 2001.
Kamar Pribadi, 3 Juli 2001.
DUNIA INI MAYA SEMATA
Dunia ini tergelar bagai layar monitor personal komputer. Aneka peristiwa, karakter manusia, dan
berbagai ragam masalah layaknya dapat dipantau hanya dengan memandang monitor. Tetapi
nyatanya ketidakadilan, ketimpangan, kemunafikan, dan kejahatan meraja-lela. Akibatnya, pohonpohon kehilangan hijaunya. Burung kehilangan kepaknya. Sungai kehilangan muara sejatinya. Awan
di langit menggelantung memberi isyarat bahwa hujan dan badai segera menerpa dunia ini. Namun,
anehnya, manusia telah kehilangan kemampuan membaca isyarat alam. Manusia setiap hari
bergulat dengan aneka sampah yang kotor. Mesjid, vihara, dan gereja kehilangan daun jendela.
Kehidupan terasa hampa. Maya.
Lihatlah sekelompok orang yang bergegas itu. Apakah sejatinya yang mereka kejar? Prestasi?

Rezeki? Peluang? Uang? Kesibukan telah membawa mereka ke jurang kehampaan. Keserakahan!
Tidak ada dunia nyata bagi mereka. Semua impian mereka semu semata. Semua hidup dalam
bayangan materi, dalam perangkap materialistis dan hedonistis. Kehidupan mereka sesungguhnya
cuma sebatas metaforis atau metamorfosis. Sungguh, sejatinya sepak terjang mereka tidak
ubahnya sebagai binatang dengan segala kebuasannya, dengan segala racun dan kelicikannya.
Kulihat beberapa orang telah menggadaikan hidupnya demi asap ganja, kristal-kristal setan merah,
ineks, atau jarum-jarum neraka. Kutahu, ayah telah salah memilih jalan. Kutahu, ibu telah jadi
korban keserakahan ayah. Sementara adik-adikku menjelma menjadi benalu-benalu sebagai korban
ayah di masa lalu. Aku tidak mengeluh atau menuduh. Semua itu telah menjadi sebuah garis yang
harus kulukis dengan tinta merah. Sebuah garis yang begitu nyata dan tegas mengiris-iris
perasaanku.
Ketika aku sedang asyik membolak-balik Catatan Harian itu, tiba-tiba suara Maya mengagetkanku.
Hasil iseng-iseng, kok, Mas Maya memberi penjelasan, sekadar catatan harian.
Tidak. Ini adalah maha karya, kilahku. Jika beruntung, kau bisa menerbitkannya menjadi buku.
Aku yakin dunia sastra Indonesia akan gempar setelah membaca hasil goresan masterpiece ini. Jika
diterbitkan ini akan menjadi best seller.
Sudahlah, mas jangan terlalu melambungkan aku. Aku menulis itu semua sekadar sebagai
kesaksian bahwa dunia ini tidak adil, di huni oleh orang-orang sakit, bandit, perampok, begundal,
koruptor, dan....
Boleh aku bawa ke penerbit?
Terserah. Kalau Mas mau, bawa saja. Aku masih memiliki beberapa lagi kopinya. Ini mas, kopi
jahenya diminum.
Aku mereguk kopi jahe yang disodorkan oleh Maya. Kehangatan terasa menjalar di urat darahku.
Kesegaran merambat di kedua mataku. Maya duduk persis di depanku. Kesegaran pada wajah Maya
juga menyergap ketika kutahu bahwa Maya baru saja melaksanakan sholat malam. Kutahu, dalam
pikiran Maya berkecamuk berbagai masalah pelik tentang hidup dan kehidupan. Beban itu
tampaknya sedikit berkurang setelah Maya pasrah ke haribaan Allah.
Aku yakin, wanita setegar kau segera dapat mengatasi kemelut persoalan keluargamu. Aku yakin
kau akan dapat mengatasi semua itu. Dasar ajaran agama yang kau miliki, pengetahuan yang
tercermin dalam koleksi di rak itu, koleksi benda-benda seni yang terpajang di rumah ini, dan
terutama Catatan Harian ini telah mewartakan siapa kamu sejatinya. Percayalah, asal kau teguh
pada keyakinan maka segala kesulitan dan belitan masalah akan dapat diuraikan.
Terima kasih, Mas. Engkau telah mau memahami keadaanku. Terima kasih.
Aku yakin, penerbit akan menerbitkan Catatan Harian ini. Dengan itu, kau akan bisa membayar
beaya pengobatan ibu dan keperluan studi adik-adikmu. Atas izinmu, besok, aku akan membawa
Catatan Harian ini ke penerbit.
Maya melangkah mendekatiku. Berkali-kali ia mengguncang-guncang tanganku sembari
mengucapkan terima kasih.
Malam telah larut, Maya, terlalu larut bahkan. Sebaiknya aku segera pulang.
Apakah tidak lebih baik Mas menginap di sini saja?
Bahaya, Maya. Itu berbahaya. Aku tak ingin menambah masalah dengan menginap malam ini.
Sebaiknya aku pulang saja.
Aku pamit. Sekilas Maya kulihat kecewa. Ia kemudian mengantarku menuju pintu. Sebelum
membuka pintu, Maya meme-gang lengan tanganku, menatapku lekat-lekat, dan sekali lagi
mengucapkan terima kasih. Dalam pandanganku saat itu, mata Maya malam itu serupa telaga.
Telaga itu begitu beningnya sehingga siapa saja ingin berenang di dalamnya. Aku merasakan sebuah
kesejukan dan kedamaian mengalir dari telaga bening itu. Rasanya aku ingin berlama-lama
memandang telaga itu. Memandang sorot mata Maya yang begitu indah memancarkan bejuta
pesona. Sekilas terbit hasrat dalam hatiku untuk terjun dan berenang di kedalaman telaga itu.
Tetapi akal sehatku melarang perbuatan yang asusila itu.

Setiba di rumah, kurebahkan diriku di atas ranjang. Mataku menerawang memandang plafon kamar
yang bercat putih. Perke-nalanku dengan Maya Gita dengan masalah-masalahnya mengusik batinku.
Kenapa dengan mudah aku menjanjikan sesuatu yang sesungguhnya di luar jangkauanku? Kenapa
aku begitu royal memberikan uang kepada orang yang baru saja kukenal? Bukankah Maya Gita
seorang pramuria dan pramusaji di sebuah diskotek? Bukankah bukan rahasia lagi bahwa wanita
yang bekerja di sebuah diskotek selalu identik dengan wanita yang kurang bisa dipercaya?
Maya Gita adalah sosok wanita yang lain. Begitu menurut taksiranku. Bukankah di rumah kontrakan
Maya bertebaran benda-benda budaya yang begitu berharga? Koleksi lukisan dan cenderamata yang

ada di rumah kontrakan beserta buku-buku koleksinya merupakan pertanda luasnya pergaulan dan
pengetahuan tentang dunia. Maya Gita telah menyodorkan pesona yang begitu menggoda. Terus
terang aku telah jatuh ke dalam perangkapnya yang begitu mempesona. Sorot mata itu, telaga
bening yang memancarkan kesejukan lembah itu, telah memberikan sebuah kedamaian dan
kehangatan yang tak terbilang nikmatnya. Maya, ah, Maya. Ia telah menggoda dan mengusik diriku.
Aku kembali teringat pada Catatan Harian Maya. Kenapa aku dengan mudah dan gegabah
menjanjikan akan mengantarkan ke penerbit? Aku penasaran dan diaduk oleh berbagai pikiran
tentang Catatan Harian Maya. Tanganku tiba-tiba meraih Catatan Harian Maya Gita dan segera
membacanya.
Jakarta, 1215 Mei 1998.
HURU-HARA MELANDA IBU KOTA
Jakarta porak-poranda. Aku mencatat aneka tanda semiotika. Orang-orang kehilangan alamat,
tempat singgah, dan arah yang dituju. Yang ada cuma rasa gerah dan amarah yang membuncah.
Lihatlah, berjuta pengunjuk rasa memadati jalan-jalan utama di Jakarta. Iring-iringan mahasiswa
seperti armada semut, merangkak menuju gedung DPR/MPR Senayan. Penjaga keamanan dengan
gas air mata atau senapan di tangan berusaha keras menghalangi mereka. Penjaga keamanan itu
bergerak seperti robot membentuk barikade pertahanan berlapis-lapis.
Ketika para pengunjuk rasa terus merangsek maju, aparat dengan sigap menyemprotkan gas air
mata. Kerusuhan pun tidak bisa dihindarkan.Bentrok antara para pengunjuk rasa dengan aparat
keamanan tak bisa dihindarkan. Korban-korban mulai berjatuhan. Di beberapa tempat, pembakaran
ban bekas mengepulkan asap hitam. Suasana makin membara ketika mobil-mobil digulingkan lantas
dibakar oleh massa tak berkepala. Entah, siapa dan darimana berjuta massa tak berkepala itu.
Sepak terjang mereka seperti kesetanan. Gedung-gedung pertokoan ludes dibakaroleh massa tak
berkepala itu. Penjarahan terjadi di mana-mana. Korban bergelimpangan akibat pentungan,
lemparan batu, atau karena tembakan aparat keamanan. Yang menyedihkan, pemerkosaan pada
etnis tertentu terjadi di tengah kerusuhan itu.
Jakarta membara! Manusia telah kehilangan fitrahnya. Kehilangan akal sehatnya. Mereka telah
berubah menjadi binatang berbisa di tengah-tengah rimba plaza. Anehnya, para wakil rakyat sibuk
berkutat dengan masalah uang rapat komisi, harga dasi, dan mobil dinas. Di layar TV kulihat para
wakil rakyat dengan semangat membara menggigit dan mengunyah apel, jeruk, atau meneguk
minuman mineral dengan ekspresi tenang. Memang di raut wajah Harmoko terbaca sebuah
kekalutan, namun ia dengan cerdik menyembunyikan perasaan gundah itu di balik senyumannya
yang khas. Sebuah senyuman yang menyimpan kesombongan, kepahitan, dan kelicikan.
Di Istana Merdeka, Presiden Soeharto sedang mengumpulkan para cendekiawan, budayawan,
ulama, dan beberapa orang lagi. Aku mencatat ada Cak Nur, Cak Nun, ulama NU, petinggi
Muhammadiyah, dan beberapa intel yang tingkah lakunya seperti siluman: sluman-slumun-slamet!
Entah apa yang ada di benak Soeharto saat itu. Mungkin ia sedang mengumpulkan pendapat dari
berbagai kalangan untuk membuat sebuah serangkaian siasat terhadap situasi terakhir yang
menggambarkan kekacauan itu. Mungkin juga Soeharto sedang mencari kosa kata yang paling pas
mewadahi siasat atau keputusan yang akan diambil di tengah huru-hara itu.
Seperti diduga banyak orang, benar, atas desakan para mahasiswa yang dengan penuh semangat
mengusung api reformasi, Soeharto pada akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai
presiden RI. Keputusan ini memang terlihat briliant, tetapi juga terkesan menyedihkan. Sedihnya,
dengan pengunduran diri itu tentunya sebentuk tanggung jawab dilepaskan. Itulah kecerdikan dan
sekaligus kelicikan Soeharto dalam percaturan dunia politik. Dengan mengumpulkan cendekiawan,
budayawan, dan alim-ulama, ternyata Soeharto cuma menemukan satu ungkapan khas, Tidak jadi
presiden, tidak patheken. Kutahu, kosa kata patheken telah lama diusung oleh Cak Nun di atas
berbagai panggung dan wacana kemanusiaan. Itulah barangkali sumbangsih Cak Nun dalam
panggung politik, kebudayaan, dan dunia cengegesan. Soeharto mestinya berterima kasih pada
Cak Nun yang sepak terjangnya seperti siluman itu. Ya, tampaknya Soeharto tidak mau terusik oleh
berbagai persoalan bangsa dan negara yang akibat krisis ekonomi berkepanjangan telah
meluluhlantakkan segala sendi-sendi kehidupan bangsa dan negeri ini. Dan ungkapan yang paling
tegas, lugas, dan dapat menyembunyikan realitas adalah ungkapan tidak patheken itu.
Aku menghela nafas. Dada ini terasa penuh sesak. Sejenak aku berhenti membaca hasil goresan
Maya Gita. Gila! Ini sebuah kegilaan yang luar biasa, pikirku. Bagaimana mungkin seorang Maya
Gita yang profesinya sebagai pramuria bisa merekam peristiwa aktual ke dalam Catatan Harian yang
begitu mempesona? Aku yakin, Maya Gita bukanlah wanita biasa. Kerja pramuria, mungkin,
dilakukannya pada malam hari. Dan siangnya, ia manfaatkan untuk larut dalam kemelut hidup di
hiruk-pikuk Jakarta. Tak heran jika Maya Gita dapat leluasa menuliskan pengalaman kesehariannya
dan mengemas realitas secara tandas. Aku memutuskan untuk meneruskan membaca Catatan

Harian Maya Gita.


TRAGEDI TRISAKTI-SEMANGGI
Aksi damai yang digelar oleh mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi itu terkurung di Kampus
Trisakti. Di dalam kampus, mahasiswa terus meneriakkan dan mengobarkan api reformasi. Tapi
polisi, dari jembatan Semanggi memberondongkan tembakan secara membabi-buta ke arah
mahasiswa yang sedang berorasi. Mayat-mayat bergelimpangan. Kekacauan tak dapat dihindarkan.
Mahasiswa pun berhamburan, tumpah seperti kaca-kaca yang pecah.
Aku melangkah menuju ke suatu tempat yang kuanggap aman. Di tempat itu, kudengar aneka
jeritan, tangisan, dan ketakutan yang luar biasa. Penjual rokok menangisi kios dagangannya yang
terbakar. Mahasiswa mandi keringat dan berusaha menyembunyikan ketakutan dengan berteriak
mengutuk peristiwa pembantaian itu. Seorang anak kecil kulihat pingsan di tengah jalan. Ia telah
kehilangan kedua orang tuanya.
Puing-puing gedung, aneka kertas, dan ban-ban bekas tampak berserakan di sepanjang jalan.
Kupungut sebuah brosur yang tergeletak di dekat kaki. Kuperiksa dan kubaca isi brosur itu:
SOEHARTO TIDAK UBAHNYA SEPERTI SULTAN AGUNG. SOEHARTO ADALAH RAJA YANG SECARA
NISBI DINAUNGI OLEH PAYUNG DEMOKRASI, HAK-HAK ASASI MANUSIA, DAN PROGRAM
PEMBANGUNAN PENGENTASAN KEMISKINAN. PAYUNG YANG MELINDUNGI ITU SEJATINYA CUMA
IMITASI.
IA, SOEHARTO, JENDERAL YANG SELALU TERSENYUM ITU SEJATINYA MENGGENGGAM KEKUASAAN
UNTUK KEPENTINGAN DIRI SENDIRI DAN KRONINYA. KONGLOMERAT DAN PENGUSAHA DIJADIKAN
BEGUNDALNYA. BIROKRAT, APARAT, DAN ORANG BERJIWA BANGSAT DIJADIKAN ALAT UNTUK
MELANGGENGKAN KEKUASAANNYA.
PRIBADI ATAU MASSA YANG BERSEBERANGAN DISIKAT. DPR/MPR DAN LEMBAGA TINGGI NEGARA
DIMANDULKAN. ABRI DIJADIKAN ANJING YANG DENGAN SETIA MENJAGA MAJIKANNYA. KORUPSI,
KOLUSI, DAN NEPOTISME TELAH DIJADIKAN IDOLA DALAM PENYELENGGARAAN NEGARA. KORUPSI,
KOLUSI, DAN NEPOTISME TELAH MENJADI WABAH DI SETIAP SENDI-SENDI KEHIDUPAN BANGSA
INI. INILAH WARISAN UTAMA SOEHARTO PADA BANGSA DAN NEGARA INI.
PARA MENTERI TAK LEBIH SEBAGAI PION-PION YANG HARUS MELINDUNGI SANG RAJA.
KONFERENSI TINGKAT TINGGI HANYA DIGUNAKAN UNTUK MENUMPUK UTANG. MEREKA SEMUA
SEJATINYA TELAH MEWARISKAN KEMISKINAN TUJUH TURUNAN. KINI TIBA SAATNYA MEMBONGKAR
ITU SEMUA.
HIDUP MAHASISWA! HIDUP REFORMASI! SEKALI REFORMASI, SELAMANYA REFORMASI!
TERTANDA: AKTIVIS PROREFORMASI.
Aku berhenti sejenak membaca Catatan Harian goresan Maya. Hem, ini sebuah kesaksian yang
lumayan cerdas dan keras dalam upaya menguak borok-borok demokrasi di negeri ini. Sebuah
catatan peristiwa yang panas dan keras, pikirku. Aku tidak menduga bahwa di balik sosok Maya Gita
yang begitu lembut dan anggun itu bergolak dan bergejolak sebuah perhatian tentang iklim
demokrasi di negeri ini. Aku sama sekali tidak menduga bahwa dari sebuah kelembutan dan
keanggunan wanita dapat dibuahkan goresan sebuah kesaksian yang begitu mengesankan.
Aku malu. Mestinya, profesiku sebagai wartawanlah yang menulis dan mewartakan semua itu.
Tetapi, bukankah iklim media massa di negeri ini tidak cukup memberikan ruang untuk menulis
berita secara apa adanya? Pemberangusan sebuah media masih menjadi momok bagi insan yang
bergerak dalam bisnis media. Media mana yang rela diberangus gara-gara sebuah kelugasan
pemberitaan yang dibuat oleh wartawan? Aku berusaha mencari sebuah pembelaan dan
pembenaran atas sikapku dalam menjalankan profesi sebagai wartawan. Tetapi, bukankah aku juga
seorang sastrawan? Sebagai sastrawan, mestinya aku bisa turut berpartisipasi mengungkapkan
carut-marutnya iklim demokrasi di negeri ini. Ah, aku kalah selangkah dibanding apa yang telah
digoreskan oleh Maya Gita dalam Catatan Harian. Maya Gita dengan kejujurannya telah
menggoreskan sebuah kebenaran dalam cerita yang digubahnya. Ia dengan lugas dan tandas telah
memberikan kesaksian tentang persoalan fundamental yang dihadapi bangsa ini: masalah
demokrasi!
Aku tercenung sejenak. Kembali aku teringat akan tawaranku kepada Maya Gita untuk
mengantarkan Catatan Harian ini ke penerbit. Penerbit mana yang mau menerbitkan Catatan Harian
yang keras dan lugas? Aku tiba-tiba dilanda sebuah keraguan. Keraguan itu berusaha kusingkirkan
jauh-jauh. Pikiranku kini menerawang jauh membayangkan peristiwa berdarah itu. Aku kembali
teringat, waktu itu, aku bersama-sama rekan wartawan bergegas menuju markas kepolisian. Aku
ingin tahu apa reaksi para jenderal atas peristiwa berdarah itu.
Waktu itu, di Markas Besar Kepolisian RI kulihat telah banyak rekan-rekan wartawan dari media
cetak dan elektronika berseliweran. Mereka tampaknya akan menggali informasi aktual tentang
peristiwa yang terjadi di Kampus Trisakti dan Jembatan Semanggi. Namun, aku dan kawan-kawan

yang berprofesi sebagai kuli disket itu dengan berbagai dalih tidak diberi kesempatan untuk
melakukan konfirmasi, cek dan ricek, serta memperoleh bahan pemberitaan. Aku dan kawan-kawan
waktu itu, telah diusir seperti anjing-anjing kurap oleh petugas jaga. Entah, itu atas perintah siapa,
atau barangkali para petugas jaga itu telah berimprivisasi dalam melaksanakan tugas? Aku tidak
tahu. Aku lebih memilih menyisih dari markas penyiksaan dan pengusiran itu. Aku pun pulang ke
rumah. Sesampai di rumah, kugoreskan sebuah puisi yang mengungkapkan kejadian itu:
Aku pulang ke rumah melabuhkan resah
Resahku. Resah bangsaku. Resah yang tumbuh seperti kecambah.
Resah itu semakin lama kian membuncah
Resah itu lalu menjelma gelombang lautan
Lautan penderitaan!
O, alangkah terpuruk orang-orang yang digilas oleh gelombang penderitaan, disapu oleh ombak
ketidakadilan, di landa badai
kesewenang-wenangan!
Aku saksikan sampah-sampah berserakan:
sampah pejabat dan sampah birokrat membuat mampat selokan
sampah politisi dan sampah polisi mengalir di sungai-sungai.
Aku cari Nurani
O, di manakah Nurani bangsa ini bersembunyi ?
Pejuang demokrasi dicegat oleh aparat, lalu diusir
seperti anjing-anjing kurap
O, kiamat terasa semakin dekat
Api reformasi tak mampu membakar angkara. Tak kuasa
Membongkar semua. Semua semu semata.
Api reformasi cuma meluluhlantakkan bangunan yang kasat mata
Angkara murka tetap bertahta di singgasana
Ambisi masih duduk di kursi dijaga oleh berjuta perisai
O, reformasi! Kembalikan Nurani bagi pertiwi
O, tirani, enyahlah dari negeri ini!

3
Kukira, Ini Juga Sebuah Dunia Tanda
D
ISKOTEK ANTIQUE kembali menunjukkan aktivitasnya. Para pramusaji seperti Bella, Sinta, Malla,
dan Bellina telihat sibuk melayani tamu yang hadir. Apapun yang diinginkan pengunjung yang
sebagai raja itu dilayani dengan baik oleh Bella, Sinta, Malla, dan Bellina. Kulihat Bella sedang
melayani dua lelaki muda pada sebuah meja yang penuh dengan minuman whisky, bir, dan anggur
Kolesom. Sinta terlihat asyik ngobrol dengan lelaki tua berkepala botak. Malla terlihat ceria penuh
gelak tawa bersama seorang berdasi merah. Bellina kulihat gelisah sendiri di Cafe. Malam ini, sesuai
dengan janji, aku kembali duduk di pojok cafetaria. Aku menunggu dan menunggu isyarat yang
diberikan oleh Maya Gita. Kulihat Maya Gita berada di stage mengumandangkan lagu-lagu dari
irama jazz, blues, hingga bosanova. Sebagai penghibur, desah suara Maya lumayan bagus untuk
seorang penyanyi di sebuah diskotek. Sesekali Maya melirik ke arahku dan memberi isyarat dengan
tangannya bahwa orang yang kami tunggu telah menampakkan kehadirannya.
Tepuk tangan menggemuruh ketika Maya mengakhiri lagu terakhir berjudul Power of Love-nya
Celine Dion. Seorang lelaki, entah siapa, datang menggandeng tangan Maya menuju ke sebuah
bangku yang telah terisi seorang lelaki lain. Maya duduk di antara kedua lelaki itu. Dari jauh, kulihat
Maya menunjukkan rasa tidak senangnya kepada dua lelaki itu. Maya kulihat resah dan tidak
berdaya diapit oleh dua lelaki itu. Aku melangkah mendekat dan duduk di sebuah bangku yang
kosong. Aku diam-diam bermaksud merekam isi pembicaraan Maya dengan kedua lelaki itu.
Kusadari bahwa perbutan merekam pembicaraan orang tanpa izin bagi seorang yang berprofesi
sebagai wartawan merupakan aib yang tidak dapat diterima. Akan tetapi, untuk melacak dan
membongkar sebuah sindikat bisnis ilegal, apakah ada ukuran norma yang perlu dijunjung tinggi?
Ah, biarlah aku akan tetap diam-diam merekam pembicaraan mereka. Sekali lagi, Maya memberikan
isyarat mata agar aku memulai beraksi dengan tape recorder kecil yang kusembunyikan di balik
baju. Klik, kupencet tombol rekaman. Aku berharap Maya bisa memainkan sandiwaranya dengan
baik, sehingga data-data yang kuperlukan dapat kuperoleh.

Sudah kubilang, Antony, aku tidak memiliki banyak waktu.


Lelaki yang dipanggil Antony oleh Maya adalah lelaki yang cukup tegap. Rambut lelaki itu ikal tak
beraturan. Sorot pandangan lelaki yang disebut Antony itu tampak liar. Sebuah kacamata hitam
bertengger di rambut ikal itu. Pakaian yang dikenakannya tampak perlente. Logat bicaranya khas
logat Betawi.
Gue cuman ingin nyampein salam dari bokap ente. Bokap ente kini lagi sekarat. Bokap ente mau
bunuh diri dengan menyilet nadinye. Untung, gue-gue ini bisa memberinya sedikit asap
kenikmatan, akhirnye bokap ente selamat, kagak jadi modar, cuman sekarat doang.
Apa maksud kalian menceritakan semua itu?
Gini, Maya. Hutang bokap ente udah numpuk. Selama di rantau, bokap ente kerjaannya cuman
ngerepotin orang doang. Kini bisnis rada seret lantaran bokap ente terus diuber-uber. Ke manapun
lari dan bersembunyi, bokap ente, selalu diuber-uber oleh si Buser brengsek itu. Jadi...
Sekali lagi kunyatakan, aku tidak mau membantu bisnis itu. Urusan ayah sakit dan banyak
hutangnya, itu bukan urusanku. Ayah bagiku adalah masa lalu. Secara biologis memang ia ayahku.
Namun, secara psikologis ia telah mengoyak hubungan kekeluargaan. Ayah telah menggoreskan
kenangan pahit yang begitu dalam. Tak terlupakan.
Ih, dasar anak kagak tau diuntung. Anak kagak tahu diri. Gue kagak peduli, ujar lelaki yang satu
lagi.
Lelaki yang baru bersuara, tampaknya merupakan orang yang lebih menunjukkan pengaruhnya
daripada orang yang disebut Maya dengan sebutan Antony itu.
Pokoknya, ente harus nurut. Paling kagak ente bisa masarin itu produk, ancam lelaki berkumis
tebal itu.
Aku capek, Tommy. Dari dulu aku sudah bilang bahwa aku tidak mau berurusan dengan bisnis itu.
Jadi,...
Ente kagak usah banyak dalih. Pokoknye ente kudu ngebantu. Ente telah lama kerja di ini diskotek.
Ente bisa pake itu relasi buat nampung barang-barang.
Hem, gimana ya? Aku perlu berpikir dulu, Tommy.
Mikir apaan lagi? Bokap ente sekarat. Die perlu obat. E, masih berpikir. Udahlah, ente kagak usah
ragu.
Maya kulihat semakin gelisah. Dengan berbagai cara halus Maya berusaha mengalihkan
pembicaraan. Namun tampaknya Tommy kurang sabar menghadapi Maya yang selalu menolak
ajakannya.
Ton, ajak dia ke belakang! ujar Tommy menunjukkan satu pengaruhnya.
Tanpa menunggu perintah lagi, Antony berdiri kemudian menarik tangan Maya menuju ke belakang
diskotek. Tommy berjalan mengiringi dari belakang. Gawat, pikirklu. Apakah yang harus kulakukan?
Menghubungi sekurity diskotek? Ah, ini konyol, pikirku. Apa yang dapat diandalkan dari penjaga
keamanan diskotek yang biasanya telah menjalin kerja sama dengan para pengunjung diskotek ini?
Apakah sebaiknya aku menelefon polisi? Ah, kukira belum cukup bukti untuk mengontak polisi.
Rekaman ini tidak cukup dijadikan alat bukti bahwa Tommy dan Antony telah melakukan bisnis
ilegal. Aku baru memiliki beberapa kosa kata seperti di rantau, Si Buser, Asap kenikmatan, dan
bisnis. Kosa kata itu terlalu miskin dijadikan alat bukti. Ah, apakah sebaiknya yang mesti kulakukan
agar Maya tidak terlalu jauh terlibat ke dalam jurang kesesatan itu? Kepalaku tiba-tiba pusing
memikirkan itu semua. Kepalaku tambah puyeng ketika hentakan irama musik rock mengaduk-aduk
diskotek ini. Berpasang-pasang remaja kulihat berjingkrak-jingkrak mengikuti irama musik cadas
itu. Aku bertambah pusing ketika lampu diskotek silih berganti mengikuti hentakan musik rock itu.
Arloji yang melingkar di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 12.35 WIB. Kuputuskan untuk
melangkah menuju belakang diskotek.
Mau ke mana, Bung? penjaga keamanan bertanya penuh selidik.
Aku ada janji di belakang, kataku berbohong.
Janji? Janji dengan siapa? sergah penjaga keamanan.
Bella, jawabku asal menyebut nama yang pernah disebut oleh Maya.
Bella atau Bellina? tanyanya lagi penuh selidik.
Bella! jawabku tegas dan tandas.
Oh ....
Bibir penjaga keamanan itu pun membentuk lingkaran ketika mengucapkan oh itu. Aku melangkah
menuju bagian belakang diskotek. Aku kaget, ternyata di belakang diskotek ini terdapat beberapa
kamar berderet dengan pintu tertutup. Di setiap pintu kamar itu terdapat nomor kamar terbuat dari
kayu. Hem, persis seperti hotel, pikirku. Suasana di belakang diskotek tampak sepi dan remangremang. Pandanganku beralih pada sebuah taman bunga yang di tengah-tengahnya terbentang
sebuah kolam. Kulihat beberapa bangku tertata apik mengelilingi kolam itu dengan cita rasa estetika
tinggi. Beberapa lampu hias warna-warni berdiri di kesunyian taman. Tapi kesan temaram tidak

dapat hilang dengan aneka lampu warna-warni itu.


Aku menuju ke salah satu bangku di dekat kolam itu. Aku duduk diaduk oleh aneka pikiran kalut.
Kukeluarkan sigaret dari kantong dan kunyalakan. Baru beberapa hisap, mulutku terasa pahit.
Kepalaku bertambah pusing. Kubuang batang rokok itu persis di tempat sampah tak jauh dari
tempat duduk. Aku kembali diaduk oleh kecamuk pikiran tentang Maya, narkoba, berita yang harus
segera kurampungkan, dan mengantarkan Catatan Harian Maya ke penerbit.
Boleh, aku duduk? seorang wanita setengah baya menyapaku.
Hem, silakan, aku agak geragapan dengan kehadiran wanita berambut pendek dengan make up
yang lumayan norak itu. Wanita itu kukenal bernama Bellina.
Nuggu siapa nih? ujar Bellina seraya duduk dengan menyi-langkan kaki kanannya di atas paha
kaki kirinya.
Ah, enggak, aku sedang ...
Kenapa Bung menyendiri?
Kalut, jawabku sekenanya.
Aku bisa membuat bung fresh kembali. Percayalah, aku pernah dilatih dan diberikan dasar-dasar
pijat untuk kebugaran. Kalau bung mau, ayo kita coba.
Kepalaku pusing, aku berusaha mengelak.
Itu soal kecil. Aku bisa menghilangkan pusing dengan beberapa kali urut saja. Ayolah, kita coba.
Tapi....
Ayolah, dengan sedikit pijatan dan beberapa urut saja bung bisa merasakan kebugarannya.
Ayolah.
Bellina memegang tanganku dan aku kemudian seperti sapi yang diseret memasuki sebuah
kandang. Sedikit pun aku tidak berontak atau melepaskan tangan Bellina. Kami memasuki kamar
nomor 2.
Bung berbaring saja di situ.
Bellina menunjuk pada ranjang yang dibalut dengan sprei bermotif bunga. Ketika aku merebahkan
diri di atas ranjang itu, hidung ini disergap oleh bau parfum lembut. Parfum itu tampaknya sengaja
disemprotkan di atas sprei agar memberikan kesan tersendiri bagi yang berbaring di atasnya.
Siap, bung? tanya Bellina sembari memegang punggungku.
Ketika tangan Bellina mulai beroperasi, memijat, dan mengurut, kudengar suara dari arah kamar
nomor 1. Suara itu adalah suara Maya, Antony, dan Tommy.
Ah, geli. Aku tidak tahan, bisikku kepada Bellina. Aku tidak sanggup diurut!
Kalau gitu, apa yang mesti kulakukan bung?
Begini Bellina. Aku amat ngantuk dan ingin istirahat. Esok malam aku janji akan bersamamu. Maaf,
malam ini aku benar-benar ngantuk, bisiku agar suaraku tidak mengganggu kamar nomor 1.
Meskipun kecewa, Bellina dapat menerima pendapatku. Bellina meninggalkan kamar setelah
menerima uang pemberianku. Sepening-gal Bellina, aku mulai menyiapkan tape recorder untuk
merekam pembicaraan di kamar nomor 1. Klik! Tape recorder siap merekam.
Maya, boss bilang dan titip pesan, ente sesegera mungkin diminta mengunjunginya.
Apakah maksud ayah dengan permintaannya itu? suara Maya terdengar jelas dan tegas.
Gue kagak tahu. Kapan ente akan ke sana?
Begini, Tommy. Aku masih sibuk melayani para relasi di diskotek ini. Beberapa hari lagi kupastikan
aku akan mengunjungi ayah.
Okay. Kalau gitu, ente bisa manfaatin relasi buat bisnis ini. Ini stok yang bisa ente bawa.
Begini saja, Tommy. Sabtu malam diskotek ini akan ramai dikunjungi relasi. Kau bisa datang malam
itu dengan membawa stok yang cukup. Aku tidak berani membawa-bawa barang itu. Kau tahu, aku
perempuan yang selalu dicurigai. Beberapa waktu lalu saja ada beberapa aparat yang mengadakan
penggeledahan. Aku tidak mau ditangkap dan dituduh sebagai pengedar barang-barang ilegal itu.
Okay. Trims atas bantuan ente. Tapi awas, ente jangan mangkir lagi. Lalu Ton, ayo kita cabut dari
sini.

Klik, kumatikan rekaman. Sekali lagi kulihat arloji yang melingkar di pergelangan tangan. Ah, hari
sudah pagi. Aku menuju ke personal komputer, Laptop, untuk menulis sebuah feature. Feature itu
kuberi judul Sebuah Sindikat Pengedar Narkoba Siap Menjalankan Aksinya. Ah, judul ini terlalu
eksplisit dan bombastis. Aku ubah judul itu menjadi Gerilya di Bawah Tanah, Strategi Setan Merah.
Di layar monitor kubaca berulang-ulang konsep feature itu.
GERILYA DI BAWAH TANAH, STRATEGI SETAN MERAH
Orang-orang yang biasa hidup di dunia maya, yang biasa menghirup asap kenikmatan, mereguk pil
koplo, menghisap sabu-sabu dan menyuntikkan cairan setan ke pangkal lengan adalah setan-setan

merah yang siap bergentayangan. Seperti setan, aksi dan sepak terjang mereka sulit dilacak dan
dikuak. Sebuah sindikat pengedar narkoba yang disinyalir menjadi boron aparat kepolisian masih
terus menjalankan bisnisnya. Bisnis itu dikemas dan diatur dengan rapih.
Teknik dan strategi yang mereka lakukan memang cukup profesional. Begitu prefesionalnya, mereka
berhasil menyusupkan kader-kadernya ke berbagai lapisan yang dianggap strategis: Bea Cukai,
Kehakiman, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, dan Kepolisian Republik Indonesia. Mereka
menyisihkan dana untuk menyekolahkan anggota sindikatnya dan setelah lulus mereka susupkan di
berbagai instansi itu. Di berbagai instansi strategis itu, anggota sindikat dapat memainkan peranan
dalam memperlancar peredaran narkoba. Dalam bisnis ini, tampaknya uang menjadi raja. Raja yang
mampu membeli apa saja: jabatan, kedudukan, atau menyulap kemiskinan menjadi jutawan.Dari
berbagai sumber yang bisa dipercaya, mereka, para sindikat itu, merencanakan pesta besar-besaran
di sebuah diskotek terkenal di kawasan ibu kota Sabtu pekan depan.
Aparat kepolisian yang selama ini berusaha memburu aksi para setan itu, selalu menangkap ruang
hampa. Setiap tempat yang dicurigai tiba-tiba berubah menjadi ajang pertengkaran tanpa ada ujung
dan pangkalnya. Sebabnya cuma satu: aparat kepolisian selalu kehilangan barang bukti untuk
memberangus mereka. Mereka, para setan itu, dengan leluasa lenyap di keremangan malam. Atau
mereka dengan pintar menyembunyikan barang bukti di sembarang tempat. Ketika setan pengedar
narkoba itu berjenis kelamin wanita, ia tak segan-segan memasukkan barang haram itu ke dalam
celana dalam, BH, atau di sela-sela pantatnya. Polisi mana yang tega mengobok-obok celana, BH,
atau pantat wanita? Sungguh keterlaluan.
Di suatu tempat, pada kawasan yang tersembunyi, para pengedar narkoba sedang melakukan siasat
melakukan bisnis. Sang Boss, yang dinyatakan sebagai buron, menyampaikan strategi pemasaran di
bawah tanah. Mereka menamakan strategi itu sebagai gerilya di bawah tanah. Di tangan sang Boss,
seperti biasanya tergenggam sebuah peta, intruksi, dan rambu-rambu yang harus dilakukan oleh
anak buahnya. Di dalam peta itu tergambar dengan jelas aliran peredaran narkoba, lengkap dengan
denah lokasi, pengedar, dan sasaran yang dijadikan bisnis. Untuk Rawa Badak, penanggung
jawabnya adalah Tommy dan dibantu oleh Antony. Barang yang harus mereka siapkan adalah
ekstasi, putauw, dan ganja. Untuk daerah Rawa Bangkai penanggung jawabnya ialah Pingkai yang
dibantu oleh Binjai. Untuk daerah Rawa Belong penanggung jawabnya adalah Dieche dan dibantu
oleh Riechi. Begitu seterusnya. Setiap kawasan ada penanggung jawab dan pembantu dalam
melakukan gerilya.
Tommy dan Antony kudu ekstra hati-hati. Selain Rawa Badak, yang jadi tempat utama bisnis kita
adalah Diskotek Antique. Di sana ada Maya, anakku yang barangkali siap membantu. begitu antara
lain instruksi sang Boss.
Gerilya di Rawa Bangkai masih realtif aman dilakukan. Namun, kalian berdua Pingkai dan Binjai,
kewaspadaan adalah jaminan keselamatan. Tetap waspada dan berhati-hatilah, sebab sekarang ini
telah banyak polisi berambut gondrong yang menyamar sebagai pembeli. Selain itu, GRANAT siap
melibatkan warga masyarakat. Jadi, berhati-hatilah.
Dan kau berdua, Dieche dan Reichi. Kalian harus lebih hati-hati lagi. Kecerobohan yang kalian
lakukan beberapa hari lalu jangan lagi terulang. Kecerobohan tidak hanya akan mendatangkan
petaka bagi kalian berdua, tetapi juga merupakan alamat kiamat bagi bisnis kita. Pendeknya,
dengan berbagai cara kalian harus bisa mengecoh sepak terjang aparat kepolisian dan GRANAT itu.
Sepak terjang sindikat setan merah yang lincah perlu dikenal luas oleh warga masyarakat ibu
kota....
Sampai di sini aku berhenti menulis feature tentang sindikat peredaran narkoba. Mataku terasa
berat dan kelelahan terasa tak tertanggungkan. Kuminum segelas kopi yang kuseduh sendiri.
Mataku sedikit terbuka, namun terasa aku kurang bergairah meneruskan feature yang belum
kurampungkan. Kubiarkan Laptop tetap menyala. Perhatianku beralih pada Catatan Harian Maya.
Catatan Harian Maya itu benar-benar telah mengusik pikiranku. Aku kembali membuka dan
membacanya.
Kamar Pribadi, 25 Desember 2001.
HIDUP SEMAKIN KUYUP
Natal telah tiba. Di hari kelahiran Kristus yang dikeramatkan oleh kaum kristiani ini, bagi keluargaku
merupakan hari kelahiran berbagai kesedihan. Ayah dinyatakan sebagai buron. Ayah lari dari
kejaran polisi, lari dari tanggung jawab keluarga, lari dari kenyataan dengan aneka narkotika dan
obat-obat terlarang. Gambar ayah yang disinyalir sebagai bandar narkoba, hampir setiap hari
terpampang di berbagai penerbitan seperti koran, majalah, atau bahkan di tabloit dan di brosurbrosur yang sengaja diperbanyak oleh aparat kepolisian dengan tulisan yang dicetak tebal dan
besar: DICARI! PENGEDAR NARKOBA KELAS KAKAP. SIAPA SAJA MENGETAHUI KEBERADAAN
BANDAR NARKOBA YANG GAMBARNYA TERPAJANG INI, DIMINTA SEGERA MENGHUBUNGI APARAT
KEPOLISIAN SETEMPAT.

Hidup terasa kiamat. Aneka tulisan dan gambar ayah di berbagai penerbitan itu telah meneror
ketenangan kami. Meneror hatiku yang kian membiru. Kedamaian di rumah ini lenyap bersama
kaburnya ayah. Ibu sering terusik setiap membaca koran atau menyaksikan pemberitaan TV.
Tekanan darah ibu naik, naik, dan naik hingga puncaknya ibu memanen stroke. Beruntung, pihak
kepolisian tidak sempat melacak alamat rumah kami di Jogja. Seandainya pihak aparat berhasil
mencium alamat rumah ini kukira kiamat berada di ambang pintu. Brosur-brosur dan pemberitaan
itu telah meneror keluarga ini.
Hatiku terasa diiris-iris menghadapi kenyataan bahwa ayah yang selama ini merupakan tumpuan
harapan keluarga ternyata dinyatakan sebagai seorang buron. Ah, alangkah pedih dan perih
menerima kenyataan itu. Sungguh, di mataku sosok ayah selama ini adalah seorang yang penuh
perhatian kepada keluarga, mencukupi setiap kebutuhan, dan bertanggung jawab. Tetapi, kenyataan
bahwa ayah dinyatakan sebagai buron kelas kakap meruntuhkan rasa simpati dan kepercayaanku
selama ini. Batinku sungguh tersiksa menghadapi kenyataan pahit ini. Tetapi yang lebih tersiksa
adalah ibu. Setiap menghadapi teror media massa dan brosur itu, ibu tampak gemetaran menahan
emosi yang meluap-luap. Akibat dari semua itu fatal bagi ibu. Ibu jatuh sakit. Ibu tak lama setelah
itu terpaksa harus opname di rumah sakit lantaran komplikasi stroke, darah tinggi, dan penyakit
hati. Adik-adikku yang sedang studi di kota Jogjakarta terpaksa harus bekerja untuk menambah
keperluan studi dan beaya hidupnya.
Aku sebagai anak tertua terpaksa mencari pekerjaan. Kutinggalkan kota Jogja. Aku menuju Jakarta
untuk mencari pekerjaan. Mencari pekerjaan di kota besar seperti Jakarta ternyata tidaklah
gampang. Pencari kerja sedikitnya harus punya pengalaman atau keterampilan khusus. Jakarta
ternyata adalah raksasa yang dengan keangkuhannya mempermainkan aku. Dibantingnya aku di
bumi yang keras. Dilambungkannya aku ke angkasa dan setelah itu dicampakkannya nasibku di
sepanjang jalan, gang, dan lorong-lorong gelap kehidupan. Beruntung aku punya sedikit bakat
menyanyi. Itulah sebabnya aku jadi pramuria di diskotek Antique merangkap sebagai pramusaji bagi
para tamu yang mengunjungi diskotek. Pimpinan diskotek mewanti-wanti agar penampilanku tidak
mengecewakan. Aku diminta menjunjung prinsip yang dijadikan motto diskotek Antique, bahwa
TAMU ADALAH RAJA.
Hari pertama bekerja di diskotek Antique adalah hari yang menyiksa. Entah apa sebabnya, setiap
lelaki yang mengunjungi diskotek ini memiliki mata liar setiap memandang aku. Aku di hadapan
mereka seperti kelinci yang sulit menghindarkan diri dari terkaman serigala. Serba salah. Salah
tingkah. Perjuanganku saat itu ialah bagaimana sekeras mungkin menghindarkan diri dari setiap
ajakan tamu yang oleh pimpinan diskotek harus dipandang sebagai RAJA. Ah, ternyata jadi
permaisuri itu tidak selalu menyenangkan. Padahal sewaktu kecil sering kubayangkan betapa
enaknya menjadi permaisuri yang duduk di samping raja.
Pernah kuimpikan bisa hidup penuh kedamaian, kenyamanan, dan ketenangan. Semua impian itu
harus terkubur dalam-dalam ketika serangkaian peristiwa pahit harus menimpa keluarga ini. Pernah
kubayangkan bahwa bekerja sebagai pramuria dapat menjanjikan masa depan, mencukupi
kebutuhan pengobatan ibu, dan membantu beaya kuliah adik-adikku. Tetapi, ah, semua itu cuma
fatamorgana semata. Maya! Kecuali jika aku mau melayani keinginan para tamu seperti Bella, Sinta,
Malla, atau Bellina, maka taburan uang memang lumayan mudah diperoleh. Tetapi, aku lebih
memilih hidup bersih, tanpa noda-noda gelora nafsu yang menggebu dari para tamu yang
mengunjungi diskotek ini. Aku lebih memilih menjauhkan diri dari asap rokok, gulungan ganja,
kristal-kristal merah, dan jarum-jarum neraka itu. Tentang narkoba, biarlah ayah yang tergoda.
Bagiku, cukuplah bila ada orang lain mau menghormatiku.
Beruntung beberapa hari yang lalu aku berkenalan dengan Mas Busyet Kertadjaja, seorang
wartawan dan sekaligus seorang sastrawan. Di hadapan Busyet Kertadjaja aku merasa menjadi
orang. Setidak-tidaknya aku merasa punya harga diri. Lebih-lebih ketika Busyet Kertadjaja
menawarkan jasanya untuk membawa goresanku ke penerbit. Tawarannya itu bagiku sungguh
melegakan. Dengan royalty buku cerita itu, harapanku cuma satu: bisa membiayai operasi ibu dan
membantu beaya kuliah adik-adikku. Tetapi, entah kenapa, telah setahun tidak ada kabar tentang
penerbitan buku cerita itu. Busyet Kertadjaja pun tidak kuketahui di mana rimbanya.
Aku kaget membaca goresan Maya Gita. Ia menyebut sebuah nama: Busyet Kertadjaja. Busyet
Kertadjaja adalah sahabat karib yang profesinya seperti aku, yakni sama-sama tertarik hidup di
dunia penulisan. Aku jadi teringat pada janjiku untuk mengantarkan Catatan Harian ke penerbit.
Sebelum ini Busyet Kertadjaja juga telah menjanjikan penerbitannya. Tetapi, tampaknya usaha
Busyet Kertadjaja itu kandas lantaran cerita Maya Gita ini tergolong keras. Kukira, tidak ada satu
pun penerbit yang mau menerbitkan cerita sekeras ini. Era reformasi yang tengah bergulir tidak
menjamin setiap penerbit mau menerbitkan cerita realita yang pahit. Kulihat weker di atas meja
menunjukkan waktu pukul 12.15. Ah, malam telah larut. Aku harus tidur. Tapi mata ini tak mau
dipejamkan. Janjiku untuk mengantarkan Catatan Harian ke penerbit merupakan siksaan tersendiri

bagiku. Catatan Harian hasil goresan Maya Gita benar-benar telah mengacau-kan pikiranku.

4
Aku, Maya, dan Satu Dunia
S
EDAPNYA kopi pagi hari yang diseduh oleh tangan-tangan kasih. Kureguk kopi sekali lagi. Maya dan
aku duduk di sofa cokelat tua yang di beberapa bagiannya telah dijahit. Seperti telah kuceritakan
pada bagian yang lalu, kali ini aku kembali mengedarkan pandanganku ke segenap ruangan rumah
kontrakan Maya Gita. Di dinding sebelah kiri kulihat sebuah lukisan sepasang kuda yang secara
ekspresif dan impresionis menggambarkan pergolakan dua nafsu yang oleh budaya China disebut
Yin dan Yang: nafsu jahat berperang melawan kemauan baik. Dua nafsuyang saling berlawanan itu
disimbolisasikan dengan seekor kuda berwarna merah dan kuda yang lain berwarna biru. Seperti
pernah kuceritakan, kedua kuda itu sedang bergulat pada latar kelabu yang berdebu.
Pandanganku bergeser ke arah kanan. Tepat di sudut ruangan, seperti beberapa hari yang lalu, aku
lihat koleksi benda-benda bernilai seni tinggi. Selain lukisan kuda itu, masih berada pada posisi
semula lukisan Matahari karya Affandi yang ekspresif, lukisan potret Perempuan karya S. Sudjojono
yang naturalis, lukisan batik dan kaligrafi Amri Yahya yang mempesona. Beberapa koleksi baru
berupa keramik China, poster Harry Porter, dan Meteor Garden, kulihat bersanding dengan topeng
karya Danarto terpajang simetris bersanding dengan beberapa patung Asmat lengkap berbagai
aksesori dari berbagai daerah Jogja, Bali, Aceh, Papua, pedalaman Kalimantan. Semuanya tertata
dengan harmonis.
Di sebelah kanan tempat aku duduk, seperti dulu, kulihat rak buku. Maya melangkah menuju rak
buku dan membawa koleksi terbaru: Malam Tamansari (Buku Kumpulan Puisi, terbitan Yayasan
untuk Indonesia, 2000), Mengenal Sosok Amri Yahya sebagai Seniman (Pidato Promotor pada
Penganugerahan Gelar Kehormatan Doctor Honoris Causa kepada Amri Yahya di Universitas Negeri
Yogyakarta, 2001), dan Berkenalan dengan Puisi (Diterbitkan oleh Gama Media, 2002) semuanya
ditulis oleh Prof. Dr. Suminto A. Sayuti; Sekilas kubaca Cara Menulis Kreatif yang disusun oleh
Jabrohim, Chairul Anwar, dan Suminto A. Sayuti. Aku memeriksa koleksi terbaru itu. Aku dan Maya
lantas mendiskusikan Malam Tamansari hingga larut malam. Aku memilih sebuah puisi berjudul
Larut Malam di Sebuah Persinggahan pada halaman 25. Puisi itu kubacakan di hadapan Maya.
Maya dengan penuh kesabaran dan antusias menyimak larik-larik puisi goresan Empu Sastra dari
Jogja:
sepotong bulan. Rimbun dedaunan
menyala harapan. Entah sejak kapan
swara kutut kerasukan
dan desah petualang terbanting ditelan kehidupan
ada sosok bayang dibalik kabut
sepotong ampak yang menggenggam rahasia
larut malam di sebuah persinggahan
betapa aku merasa tua dan kelelahan
sebagai Adam tempo hari telanjang dan tersia
sia-sia mencari suaka dan pengampunan
Balong, 1980
Usai pembacaan puisi itu, Maya dan aku sama-sama merasa hidup dalam satu dunia. Dunia maya,
dunia ilusi, dunia fatamorgana. Isi, nuansa, dan bobot persoalan yang diungkapkan oleh penyair
terasa pas dengan beban masalah yang kini harus kami pecahkan. Aku dan Maya tidak lain adalah
Adam dan Hawa yang sia-sia mendapatkan suaka pengampunan. Sebagai manusia, aku dan Maya
sama-sama merasa kecil dan tidak berdaya menghadapi luasnya kehidupan. Kami berdua sejatinya
merindukan sepotong bulan, Rindu dedaunan, menyala harapan. Aku dan Maya saat ini serupa
petualang yang terbanting ditelan kehidupan. Karena hidup dalam satu dunia, aku dan Maya
sedang terobsesi untuk menulis Biografi Ayah Maya yang berdarah-darah. Ayah Maya yang menjadi
buron pengedar narkoba adalah sosok bayang dibalik kabut atau sepotong ampak yang
menggenggam rahasia. Dalam bayangan gelap malam yang larut ini, aku dan Maya seakan berada
di sebuah persinggahan. Aku dan Maya merasa sama-sama kelelahan seperti Adam dan Hawa yang
terbanting ke dunia yang begitu ganasnya. Sebuah dunia yang dihuni oleh berbagai macam sifat dan

karakter manusia.
Malam telah larut, bahkan terlalu larut, tak terasa aku telah larut dalam diskusi panjang seharisemalam. Aku dan Maya makin larut ke dalam perbincangan yang berlarat-larat, dari soal politik,
ekonomi, masalah HAM, gerakan feminimisme, terorisme kreasi Amerika, hingga soal-soal yang kini
sedang kukumpulkan bahan-bahannya: peredaran narkoba, lengkap dengan pernik-perniknya.
Ketika Maya menyiapkan kopi susu ke belakang, kembali kubuka Catatan Harian Maya.
Jakarta, 1521 Mei 2002.
REFLEKSI 4 TAHUN REFORMASI
JALAN MACET. Ribuan pengunjuk rasa dari berbagai LSM, BEM MAHASISWA, SPSI, KONTRAS, LBH,
LASKAR JIHAT, GRANAT dan lain-lain lengkap dengan aksesori dan spanduk melakukan orasi di
sepanjang jalan. AKSI DAMAI, begitu tulisan pada ikat kepala para pengunjuk rasa. Apa yang
mereka tuntut kali ini? Mataku mulai membaca aneka tulisan pada spanduk, kertas karton, dan
kardus bekas. Pada kain spanduk yang dikerjakan dengan rapih tercetak dengan tegas aspirasi:
USUT & TUNTASKAN TRAGEDI TRISAKTI-SEMANGGI. JANGAN BIARKAN REFORMASI MATI. SERET
PARA JENDERAL KE MAHKAMAH INTERNASIONAL. RAKYAT TIDAK BUTUH KEKERASAN. RAKYAT
BUTUH KEDAMAIAN. GANYANG NARKOBA.
Tulisan-tulisan itu dengan tegas dan keras terpahat di spanduk-spanduk yang dilihat dari cara
penggarapannya tampak mewah dan profesional. Tampaknya penyandang dana, entah siapa
mereka, rela menyisihkan hartanya untuk membiayai sebuah aksi. Spanduk-spanduk itu dipajang di
badan mobil mewah, truk, dan sebagian diusung oleh para pengunjuk rasa. Dari arak-arakan
kendaraan, kualitas spanduk, dan berbagai kelengkapan yang dibawa oleh para pengunjuk rasa,
secara langsung mengabarkan bahwa dana dan beaya sebuah perjuangan tidaklah murah, begitu
pikirku.
Pada sebuah keranda yang diusung pengunjuk rasa terbaca: NURANI TELAH MATI. INNA LILAHI WA
INNA ILAIHI ROJIUN. Di belakang keranda yang diusung itu para pengunjuk rasa membentangkan
spanduk yang bertuliskan: WAKIL RAKYAT BUKAN PADUAN SU

Anda mungkin juga menyukai