Anda di halaman 1dari 36

Dari 129 gunungapi yang ada di wilayah Indonesia Gunung Merapi termasuk yang paling aktif.

Merapi adalah gunungapi dengan tipe Strato-volcano dan secara petrologi magma Merapi
bersifat andesit-basaltik. Menjulang setinggi 2978 m di jantung pulau Jawa, Merapi
mempunyai diameter 28 km, luas 300-400 km2 dan volume 150 km3. Posisi geografis Merapi
7o 32 5" S ; longitude 110o 265" E. mencakup wilayah administratif Propinsi Jawa Tengah
dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Merapi terbentuk secara geodinamik pada busur kepulauan
akibat subduksi pertemuan lempeng Indo-australia dengan lempeng Asia. Dinamika erupsi
Merapi umumnya didahului pertumbuhan kubah lava diikuti guguran awanpanas, guguran lava
pijar dan jatuhan piroklastik. Bahaya utama yang mengancam sekitar 40.000 jiwa yang tinggal
di Kawasan Rawan Bencana adalah Pyroclastic Flow atau aliran awanpanas di samping bahaya
sekunder lahar yang dapat terjadi pada musim hujan. Erupsi Merapi termasuk sering dalam 100
tahun terakhir ini rata-rata terjadi sekali erupsi dalam 2-5 tahun. Di luar ancaman bencana yang
sewaktu-waktu bisa terjadi, Merapi memiliki aspek sosial dan ekonomis yang penting bagi
kemajuan wilayah sekitarnya. Material erupsi Merapi seperti pasir dan batu menjadi penunjang
pembangunan di Yogyakarta dan Jawa Tengah demikian juga halnya dengan produk pertanian
yang dihasilkan di lereng Merapi dan majunya perkembangan wisata yang mendukung
tumbuhnya ekonomi setempat.
Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) dibentuk
berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor : 1723 Tahun 2002
tentang Organisasi dan Tata Kerja DESDM. BPPTK merupakan Unit Pelaksana Teknis (eselon
III) di lingkungan Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral yang berada di bawah
dan bertanggungjawab kepada Direktur Vulkanologi dan Mitigasi Bencana
Geologi. Perkembangan selanjutnya berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral Nomor 0030 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Energi dan
Sumber Daya Mineral, menetapkan BPPTK berada di bawah dan bertanggungjawab kepada
Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Sebagai Unit Pelaksana Teknis
(UPT) di lingkungan Badan Geologi, BPPTK merupakan Satuan Kerja yang diberi
kewenangan mengelola DIPA dan dalam kerangka pelaksanaan tugas fungsi serta kebijakan
organisasi pembinaannya berada di bawah Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana
Geologi.
Secara garis besar ada tiga tugas pokok BPPTK yaitu melaksanakan mitigasi Gunung Merapi,
pengembangan metoda dan analisis, teknologi dan instrumentasi serta pengelolaan sarana dan
prasarana laboratorium kegunungapian dan mitigasi bencana geologi disamping tugas umum
ketata-usahaan lainnya.
Berdasarkan kebijakan teknis Direk tur Vulkanologi (pasal 2, Bab I Keputusan Menteri
Pertambangan dan Energi no.1977 tahun 1997) maka nama kantor diganti kembali menjadi
Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) yang masih
beralamatkan di jalan Cendana No.15 tersebut sampai sekarang, dengan tugas melakukan
penyelidikan, pengembangan metoda dan teknologi dibidang kegunungapian serta pengelolaan
laboratorium alam Gunung Merapi.

BPPTK mempunyai beberapa stasiun pengamat visual di sekitar Merapi yaitu pos Pengamat
Babadan, Kaliurang, Ngepos dan beberapa peralatan yang dipasang di daerah kawasan Gunung
Merapi.
Secara garis besar kantor tersebut berfungsi sebagai pemantau segala gejala-gejala ataupun
aktivitas yang ditimbulkan oleh gunung tersebut. Pengamatan tersebut sangat perlu, guna
meghindari kemungkinan adanya bahaya dari gunung baik berupa letusan, lahar panas, maupun
bahaya akan timbulnya awan panas. Bahaya tersebut dapat menimpa masyarakat dan
kehidupan di sekitarnya apabila tidak diketahui secara dini.
Setelah diketahui akan adanya bahaya tersebut melalui pemantauan maka langkah selanjutnya
yaitu memberikan tanda berupa peringatan melalui pos penjagaan yang berupa himbauan
ataupun sirine yang berada di stasiun stasiun yang berada di desa-desa di sekitar gunung yang
diperkirakan terjadi bahaya tersebut.
2. STRUKTUR ORGANISASI
BPPTK merupakan Unit Pelayanan Teknis (UPT) di bawah Direktorat Vulkanologi dan
Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG), di bawah Direktorat Jendral Geologi dan Sumber Daya
Mineral (GSDM), di bawah Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (DESDM). BPPTK
dalam menjalankan fungsinya memiliki beberapa bagian yaitu:
1.
2.
3.
4.

Tata Usaha
Seksi Gunung Merapi
Seksi Metoda dan Teknik Mitigasi
Seksi Pelayanan Laboratorium

3. Karyawan Inti BPPTK


Balai Penyelidikan dan
beberapa bagian,yaitu:

Pengembangan

Teknologi

Kegunungapian

memiliki

Bagian Tata Usaha


Bagian Tata Usaha BPPTK memiliki tugas melakukan urusan kepegawaian, keuangan,
inventaris
, penyusunan
program, laporan,
publikasi dan peragaan,surat
menyurat,kearsipan,perpustakaan,perlengkapan,perawatan dan urusan rumah tangga Balai
Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Keugungapian.
Seksi Pengembatan Metoda dan Teknologi Kegunungapian
Seksi Pengembangan Metoda dan Teknologi Kegunugapian memiliki tugas melakukan
penyusunan program-program pengembangan metode dan teknologi mitigasi.
Kelompok Jabatan Fungsional

Kelompok Jabatan Fungsional ini memiliki tugas melakukan penelitian dan penyelidikan,
rancang bangun, pengembangan dan menerapkan teknologi kegunungapian dan melaksanakan
tugas lain sesuai dengan tugas dan fungsi BPPTK.Kelompok Jabatan Fungsional ini
terdiri:Perekayasa,Teknisi Penelitian dan Perekayasaan,pengamat gunung api dan Jabatan
Fungsional lainnya yang terbagi dalam berbagai kelompok sesuai dengan bidang keahliannya.
Seksi Gunung Merapi
Seksi Gunung Merapi ini bertugas melakukan :

Pemantauan aktivitas Gunung Merapi


Perawatan peralatan pemantauan Gunung Merapi
Penyuluhan kepada masyarakat di sekitar Gunung Merapi tentang bahaya gunungapi
dan upaya penyelamatan diri.
Menentukan status tingkat aktivitas Gunung Merapi
Pengelolaan laboratorium alam Gunung Merapi

Seksi Pelayanan Laboratorium


Seksi Pelayanan Laboratoriumini bertugas:

Melakukan analisis bahan-bahan / sampel-sampel berupa batuan, air, dan gas yang
dihasilkan oleh gunung api dari seluruh gunung api di Indonesia.
Melayani permintaan analisis batuan, air, dan gas untuk penelitian.
MITIGASI BENCANA GUNUNGAPI
Pendahuluan
Indonesia adalah negeri yang rawan bencana geologis gempabumi, tanah longsor,
erupsi gunungapi, dan tsunami. Sebagai konsekuensi kewajiban negara untuk
melindungi rakyatnya maka pemerintah diharapkan mengambil langkah-langkah yang
tepat untuk mengurangi risiko dan mempunyai rencana keadaan darurat untuk
meminimalkan dampak bencana. Saat ini telah tersedia undang-undang tentang
penanggulangan bencana nasional yaitu UU Nomor 24 Tahun 2007. Undang-undang
tersebut berfungsi sebagai pedoman dasar yang mengatur wewenang, hak, kewajiban
dan sanksi bagi segenap penyelenggara dan pemangku kepentingan di bidang
penanggulangan bencana. Menurut UU No.24 2007 tersebut, penyelenggaraan
penanggulangan bencana dalam situasi terdapat potensi terjadi bencana meliputi: (a)
kesiapsiagaan
(b)
peringatan
dini
dan
(c)
mitigasi
bencana.
Kesiapsiagaan dilakukan untuk memastikan upaya yang cepat dan tepat dalam
menghadapi kejadian bencana yang dapat dilakukan melalui (a) penyusunan dan uji
coba rencana penanggulangan kedaruratan bencana (b) pengorganisasian, pemasangan,
dan pengujian system peringatan dini (c) penyediaan dan penyiapan barang pasokan
pemenuhan kebutuhan dasar (d) pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan, dan gladi

tentang mekanisme tanggap darurat (e) penyiapan lokasi evakuasi (f) penyusunan data
akurat, informasi, dan pemutakhiran prosedur tetap tanggap darurat bencana dan (g)
penyediaan dan penyiapan bahan, barang, dan peralatan untuk pemenuhan pemulihan
prasarana
dan
sarana.
Peringatan dini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf b dilakukan untuk
pengambilan tindakan cepat dan tepat dalam rangka mengurangi risiko terkena bencana
serta mempersiapkan tindakan tanggap darurat. Peringatan dini sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan melalui : (a) pengamatan gejala bencana (b) analisis hasil
pengamatan gejala bencana (c) pengambilan keputusan oleh pihak yang berwenang (d)
penyebarluasan informasi tentang peringatan bencana dan (e) pengambilan tindakan
oleh
masyarakat.
Mitigasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf c dilakukan untuk mengurangi
risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana yang dapat
dilakukan melalui berbagai cara termasuk pelaksanaan penataan ruang, pengaturan
pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata bangunan dan tak kalah penting adalah
penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secara konvensional
maupun modern. Mitigasi bencana gunungapi dalam pengertian yang lebih luas bisa
diartikan sebagai segala usaha dan tindakan untuk mengurangi dampak bencana yang
disebabkan oleh erupsi gunungapi. Mengingat begitu banyak gunungapi yang ada di
wilayah Indonesia dan padatnya penduduk yang bermukim di sekitarnya maka bencana
erupsi gunungapi dapat terjadi sewaktu-waktu. Berdasarkan tugas dan fungsinya Pusat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi termasuk BPPTK sebagai salah satu
unitnya turut berperan dalam manajemen krisis bencana erupsi. Pada fase Pra-kejadian
peranannya dapat meliputi langkah-langkah penilaian risiko bencana, pemetaan daerah
kawasan rawan bencana, pembuatan peta risiko dan membuat simulasi skenario
bencana. Tindakan lain yang perlu dilakukan adalah pemantauan gunungapi dan
menyusun rencana keadaan darurat. Adapun pada saat fase kritis maka sudah harus
dilakukan tindakan operasional berupa pemberian peringatan dini, meningkatkan
komunikasi dan prosedur pemberian informasi, menyusun rencana tanggap darurat
yang berupa penerapan dari tindakan rencana keadaan darurat dan sesegera mungkin
mendefinisikan perkiraan akhir dari fase kritis.

Peringatan

Dini

Sistem ini berfungsi untuk menyampaikan informasi terkini status aktivitas Merapi dan
tindakan-tindakan yang harus diambil oleh berbagai pihak dan terutama oleh
masyarakat yang terancam bahaya. Ada berbagai bentuk peringatan yang dapat
disampaikan. Peta Kawasan Rawan Bencana sebagai contoh adalah bentuk peringatan
dini yang bersifat lunak. Peta ini memuat zonasi level kerawanan sehingga masyarakat
diingatkan akan bahaya dalam lingkup ruang dan waktu yang dapat menimpa mereka
di dalam kawasan Merapi. Informasi yang disampaikan dalam sistem peringatan dini
terutama adalah tingkat ancaman bahaya atau status kegiatan vulkanik Merapi serta
langkah-langkah yang harus diambil. Bentuk peringatan dini tergantung pada sifat
ancaman serta kecepatan ancaman Merapi. Apabila gejala ancaman terdeteksi dengan
baik, peringatan dini dapat disampaikan secara bertahap, sesuai dengan tingkat
aktivitasnya. Tetapi apabila ancaman bahaya berkembang secara cepat, peringatan dini
langsung menggunakan perangkat keras berupa sirine sebagai perintah pengungsian.

Ada 4 tingkat peringatan dini untuk mitigasi bencana letusan Merapi yaitu Aktif
Normal, Waspada, Siaga dan Awas.
(1) Aktif Normal : Aktivitas Merapi berdasarkan data pengamatan instrumental dan
visual tidak menunjukkan adanya gejala yang menuju pada kejadian letusan.
(2) Waspada : Aktivitas Merapi berdasarkan data pengamatan instrumental dan visual
menunjukkan peningkatan kegiatan di atas aktif normal. Pada tingkat waspada,
peningkatan aktivitas tidak selalu diikuti aktivitas lanjut yang mengarah pada letusan

(erupsi), tetapi bisa kembali ke keadaan normal. Pada tingkat Waspada mulai dilakukan
penyuluhan di desa-desa yang berada di kawasan rawan bencana Merapi.
(3) Siaga: Peningkatan aktivitas Merapi terlihat semakin jelas, baik secara instrumental
maupun visual, sehingga berdasarkan evaluasi dapat disimpulkan bahwa aktivitas dapat
diikuti oleh letusan. Dalam kondisi Siaga, penyuluhan dilakukan secara lebih intensif.
Sasarannya adalah penduduk yang tinggal di kawasan rawan bencana, aparat di jajaran
SATLAK PB dan LSM serta para relawan. Disamping itu masyarakat yang tinggal di
kawasan rawan bencana sudah siap jika diungsikan sewaktu-waktu.
(4) Awas : Analisis dan evaluasi data, secara instrumental dan atau visual cenderung
menunjukkan bahwa kegiatan Merapi menuju pada atau sedang memasuki fase letusan
utama. Pada kondisi Awas, masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana atau
diperkirakan akan terlanda awan panas yang akan terjadi sudah diungsikan menjauh
dari daerah ancaman bahaya primer awan panas.
Sirine Peringatan Dini dan Komunikasi Radio
Peringatan dini sirine adalah suatu sistem perangkat keras yang berfungsi hanya pada
keadaan sangat darurat apabila peringatan dini bertahap tidak mungkin dilakukan.
Sirine dipasang di lereng Merapi yang dapat menjangkau kampung-kampung yang
paling rawan dan sistem ini dikelola bersama antara pemerintah Kabupaten
bersangkutan dengan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi dalam hal ini
adalah BPPTK. Sarana komunikasi radio bergerak juga termasuk dalam sistem
penyebaran informasi dan peringatan dini di Merapi. Komunikasi berkaitan dengan
kondisi terakhir Merapi bisa dilakukan antara para pengamat gunungapi dengan kantor
BPPTK, instansi terkait, aparat desa, SAR dan lembaga swadaya masyarakat khususnya
yang tergabung dalam Forum Merapi.

Diagram alir data dan informasi status aktivitas gunungapi

Penyebaran

Informasi

Penanggulangan bencana Merapi akan berhasil dengan baik apabila dilakukan secara
terpadu antara pemantauan Merapi yang menghasilkan data yang akurat secara visual
dan instrumental, peralatan yang modern, sistem peringatan dini, peralatan komunikasi
yang bagus dan didukung oleh pemahaman yang benar dan kesadaran yang kuat dari
masyarakat untuk melakukan penyelamatan diri. Pembelajaran kepada masyarakat
yang tinggal dan bekerja di daerah rawan bencana Merapi merupakan tugas yang secara
terus menerus harus dilakukan sesuai dengan dinamika perkembangan arah dan
besarnya ancaman yang bakal terjadi. Karena wilayah rawan bencana Merapi berada
pada teritorial pemerintah daerah maka kegiatan penyebaran informasi langsung
kepada masyarakat dilaksanakan atas kerjasama BPPTK dan instansi terkait. Sosialisasi
dilakukan tidak hanya dilakukan pada saat Merapi dalam keadaan status aktivitas yang
membahayakan, akan tetapi dilakukan baik dalam status aktif normal maupun pada
status siaga. Namun demikian pada keadaan aktivitas Merapi meningkat seperti ketika
aktivitas Merapi dinyatakan pada status Waspada dan atau Siaga menjelang terjadinya
krisis Merapi sosialisasi dilakukan lebih sering.
Sosialisasi status aktivitas dan ancaman bahaya Merapi pada intinya bertujuan untuk
menyampaikan, menjelaskan kondisi vulkanis Merapi untuk menjaga kesiapan segenap
aparat dan masyarakat dalam menghadapi peningkatan atau penurunan status aktivitas
Gunung Merapi. Sasarannya antara lain adalah menyampaikan kondisi aktivitas Merapi
terkini, menyampaikan makna dari status aktivitas yaitu Awas, Siaga, Waspada dan
Normal, menjelaskan jenis-jenis ancaman bahaya yang ada yaitu awan panas dan lahar
hujan dan menyampaikan tindakan-tindakan yang perlu dilakukan apabila status naik
atau turun.
Forum Merapi
Penanggulangan bencana memerlukan keterlibatan semua pihak sesuai dengan
kompetensinya masing-masing. Walaupun erupsi Merapi tergolong berskala kecil
namun melihat dekat dan padatnya penduduk dari ancaman bahaya awanpanas maka
potensi bencana Merapi tetap tinggi. Dengan tujuan menjembatani komunikasi dan
pelaksanaan kegiatan bersama guna mewujudkan pengelolaan Gunung Merapi secara
menyeluruh pada aspek ancaman, daya dukung lingkungan dan sosial-budaya
masyarakatnya maka pada 17 Desember 2007 di Yogyakarta, Bupati Klaten, Bupati
Boyolali, Bupati Magelang, Provinsi Jawa Tengah dan Bupati Sleman, Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta serta Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana geologi
(PVMBG) sepakat bekerja sama dalam "Forum Merapi" dalam rangka pengurangan
risiko Merapi. Adapun manfaat yang ingin dicapai adalah terwujudnya penguatan
kapasitas dan kinerja pemerintah kabupaten sebagai pemegang tanggungjawab utama
pengurangan risiko bencana. Terjalin kerjasama secara sinergi di lintas kabupaten dan
pelaku dalam pengelolaan ancaman, daya dukung lingkungan dan sosial-budaya
masyarakat lereng Gunung Merapi.
Forum Merapi merupakan wadah bersama untuk menyatukan kekuatan, menyelaraskan
program dan menjembatani komunikasi antar pelaku dalam kegiatan bersama untuk
aksi pengurangan risiko bencana letusan G. Merapi serta menjaga kesinambungan daya
dukung lingkungan bagi masyarakat sekitarnya. Perjanjian Kerja Sama "Forum
Merapi" telah disepakati pada 19 Desember 2008 di Pos Pengamatan Babadan, Desa

Krinjing, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. Kesepakatan kerjasama "Forum


Merapi" berdasarkan pertimbangan kesadaran pentingnya kerja sama untuk
mengurangi risiko bencana sebagaimana dirintis sejak 26 Mei 2006 di kantor Badan
Koordinator II Magelang oleh pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Magelang, Kabupaten Klaten,
Kabupaten Sleman, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Paguyuban
Siaga Gunung (PASAG) Merapi, Pusat Studi Manajemen Bencana Universitas
Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta, serta didukung oleh Oxfam Great
Bratain (GB), Deutsche Gesselschaft for Technische Zusammennabeit (GTZ), United
Nations Children's Fund (UNICEF), dan United nation Development Programme
(UNDP).
Wajib Latih
Penanggulangan bencana termasuk di dalamnya adalah upaya mengurangi resiko
bencana yang meliputi kegiatan pencegahan, mitigasi, kesiap-siagaan, penyelamatan
dan pemulihan. Kegiatan penanggulangan bencana merupakan satu kesatuan aktivitas
yang melibatkan semua komponen masyarakat dan aparatur melalui koordinasi dari
tingkat lokal sampai nasional. Peningkatan kapasitas kelembagaan maupun kapasitas
masyarakat merupakan hal mutlak penting demi mengurangi resiko bencana. Dalam hal
peningkatan kapasitas kelembagaan formal pusat dan daerah sudah tersedia UU no 24
Tahun 2007 namun peningkatan kapasitas masyarakat untuk mitigasi bencana belum
terakomodai secara efektif. Konsep wajib latih muncul sebagai alternatif dalam rangka
pengurangan resiko bencana melalui rekayasa sosial peningkatan kapasitas masyarakat
di kawasan rawan bencana. Wajib latih adalah program berkesinambungan yang
diharapkan dapat membentuk budaya siaga bencana pada masyarakat. Tujuan wajib
latih adalah meningkatkan pengetahuan masyarakat akan potensi ancaman bencana,
menciptakan dan meningkatkan kesadaran akan resiko bencana. Sasaran wajib latih
adalah penduduk yang berada di kawasan rawan bencana berusia 17-50 tahun atau
sudah menikah, sehat jasmani dan rohani dan mendapat ijin keluarga. Penyelenggaraan
wajib latih dilakukan oleh instansi pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat
yang berkompeten di bidangnya dan dilakukan atas sepengetahuan pemerintah
setempat.

PEMANTAUAN
Gunungapi mempunyai dua sisi ibarat uang logam. Bila sisi gelap muncul maka yang terjadi
adalah bencana akibat erupsi namun di sisi lain sisi terang gunungapi memberi manfaat yang
luarbiasa bagi kehidupan manusia yaitu tanah yang subur, material hasil erupsi, sumber energi,
bentang alam yang menarik dan lain lain. Dengan semakin berkembangnya populasi manusia
di dunia ini maka semakin tumbuh habitat ke arah gunungapi yang meningkatkan risiko
ancaman bahaya. Dalam usaha melindungi kehidupan masyarakat pemukim di sekitar daerah
vulkanis diperlukan tindakan mitigasi yang salah satu dari aksinya adalah pemantauan aktivitas

vulkanik dengan harapan mampu mendeteksi tanda-tanda peningkatan bahaya sehingga


peringatan dini penyelamatan dapat diberikan.
Tujuan pemantauan adalah prediksi erupsi artinya bagaimana mengetahui kapan erupsi terjadi,
berapa lama erupsi berlangsung, dimana pusat erupsi dan bagaimana karakteristik erupsi.
Vulkanolog membuat ramalan berdasarkan sejarah geologi gunungapi bersangkutan serta
tanda-tanda dari hari ke hari yang diperoleh dari hasil pengamatan visual dan instrumental.
Dengan instrumen yang teliti dan analisis data yang baik pergerakan magma bawah permukaan
dapat diikuti dengan mengamati proses yang menyertainya diantaranya kegempaan dan
perubahan bentuk tubuh gunung dalam orde yang sangat kecil yang biasa disebut dengan
deformasi. Sebelum erupsi biasanya terdapat "Prekursor erupsi" yaitu suatu gejala awal berupa
perubahan-perubahan parameter fisika dan kimia yang terlihat secara visual maupun yang
terukur secara intrumental sebagai tanda aktivitas vulkanik sebelum erupsi. Untuk
menyimpulkan bahwa suatu perubahan fisika atau kimia sebagai prekursor erupsi terlebih
dahulu harus diketahui basis data pada masa gunungapi tidak aktif.
Proses erupsi dan berbagai "tanda" yang muncul menjelang erupsi begitu berbeda antara satu
gunungapi dengan lainnya bahkan pada gunungapi yang sama sekalipun. Pemantauan aktivitas
gunungapi apalagi pada saat aktivitas gunungapi meningkat harus melibatkan berbagai disiplin
ilmu dengan berbagai macam peralatan. Pemantauan gunungapi secara instrumentasi
memerlukan tahap-tahap pekerjaan mulai pemasangan, pemeliharaan dan penggantian
peralatan yang biayanya tidaklah murah. Secara sederhana pemantauan dapat dikategorikan
atas pemantauan dengan indera manusia langsung atau dengan peralatan instrumentasi.
Apabila magma naik menuju ke permukaan maka 4 tanda utama biasanya muncul sebagai
indikasi menjelang erupsi, yaitu : (1) Meningkatnya gempa-gempa vulkanik (2) deformasi di
permukaan akibat desakan magma (3) kenaikan flux gas-gas vulkanik dan (4) adanya
peningkatan suhu kawah
Merapi menarik ilmuwan dunia untuk riset karena tingkat aktivitasnya yang tinggi dan relatif
kontinyu. Periode erupsinya yang pendek pada era modern ini kira-kira antara 2 sampai 8 tahun
memungkinkan para ilmuwan menguji metoda dan peralatan dengan melihat data yang mereka
peroleh sebelum dan sesudah erupsi berlangsung. Merapi menjadi menarik karena banyak data
ilmiah yang dapat diperoleh di sini mulai dari komposisi gas gunungapi karena terdapat
beberapa lapangan solfatara di puncak, berbagai tipe dan jenis gempa, deformasi tubuh
gunungapi, kemagnetan bumi, perubahan medan gravitasi, perubahan potensial diri batuan dan
lain-lain.
Instrumen kontinyu pertama di Merapi adalah seismograf mekanik Wiechert yang dipasang
tahun 1924 di lereng barat 9 km dari puncak. Kemudian pada tahun 60-an bekerjasama dengan
Jepang dipasang seismograf Hosaka dengan telemetri kabel untuk melengkapi seismograf yang
sudah ada. Pada tahun 1982 dibangun jaringan seismograf short-period dengan menggunakan
sistem telemetri radio yang diterima di Kantor Seksi Penyelidikan Gunung Merapi di
Yogyakarta. Pada dekade 90-an merupakan era modern sistem monitoring Merapi dengan

diperkenalkannya akuisisi data secara digital yang meningkatkan ketelitian dan akurasi data
secara signifikan.
Perkembangan terkini sistem pemantauan adalah menggunakan wahana satelit. Sebagai contoh
pemantauan deformasi saat ini semakin berkembang dan dapat dilakukan secara spasial kuasi
kontinyu dibandingkan dengan pemantauan point to point yang sebelumnya banyak digunakan.
Pemantauan SO2 menggunakan satelit saat ini juga umum digunakan datanya oleh para
vulkanologis untuk menganalisis tingkat aktivitas suatu gunungapi. Mungkin yang paling
banyak mendapat manfaat dari penginderaan jauh adalah aspek visual vulkanisme seperti
bentuk morfologi gunungapi, berkembangnya kubah atau kawah, arah dan besar longsoran
yang terjadi, pusat tumbuh dan keluarnya lava dan parameter lain yang teramati secara visual.

Metoda pemantauan berdasarkan cara mendapatkan datanya bisa dibagi atas dua kategori yaitu
(1) metoda pemantauan secara kontinyu yang memerlukan sistem pengiriman data melalui
transmisi gelombang elektromagnetik. (2) Secara episodik data diambil melalui survei
lapangan pada waktu yang berlainan langsung di lokasi pengamatan.

Metoda dan teknik yang umum diterapkan untuk memantau aktivitas gunungapi. Pemantauan
kegempaan adalah metoda utama dalam sistem pemantauan dengan instrumentasi. Adapun
penginderaan jauh (remote sensing) saat ini berkembang pesat sebagai metoda pemantauan
yang pada masa depan menjanjikan akan menjadi andalan baru dalam sistem pemantauan
gunungapi.

Lokasi stasiun pengamatan lapangan di Merapi yang sedang dan pernah terpasang. Pada saat
rentang tahun 1995-2000 pemantauan Merapi mempunyai peralatan terlengkap dengan
berbagai macam metoda pemantauan secara telemetri berkat kerjasama dengan berbagai
institusi luar negeri. Data pemantauan ditelemetrikan ke BPPTK Yogyakarta.

KARAKTERISTIK GUNUNG MERAPI

SISTIM VULKANIS
Ada beberapa factor yang mempengaruhi karakteristik atau perilaku erupsi diantaranya : (1)
sifat magma termasuk komposisi kimia, kekentalan, kandungan gas dan air, (2) struktur dan
dimensi pipa saluran magma dan (3) posisi serta volume kantong magma yang menentukan
besarnya pasokan. Besarnya suplai magma dari zona yang lebih dalam adalah motor utama dari
aktivitas vulkanis dan yang membuat sistim vulkanis berjalan. Suplai magma Merapi dari
kedalaman terkait dengan sistim tektonik yaitu subduksi oleh tumbukan antara lempeng
samudera Indo-australia dan lempeng benua Asia. Dalam zona subduksi, pada kedalaman
antara 60-150 km, terjadi pelelehan karena tekanan dan suhu tinggi. Pelelehan tersebut
memproduksi magma asal, disebut juga magma primitif. Kedalaman zona pelelehan, tingginya
tekanan dan suhu mempengaruhi jenis atau komposisi kimia magma primitif. Tiga parameter
ini menyebabkan gunungapi-gunungapi di Indonesia mempunyai magma yang komposisinya
berbeda satu sama lain. Magma primitif akan bermigrasi menuju permukaan yang digerakan
oleh energi permukaan dari cairan hasil lelehan, faktor gravitasi dan efek tektonik. Dalam
proses migrasi magma sistim tektonik termasuk evolusinya merupakan faktor penting.
Aktivitas tektonik menghasilkan zona lemah yang memberi kemudahan bagi magma untuk
menerobos mencapai permukaan menjamin kontinuitas suplai magma. Konstelasi tektonik ini
juga yang memungkinkan, dua gunung yang berdekatan bisa berbeda keadaannya, misalnya
yang satu "mati", yang lain sangat aktif.
Erupsi Merapi terjadi relatif sering hal ini ditengarai karena faktor geometri internal system
vulkanis. Dari data kegempaan Merapi, tahun 1991 yang kaya gempa vulkanik dari berbagai
jenis terlihat bahwa distribusi gempa Merapi lateral tidak jauh dari garis vertikal puncak Merapi
ke bawah dan tidak tersebar luas. Pada kedalaman 1.5 - 2 km di bawah puncak tidak dijumpai
adanya hiposenter gempa, demikian pula pada kedalaman >5 km. Gempa volkano-tektonik
(VT) memerlukan medium yang solid dan bisa patah (brittle) sehingga zona-zona tidak terdapat
hiposenter dianggap zona yang lembek (duktil) karena pengaruh suhu tinggi magma.
Dalam proses perjalanan menuju ke permukaan magma memasuki zona tampungan magma,
dapat disebut sebagai kantong magma atau dapur magma bila ukurannya lebih besar. Di Merapi
terdapat dua zona tampungan magma yang menentukan sifat khas Merapi. Karena letaknya
relatif tidak jauh maka kenaikan tekanan di dapur magma akan menyebabkan aliran magma
menuju kantong magma di atasnya menyebabkan naiknya tekanan di sana. Dalam hal ini
kantong magma berfungsi sebagai katup bagi magma yang naik ke permukaan. Waktu tenang
antar erupsi di Merapi merupakan fase dimana terjadi proses peningkatan tekanan magma di
dalam kantong magma. Apabila tekanan melebihi batas ambang tertentu magma akan keluar
dalam bentuk erupsi explosive atau efusif berupa pembentukan kubah lava. Volume produk
yang dikeluarkan kira-kira sebesar 0.1% dari volume kantong/dapur magma. Produk erupsi
Merapi rata-rata 10 juta m3 dalam suatu erupsi, bahkan sering di bawah 4 juta m3 yang artinya
volume kantong magma relative kecil. Sangat kecil bila dibandingkan dengan Kilauea dan
Reunion yang dalam sekali fase erupsi mengeluarkan masingmasing >40 juta m3 dan 100 juta
m3 lava. Kantong magma dangkal di Merapi menyebabkan hanya dengan peningkatan tekanan

yang tidak terlalu besar sudah dapat mengalirkan magma cukup lancar sampai permukaan
tanpa perlu waktu panjang.

Gambar di atas menunjukkan penampang skematik dari struktur geometri internal Merapi.
Dimensi kantong magma (atas) dan dapur magma (bawah) adalah perkiraan.
TIPE ERUPSI
Erupsi adalah peristiwa keluarnya magma di permukaan bumi bisa dalam bentuk yang berbedabeda untuk setiap gunungapi. Erupsi bisa efusif yaitu lava keluar secara perlahan dan mengalir
tanpa diikuti dengan suatu ledakan atau eksplosif yaitu magma keluar dari gunungapi dalam
bentuk ledakan. Dalam erupsi yang eksplosif, terbentuk endapan piroklastik, sedang dalam
erupsi efusif terbentuk aliran lava. Secara garis besar ada tiga tipe/jenis erupsi yaitu: Hawaiian,
Strombolian dan Vulkanian. Istilah tipe hawaiian diambil dari kata Hawaii, pulau vulkanik di
tengah samudera Pasifik yang mempunyai gunung dengan tipe erupsi khas hawaiian. Dinamika
erupsi tipe hawaiian dicirikan dengan adanya erupsi lava cair berasal dari kawah dalam waktu
cukup lama. Lava yang membentuk erupsi tipe hawaiian ini berjenis basalt. Dari bentuk
fisiknya, gunung yang bertipe erupsi hawaiian mempunyai bentuk perisai, dalam arti bahwa
diam tubuh gunung jauh lebih besar dari tinggi gunung.
Istilah tipe strombolian diambil dari kata Stromboli, nama gunungapi di pulau Stromboli Italia
yang terletak di Laut Thyrene, Mediterania. Erupsi jenis strombolian dicirikan dengan erupsierupsi kecil dari gas dan fragmen-fragmen atau serpihan magma. Material yang diletuskan
jatuh kembali ke dalam kawah atau di sekitar bibir kawah. Pada saat terjadi erupsi yang lebih
besar, lava mengalir ke lereng di sekitarnya. Secara umum suatu gunungapi disebut bertipe
strombolian apabila dalam suatu erupsi material padat yang terhamburkan kurang lebih setara
dengan material yang mengalir sebagai aliran lava. Gunungapi tipe strombolian mempunyai

kawah, biasanya berbentuk lingkaran. Tubuh dan lereng gunung tersusun dari batuan skoria
hasil lontaran saat erupsi.
Istilah tipe vulkanian berasal dari nama gunung Vulcano yang terletak di kepulauan Lipar
Italia. Erupsi bersifat eksplosif dengan tingkat eksplosivitas dari lemah ke katastropik. Magma
yang membentuk erupsi tipe vulkanian bersifat antara basa dan asam (dari andesit ke dasit).
Erupsi vulkanian terjad karena lobang kepundan tertutup oleh sumbat lava atau magma yang
membeku di pipa magma setelah kejadian erupsi. Diperlukan suatu akumulasi tekanan yang
relatif besar untuk membuka lobang kepundan atau menghancurkan sumbat lava. Erupsi
melontarkan material hancuran dari puncak gunungap tapi juga material baru dari magma yang
keluar. Salah satu ciri dari erupsi vulkanian yaitu adanya asap erupsi yang membumbung tinggi
ke atas dan kemudian asap tersebut melebar menyerupai cendawan. Asap erupsi membawa abu
dan pasir yang kemudian akan turun sebagai hujan abu dan pasir. Tidak seperti tipe hawaiian
dan strombolian, aliran lava tidak terjadi pada tipe erupsi vulkanian. Gunung Merapi
merupakan gunungapi yang dapat dimasukkan dalam tipe vulkanian lemah dengan ciri khas
adanya peranan kubah lava dalam tiap-tiap erupsinya.
KUBAH LAVA
Magma yang sudah sampai di permukaan dapat mengalir turun ke lereng atau langsung
membeku di puncak. Untuk lava yang bersifat sangat cair proses pembekuan di permukaan
berjalan lambat dan endapannya dikenal sebagai "lava flow" atau "coulee" umumnya lava
basalt mempunyai perilaku itu. Volume dan kekentalan menentukan jarak jangkau aliran lava
yang bervariasi dari antara 3 sampai 25 km dan dapat mencapai lebih dari 100 km. Lava kental
(trakitik atau riolitik), jarak jangkau alirannya tidak lebih dari 2-3 km dengan ketebalan 100an m.
Pada gunungapi dengan magma yang cukup kental, lava membentuk apa yang disebut "lava
block", bongkahan lava dengan permukaan tidak teratur. Dalam posisi tertentu, apabila
kecepatan keluarnya lava cukup lambat, lava dapat langsung tertumpuk di permukaan
kemudian membeku membentuk kubah lava atau "dome". Dapat dililiat bahwa antara
kekentalan lava dan sifat alirannya ada hubungannya yaitu aliran yang sangat encer dengan
jarak jangkau yang panjang dengan ketebalan kecil, sampai aliran sangat kental dengan jarak
jangkau pendek, bahkan hanya berupa kubah dengan ketebalan yang besar. Lava yang sangat
kental dapat membeku begitu sampai permukaan membentuk "sumbat lava".
Aliran lava Merapi menempati posisi transisi antara aliran lava fluida dan pembentukan sumbat
lava. Apabila lava keluar dan menempati suatu posisi yang miring, misalnya di pinggir kawah
utama, lava akan membentuk "lidah lava" karena proses aliran lava sangat pelan yang
kemudian cepat membeku. Apabila lava keluar pada permukaan yang datar, kubah lava Merapi
akan berbentuk tempurung terbalik dengan sisi-sisi yang relatif simetris. Kubah lava
mempunyai bentuk yang khas yaitu simetris dinyatakan sebagai relasi antara tinggi kubah dan
jari-jari kubah. Relasi tersebut tetap dan tidak tergantung dari volume kubah yang terbentuk.
Dari data foto kubah yang terbentuk pada bulan Januari 1992, kubah Merapi mempunyai relasi

tinggi (H) dan jari-jari dasar (R) = 4.8. Semakin kental magma semakin besar nilai relasi H/R.
Pada proses pembentukan lidah lava, ketinggian kubah bertambah secara perlahan contohnya
pada 1994, saat panjang kubah berkembang dari 300 m menjadi sekitar 460 m, tinggi kubah
hanya bertambah dari 32 m menjadi 47 m. Perkembangan panjang kubah lebih cepat sekitar 10
kali lipat dari perkembangan tinggi kubah.
Pembentukan kubah lava Merapi terjadi dalam laju yang bervariasi. Dalam masa krisis atau
biasanya dalam beberapa bulan sesudah terjadi letusan, arus keluarnya lava cukup lancar dan
pembentukan kubah lava terjadi dalam laju yang cepat. Dalam beberapa kasus, pertumbuhan
kubah lava terjadi secara perlahan. Sebagai contoh pada periode Maret-April 1994,
pertumbuhan terjadi secara lambat dengan laju keluar lava sebesar 6.500 m3 per hari. Pada
periode Mei-Juni 1994, pertumbuhan terjadi lebih cepat dengan laju keluar lava sebesar 17.000
m3 per hari. Laju keluar lava Merapi dalam pembentukan kubah lava selama ini, sejauh pernah
teramati, tidak pernah melebihi 20.000 m3 per hari.
Kubah lava Merapi, yang berbentuk lidah lava maupun kubah simetris, mempunyai bagian luar
(kulit) berwarna hitam yang keras tersusun dari batuan lava beku disebut kerak dengan tebal 1
-2 m. Apabila terbuka lava terlihat masih merah membara. Bagian dalam bersifat sedikit liat
dengan suhu yang tinggi menunjukan masih terjadi suplai magma baru dan akan terjadi proses
deformasi kubah lava. Apabila tidak ada suplai baru, lama kelamaan kubah akan membeku
seluruhnya dan proses perubahan bentuknya terhenti.
Proses deformasi kubah merupakan proses perubahan bentuk kubah karena ada tambahan lava
atau proses "mengalir" dari lava di dalamnya. Pada lava Merapi proses pembentukan lidah
terjadi karena bagian dalam kubah masih Liat. Magma yang masih liat cenderung bergerak
sehingga menambah panjang lidah lava. Pada saat bergerak, kulit atau kerak kubah mengalami
perubahan morfologi karena ada aliran di dalamnya. Kadangkadang teramati juga bahwa
morfologi kubah tidak berubah banyak tetapi panjang kubah bertambah. Pada saat ekor kubah
(bagian ujung bawah lidah kubah) membeku maka proses perkembangan panjang kubah
berhenti. Pada saat tersebut tinggi kubah pada bagian atasnya akan bertambah karena magma
yang terus keluar secara perlahan. Pada fase awal pembentukan kubah (lidah lava) perubahan
bentuk kubah hanya berupa pertambahan panjangnya dan tinggi kubah tidak akan berubah.
Proses dalam fase awal ini dapat berjalan beberapa bulan. Fase berikutnya yaitu panjang dan
tinggi kubah bertambah. Fase ketiga yaitu tinggi kubah bertambah tapi panjangnya tetap.
Perkembangan tinggi kubah tidak akan berlangsung terus menerus dengan laju yang sama
walaupun suplai magma terus bertambah. Dapat dibayangkan bahwa pada saat kubah
bertambah tingginya, tekanan litostatik didasar kubah juga bertambah demikian sehingga
magma juga harus melakukan usaha yang lebih besar untuk mengangkat kubah di atasnya.
Itulah sebabnya, semakin lama pertambahan tinggi kubah semakin lambat. Pada fase ini tubuh
kubah cenderung akan lebih gemuk karena magma/lava akan cenderung menekan ke sisi-sisi
sampingnya. Pada suatu saat tercapai ketinggian tertentu, di mana pada dasar kubah bekerja
tekanan lithostatik material kubah yang setara dengan tekanan magma yang berada di bawah
kubah. Pada situasi tersebut pertumbuhan kubah akan berhenti. Uraian ini berarti bahwa pada

saat perkembangan kubah berhenti bukan berarti suplai magma yang keluar terhenti, hanya saja
ada kemungkinan tekanan magma tidak cukup lagi mampu meningkatkan besarnya kubah.
Fase kritis dalam hubungannya dengan bahaya gugurnya kubah terjadi pada saat perkembangan
kubah melambat dan tinggi kubah tidak bertambah lagi. Pada fase ini tekanan dari bawah akan
terkumulasi. Apabila proses akumulasi cepat, maka pada saat tertentu tekanan litostatik tidak
dapat lagi menahan tekanan dari bawah yang dapat mengakibatkan gugurnya kubah. Begitu
kubah gugur maka tekanan magma yang semula terimbangi oleh tekanan litostatik tubuh kubah
secara mendadak kehilangan tekanan penahannya sehingga terjadi letusan. Apabila fase kritis
tersebut terlewati, maka kubah akan membeku dan kubah menjadi cukup kuat untuk menahan
laju keluarnya magma baru. Maka proses berikutnya adalah bahwa magma akan mencari jalan
keluar baru yang biasanya disamping kubah yang telah terbentuk.
Kubah yang sudah membeku dapat gugur, sebagaimana yang terjadi pada kubah lava yang
terbentuk tahun 1957 telah gugur karena terdesak oleh magma yang keluar pada menjelang
letusan tahun 1998. Desakan magma dari bawah merupakan faktor yang penting untuk
menggugurkan sebuah kubah lava yang telah beku (= tidak aktif lagi). Proses yang teramati di
Merapi yaitu bahwa magma dapat terpaksa menerobos keluar dengan mendesak kubah lava
yang di atasnya apabila kawah memang sudah penuh oleh material lava. Dalam mencari jalan
keluar, kubah lava lama dapat menjadi titik-titik lemah bagi keluarnya magma baru ke
permukaan.
Pengaruh hujan besar artinya bagi kestabilan kubah lava. Hal ini berlaku hanya pada kubah
lava aktif. Sedangkan untuk kubah lama, intensitas curah hujan yang tinggi hanya akan
mengkikis permukaannya atau kalaupun sampai merontokkan kubah, proses runtuhnya kubah
akan berlangsung mulai dari permukaan. Lain halnya untuk kubah lava aktif, air hujan yang
meresap masuk ke dalam kubah lava akan menemui suhu kubah yang tinggi dan segera berubah
menjadi uap dengan tekanan yang tinggi. Tekanan uap air tersebut mengurangi daya ikat antara
material di dalam kubah yang dapat mempermudah terjadinya longsoran. Berbeda dengan
pengaruh hujan pada kubah lava lama, pada kubah aktif hujan menyebabkan longsoran yang
prosesnya berlangsung dari dalam kubah. Kejadian longsoran kubah aktif semacam ini tidak
perlu didahului oleh munculnya gempa-gempa karena semua proses terjadi di bagian
permukaan dan dapat berlangsung secara cepat.
Faktor lain yang mempengaruhi kestabilan kubah adalah gravitasi. Hampir seluruh kubah lava
di puncak Merapi berbentuk kubah lava. Tubuh kubah terutama 2/3 bagian ke bawah menempel
pada lereng dengan kemiringan sekitar 380. Kubah tidak meluncur ke bawah karena tubuhnya
terikat oleh yang 1/3 bagian atas, yang biasanya tidak pada posisi miring, dan oleh gaya gesek
antara kubah dan lereng. Gaya yang mendorong kubah untuk longsor adalah komponen gaya
dari beratnya sendiri yang sejajar dengan lereng. Apabila kubah masih berkembang komponen
gaya berat tersebut akan dapat menjadi besar dan dapat melebihi gaya gesek lereng sehingga
longsoran dapat terjadi. Untuk kubah yang tidak berkembang lagi, atau sudah diam beberapa
bulan lamanya, apabila tidak terjadi hujan dan tidak ada dorongan dari magma dari dalam maka

tidak terjadi longsoran kubah. Hal ini berarti bahwa faktor gravitasi secara sendirian tidak
berpengaruh banyak dalam longsoran kubah.

Sketsa karakteristik pembentukan kubah dan proses terjadinya awanpanas. Perbandingan


antara kejadian tahun 1992 dan tahun 1994 (Ratdomopurbo,2000).
AWANPANAS
Istilah awanpanas dipakai untuk menyebut aliran suspensi dari batu, kerikil, abu, pasir dalam
suatu masa gas vulkanik panas yang keluar dari gunungapi dan mengalir turun mengikuti
lerengnya dengan kecepatan bisa lebih dari 100 km per jam sejauh puluhan km. Aliran turbulen
tersebut dari jauh tampak seperti awan bergulung-gulung menuruni lereng gunungapi dan bila
terjadi malam hari terlihat membara. Awanpanas biasanya tidak segemuruh longsoran biasa
karena tingginya tekanan gas pada material menyebabkan benturan antar batu-batu atau
material di dalam awanpanas tidak terjadi dengan kata lain benturan teredam oleh gas.
Penduduk sekitar Merapi menyebut awanpanas sebagai wedhus gembel dalam bahasa Jawa
berarti domba karena secara visual kenampakan awanpanas seperti domba-domba menyusuri
lereng. Istilah ini diperkirakan telah dipakai sejak berabad-abad oleh penduduk setempat (lebih
tua dari pada istilah nuee-ardente).
Awanpanas Merapi dibedakan atas awanpanas letusan dan awanpanas guguran. Awan panas
letusan terjadi karena hancuran magma oleh suatu letusan. Partikel-partikel terlempar secara
vertical dan horizontal. Kekuatan penghancuran material magma saat letusan ditentukan oleh
kandungan gas vulkanik dalam magma. Awanpanas guguran terjadi akibat runtuhnya kubah
lava bersuhu sekitar 500-600C oleh tekanan magma dan pengaruh gravitasi. Proses awal yang
memicu longsornya kubah dapat di timbulkan oleh tiga sebab :

1. Longsor biasa yang sebagaimana sering terjadi di daerah lereng-lereng pegunungan. Peranan
hujan menjadi faktor utama yang menimbulkan ketidakstabilan. Di daerah lereng pegunungan
air hujan masuk dalam struktur tanah dan memperkecil gaya gesek pada bidang gelincir
sehingga tidak dapat lagi menahan berat lereng. Dalam hal kubah lava Gunung Merapi, air
hujan yang masuk ke dalam kubah lava mengalami pemanasan sehingga menjadi gas yang
bertekanan cukup tinggi untuk mengganggu kestabilan kubah. Kohesi material penyusun tubuh
kubah lava mengecil sehingga mudah muncul longsoran kecil maupun besar.
2. Longsoran dipicu oleh suatu letusan kecil (lokal) yang terjadi di kubah lava. Gas bertekanan
tinggi dalam kubah lava dapat memicu terjadinya letusan kecil setempat yang terjadi di
permukaan kubah lava. Tekanan yang dilepaskan secara mendadak dapat mengganggu
kestabilan kubah secara keseluruhan sehingga kubah dapat mengalami longsoran besar.
3. Longsornya kubah dapat pula karena adanya dorongan dari bawah yaitu dari pipa magma
gunungapi sehingga kubah lava bergeser dan akhirnya longsor. Karena adanya faktor gravitasi,
tekanan dari bawah yang tidak terlalu besar sudah cukup untuk mengganggu kestabilan kubah.
Karena awanpanas jenis ini terbentuk terutama karena pembongkaran kubah lava yang sudah
ada sebelumnya oleh proses gravitasi, fragmen penyusun awan panasnya relatif besar.
Demikian pula kekuatan luncurnya terutama hanya oleh beratnya sendiri sehingga jangkauan
atau jarak luncurnya tidak begitu besar. Kecenderungan arah luncuran masa awanpanas
ditentukan oleh arah aliran-aliran hulu sungai di lereng gunungapi yang berada di bawah posisi
kubah lava yang terluncurkan. Material beratnya akan meluncur di dalam alur sungai,
sedangkan awan yang kelihatan bergulung-gulung akan menyelimuti aliran masa awan panas
dan melebar ke tepian alur hulu sungai di kiri kanan dari alur tersebut. Jarak jangkau awanpanas
ditentukan oleh kecepatan alirnya yang tergantung pada morfologi dan kelerengan/ gradien alur
lembah sungai.
Kekuatan awanpanas dalam membawa material berukuran besar dan bongkahan bongkahan
merupakan ciri utama dari alirannya. Endapan awanpanas tersusun dari dua bagian, yaitu
bagian bawah, beberapa meter atau puluhan meter tebalnya, biasanya di dasar lembah sungai
terdiri dari material berbutir kasar. Bagian atas terdiri dari endapan material abu. Menurut
Fisher & Schmincke (1984), endapan awanpanas bervariasi dan mencerminkan berbagai tipe
letusan dan pengendapan. Kejadian letusan awanpanas itu sendiri dapat menghasilkan asosiasi
endapan awanpanas dan piroklastik surge atau hanya awanpanas atau piroklastik surge saja.
Perbedaan dari dua jenis endapan ini terlihat dari pemilahan dan struktur endapannya. Endapan
awanpanas terpilah buruk dan masif sedangkan piroklastik surge mempunyai pemilahan butir
yang lebih baik, berukuran lebih halus dan memiliki struktur lapisan. Proses pengendapan
awanpanas terjadi pada dasar lembah dan menjauh dari sumber endapannya akan menebal.
Awanpanas yang terjadi di Gunung Merapi umumnya termasuk dalam awan panas guguran.
Gaya berat kubah lava atau bagian dari kubah lava yang runtuh menentukan laju dari awan
panas. Semakin besar volume yang runtuh akan semakin cepat laju awanpanas dan semakin
jauh jarak jangkaunya. Pada umumnya kubah lava yang terbentuk di puncak berbentuk

memanjang menjulur ke arah lerengnya. Orientasi dari kubah lava ini yang menentukan arah
awanpanas yang akan terjadi. Namun demikian kubah lava di puncak Merapi tidak tunggal
dalam arti ada banyak kubah lava yang tidak runtuh dan kemudian menjadi bagian dari
morfologi puncak gunung Merapi. Ada kecenderungan bahwa kubah lava yang lebih baru lebih
tidak stabil dibanding kubah lava yang lebih dulu terbentuk. Kestabilan kubah lava juga sangat
tergantung dari keadaan dasar kawah di mana suatu kubah terbentuk.
Suhu awan panas dipelajari dengan menganalisa arang kayu dari pepohonan yang terlanda
awanpanas dan kemudian terbenam dalam endapan awanpanas. Pengambilan contoh arang
dilakukan dari endapan awanpanas yang ada, terutama pada endapan tua. Suhu awanpanas
Gunung Merapi, dibandingkan dengan awanpanas dari gunung lain dengan letusan yang lebih
besar, tidak begitu tinggi. Dari analisa diperoleh data bahwa suhu awanpanas Merapi hanya
sekitar 250C. Walaupun data ini baru dari contoh yang terbatas, hasil ini menunjukkan bahwa
suhu awanpanas Merapi minimal 250C.
EVOLUSI ERUPSI
Kronologi Hartman
Bagaimana kronologi suatu aktivitas letusan Merapi telah disimpulkan oleh Hartman (1935).
Tiap letusan dibagi menjadi 3 fase yaitu fase awal atau keadaan sebelum meletus, fase utama
yaitu aktivitas utama dan fase akhir yaitu kegiatan yang terjadi sesudah letusan berakhir. Ketiga
fase tersebut merupakan atau dianggap sebagai satu siklus aktivitas letusan Merapi.
Berdasarkan apa yang terjadi pada fase awal, utama dan akhir, Hartman membedakan
kronologi letusan menjadi empat sebagai berikut :
Kronologi A : Siklus diawali dengan satu letusan kecil yang mengawali ekstrusi lava. Fase
utama berupa pembentukan kubah lava sampai kubah mencapai volume besar dan kemudian
perkumbuhan kubah berhenti. Siklus diakhiri dengan proses guguran lava pijar yang berasal
dari kubah. Kejadian guguran lava pijar, kadang dengan awanpanas kecil, dapat berlangsung
lama (bulanan).
Kronologi B: Dalam kronologi B ini, pada awalnya telah ada kubah lava di puncak Merapi.
Fase utama berupa letusan vulkanian bersumber di kubah lava dan menghancurkan kubah lava
yang ada. Letusan menghasilkan asap letusan vulkanian (contoh: asap cendawan letusan 1997).
Material kubah yang hancur sebagian menjadi awanpanas yang menyertai letusan vulkanian
tersebut. Fase akhir diisi dengan pertumbuhan lava baru pada bagian kubah yang hancur atau
disamping kubah.
Kronologi C: mirip dengan kronologi B, hanya saja pada awalnya tidak terdapat kubah lava
tetapi sumbat lava yang menutup kawah Merapi. Oleh adanya sumbat lava tersebut, fase utama
berupa letusan vulkanian dengan awanpanas lebih besar (type St. Vincent ?). Fase akhir dari
kronologi letusan yaitu berupa pembentukan kubah lava baru.

Kronologi D:Fase awal berupa letusan vertikal kecil. Fase utama berupa pembentukan sumbat
lava yang kemudian diikuti dengan fase akhir berupa letusan vertikal yang cukup signifikan.
Pada letusan "D" ini, karena sumbat lava cukup besar, letusan cukup dahsyat, relatif untuk
Merapi, yang menghasilkan awanpanas besar dan asap letusan tinggi.
Dalam kenyataan, terutama dari pemantauan aktivitas letusan dengan lebih seksama sejak
tahun 1984, batas-batas antara jenis kronologi letusan sebagaimana yang disajikan Hartman di
atas sering tidak jelas. Sebagai contoh, letusan 1984 fase awal berupa kejadian awanpanas yang
kemudian langsung disusul dengan letusan. Pada fase akhir terjadi guguran lava pijar. Contoh
letusan 1984 ini menjadi gabungan dari kronologi A dan B. Kejadian longsoran kubah yang
terjadi pada tahun 1994 sulitjuga dimasukkan dalam kronologi Hartman walaupun longsoran
juga menghasilkan awanpanas dan letusan.

Kronologi erupsi menurut Hartmann (1935) dibedakan atas empat macam dari yang dianggap
paling lemah D sampai kuat A. Kolom kiri menunjukkan saat awal sebelum kejadian
utama. Kolom tengah adalah kejadian utama dan kolom kanan adalah kejadian yang mengkhiri
siklus aktivitas erupsi.

Kronologi Hartman paling tidak memberikan gambaran pada pentingnya peranan kubah lava
dalam setiap aktivitas Merapi. Dan dari penelitian geologi diperoleh hasil bahwa pada perioda
Merapi Baru, terutama dalam 600 tahun terakhir, aktivitas Merapi didominasi oleh
pembentukan kubah lava dan letusan-letusan kecil yang tidak lebih dari VEI 3 yang disertai
awanpanas. Produk dari kejadian letusan-letusan tersebut, bila diltinjau dari pembagian
kelompok endapan (Andreastuti, 1999), maka endapan yang terbentuk dapat digolongkan
dalam kelompok 1, dan menghasilkan lava, awanpanas atau surge; dan kelompok 2 yang
terutama terdiri dari asosiasi endapan awanpanas dan surge.
Endapan hasil letusan yang sekarang meskipun cukup tebal (mencapai 8m), namun karena
merupakan endapan awanpanas yang sebarannya di lembah-lembah, maka letusanya relatif
kecil. Sedangkan letusan pra-1800, karena hasilnya berupa endapan jatuhan yang ketebalannya
dan merata di sekitar gunung, maka letusannya lebih besar. Letusan yang menghasilkan
awanpanas tekanan internal dari magma lebih kecil daripada letusan yang menghasilkan
endapan jatuhan.
Studi stratigrafi (Andreastuti,1999) yang dilakukan pada tephra Merapi telah memberikan
gambaran yang lebih jelas tentang aktivitas letusan Merapi. Letusan yang tercatat dalam
sejarah, pada umumnya hanya berupa letusan kecil yang terpusat di puncak. Awanpanas dari
bongkaran kubah menjadi ciri utama aktivitas Merapi saat ini. Namun demikian dalam jangka
yang lebih panjang analisa stratigrafi menunjukkan bahwa Merapi juga menghasilkan letusanletusan yang besar. Andreastuti (1999) membagi kurun waktu aktivitas Merapi menjadi 3
episode yaitu Episode I (2990-1960 BP), Episode II (1960-780 BP) dan Episode III (780 BP
sekarang). Letusan Merapi saat itu digolongkan dalam type plinian (sangat explosif). Dari
indentifikasi ditemukan bahwa dalam kurun waktu 3000 tahun terakhir terdapat sejumlah 7
letusan skala besar (skala VEI 4, plinian dan subplinian). Sebagai ilustrasi seberapa besar
letusan tersebut, misalnya pada letusan yang menghasilkan tephra di Selokopo, sekitar 500 BP,
terjadi letusan dengan kolom asap letusan yang diperkirakan setinggi 15 kilometer di atas
puncak dan dengan volume material yang diletuskan sebesar 0.26 km3 (260 juta m3,
bandingkan dengan produk letusan 1998 yang hanya 8 juta m3). Dalam jangka panjang
perubahan trend letusan Merapi dimungkinkan oleh adanya perubahan komposisi kimia
magmanya. Pada Episode I, magma Merapi mempunyai komposisi medium-K (1.3-2.0%),
sedangkan pada Episode Ill mempunyai komposisi high-K (2.0 - 2.5 %). Episode II merupakan
episode transisi dari medium-K ke high-K. Dari kandungan Si02 nya, walaupun terdapat
fluktuasi komposisi Si02 antara 51 % sampai 57 %, terdapat kecenderungan jangka panjang
bahwa komposisi Si02 semakin besar. Kemungkinan letusan Merapi yang lebih besar dapat
terjadi oleh adanya perubahan kandungan air (H20) dalam magma dan proses kristalisasi yang
terjadi di dapur magma (del Marmol, 1989). Proses kristalisasi dan kandungan air yang tinggi
menghasilkan unsur volatile yang merupakan sumber dari peningkatan tekanan dalam magma.
PREKURSOR
Gunungapi sebelum erupsi, biasanya menunjukkan tanda-tanda perubahan fisika dan kimiawi
yang bisa dirasakan dengan panca indera manusia atau hanya dapat dideteksi dengan instrumen

yang sangat peka. Secara umum beberapa tanda-tanda tersebut adalah berubahnya warna asap
menjadi semakin tebal dan pekat, meningkatnya jumlah gempa-gempa yang terekam oleh
seismogram, berubahnya komposisi kimia gas atau air, meningkatnya derajat suhu kawah dan
terjadinya deformasi tubuh gunungapi.
Prekursor adalah gejala awal sebelum erupsi. Gejala tersebut dimulai dari kedalaman dimana
sumber magma segar berasal yang akan mendorong magma yang sudah lebih dulu mengisi
kantong dan pipa saluran. Bertambahnya pasokan magma ini akan meningkatkan tekanan di
dalam kantong magma dan pipa saluran kepundan yang dapat menyebabkan retaknya batuan
di sekelilingnya. Naiknya magma ke atas akan menurunkan tekanan internal magma sebagai
akibatnya gas vulkanik yang bersifat volatil akan lepas dan menambah tekanan ke batuan di
sekelilingnya.
Naiknya tekanan ini mengakibatkan retakan batuan yang akan menjalarkan energi gelombang
elastik yang disebut dengan gempa vulkanik. Jenis gempa ini yang biasanya hanya dapat
dideteksi oleh seismom. Gempa vulkanik di Merapi dimulai pada kedalaman antara 2 sampai
5 km yang menandai awal peningkatan aktivitas vulkanik. Selanjutnya sumber gempa akan
semakin dangkal hanya kurang 2 km di bawah puncak.
Proses berjalannya magma ke permukaan sebelum terjadinya suatu erupsi menimbulkan
getaran yang menyebabkan terjadinya yang biasa disebut tremor. Namun di Merapi termor
tidak selalu terjadi sebelum erupsi. Seiiring peningkatan tekanan dan desakan magma dari
dalam maka tubuh gunungapi menggelembung dalam orde yang sangat kecil yang sering
disebut deformasi. Perubahan deformasi dapat dipantau dengan berbagai teknik geodetik atau
menggunakan tiltmeter dan ekstensometer. Pada proses menuju erupsi ini terjadi pula
peningkatan emisis gas vulkanik misalnya SO2 ke permukaan. Gejala-gejala tersebut di atas
dapat dipantau dengan berbagai macam metoda dan instrumentasi dan disebut sebagai gejala
awal atau prekursor aktivitas Gunung Merapi.

Grafik prekursor erupsi khas Merapi berdasarkan data pemantauan 2006. Grafik ini
menunjukkan bagaimana pola dari variasi parameter pemantauan yang muncul sebelum erupsi.
Pola yang cukup jelas terliliat sampai munculnya kubah lava pertama kali (perlu diingat bahwa
definisi erupsi secara vulkanologis adalah munculnya lava di permukaan). Penjelasan dan pola
prekursor Merapi lebih rinci dapat dililiat pada buku prekursor Merapi.

Contoh lain prekursor Merapi sebelum erupsi 1997 dan 1998 berdasarkan data perbandingan
antara seismisitas, GPS, tilt dan volume kubah dalam periode aktivitas 1996 sampai 1999.
Angka romawi menunjukkan periode dimana aktivitas Merapi mempunyai karakteristik
berbeda secara kegempaan dan deformasi. Periode I menunjukkan kenaikan nilai tilt dan
volume kubah yang disertai dengan banyaknya kejadian gempa vulkanik, MP dan guguran.
Periode II gempa MP menghilang samasekali tetapi guguran masih cukup banyak dan nilai tilt
serta kubah tumbuh lebih cepat. Periode III diawali dengan naiknya jumlah gempa MP sebelum
erupsi 1997 yang diikuti penurunan jumlah gempa MP dan Guguran. Periode IV relatif tenang
di permukaan yang ditunjukkan oleh jumlah gempa MP dan guguran yang sedikit tapi di dalam
gejolak cukup tinggi yang ditunjukkan oleh banyaknya kejadian gempa vulkanik. Periode V
seperti mengulangi periode kejadian sebelum erupsi 1997 yaitu naiknya jumlah MP sebelum
erupsi yang dikuti oleh anjloknya volume kubah. Periode VI pada awal 1999 ditunjukkan oleh
stabilnya volume kubah dan sedikitnya gempa namun periode ini hanya bertahan kurang dari
2 tahun sebelum erupsi kembali terjadi pada 2001. Data GPS menunjukkan titik NTR0 yang
terletak di puncak mempunyai magnitude perpindahan terbesar yang mengindikasikan bahwa
titik ini terletak pada zone yang lemah.

FASILITAS DAN LAYANAN


Laboratorium Elektronika dan Instrumentasi : Laboratorium Elektronika dan Instrumentasi
berfungsi dalam pengembangan metoda, teknologi dan instrumentasi di bidang mitigasi dan bencana
geologi meliputi pengembangan sistem transmisi data analog maupun digital, membuat programprogram antarmuka (interface) dari berbagai peralatan instrumentasi yang disertai dengan
pengembangan software sebagai perangkat lunak untuk pengoperasian sistem.

Laboratorium Geokimia : Laboratorium Geokimia memberikan layanan jasa analisis sampel-sampel


gas, padatan, dan cairan, dalam konsentrasi major, minor, maupun trace-element. Laboratorium ini
dilengkapi dengan peralatan instrumentasi yang modern dan metoda analisis berstandar nasional
maupun internasional.
Laboratorium Petrografi : Sayatan tipis dan analisisnya dapat dilakukan di Laboratorium Petrografi
BPPTK untuk mengetahui ragam dan jenis maupun komposisi mineral/kimia. Dari jenis atau komposisi
batuan tersebut dapat dipelajari sifat-sifat batuan dan proses yang terjadi.
Perpustakaan : Sebagai suatu institusi di bidang kebumian khususnya di bidang vulkanologi dan
mitigasi bencana geologi, BPPTK mempunyai sarana perpustakaan dengan berbagai macam buku
pustaka kebumian. Koleksi perpustakaan selain berbagai buku, jurnal, bulletin dan majalah dari luar
BPPTK, juga mengkoleksi seluruh publikasi dan laporan penyelidikan BPPTK. Koleksi buku yang
tersedia mencakup teks book dibidang kebumian dan kebencaan, Jurnal kebumian internasional.
Pos Pengamatan Gunungapi : Untuk mengamati Merapi secara optimal, BPPTK dilengkapi dengan
lima pos pengamatan yang terletak di sekeliling lereng Merapi. Beberapa pos pengamatan sudah
berdiri sejak jaman kolonial Belanda seperti Pos Ngepos dan Pos Babadan.
Ruang Monitoring : BPPTK mempunyai ruangan pemantauan khusus yang berfungsi sebagai
terminal penerima data dari stasiun pengamatan lapangan baik itu terletak di Merapi maupun
gunungapi lainnya. Data yang masuk ke sini secara real-time dan kontinyu antara lain data
pemantauan kegempaan, deformasi (tiltmeter), data pemantauan suhu dan data pemantauan gas.

PRODUK RANCANG BANGUN ISTRUMENTASI


Pemantauan merupakan ujung tombak mitigasi. Dengan pemantauan suatu fenomena maka prediksi
ancaman bahaya alam dapat dibuat. Dalam pemantauan, penguasaan teknologi sangat diperlukan,
dari sisi sistem instrumentasi itu sendiri maupun pengolahan data. Dengan adanya tuntutan
kemandirian dan penguasaan teknologi sistem pemantauan tersebut maka BPPTK mencoba
mengembangkannya. Beberapa produk yang telah dihasilkan antara lain:
Sistem Telemetri Laju Rendah (TLR) : Sistem TLR merupakan sistem pengiriman data yang
dilakukan secara kontinyu dari jarak jauh dengan kecepatan pengiriman berlaju rendah dalam orde
menit. Sistem ini diterapkan untuk sensor-sensor suhu, tiltmeter, extensometer dan parameter lain
yang hanya memerlukan sampling rendah. Semua sensor yang keluarannya sinyal elektrik analog
dapat diadaptasikan pada sistem ini. Pengiriman data digital dari parameter-parameter tersebut di
atas membantu mengetahui kondisi di lapangan secara online dengan interfal waktu tertentu. Modul
pengirim dan penerima dari sistem TLR. Sistem ini dapat menerima masukan (input) 8 sensor analog
dan 1sensor pembangkit pulsa, dan bekerja pada tegangan 7-15 volt dengan kondisi ideal pada
tegangan 10-13 volt. Arus untuk sistem kontrol 27-35 mA, sedangkan arus radio (IC V8) pada saat
Stand by sebesar 70 mA, Transmit 0,5 W 0,8 A (high), dan Transmit 5,5 W 2,0 A (low). Kecepatan
modem pada sistem ini sebesar 300/bps, standart BEL 202.
Mobile Sistem TLR : Merupakan sistem akuisisi data TLR untuk pemantauan aktivitas gunungapi
dengan sistem mobile, akses dan prosesing data dapat dilakukan dimana saja. Sistem yang berbasis
protokol internet (IP) ini menjadi suatu sistem yang mempunyai fleksibilitas dan mobilitas tinggi. Data
dari lapangan pemantauan diterima oleh Radio Modem/GSM Modem dan data dipancarkan kembali
via GSM Modem dengan layanan SMS ke PVMBG. Sistem ini terdiri dari: Power, Sistem komputer,
wireless LAN, Modem Radio, GPRS Modem, Web Cam.
Diskriminator : berfungsi sebagai demodulator untuk mengambil kembali sinyal gempa yang
dimodulasi oleh VCO. Perangkat ini mampu mengkonversi perubahan frekuensi menjadi perubahan
tegangan yang kemudian diumpankan pada unit rekorder. Diskriminator yang dihasilkan mempunyai
center frekuensi 1700 Hz dan 2040 Hz dengan deviasi: 0,008 Volt/Hz dan Range: 1575 s.d 1825 Hz

dan 1915 s.d 2165 Hz. Tegangan power yang dimiliki oleh alat ini sebesar 12 Volt (tegangan ganda)
dan Arus sebesar 50 mA.
Voltage Controlled Oscilator (VCO) : VCO berfungsi sebagai modulator (pembawa sinyal), yang
mentransformasikan sinyal gempa dalam besaran tegangan listrik menjadi sinyal gempa dalam
besaran frekuensi audio yang dapat dikirim melalui radio. Rangkaian VCO yang dikemas dalam casing
yang berbentuk tabung memerlukan power sebesar 10 12,8 Vdc dengan konsumsi daya 230 mA 12
Vdc. Peralatan ini mempunyai frekuensi tengah dapat diatur pada 1020Hz, 1700Hz, 2040Hz dan
3060Hz.
Sensor Curah Hujan : Digunakan sebagai alat penakar intensitas curah hujan dengan sistem kerja
penghitungan pulsa yang dihasilkan oleh sensor timbangan yang merupakan model dengan magnetik
switch dengan kapasitas 0,5 mm per cacah. Perangkat ini dibuat dengan bahan plat aluminium yang
mempunyai diameter15,5 cm.
Sensor Level Air : Sensor ini digunakan untuk mengetahui level air permukaan di dalam tanah
dengan menghitung perubahan jarak suatu benda apung terhadap titik acuan. Perangkat yang
membutuhkan power 5 Vdc ini mampu mendeteksi kedalaman air sampai dengan 50 meter, dengan
ketelitian ukur 20 mVolt/ cm.
Sirine Peringatan Dini : Salah satu cara untuk menginformasikan ke masyarakat adanya bahaya
yang diakibatkan oleh letusan Gunung Merapi, maka dibuat suatu sirine. Sistem ini dikendalikan dari
jarak jauh oleh saluran radio VHF. Intensitas pengeras suara sirine ini maksimum sebesar 110 db,
dengan catu daya yang dibutuhkan sebesar 24 VDC. Sistem bekerja pada frekuensi respon 50-20000
Hz dengan sumber suara sirine merupakan rangkaian analog dengan frekuensi 500-6000 Hz dan
radio pemancar 140-160 MHz.
Regulator Solar Panel : Untuk mengatur pengisian aki dari solar panel, yaitu menjaga kondisi accu
agar tidak mendapat pasokan energi terlalu banyak. Apabila pasokan energi terlalu banyak maka
konsentrasi air accu akan meningkat sehingga sell accu akan mudah mengalami kerusakan.
Pengesetan regulator solar panel dilakukan pada tegangan aki minimum start pengisian sebesar 11,8
V DC dan maksimum stop pengisian 13,8 V DC, sedangkan besarnya tegangan maksimum solar panel
adalah 18 V DC dan arus maksimum 5 Ampere.
Real time Seismic Amplitude Measurement (RSAM) : Kegempaan yang terjadi akibat adanya
aktifitas suatu gunungapi merupakan salah satu parameter pemantaun yang sangat penting.
Optimalisasi sistem pemantauan kegempaan terus dilakukan. Salah satu upaya optimalsisasi dalam
pemantauan kegempaan adalah sistem pemantauan seismik secara RSAM. Data RSAM merupakan
hasil integrasi data seismik yang telah disampling dengan kecepatan 60 data 100 data perdetiknya.
Data tersebut kemudian dirata-rata setiap 5 / 10 menit sekali dan kemudian disimpan dalam bentuk
teks ke dalam hardisk / memory untuk kemudian dapat diinformasikan melalui layar komputer
ataupun dapat dikirim secara jarak jauh melalui SMS. Bentuk data yang tersimpan dalam bentuk teks
dapat dibuka menggunakan program spread sheet yang ada dipasaran. Komponen komponen yang
terdiri dari filter, integrator, ADC,dan mikrokontroler 8 bit yang telah dirangkai menjadi rangkaian
RSAM. Instalasi rangkaian RSAM pada seismograf kinemetrics PS-2 dengan kecepatan putar drum
120 mm/menit, dengan setting diskriminator pada frekuensi center 2040 Hz. Rangkaian sistem RSAM
diinstal pada out dari diskriminator seismometer dan kemudian masuk ke komputer melalui serial
port.

Dari kiri ke kanan: Gedung kantor BPPTK jl. Cendana 15 Yogyakarta, Pos Pengamatan Gunungapi
Selo, Pos Pengamatan Gunungapi Babadan, Pos Pengamatan Gunungapi Jrakah, Pos pengamatan

Gunungapi Kaliurang dan Pos Pengamatan Gunungapi Ngepos.

(1) Diskriminator berfungsi sebagai pemisah sinyal pembawa dan sinyal asli gempa pada telemetri
seismic analog, (2) VCO-amplifier berfungsi sebagai penguat dan pembangkit sinyal frekuensi pada
telemetri seismic analog, (3) RSAM adalah alat untuk melihat amplitude (energy) rata-rata gempa
dalam waktu tertentu, (4) regulator solar panel untuk menyambung dan memutus arus dari solar
panel ke accu, (5) penakar hujan digital, (6) timer digital untuk seismograf analog, (7) alat pengukur
level air tanah, (8) akuisisi data dan pengirim dengan SMS, (9) Wachtdog listrik untuk menghidupkan
computer secara otomatis, (10) seismometer digital suhu kawah, (11) radio modem penerima sinyal,
(12) Mobile instrument untuk menerima dan mengontrol data lapangan, (13) data akuisisi dan
pengirim lapangan, (14) ektensometer (modifikasi), (15) Mini Doas untuk mengukur konsentrasi gas
SO2 (tahap experiment), (16) Recorder analog gempa (modifikasi).

Pemantauan kegempaan dengan telemetri seismik analog terdiri atas dua bagian yaitu sistem
lapangan dan sistem penerima. Komponen utama sistem lapangan adalah seismometer (4) dan VCOamplifier (5) yang berfungsi menguatkan sinyal dan merubah tegangan menjadi frekuensi yang akan
ditumpangkan pada gelombang radio pembawa (6) dengan antena yagi (7). Adapun catu daya terdiri
dari solar panel (1) dan regulator (2) untuk memutus dan menyambung arus dari aki (3) ke solar
panel. Pada stasiun penerima sinyal akan diterima oleh radio receiver (a) yang kemudian diteruskan
ke diskriminator (b). Dari sini sinyal dapat disalurkan langsung ke rekorder (seismograf) (d) atau
disimpan dan ditampilkan secara digital di PC (e) dengan bantuan ADC (analog to digital converter)
(c).

Diagram umum stasiun lapangan (pengirim) dan stasiun penerima sistem TLR. Stasiun lapangan dapat
memiliki delapan channel sensor laju rendah seperti tiltmeter (3), extensometer, curah hujan (6), suhu
(5), level air dan lain sebagainya. Data dari berbagai sensor masuk ke sistem akuisisi (1) dan
ditransmisikan melalui gelombang radio dengan frekuensi tertentu melalui antena pengirim (7). Seperti
halnya pemantauan seismik di stasiun TLR catudayanya terdiri atas accu (2) , solar panel (4) dan
regulator. Di stasiun penerima data diteruskan dari antena (a) ke modem (b) dan komputer ( c ) yang
akan memisahkan, menata dan memformat data dalam bentuk digital yang kemudian disimpan sebagai
database data pemantauan. Bila sistem TLR ditambah dengan modem GSM (4) maka data dapat dikirim
dalam bentuk teks melalui fasilitas SMS. Data SMS ini bisa dikirim ke nomor-nomor HP yang telah
diprogram yang dapat diterima dimana saja sepanjang masih ada sinyal telepon selular.

Mobile TLR dilengkapi dengan fasilitas modem GSM dirancang untuk memiliki aksesibilitas dan
mempunyai fleksibilitas tinggi. Apabila stasiun lapangan juga terdapat modem GSM maka komunikasi
antar stasiun dan penerima dapat dilakukan dimana saja sepanjang masih ada sinyal yang tertangkap.
Dengan model pemantauan ini komunikasi dapat dilakukan antar mobile sistem itu sendiri, dengan pos
pengamatan atau dengan stasiun lapangan langsung.

LAPORAN AKTIVITAS GUNUNG MERAPI


Tanggal 6 s/d 12 November 2015
I. HASIL PENGAMATAN
Visual
Cuaca cerah terjadi pada waktu pagi hari dan malam hari, sedangkan pada siang dan sore hari
visual dari Pos Pengamatan Gunung Merapi berkabut. Asap solfatara berwarna putih, tipis
dengan tekanan gas lemah, tinggi maksimum 400 m teramati dari Pos Kaliurang pada tanggal
10 November 2015 pukul 05:10 WIB arah condong ke arah Barat Daya.
Seismik
Dalam minggu ini kegempaan G. Merapi tercatat gempa guguran sebanyak 16 kali, gempa
tektonik tercatat 18 kali. Dirasakan gempa tektonik disemua Pos Pengamatan Gunung Merapi
dan tercatat di semua stasiun pemantauan kegempaan pada tanggal 11 November 2015 pukul
18:45 WIB, berdasarkan informasi BMKG kekuatan gempa sebesar 5.6 SR dengan lokasi 120
Km Barat Daya Bantul - D.I Yogyakarta dan kedalaman 93 Km (Lampiran 2). Pasca kejadian
tersebut sampai dengan saat ini tidak berpengaruh terhadap aktivitas G. Merapi. Aktivitas

kegempaan minggu ini dalam kategori normal. Lampiran 1a menunjukkan grafik kegempaan
di G. Merapi.
Deformasi
Data Tiltmeter yang diperoleh dari stasiun Babadan dalam beberapa minggu terakhir ini
belum menunjukkan adanya perubahan nilai tren kemiringan, perubahan nilai yang terjadi
masih fluktuatif dalam batas toleransi alat. Untuk sumbu S-U sebesar -0.025995 dan untuk
sumbu B-T 0.38539 (Lampiran 1b). Pengukuran EDM menghasilkan nilai jarak tunjam ratarata untuk RK2 (sektor Selatan) sebesar 6506,942 m sedangkan untuk RB1 (sektor Barat
Laut) sebesar 4044,851 m, relatif sama seperti minggu - minggu sebelumnya (Lampiran 1c).
Deformasi G. Merapi yang dipantau secara instrumental dengan menggunakan Tiltmeter
dan EDM tidak menunjukkan perubahan yang signifikan.
Hujan dan Lahar
Pada minggu ini di semua pos Pengamatan Gunung Merapi terjadi hujan. Intensitas curah
hujan tertinggi terjadi pada tanggal 8 November 2015 di Pos Pengamatan Ngepos berdurasi
65 menit dengan jumlah curah hujan 58 mm/jam. Grafik total curah hujan tahun 2014 - 2015
ditunjukkan pada lampiran 3.

II. KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan:
Berdasarkan hasil pengamatan maka aktivitas G. Merapi dinyatakan dalam status
NORMAL.
Saran:
Dengan status aktivitas G. Merapi NORMAL kepada para pemangku kepentingan dalam
penanggulangan bencana G.Merapi direkomendasikan sebagai berikut :
1. Kegiatan pendakian G. Merapi direkomendasikan hanya sampai di Pasarbubar,
kecuali untuk kepentingan penyelidikan dan penelitian berkaitan dengan upaya
mitigasi bencana. Kondisi morfologi puncak G. Merapi saat ini rawan terjadi longsor
sangat berbahaya bagi keselamatan para pendaki.
2. Fungsi alat-alat pemantauan aktivitas G.Merapi sangat penting didalam memberikan
informasi aktivitas vulkanik dan upaya peringatan dini untuk keselamatan jiwa
manusia, menjaga fungsi dan keberadaanya adalah kewajiban dan tanggung jawab
setiap individu yang berada di G. Merapi.
3. Mengingat minggu ini sudah mulai memasuki musim hujan masyarakat perlu
meningkatkan kewaspadaan terhadap bahaya lahar.
4. Jika terjadi perubahan aktivitas G. Merapi yang signifikan maka status aktivitas
G.Merapi akan segara ditinjau kembali.
Demikian kami sampaikan, atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih.
Yogyakarta, 13 November 2015
a.n. Kepala Pusat Vulkanlogi dan Mitigasi Bencana Geologi
Kepala BPPTKG

u.b
Kepala Seksi Metode Teknologi Mitigasi

Nurudin, S.Si
NIP. 196805011991031004

III. LEMBAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Grafik data pemantauan G. Merapi menggunakan metode Seismik

Lampiran 2. Grafik curah hujan dari Pos Pengamatan Gunung Merapi Oktober 2014 November 2015

Lampiran 3. Rekaman gempa stasiun pemantauan Deles G. Merapi kejadian gempa tektonik
11 November 2015 pukul 18.45 WIB dengan durasi gempa 6 menit 51 detik

Anda mungkin juga menyukai