Anda di halaman 1dari 3

Ganja Gorilla dan Pengaruhnya pada Kesehatan Mental

Senin, 16 November 2015 | 13:00 WIB

M ANSHAR Tanaman ganja yang ditemukan di kawasan perbukitan Desa Lam Apeng, Kecamatan Seulimum, Aceh Besar, Selasa, (3/2/2015).
Sedikitnya 8.000 batang ganja siap panen itu ditemukan di lahan seluas dua hektar.

KOMPAS.com Salah satu perhatian saya belakangan ini adalah semakin pintarnya para
pengedar zat adiktif atau barang terlarang yang bisa membuat mabuk generasi muda.
Pintarnya lagi adalah mereka mulai membuat racikan (cocktail) zat tersebut dari bahan-bahan
yang belum dikategorikan sebagai obat terlarang, narkotika atau psikotropika, sehingga masih
bisa mengelak dari hukum pidana terkait dengan pengedaran zat narkotika dan psikotropika
tanpa wewenang.
Mereka sudah tahu, mengedarkan zat-zat, seperti heroin, kokain, ganja, ekstasi, sabu, dan obat
psikotropika tanpa izin, adalah tindakan melanggar hukum. Jadi, mereka mulai mencari
alternatif.
Salah satu fenomena yang sedang marak belakangan ini adalah tembakau Gorilla yang dikatakan
memiliki efek seperti ganja. Berita tentang hal ini sebenarnya sudah mulai marak sejak awal
tahun 2015, tetapi makin lama makin banyak berita tentang hal ini sehingga akhirnya menarik
minat Badan Narkotika Nasional (BNN) untuk menyelidiki.
Pemakai dari tembakau Gorilla ini mengatakan adanya efek seperti ganja yang dirasakan seperti

rasa senang yang berlebihan, walaupun ada efek samping yang dirasakan, seperti halusinasi dan
rasa kaku sekujur tubuh, sehingga dikatakan seperti tertimpa gorila. Tidak heran, banyak
pemakainya mengatakan bahwa zat ini berefek mirip ganja.
Dalam penelusuran berita terkait hal ini dikatakan bahwa tembakau Gorilla mengandung zat
sintetis mirip ganja (canabinoid), yaitu AB-CHMINACA.
Kepala Humas BNN Kombes Pol Selamet Pribadi, seperti dikutip dari berita metronews.com,
Jumat (9/10/2015), mengatakan bahwa zat ini memiliki sifat seperti canabinoid atau halusinogen
(zat yang bisa menyebabkan halusinasi). Artinya, zat ini bisa menimbulkan gejala gangguan
jiwa, seperti halusinasi.
Bahayanya
Zat yang dapat menyebabkan gejala gangguan jiwa seperti euforia ataupun halusinasi berbahaya
bagi otak pemakainya. Euforia atau senang berlebihan dan halusinasi atau gangguan persepsi
sehingga orang bisa melihat atau mendengar sesuatu yang tidak ada sumbernya adalah dua gejala
gangguan jiwa yang terkait dengan aktivitas zat kimia di otak (neurotransmiter) dopamin.
Dopamin di otak, jika dalam jumlah yang seimbang, sebenarnya berfungsi untuk proses berpikir
dan merasakan sesuatu. Jika jumlahnya berlebihan, maka kondisi itu bisa menimbulkan gejala
gangguan jiwa, seperti halusinasi dan delusi (biasanya delusi paranoid, misalnya ketakutan atau
kecurigaan yang berlebihan bahwa ada seseorang yang akan berbuat jahat terhadap dirinya).
Inilah yang juga terjadi pada pasien gangguan jiwa skizofrenia paranoid. Pasien skizofrenia
paranoid biasanya mengalami halusinasi dan delusi karena dopamin di otaknya berlebih.
Maka dari itu, tidak bisa dipungkiri bila pemakaian zat yang bisa memicu peningkatan aktivitas
dopamin di otak, seperti ganja atau tembakau Gorilla, bisa memicu terjadinya gangguan jiwa,
apalagi pada individu dengan sistem otak yang memang sudah rentan dan mempunyai bawaan
genetik gangguan jiwa skizofrenia paranoid.
Hal inilah yang mungkin perlu diketahui oleh para anak muda pengguna zat-zat adiktif dan
berbahaya yang sering kali menimbulkan gejala gangguan jiwa.
Banyak yang masih berpendapat bahwa kalau pakai sekali-kali tidak masalah. Hal ini sangat
tidak tepat. Saya dalam praktik pernah menemukan pasien yang mengalami halusinasi dan delusi
menetap setelah mencoba mengisap ganja sekali saja. Pasien sampai menyesal tak terkira, tetapi
apa daya nasi telah menjadi bubur.
Keinginan coba-coba yang kuat sering kali membuat penilaian anak muda menjadi salah terkait
obat-obatan terlarang. Mereka sangat ingin mencoba dan merasakan efeknya karena pengaruh
teman-teman.
Beberapa anak muda yang memang dasarnya suka mabuk dan ingin selalu high memang
memanfaatkan pengetahuan tentang obat secara salah. Banyak dari mereka yang coba-coba

berbagai macam zat agar mendapat efek "gitting" alias getting high dengan cara mencampur
obat.
Tugas BNN akan menjadi lebih berat ke depannya untuk mendeteksi setiap upaya dari orangorang tertentu yang memang berniat tidak baik untuk membuat generasi muda jadi generasi yang
bodoh dan maunya senang dengan cara instan.
Selain dengan pendidikan berkaitan dengan narkotika dan psikotropika, BNN juga perlu
mempunyai upaya mendeteksi zat-zat yang berbahaya di pasaran yang belum termasuk dalam
UU Narkotika dan Psikotropika.
Upaya laporan dari masyarakat perlu ditindaklanjuti untuk membuat kerja proaktif dalam upaya
penanggulangan penyalahgunaan zat yang bisa merusak generasi muda Indonesia.
BNN tidak boleh kalah pintar dengan para peramu obat yang berusaha terus-menerus mencari
celah dalam mendapatkan zat yang efeknya sama dengan obat-obatan terlarang. Semoga kita
semua bisa saling berkontribusi.
Salam Sehat Jiwa
Penulis
Editor

: dr Andri, SpKJ, FAPM


: Lusia Kus Anna

Anda mungkin juga menyukai