VETERAN JAKARTA
LAPORAN KASUS
HIPOKSIK ISKEMIK ENSEFALOPATI
Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
di Departemen Kesehatan Anak
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa
DiajukanKepada :
Pembimbing
dr. Endang Prasetyowati, Sp. A
Disusun Oleh :
Febri Qurrota Aini
NRP. 1320221136
Disusun Oleh:
Febri Qurrota Aini
132.0221.136
Mengesahkan:
Pembimbing
KATA PENGANTAR
(Penulis)
BAB I
LAPORAN KASUS
I.1
Identitas Pasien
Nama
Umur
Tanggal Lahir
Jenis kelamin
Alamat
Agama
Status
Pekerjaan
Tanggal masuk RSUD
Tanggal periksa
No.RM
Kelompok pasien
I.2
: By. Ny. S
: 0 hari
: 04 November 2014
: Perempuan
: Wonorejo 2/1 Pringapus, Kab. Semarang
: Islam
: Belum Menikah
: Di bawah umur
: 04 November 2014
: 04 November 2014
: 068299
: BPJS NON PBI
Anamnesis (Subyektif)
Keluhan utama
: Wajah kebiruan
Warna kulit biru kemerahan (+), sianosis (+), hipotonus (+), refleks hisap
(+) lemah, refleks moro (-)
2 jam setelah pasien lahir timbul kejang (+), dengan posisi mulut
mencucu, mata tertutup, lengan fleksi, nadi meningkat.
Riwayat Penyakit Dahulu (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien anak kedua dari 2 bersaudara. Pasien tinggal bersama ayah dan ibu.
Ayah bekerja serabutan, dan ibu bekerja sebagai buruh.
Genogram
I.3
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan dilakukan pada hari ke-I rawat inap di bangsal Seruni
Keadaan umum : kejang, tidak aktif, tangisan lemah, sianosis (+) pada
wajah.
Kesadaran
: Letargi
Tanda vital
o Nadi
: 120 x/menit,
o RR
: 52 x/menit
Berat badan
: 3250 gram
Panjang badan
: 46.5 cm
Lingkar Kepala
: 34
cm
Status Interna
Kulit
sianosis pada wajah (+), turgor kulit (+), neonatal ikterik (-)
Kepala
Mata
Hidung
Telinga
(-/-)
Mulut
palatoschicic (-)
Leher
Cor
Palpasi
(-)
Pulmo
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Abdomen
Inspeksi
Perkusi
Palpasi
Deformitas
Akral dingin
Sianosis
Ikterik
CRT
Tonus
Kedua lengan dan
Superior
Inferior
-/-/-/-/-/-/-/-/<2 / <2
<2 / <2
Hipertoni
Hipertoni
tungkai dalam posisi fleksi, Garis lipatan telapak kaki
+ lemah
Tidak
dapat
Palmar grasping
Tonick neck
dinilai
+
Tidak
dapat
dinilai
+
babinsky
New Ballarad Score
a. Neuromuscular
Postur
:4
Arm window
:3
Arm recoil
:4
Poplitea angel
:5
Scarf sign
:4
Heal to ear
:4
Total
: 24
b. Maturasi Fisik
Kulit
:3
8
Lanugo
:2
Plantar surface
:3
Dada
:2
:3
Total
: 16
1.5
Assesment
Asfiksia berat
Neonatal infeksi
Neonatus postterm
Planning
o Darah lengkap
o Golongan darah
9
o GDS
o Elektrolit
o USG kepala
I.6
Pemeriksaan Penunjang
Hasil laboratorium :
Tanggal 05-09-2014 (Pukul: 7.21)
PEMERIKSAAN
HASIL
NILAI
SATUAN
RUJUKAN
KIMIA KLINIK
Gula Darah Sewaktu
Kesan: Hipoglikemia
22 L
30-80
mg/dL
NILAI
SATUAN
Pemeriksaan Laboratorium:
Tanggal : 4-11-2014 (Pukul 10.51)
PEMERIKSAAN
HASIL
RUJUKAN
HEMATOLOGI
Darah Rutin
Hemoglobin
Leukosit
Eritrosit
Hematokrit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
RDW
MPV
Limfosit
Monosit
Eosinofil
Basofil
Neutrofil
11.4 L
24.2
2.87 L
33.9 L
142 L
118.1
39.7 H
33.6
15.6
8.1
6.4
1.6
0.2
0.3
15.6
14.5 22.5
10 30
4.0 5.4
44 58
150 400
100 120
34 38
32 36
10 16
7 11
2.0 11.0
0.4 3.1
0.2 0.85
0-0.64
6.0-26.0
g/dL
Ribu
Juta
%
Ribu
Mikro m3
Pg
g/dL
%
Mikro m3
10*3/mikroL
10*3/mikroL
10*3/mikroL
10*3/mikroL
10*3/mikroL
10
Limfosit %
Monosit %
Eosinofil %
Basofil %
Neutrofil %
PCT
PDW
Golongan Darah
KIMIA KLINIK
Natrium
Kalium
Chlorida
GDS
26.5
6.8
0.9 L
1.4
64.4
0.115
12.0
O
25 40
28
2-4
0-1
50-70
0.2 0.5
10 18
%
%
%
%
%
%
%
132.1 L
2.52 L
95.6 L
337 H
136-146
3.5-5.1
98-106
30 80
mmol/L
mmol/L
mmol/L
mg/dL
I.7 Planning
a. Farmakologi
o Inf. D10% 260 cc/24 jam 250 cc/24 jam
o O2 1 lpm
o Inj. Cefotaxim 2 x 150 mg
o Inj. Gentamycin 2 x 10 mg
o Inj. Phenobarbital : 2 x 25 mg
b. Non-Farmakologi
I.8
Sonde
ASI ekslusif
Motivasi keluarga
FOLLOW UP
Hari /
Tanggal
4
Kejang (+)
Tangisan
KU : Lemah
Obs.
Konsul
dr.
Endang, Sp.A:
11
November
2014
Perawatan
hari ke-1
lemah
Gerakan
N : 136 x/mnt
Kejang
RR : 43 x/mnt
e.c HIE
N. aterm
Neonatal
tidak aktif
S : 36,6 0C
Minum (-)
BAK
(-), SpO2 : 90 %
BB: 3250 gram
BAB (-)
infeksi
Asfiksia
K/L : ca -/-, si
berat
-/Thoraks :
Cor: S1>S2 reg
Pulmo: sdv +/+
Abdomen
supel,
:
BU
Normal
Ekstremitas
akral
5
November
2014
Perawatan
hari ke-2
Kejang (-),
Menangis
hangat,
Obs.
N : 120 x/mnt
Kejang
cukup kuat
RR : 52 x/mnt
Minum (-)
S : 36,3 0C
BAK (+) 1x,
SpO2 : 94 %
BAB (-)
BB: 3250 gram
O2 1 lt/mnt
Inf. D10% 280
cc/24 jam
e.c HIE
N. aterm Inj.
Neonatal
Phenobarbital
K/L : ca -/-, si
-/Thoraks :
infeksi
Asfiksia
2x25 mg
Inj. Cefotaxim
sedang
2 x 150 mg
Inj. Gentamycin
2 x 10 mg
:
BU
Normal
Ekstremitas
akral
hangat,
6
November
2014
Perawatan
hari ke-3
Kejang (-)
Tangisan
KU : Lemah
Obs.
N : 110 x/mnt
Kejang
cukup kuat
Gerakan
RR : 45 x/mnt
e.c HIE
Neonatal
S : 36,8 C
kurang aktif
SpO2 : 94 %
Minum NGT
BB: 3200 gram
10 cc
BAK
(+) K/L : ca -/-, si
BAB (+)
-/-
infeksi
Riwayat
asfiksia
sedang
O2
liter/menit
Inf. D10% 320
cc/24 jam
Inj.
Phenobarbital
2 x 15 mg
Inj. Cefotaxim
2 x 150 mg
Inj.
Thoraks :
Cor: S1>S2 reg
Gentamycin 2
x 10 mg
Abdomen
supel,
:
BU
Normal
Ekstremitas
akral
hangat,
Kejang (-)
Menangis
kuat
Obs.
KU : Lemah
N : 122 x/mnt
Kejang
namun RR : 40 x/mnt
jarang
Gerakan
e.c HIE
N. aterm
Neonatal
S : 36,6 0C
SpO2 : 100 %
kurang aktif
infeksi
BB: 3200 gram
BAK (+) 1x,
Asfiksia
K/L : ca -/-, si
BAB (+) 1x
sedang
-/ Minum (+)
ASI+NGT
Thoraks :
20 cc
O2
liter/menit
Inf. D10% 360
cc/24 jam
Inj.
Phenobarbital
2 x 10 mg
Inj. Cefotaxim
2 x 150 mg
Inj. Gentamycin
2 x 10 mg
:
BU
Normal
Ekstremitas
:
13
akral
8
November
2014
Perawatan
hari ke-5
Kejang (-)
Tangisan
merintih
Gerakan
hangat,
Obs.
N : 120 x/mnt
Kejang
RR : 40 x/mnt
e.c HIE
N. aterm
Neonatal
S : 36,8 0C
Terapi lanjut
kurang aktif
SpO2 : 97 %
Minum (+)
infeksi
BB: 3200 gram
Asfiksia
50 cc
BAK
(-), K/L : ca -/-, si
sedang
-/BAB (-)
Thoraks :
Cor: S1>S2 reg
Pulmo: sdv +/+
Abdomen
supel,
:
BU
Normal
Ekstremitas
akral
9
November
2014
Perawatan
hari ke-6
Kejang (-)
Tangisan
merintih
hangat,
Obs.
N : 130 x/mnt
Kejang
RR : 44 x/mnt
e.c HIE
N. aterm
Neonatal
lemah
Gerakan
S : 36,9 C
BAB (-)
Thoraks :
Terapi lanjut
SpO2 : 88 %
kurang aktif
infeksi
BB: 3200 gram
Minum (+)
Asfiksia
K/L : ca -/-, si
100 cc
sedang
BAK
(-), -/Cor: S1>S2 reg
Pulmo: sdv +/+
Abdomen
supel,
:
BU
Normal
14
Ekstremitas
akral
10
November
2014
Perawatan
hari ke-7
Kejang (-)
Tangisan
merintih
lemah
Gerakan
hangat,
Obs.
N : 122 x/mnt
Kejang
RR : 46 x/mnt
e.c HIE
N. aterm
Neonatal
S : 36,8 0C
SpO2 : 99 %
kurang aktif
infeksi
BB: 3000 gram
Minum (+)
Asfiksia
K/L : ca -/-, si
195 cc
sedang
BAK (+) 1x, -/BAB (+) 1x
Thoraks :
Cor: S1>S2 reg
supel,
liter/menit
Inf. D10% 450
cc/24 jam
Inj.
Phenobarbital
2 x 15 mg
Inj. Cefotaxim
2 x 150 mg
Inj. Gentamycin
2 x 20 mg
Kandistatin 2x5
O2
mg
:
BU
Normal
Ekstremitas
akral
11
November
2014
Perawatan
hari ke-8
Kejang (-)
Tangisan
kurang kuat
Gerakan
hangat,
Obs.
N : 120 x/mnt
Kejang
RR : 40 x/mnt
e.c HIE
N. aterm
Neonatal
S : 36,6 C
kurang aktif
SpO2 : 99 %
Minum (+)
infeksi
BB: 3000 gram
Asfiksia
260 cc
BAK
(+), K/L : ca -/-, si
sedang
-/BAB (+)
Thoraks :
Cor: S1>S2 reg
O2
liter/menit
Inf. D10% 480
cc/24 jam
Inj.
Phenobarbital
2 x 15 mg
Inj. Cefotaxim
2 x 150 mg
Inj. Gentamycin
2 x 20 mg
:
BU
15
Normal
Ekstremitas
akral
12
November
2014
Perawatan
hari ke-9
Kejang (-)
Tangisan
kurang kuat
Gerakan
hangat,
Obs.
N : 124 x/mnt
Kejang
RR : 44 x/mnt
e.c HIE
N. aterm
Neonatal
Terapi lanjutkan
S : 35,4 C
kurang aktif
SpO2 : 97 %
Minum (+)
infeksi
BB: 3000 gram
Asfiksia
230 cc
BAK 4x (+), K/L : ca -/-, si
sedang
-/BAB (+)
Thoraks :
Cor: S1>S2 reg
Pulmo: sdv +/+
Abdomen
supel,
:
BU
Normal
Ekstremitas
akral
13
November
2014
Perawatan
hari ke-10
Kejang (-)
Tangisan
kurang kuat
Gerakan
hangat,
Obs.
N : 118 x/mnt
Kejang
RR : 50 x/mnt
e.c HIE
N. aterm
Neonatal
S : 36,4 0C
kurang aktif
SpO2 : 90 %
Minum (+)
infeksi
BB: 3000 gram
Asfiksia
250 cc
K/L
:
ca
-/-,
si
BAK (+) 5x,
sedang
-/BAB (+) 3x
O2
liter/menit
Inf. D10% 450
cc/24 jam
Inj. Cefotaxim
2 x 150 mg
Inj.
Gentamycin 2
x 10 mg
Thoraks :
Cor: S1>S2 reg
Pulmo: sdv +/+
Abdomen
:
16
supel,
BU
Normal
Ekstremitas
akral
14
November
2014
Perawatan
hari ke-11
Kejang (-)
Tangisan
cukup kuat
Gerakan
hangat,
Obs.
N : 118 x/mnt
Kejang
RR : 50 x/mnt
e.c HIE
N. aterm
Neonatal
Terapi lanjut
S : 35,8 C
cukup aktif
SpO2 : 91 %
Minum (+)
infeksi
K/L : ca -/-, si
Asfiksia
255 cc
BAK (+) 5x, -/sedang
Thoraks :
BAB (+) 1x
Cor: S1>S2 reg
Pulmo: sdv +/+
Abdomen
supel,
:
BU
Normal
Ekstremitas
akral
15
November
2014
Perawatan
hari ke-12
Kejang (-)
Tangisan
cukup kuat
Gerakan
hangat,
Obs.
N : 148 x/mnt
Kejang
RR : 48 x/mnt
e.c HIE
N. aterm
Neonatal
S : 36,7 0C
Terapi lanjut
cukup aktif
SpO2 : 95 %
Minum (+)
infeksi
BB: 3000 gram
Asfiksia
285 cc
BAK (+) 6x, K/L : ca -/-, si
sedang
-/BAB (+) 4x
Thoraks :
Cor: S1>S2 reg
Pulmo: sdv +/+
Abdomen
:
17
supel,
BU
Normal
Ekstremitas
akral
hangat,
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I.1
I.1.1
Pendahuluan
Hipoxic ischemic encephalopathy (HIE) adalah suatu sindrom yang
ditandai dengan adanya kelainan klinis dan laboratorium yang timbul karena
adanya cedera pada otak yang akut yang disebabkan karena asfiksia. Walaupun
telah banyak dicapai kemajuan teknologi di bidang teknologi monitoring dan
patofisiologi perinatal asfiksia pada janin dan neonatus, HIE masih merupakan
penyebab mortalitas dan morbiditas jangka panjang. HIE terutama di picu oleh
keadaan hipoksik otak, iskemik oleh karena hipoksik sistemik dan penurunan
aliran darah ke otak.1
Di Amerika Serikat, asfiksia perinatal terjadi 1,0-1,5% bayi lahir hidup.
Insiden semakin menurun dengan bertambahnya umur kehamilan dan berat lahir.
Insiden HIE di AS terjadi 2-9 per 1000 bayi aterm yang lahir hidup. Angka
kejadian di negara berkembang per 1000 kelahiran aterm lahir hidup masingmasing Malaysia 18, Kuwait 18, India 59, Nigeria 265. Di RS Soetomo Surabaya
12,25% dari 3405 bayi yang dirawat tahun 2004 menderita asfiksia. Angka
18
I.1.2
Definisi
Hypoxic ischemic encephalopathy (HIE) adalah suatu sindrom yang
ditandai dengan adanya kelainan klinis dan laboratorium yang timbul karena
adanya cedera pada otak yang akut yang disebabkan karena asfiksia. Definisi HIE
menurut The Neonatology Clinical Care Unit (NCCU) adalah berkurangnya
suplai oksigen ke otak dan berkurangnya aliran darah ke otak sehingga
menyebabkan supresi aktivitas listrik dan depresi kortikal.1
Hipoksia merupakan istilah yang menggambarkan turunnya konsentrasi
oksigen dalam darah arteri, sedangkan iskemia menggambarkan penurunan aliran
darah ke sel atau organ yang menyebabkan insufisiensi fungsi pemeliharaan organ
tersebut.2 Ensefalopati adalah istilah klinis dimana bayi mengalami gangguan
tingkat kesadaran pada waktu dilakukan pemeriksaan.1
I.1.3
Epidemiologi
19
neonatal,
25-30%
yang
bertahan
hidup
mempunyai
kelainan
neurodevelopmental permanent.5
I.1.4
Etiologi
Asfiksia perinatal adalah akibat berbagai kejadian selama periode perinatal
score 4-6 pada 1 menit pertama dan asfiksia berat bila bayi lahir tidak bernafas
atau apgar score 0-3 pada 1 menit pertama. Asfiksia perinatal merupakan
penyebab utama kejang. Kejang biasanya terjadi pada 24 jam pertama pada
sebagian besar kasus dan berprogresi menjadi status epileptikus.6
Berbagai macam penyebab yang dapat menyebabkan asfiksia perinatal
yaitu:6
a. Gangguan oksigenasi pada ibu hamil
b. Penurunan aliran darah ibu ke plasenta atau dari plasenta ke fetus
c. Gangguan pertukaran gas yang melalui plasenta atau fetus.
d. Peningkatan kebutuhan fetal oksigen.
Faktor risiko yang dapat menyebabkan asfiksia perinatal yaitu faktor
maternal, plasenta & tali pusat dan fetus/neonatus:7
-
Kelainan plasenta dan tali pusat: infark dan fibrosis plasenta, solusio
plasenta, prolaps atau kompresi tali pusat, kelainan pembuluh darah
umbilikus, insufisiensi plasenta, plasentitis, tali pusat yang sangat panjang.
I.1.5
Patofisiologi4,6,8
Fetus dan neonatus lebih tahan terhadap asfiksia dibandingkan dengan
dewasa. Hal ini dibuktikan bahwa pada saat terjadi hipoksik iskemik, fetus
berusaha mempertahankan hidupnya dengan mengalihkan darah (redistribusi) dari
paru-paru, gastrointestinal, hepar, ginjal, limpa, tulang, otot dan kulit, menuju ke
otak, jantung dan adrenal (diving reflex). Pada fetal distress, peristaltik usus
meningkat, spinter ani terbuka, mekonium akan keluar bercampur dengan air
ketuban, skuama, lanugo, akan masuk ke trakea dan paru-paru, sehingga tubuhnya
21
berwarna hijau dan atau kekuningan. Kombinasi antara hipoksia fetal yang kronis
dengan cedera hipoksik iskemik akut setelah lahir akan mengakibatkan kelainan
neuropatologi yang sesuai dengan umur kehamilannya.
Pada hipoksia yang ringan, timbul detak jantung yang menurun,
meningkatkan tekanan darah yang ringan untuk memelihara perfusi pada otak,
meningkatkan tekanan vena sentral, dan curah jantung. Bila asfiksianya berlanjut
dengan hipoksia yang berat dan asidosis, timbul detak jantung yang menurun, dan
menurunnya tekanan darah sebagai akibat gagalnya fosforilasi oksidasi dan
menurunnya cadangan energi. Selama asfiksia timbul produksi metabolik anaerob
yaitu asam laktat. Selama perfusinya jelek, maka asam laktat tertimbun dalam
jaringan lokal.
sehingga asam laktat meningkat dan pH menurun. Jaringan otak yang mengalami
hipoksia akan meningkatkan penggunaan glukosa. Cadangan glukosa menjadi
berkurang, cadangan energi berkurang, timbunan asam laktat meningkat. Selama
hipoksia berkepanjangan, curah jantung menurun, aliran darah otak menurun dan
adanya kombinasi proses hipoksik-iskemik menyebabkan kegagalan sekunder dari
oksidasi fosforilasi dan produksi ATP menurun. Karena kekurangan energi, maka
ion pump terganggu sehingga timbul penimbunan Na+, Cl-, H2O, Ca2+ intraseluler,
K+, glutamat dan aspartat ekstraseluler.
Berkurangnya pasokan glukosa ke otak akan memicu terjadinya influx
Ca2+ ke dalam sel dan ekspresi glutamat yang meningkat. Hal ini didukung oleh
hilangnya keseimbangan potensial membran dan terbukanya saluran ion yang
voltage-dependent (VDCC = Voltage Dependent Calsium Channels). Metabolisme
glukosa beralih ke proses yang anaerobik. ATP terkuras dan terjadinya asidosis
laktat. Glutamat memicu reseptor N-Methyl-D-Aspartate (NMDA) dengan efek
membuka reseptor tersebut untuk Ca2+ masuk. Ion kalsium yang masuk di dalam
neuron mengaktifkan enzim-enzim seperti protease, lipase, endonuklease dan
berakibat pada fosfolipid sebagai konstituen sel membran. Terjadi mobilisasi asam
arakhidonat yang diproses oleh lipoksigenase dan siklo-oksigenase dalam sitosol
menjadi leukotriens, prostaglandin dan tromboksan. Proses ini disertai pelepasan
radikal oksigen bebas yang berakibat terjadinya peroksidasi membran sel yang
kemudian pecah dan isi sel mengalir keluar. Neuron mengalami kematian akibat
22
23
I.1.6
Manifestasi Klinis
Pada asfiksia perinatal dapat timbul gangguan fungsi pada beberapa organ
yaitu otak, jantung, paru, ginjal, hepar, saluran cerna dan sumsum tulang.
Didapatkan satu atau lebih organ yang mengalami kelainan pada 82% kasus
24
asfiksia perinatal. Susunan saraf pusat merupakan organ yang paling sering
terkena (72%), ginjal 42%, jantung 29%, gastrointestinal 29%, paru-paru 26%. 1
Pucat, sianosis, apnea, bradikardia dan tidak adanya respon terhadap
stimulasi juga merupakan tanda-tanda HIE. Edema serebral dapat berkembang
dalam 24 jam kemudian dan menyebabkan depresi batang otak. Selama fase
tersebut, sering timbul kejang yang dapat memberat dan bersifat refrakter dengan
pemberian dosis standar obat anti konvulsan. HIE merupakan penyebab tersering
kejang pada bayi baru lahir (60-65%), biasanya terjadi dalam 24 jam pertama dan
sering dimulai 12 jam pertama. Dapat terjadi pada bayi cukup bulan maupun bayi
kurang bulan dengan asfiksia. Bentuk kejang bersifat subtle atau multifokal klinik
serta fokal klonik. Walaupun kejang sering merupakan akibat HIE, kejang pada
bayi juga dapat disebabkan oleh hipokalsemia dan hipoglikemia.2
Ensefalopati klinis puncaknya timbul pada hari ke 3-4 setelah lahir dan
sekuele neurologis yang timbul secara langsung berhubungan dengan keparahan
ensefalopati. Ensefalopati atau kejang tanpa adanya kelainan kongenital atau
sindrom, biasanya berhubungan dengan kejadian prenatal atau perinatal.3
Manifestasi klinis pada organ lainnya tersebut adalah:1,2
a. Ginjal Oliguria-anuria, hematuria, proteinuria. Bisa timbul gagal ginjal
akut dan acute tubular necrosis.
b. Sistem kardiovaskuler Hipotensi, nekrosis, iskemik miokardial, syok,
disfungsi ventrikel.
c. Paru Edema paru, perdarahan paru, respiratory distress syndrome,
meconeal aspiration syndrome.
d. Sistem saluran cerna Fungsional intestinal obstruction, ileus paralitik,
ulkus, perforasi, necrotizing enterocolitis.
e. Metabolik Asidosis, hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia.
f. Hepar Gangguan fungsi hati, pembekuan darah, metabolism bilirubin,
dan albumin.
g. Hematologi Perdarahan, DIC (disseminated intravascular coagulation)
h. Kematian Otak Berdasarkan kriteria AAP.
25
Derajat 1
Derajat 2
Derajat 3
Tingkat kesadaran
Iritabel
Letargik
Stupor, coma
Tonus otot
Normal
Hipotonus
Flaksid
Postur
Normal
Fleksi
Decerebrate
Refleks
Hiperaktif
Hiperaktif
Tidak ada
Tampak
Tampak
Tidak tampak
Kuat
Lemah
Tidak ada
Midriasis
Miosis
Tidak beraturan,
tendon/klonus
Myoclonus
Refleks Moro
Pupil
refleks cahaya
lemah
Kejang
Tidak ada/jarang
Sering terjadi
Decerebrate
26
EEG
Normal
Voltage rendah
yang berubah
dengan kejang
Durasi
<24 jam
24 jam 14 hari
Burst suppression
to isoelektrik
Beberapa hari
hingga minggu
Hasil akhir
Baik
bervariasi
Kematian,
kecacatan berat
I.1.7
Diagnosis
Diagnosis HIE memerlukan bukti apa yang menyebabkan iskemik dan
hipoksia pada saat sebelum, selama dan setelah lahir. Data yang teliti tentang
riwayat, pemeriksaan neurologis, laboratorium penting untuk menentukan
hipoksik iskemik sebagai penyebab ensefalopati. Semua aspek riwayat maternal
harus digali, mencakup kehamilan, persalinan, kelahiran dan masa postnatal.
Analisis patologi plasenta juga diperlukan tapi tidak sering dilakukan.9
Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khusus untuk menyingkirkan
atau menegakkan diagnosis HIE. Pemeriksaan penunjang dikerjakan untuk
memonitor fungsi maupun kelainan organ sistemik dan cedera otak.9
27
a.
Pemeriksaan antara lain darah lengkap, gula darah, urin, serum elektrolit,
BUN dan serum kreatinin, faal pembekuan darah, faal hati, analisis gas
b.
c.
d.
e.
darah,
Foto thorak
Punksi lumbal dilakukan untuk mendeteksi kemungkinan adanya
perdarahan intrakranial atau untuk menyingkirkan adanya meningitis.
Pemeriksaan EEG dapat membantu untuk menentukan pengobatan dan
prognosis penderita.
Ultrasonografi kepala. Pemeriksaan USG kepala sangat membantu pada
bayi yang prematur. Dianjurkan pada bayi yang umur kehamilannya <30
minggu, minimal 1 kali, diulang pada umur 7-14 hari dan diperiksa
kembali pada umur kronologisnya 36-40 minggu. Cara ini dapat
mengidentifikasi perdarahan intraventrikular dan nekrosis basal ganglia
f.
dan thalamus.
CT Scan kepala. Pada bayi yang aterm yang mengalami cedera hipoksik
iskemik biasanya dilakukan pemeriksan CT Scan kepala pada usia 2-5
hari, dimana pada waktu tersebut timbul edema serebri yang maksimal.
Proses perdarahan akut dan kalsifikasi intrakranial akan lebih baik
divisualisasi
dengan
pemeriksan
CT Scan
dibandingkan
dengan
h.
I.1.8
Penatalaksanaan
28
Bayi baru lahir dengan HIE juga mengalami gangguan sistem pernafasan,
kardiovaskular, hepar, fungsi ginjal, sehingga penanggulannya memerlukan
pendekatan multisystem.1,3,7
A. Upaya yang optimal adalah pencegahan. Tujuan utama yaitu
mengidentifikasi dan mencegah fetus dan neonatus yang mempunyai
risiko
mengalami
asfiksia
sejak
dalam
kandungan
hingga
persalinannya.
B. Resusitasi. Segera lakukan resusitasi bayi yang mengalami apnea dan
atau hypoxic ischemic encephalopathy. Tujuan resusitasi adalah untuk
memperbaiki fungsi pernafasan dan jantung bayi yang tidak bernafas.
1. Ventilasi yang adekuat. Usahakan memberikan ventilasi sehingga
PCO2 dalam kadar yang fisiologis. Hiperkarbia akan menyebabkan
asidosis serebral dan vasodilatasi pembuluh darah serebral.
2. Oksigenasi yang adekuat. Hipoksia akan menyebabkan pressurepassive circulation dan neuronal injury.
3. Perfusi yang adekuat.
4. Koreksi asidosis metabolik. Tujuan utama untuk memelihara
keseimbangan asam basa dalam jaringan tetap normal.
5. Pertahankan kadar glukosa dalam darah antara 75 sampai 100
mg/dl untuk menyediakan bahan yang adekuat bagi metabolisme
otak.
6. Kadar kalsium harus dipertahankan dalam kadar yang normal.
Hipokalsemia adalah suatu kelainan elektrolit yang sering dijumpai
pada sindrom post asfiksia neonatal dengan gejala kejang.
Diberikan Ca glukonas 10% 200 mg/kgBB intravena atau 2
ml/kgBB diencerkan dalam aquades sama banyak diberikan secara
intravena dalam waktu 5 menit.
7. Mencegah timbulnya edema serebri. Tujuan utama untuk mecegah
timbulnya edema serebri dengan cara mencegah overload dari
cairan. Restriksi cairan dengan pemberian 60 ml/kgBB per hari.
8. Atasi kejang. Bila ada kejang maka Phenobarbital adalah obat
pilihan.
Penanggulangan kejang dengan Phenobarbital terutama dengan dosis
tinggi memberikan beberapa keuntungan :10
29
kerusakan
Mencegah dan mengurangi edema otak
30
I.1.10 Prognosis13
Penderita yang mengalami HIE prognosisnya bervariasi, ada yang sembuh
total, cacat atau meninggal dunia. Pada stadium ringan pada umumnya sembuh
total dan pada stadium sedang 80% normal, sisanya timbul kelainan bila gejalanya
tetap ada lebih dari 5-7 hari. Insiden dan komplikasi jangka panjang tergantung
31
dari keparahan HIE. Sebanyak 80% bayi HIE yang hidup mendapat komplikasi
serius, 10-20% dengan disabilitas berat dan 10% sehat.5 Prognosis juga tergantung
dari adanya komplikasi metabolik dan kardiopulmonal (hipoksia, hipoglikemia,
syok), keparahan ensefalopati dan usia kehamilan (buruk jika prematur).
Berdasarkan NCCU Guidelines, prognosis HIE sebagai berikut:
a. Ringan (stadium 1) : Semua hidup normal
b. Sedang (stadium 2) : 5% meninggal, 20% dengan sekuele
neurologi
c. Berat (stadium 3): 75% meninggal, 90-100% dengan
sekuele neurologi.
Ada beberapa faktor atau keadaan yang dapat dipakai untuk menilai
prognosis. Prognosisnya jelek apabila:
1. Asfiksia berat yang berkepanjangan (apgar score = 3 pada umur 20
menit)
2. HIE stadium berat menurut Sarnat dan Sarnat, 50% meninggal dunia
dan sisanya dengan gejala berat.
3. Kejang yang sulit diatasi muncul sebelum 12 jam yang disertai dengan
kelainan multi organ.
4. Adanya kelainan neurologi yang persisten pada 1-2 minggu saat
dipulangkan, 50% akan timbul epilepsi.
5. Adanya oliguria persisten (produksi urin <1 ml/kgBB per jam selama
36 jam pertama).
6. Mikrosefali pada 3 bulan pertama setelah lahir. Menurunnya rasio
lingkaran kepala yang didapatkan waktu lahir dibandingkan dengan
usia 4 bulan dibagi rerata lingkaran kepala pada usianya x 100% >
3,1%, merupakan cara untuk memprediksi timbulnya mikrosefali
sebelum usia 18 bulan.
7. Adanya kelainan EEG yang sedang sampai berat. Adanya EEG yang
normal atau ringan yang terjadi pada hari pertama setelah lahir
merupakan tanda outcome yang normal.
8. Adanya kelainan CT Scan yang berupa
perdarahan
hebat,
I.1.12 Kesimpulan6
Bayi baru lahir dengan HIE mengalami gangguan sistem pernafasan,
kardiovaskular, hepar, fungsi ginjal, sehingga penanggulangannya memerlukan
pendekatan multisistem. Pengobatan HIE perinatal secara holistic, menyeluruh
dan utuh, karena kelainan satu organ akan mempengaruhi organ lainnya.
Hipoksia iskemik perinatal merupakan penyebab penting brain injury pada
neonatus dan disertai dengan sekuele neurologis yang lama seperti disfungsi
kognitif, keterlambatan perkembangan, kejang, gangguan sensorik maupun
motorik.
Upaya
yang
optimal
adalah
pencegahan
yang
bertujuan
untuk
33
ASFIKSIA NEONATORUM
2.1 Definisi
Beberapa sumber mendefinisikan asfiksia neonatorum dengan berbeda :
WHO
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan
teratur segera setelah lahir.17
34
Primipara 18
Malpresentasi 18
Prematuritas BBLR
Partus lama 18
kehamilan
Anemia
Diabetes mellitus
Penyakit hati dan ginjal
Penyakit kolagen dan
pembuluh darah
traumatik
Pertumbuhan janin
terhambat Kelainan
kongenital
Mekoneum dalam
ketuban7,8
Ketuban pecah dini7
Induksi Oksitosin 8
kematian
neonatus sebelumnya 18
Penggunaan sedasi,
anelgesi atau anestesi 17
2.3 Patofisiologi
2.3.1 Cara bayi memperoleh oksigen sebelum dan setelah lahir
Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau jalan
untuk mengeluarkan karbondioksida. Pembuluh arteriol yang ada di dalam paru
janin dalam keadaan konstriksi sehingga tekanan oksigen (pO2) parsial rendah.
36
Hampir seluruh darah dari jantung kanan tidak dapat melalui paru karena
konstriksi pembuluh darahjanin, sehingga darah dialirkan melalui pembuluh yang
bertekanan lebih rendah yaitu duktus arteriosus kemudian masuk ke aorta.23
Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai sumber
utama oksigen. Cairan yang mengisi alveoli akan diserap ke dalam jaringan paru,
dan alveoli akan berisi udara. Pengisian alveoli oleh udara akan memungkinkan
oksigen mengalir ke dalam pembuluh darah di sekitar alveoli.
Arteri dan vena umbilikalis akan menutup sehingga menurunkan tahanan
pada sirkulasi plasenta dan meningkatkan tekanan darah sistemik. Akibat tekanan
udara dan peningkatan kadar oksigen di alveoli, pembuluh darah paru akan
mengalami relaksasi sehingga tahanan terhadap aliran darah bekurang.
Keadaan relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah sistemik,
menyebabkan tekanan pada arteri pulmonalis lebih rendah dibandingkan tekanan
sistemik sehingga aliran darah paru meningkat sedangkan aliran pada duktus
arteriosus menurun. Oksigen yang diabsorbsi di alveoli oleh pembuluh darah di
vena pulmonalis dan darah yang banyak mengandung oksigen kembali ke bagian
jantung kiri, kemudian dipompakan ke seluruh tubuh bayi baru lahir. Pada
kebanyakan keadaan, udara menyediakan oksigen (21%) untuk menginisiasi
relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat kadar oksigen meningkat dan pembuluh
paru mengalami relaksasi, duktus arteriosus mulai menyempit. Darah yang
sebelumnya melalui duktus arteriosus sekarang melalui paru-paru, akan
mengambil banyak oksigen untuk dialirkan ke seluruh jaringan tubuh.23
Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan menggunakan
paru-parunya untuk mendapatkan oksigen. Tangisan pertama dan tarikan napas
yang dalam akan mendorong cairan dari jalan napasnya. Oksigen dan
pengembangan paru merupakan rangsang utama relaksasi pembuluh darah paru.
Pada saat oksigen masuk adekuat dalam pembuluh darah, warna kulit bayi akan
berubah dari abu-abu/biru menjadi kemerahan.
37
penurunan tekanan darah, yang mengkibatkan aliran darah ke seluruh organ akan
berkurang. Sebagai akibat dari kekurangan perfusi oksigen dan oksigenasi
jaringan, akan menimbulkan kerusakan jaringan otak yang irreversible, kerusakan
organ tubuh lain, atau kematian. Keadaan bayi yang membahayakan akan
memperlihatkan satu atau lebih tanda-tanda klinis seperti tonus otot buruk karena
kekurangan oksigen pada otak, otot dan organ lain; depresi pernapasan karena
otak kekurangan oksigen; bradikardia (penurunan frekuensi jantung) karena
kekurangan oksigen pada otot jantung atau sel otak; tekanan darah rendah karena
kekurangan oksigen pada otot jantung, kehilangan darah atau kekurangan aliran
darah yang kembali ke plasenta sebelum dan selama proses persalinan; takipnu
(pernapasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan paru-paru; dan sianosis
karena kekurangan oksigen di dalam darah.23
2.3.4 Mekanisme yang terjadi pada bayi baru lahir mengalami gangguan di
dalam kandungan atau pada masa perinatal
Penelitian laboratorium menunjukkan bahwa pernapasan adalah tanda vital
pertama yang berhenti ketika bayi baru lahir kekurangan oksigen. Setelah periode
awal pernapasan yang cepat maka periode selanjutnya disebut apnu primer
(gambar 1).
Rangsangan seperti mengeringkan atau menepuk telapak kaki akan
menimbulkan pernapasan. Walaupun demikian bila kekurangan oksigen terus
berlangsung, bayi akan melakukan beberapa usaha bernapas megap-megap dan
kemudian terjadi apnu sekunder, rangsangan saja tidak akan menimbulkan
kembali usaha pernapasan bayi baru lahir. Bantuan pernapasan harus diberikan
untuk mengatasi masalah akibat kekurangan oksigen.23
39
hipoksia akut akan terjadi redistribusi aliran darah sehingga organ vital seperti
otak, jantung, dan kelenjar adrenal akan mendapatkan aliran yang lebih banyak
dibandingkan organ lain seperti kulit, jaringan muskuloskeletal serta organ-organ
rongga abdomen dan rongga toraks lainnya seperti paru, hati, ginjal, dan traktus
gastrointestinal.
Perubahan dan redistribusi aliran terjadi karena penurunan resistensi
vaskular pembuluh darah otak dan jantung serta meningkatnya resistensi vaskular
di perifer. Hal ini dapat terlihat dalam penelitian lain oleh Akinbi dkk.(1994) yang
melaporkan bahwa pada pemeriksaan ultrasonografi Doppler ditemukan kaitan
yang erat antara beratnya hipoksia dengan menurunnya velositas aliran darah serta
meningkatnya resistensi jaringan di ginjal dan arteri mesenterika superior.
Perubahan ini dapat menetap sampai hari ke-3 neonatus. Perubahan resistensi
vaskular inilah yang dianggap menjadi penyebab utama redistribusi curah jantung
pada penderita, hipoksia dan iskemia neonatus. Faktor lain yang dianggap turut
pula mengatur redistribusi vaskular antara lain timbulnya rangsangan vasodilatasi
serebral akibat hipoksia yang disertai akumulasi karbon dioksida, meningkatnya
aktivitas saraf simpatis dan adanya aktivitas kemoreseptor yang diikuti pelepasan
vasopresin.
Redistribusi aliran darah pada penderita hipoksia tidak hanya terlihat pada
aliran sistemik tetapi juga terjadi saat darah mencapai suatu organ tertentu. Hal ini
dapat terlihat pada aliran darah otak yang ditemukan lebih banyak mengalir ke
batang otak dan berkurang ke serebrum, pleksus khoroid, dan masa putih.
Pada hipoksia yang berkelanjutan, kekurangan oksigen untuk menghasilkan
energi bagi metabolisme tubuh menyebabkan terjadinya proses glikolisis
anerobik. Produk sampingan proses tersebut (asam laktat dan piruvat)
menimbulkan peningkatan asam organik tubuh yang berakibat menurunnya pH
darah
sehingga
terjadilah
asidosis
metabolik.
Perubahan
sirkulasi
dan
41
Pada bayi kurang bulan, proses hipoksia yang terjadi akan lebih berat
dibandingkan dengan bayi cukup bulan akibat kurang optimalnya faktor
redistribusi aliran darah terutama aliran darah otak, sehingga risiko terjadinya
gangguan hipoksik iskemik dan perdarahan periventrikular lebih tinggi. Demikian
pula disfungsi jantung akibat proses hipoksik iskemik ini sering berakhir dengan
payah jantung. Karena itu tidaklah mengherankan apabila pada hipoksia berat,
angka kernatian bayi kurang bulan, terutama bayi berat lahir sangat rendah yang
mengalami hipoksia berat dapat mencapai 43-58%.
2.4.2 Disfungsi multi organ pada hipoksia/iskemia
Gambaran klinik yang terlihat pada berbagai organ tubuh tersebut sangat
bervariasi tergantung pada beratnya hipoksia, selang waktu antara pemeriksaan
keadaan hipoksia akut terjadi, masa gestasi bayi, riwayat perawatan perinatal,
serta faktor lingkungan penderita termasuk faktor sosial ekonomi. Beberapa
penelitian melaporkan, organ yang paling sering mengalami gangguan adalah
susunan saraf pusat. Pada asfiksia neonatus, gangguan fungsi susunan saraf pusat
hampir selalu disertai dengan gangguan fungsi beberapa organ lain (multiorgan
failure). Kelainan susunan saraf pusat yang tidak disertai gangguan fungsi organ
lain, hampir pasti penyebabnya bukan asfiksia perinatal.
Pengaruh
42
Sistem Saraf
Pusat
Kardiovaskular
Pulmonal
Ginjal
Adrenal
Perdarahan adrenal
Saluran Cerna
Metabolik
Kulit
Hematologi
DIC
2.5.2Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisis, skor apgar dipakai untuk menentukan derajat berat
ringannya asfiksia (Tabel 3)
2
43
Warna Kulit
(Appearance)
Biru Pucat
Tubuh merah,
ekstremitas biru
Merah seluruh
tubuh
Frekuensi Jantung
(Pulse)
Tidak Ada
<100x/ menit
>100x/menit
Tidak Ada
Gerakan sedikit
Batuk/ Bersin
Lunglai
Fleksi ekstremitas
Gerakan aktif
Tidak Ada
Menangis lemah/
terdengar seperti
meringis atau
mendengkur
Menangis kuat
Rangsangan
Refleks
(Grimace)
Tonus Otot
(Activity)
Pernafasan
(Respiratory)
Dilakukan pemantauan nilai apgar pada menit ke-1 dan menit ke-5, bila
nilai apgar 5 menit masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan tiap 5 menit sampai
skor menjadi 7. Nilai apgar berguna untuk menilai keberhasilan resusitasi baru
lahir dan menentukan prognosis, bukan untuk memulai resusitasi karena resusitasi
dimulai 30 detik setelah lahir bila bayi tidak menangis.
2.6 Tatalaksana
Sebagian besar bayi baru lahir tidak membutuhkan intervensi dalam
mengatasi transisi dari intrauterin ke ekstrauterin, namun sejumlah kecil
membutuhkan berbagai derajat resusitasi.
45
46
47
48
49
(1) Pernapasan
Resusitasi berhasil bila terlihat gerakan dada yang adekuat, frekuensi dan
dalamnya pernapasan bertambah setelah rangsang taktil. Pernapasan yang megapmegap adalah pernapasan yang tidak efektif dan memerlukan intervensi lanjutan.6
(2) Frekuensi jantung
50
51
52
(2) Kompresi
Lokasi ibu jari atau dua jari : pada bayi baru lahir tekanan diberikan pada 1/3
bawah tulang dada yang terletak antara processus xiphoideus dan garis khayal
yang menghubungkan kedua puting susu.23
pelepasan.23
frekuensi : kompresi dada dan ventilasi harus terkoordinasi baik, dengan
aturan satu ventilasi diberikan tiap selesai tiga kompresi, dengan frekuensi 30
53
ventilasi dihentikan.
Frekuensi jantung dihitung dalam waktu 6 detik kemudian dikalikan 10.
Jika frekuensi jantung telah diatas 60 x/menit kompresi dada dihentikan,
namun ventilasi diteruskan dengan kecepatan 40-60 x/menit. Jika
frekuensi jantung tetap kurang dari 60 x/menit, maka pemasangan kateter
umbilikal untuk memasukkan obat dan pemberian epinefrin harus
dilakukan.
Jika frekuensi jantung lebih dari 100 x/menit dan bayi dapat bernapas
spontan, ventilasi tekanan positif dapat dihentikan, tetapi bayi masih
mendapat oksigen alir bebas yang kemudian secara bertahap dihentikan.
Setelah observasi beberapa lama di kamar bersalin bayi dapat
dipindahkan ke ruang perawatan.
BAB III
ANALISA KASUS
S (Subjektif)
Bayi baru lahir secara spontan dari ibu G2P2A0 dengan usia kehamilan 43
minggu, dengan riwayat Ketuban Pecah Dini > 48 jam dan lilitan tali pusat (+).
Bayi lahir tidak langsung menangis, gerakan tidak aktif, warna kulit biru. Bayi
langsung di suction dan diberikan ventilasi tekanan positif di ruang Bougenville
sebanyak 5 liter. Setelah diberi ventilasi tekanan postif di Ruang Bougenville kulit
bayi bagian badan mulai kemerahan namun kulit wajah tetap kebiruan. Bayi
54
akhirnya dibawa ke Seruni, dalam perjalanan ke Seruni bayi di beri rangsang dan
bayi mulai menangis. Di Seruni bayi diberikan ventilasi tekanan positif dan
kompresi dada, namun wajahnya tetap kebiruan. Pasien diberi bantuan kanul O2.
BBL 3250 gr, PB 46,5 cm, LD: 33 cm, LK 34 cm, LL 10,5 cm. APGAR score 12-3.
Warna kulit biru kemerahan (+), sianosis (+), hipertoni (+), refleks hisap
(+) lemah, refleks moro (-)
2 jam setelah pasien lahir timbul kejang (+), dengan posisi mulut
mencucu, mata tertutup, lengan fleksi, nadi meningkat.
Berdasarkan keluhan pasien, adanya asfiksia berat dan riwayat lilitan tali
pusat yang merupakan faktor resiko hipoksik iskemik ensefalopati sehingga
memungkinkan terjadinya kejang pada bayi. Adanya riwayat KPD > 48 jam juga
dapat menjadi faktor resiko infeksi pada neonates.
O (Objektif)
Keadaan umum
Kesadaran
: Letargi
Tanda vital
o Nadi
: 120 x/menit,
o RR
: 52 x/menit
Berat badan
: 3250 gram
Panjang badan
: 46.5 cm
55
Lingkar Kepala
: 34
cm
Assesment
Asfiksia berat
Neonatus infeksi
Neonates postterm
Planning
c. Farmakologi
o Inf. D10% 260 cc/24 jam 250 cc/24 jam
o O2 1 lpm
o Inj. Cefotaxim 2 x 150 mg
o Inj. Gentamycin 2 x 10 mg
o Inj. Phenobarbital : 2 x 25 mg
d. Non-Farmakologi
Sonde
ASI ekslusif
Motivasi keluarga
DAFTAR PUSTAKA
UNAIR
Dr.
Sutomo
Surabaya.
http://old.pediatrik.com/pkb/061022022401-qf2m135.pdf
2. http://downloads.ziddu.com/downloadfile/18872698/Hipoxicischemicenceph
alopathy.docx.html
57
FK
Trisakti
Jakarta.
https://www.scribd.com/doc/208678127/Patofisiologi-HIE
9. http://digilib.ump.ac.id/files/disk1/18/jhptump-a-mayanginda-896-2-babii.pdf
10. Alex,
Irma.
2013.
Ensefalopati
Hipoksik
Iskemik.
https://www.scribd.com/doc/148481860/Pendahuluan-Refrat-Neo
11.
12.
Lawn J, Shibuya K, Stein C. No cry at birth: global estimates of
intrapartum stillbirths and intrapartum-related neonatal deaths. Bull World Health
Organ 2005; 83:409-17.
13.
London, Susan Mayor. Communicable disease and neonatal problems are
still major killers of children. BMJ 2005;330:748 (2 April),
doi:10.1136/bmj.330.7494.748-g.
58
14.
Lee, et.al. Risk Factors for Neonatal Mortality Due to Birth Asphyxia in
Southern Nepal: A Prospective, Community-Based Cohort Study. Pediatrics 2008;
121:e1381-e1390 (doi:10.1542/peds.2007-1966). (Level of evidence IIb)
15.
Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan RI. Riset
Kesehatan Dasar 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2008.h. 278-9.
16.
IDAI. Asfiksia Neonatorum. Dalam: Standar Pelayanan Medis Kesehatan
Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2004.h. 272-276. (level of evidence IV)
17.
World Health Organization. Basic Newborn Resuscitation: A Practical
Guide-Revision. Geneva: World Health Organization; 1999. Diunduh dari:
www.who.int/reproductivehealth/publications/newborn_resus_citation/index.html.
18.
American Academy of Pediatrics and American College of Obstetricians
and Gynaecologists. Care of the neonate. Guidelines for perinatal care. Gilstrap
LC, Oh W, editors. Elk Grove Village (IL): American Academy of Pediatrics;
2002: 196-7.
19.
20.
Parer JT. Fetal Brain Metabolism Under Stress Oxygenation, Acid-Base
and
Glucose.
2008.
Diunduh
dari:
http://www.nichd.nih.gov/publications/pubs/acute/acute.cfm
21.
Meneguel JF, Guinsburg R, Miyoshi MH, Peres CA, Russo RH, Kopelman
BI, Camano L. Antenatal treatment with corticosteroids for preterm neonates:
impact on the incidence of respiratory distress syndrome and intra-hospital
mortality. Sao Paulo Med J 2003; 121(2):45-52. (Level of evidence IIb)
22.
Oswyn G, Vince JD, Friesen H. Perinatal asphyxia at Port Moresby
General Hospital: a study of incidence, risk factors and outcome. PNG Med J
2000;43(1-2):110-120. (Level of evidence IIb)
23.
American Academy of Pediatrics dan American Heart Association. Buku
panduan resusitasi neonatus. Edisi ke-5. Jakarta: Perinasia; 2006
59