Anda di halaman 1dari 5

Pengamat Usul 100 Miliarder Kakap RI Kena

Pajak Progresif 30%


By Fiki Ariyanti
on 11 Feb 2015 at 08:28 WIB

Liputan6.com, Jakarta Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Ditjen Pajak


Kemenkeu) makin agresif memungut setoran pajak melalui berbagai upaya.
Sayangnya penyisiran ini belum optimal mengarah pada konglomerat yang masuk
dalam deretan orang-orang terkaya versi Forbes Indonesia.
Pengamat Ekonomi Indef, Enny Sri Hartati mengatakan, basis miliarder di Indonesia
dibanding jumlah penduduk Indonesia sebanyak satu persen. Namun pendapatan kaum
borjuis sama seperti menguasai 58 persen dari Gross Domestik Product (GDP).
"Tapi mereka bayar Pajak Penghasilan (PPh) cuma 5 persen. Sedangkan jumlah
penduduk miskin dan rentan miskin ada 100 juta orang, jadi nggak mungkin sebagai
objek pajak," ucap dia saat berbincang di Gedung DPR, seperti ditulis Rabu
(11/2/2015).
Lebih jauh Enny mencatat, setoran pajak dari Wajib Pajak Perorangan tidak lebih dari
Rp 100 triliun, sedangkan lebih dari Rp 300 triliun disumbang dari Wajib Pajak Badan
atau Korporasi. Artinya, dia menilai, Wajib Pajak berpendapatan menengah ke atas
berpeluang besar menghindar dari pajak.
"Makanya kita buat range, Wajib Pajak berpenghasilan di atas Rp 250 juta ditetapkan
PPh progresif sampai 25 persen. Sedangkan yang masuk 100 orang kaya teratas
misalnya versi Forbes Indonesia dipungut rata-rata 30 persen," paparnya.
Perhitungannya, lanjut dia, diukur dari pembukuan aset tahun ini dan tahun berikutnya.
Dalam catatannya, aset tersebut masuk sebagai pendapatan kotor para konglomerat
tersebut dan dikurangi Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) sehingga diperoleh

pendapatan per tahun.


"Lalu dikalikan 30 persen misalnya, maka akan diperoleh potensi penerimaan pajak
lebih dari Rp 40 triliun. Ambil pesimisnya Rp 30 triliun saja, sudah bisa berkontribusi
cukup besar ke penerimaan pajak," ucap Enny.
Sambung dia, Ditjen Pajak perlu mengembangkan sistem perpajakan yang mampu
meminimalisir penyelewengan pajak dari yang saat ini berlaku self assessment. Sistem
tersebut dibuat standardisasi dari lembaga penilai pajak.
"Jadi nanti bisa dibandingkan, orang yang punya 10 apartemen, lamborgini tapi bayar
pajaknya cuma sekian juta, bisa terdeteksi. Tapi memang butuh data terintegasi, dan
single identity. Masalahnya sekarang satu orang punya banyak kartu identitas, dan ini
problem yang harus dibenahi," saran Enny.(Fik/Nrm)
http://bisnis.liputan6.com/read/2174008/pengamat-usul-100-miliarder-kakap-rikena-pajak-progresif-30

57 Penunggak Pajak Rp 1,2 Triliun Bakal


Disandera
By Dian Kurniawan
on 04 Feb 2015 at 06:47 WIB

Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak bekerjasama dengan Kepolisian


Republik Indonesia (Polri) dan Ditjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM
(Kemenkumham) pada 2015 ini akan melakukan penindakan tegas bagi wajib pajak badan atau
perusahaan maupun perorangan.
Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Ditjen Pajak Dadang Suwarna mengatakan, sebanyak 57
orang di seluruh Indonesia akan diusulkan untuk disandera.
"Di seluruh Indonesia, ada 57 orang yang akan telah diusulkan untuk disandera," ujar Dadang
di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas 1 Surabaya di Porong Sidoarjo, Selasa (3/2/2015).
Dia menambahkan, 57 orang tersebut menunggak pajak dengan total Rp 1,2 triliun lebih,
sehingga diusulkan kepada Menteri Keuangan untuk dilakukan penyanderaan. Selain itu,

terdapat sekitar 490 orang yang akan dicekal karena telah menunggak pajak sebesar Rp 3
triliun.
"Total ada sekitar Rp 4 triliun," imbuh Dadang.
Sementara itu, khusus untuk DJP Jawa Timur I, pada tahun 2009 telah melakukan
penyanderaan satu wajib pajak. Sedangkan pada tahun 2014, wajib pajak yang diusulkan dan
telah disetujui untuk disandera sebanyak 7 penanggung pajak dengan nilai hutang pajak yang
sudah inkracht atau mempunyai kekuatan hukum tetap sebesar Rp 8,12 miliar.
"Jadi, total nasional dijumlah dengan total di DJP Jawa Timur sekitar Rp 4,8 triliun," tandas
Dadang. (Riz)
http://news.liputan6.com/read/2170617/57-penunggak-pajak-rp-12-triliun-bakaldisandera

PP 46 Tahun 2013, memudahkan atau


menyulitkan?
Pada tahun 2013, Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP)
yang cukup kontroversial di kalangan dunia usaha dan masyarakat Indonesia. Peraturan ini mulai berlaku
di bulan Juli 2013. PP ini disosialisasikan melalui media massa baik elektronik maupun cetak sebagai
Pajak UMKM dengan tarif sebesar 1% dari Omzet. Dengan pemakaian istilah UMKM, PP ini ternyata
sukses mencuri perhatian, mengundang pertanyaan, kebingungan, atau mungkin kekhawatiran
dikalangan masyarakat pajak kelas menengah ke bawah di Indonesia.
Siapakah yang dikenakan PP ini?
Sesuai dengan awal dikenalkannya, yang dikenakan PP ini adalah UMKM. Pengertian secara harfiah
UMKM adalah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. UMKM mendapat prioritas yang sangat besar dari
Pemerintah, sampai-sampai dibentuk sebuah kementerian yang mengurusi UMKM tersebut. Alasannya
tentu karena merupakan sumber penerimaan Negara yang besar (sekitar 61% dari PDB) dan tidak rentan
terhadap krisis ekonomi global.
Sesuai dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
(UMKM) Pengertian UMKM dapat kita simak sebagai berikut :
a. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang
memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Usaha Mikro memiliki
kriteria asset maksimal sebesar 50 juta dan omzet sebesar 300 juta.
b. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang
perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan
yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah
atau usaha besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang

ini. Usaha Kecil memiliki kriteria asset sebesar 50 juta sampai dengan 500 juta dan omzet sebesar 300
juta sampai dengan 2,5 miliar.
c. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang
perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan
yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil
atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang ini. Usaha Menengah memiliki kriteria asset sebesar 500 juta sampai dengan 10
miliar dan omzet sebesar 2,5 miliar sampai dengan 50 miliar.
Kalau dibaca PP ini ternyata tidak ada kata-kata UMKM sesuai pengertian diatas dan batasan omzetnya
juga tidak mengikuti ketentuan UU tentang UMKM diatas meskipun masih dalam lingkupnya karena
kurang dari 50 Milyar. PP ini mengatur tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang
Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, yaituWajib Pajak Orang
Pribadi atau Badan (tidak termasuk Bentuk Usaha Tetap) dengan peredaran bruto tidak melebihi
Rp 4,8 Milyar.
Dikecualikan dari pengenaan PP ini adalah adalah penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan
bebas yang diperoleh :

tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek,
dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;

pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan,
sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;

olahragawan;

penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;

pengarang, peneliti, dan penerjemah;

agen iklan;

pengawas atau pengelola proyek

perantara
Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Wajib
Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:
1.
menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun
tidak menetap; dan
2.
menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan
bagi tempat usaha atau berjualan
Tidak termasuk Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud diatas adalah :
a. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
b. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara komersial
memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Tax Review : Persiapan Pelaporan SPT Tahunan PPh


Badan
Dalam sistem self assesment, Wajib Pajak diberi kepercayaan penuh dalam menghitung,
memperhitungkan, menyetor dan melaporkan sendiri kewajiban pajaknya. Penyampaian SPT
Tahunan PPh dapat dikatakan sebagai muara dari seluruh kegiatan pemenuhan kewajiban
perpajakan
Wajib
Pajak
sepanjang
tahun
berjalan.
Namun sering terlepas dari perhitungan kita adalah fakta bahwa pelimpahan kewenangan itu
jelas memiliki implikasi penting yang hampir pasti mengikutinya, yaitu konsekuensi logis dari
sistem self assessment adalah dilakukannya berbagai pengujian oleh pihak otoritas yang
melimpahkan wewenang self assessment untuk meyakini bahwa berbagai kewajiban perpajakan
memang telah dipenuhi sesuai aturan. Salah satu bentuk dari pengujian itu adalah pemeriksaan
pajak.
Semua pembayar pajak pada dasarnya berpeluang kurang lebih sama untuk diperiksa. Oleh
sebab itu, sebelum Wajib Pajak menyusun SPT Tahunan PPh, sebaiknya Wajib Pajak terlebih
dahulu melakukan review atas pemenuhan kewajiban perpajakannya dalam satu tahun pajak.
Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisir berbagai koreksi yang mungkin timbul pada saat
pemeriksaan
pajak
guna
menghindari
sanksi
perpajakan.
Dalam konteks pemeriksaan pajak, ada baiknya kita mengambil suatu pepatah, yaitu sedia
payung sebelum hujan. Dengan melakukan tax review, berbagai hal bisa diperbaiki sebelum
terlambat. Kesalahan yang bisa dibetulkan sendiri oleh Wajib Pajak sebelum pemeriksaan
memiliki sanksi yang lebih ringan dibandingkan kesalahan yang ditemukan pada saat
pemeriksaan.
Melalui tax review, akan dilakukan pengkajian aspek perpajakan terhadap semua transaksi
yang akan dan telah terjadi sampai dengan kondisi tahun terakhir, termasuk dokumen
kontrak/perjanjian antara perusahaan dengan pihak ketiga lainnya, guna mendapatkan suatu
solusi terbaik sebagai pedoman bagi manajemen untuk pelaksanaan perpajakan sesuai dengan
peraturan yang berlaku.

Anda mungkin juga menyukai