Nama
: Hj. S
Umur
: 54 tahun
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Guru
: 730005
Pemeriksa
: dr. J, Sp.M
Tempat
I. ANAMNESIS
Keluhan utama
III. PEMERIKSAAN
A. INSPEKSI
1. Palpebra
2. Apparatus Lakirmalis
3. Silia
4. Konjungtiva
OD
Edema(-)
Lakrimasi (-)
Sekret (-)
Hiperemis (-)
OS
Edema(-)
Lakrimasi (-)
Sekret (-)
Hiperemis(+)
Terdapat selaput
kelainan
berbentuk segitiga di
nasal bola mata dengan
apeks sudah melewati
limbus dan mencapai
pupil.
5. Mekanisme muskular
6. Kornea
7. Bilik Mata Depan
8. Iris
9. Pupil
10. Lensa
Jernih
Normal
Coklat, kripte (+)
Bulat sentral, RC (+)
Sedikit keruh
Jernih
Normal
Coklat, kripte (+)
Bulat sentral, RC (+)
Sedikit keruh
B. PALPASI
OD
OS
2
1. Tensi Okular
2. Nyeri tekan
3. massa tumor
4.
glandula
Tn
pre- Pembesaran (-)
Tn
Pembesaran (-)
aurikuler
C. TONOMETRI
TOD : 17,3 mmHg
TOS : 17,3 mmHg
D. VISUS :
VOD: 6/30
VOS: 6/19
E. CAMPUS VISUAL:
F. COLOR SENSE:
G. LIGHT SENSE:
SINISTRA
Hiperemis (+), selaput
segitiga di nasal bola
mata
dengan
apeks
Kornea
BMD
Iris
Pupil
6. Lensa
Jernih
Normal
Coklat, kripte(+)
Bulat, sentral, Refleks
mencapai pupil
Jernih
Normal
Coklat, kripte(+)
Bulat sentral, Refleks
cahaya (+)
Sedikit keruh
cahaya (+)
Sedikit keruh
K. SLIT LAMP:
-SLOD : Konjungtiva hiperemis (-), BMD normal, iris coklat, kripte (+),
pupil bulat, sentral, RC (+), lensa sedikit keruh.
- SLOS : Konjungtiva hiperemis (+), tampak selaput segitiga di bagian nasal,
mengarah ke limbus kornea, tampak apeks melewati limbus dan mencapai
pupil, BMD normal, iris coklat, kripte (+), pupil bulat, sentral, RC (+), lensa
sedikit keruh.
L. USG B-SCAN : Tidak dilakukan pemeriksaan
M. LABORATORIUM : Tidak dilakukan pemeriksaan
N. RESUME
Seorang Perempuan, umur 54 tahun datang ke poli mata RSWS dengan keluhan
utama mengganjal pada mata kiri, dialami sejak 2 bulan sebelum datang ke poli
mata, secara perlahan-lahan, awalnya tampak selaput kecil yang lama-kelamaan
membesar. Riwayat mata merah sebelumnya (+). Riwayat sering terpapar sinar
matahari (+). Riwayat terpapar debu (+) setiap hari di papan kapur.
VOD:6/30, VOS:6/19.
Pada pemeriksaan Slit Lamp,
-SLOD: Konjungtiva hiperemis (-), BMD normal, iris coklat, kripte (+), pupil
bulat, sentral, RC (+), lensa jernih
- SLOS: Konjungtiva hiperemis (+), tampak selaput segitiga di bagian nasal,
mengarah ke limbus kornea, tampak apeks melewati limbus dan mencapai pupil,
BMD normal, iris coklat, kripte (+), pupil bulat, sentral, RC (+), lensa jernih.
IV. DIAGNOSIS:
OS Pterygium Stadium III
4
V. DIAGNOSIS BANDING:
- Pseudopterygium
- Pinguekula
VI. TERAPI:
Rencana OS Eksisi Pterygium
VII. DISKUSI:
Pasien ini didiagnosis dengan OS Pterygium Stadium III berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis di
dapatkan ada rasa selaput pada mata kiri yang dialami sekitar dua bulan
sebelum masuk rumah sakit
Pada pemeriksaan inspeksi OS di dapatkan adanya selaput berbentuk
segitiga pada konjungtiva dengan tepi melewati limbus dan mencapai
pupil, yang menunjukkan tanda pterygium stadium III.
pengobatan medikamentosa
yang
Tidak
ada
PTERYGIUM
I.
DEFINISI
Pterygium berasal dari bahasa Yunani yaitu Pteron yang artinya
sayap (wing). Pterygium didefinisikan sebagai pertumbuhan jaringan
fibrovaskuler pada subkonjungtiva dan tumbuh menginfiltrasi permukaan
kornea, umumnya bilateral di sisi nasal, biasanya berbentuk segitiga
dengan kepala/apex menghadap ke sentral kornea dan basis menghadap
lipatan semilunar pada cantus.1,2,3
Pterygium
merupakan
suatu
pertumbuhan
fibrovaskular
EPIDEMIOLOGI
Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah
iklim panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan
kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat dengan
ekuator yaitu daerah <370 lintang utara dan selatan dari ekuator. Prevalensi
tinggi sampai 22 % di daerah dekat ekuator dan <2 % pada daerah di atas
lintang 400.5
Di Amerika Serikat, kasus pterygium sangat bervariasi tergantung
pada lokasi geografisnya. Di daratan Amerika Serikat, prevalensinya
berkisar kurang dari 2% untuk daerah di atas 40 o lintang utara sampai 515% untuk daerah garis lintang 28-36o. Sebuah hubungan terdapat antara
peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih
tinggi di bawah garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan penurunan
angka kejadian di lintang atas dan peningkatan relatif angka kejadian di
6
ANATOMI KONJUNGTIVA
Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan
tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva
palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris).
Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi palpebra (suatu
sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea dilimbus.3
Sesuai dengan namanya, konjungtiva menghubungkan antara bola
mata dan kelopak mata. Dari kelopak mata bagian dalam, konjungtiva
terlipat ke bola mata baik dibagian atas maupun bawah. Refleksi atau
lipatan ini disebut dengan forniks superior dan inferior. Forniks superior
terletak 8-10 mm dari limbus sedangkan forniks inferior terletak 8 mm
dari limbus. Lipatan tersebut membentuk ruang potensial yang disebut
dengan sakkus konjungtiva, yang bermuara melalui fissura palpebra antara
kelopak mata superior dan inferior. Pada bagian medial konjungtiva, tidak
ditemukan forniks, tetapi dapat ditemukan karunkula dan plika semilunaris
yang penting dalam sistem lakrimal. Pada bagian lateral, forniks bersifat
lebih dalam hingga 14 mm dari limbus.7
Secara anatomi, konjungtiva terdiri atas 3 bagian:7
1. Konjungtiva Palpebra
Mulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada bagian
posterior kelopak mata yaitu daerah dimana epidermis bertransformasi
menjadi konjungtiva. Dari titik ini, konjungtiva melapisi erat permukaan
dalam kelopak mata. Konjungtiva palpebra dapat dibagi lagi menjadi zona
7
sehingga
sklera
dibawahnya
dapat
divisualisasikan.
tempat
peralihan
konjungtiva
tarsal
dengan
persarafan dari percabangan nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus. Saraf ini
memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit.7
Secara histologis konjungtiva terdiri atas epitel dan stroma. Lapisan epitel
konjungtiva terdir atas 2-5 lapisan sel epitel silindris bertingkat, superfisial dan
basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, diatas caruncula, dan di dekat
persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri atas sel-sel epitel
skuamous bertingkat. Sel-sel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat dan oval
yang mensekresi mukus. Mukus yang terbentuk mendorong inti sel goblet ke tepi
dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata prakornea secara merata. 7
Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial
dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen. Lapisan stroma di bagi menjadi 2
lapisan yaitu lapisan adenoid dan lapisan fibrosa. Lapisan adenoid mengandung
jaringan limfoid dan di beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam
folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai
setelah bayi berumur 2-3 bulan. Hal ini menjelaskan konjungtivitis inklusi pada
nenonatus
folikular. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada
lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papilar pada radang
konjungtiva. Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar lakrimal
aksesorius (kelenjar krause dan wolfring), yang struktur fungsinya mirip kelenjar
lakrimal terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause berada di
forniks atas, sisanya di forniks bawah. Kelenjar wolfring terletak di tepi tarsus
atas.7
IV.
pasti. Beberapa faktor resiko pterygium antara lain adalah paparan ultraviolet,
mikro trauma kronis pada mata, infeksi mikroba atau virus. Selain itu beberapa
kondisi kekurangan fungsi lakrimal film baik secara kuantitas maupun kualitas,
konjungtivitis kronis dan defisiensi vitamin A juga berpotensi menimbulkan
pterygium. Selain itu ada juga yang mengatakan bahwa etiologi pterygium
10
11
12
3. Tempat tinggal
Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah distribusi
geografisnya. Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang
dilakukan setengah abad terakhir menunjukkan bahwa negara di
khatulistiwa memiliki angka kejadian pterygium yang lebih tinggi. Survei
lain juga menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun pertama
kehidupannya pada garis lintang kurang dari 300 memiliki risiko penderita
pterygium 36 kali lebih besar dibandingkan daerah yang lebih selatan. 8
4. Jenis kelamin
Tidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan.
5. Herediter
Pterygium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara
autosomal dominan. 8
6. Infeksi
Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab
pterygium. 8
7. Faktor risiko lainnya
Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel
tertentu seperti asap rokok , pasir merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya pterygium. 8
V.
13
astigmat.
Tipe III: Pterygium primer atau rekuren dengan keterlibatan
zona optik. Merupakan bentuk pterygium yang paling berat.
Keterlibatan zona optik membedakan tipe ini dengan yang lain.
Lesi mengenai kornea > 4 mm dan mengganggu aksis visual.
Lesi
yang
luas
khususnya
pada
kasus
rekuren
dapat
14
ptrygium duplex
Pterygium stadium 3
VI.
PATOFISIOLOGI
Terjadinya pterygium sangat berhubungan erat dengan paparan sinar
matahari, walaupun dapat pula disebabkan oleh udara yang kering, inflamasi, dan
paparan terhadap angin dan debu atau iritan yang lain. UV-B merupakan faktor
mutagenik bagi tumor supressor gene p53 yang terdapat pada stem sel basal di
limbus. Ekspresi berlebihan sitokin seperti TGF- dan VEGF (vascular
endothelial growth factor) menyebabkan regulasi kolagenase, migrasi sel, dan
angiogenesis.8
Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan
subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva mengalami degenerasi elastoid
(degenerasi basofilik) dan proliferasi jaringan granulasi fibrovaskular di bawah
epitel yaitu substansia propia yang akhirnya menembus kornea. Kerusakan kornea
terdapat pada lapisan membran Bowman yang disebabkan oleh pertumbuhan
jaringan fibrovaskular dan sering disertai dengan inflamasi ringan. Kerusakan
membran Bowman ini akan mengeluarkan substrat yang diperlukan untuk
15
pertumbuhan pterygium. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi
displasia.5,8
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan
defisiensi limbal stem cell, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan kornea.
Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea,
vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan pertumbuhan
jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterygium dan oleh karena itu
banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pterygium merupakan manifestasi
dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell. Pterygium
ditandai dengan degenerasi elastotik dari kolagen serta proliferasi fibrovaskuler
yang ditutupi oleh epitel. Pada pemeriksaan histopatologi daerah kolagen
abnormal yang mengalami degenerasi elastolik tersebut ditemukan basofilia
dengan menggunakan pewarnaan hematoxylin dan eosin, Pemusnahan lapisan
Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel diatasnya biasanya
normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan
sering menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet 2,5,6,8
VII.
GAMBARAN KLINIK
Gejala klinis pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan
sama sekali. Beberapa keluhan yang sering dialami pasien seperti mata sering
berair dan tampak merah, merasa seperti ada benda asing, dapat timbul
astigmatisme akibat kornea tertarik, pada pterygium lanjut stadium 3 dan 4 dapat
menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam penglihatan menurun. 1,6,8
Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri atas zona abuabu pada kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area
ini menginvasi dan menghancurkan lapisan Bowman pada
kornea. Garis zat besi (iron line/Stockers line) dapat dilihat
16
iii.
halnya kepala.
Bagian badan atau ekor, merupakan bagian yang mobile (dapat
bergerak), lembut, merupakan area vesikuler pada konjungtiva
bulbi dan merupakan area paling ujung. Badan ini menjadi
tanda khas yang paling penting untuk dilakukannya koreksi
pembedahan10
VI.
DIAGNOSIS
Anamnesis
Pada anamnnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata
merah, gatal, mata sering berair, ganguan penglihatan. Selain itu perlu juga
ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja
di luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar mathari yang tinggi,
serta dapat pula ditanyakan riwayat trauma sebelumnya. 1,2, 6
Pemeriksaaan fisik
Pada inspeksi pterygium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular
pada permukaan konjuntiva. Pterygium dapat memberikan gambaran yang
vaskular dan tebal tetapi ada juga pterygium yang avaskuler dan flat.
Perigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi
ke kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterygium pada daerah
temporal. 6
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterygium
adalah topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa
VII.
17
2 . Tindakan operatif
Adapun indikasi operasi menurut Ziegler dan Guilermo Pico, yaitu:8
Menurut Ziegler :
1.
2.
3.
4.
5.
Mengganggu visus
Mengganggu pergerakan bola mata
Berkembang progresif
Mendahului suatu operasi intraokuler
Kosmetik
Menurut Guilermo Pico :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
mencapai 40-75%.
Simple closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva yang
terbuka, diman teknik ini dilakukan bila luka pada konjuntiva
3.
relatif kecil.
Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas
4.
5.
19
6.1 Indikasi
A.Eksisi pterigium
setelah operasi pengangkatan pterigium, maka akan menyisakan sebuah defek
konjungtival. Defek ini dapat dibiarkan sembuh sendiri, dijahit secara langsung
digunakan
untuk
merekonstruksi
permukaan
okuler
pada
kasus
20
kasus yang parsial, membran amniotik menunjukkan dapat meningkatkan epitelisasi dan
memperbaiki penglihatan dengan dan tanpa transplantasi sel Limbal allogenik. 9
Teknik terbaru termasuk penggunaan stem sel otolog dan allogenik yang diolah di
dan lazim digunakan dan menjaga sifat histologis dan morfologis dari jaringan
sehat. AMT dapat ditempelkan pada permukaan okuler secara pembedahan
dengan benang absorbable ataupun yang non-absorbable. Adesivitas jaringan
biologis juga dapat digunakan untuk menempelkan AMT pada permukaan okuler.9
6.3 Resiko
Jaringan alogenik mempunyai resiko transmisi penyakit menular yang tidak terlihat.
Secara umum, membran amniotik didapatkan dari donor potensial yang menjalani
operasi sesar yang telah diskrining untuk penyakit menular, seperti; HIV, hepatitis,
dan sifilis. Plasenta kemudian dibersihkan dengan campuran larutan garam yang
seimbang, penisilin, streptomisin, neomisin, dan amfoterisin B. Lalu amnion
dipisahkan dari korion dengan blunt dissection pada kondisi yang steril,
ditempelkan pada strip kertas nitroselulosa dan disimpan dalam larutan gliserol.
Jaringan tersebut juga disimpan dalam larutan itu untuk fresh use atau
menggunakan cryopreserved pada suhu -80 derajat celcius. Hingga saat ini tidak
ada laporan mengenai transmisi penyakit menular pada AMT. 9
VIII.
DIAGNOSIS BANDING
Pterygium
harus
dapat
dibedakan
dengan
pseudopterygium.
Gambar 7. Pinguekula
IX.
Gambar 8. Pseudopterigium
KOMPLIKASI
Komplikasi pterygium meliputi sebagai berikut:6,11
Pra-operatif:
1.
Astigmat
Salah satu komplikasi yang disebabkan oleh pterygium adalah
astigmat karena pterygium dapat menyebabkan perubahan bentuk
kornea akibat adanya mekanisme penarikan oleh pterygium serta
terdapat pendataran daripada meridian horizontal pada kornea yang
berhubungan dengan adanya astigmat. Mekanisme pendataran itu
sendiri belum jelas. Hal ini diduga akibat tear meniscus antara puncak
kornea dan peninggian pterygium. Astigmat yang ditimbulkan oleh
2.
3.
4.
5.
Iritasi
Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea
Keterlibatan yang luas otot ekstraokular dapat membatasi penglihatan
dan menyebabkan diplopia.
Intra-operatif:
Nyeri, iritasi, kemerahan, graft oedema, corneoscleral dellen (thinning),
dan perdarahan subkonjungtival dapat terjadi akibat tindakan eksisi dengan
conjunctival autografting, namun komplikasi ini secara umum bersifat sementara
dan tidak mengancam penglihatan. 11
Pasca-operatif:
Komplikasi pasca eksisi adalah sebagai berikut:
1.
X.
2.
retina.
Penggunaan mitomycin C post operasi dapat menyebabkan ektasia atau
3.
PROGNOSIS
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik.
Kebanyakan pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi.
Pasien dengan pterygium rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft
dengan konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion6
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD.
Management of Pterygium. Opthalmic Pearls.2010
2. Caldwell, M. Pterygium. [online]. 2011 [cited 2015 October 23]. Available
from : www.eyewiki.aao.org/Pterygium
3. Ilyas, Sidharta. Ilmu Penyakit Mata edisi 6. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2006.p.2-7,117.
4. Laszuarni. Prevalensi Pterygium di Kabupaten Langkat. Tesis Dokter
Spesialis Mata. Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara. 2009.
5. Jerome P Fisher, Pterygium. [online]. 2011 [cited 2015 October 23]
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview
6. Anonymus.Pterygium. [online] 2009. [ cited 2015 October 18]. Available
from : http://www.webmd.com/eye-health/pterygium-surfers-eye
7. Anonymus. Anatomi Konjungtiva. [online] 2009. [cited 2015 October 08]
Available from : repository.usu.ac.id/bitstream/.../4/Chapter%20II.pdf .
24
25