Anda di halaman 1dari 25

IDENTITAS PASIEN

Nama

: Hj. S

Umur

: 54 tahun

Agama

: Islam

Jenis kelamin : Perempuan


Suku / Bangsa : Makassar / Indonesia
Alamat

: Puri Pattene, Makassar

Pekerjaan

: Guru

Tanggal masuk: 10 Oktober 2015


No. Reg

: 730005

Pemeriksa

: dr. J, Sp.M

Tempat

: Poliklinik Mata RSWS

I. ANAMNESIS
Keluhan utama

: Rasa mengganjal pada mata kiri

Anamnesa Terpimpin : Dialami sejak 2 bulan yang lalu, secara perlahan-lahan,


awalnya tampak selaput kecil yang lama-kelamaan semakin membesar.
Penglihatan terganggu (-), nyeri dimata (-), air mata berlebih (-), silau (-), kotoran
mata berlebih (-), rasa berpasir (-), riwayat mata merah sebelumnya (+). Riwayat
sering terpapar sinar matahari (+) dan Riwayat terpapar debu (+), tiap hari di
proyek papan kapur. Riwayat menggunakan kacamata (+). Riwayat hipertensi (-)
dan riwayat DM(-), riwayat trauma(-).Riwayat operasi mata kanan akibat penyakit
yang sama pada tahun 1995.

II. FOTO KLINIS

III. PEMERIKSAAN
A. INSPEKSI
1. Palpebra
2. Apparatus Lakirmalis
3. Silia
4. Konjungtiva

OD
Edema(-)
Lakrimasi (-)
Sekret (-)
Hiperemis (-)

OS
Edema(-)
Lakrimasi (-)
Sekret (-)
Hiperemis(+)

Tidak tampak adanya

Terdapat selaput

kelainan

berbentuk segitiga di
nasal bola mata dengan
apeks sudah melewati
limbus dan mencapai
pupil.

5. Mekanisme muskular

6. Kornea
7. Bilik Mata Depan
8. Iris
9. Pupil
10. Lensa

Jernih
Normal
Coklat, kripte (+)
Bulat sentral, RC (+)
Sedikit keruh

Jernih
Normal
Coklat, kripte (+)
Bulat sentral, RC (+)
Sedikit keruh

B. PALPASI

OD

OS
2

1. Tensi Okular
2. Nyeri tekan
3. massa tumor
4.
glandula

Tn
pre- Pembesaran (-)

Tn
Pembesaran (-)

aurikuler

C. TONOMETRI
TOD : 17,3 mmHg
TOS : 17,3 mmHg
D. VISUS :
VOD: 6/30
VOS: 6/19
E. CAMPUS VISUAL:

Tidak dilakukan pemeriksaan.

F. COLOR SENSE:

Tidak dilakukan pemeriksaan.

G. LIGHT SENSE:

Tidak dilakukan pemeriksaan.

H. PENYINARAN OBLIK DEKSTRA


1. Konjungtiva
Hiperemis (-),

SINISTRA
Hiperemis (+), selaput
segitiga di nasal bola
mata

dengan

apeks

melewati limbus dan


2.
3.
4.
5.

Kornea
BMD
Iris
Pupil

6. Lensa

Jernih
Normal
Coklat, kripte(+)
Bulat, sentral, Refleks

mencapai pupil
Jernih
Normal
Coklat, kripte(+)
Bulat sentral, Refleks

cahaya (+)
Sedikit keruh

cahaya (+)
Sedikit keruh

I. DIAFANOSKOPI: Tidak dilakukan pemeriksaan.


J. OFTALMOSKOPI: Tidak dilakukan pemeriksaan.

K. SLIT LAMP:
-SLOD : Konjungtiva hiperemis (-), BMD normal, iris coklat, kripte (+),
pupil bulat, sentral, RC (+), lensa sedikit keruh.
- SLOS : Konjungtiva hiperemis (+), tampak selaput segitiga di bagian nasal,
mengarah ke limbus kornea, tampak apeks melewati limbus dan mencapai
pupil, BMD normal, iris coklat, kripte (+), pupil bulat, sentral, RC (+), lensa
sedikit keruh.
L. USG B-SCAN : Tidak dilakukan pemeriksaan
M. LABORATORIUM : Tidak dilakukan pemeriksaan
N. RESUME
Seorang Perempuan, umur 54 tahun datang ke poli mata RSWS dengan keluhan
utama mengganjal pada mata kiri, dialami sejak 2 bulan sebelum datang ke poli
mata, secara perlahan-lahan, awalnya tampak selaput kecil yang lama-kelamaan
membesar. Riwayat mata merah sebelumnya (+). Riwayat sering terpapar sinar
matahari (+). Riwayat terpapar debu (+) setiap hari di papan kapur.
VOD:6/30, VOS:6/19.
Pada pemeriksaan Slit Lamp,
-SLOD: Konjungtiva hiperemis (-), BMD normal, iris coklat, kripte (+), pupil
bulat, sentral, RC (+), lensa jernih
- SLOS: Konjungtiva hiperemis (+), tampak selaput segitiga di bagian nasal,
mengarah ke limbus kornea, tampak apeks melewati limbus dan mencapai pupil,
BMD normal, iris coklat, kripte (+), pupil bulat, sentral, RC (+), lensa jernih.

IV. DIAGNOSIS:
OS Pterygium Stadium III
4

V. DIAGNOSIS BANDING:
- Pseudopterygium
- Pinguekula
VI. TERAPI:
Rencana OS Eksisi Pterygium
VII. DISKUSI:
Pasien ini didiagnosis dengan OS Pterygium Stadium III berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis di
dapatkan ada rasa selaput pada mata kiri yang dialami sekitar dua bulan
sebelum masuk rumah sakit
Pada pemeriksaan inspeksi OS di dapatkan adanya selaput berbentuk
segitiga pada konjungtiva dengan tepi melewati limbus dan mencapai
pupil, yang menunjukkan tanda pterygium stadium III.
pengobatan medikamentosa

yang

Tidak

ada

spesifik untuk pterygium. Tujuan

pengobatan medikamentosa adalah untuk mengurangi peradangan. Bila


terjadi peradangan dapat diberikan steroid topikal. Tindakan pembedahan
pada pterygium adalah suatu tindakan definitif untuk mengangkat jaringan
pterygium dengan berbagai teknik operasi.
Teknik operasi yang direncanakan pada pasien ini adalah teknik graft
konjungtiva dengan alasan karena teknik ini dianggap paling bagus dalam
menurunkan rekurensi pterygium.
Diharapkan agar penderita sedapat mungkin menghindari faktor pencetus
timbulnya pterygium seperti sinar matahari, angin dan debu serta rajin
merawat dan menjaga kebersihan kedua mata. Oleh karena itu dianjurkan
untuk selalu memakai kacamata pelindung bila bekerja atau keluar rumah.
Menurut kepustakaan, umumnya pterygium bertumbuh secara perlahan
dan jarang sekali menyebabkan kerusakan yang bermakna sehingga
prognosisnya adalah baik.

PTERYGIUM
I.

DEFINISI
Pterygium berasal dari bahasa Yunani yaitu Pteron yang artinya
sayap (wing). Pterygium didefinisikan sebagai pertumbuhan jaringan
fibrovaskuler pada subkonjungtiva dan tumbuh menginfiltrasi permukaan
kornea, umumnya bilateral di sisi nasal, biasanya berbentuk segitiga
dengan kepala/apex menghadap ke sentral kornea dan basis menghadap
lipatan semilunar pada cantus.1,2,3
Pterygium

merupakan

suatu

pertumbuhan

fibrovaskular

konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini


biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal
konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterygium berbentuk segitiga
dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah
meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian pterygium akan berwarna
merah. 4
II.

EPIDEMIOLOGI
Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah
iklim panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan
kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat dengan
ekuator yaitu daerah <370 lintang utara dan selatan dari ekuator. Prevalensi
tinggi sampai 22 % di daerah dekat ekuator dan <2 % pada daerah di atas
lintang 400.5
Di Amerika Serikat, kasus pterygium sangat bervariasi tergantung
pada lokasi geografisnya. Di daratan Amerika Serikat, prevalensinya
berkisar kurang dari 2% untuk daerah di atas 40 o lintang utara sampai 515% untuk daerah garis lintang 28-36o. Sebuah hubungan terdapat antara
peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih
tinggi di bawah garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan penurunan
angka kejadian di lintang atas dan peningkatan relatif angka kejadian di
6

lintang bawah. Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium.


Prevalensi pterygium meningkat dengan umur, terutama dekade ke 2 dan 3
kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20-49 tahun. Pterygium
rekuren sering terjadi pada umur muda dibandingkan dengan umur tua.
Laki-laki 4 kali lebih berisiko daripada perempuan dan berhubungan
dengan merokok, pendidikan rendah dan riwayat paparan lingkungan di
luar rumah.5,6
III.

ANATOMI KONJUNGTIVA
Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan
tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva
palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris).
Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi palpebra (suatu
sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea dilimbus.3
Sesuai dengan namanya, konjungtiva menghubungkan antara bola
mata dan kelopak mata. Dari kelopak mata bagian dalam, konjungtiva
terlipat ke bola mata baik dibagian atas maupun bawah. Refleksi atau
lipatan ini disebut dengan forniks superior dan inferior. Forniks superior
terletak 8-10 mm dari limbus sedangkan forniks inferior terletak 8 mm
dari limbus. Lipatan tersebut membentuk ruang potensial yang disebut
dengan sakkus konjungtiva, yang bermuara melalui fissura palpebra antara
kelopak mata superior dan inferior. Pada bagian medial konjungtiva, tidak
ditemukan forniks, tetapi dapat ditemukan karunkula dan plika semilunaris
yang penting dalam sistem lakrimal. Pada bagian lateral, forniks bersifat
lebih dalam hingga 14 mm dari limbus.7
Secara anatomi, konjungtiva terdiri atas 3 bagian:7
1. Konjungtiva Palpebra
Mulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada bagian
posterior kelopak mata yaitu daerah dimana epidermis bertransformasi
menjadi konjungtiva. Dari titik ini, konjungtiva melapisi erat permukaan
dalam kelopak mata. Konjungtiva palpebra dapat dibagi lagi menjadi zona
7

marginal, tarsal, dan orbital. Konjungtiva marginal dimulai pada


mucocutaneus junction hingga konjungtiva proper. Punktum bermuara
pada sisi medial dari zona marginal konjungtiva palpebra sehingga
terbentuk komunikasi antara konjungtiva dengan sistem lakrimal.
Kemudian zona tarsal konjungtiva merupakan bagian dari konjungtiva
palpebralis yang melekat erat pada tarsus. Zona ini bersifat sangat vaskuler
dan translusen. Zona terakhir adalah zona orbital, yang mulai dari ujung
perifer tarsus hingga forniks. Pergerakan bola mata menyebabkan
perlipatan horisontal konjungtiva orbital, terutama jika mata terbuka.
Secara fungsional, konjungtiva palpebra merupakan daerah dimana reaksi
patologis bisa ditemui.
2. Konjungtiva Bulbi
Menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera dibawahnya.
Konjungtiva bulbi dimulai dari forniks ke limbus, dan bersifat sangat
translusen

sehingga

sklera

dibawahnya

dapat

divisualisasikan.

Konjungtiva bulbi melekat longgar dengan sklera melalui jaringan


alveolar, yang memungkinkan mata bergerak ke segala arah. Konjungtiva
bulbi juga melekat pada tendon muskuler rektus yang tertutup oleh kapsula
tenon. Sekitar 3 mm dari limbus, konjungtiva bulbi menyatu dengan
kapsula tenon dan sklera.
3. Konjungtiva Forniks
Merupakan

tempat

peralihan

konjungtiva

tarsal

dengan

konjungtiva bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat


erat pada struktur sekitarnya konjungtiva forniks ini melekat secara
longgar dengan struktur di bawahnya yaitu fasia muskulus levator
palpebra superior serta muskulus rektus. Karena perlekatannya bersifat
longgar, maka konjungtiva forniks dapat bergerak bebas bersama bola
mata ketika otot-otot tersebut berkontraksi. 7

Gambar 1. Anatomi Konjugtiva penampang sagital


(Gambar dikutip dari kepustakaan 7)

Gambar 2.anatomi konjuntiva penampang depan


Konjungtiva di vaskularisasi oleh arteri ciliaris anterior dan arteri
palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama banyak
vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaringjaring vaskuler konjungtiva yang sangat banyak. Pembuluh limfe konjungtiva
tersusun didalam lapisan superfisial dan profundus dan bergabung dengan
pembuluh limfe palpebra membentuk pleksus limfatikus. Konjungtiva menerima

persarafan dari percabangan nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus. Saraf ini
memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit.7
Secara histologis konjungtiva terdiri atas epitel dan stroma. Lapisan epitel
konjungtiva terdir atas 2-5 lapisan sel epitel silindris bertingkat, superfisial dan
basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, diatas caruncula, dan di dekat
persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri atas sel-sel epitel
skuamous bertingkat. Sel-sel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat dan oval
yang mensekresi mukus. Mukus yang terbentuk mendorong inti sel goblet ke tepi
dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata prakornea secara merata. 7
Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial
dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen. Lapisan stroma di bagi menjadi 2
lapisan yaitu lapisan adenoid dan lapisan fibrosa. Lapisan adenoid mengandung
jaringan limfoid dan di beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam
folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai
setelah bayi berumur 2-3 bulan. Hal ini menjelaskan konjungtivitis inklusi pada
nenonatus

bersifat papilar bukan folikular dan mengapa kemudian menjadi

folikular. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada
lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papilar pada radang
konjungtiva. Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar lakrimal
aksesorius (kelenjar krause dan wolfring), yang struktur fungsinya mirip kelenjar
lakrimal terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause berada di
forniks atas, sisanya di forniks bawah. Kelenjar wolfring terletak di tepi tarsus
atas.7
IV.

ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO


Hingga saat ini etiologi pasti pterygium masih belum diketahui secara

pasti. Beberapa faktor resiko pterygium antara lain adalah paparan ultraviolet,
mikro trauma kronis pada mata, infeksi mikroba atau virus. Selain itu beberapa
kondisi kekurangan fungsi lakrimal film baik secara kuantitas maupun kualitas,
konjungtivitis kronis dan defisiensi vitamin A juga berpotensi menimbulkan
pterygium. Selain itu ada juga yang mengatakan bahwa etiologi pterygium

10

merupakan suatu fenomena iritatif akibat pengeringan dan lingkungan dengan


banyak angin karena sering terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya
berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu dan berpasir.
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterygium dan
berdasarkan penelitian menunjukkan riwayat keluarga dengan pterygium,
kemungkinan diturunkan autosom dominan.2,5,8
Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab pterygium.
Disebutkan bahwa radiasi sinar Ultra violet B sebagai salah satu penyebabnya.
Sinar UV-B merupakan sinar yang dapat menyebabkan mutasi pada gen
suppressor tumor p53 pada sel-sel benih embrional di basal limbus kornea. Tanpa
adanya apoptosis (program kematian sel), perubahan pertumbuhan faktor Beta
akan menjadi berlebihan dan menyebabkan pengaturan berlebihan pula pada
sistem kolagenase, migrasi seluler dan angiogenesis. Perubahan patologis tersebut
termasuk juga degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovesikular,
seringkali disertai dengan inflamasi. Lapisan epitel dapat saja normal, menebal
atau menipis dan biasanya menunjukkan dysplasia. 8
Terdapat teori bahwa mikrotrauma oleh pasir, debu, angin, inflamasi,
bahan iritan lainnya atau kekeringan juga berfungsi sebagai faktor resiko
pterygium. Orang yang banyak menghabiskan waktunya dengan melakukan
aktivitas di luar ruangan lebih sering mengalami pterygium dan pinguekula
dibandingkan dengan orang yang melakukan aktivitas di dalam ruangan.
Kelompok masyarakat yang sering terkena pterygium adalah petani, nelayan atau
olahragawan (golf) dan tukang kebun. Kebanyakan timbulnya pterygium memang
multifaktorial dan termasuk kemungkinan adanya keturunan (faktor herediter). 8
Pterygium banyak terdapat di nasal daripada temporal. Penyebab
dominannya pterygium terdapat di bagian nasal juga belum jelas diketahui namun
kemungkinan disebabkan meningkatnya kerusakan akibat sinar ultra violet di area
tersebut. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa kornea sendiri dapat bekerja
seperti lensa menyamping (side-on) yang dapat memfokuskan sinar ultra violet ke
area nasal tersebut. 8

11

Teori lainnya menyebutkan bahwa pterygium memiliki bentuk yang


menyerupai tumor. Karakteristik ini disebabkan karena adanya kekambuhan
setelah dilakukannya reseksi dan jenis terapi yang diikuti selanjutnya (radiasi,
antimetabolit). Gen p53 yang merupakan penanda neoplasia dan apoptosis
ditemukan pada pterygium. Peningkatan ini merupakan kelainan pertumbuhan
yang mengacu pada proliferasi sel yang tidak terkontrol daripada kelainan
degeneratif. 11
1.

Paparan sinar matahari (UV)

Paparan sinar matahari merupakan faktor yang penting dalam


perkembangan terjadinya pterigium. Hal ini menjelaskan mengapa
insidennya sangat tinggi pada populasi yang berada pada daerah dekat
equator dan pada orang orang yang menghabiskan banyak waktu di
lapangan. 8
2.

Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu)

Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterigium adalah


alergen, bahan kimia berbahaya, dan bahan iritan (angin, debu, polutan).
UV-B merupakan mutagenik untuk p53 tumor supressor gen pada stem sel
limbal. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta over produksi
dan memicu terjadinya peningkatan kolagenasi, migrasi seluler, dan
angiogenesis. Selanjutnya perubahan patologis yang terjadi adalah
degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovaskuler
subepitelial. Kornea menunjukkan destruksi membran Bowman akibat
pertumbuhan jaringan fibrovaskuler. 8
Faktor risiko yang mempengaruhi antara lain :
1. Usia
Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak
ditemui pada usia dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak.
Tan berpendapat pterygium terbanyak pada usia dekade dua dan tiga. 8
2. Pekerjaan
Pertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang sering
dengan sinar UV. 8

12

3. Tempat tinggal
Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah distribusi
geografisnya. Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang
dilakukan setengah abad terakhir menunjukkan bahwa negara di
khatulistiwa memiliki angka kejadian pterygium yang lebih tinggi. Survei
lain juga menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun pertama
kehidupannya pada garis lintang kurang dari 300 memiliki risiko penderita
pterygium 36 kali lebih besar dibandingkan daerah yang lebih selatan. 8
4. Jenis kelamin
Tidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan.
5. Herediter
Pterygium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara
autosomal dominan. 8
6. Infeksi
Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab
pterygium. 8
7. Faktor risiko lainnya
Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel
tertentu seperti asap rokok , pasir merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya pterygium. 8
V.

KLASIFIKASI PTERYGIUM 5,9


Pterygium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan
tipe, stadium, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh
darah episklera , yaitu:
1. Berdasarkan Tipenya pterygium dibagi atas 3 :
- Tipe I : Pterygium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus
atau menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas < 2 mm
dari kornea. Stockers line atau deposit besi dapat dijumpai pada
epitel kornea dan kepala pterygium. Lesi sering asimptomatis,
meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien yang
memakai lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.

13

Tipe II : di sebut juga pterygium tipe primer advanced atau


ptrerigium rekuren tanpa keterlibatan zona optik. Pada tubuh
pterygium sering nampak kapiler-kapiler yang membesar. Lesi
menutupi kornea sampai 4 mm, dapat primer atau rekuren
setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan

astigmat.
Tipe III: Pterygium primer atau rekuren dengan keterlibatan
zona optik. Merupakan bentuk pterygium yang paling berat.
Keterlibatan zona optik membedakan tipe ini dengan yang lain.
Lesi mengenai kornea > 4 mm dan mengganggu aksis visual.
Lesi

yang

luas

khususnya

pada

kasus

rekuren

dapat

berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke


forniks dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola
mata serta kebutaan
2. Berdasarkan stadium pterygium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:
Stadium I : jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea
Stadium II : jika pterygium sudah melewati limbus dan belum
mencapai pupil, tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.
Stadium III : jika pterygium sudah melebihi stadium II tetapi tidak
melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal
(diameter pupil sekitar 3-4 mm).
Stadium IV : jika pertumbuhan pterygium sudah melewati pupil
sehingga mengganggu penglihatan.

Gambar 2. Pterygium stadium 1

Gambar 3. Pterygium stadium 2

14

ptrygium duplex

Pterygium stadium 3

3. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterygium dibagi menjadi 2


yaitu:
-

Pterygium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa


infiltrat di kornea di depan kepala pterygium (disebut cap
dari pterygium)

Pterygium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya


menjadi bentuk membran, tetapi tidak pernah hilang.

4. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterygium


dan harus diperiksa dengan slit lamp pterygium dibagi 3 yaitu:
-

T1 (atrofi) : pembuluh darah episkleral jelas terlihat


T2 (intermediet) : pembuluh darah episkleral sebagian
terlihat

VI.

T3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas.

PATOFISIOLOGI
Terjadinya pterygium sangat berhubungan erat dengan paparan sinar

matahari, walaupun dapat pula disebabkan oleh udara yang kering, inflamasi, dan
paparan terhadap angin dan debu atau iritan yang lain. UV-B merupakan faktor
mutagenik bagi tumor supressor gene p53 yang terdapat pada stem sel basal di
limbus. Ekspresi berlebihan sitokin seperti TGF- dan VEGF (vascular
endothelial growth factor) menyebabkan regulasi kolagenase, migrasi sel, dan
angiogenesis.8
Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan
subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva mengalami degenerasi elastoid
(degenerasi basofilik) dan proliferasi jaringan granulasi fibrovaskular di bawah
epitel yaitu substansia propia yang akhirnya menembus kornea. Kerusakan kornea
terdapat pada lapisan membran Bowman yang disebabkan oleh pertumbuhan
jaringan fibrovaskular dan sering disertai dengan inflamasi ringan. Kerusakan
membran Bowman ini akan mengeluarkan substrat yang diperlukan untuk
15

pertumbuhan pterygium. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi
displasia.5,8
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan
defisiensi limbal stem cell, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan kornea.
Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea,
vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan pertumbuhan
jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterygium dan oleh karena itu
banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pterygium merupakan manifestasi
dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell. Pterygium
ditandai dengan degenerasi elastotik dari kolagen serta proliferasi fibrovaskuler
yang ditutupi oleh epitel. Pada pemeriksaan histopatologi daerah kolagen
abnormal yang mengalami degenerasi elastolik tersebut ditemukan basofilia
dengan menggunakan pewarnaan hematoxylin dan eosin, Pemusnahan lapisan
Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel diatasnya biasanya
normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan
sering menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet 2,5,6,8
VII.

GAMBARAN KLINIK
Gejala klinis pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan

sama sekali. Beberapa keluhan yang sering dialami pasien seperti mata sering
berair dan tampak merah, merasa seperti ada benda asing, dapat timbul
astigmatisme akibat kornea tertarik, pada pterygium lanjut stadium 3 dan 4 dapat
menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam penglihatan menurun. 1,6,8

Gambar 5. Bagian-bagian mata yang terkena pterygium


Pterygium memiliki tiga bagian :
i.

Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri atas zona abuabu pada kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area
ini menginvasi dan menghancurkan lapisan Bowman pada
kornea. Garis zat besi (iron line/Stockers line) dapat dilihat

16

pada bagian anterior kepala. Area ini juga merupakan area


ii.

kornea yang kering.


Bagain whitish.Terletak langsung setelah cap, merupakan
sebuah lapisan vesikuler tipis yang menginvasi kornea seperti

iii.

halnya kepala.
Bagian badan atau ekor, merupakan bagian yang mobile (dapat
bergerak), lembut, merupakan area vesikuler pada konjungtiva
bulbi dan merupakan area paling ujung. Badan ini menjadi
tanda khas yang paling penting untuk dilakukannya koreksi
pembedahan10

VI.

DIAGNOSIS
Anamnesis
Pada anamnnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata
merah, gatal, mata sering berair, ganguan penglihatan. Selain itu perlu juga
ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja
di luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar mathari yang tinggi,
serta dapat pula ditanyakan riwayat trauma sebelumnya. 1,2, 6
Pemeriksaaan fisik
Pada inspeksi pterygium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular
pada permukaan konjuntiva. Pterygium dapat memberikan gambaran yang
vaskular dan tebal tetapi ada juga pterygium yang avaskuler dan flat.
Perigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi
ke kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterygium pada daerah
temporal. 6
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterygium
adalah topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa

VII.

astigmtisme ireguler yang disebabkan oleh pterygium. 6


PENATALAKSANAAN
1. Konservatif
Penanganan pterygium pada tahap awal adalah berupa tindakann
konservatif seperti penyuluhan pada pasien untuk mengurangi iritasi
maupun paparan sinar ultraviolet dengan menggunakan kacamata anti
UV dan pemberian air mata buatan/topical lubricating drops.8

17

2 . Tindakan operatif
Adapun indikasi operasi menurut Ziegler dan Guilermo Pico, yaitu:8
Menurut Ziegler :
1.
2.
3.
4.
5.

Mengganggu visus
Mengganggu pergerakan bola mata
Berkembang progresif
Mendahului suatu operasi intraokuler
Kosmetik
Menurut Guilermo Pico :

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Progresif, resiko rekurensi > luas


Mengganggu visus
Mengganggu pergerakan bola mata
Masalah kosmeti
Di depan apeks pterygium terdapat Grey Zone
Pada pterygium dan kornea sekitarnya ada nodul pungtat
Terjadi kongesti (klinis) secara periodik
Pada prinsipnya, tatalaksana pterygium adalah dengan tindakan

operasi. Ada berbagai macam teknik operasi yang digunakan dalam


penanganan pterygium di antaranya adalah:8
1. Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva
dengan permukaan sklera. Kerugian dari teknik ini adalah
tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan yang dapat
2.

mencapai 40-75%.
Simple closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva yang
terbuka, diman teknik ini dilakukan bila luka pada konjuntiva

3.

relatif kecil.
Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas

4.

eksisi untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap.


Rotational flap : dibuat insisi berbentuk huruf U di sekitar luka
bekas eksisi untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva

5.

yang kemudian diletakkan pada bekas eksisi.


Conjungtival graft : menggunakan free graft yang biasanya
diambil dari konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai
dengan ukuran luka kemudian dipindahkan dan dijahit atau
18

difiksasi dengan bahan perekat jaringan (misalnya Tisseel VH,


Baxter Healthcare, Dearfield, Illionis).

Gambar 6. Teknik Operasi Pterygium


(Gambar dikutip dari kepustakaan 8)
Amniotic membrane transplantation
Ada juga teknik lain yaitu Amniotic membrane transplantation, yaitu
teknik gafting dengan menggunakan membran amnion, yang merupakan lapisan
paling dalam dari plasenta yang mengandung membrana basalis yang tebal dan
matriks stromal avaskular. Dalam dunia oftalmologi, membran amnion ini
digunakan sebagai draft dan dressing untuk infeksi kornea, sterile melts, dan
untuk merekonstruksi permukaan okuler untuk berbagai macam prosedur.
Dokumentasi pertama penggunaan membran amnion ini yaitu yang dilakukan
oleh De Rotth pada tahun 1940 untuk rekonstruksi konjungtiva. Dengan angka
kesuksesan yang rendah. Sorsby pada tahun 1946 dan 1947. Ada juga Kim dan
Tseng yang memperkenalkan kembali ide ini dan mempopulerkannya. Cara kerja
teknik ini adalah dimana komponen membran basalis dari membran amnion ini
serupa dengan komposisi dalam konjungtiva. Untuk alasan inilah teori terkini
menyatakan bahwa membran amniotik memperbesar support untuk limbal stem
cells dan cornea transient amplifying cells. Klonogenisitas dipelihara dengan
meningkatkan diferensiasi sel goblet dan non goblet . lebih jauh lagi, hal tersebut
dapat menekan diferensiasi miofibroblast dari fibroblas normal untuk mengurangi

19

scar dan pembentukan vaskuler. Mekanisme ini membantu penyembuhan untuk


rekonstruksi konjungtiva, defek epitel, dan ulserasi stromal. 9

6.1 Indikasi
A.Eksisi pterigium
setelah operasi pengangkatan pterigium, maka akan menyisakan sebuah defek
konjungtival. Defek ini dapat dibiarkan sembuh sendiri, dijahit secara langsung

melalui pendekatan primer, diberikan graft dengan sebuah autograft konjungtiva,


atau diberikan graft dengan membran amniotik. Dengan injeksi steroid
intraoperatif pada defek jaringan yang mengitarinya. 9
B.Rekonstruksi permukaan konjungtiva
selain untuk operasi pterigium, AMT juga digunakan untuk teknik rekonstruksi
konjungtiva lainnya. Untuk pengangkatan tumor-tumor konjungtiva yang meninggalkan
defek, maka defek tersebut akan diperbaiki dengan membran amniotik. Telah dilaporkan
penggunaan AMT untuk pembedahan scar dan symblepharon. AMT juga dapat

digunakan

untuk

merekonstruksi

permukaan

okuler

pada

kasus

konjungtivokalasis, scleral melts dengan sklera kadaverik. Satu laporan lainnya


menyatakan bahwa trabeculectomy bleb dapat diperbaiki dengan membran
amniotik. 9
C.Defisiensi stem sel Limbal
membran amniotik dapat digunakan pada kasus-kasus defisiensi stem sel Limbal parsial
dan total. Pada kasus-kasus kehilangan stem sel Limbal total, AMT saja tidak mencukupi
dan perlu penggunaan bersamaan dengan transplantasi stem sel allogenik. Untuk kasus-

20

kasus yang parsial, membran amniotik menunjukkan dapat meningkatkan epitelisasi dan
memperbaiki penglihatan dengan dan tanpa transplantasi sel Limbal allogenik. 9
Teknik terbaru termasuk penggunaan stem sel otolog dan allogenik yang diolah di

laboratorium pada membran amniotik lalu mentransplantasikan jaringan gabungan


ini pada kornea yang rusak berat tanpa adanya stem-stem sel endogen.9
6.2 Prosedur
Banyak laporan dalam literatur yang menggambarkan penggunaan membran amniotik
yang diambil dari plasenta pada saat operasi sesar dan diawetkan hingga digunakan pada
permukaan okuler. Tersedia teknik pengawetan cryopreserved amniotic membrane

dan lazim digunakan dan menjaga sifat histologis dan morfologis dari jaringan
sehat. AMT dapat ditempelkan pada permukaan okuler secara pembedahan
dengan benang absorbable ataupun yang non-absorbable. Adesivitas jaringan
biologis juga dapat digunakan untuk menempelkan AMT pada permukaan okuler.9
6.3 Resiko
Jaringan alogenik mempunyai resiko transmisi penyakit menular yang tidak terlihat.
Secara umum, membran amniotik didapatkan dari donor potensial yang menjalani

operasi sesar yang telah diskrining untuk penyakit menular, seperti; HIV, hepatitis,
dan sifilis. Plasenta kemudian dibersihkan dengan campuran larutan garam yang
seimbang, penisilin, streptomisin, neomisin, dan amfoterisin B. Lalu amnion
dipisahkan dari korion dengan blunt dissection pada kondisi yang steril,
ditempelkan pada strip kertas nitroselulosa dan disimpan dalam larutan gliserol.
Jaringan tersebut juga disimpan dalam larutan itu untuk fresh use atau
menggunakan cryopreserved pada suhu -80 derajat celcius. Hingga saat ini tidak
ada laporan mengenai transmisi penyakit menular pada AMT. 9
VIII.

DIAGNOSIS BANDING
Pterygium

harus

dapat

dibedakan

dengan

pseudopterygium.

Pseudopterygium terjadi akibat pembentukan jaringan parut pada konjungtiva


yang berbeda dengan pterygium, dimana pada pseudopterygium terdapat adhesi
antara konjungtiva yang sikatrik dengan kornea dan sklera. Penyebabnya termasuk
21

cedera kornea, cedera kimiawi dan termal. Pseudopterygium menyebabkan nyeri


dan penglihatan ganda. Penanganan pseudopterygium adalah dengan melisiskan
adhesi, eksisi jaringan konjungtiva yang sikatrik dan menutupi defek sklera
dengan graft konjungtiva yang berasal dari aspek temporal.10, 11
Selain itu pterygium juga didagnosis banding dengan pinguekula yang
merupakan lesi kuning keputihan pada konjungtiva bulbi di daerah nasal atau
temporal limbus. Tampak seperti penumpukan lemak bisa karena iritasi ataupun
karena kualitas air mata yang kurang baik. Pada umumnya tidak diperlukan terapi
tetapi pada kasus tertentu dapat diberikan steroid topikal.10,11

Gambar 7. Pinguekula
IX.

Gambar 8. Pseudopterigium

KOMPLIKASI
Komplikasi pterygium meliputi sebagai berikut:6,11

Pra-operatif:
1.

Astigmat
Salah satu komplikasi yang disebabkan oleh pterygium adalah
astigmat karena pterygium dapat menyebabkan perubahan bentuk
kornea akibat adanya mekanisme penarikan oleh pterygium serta
terdapat pendataran daripada meridian horizontal pada kornea yang
berhubungan dengan adanya astigmat. Mekanisme pendataran itu
sendiri belum jelas. Hal ini diduga akibat tear meniscus antara puncak
kornea dan peninggian pterygium. Astigmat yang ditimbulkan oleh

2.

pterygium adalah astigmat with the rule dan iireguler astigmat.


Kemerahan
22

3.
4.
5.

Iritasi
Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea
Keterlibatan yang luas otot ekstraokular dapat membatasi penglihatan
dan menyebabkan diplopia.

Intra-operatif:
Nyeri, iritasi, kemerahan, graft oedema, corneoscleral dellen (thinning),
dan perdarahan subkonjungtival dapat terjadi akibat tindakan eksisi dengan
conjunctival autografting, namun komplikasi ini secara umum bersifat sementara
dan tidak mengancam penglihatan. 11
Pasca-operatif:
Komplikasi pasca eksisi adalah sebagai berikut:
1.

Infeksi, reaksi bahan jahitan, diplopia, jaringan parut, parut kornea,


graft konjungtiva longgar, perforasi mata, perdarahan vitreus dan ablasi

X.

2.

retina.
Penggunaan mitomycin C post operasi dapat menyebabkan ektasia atau

3.

nekrosis sklera dan kornea


Pterygium rekuren.

PROGNOSIS
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik.
Kebanyakan pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi.
Pasien dengan pterygium rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft
dengan konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion6

23

DAFTAR PUSTAKA
1. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD.
Management of Pterygium. Opthalmic Pearls.2010
2. Caldwell, M. Pterygium. [online]. 2011 [cited 2015 October 23]. Available
from : www.eyewiki.aao.org/Pterygium
3. Ilyas, Sidharta. Ilmu Penyakit Mata edisi 6. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2006.p.2-7,117.
4. Laszuarni. Prevalensi Pterygium di Kabupaten Langkat. Tesis Dokter
Spesialis Mata. Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara. 2009.
5. Jerome P Fisher, Pterygium. [online]. 2011 [cited 2015 October 23]
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview
6. Anonymus.Pterygium. [online] 2009. [ cited 2015 October 18]. Available
from : http://www.webmd.com/eye-health/pterygium-surfers-eye
7. Anonymus. Anatomi Konjungtiva. [online] 2009. [cited 2015 October 08]
Available from : repository.usu.ac.id/bitstream/.../4/Chapter%20II.pdf .

24

8. Cason, John B., .Amniotic Membrane Transplantation. [online] 2007.


[cited
2015
October
23].
Available
from
:
http://eyewiki.aao.org/Amniotic_Membrane_Transplant
9. Lang, Gerhad K. Conjungtiva. In : Ophtalmology A Pocket Textbook
Atlas. New York : Thieme Stutgart. 2000
10. Skuta, Gregory L. Cantor, Louis B. Weiss, Jayne S. Clinical Approach to
Depositions and Degenerations of the Conjungtiva, Cornea, and Sclera. In:
External Disease and Cornea. San Fransisco : American Academy of
Ophtalmology. 2008. P.8-13, 366
11. Anonim. Pterygium. [online] 2007. [cited 2015 October 23]. Available
from : http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/963/followup/complications.html

25

Anda mungkin juga menyukai