Anda di halaman 1dari 19

ASPEK NEUROPSIKIATRI

DARI HIV DAN AIDS


I. PENDAHULUAN
AIDS merupakan penyakit dimana Human Immunodeficiency Virus
(HIV-I) menyebabkan kerusakan berat dari sel-sel immunitas, yang
mengarah terjadinya infeksi opportunistik, neoplasma, sindrom-sindrom
lain yang disebabkan virus lain bahkan kematian.
II. HIV DAN TRANSMISINYA
HIV termasuk dalam jenis retrovirus yang mirip dengan Human T-cell
Leukimia Virus (HTLV). Setidaknya ada dua tipe dari virus ini, HIV-I &
HIV-II, juga baru-baru ini ditemukan kemungkinan adanya HIV-O. HIVI merupakan agen utama yang sering menimbulkan gangguan-gangguan
dan kelainan pada HIV. Virus ini terkandung dalam semua cairan tubuh
dari penderita, dengan konsentrasi tertinggi pada darah, air mani dan
secret vagina atau secret serviks.

III. MODUS PENULARAN


Modus penularannya termasuk hubungan umum dan heteroseksual,
transmisi dari ibu yang terinfeksi ke bayi yang baru lahir, jarum, produk
darah dan kecelakaan medis. Oral seks merupakan cara yang jarang.
Resiko penularan 0,8 % - 3,2 % pada hubungan anal seks tanpa proteksi;
0,05 % - 0,15 % pada hubungan intim per vagina ; 0,32 % akibat
kecelakaan yang melibatkan jarum ; dan 0,67 % pada jarum bekas obat
terlarang. Resiko transmisi ini akan meningkat apabila pada orang
tersebut bersamaan dengan adanya Penyakit Menular Seksual yang
merusak kulit atau mukosa alat kelamin.

IV.
AIDS akan berkembang dalam jangka 8 11 tahun setelah infeksi.
Waktu ini kini memanjang setelah dipergunakannya obat-obat anti
retroviral. Virusnya akan mengikat reseptor CD IV pada limfosit T4.
virus tersebut menyerang RNA limfosit. Sifat patofisiologinya akan
secara bertahap merusak limfosit T4 dan menghancurkan imunitas
selular.
V. EPIDEMIOLOGI
Saat ini diperkirakan terdapat 40 juta orang terinfeksi HIV di
seluruh dunia dan terdapat 20 juta orang lain yang telah meninggal dunia
karena penyakit HIV. Setiap tahunnya diperkirakan terdapat 750 ribu
bayi yang lahir dengan infeksi HIV. Terdapat juga perkiraan adanya 16
ribu infeksi baru yang muncul setiap hari, dan satu individu terinfeksi
HIV diperkirakan setiap detiknya.

Di Indonesia pada tahun 2002 diperkirakan terdapat 90.000 130.000


orang terinfeksi HIV, dan saat ini diperkirakan 200.000 orang
terinfeksi HIV. Epidemi HIV di Indonesia saat ini merupakan epidemi
yang terkonsentrasi pada kelompok risiko tinggi, yakni pengguna narkoba
jarum suntik dan pekerja seks wanita. Pada populasi pengguna narkoba
suntik tertentu di Jakarta, prevalensi HIV mencapai 90 %, dan di Bali
sekitar 53 %. Sedangkan pada pekerja seks wanita prevalensi HIV
tertinggi adalah di Papua yaitu 26,5 %, di Jawa Barat 5,5 % dan di
Jakarta 3,36 %.
Pada awal teridentifikasinya infeksi ini populasi yang beresiko tinggi
antara lain pria homoseksual, pengguna narkoba jarum suntik
( intravenous drug users ), pasien-pasien yang mendapatkan transfusi
serta petugas kesehatan. Dewasa ini populasi resiko tinggi mulai
berubah. Yang memiliki resiko tertinggi terinfeksi adalah pengguna
narkoba jarum suntik dan pasangan seksual mereka. Selain itu, transmisi
vertikal ibu ke bayinya yang diperkirakan memiliki risiko sekitar 25 30
% juga berpengaruh pada tingginya kasus HIV pada bayi.

VI. DIAGNOSA DAN GAMBARAN KLINIS


Ada 2 macam tehnik untuk mendeteksi antibody dari HIV yaitu
ELISA (Enzym Linked Immunosorbent Assay) dan cara Western Bolt.
Western Bolt lebih spesifik dan digunakan sebagai konfirmasi dari tes
ELISA yang positif. Serokonversi adalah perubahan dari hasil negatif
menjadi hasil positif yang dapat timbul antara 6-12 minggu sampai 6-12
bulan (setelah infeksi). Indikasi kemungkinan pasien yang harus dites
HIV adalah :
1. Pasien yang termasuk resiko tinggi yaitu :
A. Laki-laki yang berhubungan intim dengan laki-laki lain setelah
tahun 1977.
B. Penyalahgunaan obat semenjak tahun 1977.

C. Penderita hemofilia dan pengguna produk darah via transfusi yang


digunakan tanpa skrining semenjak tahun 1977.
D. Mempunyai partner seksual orang-orang tersebut diatas
E. Mempunyai partner seksual yang terpajan oleh HIV luka,
tertusuk jarum dan kontak langsung dengan darah penderita HIV.

2. Pasien yang meminta dites (tidak semuanya mengakui faktor pajanan,


karena malu).
3. Pasien dengan gejala HIV-AIDS
4. Wanita pada golongan diatas yang berencana mempunyai anak atau
sedang hamil.

5. Donor darah, sperma atau donor organ.


6. Pasien golongan diatas yang mengalami dementia.

VII.
Tes

HIV

ini

harus

disertai

adanya

konseling

sebelum

dan

sesudahnya, dokter harus menyadari akan adanya stress yang hebat


dengan adanya tes ini. Beberapa hal yang menjadi masalah adalah :
1.

Jelaskan tentang hasil positif dan akan adanya hasil-hasil false.

2. Jelaskan tentang arti tes negatif dan serokonversi.


3. Dokter harus mampu meluangkan waktu mendiskusikan ketakutanketakutan pasien.
4. Jelaskan tentang kepentingan tes ini.
5. Pelajari sikap pasien jika ternyata hasil ini positif (kemungkinan
bunuh diri dsb), hindari reaksi yang katastropi
6. Pelajari reaksi terdahulu pasien terhadap stres-stres berat.
7. Terangkan akan kerahasiaan dari tes ini.
8. Jelaskan akan hasilnya dapat mempangaruhi status sosial seperti
bisnis atau asuransi.

9. Telaah kelakuan-kelakuan yang beresiko tinggi terpajan akan HIV


dan intervensi yang sesuai
10. Ijinkan pasien bertanya.

VIII. Beberapa hal yang menyangkut konseling postes :


1.

Intepretasi hasil tes, contohnya hasil negatif tidak berarti pasien


tidak mengidap HIV dan tidak berarti pasien kebal akan HIV.

2. Dokter turut merekomendasikan cara-cara mencegah transmisi.

3. Rekomendasi tentang pasangan seksual dan penggunaan jarum di


masa depan.
4. Jika tes positif maka perlu diberi penjelasan untuk tidak
mendonorkan darah, sperma atau organ dan mencegah penggunaan
bersama alat-alat sehari-hari yang mungkin terpajan darah (pisau
cukur, sikat gigi)
5. Merujuk kepada ahli lain yang lebih berpengalaman menangani hal-hal
ini. Mereka mempunyai team untuk membantu menyesuaikan diri akan
ketakutan pada kematian, kehilangan masa depan yang besar dan
kehilangan harapan untuk sembuh.
IX. GEJALA KLINIS NON-NEUROLOGI
Selama fase serokonversi, 30-50 % pasien mengalami gejala mirip flu
(flu like syndromes). Gejala ini meliputi demam, ruam, myalgia, sakit
kepala

dan

kelelahan.

Kadang-kadang

terdapat

gejala

neurologis

termasuk Sindroma Guillain Barre, Encephalopathy dan Meningitis.


Stadium Asimtomatis berkisar kurang lebih 10 tahun. Selama ini, jumlah
CD4 menurun dari normalnya lebih dari 1000/mm3 menjadi kurang dari
200/mm3. Pasien mempunyai resiko tinggi akan AIDS ketika CD4
menurun dibawah 200 mm3.

X.
Gangguan mental yang terkait dengan HIV adalah dementia, psikosis
akut, gangguan afektif dan perubahan kepribadian oleh karena kondisi
medis umum. Yang sering menyebabkan demensia pada pasien HIV

termasuk toxoplasmosis otak, meningitis kriptokokus dan limfoma


primer pada otak. Komplikasi neurobiologis dari infeksi HIV adalah :
Komplikasi Primer
A. Gangguan Neurokognitif HIV-1
- Hendaya neurokognitif asimtomatis
- Kelainan neurokognitif HIV-1 ringan
- Demensia akibat HIV-1.
XI. Gangguan lain akibat HIV-1
- Meningitis HIV-1
- Mielopati Vaskular HIV-1

- Neuropati HIV-1 (Sindroma Guillane Baree, penyakit deielinisasi


progresif, polineiropati sensoris)
- Miopati HIV-1
Komplikasi Sekunder :
Infeksi
- Encepalitis atau abses toxoplasma
- Meningitis kriptokokus
- Encephalitis CMV
- Infeksi SSP lain
XII.
Neoplasia
- Limfoma primer atau sekunder

- Sarcoma kaposi dari SSP


- Neoplasia lain
Penyakit serebro-vaskular terkait
Delirium lain
- Reaksi dari obat
- Hipoksemia, hiperkabnia
- Gangguan metabolic dan nutrisi lain

XIII. SINDROMA PSIKIATRI


1.

DELIRIUM

2. GANGGUAN ANSIETAS

3. GANGGUAN PENYESUAIAN
4. GANGGUAN DEPRESI
5. PENYALAHGUNAAN ZAT
6. BUNUH DIRI
7. KECEMASAN

XIV. PENATALAKSANAAN
A. PREVENSI

Semua orang yang mempunyai resiko untuk tertular HIV harus


segera diberitahu akan cara melakukan sex yang aman dan mereka
harus diupayakan tidak membagi penggunaan bersama jarum bawah
kulit.
1.

Seks dengan cara aman

2. Praktek seks yang aman


3. Praktek seks dengan resiko rendah
4. Praktek seks yang tidak aman

XV. FARMAKOTERAPI

1. Terapi Antiretroviral
Tujuan dari terapi antiretroviral adalah supresi penuh dari virus,
karena adanya peningkatan virus dapat menurunkan taraf CD4. Terapi
kombinasi dengan beberapa obat dengan mekanisme kerja yang
berbeda

merupakan

suatu

standar.

Indikasi

penggantian

obat,

termasuk semakin banyaknya jumlah virus, tidak berhasilnya tujuan


pengobatan dan adanya intoleransi. Obat-obatan ini digunakan secara
kombinasi juga untuk mencegah berbagai infeksi oportunistik dan
meningkatkan kualitas hidup pasien.

2. Terapi Antiretroviral untuk Gangguan Neurokognitif

Dosis besar dari zidovudine monoterapi dapat mengatasi gangguan


neurokognitif karena HIV karena sifatnya yang dapat menembus sawar
otak yang bagus. Stavudine dan Nevirapine menunjukkan jumlah yang
bermakna dalam menembus sawar otak.

Anda mungkin juga menyukai