Anda di halaman 1dari 27

GLOMERULONEFRITIS AKUT PADA ANAK

Definisi
Glomerulonefritis merupakan suatu istilah yang dipakai untuk menjelaskan berbagai
ragam penyakit ginjal yang mengalami proliferasi dan inflamasi glomerulus yang disebabkan
oleh suatu mekanisme imunologis.
Epidemiologi
GN merupakan 10-15% dari penyakit glomerular. Insidensi variabel telah dilaporkan,
sebagian karena penyakit ini bersifat subklinis pada lebih dari setengah penduduk yang
terkena. Meskipun wabah sporadis, kejadian GNAPS telah berkurang selama beberapa
dekade terakhir. Faktor yang bertanggung jawab atas penurunan ini mungkin termasuk
perawatan kesehatan yang lebih baik dan kondisi sosial ekonomi membaik. GN terdiri 2530% dari semua kasus stadium akhir penyakit ginjal (End Stage Renal Disease - ESRD).
Sekitar seperempat dari pasien hadir dengan sindrom nefritik akut. Kebanyakan kasus
mengalami proses yang relatif cepat, dan gagal ginjal stadium akhir dapat terjadi dalam
beberapa minggu atau bulan dari onset sindrom nefritik akut. Episode asimtomatik GNAPS
melebihi episode simptomatis dengan rasio 3-4:1.
Secara global, penyakit Berger merupakan penyebab tersering dari GN. Dengan
beberapa pengecualian, insidensi GNAPS telah menurun di sebagian besar negara Barat.
GNAPS tetap jauh lebih umum di daerah seperti Afrika, Karibia, India, Pakistan, Malaysia,
Papua Nugini, dan Amerika Selatan yang mungkin dipengaruhi oleh status nutrisi,
penggunaan antibiotik profilaksis, dan potensi dari Streptokokus.. Di Port Harcourt, Nigeria,
kejadian GNA pada anak usia 3-16 tahun adalah 15,5 kasus per tahun, dengan rasio laki-lakike-perempuan 1.1:1, kejadian saat ini tidak jauh berbeda. Variasi geografis dan musiman
dalam prevalensi GNAPS lebih tampak pada GNA akibat faringitis dibandingkan dengan
penyakit kulit Mortalitas pada penderita GNA pada anak sangat jarang (<1%). Tidak ada
predileksi rasial. Pada laki-laki dua kali lebih sering daripada pada wanita. GNA PS sering
terjadi pada anak usia 5-15 tahun. GNA dominan menyerang anak laki-laki dibanding anak
perempuan (ratio 2 : 1).
Di Indonesia, penelitian multisenter selama 12 bulan pada tahun 1988 melaporkan
170 orang pasien penderita GNA yang dirawat di rumah sakit pendidikan, terbanyak di
Surabaya (26,5%) diikuti oleh Jakarta (24,7%), Bandung (17,6%), dan Palembang (8,2%).
Perbandingan pasien laki-laki dan perempuan 1,3:1 dan terbanyak menyerang anak usia 6-8
tahun (40,6%).

Etiologi
Faktor-faktor penyebab yang mendasari GNA dapat dibagi menjadi kelompok infeksi dan
bukan infeksi.
Kelompok Infeksi
Penyebab infeksi yang paling sering GNA adalah infeksi oleh spesies Streptococcus (yaitu,
kelompok A, beta-hemolitik). Dua jenis telah dijelaskan, yang melibatkan serotipe yang
berbeda:
Serotipe M1, 2, 4, 12, 18, 25 - nefritis Poststreptococcal akibat infeksi saluran
pernapasan atas, yang terjadi terutama di musim dingin
Serotipe 49, 55, 57, 60 - nefritis Poststreptococcal karena infeksi kulit, biasanya
diamati pada musim panas dan gugur dan lebih merata di daerah selatan Amerika
Serikat.
GNA pasca infeksi streptokokus (GNAPS) biasanya berkembang 1-3 minggu setelah infeksi
akut dengan strain nephritogenic spesifik grup A streptokokus beta-hemolitik. Insiden GN
adalah sekitar 5-10% pada orang dengan faringitis dan 25% pada mereka dengan infeksi
kulit.
GN pascainfeksi Nonstreptococcal mungkin juga hasil dari infeksi oleh bakteri lain,
virus, parasit, atau jamur. Bakteri selain streptokokus grup A yang dapat menyebabkan GNA
termasuk diplococci, streptokokus lainnya, staphylococci, dan mikobakteri. Salmonella
typhosa, Brucella suis, Treponema pallidum, Corynebacterium bovis, dan actinobacilli juga
telah diidentifikasi. Cytomegalovirus (CMV), coxsackievirus, Epstein-Barr virus (EBV),
virus hepatitis B (HBV), rubella, rickettsiae (seperti dalam tifus scrub), dan virus gondong
diterima sebagai penyebab virus hanya jika dapat didokumentasikan bahwa infeksi
streptokokus beta-hemolitik tidak terjadi. GNA telah didokumentasikan sebagai komplikasi
langka hepatitis A. Menghubungkan glomerulonefritis ke etiologi parasit atau jamur
memerlukan pengecualian dari infeksi streptokokus. Organisme diidentifikasi meliputi
Coccidioides immitis dan parasit berikut: Plasmodium malariae, Plasmodium falciparum,
Schistosoma mansoni, Toxoplasma gondii, filariasis, trichinosis, dan trypanosomes.
Kelompok Non-infeksi
Penyebab non-infeksi dari GNA dapat dibagi menjadi penyakit ginjal primer, penyakit
sistemik, dan kondisi lain-lain atau agen.
Penyakit sistemik multisistem yang dapat menyebabkan GNA meliputi:
Vaskulitis (misalnya, Wegener granulomatosis) - Ini menyebabkan glomerulonefritis yang
menggabungkan nephritides granulomatosa atas dan bawah.

Penyakit kolagen-vaskular (misalnya, lupus eritematosus sistemik [SLE]) - Ini menyebabkan


glomerulonefritis melalui deposisi kompleks imun pada ginjal.
Vaskulitis hipersensitivitas - Ini mencakup sekelompok heterogen gangguan pembuluh darah
kecil dan penyakit kulit.
Cryoglobulinemia - Hal ini menyebabkan jumlah abnormal cryoglobulin dalam plasma yang
menghasilkan episode berulang dari purpura luas dan ulserasi kulit pada kristalisasi.
Polyarteritis nodosa - ini menyebabkan nefritis dari vaskulitis melibatkan arteri ginjal.
Henoch-Schnlein

purpura

Ini

menyebabkan

vaskulitis

umum

mengakibatkan

glomerulonefritis.
Sindrom Goodpasture - Ini menyebabkan antibodi yang beredar pada kolagen tipe IV dan
sering mengakibatkan kegagalan ginjal progresif cepat (minggu ke bulan).
Penyakit ginjal primer yang dapat menyebabkan GNA meliputi:
Membranoproliferatif glomerulonefritis (MPGN) - Hal ini disebabkan perluasan dan
proliferasi sel mesangial akibat pengendapan komplemen. Tipe I mengacu pada deposisi
granular dari C3, tipe II mengacu pada proses yang tidak teratur.
Penyakit Berger (IgG-immunoglobulin A [IgA] nefropati) - ini menyebabkan GN sebagai
akibat dari deposisi mesangial difus IgA dan IgG.
GN proliferatif mesangial murni
Idiopatik glomerulonefritis progresif cepat - Bentuk GN ditandai dengan adanya glomerulus
crescent. Terdapat 3 tipe: Tipe I adalah antiglomerular basement membrane disease, tipe II
dimediasi oleh kompleks imun, dan tipe III diidentifikasi dengan antibodi sitoplasmik
antineutrophil (ANCA).
Penyebab noninfeksius lainnya dari GNA meliputi:
Sindrom Guillain-Barr
Iradiasi tumor Wilms
Vaksin Difteri Pertusis Tetanus (DPT)
Serum sickness
Manifestasi klinis
Anamnesis
Kebanyakan biasanya, anak dengan GNA akan terlihat karena terjadinya perubahan
warna urin mendadak. Pada kesempatan itu pula, keluhan mungkin berhubungan dengan

komplikasi dari penyakit: kejang hipertensi, edema, dan sebagainya. Selanjutnya perlu digali
lebih jauh mengenai rincian lebih lanjut mengenai perubahan warna urin. Hematuria pada
anak dengan GNA biasanya digambarkan sebagai "coke," "teh," atau berwarna seperti asap.
Warna darah merah terang dalam urin lebih mungkin konsekuensi masalah anatomi seperti
urolithiasis dari glomerulonefritis. Warna urin pada GNA seragam di sepanjang aliran.
Hematuria pada GNA hampir selalu tidak sakit; disuria yang menyertai gross hematuria lebih
mengarah pada cystitis hemorrhagik akut daripada penyakit ginjal. Riwayat keluhan serupa
sebelumnya akan menunjuk ke eksaserbasi proses kronis seperti IgA nefropati.
Hal ini penting berikutnya adalah memastikan gejala sugestif dari komplikasi GNA
tersebut. Ini mungkin termasuk sesak napas atau setelah beraktifitas yang menunjukkan
overload cairan atausakit kepala, gangguan penglihatan, atau perubahan status mental dari
hipertensi. Sejak GNA dapat muncul dengan keluhan dari organ multisistem, review lengkap
dari seluruh sistem sangat penting. Perhatian khusus harus diberikan untuk ruam,
ketidaknyamanan sendi, perubahan berat badan, kelelahan, perubahan nafsu makan, keluhan
pernafasan, dan paparan obat terakhir. Sejarah keluarga harus membahas kehadiran setiap
anggota keluarga dengangangguan autoimun, sebagai anak-anak dengan baik SLE dan
membranoproliferatif glomerulonefritis (MPGN) mungkin memiliki kerabat yang juga
menderita penyakit serupa. Sebuah riwayat keluarga gagal ginjal (khususnya bertanya tentang
dialisis dan transplantasi ginjal) mungkin menjadi petunjuk untuk proses seperti sindrom
Alport, yang mungkin awalnya hadir dengan gambar GNA. Adanya riwayat infeksi
streptokokus sebelumnya seperti faringitis, tonsilitis, atau pioderma.
Berikut merupakan beberapa keadaan yang didapatkan dari anamnesis:
a

Periode laten
Terdapat periode laten antara infeksi streptokokus dengan onset pertama kali
muncul gejala.
Pada umumnya, periode laten selama 1-2 minggu setelah infeksi tenggorok dan 3-6
minggu setelah infeksi kulit
Onset gejala dan tanda yang timbul bersamaan dengan faringitis biasanya
merupakan imunoglobulin A (IgA) nefropati daripada GNA PS.

Urin berwarna gelap


Merupakan gejala klinis pertama yang timbul
Urin gelap disebabkan hemolisis eritrosit yang telah masuk ke membran basalis
glomerular dan telah masuk ke sistem tubular.

Edema periorbital

Onset munculnya sembab pada wajah atau mata tiba-tiba. Biasanya tampak jelas saat
saat bangun tidur dan bila pasien aktif akan tampak pada sore hari.
Pada beberapa kasus edema generalisata dan kongesti sirkulasi seperti dispneu
dapat timbul.
Edema merupakan akibat dari tereksresinya garam dan air.
Tingkat keparahan edema berhubungan dengan tingkat kerusakan ginjal.
d

Gejala nonspesifik
Yaitu gejala secara umum penyakit seperti malaise, lemah, dan anoreksia,
muncul pada 50% pasien.
15 % pasien akan mengeluhkan mual dan muntah.
Gejala lain demam, nyeri perut, sakit kepala. #

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik diawali dengan penilaian yang cermat mengenai tanda-tanda vital,
terutama tekanan darah. Tekanan darah 5 mm di atas persentil ke-99 untuk usia anak, jenis
kelamin, dan tinggi, terutama jika disertai dengan perubahan dalam status kejiwaan,
dibutuhkan perhatian. Takikardia dan tachypnea mengarah ke gejala overload cairan.
Pemeriksaan hidung dan tenggorokan dengan cermat dapat memberikan bukti perdarahan,
menunjukkan kemungkinan salah satu ANCA positive vaskulitides seperti Wegners
granulomatosis.
Limfadenopati servikal mungkin residua dari faringitis streptokokus baru-baru ini.
Pemeriksaan kardiopulmoner akan memberikan bukti overload cairan atau keterlibatan paru
yang memiliki karakteristik sindrom langka ginjal-paru. Pemeriksaan perut sangat penting.
Ascites mungkin hadir jika ada komponen nefrotik pada GNA. Hepato-splenomegali
mungkin menunjuk ke gangguan sistemik. Nyeri perut yang signifikan dapat menyertai HSP.
Beberapa edema perifer dari retensi garam dan air terlihat pada GNA, tapi ini cenderung
menjadi edema"berotot" yang lebih halus daripada karakteristik edema pitting dari sindrom
nefrotik. Yang paling mudah terlihat adalah edema periorbital atau mata tampak sembab.
Edema skrotum dapat terjadi pada sindrom nefrotik juga, dan orchitis merupakan temuan
sesekali di HSP. Pemeriksaan yang sangat berhati-hati dari kulit adalah penting dalam GNA.
Ruam pada HSP, memiliki karakteristik ketika kemerahan, awalnya mungkin halus dan
terbatas pada bokong atau punggung kaki. Keterlibatan sendi terjadi pada beberapa gangguan
multisistem dengan GNA. Sendi kecil (misalnya, jari) lebih khas SLE, sementara atau
keterlibatan lutut terlihat dengan HSP.

Sindrom Nefritis Akut


Gejala yang timbul adalah edema, hematuria, dan hipertensi dengan atau tanpa
klinis GNA PS.
95% kasus klinis memiliki 2 manifestasi, dan 40% memiliki semua manifestasi akut
nefritik sindrom

Edema
Edema tampak pada 80-90% kasus dan 60% menjadi keluhan saat ke dokter.
Terjadi penurunan aliran darah yang bermanifestasi sedikit eksresi natrium dan urin
menjadi terkonsentrasi. Adanya retensi natrium dan air ini menyebabkan terjadinya
edema.

Hipertensi
Hipertensi muncul dalam 60-80% kasus dan biasanya pada orang yang lebih besar.
Pada 50% kasus, hipertensi bisa menjadi berat.
Jika ada hipertensi menetap, hal tersebut merupakan petunjuk progresifitas ke arah
lebih kronis atau bukan merupakan GNA PS.
Hipertensi disebabkan oleh retensi natrium dan air yang eksesif.
Meskipun terdapat retensi natrium, kadar natriuretic peptida dalam plasma meningkat.
Aktivitas renin dalam plasma rendah.
Ensefalopati hipertensi ada pada 5-10% pasien,biasanya tanpa defisit neurologis.

Oliguria
Tampak pada 10-50% kasus, pada 15% output urin <200ml.
Oliguria mengindikasikan bentuk cresentic yang berat.
Biasanya transien, dengan diuresis 1-2 minggu.

Hematuria
Muncul secara umum pada semua pasien.
30% gross hematuria.
f

Disfungsi ventrikel kiri


Disfungsi ventrikel kiri dengan atau tanpa hipertensi atau efusi perikardium dapat timbul
pada kongestif akut dan fase konvalesen.
Pada kasus yang jarang, GNA PS dapat menunjukkan gejala perdarahan
pulmonal.

1
Pemeriksaan penunjang
a) Laboratorium

Adanya infeksi streptokokus harus dicari dengan melakukan biakan tenggorok dan kulit.
Biakan mungkin negatif apabila telah diberikan antimikroba. Beberapa uji serologis
terhadap antigen streptokokus dapat dipakai untuk membuktikan adanya infeksi
streptokokus, antara lain antistreptozim, ASTO, antihialuronidase, dan anti Dnase B.
Skrining antistreptozim cukup bermanfaat oleh karena mampu mengukur antibodi
terhadap beberapa antigen streptokokus. Titer anti streptolosin O meningkat pada 75-80%
pasien dengan glomerulonefritis akut pasca streptokokus dengan faringitis, meskipun
beberapa strain streptokokus tidak memproduksi streptolisin O. Bila semua uji dilakukan
uji serologis dilakukan, lebih dari 90% kasus menunjukkan adanya infeksi streptokokus.
Titer ASTO meningkat pada hanya 50% kasus glomerulonefritis akut
pascastreptokokus atau pascaimpetigo, tetapi antihialuronidase atau antibodi yang lain
terhadap antigen streptokokus biasanya positif. Pada awal penyakit titer antibodi
streptokokus belum meningkat, hingga sebaiknya uji titer dilakukan secara seri. Kenaikan
titer 2-3 kali lipat berarti adanya infeksi. Tetapi , meskipun terdapat bukti adanya infeksi
streptokokus, hal tersebut belum dapat memastikan bahwa glomerulonefritis tersebut
benar-benar disebabkan karena infeksi streptokokus. Gejala klinis dan perjalanan
penyakit pasien penting untuk menentukan apakah biopsi ginjal memang diperlukan.
Titer antibodi streptokokus positif pada >95 % pasien faringitis, dan 80% pada
pasien dengan infeksi kulit. Antistreptolisin, antinicotinamid dinucleotidase (anti-NAD),
antihyaluronidase (Ahase) dan anti-DNAse B positif setelah faringitis. Titer antibodi
meningkat dalam 1 minggu puncaknya pada satu bulan dan akan menurun setelah
beberapa bulan.
Pada pemeriksaan serologi didapatkan penurunan komponen serum CH50 dan
konsentrasi serum C3. Penurunan C3 terjadi ada >90% anak dengan GNA PS. Pada
pemeriksaan kadar komplemen, C3 akan kembali normal dalam 3 hari atau paling lama
30 hari setelah onset. Peningkatan BUN dan kreatinin. Peningkatannya biasanya transien.
Bila peningkatan ini menetap beberapa minggu atau bulan menunjukkan pasien bukan
GNA PS sebenarnya. Pasien yang mengalami bentuk kresentik GN mengalami perubahan
cepat, dan penyembuhan tidak sempurna. Adanya hiperkalemia dan asidosis metabolik
menunjukkan adanya gangguan fungsi ginjal. Selain itu didapatkan juga hiperfosfatemi
dan Ca serum yang menurun.
Pada urinalisis menggambarkan abnormalitas, hematuria dan proteinuria muncul
pada semua kasus. Pada sedimen urin terdapat eritrosit, leukosit, granular. Terdapat
gangguan fungsi ginjal sehingga urin menjadi lebih terkonsentrasi dan asam. Ditemukan

juga glukosuria. Eritrosit paling baik didapatkan pada urin pagi hari, terdapat 60-85%
pada anak yang dirawat di RS. Hematuria biasanya menghilang dalam waktu 3-6 bulan
dan mungkin dapat bertahan 18 bulan. Hematuria mikroskopik dapat muncul meskipun
klinis sudah membaik. Proteinuria mencapai nilai +1 sampai +4, biasanya menghilang
dalam 6 bulan. Pasien dengan proteinuria dalam nephrotic-range dan proteinuria berat
memiliki

prognosis

buruk.

Pada

pemeriksaan

darah

tepi

gambaran

anemia

didapatkan,anemia normositik normokrom.


b) Pencitraan
Foto toraks dapat menunjukkan Congestif Heart Failure.
USG ginjal biasanya menunjukkan ukuran ginjal yang normal.
c) Biopsy ginjal
Biopsi ginjal diindikasikan bila terjadi perubahan fungsi ginjal yang menetap, abnormal
urin dalam 18 bulan, hipokomplemenemia yang menetap, dan terjadi sindrom nefrotik.
Indikasi Relatif :
Tidak ada periode laten di antara infeksi streptokokus dan GNA
Anuria
Perubahan fungsi ginjal yang cepat
Kadar komplemen serum yang normal
Tidak ada peningkatan antibodi antistreptokokus
Terdapat manifestasi penyakit sistemik di ekstrarenal
GFR yang tidak mengalami perbaikan atau menetap dalam 2 minggu
Hipertensi yang menetap selama 2 minggu
Indikasi Absolut :
GFR yang tidak kembali normal dalam 4 minggu
Hipokomplemenemia menetap dalam 6 minggu
Hematuria mikroskopik menetap dalam 18 bulan
Proteinuria menetap dalam 6 bulan
Diagnosis
Glomerulonefritis akut didiagnosis dengan menemukan riwayat hematuria, edema,
hipertensi, atau gejala nonspesifik seperti malaise, demam, nyeri abdomen. Didukung dengan
pemeriksaan fisik yang menunjukkan adanya overload cairan (edema dan hipertensi),
perubahan berat badan baru-baru ini, asites atau efusi pleura, kemerahan pada kulit, pucat,
nyeri ketok pada sudut kostovertebra, pemeriksaan neurologis yang abnormal, dan lain-lain.

Diagnosis

Clinical Manifestations
Microscopic

or

gross

hematuria,

Poststreptococcal glomerulonephritis proteinuria,


hypertension, and edema
Hemolytic-uremic syndrome

Microscopic hematuria, hypertension,


gastroenteritis (bloody diarrhea), oliguria,
and petechiae

Henoch-Schnlein purpura nephritis Microscopic hematuria, palpable purpura,


abdominal pain, tender subcutaneous
edema,
arthralgias sometimes present
Immunoglobulin A nephropathy

Microscopic hematuria proteinuria;


intermittent gross hematuria with viral
infections

Systemic lupus erythematosus

Gross hematuria microscopic, rash (malar,


discoid, vasculitic) and arthralgias or arthritis

Alport syndrome

Microscopic or gross hematuria,


sensorineural hearing loss, family history of
renal failure, cataracts

Komplikasi
Pengembangan menjadi sclerosis jarang pada pasien yang khas, namun pada 0,5-2%
dari pasien dengan GNA, tentu saja berlangsung ke arah gagal ginjal, berakibat pada
kematian ginjal dalam waktu singkat. Urinalisis yang abnormal (yaitu, microhematuria) dapat
bertahan selama bertahun-tahun. Penurunan ditandai dalam laju filtrasi glomerulus (GFR)
jarang. Edema paru dan hipertensi dapat terjadi. Edema anasarka dan hipoalbuminemia dapat
terjadi akibat proteinuria berat. Sejumlah komplikasi yang mengakibatkan terkait kerusakan
akhir organ dalam sistem saraf pusat (SSP) atau sistem kardiopulmoner dapat berkembang
pada pasien yang hadir dengan hipertensi berat, ensefalopati, dan edema paru.
Komplikasi GNA meliputi:

hipertensi retinopati
hipertensi ensefalopati
Cepat progresif GN
Gagal ginjal kronis
Sindrom nefrotik
Tatalaksana
Penanganan pasien adalah suportif dan simtomatik. Perawatan dibutuhkan apabila
dijumpai penurunan fungsi ginjal sedang sampai berat (klirens kreatinin < 60 ml/mnt/1,73
m2), BUN > 50 kg, anak dengan tanda dan gejala uremia, muntah letargi, hipertensi
ensefalopati, anuria atau oliguria menetap. Pasien hipertensi dapat diberi diuretik atau
antihipertensi. Bila hipertensi ringan (sistolik 130 mmHg dan diastole 90 mmHg), umumnya
diobservasi tanpa diberi terapi. Hipertensi sedang (sistolik > 140-150 mmhg dan diastole >
100 mmHg) diobati dengan pemberian hidralazin oral atau IM, nifedipin oral atau sublingual.
Dalam prakteknya lebih baik merawat inap pasien hipertensi 1-2 hari daripada memberi
antihipertensi yang lama. Pada hipertensi berat diberikan hidralazin 0,15-0,3 mg/kgbb IV,
dapat diulang setiap 2-4 jam atau reserpin 0,03-0,1 mg/kgbb (1-3 mg/m2) IV, natrium
nitroprusid 1-8 mg/kgbb/mnt. Pada krisis hipertensi (sistolik > 180 mmHg atau diastolic >
120 mmHg) diberi diazoxid 2-5 mg/kgbb IV secara cepat bersama furosemid 2 mgg/kgbb IV.
Pilihan lain klonidin drip 0,002 mg/kgbb/kali, diulang setiap 4-6 jam atau diberi nifedipin
sublingual 0,25-0,5 mg/kgbb dan dapat diulang setiap 6 jam bila diperlukan.
Bila anuria berlangsung lama (5-7 hari), maka ureum harus dikeluarkan dari dalam
darah dengan beberapa cara misalnya dialisis pertonium, hemodialisis, bilasan lambung dan
usus (tindakan ini kurang efektif, tranfusi tukar). Bila prosedur di atas tidak dapat dilakukan
oleh karena kesulitan teknis, maka pengeluaran darah vena pun dapat dikerjakan dan
adakalanya menolong juga.
Retensi cairan ditangani dengan pembatasan cairan dan natrium. Asupan cairan
sebanding dengan invensible water loss (400-500 ml/m2 luas permukaan tubuh/hari)
ditambah setengah atau kurang dari urin yang keluar. Bila berat badan tidak berkurang diberi
diuretik seperti furosemid 2 mg/kgbb, 1-2 kali/hari.
Pemakaian antibiotik tidak mempengaruhi perjalanan penyakit. Namun, pasien dengan
biakan positif harus diberikan antibiotik untuk eradikasi organisme dan mencegah
penyebaran ke individu lain. Diberikan antimikroba berupa injeksi benzathin penisilin 50.000
U/kgbb IM atau eritromisin oral 40 mg/kgbb/hari selama 10 hari bila 17 pasien alergi

penisilin.
Pembatasan bahan makanan tergantung beratnya edema, gagal ginjal dan hipertensi.
Protein tidak perlu dibatasi bila kadar urea < 75 mg/dL atau 100 mg/dL. Bila terjadi azotemia
asupan protein dibatasi 0,5 g/kgbb/hari. Pada edema berat dan bendungan sirkulasi dapat
diberikan NaCl 300 mg/hari sedangkan bila edema minimal dan hipertensi ringan diberikan
1-2 g/m2/hari. Bila disertai oliguria, maka pemberian kalium harus dibatasi. Anuria dan
oliguria yang menetap, terjadi pada 5-10% anak. Penanganannya sama dengan GGA dengan
berbagai penyebab dan jarang menimbulkan kematian.
Glomerulonephritis

Specific treatments used

Endocapillary

Rationale for treatment


Inflammation generally

None required
glomerulonephritis

self resolving
Acute nephritic phase:

Mesangioproliferative
Blood pressure control with
glomerulonephritis
ACE inhibitors
Pulsed intravenous steroids,

Reduce inflammation

cyclophosphamide,

especially where renal

mycophenolate mofetil

function declining and

intravenous immunoglobulin

crescents present

Pulsed intravenous steroids


To switch off
Antiglomerular

1 g for 3/7 followed by oral


antiglomerular basement

basement membrane

steroids (60 mg/day)


membrane antibody

disease

Cyclophosphamide orally
production
(23 mg/kg/day)
To remove existing
Plasma exchange (daily for

antiglomerular basement

14 days or until no anti-

membrane antibody while

GBM antibody)

immunosuppression takes
effect

Pulsed intravenous steroids


ANCA positive

1 g for 3/7 + oral steroids

Suppression of antibody

vasculitis

(start 60 mg),

and cellular immune arms

cyclophosphamide (2
mg/kg/day orally or 0.51 g
monthly intravenous)
Removal of
ANCA/immune
complexes?
Plasma exchange? for

Removal of

creatinine >500 or pulmonary proinflammatory


haemorrhage
Treat underlying histological

cytokines?

variant
Immune complex-

If idiopathic as for ANCA

Suppression of antibody

mediated RPGN

positive vasculitis

response

Steroids 40 mg/m2 alternate


days in children only
As antiplatelet agents to
decrease cellular
Aspirin (325 mg/day)
Dipyridamole (75100 mg
MCGN type I:

three times a day) in adults

idiopathic

only

proliferation

Alpha-interferon/ribavirin

To lessen viral drive

Type I: hepatitis C

Steroids, cyclophosphamide

To treat inflammatory

related

(plasma exchange)

component

No specific therapy shown to


be helpful
Type II

Intravenous steroids + oral

Steroids

immune complexes

Intravenous/oral
cyclophosphamide
Mycophenolate mofetil,
Lupus nephritis

cyclosporin

Prognosis
Sebagian besar pasien akan sembuh sempurna, tetapi 5% di antaranya mengalami
perjalanan penyakit yang memburuk dengan cepat pembentukan kresen pada epitel
glomerulus. Angka kematian dari GNA pada kelompok usia yang paling sering terkena,
pasien anak-anak, telah dilaporkan 0-7%. Kasus sporadis nefritis akut sering berkembang
menjadi bentuk yang kronis. Perkembangan ini terjadi pada sebanyak 30% dari pasien
dewasa dan 10% dari pasien anak. GN merupakan penyebab paling umum dari gagal ginjal
kronis (25%). Pada GNAPS, prognosis jangka panjang yang umumnya baik. Lebih dari 98%
dari individu tidak menunjukkan gejala setelah 5 tahun, dengan gagal ginjal kronis dilaporkan
1-3%. Dalam seminggu atau lebih onset, kebanyakan pasien dengan GNAPS mulai
mengalami resolusi spontan retensi cairan dan hipertensi. Tingkat C3 dapat kembali normal
dalam waktu 8 minggu setelah tanda pertama GNAPS. Proteinuria dapat bertahan selama 6
bulan dan hematuria mikroskopik hingga 1 tahun setelah onset nefritis. Akhirnya, semua
kelainan kemih harus menghilang, hipertensi harus mereda, dan fungsi ginjal harus kembali
normal. Pada orang dewasa dengan GNAPS, pemulihan penuh fungsi ginjal dapat diharapkan
hanya dalam waktu setengah dari pasien, dan prognosis suram pada pasien dengan diabetes
glomerulosclerosis mendasarinya. Beberapa pasien dengan nefritis akut mengembangkan
gagal ginjal progresif cepat.
Sekitar 15% dari pasien pada 3 tahun dan 2% dari pasien pada 7-10 tahun mungkin
memiliki proteinuria persisten ringan. Prognosis jangka panjang belum tentu berbahaya.
Beberapa pasien mungkin mengembangkan hipertensi, proteinuria, dan insufisiensi ginjal
selama 10-40 tahun setelah penyakit awal. Imunitas terhadap protein M adalah tipe-spesifik,
tahan lama, dan pelindung. Episode berulang dari GNAPS karena itu tidak biasa.
Prognosis untuk GN pascainfeksi nonstreptococcal tergantung pada agen yang
mendasari, yang harus diidentifikasi dan ditangani. Umumnya, prognosis yang lebih buruk
pada pasien dengan proteinuria berat, hipertensi berat, dan peningkatan yang signifikan dari

tingkat kreatinin. Nefritis terkait dengan methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA)


dan infeksi kronis biasanya sembuh setelah pengobatan infeksi.
Penyebab lain GNA memiliki hasil yang bervariasi dari pemulihan lengkap untuk
menyelesaikan gagal ginjal. Prognosis tergantung pada penyakit yang mendasarinya dan
kesehatan keseluruhan dari pasien. Terjadinya komplikasi kardiopulmoner atau neurologis
memperburuk prognosis.

HIPERTIROID PADA ANAK

Hipertiroid merupakan penyakit yang relatif jarang terjadi pada masa anak,
namun kejadiannya semakin meningkat pada usia remaja dan dewasa. Pada anak-anak,
lebih dari 95% disebabkan penyakit Graves. Penggunaan istilah hipertiroid sendiri
seringkali dikacaukan dengan tirotoksikosis, keduanya merupakan keadaan yang hampir
sama namun pada dasarnya berbeda. Tirotoksikosis merupakan istilah umum yang
menunjukkan terjadinya peningkatan kadar T3 (triiodothyronine) dan atau T4 (thyroxine)
dengan penyebab apapun, sedangkan hipertiroid menunjukkan penyebab dari keadaan
tirotoksikosis

khusus akibat peningkatan produksi hormon tiroid. Rendahnya

angka

kejadian serta tidak khasnya gejala awal hipertiroid pada anak seringkali tidak
diperhatikan

para

praktisi

kesehatan

dalam

menentukan

diagnosis

dan

penatalaksananya.
Epidemiologi
Sampai saat ini belum didapatkan angka yang pasti insiden dan prevalensi hipertiroid
pada anak-anak di Indonesia. Beberapa pustaka di luar negeri menyebutkan insidennya
pada masa anak secara keseluruhan diperkirakan 1/100.000 anak per tahun. (5) Mulai
0,1/100.000 anak per tahun untuk anak 0-4 tahun, meningkat sampai dengan 3/100.000
anak pertahun pada usia remaja. Secara keseluruhan insiden hipertiroid pada anak jumlahnya
kecil sekali atau diperkirakan hanya 5-6 % dari keseluruhan jumlah penderita penyakit
Graves segala umur. Prevalensinya pada remaja wanita lebih besar 6-8 kali dibanding pada
remaja pria. Kebanyakan dari anak-anak yang menderita penyakit Graves mempunyai
riwayat keluarga dengan penyakit tiroid atau penyakit autoimun yang lain, misalnya:
diabetes mellitus tipe 1, penyakit Addison, lupus sistemik, ITP, myasthenia gravis, artritis
rematoid, dan vitiligo. Penyakit Graves juga lebih sering terjadi pada pasien dengan trisomi
21. Sedangkan penyakit Graves pada neonatus (Neonatal Graves) hanya terjadi pada bayi
yang dilahirkan oleh ibu-ibu berpenyakit Graves dengan prevalensi 1 dibanding 70 kelahiran.
NEONATAL GRAVES
Patofisiologi
Terdapat perbedaan yang mendasar patofisiologi penyakit Graves yang terjadi pada bayi
dengan yang terjadi pada anak dan dewasa. Penyakit Graves pada bayi atau neonates
selalu transient atau bersifat sementara, sedangkan pada anak dan dewasa biasanya
bersifat menahun. Neonatal Graves hanya terjadi pada bayi yang dilahirkan dari ibu

yang menderita penyakit Graves dengan aktifitas antibodi stimulasi terhadap reseptor
TSH (TSH receptor-stimulating antibodies, di sini kita gunakan sebagai TRAbstimulasi) yang kuat. Hal ini dikarenakan adanya TRAb-stimulasi dari ibu yang
mencapai bayi melalui plasenta. TRAb-stimulasi bisa terdapat dalam sirkulasi ibu
hamil yang tidak dalam keadaan hipertiroid, oleh karena itu adanya riwayat penyakit
Graves pada ibu harus menjadi pertimbangan risiko terjadinya penyakit Graves pada
bayinya. Ibu dengan penyakit Graves dapat mempunyai campuran antibodi stimulasi
dan inhibisi/blocking terhadap reseptor TSH (TRAb-stimulasi dan TSH receptorblocking antibodies atau kita sebut TRAb-inhibisi) sekaligus. Jenis antibodi yang
sampai kepada bayi melalui plasenta akan mempengaruhi kelenjar tiroid bayi, bayi yang
dilahirkan dapat hipertiroid, eutiroid, atau hipotiroid, tergantung antibodi yang lebih
dominan. Potensi masing-masing dari kedua jenis antibodi, beratnya penyakit ibu, lama
paparan terhadap kondisi hipertiroid di dalam kandungan, serta obat-obatan anti-tiroid
dari ibu merupakan faktor-faktor yang dapat berpengaruh pada status tiroid bayi.
Gejala Klinis
Walaupun paparan terhadap TRAb terjadi sejak di dalam kandungan, tidak semua bayi yang
lahir segera menunjukkan gejala klinis sebagai hipertiroid. Apabila terdapat TRAb-inhibisi di
dalam sirkulasi bayi, bayi dapat mengalami hipotiroid yang bersifat transient atau eutiroid.
Gejala klinis akan muncul dalam minggu pertama setelah kerja TRAb-inhibisi menurun.
Demikian juga bila ibu mengkonsumsi obat-obatan anti-tiroid. Gejala klinis neonatal
Graves adalah seperti pada tabel 1.
Tabel 1-Gejala klinis neonatal Graves
Rewel
Malas minum
Berat badan tidak naik
Diare
Sulit tidur
Goiter
Proptosis

Takikardia
Hepatosplenomegali
Ikterus
Craniosynostosis
Gagaj jantung
Trombositopenia
Kematian

Half life dari TRAb adalah sekitar 1-2 minggu. Lama gejala klinis neonatal Graves
tergantung dari potensi dan kecepatan klirens antibodi, biasanya berlangsung 2-3 bulan,
dan bahkan bisa lebih. Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal jantung, gagal

tumbuh, penutupan sutura tulang tengkorak yang terlalu dini dengan konsekwensi
adanya gangguan perkembangan motorik maupun mental.
Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis hipertiroid pada neonatal Graves ditunjukkan dengan adanya peningkatan
kadar T4, FT4, T3, dan FT3 yang disertai supresi kadar TSH. Adanya titer TRAb yang
tinggi pada ibu atau bayi (biasanya diukur sebagai TSH receptor-binding inhibiting
immunoglobulin = TBII, mengukur kedua antibodi stimulasi atau inhbisi) merupakan
konfirmasi penyebabnya. Mengingat pentingnya diagnosis dan terapi yang segera,
beberapa keadaan seperti pada tabel 1 patut dipertimbangkan sebagai neonatal Graves untuk
dilakukan pemeriksaan uji fungsi tiroid yang diperlukan.
Beberapa kondisi yang harus dipertimbangkan sebagai neonatal Graves
1
2
3
4

Takikardia yang tidak jelas sebabnya, adanya goiter atau stare.


Petechie yang tidak jelas sebabnya, hiperbilirubinema, atau hepatosplenomegali.
Riwayat atau adanya titer TRAb yang tinggi selama kehamilan ibu.
Riwayat atau adanya kebutuhan obat anti tiroid yang meningkat selama kehamilan

5
6

ibu.
Riwayat terapi ablasi tiroid dari ibu.
Riwayat penyakit Graves pada keluarga.

Terapi
Pada awal pengobatan perlu diingat bahwa neonatal Graves merupakan self limiting
disease sehingga bersifat sementara, dan pengobatan dilakukan dengan prinsip titrasi
untuk menjadikan bayi dalam keadaan eutiroid.12 Dapat menggunakan propylthiouracil
(PTU) dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari atau methimazole (MMI) dengan dosis 0,5-1
mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi 3. Jika gejalanya sangat hebat bisa ditambahkan
larutan Lugol dengan dosis 1 tetes setiap 8 jam untuk menghambat pelepasan hormon
tiroid. Respon terapi harus dilakukan dengan ketat selama 24-36 jam pertama.
Bila respon terapi kurang baik, dosis anti-tiroid bisa dinaikkan sampai 50%, dan perlu
ditambahkan propanolol untuk mengurangi gejala overstimulasi simpatik, dengan dosis
2 mg/kgBB/hari. Prednison dengan dosis 2 mg/kgBB/hari juga ditambahkan untuk
mengurangi sekresi hormon tiroid dan mengurangi konversi T4 menjadi T3 di perifer.
Konsultasikan juga dengan bagian kardiologi anak. ASI pada ibu

yang mengkonsumsi

antitiroid dapat tetap diberikan bila tidak melebihi 400 mg/hari untuk PTU, dan 40 mg/hari
untuk MMI.
GRAVES PADA ANAK DAN REMAJA
Patofisiologi
Penyakit Graves merupakan penyakit autoimun dengan adanya defek pada toleransi
imun dengan penyebab yang belum jelas. Adanya autoantibodi yang bekerja pada
reseptor TSH pada kelenjar tiroid (TSH receptorstimulating antibodies atau di sini
disebut TRAb-stimulasi) menyebabkan peningkatan sintesis dan sekresi hormon tiroid secara
otonom di

luar

jaras

hipotalamus-hipofisis- tiroid

(gambar

1). Antibodi

tersebut

merupakan IgG subklas IgG1,(15) dengan target utama auto-antigen dari reseptor TSH, selain
dari auto-antigen yang mirip di jaringan subkutan dan otot-otot ekstraokuler.

Gambar 1 TSH dan auto-antibodi keduanya dapat merangsang reseptor TSH pada
kelenjar tiroid yang akan meningkatkan sintesis dan sekresi hormon tiroid.

Disamping itu penderita penyakit Graves juga memproduksi imunoglobulin yang


mempunyai aktifitas menghambat reseptor TSH secara langsung (TSH receptor
blocking antibodies atau di sini disebut TRAb-inhibisi). Antibodi ini juga mempunyai
target antigen yang lain di kelenjar tiroid yakni tiroid peroksidase sebagi anti-TPO,
dan juga tiroglobulin sebagai anti-Tg. Perbedaan aktifitas biologis kedua jenis autoantibodi stimulasi dan inhibisi, hanya dapat dilihat pada pemeriksaan in vitro dengan
kultur menggunakan antibodi penderita pada sel-sel yang mengekspresikan reseptor TSH.
Antibodi stimulasi akan meningkatkan produksi cAMP pada kultur, sedangkan antibodi
inhibisi akan menghambat peningkatan cAMP.

Gejala Klinis
Onset gejala klinis sering kali tidak disadari oleh penderita, keluarga penderita,
dan bahkan tidak dikenali oleh tenaga kesehatan pada masa pertamakali dikunjungi.
Sehingga diagnosis hipertiroid atau penyakit Graves sering ditegakkan beberapa bulan
setelah onset. Penelitian Shulman dkk, mendapatkan bahwa pada anak-anak prepubertas
sering didiagnosis 8 bulan setelah onset, sedangkan pada anak pubertas didiagnosis
terlambat sekitar 5 bulan setelah onset. Demikian juga Bhadada dkk pada penelitiannya
terhadap anak-anak penderita penyakit Graves yang berumur 3-18 tahun, mendapatkan
bahwa rata-rata diagnosis Gravesbaru ditegakkan 7 bulan setelah onset. Pada penelitian di
Inggris, seringkali anak-anak dengan penyakit Graves dirujuk karena bising jantungnya,
gagal tumbuh, diare yang bekepanjangan, atau gangguan pelajaran sekolahnya, sebelum
mereka mendapatkan diagnosis dan terapi yang sesuai untuk hipertiroidnya.
Yang paling sering dikeluhkan terutama pada anak-anak prepubertas adalah
penurunan berat badan yang nyata dan diare. Sedangkan tanda klinis klasik hipertiroid
seperti pada dewasa yang meliputi palpitasi, iritabilitas, tremor halus, dan intoleransi terhadap
panas lebih menonjol terjadi pada anak-anak remaja. Pembesaran kelenjar tiroid (goiter),
walau hampir selalu ada, tetapi bukanlah hal yang utama menjadi keluhan, bahkan sering
menjadi hal yang diluar perhatian keluarga penderita, bahkan oleh tenaga kesehatan
sekalipun;

dikarenakan

pembesarannya

sering

kali

ringan. Kelenjar

tiroid

yang

membesar teraba lembut dan berbatas tidak tegas (diffuse), tidak berdungkul, dan fleshy;
sering juga terdengar bruit pada auskultasi.
Gangguan pemusatan perhatian dan emosi yang labil sering menyebabkan anakanak mengalami gangguan dalam pelajaran sekolahnya. Beberapa penderita juga sering
mengeluhkan adanya poliuria dan mengompol di malam hari, sebagai akibat peningkatan laju
filtrasi glomerulus. Peningkatan laju pertumbuhan linier disertai meningkatnya umur
tulang, sehingga anak terlihat lebih tinggi dan kurus dari teman sebaya terutama terjadi pada
anak-anak prepubertas sedangkan pada anak-anak remaja, hal ini tidak terjadi.
Pada anak-anak remaja sering terjadi gangguan pubertas (pubertas terlambat). Pada remaja
wanita yang telah menarche, seringkali terjadi amenorrhea sekunder. Gangguan tidur yang
menyertai seringkali menyebabkan anak cepat lelah. Di samping sering terjadi pada orang
dewasa, opthalmopathy merupakan salah satu tanda klinis yang khas yang bisa terjadi pada

anak-anak, namun terjadi lebih ringan dan lebih mudah terjadi remisi spontan. Secara
keseluruhan gejala dan tanda klinis penyakit Graves dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2: Gejala klinis penyakit Graves pada anak.
Tanda Klinis
Goiter

Jumlah (%)
98-99

Takikardia

82-95

Bruit pada tiroid

20-84

Bising jantung

10-84

Iritable

80-82

Peningkatan pulse pressure

77-80

Berkeringat banyak

41-78,6

Tremor

51-78,2

Palpitasi

34-76,8

Intoleransi terhadap panas

27-76,8

Peningkatan nafsu makan

47-73,2

Hipertensi

71

Opthalmopathy

58,9-71

Peningkatan tinggi badan

7,1-71

Penurunan berat badan

50-54

Diare

13-48,2

Hiperaktif

44

Gangguan menstruasi

33,3

Gangguan tidur

22-30,4

Lekas capek

5,4-16

Sakit kepala

15

Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan adalah kadar T4, FT4, T3, FT3, dan TSH.
Pemeriksaan T3 merupakan hal yang penting, sekitar 5% anak-anak dengan penyakit
Graves mempunyai kadar T3 yang meningkat nyata, namun dengan kadar T4 yang normal
atau sedikit di atas normal. Keadaan ini dikenal sebagai T3 toxicosis. TSH biasanya
sangat rendah atau tidak terdeteksi. Peningkatan T4 atau T3 tanpa disertai kadar TSH

yang rendah tidak menyokong keadaan hipertiroid. Hal ini kemungkinan dapat
diakibatkan karena kelebihan thyroxine-binding globulin (bisa familial atau dapatan,
misal: obat-obat kontrasepsi) atau karena gangguan binding protein (misal: pada familial
dysalbuminemic hyperthyroxinemia). Pada keadaan terakhir, kadar TBG di dalam serum
harus diperiksa juga. Kadar TSH yang rendah juga dapat menyingkirkan kemungkinan
hipertiroid karena induksi TSH dan hipofisis yang resisten terhadap hormon tiroid.
Antibodi terhadap tiroid (anti-TG dan anti-TPO) kadang juga positif pada anak
dengan penyakit Graves, yang sulit dibedakan dengan fase tirotoksik pada tiroiditis
Hashimoto. Pada keadaan demikian, untuk membedakannya perlu pemeriksaan TRAbstimulasi. Namun demikian, pada keadaan yang sudah jelas terdapat tanda klinis
penyakit Graves, semisal hipertiroid, goiter, proptosis, maka pemeriksaan TRAbstimulasi tidak diperlukan lagi mengingat mahalnya pemeriksaan ini. Berbeda pada orang
dewasa, pemeriksaan uptake radioaktif jarang sekali diperlukan pada kasus-kasus
penyakit Graves yang sudah jelas. Pemeriksaan ini hanya diperlukan pada kasus-kasus
yang meragukan, misalnya pada kasus dengan TRAb yang negative, tiroiditis
Hashimoto fase tirotoksik, dan atau tiroid nodul fungsional.
Tatalaksana
Terdapat 3 pilihan metode terapi pada anak dengan penyakit Graves,

yakni obat-obat

antitiroid, abalasi dengan radioaktif iodium, dan pembedahan. Tidak ada satupun yang
memuaskan secara keseluruhan. Pemilihan metode terapi harus disesuaikan dengan
keadaan individu dan pertimbangan keluarga tentang keuntungan dan kerugiannya.
Dengan pertimbangan kemungkinan terjadinya remisi yang signifikan pada anak, maka
penggunaan obat-obat anti tiroid merupakan pilihan pertama.
Obat anti-tiroid: Prophylthyouracil (PTU) dan methimazole (MMI) atau carbimazole (diubah
menjadi MMI) merupakan obat-obatan yang paling banyak dipakai. Obat-obat ini
menghambat sintesis hormone tiroid dengan cara menghalangi coupling iodotirosin
melalui penghambatan kerja enzim tiroperoksidase. Khusus PTU, obat ini juga
menghambat konversi T4 menjadi T3 di perifer, hal ini merupakan keuntungan tersendiri
pada keadaan yang memerlukan penurunan segera kadar hormon tiroid aktif seperti
yang terjadi pada keadaan krisis tiroid. PTU dan MMI diabsorpsi secara cepat di saluran
cerna, kadar puncak di dalam serum terjadi 1-2 jam setelah obat diminum. Kadar obat di
dalam serum akan menurun habis dalam 12-24 jam untuk PTU, dan lebih lama lagi untuk

MMI. Hal ini mempengaruhi lama kerja masing-masing obat. Dengan demikian MMI
dapat diberikan 1 kali sehari, sedangkan PTU diberikan 2-3 kali sehari. MMI di dalam
serum dalam bentuk bebas, sedangkan PTU 80-90% terikat pada albumin.
Pada awal terapi PTU dapat diberikan dengan dosis 5-7 mg/kgBB/hari dalam dosis
terbagi 3, and MMI dapat diberikan 5-10% dari dosis PTU dalam dalam dosis terbagi 2 atau
sekali

sehari. Pada

kasus-kasus

yang

berat,

beta

blocker

(Propanolol

0,5-2,0

mg/kgBB/hari dalam dosisi terbagi 3) dapat diberikan untuk mengendalikan aktifitas


kardiovaskuler yang berlebihan sampai dicapai keadaan eutiroid. Follow-up uji fungsi
tiroid harus dilakukan setiap 4-6 minggu sampai kadar T4 (dan T3 total) dalam batas normal.
Kadar TSH serum biasanya akan kembali normal dalam waktu beberapa bulan agak
lama, sehingga pengukuran TSH akan lebih berarti sebagai indikator terapi bila
dilakukan setelah dalam keadaan eutiroid, bukan pada awal terapi. Setelah kadar T4 dan T3
kembali normal, dosis obat anti tiroid dapat diturunkan secara bertahap 30-50% dari total
harian. Alternatif yang lain adalah dengan tidak merubah dosis anti tiroid, melainkan
menunggu kadar TSH meningkat sambil menambahkankan dosis kecil l-thyroxine (1 g/
kgBB/hari) atau yang disebut regimen block-replacement; namun demikian menurut
penelitian yang telah dilakukan, kombinasi terapi ini (anti tiroid dan l-T4) tidak memperbaiki
angka remisinya. Keadaan eutiroid biasanya tercapai dalam waktu 6-12 minggu. Selama
masa rumatan PTU dapat diberikan 2 kali sehari, dan MMI cukup 1 kali sehari. Biasanya
penderita dapat difollow-up setiap 4-6 bulan.
Lama terapi sangat individual, sampai saat ini tidak ada pedoman mengenai lama
terapi yang optimal. Rata-rata dapat mencapai 2-3 tahun. Sekitar 50% dari anak-anak
yang diterapi akan terjadi remisi dalam 4 tahun pertama terapi, dengan peningkatan
angka remisi sebesar 25% setiap 2 tahunnya sampai tahun ke-6 terapi. Dikatakan
remisi, bila 1 tahun setelah pengobatan dihentikan penderita masih dalam keadaan eutiroid.
Kecilnya dosis anti-tiroid yang diperlukan, goiter yang ringan merupakan indikator
yang

baik

bahwa

penggunaan

anti-tiroid

dapat

dikurangi

dihentikan. Rendahnya derajat hipertroksinemia [T4<20


<20], indeks masa
kecenderungan

tubuh

terjadi

yang

rendah,

dan

anak

secara

bertahap

dan

g/dL (257.4 nmol/L); rasio T3:T4


yang

lebih

tua

mempunyai

remisi yang permanent. Sedangkan kadar TRAb yang tinggi

mempunyai risiko yang tinggi untuk terjadinya relaps. Efek samping anti-tiroid dilaporkan
sebesar

5-20%,

berupa

rash

eritema,

atralgia, urtikaria,

granulositopenia

bersifat

transient (<1500 /mm3). Jarang terjadi dan lebih berat: hepatitis, lupus like syndrome,

trombositopenia, dan agranulositosis, (<250 /mm 3). Kebanyakan reaksi yang terjadi
ringan, dan bukan merupakan indikasi kontra untuk diteruskan. Pada kasus yang berat,
perlu dipertimbangkan terapi dengan cara yang lain (terapi ablasi menggunakan radioaktif
atau pembedahan).
Ablasi dengan radioaktif: Merupakan terapi pilihan pada kasus-kasus dewasa. Walaupun
belum cukup bukti adanya peningkatan risiko keganasan atau mutasi genetik, namun
dengan pertimbangan teori, penggunaan metode ini jarang digunakan untuk penderita anak.
Digunakan I131 dengan perhitungan dosis:
Perkiraan berat kelenjar tiroid (g) x 5-200 Ci I131
Diberikan per-oral dalam 1-2 dosis. Ablasi akan memakan waktu beberapa minggu
sampai beberapa bulan, dan gejala hipertiroid masih akan tetap terjadi pada waktu
tersebut. Propanolol dapat digunakan untuk mengurangi gejala tersebut. Efek yang
diharapkan dari metode ini adalah hipotiroid. Apabila keadaan hipotiroid tercapai maka perlu
substitusi hormon tiroid seumur hidup.
Pembedahan tiroidektomi: Tiroidektomi Near-total merupakan pilihan dalam metode ini.
Penderita yang mengalami kegagalan dengan anti-tiroid, goiter yang sangat besar, dan
menolak dilakukan terapi radioaktif, atau terdapat indikasi kontra terapi radioaktif,
merupakan indikasi untuk dilakukan pembedahan. Komplikasi pembedahan yang mungkin
terjadi adalah: keloid, hipokalsemia transient, paralysis nervus laryngius rekurens,
hipoparatiroid, dan kematian. Oleh karena itu sangat dianjurkan untuk dilakukan oleh ahli
bedah anak yang berpengalaman. Sebelum pembedahan anak harus dalam keadaan
eutiroid untuk mencegah keadaan krisis tiroid. Dapat diberikan larutan Lugol 5-10 tetes 3
kali sehari selama 7-14 hari sebelum pembedahan untuk menurunkan vaskularisasi kelenjar
tiroid. Seperti halnya setelah terapi ablasi dengan radioaktif, penderita akan menjadi
hipotiroid permanent sehingga memerlukan terapi pengganti tiroksin seumur hidupnya.
Namun bila terapi tidak adekuat, hipertiroid akan dapat kembali. Oleh karena itu perlu
follow-up jangka panjang
KRISIS TIROID.
Krisis tiroid merupakan komplikasi yang berat, namun jarang terjadi pada anak-anak
hipertiroid. Biasanya didahului faktor pencetus yakni: pembedahan, infeksi, dan KAD
(ketoasidosis diabetes). Hal ini juga dapat terjadi pada saat pembedahan tiroidektomi maupun

terapi ablasi menggunakan radioaktif. Gejala klinisnya berupa hipertermi akut, berkeringat
banyak, takikardia, dan penurunan kesadaran sampai dengan koma.
Terapi harus segera dilakukan, sebagai berikut:
1

Propanolol

2-3

mg/kgBB/hari

mengendalikan gejala

dalam

adrenergiknya.

dosis

terbagi

Propanolol

setiap

dapat

jam

diberikan

untuk

intravena

dengan dosis 0,01-0,1 mg/kgBB dengan dosis maksimal 5 mg dalam 10-15 menit;
2

mulai dengan dosis yang kecil.


Dexamethasone diberikan dengan dosis 1-2 mg setiap 6 jam dapat mengurangi

3
4

konversi T4 menjadi T3.


NaI dengan dosis 1-2 g/hari dapat menurunkan pelepasan hormon tiroid.
Larutan Lugol 5 tetes setiap 8 jam dapat diberikan per-oral apabila penderita

5
6

mulai sadar.
Kompres dingin dengan cooling blanket untuk mengendalikan hiperterminya.
PTU sendiri tidak memberikan efek terapi sampai beberapa hari, tetapi dapat
diberikan untuk jangka lamanya dengan dosis 6-10 mg/kgBB/hari dalam dosis

7
8

terbagi setiap 6 jam (dosis maksimal 200-300 mg).


Keseimbangan cairan harus selalu terjaga.
Jika terdapat tanda-tanda gagal jantung, dapat dipertimbangkan digitalis.

TRANSFUSI PRC PADA ANAK


Eritrosit adalah komponen darah yang paling sering ditransfusikan dibandingkan
komponen darah yang lain. Eritrosit ini diberikan untuk meningkatkan kapasitas
angkut oksigen darah dan untuk mempertahankan oksigen jaringan yang cukup.
Keuntungan transfusi sel darah merah adalah tidak membebani sirkulasi, tidak
memperberat fungsi ginjal, dan sedikit mengurangi reaksi alergi karena tidak disertai

pemberian plasma yang tinggi protein. Sediaan transfusi eritrosit yang disediakan
adalah packed red cell (eritrosit pekat) yang diperoleh dan pemisahan plasma secara
tertutup dengan hematokrit 70-80 %. Dari PRC dapat dibuat red cell suspension
dengan cara mencampur eritrosit pekat dengan cairan pelarut NaCl fisiologis dalam
jumlah yang sama, dan washed red cell (WRC) yang diperoleh dengan mencuci
eritrosit pekat 2-3 kali dengan NaCl fisiologis dalam jumlah yang sama. Sediaan ini
aman bagi resipien yang alergi terhadap plasma manusia, anemia hemolitik yang
didapat, transfusi ganti, dan transfusi pada transplantasi ginjal. Keuntungan yang lain
dari transfusi eritrosit adalah hematokrit dapat diatur, memerlukan volume yang kecil.
Sedangkan kerugiannya adalah timbulnya infeksi sekunder pada saat proses pembuatan
dan masa simpan yang pendek yaitu 4-6 jam.
Pedoman untuk transfusi eritrosit pada anak dan remaja dapat dilihat pada tabel 2.
Transfusi harus diberikan lebih ketat pada anak karena kadar hemoglobin normal pada
anak lebih rendah dibanding dewasa, kecuali pada beberapa keadaan tertentu
berhubungan dengan penyakit kardiopulmonal yang mendasarinya akan mengganggu
tubuh mengkompensasi kehilangan eritrosit. Pada masa pre operatif misalnya, tidak
perlu bagi anak untuk mempertahankan hemoglobin (Hb) 8 g/dL yaitu suatu tingkat
yang diinginkan pada orang dewasa. Demikian juga pemberian eritrosit pasca operasi
harus mempunyai alasan yang kuat karena anak mampu memulihkan massa eritrositnya
bila diberi terapi besi. Untuk anemia yang timbul perlahan-lahan, pemberian transfusi
eritrosit tidak selalu didasarkan atas pemeriksaan Hb karena anak dengan anemia kronis
mungkin tidak menampakkan gejala dengan Hb sangat rendah. Faktor lain yang harus
diperhatikan selain kadar Hb adalah gejala atau tanda dan kapasitas fungsional tubuh
penderita, dijumpai atau tidak penyakit kardiovaskuler dan susunan saraf pusat,
penanganan anemia, dan kemungkinan untuk diterapi dengan recombinant human
eryhtropoietin (EPO) pada anak dengan insufisiensi ginjal.
Tabel 2. Pedoman Transfusi Eritrosit pada Anak
Anak dan Remaja
Kehilangan akut > 25% volume darah sirkulasi
Hb < 8.0 g/dL pada periode perioperatif
Hb < 13.0 g/dL dan penyakit kardiopulmonal yang berat
Hb < 8.0 g/dL dan anemia kronis bergejala
Hb < 8.0 g/dL dan gagal sumsum tulang

Bayi dalam umur 4 bulan pertama


Hb < 13.0 g/dL dan penyakit paru berat
Hb < 10.0 g/dL dan penyakit paru sedang
Hb < 13.0 g/dL dan penyakit jantung berat
Hb < 10.0 g/dL dan operasi mayor
Hb < 8.0 g/dL dan anemia bergejala
(Hematokrit dihitung sebagai Hb mg/dL x 3)
Untuk neonatus, indikasi transfusi eritrosit dapat dilihat pada tabel 2. Namun harus
diperhatikan bahwa pada neonatus akan mengalami penurunan massa eritrosit akibat
faktor

frsiologis.

Penurunan

massa

eritrosit

<

25 ml/kg

berat

badan

juga

menggambarkan kadar Hb yang rendah. Hal ini akan dikompensasi oleh jantung dengan
jalan memperbesar curah jantung, namun bila dilakukan transfusi akan mendapatkan
manfaat yang bermakna yaitu akan mengurangi curah jantung. Seperti halnya pada
bayi terdapat perbedaan nilai Hb yang dijadikan patokan untuk transfusi berdasarkan
kelainan kardiopulmonal dan tindakan operatif serta umur janin.
Pilihan produk eritrosit untuk anak dan remaja adalah suspensi standar yang
dipisahkan dari darah lengkap dengan pemusingan dan disimpan dalam anti koagulan
pada nilai hematokrit kira-kira 60 %. Dosis biasanya adalah 10-15 ml/ kg berat
badan. Untuk neonatus produk pilihan adalah konsentrat PRC ( hematokrit 70-90 %)
yang ditransfusikan perlahan-lahan (2-4 jam) dengan dosis 15 ml/kg berat badan.
Sedangkan menurut hasil penelitian Rascher,1991 bahwa pemberian transfusi PRC
dengan kecepatan 3 m1/kg/jam tidak menyebabkan beban volume akut. Satu unit PRC
dapat menaikkan PCV 3-4 % atau Hb 1 g/dL. Sedangkan Miller menetapkan
formula:
A= Hb tubuh : Blood Volume (70 ml/kgBB) x Hb(g/dL)
B= Hb post transfusion : Blood volume (70 ml/kgBB)x desired (g/dL)
C= Defisit Hb (gram) = B-A
D= Volume darah transfusi (misalnya PRC) dalam ml : (B-A) g / 23
Asumsi bahwa 1 ml PRC mempunyai hematokrit 70 % yang berisi 0,23 g HB dan 100
ml (1 dL) berisi 23 g Hb.
Karena transfusi diberikan pada nilai hematokrit tinggi maka kecepatan transfusi
harus rendah, dan jenis antikoagulan yang dipakai adalah yang diyakini paling aman.
Darah dari donor yang ditambahkan anti koagulan AS-3 tidak menunjukkan reaksi

transfusi yang nyata dan pada pemeriksaan post tranfusi didapatkan nilai hematokrit,
pH, natrium, kalium, kalsium, laktat dan glukosa menunjukkan hasil yang lebih baik
bila dibandingkan pemakaian antikoagulan ACPD.

Anda mungkin juga menyukai