Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN KASUS

Kejang Demam Komplek

Disusun Oleh

dr. Asty Selevani

Pembimbing

dr. Laily Noviyani

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RATU ZALECHA

2017
BAB I
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. Lutfi R
Usia : 1,5 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki

II. ANAMNESIS
Alloanamnesis dengan Ibu kandung pasien pada tanggal 23 Desember 2017, pukul
12.30 WITA.

KELUHAN UTAMA
Kejang kurang lebih 30 menit SMRS.

KELUHAN TAMBAHAN
Demam dan batuk sejak 2 hari SMRS.

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Pasien datang ke IGD RSUD Ratu Zalecha Martapura dengan keluhan kejang
30 menit SMRS. Kejang terjadi sebanyak 2 kali, kejang pertama terjadi sekitar 1 jam
SMRS. Masing-masing kejang terjadi selama lebih dari 5 menit. Saat kejang, pasien
tidak sadar, seluruh tubuh pasien kaku, mata mendelik ke atas, lidah tidak tergigit.
Dua hari sebelum kejang, pasien mendadak mengalami demam tinggi namun
selama demam suhu tubuhnya belum pernah diukur. Demam disertai batuk berdahak,
namun dahak tidak keluar, serta pilek dengan ingus berwarna bening. Sebelum datang
ke rumah sakit, pasien belum pernah minum obat untuk mengatasi keluhan-keluhan
tersebut.
Keluhan keluar cairan dari telinga disangkal, sesak napas disangkal, mual dan
muntah disangkal, BAB dan BAK normal. Nafsu makan pasien berkurang selama 2
hari terakhir.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU & IMUNISASI


Pasien belum pernah mengalami kejang sebelumnya. Pasien tidak memiliki
riwayat alergi terhadap obat maupun sesak napas yang sering kambuh. Pasien belum
pernah menerima imunisasi dasar. Pasien lahir normal, langsung menangis.

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Pasien merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Kakak pasien tidak
memiliki riwayat kejang, dan tidak ada riwayat kejang demam di dalam keluarga.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : E2V2M5
Tanda vital : Nadi : 160x/menit
RR : 90x/menit
Suhu : 39,8 °C
SpO2 : 79% (12.30 WITA) → 91% (12.40 WITA)
→ 98% (12.45 WITA)
Data Antropometri : BB : 12 kg

KEPALA
Bentuk dan ukuran : Normocephali
Rambut dan kulit kepala : Warna hitam, halus, kulit kepala bersih, rambut
ridak mudah dicabut, distribusi merata.
Mata : Palpebra tidak tampak oedem, konjungtiva merah
muda, kornea jernih, sklera putih, pupil bulat isokor,
refleks cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak
langsung +/+, mata tidak cekung, air mata ada
Telinga : normotia, serumen -/-
Hidung : normosepti, sekret +/+, deviasi septum (-), nafas
cuping hidung (-)
Bibir : Warna merah muda, lembab
Mulut : Higiene mulut baik, mukosa mulut lembab, tidak
ada stomatitis aphtosa
Lidah : normoglossia, lembab, papil lidah normal, lidah
bersih.
Tonsil : T1-T1 tenang
Faring : uvula di tengah, arkus faring simetris, faring
hiperemis.

LEHER : kelenjar getah bening tidak teraba, kelenjar tiroid tidak teraba, trakea di
tengah, kaku kuduk (-).

THORAKS
Dinding thoraks
I : bentuk dan gerak dada simetris kanan dan kiri dalam keadaan statis dan dinamis

PARU
I : Pergerakan dada simetris kanan dan kiri, tidak ada bagian hemithoraks yang
tertinggal, tidak terdapat retraksi
P : Vocal fremitus simetris kanan dan kiri
P: Sonor di seluruh lapang paru
Batas paru kanan-hepar : setinggi ICS V linea midklavikularis dextra
Batas paru kiri-gaster : setinggi ICS VII linea axillaris anterior
A: Suara nafas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
JANTUNG
I : Ictus cordis tidak tampak
P : Ictus cordis teraba pada linea midclavicularis sinistra setinggi ICS IV
P : Batas kanan jantung : setinggi ICS III-V di linea parasternalis dextra
Batas kiri jantung : setinggi ICS IV di linea midklavikularis sinistra
Batas atas jantung : setinggi ICS II di linea parasternalis sinistra
A: Bunyi jantung I-II tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)

ABDOMEN
I : bentuk datar, simetris, tidak tampak pelebaran vena
A : Bising usus meningkat
P : lemas, tidak teraba massa, hepar dan lien tidak teraba, turgor kulit baik, nyeri
tekan epigastrium (-)
P : timpani di keempat kuadran abdomen

ANUS
Anus tidak terdapat kelainan. Tepat di atas anus terdapat sebuah lubang yang tidak
terhubung dengan bagian tubuh yang lain.

GENITAL
Jenis kelamin laki-laki

ANGGOTA GERAK
Akral hangat dan tidak terdapat oedem pada keempat ekstremitas

KULIT
Warna kulit kuning langsat, tidak terdapat efloresensi yang bermakna

KELENJAR GETAH BENING


Tidak teraba kelenjar getah bening di preaurikular, retroaurikular, oksipitalis,
submandibula, submental, servikalis anterior dan posterior, supraklavikula,
infraklavikula, axillaris dan inguinalis.

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Refleks fisiologis: Biceps +/+ , Triceps +/+ , Patella +/+ , Achilles +/+
Refleks patologis: Babinsky -/-, Chaddok -/-, Schaeffer -/-, Gordon -/-,
Oppenheim -/-
Tanda rangsang meningeal: kaku kuduk (-), Brudzinsky I (-), Brudzinsky II (-),
Kernig (-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium darah (23 Desember 2017)
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN
Leukosit 15.740/μL 4.000-10.000/μL
Eritrosit 4,25 juta /μL 3,5-5,0 juta/μL
Hemoglobin 10,9 g/dL 11-15 g/dL
Hematokrit 29,5% 35-50%
Trombosit 465.000/μL 100.000-300.000/μL
Basofil 0,19% 0-1%
Eosinofil 0,05% 0,5-5%
Neutrofil 79,5% 50-70%
Limfosit 14% 20-40%
Monosit 5% 3-8%
Gula darah sewaktu 67 mg/dl 70-115 mg/dl
CRP + 24 mg/L

IV. DIAGNOSIS
Kejang demam kompleks

V. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana di IGD RSUD Ratu Zalecha Martapura :
1
- IVFD D52NS 14 tpm makro

- Diazepam supp 10 mg (1 tube saat pasien datang pukul 12.30)


- Inj. Cefotaxime 3x300 mg
- Inj. Antrain 3x120 mg
- Inj. Ranitidin 2x1/4 amp
- Inj. Diazepam 3 mg (k/p)
VI. PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad malam

VII. Follow up
Tanggal Sabtu, 24 Desember 2017
S Kejang (-), demam (-), batuk (+), pilek (+), BAB dan BAK lancar
O KU: compos mentis / tampak sakit ringan
Nadi: 139x/menit, RR: 41x/menit, Suhu: 36,8 ˚C
Mata: konjungtiva merah muda, sklera putih
Leher: KGB tidak teraba, tiroid tidak teraba
Cor: BJ I dan II tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo: suara napas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen: cembung, bising usus (+) normal, palpasi supel, turgor
baik, nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas: akral hangat, edema (-)
Tanda rangsang meningeal (-)
A Kejang demam kompleks
ISPA
P 1
IVFD D52NS 14 tpm makro

Inj. Cefotaxime 3x300 mg


Inj. Antrain 3x120 mg
Inj. Ranitidin 2x1/4 amp
Inj. Diazepam 3 mg (k/p)
Sanmol syrup 3x5ml (k/p)
Tanggal Minggu, 25 Desember 2017
S Kejang (-), demam (-), muntah (-), batuk (+), pilek (+), BAB dan
BAK normal.
O KU: compos mentis / tampak sakit ringan
Nadi: 115x/menit, RR: 36x/menit, Suhu: 36,1 ˚C
Mata: konjungtiva merah muda, sklera putih
Leher: KGB tidak teraba, tiroid tidak teraba
Cor: BJ I dan II tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo: suara napas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen: cembung, bising usus (+) normal, palpasi supel, turgor
baik, nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas: akral hangat, edema (-)
Tanda rangsang meningeal (-)
A Kejang demam kompleks
ISPA
P 1
IVFD D52NS 14 tpm makro

Inj. Cefotaxime 3x300 mg


Inj. Antrain 3x120 mg
Inj. Ranitidin 2x1/4 amp
Inj. Diazepam 3 mg (k/p)
Pindah ke ruangan non-observasi

Tanggal Senin, 26 Desember 2017


S Kejang (-), demam (+) naik turun, batuk (+), pilek (+), BAB dan
BAK normal, ASI (+)
O KU: compos mentis / tampak sakit ringan
Nadi: 104x/menit, RR: 29x/menit, Suhu: 37 ˚C
Mata: konjungtiva merah muda, sklera putih
Leher: KGB tidak teraba, tiroid tidak teraba
Cor: BJ I dan II tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo: suara napas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen: cembung, bising usus (+) normal, palpasi supel, turgor
baik, nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas: akral hangat, edema (-)
Tanda rangsang meningeal (-)
A Kejang demam kompleks
ISPA
P Pasien pulang atas permintaan keluarga (APK)
Obat pulang: Sanmol syrup 3x5ml, diazepam 10mg supp (k/p).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Kejang

Sebelum kita memahami definisi mengenai kejang, perlu kita ketahui tentang seizure dan
konvulsi .Yang dimaksud dengan seizure adalah cetusan aktivitas listrik abnormal yang terjadi
secara mendadak dan bersifat sementara di antara saraf-saraf diotak yang tidak dapat
dikendalikan. Akibatnya, kerja otak menjadi terganggu. Manifestasi dari seizure bisa bermacam-
macam, dapat berupa penurunan kesadaran,gerakan tonik (menjadi kaku) atau klonik (kelojotan),
konvulsi dan fenomenapsikologis lainnya. Kumpulan gejala berulang dari seizure yang terjadi
dengan sendirinya tanpa dicetuskan oleh hal apapun disebut sebagai epilepsi (ayan).Sedangkan
konvulsi adalah gerakan mendadak dan serentak otot-otot yang tidak bias dikendalikan, biasanya
bersifat menyeluruh. Hal inilah yang lebih sering dikenal orang sebagai kejang. Jadi kejang
hanyalah salah satu manifestasi dari seizure.

Kejang demam

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh ( suhu
rektal lebih dari 38ºC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.1,2,3 Mengenai definisi
kejang demam ini masing-masing peneliti membuat batasan-batasan sendiri, tetapi pada garis
besarnya hampir sama. Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures, kejang demam adalah
suatu kejadian pada bayi atau anak, biasanya terjadi antara umur antara umur 3 bulan dan 5
tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak terbukti adanya infeksi intrakranial atau
penyebab tertentu.1,2 Anak yang pernah kejang tanpa demam dan bayi berumur kurang dari 4
minggu tidak termasuk. Derajat tingginya demam yang dianggap cukup untuk diagnosis kejang
demam ialah 38ºC atau lebih, tetapi suhu sebenarnya saat kejang tidak diketahui.1 Anak yang
pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam
kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi usia kurang dari 1 bulan tidak termasuk kejang
demam.

B. Epidemiologi

Kejadian kejang demam diperkirakan 2-4% di Amerika Serikat, Amerika Selatan, dan
Eropa Barat. Di Asia dilaporkan lebih tinggi. Kira-kira 20% kasus merupakan kejang demam
kompleks. Umumnya kejang demam timbul pada tahun kedua kehidupan (17-23 bulan). Kejang
demam sedikit lebih sering terjadi pada laki-laki.3

C. Faktor Risiko

Faktor risiko kejang demam pertama adalah demam. Selain itu terdapat faktor riwayat
kejang demam pada orangtua atau saudara kandung, perkembangan terlambat, problem pada
masa neonatus, anak dalam perawatan khusus dan kadar natrium rendah.3

Setelah kejang demam pertama kira kira 33% anak akan mengalami satu kali rekurensi
(kekambuhan), dan kira kira 9 % anak mengalami rekurensi 3 kali atau lebih, resiko rekurensi
meningkat dengan usia dini, cepatnya anak mendapat kejang setelah demam timbul, temperatur
yang rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga epilepsi.1,2,3

Kejang demam sangat tergantung pada umur, 85% kejang pertama sebelum berumur 4
tahun, terbanyak diantara 17-23 bulan. Hanya sedikit yang mengalami kejang demam pertama
sebelum berumur 5-6 bulan atau setelah berumur 5-8 tahun. Biasanya setelah berumur 6 tahun
pasien tidak kejang demam lagi, walaupun pada beberapa pasien masih dapat mengalami sampai
umur lebih dari 5-6 tahun. Kejang demam diturunkan secara dominan autosomal sederhana.1

D. Klasifikasi

Dahulu Livingston membagi kejang demam menjadi 2 golongan yaitu kejang demam
sederhana ( simple febrile convulsion) dan epilepsi yang diprovokasi oleh demam (epilepsi
triggered of by fever). Definisi ini tidak lagi digunakan karena studi prospektif epidemiologi
membuktikan bahwa risiko berkembangnya epilepsi atau berulangnya kejang tanpa demam tidak
sebanyak yang diperkirakan.3

Di Sub Bagian Saraf Anak Bagian IKA FK UI-RSCM Jakarta, kriteria Livingston tersebut
setelah dimodifikasi dipakai sebagai pedoman untuk membuat diagnosis kejang demam
sederhana ialah:2

1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan dan 4 tahun.


2. Kejang hanya berlangsung sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit.
3. Kejang bersifat umum.
4. Kejang timbul setalah 16 jam pertama setelah timbulnya demam.
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal.
6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak
menunjukkan kelainan.
7. Frekuensi bangkitan kejang didalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali.
Kejang demam yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari ketujuh kriteria modifikasi
Livingston diatas digolongkan pada epilepsi yang diprovokasi oleh demam. Kejang kelompok
kedua ini mempunyai suatu dasar kelainan yang menyebabkan timbulnya kejang, sedangkan
demam hanya merupakan faktor pencetus saja.2

Akhir-akhir ini kejang demam diklasifikasikan menjadi 2 golongan,yaitu :

a. Kejang demam sederhana (Simple Febrile Seizure) yaitu kejang menyeluruh yang
berlangsung kurang dari 15, menit dan tidak berulang dalam 24 jam.
b. Kejang demam kompleks( Complex Febrile Seizure) yaitu kejang fokal (hanya
melibatkan salah satu bagian tubuh), berlangsung lebih dari 15 menit dan atau berulang
dalam waktu singkat ( selama demam berlangsung).
Disini anak sebelumnya dapat mempunyai kelainan neurologi atau riwayat kejang demam atau
kejang tanpa demam dalam keluarga.3,6,7
E. Etiologi

Hingga kini belum diketahui secara pasti. Demam sering disebabkan infeksi saluran
pernafasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih. Kejang tidak
selalu timbul pada suhu yang tinggi, kadang-kadang demam yang tidak begitu tinggi dapat
menyebabkan kejang.1,2,3

F. Patofisiologi

Pada keadaan demam kenaikan suhu 1ºC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal
10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada seorang anak berumur 3 tahun
sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya
15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari
membran sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium
melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini
demikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun membran sel tetangganya
dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang.2

Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya
ambang kejang seseorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan
ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38º C sedangkan pada anak dengan
ambang kejang tinggi , kejang baru terjadi pada suhu 40ºC atau lebih. Dari kenyataan ini
dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang
yang rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa
penderita kejang.2

Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak menimbulkan
gejala sisa. Tetapi kadang kejang yang berlangsung lama ( lebih dari 15 menit) biasanya disertai
terjadinya apne, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang
akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapni, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik,
hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat
disebabkan meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak
meningkat.2

Rangkaian kejadian diatas adalah faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak
selama berlangsungnya kejang lama. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang
mengakibatkan hipoksemia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edem otak
yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak.2

Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang
berlangsung lama dapat menjadi matang dikemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi
yang spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis
diotak sehingga terjadi epilepsi.2

G. Manifestasi klinis

Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengn kenaikan
suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi diluar susunan saraf pusat,
misalnya tonsilitis, otitis media akuta, bronkitis, furunkulosis, dan lain-lain.1,2,3,5Serangan kejang
biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat
bangkitan kejang dapat berbentuk tonik-klonik bilateral, tonik, klonik, fokal atau akinetik.
Bentuk kejang yang lain dapat juga terjadi seperti mata terbalik keatas dengan disertai kekakuan
atau kelemahan, gerakan semakin berulang tanpa didahului kekakuan atau hanya sentakan atau
kekakuan fokal.1,2,3,45

Sebagian kejang berlangsung kurang dari 6 menit dan kurang dari 8% berlangsung lebih dari
15 menit. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti anak tidak memberi reaksi
apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit, anak kembali terbangun dan
sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang dapat diikuti hemiparesis sementara (hemiparesis
Todd) yang berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Kejang unilateral yang lama dapat
diikuti oleh hemiparesis yang menetap. Bangkitan kejang yang lama lebih sering terjadi pada
kejang demam yang pertama. Jika kejang tunggal berlangsung kurang dari 5 menit, maka
kemungkinan cedera otak atau kejang menahun adalah kecil.3
Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada penderita yang
sebelumnya normal. Kelainan neurologis terjadi pada sebagian kecil penderita, ini biasanya
terjadi pada penderita dengan kejang lama atau berulang baik umum atau fokal. Gangguan
intelek dan gangguan belajar jarang terjadi pada kejang demam sederhana. IQ lebih rendah
ditemukan pada penderita kejang demam yang berlangsung lama dan mengalami komplikasi.
Risiko retardasi mental menjadi 5 kali lebih besar apabila kejang demam diikuti terulangnya
kejang tanpa demam.

H. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya kejang pada seorang anak yang mengalami demam
dan sebelumnya tidak ada riwayat epilepsi. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan lanjutan yang
perlu dilakukan jika didapatkan karakteristik khusus pada anak,1,2,3,4,5,6,7yaitu:

1. Pungsi lumbal

Pungsi lumbal adalah pemeriksaan cairan serebrospinal yang dilakukan untuk menyingkirkan
menigitis terutama pada pasien kejang demam pertama. Pada bayi-bayi kecil seringkali gejala
meningitis tidak jelas sehingga pungsi lumbal harus dilakukan pada bayi berumur kurang dari 6
bulan dan dianjurkan untuk yang berumur kurang dari 18 bulan. Berdasar penelitian yang telah
diterbitkan, cairan cerebrospinal yang abnormal umumnya diperoleh pada anak dengan kejang
demam yang:

-Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh: kaku kuduk).

-mengalami komplek partial seizure.

-Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit dalam 48 jam sebelumnya).

-Kejang saat tiba di IGD.

-Keadaan post ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan. Mengantuk hingga sekitar 1 jam setelah
kejang demam adalah normal.

-kejang pertama setelah usia 3 tahun.


Pada anak dengan usia lebih dari 18 bulan, pungsi lumbal dilakukan jika tampak tanda
peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang menimbulkan kecurigaan infeksi sistem sarap
pusat. Pada anak dengan kejang demam yang telah menerima terapi antibiotikk sebelumnya,
gejala meningitis dapat tertutupi, karena itu pada kasus seperti itu pungsi lumbal sangat
dianjurkan untuk dilakukan.7

2. EEG

EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan gelombang.


Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang demam yang baru terjadi sekali
tanpa adanya defisit neurologis.2,3 Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa EEG yang
dilakukan saat kejang demam atau segera setelahnya atau sebulan setelahnya dapat memprediksi
akan timbulnya kejang tanpa demam di masa yang akan datang. Walaupun dapat diperoleh
gambaran gelombang yang abnormal setelah kejang demam, gambaran tersebut tidak bersifat
prediktif terhadap risiko berulangnya kejang demam atau risiko epilepsi.2,3,4,5 EEG dapat
memperlihatkan gelombang lambat didaerah belakang yang yang bilateral, sering asimetris,
kadang-kadang unilateral. Perlambatan ditemukan pada 88% pasien bila EEG dikerjakan pada
hari kejang dan ditemukan pada 33% pasien bila EEG dilakukan tiga sampai tujuh hari setelah
serangan kejang.1 Saat ini pemeriksaan EEG tidak dianjurkan untuk pasien kejang demam
sederhana.1,7

3. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit., kalsium, fosfor, magnesium,
atau gula darah tidak rutin dilakukan pada kejang demam pertama. Pemeriksaan laboratorium
harus ditujukan untuk mencari sumber demam, bukan sekedar sebagai pemeriksaan rutin.6,7

4. Pemeriksaan Imaging

Pemeriksaan imaging (CT Scan atau MRI) dapat dindikasikan pada keadaan:

a. Adanya riwayat dan tanda klinis trauma kepala.


b. Kemungkinan adanya lesi struktural diotak (mikrosefali, spastik).
c. Adanya tanda peningkatan tekanan intrakranial (kesadaran menurun, muntah berulang,
fontanel anterior membonjol, paresis saraf otak VI, edema papil).6
I. Diagnosis Banding

Menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan kejang, harus dipikirkan apakah
penyebab dari kejang itu didalam atau diluar susunan saraf pusat (otak). Kelainan didalam otak
biasanya karena infeksi, misalnya meningitis, ensefalitis, abses otak dan lain-lain.2 Oleh sebab
itu perlu waspada untuk menyingkirkan dahulu apakah ada kelainan organis di otak. Baru
sesudah itu dipikirkan apakah kejang demam ini tergolong dalam kejang demam sederhana atau
epilepsi yang diprovokasi oleh demam. Infeksi susunan saraf pusat dapat disingkirkan dengan
pemeriksaan klinis dan cairan cerebrospinal. Kejang demam yang berlangsung lama kadang-
kadang diikuti hemiparesis sehingga sukar dibedakan dengan kejang karena proses intrakranial.
Sinkop juga dapat diprovokasi oleh demam, dan sukar dibedakan dengan kejang demam. Anak
dengan demam tinggi dapat mengalami delirium, menggigil, pucat dan sianosis sehingga
menyerupai kejang demam.1

J. Penatalaksanaan

Dalam penanggulangan kejang demam ada 3 faktor yang perlu dikerjakan, yaitu: pengobatan
fase akut, mencari dan mengobati penyebab, dan pengobatan profilaksis terhadap berulangnya
kejang demam..2,3

1. Pengobatan fase akut

Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu kejang pasien dimiringkan untuk mencegah
aspirasi ludah atau muntahan. Jalan nafas harus bebas agar oksigenasi terjamin. Perhatikan
keadaan vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu, pernafasan dan fungsi jantung. Suhu tubuh
yang tinggi diturunkan dengan kompres air dingin dan pemberian antipiretik.2,3,9

Obat yang paling cepat untuk menghilangkan kejang adalah diazepam yang diberikan secara
intravena atau intrarektal. Kadar diazepam tertinggi dalam darah akan tercapai dalam waktu 1-3
menit apabila diazepam diberikan intrvena dan dalam waktu 5 menit apabila diberikan
intrarektal. Dosis diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2
mg/menit atau dalam waktu lebih dari 2 menit, dengan dosis maksimal 20 mg. Apabila kejang
tidak berhenti dapat diberikan diazepam lagi dengan dosis dan cara yang sama. Apabila sukar
mencari vena dapat diberikan diazepam intrarektal dengan dosis 0,5-0,75mg/kgBB atau
sebanyak 5 mg pada anak dengan berat badan kurang dari 10kg dan 10 mg untuk berat badan
lebih dari 10 kg. Bila kejang tidak berhenti diberikan fenitoin dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB
secara intravena perlahan-lahan dengan kecpatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50
mg/kg/menit. Dosis selanjutnya diberikan 4-8 mg/kg/hari, 12-24 jam setelah dosis awal.

Dalam waktu 30-60 menit kadar diazepam dalam otak sudah menurun dan pasien dapat
kejang kembali. Oleh karena itu setelah kejang berhenti harus diberikan obat dengan masa kerja
yang lama misalnya valproat atau fenobarbital. Fenobarbital diberikan secara intramuskular
dengan loading dose. Dosis awal 10-20 mg/kg dan dosis selanjutnya 4-8 mg/kg/hari. Diberikan
24 jam setelah dosis awal.

Fenobarbital dosis tinggi intravena dapat menyebabkan depresi pernafasan, hipotensi, letargi
dan somnolen, sehingga pemberian harus dipantau dengan ketat. Diazepam juga mempunyai
efek samping hipotensi dan depresi pernafasan,sebab itu setelah pemberian fenobarbital dosis
tinggi jangan diberikan diazepam. 2,3,7,8

2. Mencari dan Mengobati Penyebab

Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk meyingkirkan kemungkinan meningitis,


terutama pada pasien kejang demam yang pertama,. Walaupun demikian kebanyakan dokter
melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus yang dicurigai mengalami meningitis atau bila
kejang demam berlangsung lama. Pada bayi kecil sering manifestasi meningitis tidak jelas,
sehingga pungsi lumbar harus dilakukan pada bayi berumur kurang dari 6 bulan dan dianjurkan
pada pasien berumur kurang dari 18 bulan. Pemeriksaan laboratorium lain perlu dilakukan untuk
mencari penyebab.1,2,3

3. Pengobatan profilaksis

Pencegahan berulangnya kejang demam perlu dilakukan karena menakutkan dan bila sering
berulang menyebabkan kerusakan otak menetap. Ada 2 cara profilaksis, yaitu:

1. Profilaksis intermittent pada waktu demam.


2. Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari (rumatan).
Profilaksis intermittent
Antikonvulsan hanya diberikan pada waktu pasien demam dengan ketentuan orangtua pasien
atau pengasuh mengetahui dengan cepat adanya demam pada pasien. Obat yang diberikan harus
cepat diabsorpsi dan cepat masuk ke otak. Hal yang demikian sebenarnya sukar dipenuhi.
Peneliti-peneliti sekarang tidak mendapat hasil dengan fenobarbital intermittent. Diazepam
intermittent memberikan hasil lebih baik karena penyerapannya cepat. Dapat digunakan
diazepam intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg untuk pasien dengan berat badan kurang dari 10
kg dan 10 mg untuk pasien dengan berat badan lebih dari 10 kg, setiap pasien menunjukkan suhu
38,50 C atau lebih. Diazepam dapat pula diberikan oral dengan dosis 0,5 mg/kg BB/hari dibagi
dalam 3 dosis pada waktu pasien demam. Efek samping diazepam adalah ataksia, mengantuk dan
hipotonia.1,2,3,7,8

Kepustakaan lain menyebutkan bahwa pemberian diazepam tidak selalu efektif karena
kejang dapat terjadi pada onset demam sebelum diazepam sempat diberikan. Efek sedasi
diazepam juga dikhawatirkan dapat menutupi gejala yang lebih berbahaya, seperti infeksi sistem
saraf pusat.10

Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari ( rumatan)

Profilaksis terus menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat yang
dapat menyebabkan kerusakan otak tapi tidak dapat mencegah terjadinya epilepsi dikemudian
hari. Profilaksis setiap hari terus menerus dengan fenobarbital 4-5 mg/kg BB/hari dibagi dalam
2 dosis. Obat lain yang digunakan adalah asam valproat dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari.1
Antikonvulsan terus menerus diberikan selama 1-2 tahun setelah kejang terakhir dan dihentikan
bertahap selama 1-2 bulan.

Profilaksis terus menerus dapat dipertimbangkan bila ada 2 kriteria ( termasuk poin 1 atau 2)
yaitu:

1. Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau perkembangan
( misalnya serebrl palsy atau mikrosefal).
2. Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal, atau diikuti oleh kelainan neurologis
sementara atau menetap.
3. Ada riwayat kejang tanpa demam pada orangtua atau saudara kandung.
4. Bila kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi kejang
multipel dalam satu episode demam.
Bila hanya memenuhi satu kriteria saja dan ingin memberikan pengobatan jangka panjang,
maka berikan profilaksis intermittent yaitu pada waktu anak demam dengan diazepam oral atau
rektal tiap 8 jam disamping antipiretik.

ALGORITMA PENGOBATAN MEDIKAMENTOSA SAAT KEJANG11


K. Rujukan

Pasien kejang demam dirujuk atau dirawat di rumah sakit pada keadaan berikut:

a. Kejang demam kompleks


b. Hiperpireksia
c. Usia dibawah 6 bulan
d. Kejang demam pertama
e. Dijumpai kelainan neurologis

L. Prognosis

Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosisnya baik dan tidak perlu
menyebabkan kematian.2,3 Dua penyelidikan masing-masing mendapat angka kematian 0,46%
dan 0,74%. Dari penelitian yang ada, frekuensi terulangnya kejang berkisar antara 25%-50%
yang umumnya terjadi pada 6 bulan pertama.2

Berdasarkan kepustakaan lainnya, risiko berulangnya kejang apabila terjadi demam lagi kira-
kira 40-50%. Angka kejadian berulangnya kejang meningkat apabila onsetnya kurang dari umur
19 bulan, riwayat kejang dalam keluarga positif, terdapat kelainan neurologis ( meskipun
minimal), kejang awal gambarannya unilateral, kejang berhenti lebih dari 30 menit atau berulang
karena penyakit yang sama.4

Apabila melihat kepada umur, jenis kelamin dan riwayat keluarga, lennox-Buchtal (1973)
mendapatkan:

-Pada anak berumur kurang dari 13 tahun, terulangnya kejang pada wanita 50% dan pria 33%.

-Pada anak berumur antara 14 bulan dan 3 tahun dengan riwayat keluarga adanya kejang,
terulangnya kejang adalah 50%, sedang pada tanpa riwayat kejang adalah 25%.

Berdasarkan penelitian Livingston didapati golongan kejang demam sederhana hanya 2,9 %
yang menjadi epilepsi dan dari golongan epilepsi yang diprovokasi oleh demam ternyata 97%
yang menjadi epilepsi. Risiko yang akan dihadapi oleh seorang anak sesudah menderita kejang
demam tergantung dari faktor:

a. Riwayat kejang tanpa demam dalam keluarga.


b. Kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak menderita kejang
demam.
c. Kejang yang berlangsung lama atau kejang fokal.
Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor tersebut diatas, maka dikemudian hari akan
mengalami serangan kejang tanpa demam sekitar 13%, dibanding bila hanya terdapat 1 atau
tidak sama sekali faktor tersebut diatas, serangan kejang tanpa demam hanya 2-3% saja
(Consensus Statement on Febrile Seizure, 1981).

M. Pencegahan

Kejang bisa terjadi jika suhu tubuh naik atau turun dengan cepat. Pada sebagian besar kasus,
kejang terjadi tanpa terduga atau tidak dapat dicegah. Dulu digunakan obat anti kejang sebagai
tindakan pencegahan pada anak-anak yang sering mengalami kejang demam. Tetapi hal ini
sekarang sudah jarang dilakukan.

Kepada anak-anak yang cenderung mengalami kejang demam, pada saat menderita demam,
bisa diberikan diazepam ( baik yang melalui mulut maupun melalui rektal).
DAFTAR PUSTAKA

1. S, Soetomenggolo; Taslim; Ismail,S. Buku Ajar Neurologis Anak. Cetakan Kedua. BP.
IDAI. Jakarta: 2000; Hal 244-251.
2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak. Buku Kuliah 2. Ilmu Kesehatan Anak. Bagian IKA
FK UI. Jakarta: 1985; Hal 847-855.
3. Mansjoer, A; Suprohaita; Wardhan, W.I; Setiowulan, W. Kapita Selekta Kedokteran.
Jilid 2. Edisi Ketiga. Media Aesculapius. FK UI. Jakarta: 2000; Hal 434-437.
4. Short, Jhon R; Gray, J.P; Dodge, J.A. Ikhtisar Penyakit Anak. Edisi Keenam. Jilid Dua.
Binarupa Aksara. Jakarta: 1994; hal 62-63.
5. Behrman, Kliegman, Arvinka. Nelson. Ilmu Kesehatan Anak. Vol 3. Edisi 15. EGC.
Jakarta: 1999;
6. Pusponegoro, H.D, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi I. Ikatan
Dokter Anak Indonesia. Jakarta: 2004; Hal 210-211.
7. http://aappolicy.aappublication.org/cgi/content/abstract/pediatrics;
8. http://www.prodigy.nhs.uk/guidance.asp?gt=febrile%20convulsion
9. www.health.nsw.gov.au/fcsd/rmc/cib/circulars/2004/cir2004-66.pdf
10. Committee on Quality Improvement and Subcommitte on Febrile Seizure. Practice
Parameter: Long Term Treatment of The Child with Simple Febrile Seizure. Pediatrics.
1999; 103:1307-1309.
11. Sastroasmoro, S, dkk, Panduan Pelayanan Medis Departmen Ilmu Penyakit Anak.
Cetakan Pertama. RSUP Nasional Dr Ciptomangunkusumo. Jakarta: 2007; Hal 252

Anda mungkin juga menyukai