Anda di halaman 1dari 12

1.

Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Departemen SDM dalam suatu perusahaan memerankan peran yang sangat penting
walaupun tidak menghasilkan keuntungan finasial bagi perusahaan secara langsung. Bisa
dikatan bagian SDM lebih dianggap sebagai departemen yang hanya menghabiskan
anggaran. Namun, perlu dipahami bahwa divisi SDM adalah yang memiliki peran penting
dalam mengatur hubungan dan peranan sumber daya manusia yang ada dalam perusahaan.
Mulai dari proses rekrutmen dan seleksi calon karyawan, pelatihan & pengembangan, sistem
kompensasi, penilaian kerja bahkan sampai pendisiplinan karyawan merupakan beberapa
tugas divisi SDM untuk mengorganisasi tenaga kerja yang ada dalam perusahaan untuk
mencapai tujuan perusahaan.
Berbeda dengan sumber daya lain dari perusahaan baik berupa finansial, asset dan
brand yang semuanya adalah benda mati dan mudah untuk mengelolanya, sumber daya
manusia membutuhkan usaha yang lebih berat untuk mengelolanya karena mereka masingmasing mempunyai pikiran dan kemauan sendiri. Adalah tugas dari divisi SDM untuk
mensinkronkan pribad-pribadi tersebut menjadi satu kesatuan sebagai bagian dari organisasi.
Dalam divisi SDM penilaian kinerja atau performance appraisal adalah salah satu
dari fungsional SDM yang paling penting. Hasil dari penilaian kinerja tersebut bisa
mempengaruhi kebijakan fungsional-fungsional SDM yang lain. Penilaian kinerja bisa
menjadi tolok ukur apakah program rekrutmen & seleksi sukses, apakah pelatihan dan
pengembangan karyawan efektif, apakah kompensasi sesuai dengan kinerja atau apakah
berdasarkan kinerja karyawan layak dipertahankan.
Perlu diperhatikan juga pakah kebijakan dan praktik SDM di perusahaan sudah
diimplementasikan dengan baik. Untuk mengantisipasi resiko terjadinya masalah dan untuk
mengoptimalkan sumber daya manusia, perusahaan perlu melakukan evaluasi. Dalam
makalah ini terutama yang mendapat pertimbangan untuk dilakukan evaluasi adalah pada
penilaian kinerja karyawan. Perusahaan yang penilaian kinerjanya rentan mengalami
permasalahan adalah perusahaan yang divisi SDMnya tersentralisasi di kantor pusat dan
divisi SDM dikantor-kantor cabang hanya memiliki sedikit wewenang untuk mengabil
keputusan terkait kebijakan dan praktek SDM.
PT. Bank Syariah Bukopin (BSB) adalah salah satu bank syariah besar di Indonesia
yang sudah memiliki banyak kantor cabang dan kantor kas. Salah satunya adalah kantor

cabang BSB satu-satunya di Yogyakarta. Di kantor cabang Yogyakarta, karyawan di BSB bisa
dibilang masih sedikit dan di dalamnya masih banyak terjadi permasalahan implementasi
kebijakan dan praktik SDM. Untuk itu PT. Bank Syariah Bukopin memerlukan evaluasi SDM
terutama dalam hal ini penulis lebih memfokuskan pada evaluasi penilaian kinerja.
1.2 Rumusan Masalah
Untuk memudahkan proses analisa, penulis membuat breakdown dari permasalahan
dan menjadikannya sebagai rumusan masalah. Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai
berikut:
1) Bagaimanakah proses penilaian kinerja di PT. Bank Syariah Bukopin?
2) Apa saja komponen penilaian kerja di PT. Bank Syariah Bukopin?
3) Bagaimanakah transparansi, keadilan dan obyektifitas penilaian kinerja yang
dilakukan?
4) Bagaimanakah hasil penilaian kinerja berpengaruh terhadap keputusan kebijakan
SDM lain?
1.3 Tujuan
Dari makalah ini penulis akan menentukan tujuan dari pembahasan tentang
implementasi SDM di perusahaan Bank Syariah Bukopin. Adapun tujuan dari makalah ini
antara lain adalah:
1. Mengidentifikasi permasalahan implementasi kebijakan dan praktik SDM di PT. Bank
Syariah Bukopin.
2. Menganalisa Permasalahan tersebut dan membuat analisa mengenai alternative solusi
untuk memecahkan masalah tersebut.
3. Membuat rekomendasi dan perencanaan implementasi dari solusi yang sekiranya
paling tepat diterapkan.
1.4 Pengumpulan Data
1.4.1 Instrumen pengambilan data
Karena penilitian ini bersifat kualitatif, instrumen pengambilan data dalam makalah
ini adalah peneliti itu sendiri. Sehingga peneliti perlu divalidasi. Validasi peneliti yang
diperlukan meliputi pemahaman metode penelitian kualitatif, dan kesiapan peneliti untuk
memasuki objek penelitian. selain itu peneliti sebagai human instrument berfungsi
menetapkan fokus penelitian, memilih sumber data dan informan, analisis data, menafsirkan
data dan membuat kesimpulan (Sugiono, 2009:305-306).
1.4.2

Jenis Data

Untuk mendukung pembahasan dalam makalah ini maka dibutuhkan data yang
berkaitan dengan masalah yang akan dibahas. Jenis data yang dipakai dalam makalah ini
bersifat kualitatif, di mana data berupa pernyataan dan tidak berwujud angka-angka.
Sementara data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer atau data yang
diberikan langsung oleh informan kepada peneliti tanpa perantara.
1.4.3

Metode Pengumpulan Data

Tahap selanjutnya setelah mennetukan jenis data dan sumber data yang dibutuhkan
peneliti, tahap selanutnya adalah mengumpulkan data. Berikut adalah metode yang digunakan
oleh peniliti adalah:
a. Wawancara
Menurut Narbuko (dalam Prastuti) wawancara adalah proses tanya jawab dalam
penelitian yang berlangsung secara lisan dalam mana dua orang atau lebih bertatap muka
mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan dari
responden yang dicatat oleh pewawancara. Peneliti dalam hal ini melakukan wawancara
dengan key person dari divisi SDM PT. Bank Syariah Bukopin untuk mengumpulkan data
yang diperlukan.
b. Dokumentasi
Dalam metode ini peneliti mempelajari dokumen-dokumen yang diberikan oleh pihak
SDM PT. Bank Syariah Bukopin dan mempelajari serta menganalisa untuk dijadikan bahan
pembahasan dalam makalah ini. Dokumen-dokumen yang dipelajari meliputi sejarah
perusahaan, tujuan perusahaan, struktur organisasi, jumlah karyawan dan formulir penilaian
kinerja karyawan.

2. Gambaran Umum Perusahaan


Bank Syariah Bukopin merupakan lembaga keuangan swasta yang berbentuk jasa
keuangan perbankan. Sejarahnya, Bank Syariah Bukopin dulu bernama PT. Bank

Swansarindo Internasional, bank umum hasil peleburan BPR Gunung Sindoro dan BPR
Gunung Kendeng di Samarinda, Kalimantan Timur. Melalui SK Bank Indonesia nomor
24/UPBD/PB3/smr tanggal 1991 PT. Bank Swansarindi Internasional memperoleh izin usaha
sebagai bank umum dan pindah kantor pusat ke Jakarta.
Pada 2002, setelah diakuisisi oleh organisasi kemasyarakatan Islam di Indonesia,
Muhammadiyah, nama Swansarindo Internasional berubah menjadi PT. Bank Persyarikatan
Indonesia diakuisisi oleh PT. Bank Bukopin secara bertahap selama tahun 2005-2008. PT.
Bank Persyarikatan Indonesia melihat peluang di bisnis perbankan Syariah dan mengubah
haluan dari bisnis bank konvensional menjadi bank syariah. PT. Bank Persyarikatan
Indonesia memperoleh izin usaha berdasarka prinsip syariah dari Bank Indonesia pada
tanggal

27

Oktober

2008

dengan

SK

Gubernur

Bank

Indonesia

nomor

10/64/KEP.GBI/DpG/2008. Berdasarkan SK tersebut, PT Bank Persyarikatan Indonesia


berubah menjadi PT. Bank Syariah Bukopin dan melakukan kegiatan operasional mulai
tanggal 11 Zulhijah 1430H atau 9 Desember 2008.
PT. Bank Syariah Bukopin Cabang Yogyakarta sendiri muncul pada tahun 2013,
tepatnya tanggal 4 Oktober 2013 beroperasi secara terbatas dengan didukung oleh 22
karyawan. Kantor PT. Bank Syariah Bukopin Cabang Yogyakarta berada di Jl. MT. Haryono
No. 7 Yogyakarta. Tujuannya adalah untuk memperluas jaringan kantor cabang dengan pasar
utama masyarakat ekonomi syariah, UMKM, BPR Syariah dengan menyasar sektor usaha
berbasis syariah, pendidikan, pariawasata dan juga properti. Praktek SDM di Bank Syariah
Bukopin sendiri seperti kebanyakan bank lain, manajemen SDM tersentralisasi di kantor
pusat. Sementara divisi SDM di kantor cabang hanya memiliki sedikit wewenang dan hanya
sebagai pelaksana dari kebijakan yang sudah ditetapkan SDM pusat.

3. Kajian Pustaka
3.1 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu pertama yang dilakukan oleh Anandita Prastuti dari Universitas
Brawijaya, dalam penelitian yang berjudul Audit Manajemen Sebagai Penilaian Efektivitas

Sumber Daya Manusia, Studi Kasus PT. Shaftindo Energi) menggunakan audit manajemen
sebagai landasan utama dalam mengevaluasi sumber daya manusia perusahaan tersebut.
Penilitian tersebut menggunakan metode pendekatan deskribtif untuk mengidentifikasi
keefektivitasan dan kelemahan fungsi sumber daya manusia dan memberikan rekomendasi
kepada perusahaan. Dari hasil penelitian hampir semua fungsi SDM sudah efektif, antara lain
perencanaan SDM, pelatihan dan pengembangan, penilaian kinerja, manajemen kompensasi
perlindungan tenaga kerja, dan pemberhentian karyawan. Sementara rekrutmen & seleksi,
serta hubungan karyawan dan perusahaan tidak efektif.
Penelitian kedua adalah dari Genoveva dan Elisabeth Vita M dengan judul penelitian
Menyusun Penilaian Kinerja Dosen yang Mendukung Tri Darma Perguruan Tingi yang
melakukan evaluasi kinerja dosen untuk menyusun penilaian kinerja yang tepat bagi dosen.
Dari hasil penelitian bahwa penilaian kinerja dosen harus berbasis tri darma perguruan tinggi
dan kontrol serta transparansi penilaian kinerja akan membuah dosen lebih dihargai dan
akhirnya akan memotivasi untuk meningkatkan kinerja karena penilaian kinerja adalah
penentu kompensasi.
3.2 Landasan Teori
Menurut Gaol (2014) Kinerja merupakan suau fungsi dari motivasi dan kemampuan
untuk menyelesaiakan pekerjaan atau tugas. Kinerja adalah perilaku nyata yang ditampilkan
setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh seorang karyawan sesuai dengan
perannya di dalam perusahaan. Untuk dapat melihat perkembangan perusahaan dan juga
perkembangan individu karyawan adalah dengan penilaian kinerja. Penilaian kinerja tersebut
berfungsi untuk mengukur kinerja karyawan dalam periode tertentu yang akan digunakan
untuk membuat keputusan tentang kebijakan SDM terutama dalam hal kompensasi dan
promosi
Sebuah penilaian kinerja adalah suatu proses yang sistematis dan berkala yang menilai
prestasi kerja karyawan individu dan produktivitas dalam kaitannya dengan kriteria dan
tujuan organisasi tertentu yang telah ditetapkan. Aspek lain dari individu karyawan yang juga
dipertimbangkan, seperti perilaku organisasi, prestasi, potensi untuk perbaikan di masa
depan, kekuatan dan kelemahan, dll (Daga & Kapoor, 2014). Sementara itu, Werther dan
Davis (Gaol, 2014) menyebutkan bahwa manfaat dan kegunaan penilaian kinerja adalah
seperti berikut:

Memperbaiki prestasi kerja

Untuk dapat melakukan penyesuaian kompensasi


Untuk bahan pertimbangan penempatan (promosi, transfer, dan demosi)
Untuk menetapkan kebutuhan latihan dan pengembangan
Untuk perencanaan dan pengembangan karir
Untuk dapat melihat kekurangan-kekurangan dalam proses penempatan staff
Untuk dapat dijadikan patokan dalam menganalisis informasi analisis jabatan
Untuk mendiagnosis kesalahan-kesalahan rancangan jabatan
Untuk mencegah adanya diskriminasi
Program penilaian kinerja dilakukan untuk menentukan bagaimana kinerja seseorang

dan siapa yang akan menilai kinerjanya. Ada beberapa cara untuk menilai kinerja di
antaranya yang paling umun adalah penilaian dari atasan. Namun ada cara yang lain yang
tidak hanya mengandalkan penilaian atasan yaitu, penilaian sendiri, penilaian bawahan,
penilaian rekan kerja, penilaian tim, penilaian pelanggan dan yang terakhir menggabungkan
penilaian tersebut menjadi penilaian 360 derajat.
Menurut DeNisi & Pritchard dan Manasa & Reddy (OBoyle, 2013) Secara tradisonal,
penilaian kinerja secara luas telah digunakan sebagai metode evaluasi kinerja karyawan,
menetapkan tujuan untuk kinerja masa depan dan mengidentifikasi pengembangan
profesional yang dibutuhkan oleh individu. Biasanya, penilaian kinerja yang resmi akan
dilakukan untuk karyawan selama dua kali dalam setahun
Penilaian Atasan / Supervisor / Manajer
Penilaian atasan telah menjadi pendekatan tradisional untuk mengevaluasi karyawan.
Atasan adalah posisi terbaik untuk melakukan tugas ini, walaupun mereka kadang tidak bisa
untuk melakukanya karena keterbatasan waktu untuk melakukan observasi. Mereka hanya
bergantung pada catatan kinerja untuk menentukan penilaian karyawan. (Bohlander & Snell,
370). Penilaian manajer seringkali toleran karena keinginan untuk menghindari konflik
dengan karyawan yang dinilai. Longnecker, Sims, dan Gioia (Agua, 2004) menemukan
bahwa melakukan penilaian sering merupakan proses yang sangat emosional bagi manajer,
lebih lanjut mengurangi objektivitas dan akurasi. Untuk alasan ini, sumber tambahan
penilaian kinerja yang diperlukan.
Penilai Diri Sendiri
Menurut Campbell & Lee, penilaian diri dilakukan oleh diri sendiri, orang yang
sedang dievaluasi. Proses penilaian diri yang efektif mencakup analisis pekerjaan yang
menyeluruh untuk menghapus ambiguitas dan tujuan yang jelas untuk mengukur kinerja

terhadap. M Eyer menunjukkan bahwa self-appraisal meningkatkan martabat karyawan dan


harga diri dan memungkinkan Manajer berperan sebagai konselor bukan hakim. Menurut
Baron, Lane dan Hariott, lebih pentingnya penilaian diri memotivasi karyawan (Agua, 2004).
Hal ini penting untuk dicatat bahwa karyawan yang kurang pengalaman dengan
proses penilaian diri akan memiliki lebih besar kepuasan dengan penilaian yang diberikan
oleh supervisor. Nampaknya orang akan menilai diri sendiri pada tingkat yang lebih tinggi
dari keterampilan dan kompetensinya yang sebenarnya. Dalam meta-analisis dari penilaian
diri yang dilakukan oleh Mabe dan West, kekhawatiran tentang kecenderungan orang untuk
melebih-lebihkan kemampuan mereka adalah tidak beralasan. Para peneliti menemukan
bahwa telling orang yang self-appraisal mereka akan diverifikasi terhadap kinerja lainnya
(Agua, 2004)
Penilaian 36o derajat
Seperti yang diimplikasikan namanya, pendekatan ini ditujukan untuk menyediakan
karyawan dengan pandangan seakurat mungkin atas kinerjanya dengan mendapatkan input
dari semua arah: atasan, rekan, bawahan, pelanggan dan lainya. Awalnya pendekatan ini
dibatasi penggunaannya untuk posisi tertentu seperti manajerial, namun kecenderungan saat
ini sudah banyak dipakai di posisi lain juga. Namun, kelemahan pendekatan penilaian ini
adalah pada kompleksitasnya karena mengambil input dari segala arah. (Bohlander & Snell,
374). Grint berpendapat bahwa solusi untuk meningkatkan objektivitas berbaring di bagian
dengan kritik klasik McGregor dengan pelatihan ulang dan penghapusan penilaian top
down oleh manajer dan menggantikannya dengan evaluasi multi-rater menggunakan
penilaian 360 derajat. Ini mencoba untuk mengatasi bias dan objektivitas oleh penilaian
kinerja atasan (Prowse, 2009).

4. Identifikasi Permasalahan
Terdapat bebrapa praktek penilaian kinerja di Bank Syariah Bukopin yang dinilai
tidak sesuai kebijakan dari pusat. Pertama, penilaian tidak dilakukan langsung oleh atasan,

tetapi para karyawan diminta mengisi terlebih dahulu form PA dan menyerahkan kepada
atasan langsung untuk dikoreksi dan juga berkoordinasi dengan SDI Cabang. Hal ini
menunjukkan bahwa atasan tidak memiliki dokumentasi yang baik dan rutin kepada setiap
bawahannya. Selain itu PA menjadi tidak obyektif.
Kedua, Tidak pernah dilakukan diskusi antara atasan langsung dengan direksi juga
atasan langsung dengan (karyawan) tentang hasil PA, sehingga selama ini karyawan tidak
pernah mengemukakan pendapatnya tentang penilaian dirinya dan juga tidak mendapat
masukan atau konseling dari atasan langsung. (seperti hanya formalitas semata) Atasan
langsung tidak pernah melihat absensi karyawan sebagai salah satu dasar untuk menilai
kedisiplinan karyawan, penilaian selama ini hanya berdasarkan pendapat atasan langsung.
Ketiga, banyak karyawan yang merasa tidak adil dengan penilaian kinerja yang
berlaku, perbedaan standar penilaian antara Staff dan Manajemen perusahaan sangatlah
terlihat. Standar nilai normal untuk Staff adalah CB (Cukup Baik), dan seringkali untuk
mendapatkan nila B (Baik) atau bahkan BS (Baik Sekali) sangatlah sulit dan harus
menjadi sangat menonjol juga berprestasi. Sedangkan standar nilai untuk Manajemen
perusahaan (Asisten Manajer keatas) adalah B (Baik), meskipun tetap untuk
mendapatkan BS (Baik Sekali) adalah hal yang juga sulit, namun pihak manajemen
perusahaan bisa dibilang sangat mustahil mendapatkan nilai CB (cukup baik) atau yang
lebih buruk, kecuali mereka melakukan kesalahan atau pelanggaran menengah sampai
dengan berat.
Keempat, staff SDI (Sumber Daya Insani Cabang) Yogyakarta yang juga merangkap
pekerjaan sebagai Sarana Logistik dan IT Cabang, hanya diberikan penilaian atas kinerja
sebagai Staff SDI saja, sementara untuk Bagian Sarana logistik dan IT-nya tidak diberikan
penilaian. Staff SDI dinilai oleh atasan langsung yang berada di kantor pusat (Koordinator
SDI, Manajer SDI dan Kepala Divisi SDI), namun hasil dari penilaian tersebut tidak pernah
sekalipun didiskusikan oleh ybs. Dan form PA yang harusnya juga ditandatangani oleh Ybs.
Tidak pernah diberikan untuk ditandatangani oleh Ybs.

5. Analisis

Penilaian kinerja merupakan salah satu fungsi SDM yang sangat penting karena
penilaian kinerja akan mempengaruhi fungsi SDM yang lain seperti sebagai alat ukur apakah
rekrutmen & seleksi berhasil, sebagai dasar penentu pelatihan dan pengembangan yang
diperlukan, sebagai dasar promosi dan demosi bahkan pemberhentian karyawan, dan
terutama adalah sebagai faktor utama dalam penentuan kompensasi. Dari hasil identifikasi
permasalahan SDM di Bank Syariah Bukopin, ditemukan beberapa permasalahan mengenai
fungsi penilaian kinerja.
Pertama, penilaian kinerja yang sesuai kebijakan pusat harus dilaksanakan oleh atasan
prakteknya di BSB Yogyakarta dilakukan oleh karyawan itu sendiri. Kedua, ketidakadilan
dan tidak objektifnya penilaian kinerja. Ketiga, dasar penentuan kinerja tidak sesuai dengan
kebijakan SDM pusat. Keempat, hasil penilaian kinerja tidak transparan dan tidak ada
feedback bagi karyawan. Dan terakhir, karyawan yang memiliki jabatan dan tanggung jawab
ganda hanya dinilai satu jabatan saja.
Untuk penilaian kinerja yang sedang dipraktekan BSB saat ini di mana penilaian
kinerja yang seharusnya dilakukan oleh atasan/supervisor/manajer malah dilakukan oleh
karyawan itu sendiri. Sebenarnya penilaian kinerja sendiri oleh karyawan memiliki sisi positif
yaitu menambah keterlibatan karyawan, membuat karyawan merasa lebih dihargai dan
dipercaya dan melatih tanggung jawab karyawan. Namum, penilaian sendiri oleh karyawan
cenderung kurang valid dan cenderung lebih bias dan terkadang karyawan melebih-lebihkan
penilaian kerjanya jauh dari kemampuan, kompetensi dan hasil kinerjanya sendiri. Bagi
karyawan baru terutama, akan sangat sulit dan kecenderungan kesalahan penilaian akan
sangat besar.
Penilaian yang lebih standar atau yang paling umum digunakan oleh banyak
perusahaan adalah penilaian atasan/supervisor/manajer. Dalam sistem ini hak penilaian
sepenuhnya dilakukan oleh atasan dari karyawan yang akan dinilai. Tentunya, potensi
karyawan untuk melebih-lebihkan hasil penilaian akan sangat kecil karena karyawan tidak
melakukan penilaian sendiri. Namun, dalam penilaian ini, manajer benar-benar harus
memiliki track-record hasil kinerja karyawan dengan baik dan melakukan observasi. Atasan
juga mempunyai kemungkinan untuk memanipulasi nilai bawahannya apabila memiliki rasa
ketidaksukaan maupun sebaliknya.
Idealnya penilaian kerja dilakukan oleh beberapa orang dari berbagai arah, atau yang
lebih dikenal dengan penilaian kinerja 360 derajat yang meliputi penilaian atasan, penilaian

diri, penilaian rekan, penilaian bawahan dan penilaian eksternal (pelanggan, klien dll).
Penilaian ini bisa dibilang adalah penilaian yang paling valid karena mengkombinasikan
penilaian dari berbagai arah. Kemungkinan penilaian akan menjadi bias, dilebih-lebihkan
atau malah dikurangi dari hasil sebenarnya bisa diminimalisasi. Namun, kekurangan sistem
ini adalah bahwa sistem ini sangat rumit dan membutuhkan waktu agar bisa
mengkombinasikan penilaian dari banyak orang dari berbagai arah
Objektivitas dan keadilan penilaian juga menjadi sorotan di BSB Yogyakarta,
menuurut hasil identifikasi disebutkan bahwa staff hanya berhak mendapat nilai CB (cukup
baik) dan jarang atau bahkan sulit untuk mendapat nilai B (Baik) apalagi BS (baik sekali).
Sementara jajaran manajer mendapat nilai minimal B (baik). Hal ini jelas tidak adil dan tidak
objektif karena penilaian kerja tidak mempedulikan posisinya berhak mendapat nilai sesuai
kinerjanya dan tidak ada pembatasan yang merugikan dan tidak ada keistimewaan jabatan
untuk mendapat keuntungan.
Sebenarnya penilaian kinerja pada dasarnya sangat sederhana, yaitu dengan
membandingkan deskribsi kerja, standar kerja sebuah posisi dengan hasil dari kinerja
karyawan yang menempati posisi tersebut. Jika hasil kinerja berada di bawah standar dari
deskribsi kerja maka penilaiannya bisa dipastikan kurang baik, sementara jika hasil kerja
sama dengan standar dari deskribsi kerja maka bisa dikatakan kinerjanya cukup baik atau
baik. Dan kinerjanya dinilai baik sekali apabila melebihi standar yang sudah ditentukan.
Namun permasalahanya terletak pada perbedaan posisi kadang berbeda juga komponen
peniliaiannya. Selain itu, tidak semua posisi mempunyai standar kinerja yang mudah diukur
terutama yang berhubungan dengan pelayanan dan jasa. Masalah lain adalah kemauan penilai
kerja untuk secara detail melakukan observasi, penyimpanan data kinerja karyawan dan
penghitungan penilaian.
Masalah penilaian kinerja di BSB Yogyakarta selanjutnya dalah bahwa komponen
penilaian kinerja tidak sesuai yang ditetapkan SDM pusat. Di mana di BSB Yogyakarta,
dalam penilaian kinerjanya tidak pernah menggunakan daftar kehadiran/presensi karyawan,
lebih kepada atas kemauan atau pendapat atasan. Sebenarnya, sesuai kebijakan SDM pusat,
daftar hadir merupakan salah satu komponen penilaian yang harus diperhitungkan.
Faktanya komponen penilaian kinerja memang terdiri dari berbagai elemen dan tiap
posisi fungsional yang berbeda maka akan mempunyai komponen penilaian yang berbeda
pula. Misalnya dalam posisi pemasaran/marketing dan penjualan, salah satu komponen

penilaian adalah target penjualan sementara dibidang administrasi sepertinya tidak ada
komponen target sebagai dasar penilaian. Namun, dari semua posisi yang berbeda-beda
tersebut, komponen daftar hadir adalah yang pasti ada untuk posisi apapun. Untuk itu, daftar
hadir adalah salah satu faktor yang juga perlu diperhitungkan sebagai dasar penilaian kerja.
Pihak manajemen tidak pernah mendiskusikan hasil penilaian kinerja dengan
karyawan, sehingga karyawan tidak pernah mengemukakan pendapatnya tentang penilaian
dirinya juga tidak mendapat masukan atau konseling dari atasan langsung. Bisa disimpulkan
bahwa keikutsertaan karyawan dalam proses penilaian kinerja hanya mengisi formulir
penilaian diri. Sementara manajemen tidak transparan terhadap hasil peniliannya sendiri dan
hasil penilaian tersebut tidak dipergunakan untuk memberikan masukan bagi karyawan untuk
meningkatkan kinerja.
Sebenarnya karyawan mempunyai hak untuk mengetahui hasil penilaiannya dan
berhak mendapatkan penilaian yang adil dan objektif. Hasil penilaian tersebut sangat berguna
bagi karyawan untuk memperbaiki diri, mempertahankan performa dan meningkatkan
performa. Namun, jika hasil tersebut tidak didiskusikan ileh pihak atasan, maka kemungkinan
karyawan akan tetap bekerja seperti biasanya karena menganggap kerjanya sudah baik tidak
dikoreksi oleh atasan. Seharusnya, manajemen harus menentukan diskribsi kerja dan standar
pencapaian kerja agar semua orang tahu standarnya dan membandingkan dengan kinerja yang
telah dilakukannya. Dengan cara tersebut, transparansi akan lebih terbuka. Selain itu
karyawan juga harus mendiskusikan hasil penilaian kinerja agar karyawan merasa lebih
dihargai dan ada dasar yang menunjukan bahwa mereka harus mempertahankan kinerja atau
meningkatkannya.
Masalah penilaian kinerja yang terakhir adalah karyawan concurrent atau karyawan
yang memiliki posisi atau jabatan ganda dalam perusahaan hanya dinilai berdasarkan satu
posisi saja sementara posisi lain tidak dinilai. Dalam kasus ini di BSB Yogyakarta, posisi atau
jabatan staff Sumber Daya Insani (SDI) memiliki posisi ganda yaitu pada SDI itu sendiri dan
concurrent dengan posisi Sarana Logistik atau IT. Staff tersebut hanya dilakukan penilaian
pada posisi SDI sementara posisi gandanya di sarana logistik dan IT tidak dinilai.
Jelas praktek tersebut menyalahi hak karyawan terutama di bidang Sumber Daya
Insani di BSI Yogyakarta. Jika karyawan memiliki dua posisi/jabatan maka konsekuensinya
mereka mempunyai tanggung jawab yang ganda pula. Seharusnya kedua posisi tersebut harus
dinilai dua-duanya karena akan berdampak pada hak karyawan berupa kompensasi yang

berbeda pula. Jika hanya satu posisi yang dinilai, kecenderungan karyawan hanya akan
bekerja keras pada satu posisi yang dinilai saja sementara untuk posisi lain karyawan akan
meremehkan pekerjaan lainnya karena tidak dinilai. Selain itu, jika karyawan yang
berposisi ganda hanya dinilai dari satu posisi saja, maka konsekuensinya kompensasinya
hanya akan berdasarkan satu posisi saja dan itu merugikan karyawan karena mereka
mempunyai beban kerja dan tanggung jawab ganda namun hanya diberikan kompensasi
tunggal
6. Proposal Program Perbaikan Penilaian Kinerja SDM

7. Rencana Implementasi
8. Kesimpulan dan Saran

Anda mungkin juga menyukai