Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
Delirium merupakan gangguan fungsi otak dengan gangguan kognitif dan
perilaku, penyakit ini merupakan penyakit yang sering terjadi dan sudah
dijelaskan selama berabad-abad, namun sering tidak terdiagnosis atau salah
diagnosis dan berpotensi untuk terjadinya morbiditas dan mortalitas.1
Delirium adalah gangguan kesadaran dan gangguan kognitif akut yang
umumnya terjadi pada usia lanjut. Telah dilaporkan prevalensi delirium di USA
pada pasien berusia lanjut di ruang Intensive Care Unit (ICU) berkisar 78-87%. Di
Indonesia, prevalensi delirium bervariasi yaitu 14-56%, dengan angka kematian di
rumah sakit sekitar 25-30%. Kejadian delirium di rumah sakit dr. Cipto
Mangunkusumo (RSCM) berkisar 17- 47,3%.1,2
Sindrom

delirium

mencerminkan

disfungsi

otak

yang

diakibatkan oleh penyakit sistemik, penyakit serebral, putus zat atau intoksikasi
obat-obatan/ zat psikoaktif. Delirium yang disebabkan oleh obat-obatan
diperkirakan berkisar 12-39% dari seluruh kasus delirium.1,2
Gangguan penggunaan zat psikoaktif merupakan masalah yang menjadi
keprihatinan dunia internasional di samping masalah HIV/AIDS, kekerasan
(violence), kemiskinan, pencemaran lingkungan, pemanasan global dan
kelangkaan pangan. WHO memperkirakan bahwa jumlah pengguna tembakau
sebanyak 1,1 milyar orang, pengguna alkohol sebanyak 250 juta orang, dan
pengguna zat psikoaktif lain sebanyak 15 juta orang di seluruh dunia. Global
Burden of Diseases (GBD) yang diakibatkan dan yang terkait dengan pengunaan
zat psikoaktif adalah sebesar 8,9% sedangkan Global Mortality Rate akibat
penggunaan zat psikoaktif sebesar 12.4% dan Disable Adjusted Life Years
(DALYs) sebesar 8.9 %.3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Delirium
Delirium adalah suatu sindrom yang ditandai dengan gangguan kesadaran
dan kognisi yang terjadi secara akut dan berfluktuasi. Delirium memiliki banyak
penyebab yang semuanya mengakibatkan pola gejala yang serupa berkaitan
dengan tingkat kesadaran dan gangguan kognitif pasien.4,5
Delirium merupakan gangguan klinis yang kurang dikenali dan jarang
terdiagnosis. Sebagian dari masalahnya adalah bahwa sindrom ini memiliki nama
lain yang bervariasi, contohnya keadaan bingung akut, sindrom otak akut,
ensefalopati metabolik, psikosis toksik, dan gagal otak akut.5
2.2 Epidemiologi
Delirium merupakan gangguan yang lazim dijumpai. Prevalensi delirium di
USA pada pasien berusia lanjut di ruang Intensive Care Unit (ICU) berkisar 7887%.1 Menurut DSM-IV-TR, prevalensi delirium pada polpulasi umum adalah
0,4% pada orang yang berusia 18 tahun ke atas dan 1,1% pada usia 55 tahun ke
atas. Sekitar 10-30% pasien yang sakit secara medis dan dirawat di rumah sakit
mengalami delirium. Sekitar 30-40% pasien rawat inap yang berusia di atas 65
tahun mengalami satu episode delirium, dan 10-15% lansia lainnya mengalami
delirium saat masuk rumah sakit. Menurut DSM-IV-TR, jenis kelamin laki-laki
merupakan faktor risiko independen terjadinya delirium.5
2.3 Etiologi
Penyebab utama delirium adalah penyakit susunan saraf pusat (misalnya
epilepsy), penyakit sistemik (misalnya gagal jantung), serta intoksikasi maupun
keadaan putus zat. Terdapat 4 (empat) subkategori delirium berdasarkan sejumlah
penyebab, yaitu:5
1
2
3
4

Delirium akibat kondisi medis umum, seperti infeksi


Delirium yang diinduksi oleh obat-obatan, seperti zat psikoaktif
Delirium dengan etiologi multiple, seperti trauma kepala dan penyakit ginjal
Delirium yang tak tergolongkan.

2. 4 Zat Psikoaktif
Zat psikoaktif adalah zat yang bekerja pada otak, sehingga menimbulkan
perubahan perilaku, perasaan, dan pikiran. Zat psikoaktif merupakan zat yang
memiliki efek psikologis yang beredar secara luas di masyarakat, baik yang
digunakan secara sengaja ataupun tidak.3,6
Zat psikoaktif sering disebut sebagai NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan
Zat Adiktif lain), yaitu bahan/zat/obat yang bila masuk ke dalam tubuh manusia
akan memengaruhi tubuh terutama otak/ susunan saraf pusat, sehingga
menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosialnya karena
terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi) terhadap
NAPZA.3
Ada 3 kelompok besar dari zat psikoaktif yang disalahgunakan, yaitu
depresan, stimulan, dan halusinogen. Depresan adalah obat yang menghambat
atau menekan aktivitas SSP, obat ini mengurangi rasa tegang dan cemas,
menyebabkan gerakan melambat dan merusak proses kognitif. Contoh depresan:
alkohol, barbiturate, benzodiazepine, dan opioid. Stimulan merupakan obat yang
meningkatkan aktivitas SSP. Beberapa jenis obat ini menyebabkan perasaan
euforia dan percaya diri. Contoh stimulan: amfetamin, ekstasi, kokain dan nikotin.
Sedangkan halusinogen adalah obat yang menghasilkan distorsi sensoria atau
halusinasi, termasuk perubahan besar dalam persepsi warna dan pendengaran.
Contoh halusinogen: Lysergic acid diethylamide (LSD), phencyclidine (PCP) dan
marijuana.6
Menurut American Psychiatric Association (APA), penyalahgunaan zat
psikoaktif mempunyai kriteria bahwa pemakaian zat-zat dilakukan secara berkala
dan berkesinambungan dalam jangka waktu pemakaian minimal 12 bulan. Zat-zat
yang disalahgunakan termasuk alkohol, amphetamine (stimulan sintetis), kafein,
ganja, kokain, halusinogen, inhalant, nikotin, opium, fensiklidin dan obat
penenang.7
1

Alkohol
Sekitar 90% alkohol yang diabsorpsi dimetabolisme melalui oksidasi di

hepar, 10% sisanya diekskresi tanpa mengalami perubahan oleh ginjal dan paru.

Tubuh dapat memetabolisme sekitar 15 mg/dL per jam, dengan kisaran antara 1034 mg/dL. Dengan kata lain, kebanyakan orang mengoksidasi tiga perempat dari 1
ons alkohol 40% dalam 1 jam. Pada orang dengan riwayat konsumsi alkohol
berlebihan, peningkatan enzim yang diperlukan mengakibatkan metabolisme
alkohol cepat. Alkohol dimetabolisme oleh 2 enzim yaitu alkohol dehidrogenase
(ADH) dan aldehid dehidrogenase. ADH mengkatalisasi konversi alkohol menjadi
asetaldehid

yang

merupakan

senyawa

toksik,

aldehid

dehidrogenase

mengkatalisasi konversi asetaldehid menjadi asam asetat. Sejumlah studi


membuktikan bahwa wanita memiliki kandungan ADH dalam darah lebih sedikit
disbanding pria, dan ini mungkin menyebabkan kecenderungan wanita untuk lebih
terintoksikasi disbanding pria setelah minum alkohol dalam jumlah yang sama.
Penurunan fungsi enzim tersebut juga terjadi pada orang-orang Asia sehingga
menyebabkan mudahnya terintoksikasi.
Pada studi terkini, peneliti berupaya untuk mengidentifikasi target
molekuler efek alkohol yang spesifik. Sebagian besar perhatian difokuskan pada
efek alkohol terhadap kanal ion. Secara spesifik, studi menemukan bahwa
aktivitas kanal ion alkohol yang dikaitkan dengan reseptor asetilkolin nikotinik,
serotonin 5-HT3, dan GABA tipe A (GABAA) ditingkatkan oleh alkohol,
sementara aktivitas kanal ion yang dikaitkan dengan reseptor glutamat dan kanal
kalsium voltage-gated mengalami inhibisi.
2

Benzodiazepin
Benzodiazepin memiliki efek primer terhadap kompleks reseptor GABAA,

yang memuat kanal ion klorida pengikat GABA. Ketika benzodiazepin berikatan
dengan kompleks tersebut, efeknya adalah meningkatkan afinitas reseptor
terhadap neurotransmitter endogennya, GABA, dan meningkatkan aliran ion
klorida melalui kanal ke dalam neuron.
3 Opioid
Kata opiat dan opioid berasal dari kata opium, sari bunga opium, Papaver
somniferum, yang mengandung sekitar 20 alkaloid opium, termasuk morfin. Efek
primer opioid diperantarai reseptor opioid. Reseptor opioid- terlibat dalam
regulasi dan mediasi analgesia, depresi napas, konstipasi, dan ketergantungan.
Reseptor opioid- terlibat dalam analgesia, diuresis, dan sedasi. Serta reseptor
opioid- terlibat dalam analgesia.

Opioid memiliki efek signifikan terhadap sistem dopaminergik dan


noradrenergik. Sejumlah data mengindikasikan bahwa sifat adiktif opioid
diperantarai melalui aktivasi neuron dopaminergik area tegmental ventral yang
berjalan ke korteks serebri dan sistem limbik.
Heroin adalah opioid yang paling sering disalahgunakan dan lebih poten
serta terlarut dalam lemak dibanding morfin. Karena sifat-sifat tersebut, heroin
melintasi sawar darah otak lebih cepat daripada morfin. Kodein yang terdapat
secara alami sebanyak sekitar 0,5% dari alkaloid opiat dalam opium, diabsorpsi
dengan mudah melalui traktus gastrointestinal dan kemudian diubah menjadi
morfin dalam tubuh. Hasil penelitian menemukan bahwa salah satu efek dari
semua opioid adalah penurunan aliran darah otak pada region otak tertentu pada
orang dengan ketergantungan opioid.
4 Amfetamin
Amfetamin adalah salah satu obat terlarang yang banyak digunakan kedua
setelah kanabis di Inggris, Australia, dan beberapa negara

Eropa barat.

Amfetamin

metilfenidat)

klasik

(dekstroamfetamin,

metamfetamin,

dan

menimbulkan efek primer dengan menyebabkan pelepasan katekolamin, terutama


dopamin, dari terminal prasinaptik. Efeknya terutama poten untuk neuron
dopaminergik yang berjalan dari area tegmental ventral ke korteks serebri dan
area limbik. Jaras ini disebut sebagai jaras sirkuit reward dan aktivasinya
mungkin menjadi mekanisme adiktif utama untuk amfetamin.
Amfetamin racikan (MDMA, MDEA, MMDA, DOM) menyebabkan
pelepasan

katekolamin

(dopamin

dan

norepinefrin)

serta

serotonin,

neurotransmitter yang dianggap sebagai jaras neurokimiawi utama untuk


halusinogen. Oleh karena itu, efek klinis amfetamin racikan merupakan campuran
efek amfetamin klasik dan halusinogen. MDMA diambil di neuron serotonergik
oleh transporter serotonin yang bertanggung jawab untuk reuptake serotonin. Bila
telah berada di neuron, MDMA menyebabkan pelepasan cepat bolus serotonin dan
menghambat aktivitas enzim penghasil serotonin.
5

Kanabis
Kanabis atau marijuana merupakan tanaman Cannabis sativa yang seluruh

bagian

tanaman

mengandung

kanabinoid

psikoaktif,

yaitu

delta

tetrahidrocannabinol (THC). Dosis THC yang diperlukan untuk memperoleh efek

farmakologis pada manusia secara dihisap sekitar 2-22 mg. THC larut dalam
lemak dan dengan cepat diabsorbsi setelah inhalasi. Setelah dihisap atau dicerna,
delta 9-THC dengan cepat diubah menjadi 11-hidroksi-9-THC, metabolit yang
aktif di sistem saraf pusat.
Reseptor kanabinoid, anggota famili reseptor terkait protein G inhibitor,
berikatan dengan protein G inhbitorik, yang berikatan dengan adenilil siklase
secara inhibitorik. Reseptor kanabinoid ditemukan dalam konsentrasi tinggi di
ganglia basalis, hipokampus, dan serebelum, dengan konsentrasi yang lebih
rendah di korteks serebri. Pada suatu studi ditemukan kanabinoid memengaruhi
neuron monoamine dan asam gama aminobutirat.
6

Kokain
Kokain adalah alkaloid yang didapaatkan dari Erythroxylon coca. Aksi

farmakodinamik utama kokain yang berkaitan dengan efeknya terhadap perilaku


adalah blok kompetitif reuptake dopamine oleh transporter dopamin. Blok ini
meningkatkan konsentrasi dopamine di celah sinaps dan menyebabkan
peningkatan aktivasi reseptor dopamine tipe 1 (D1) maupun tipe 2 (D2). Efek
kokain terhadap aktivitas yang diperantarai reseptor D3, D4, dan D5 belum terlalu
jelas namun setidaknya satu studi preklinis melibatkan reseptor D3. Meski efek
perilaku terutama disebabkan blockade reuptake dopamin, kokain juga
menghambat reuptake katekolamin, norepinefrin serta serotonin. Metabolit kokain
terdapat dalam darah dan urin hingga 10 hari.
7

Halusinogen
Halusinogen sintetik klasik adalah asam lisergat dietilamid (LSD).

Meskipun sebagian besar zat halusinogenik bervariasi efek farmakologisnya, LSD


dapat berfungsi sebagai prototipe halusinogenik. Obat tersebut bekerja pada
sistem serotonergik, baik sebagai antagonis maupun agonis. Data saat ini
menunjukkan bahwa LSD bekerja sebagai agonis parsial pada reseptor serotonin
pascasinaps.
8 Nikotin
Komponen psikoaktif tembakau adalah nikotin, yang memengaruhi SSP
dengan bekerja sebagai agonis pada reseptor asetilkolin subtipe nikotinik. Sekitar
25% nikotin yang dihirup saat merokok mencapai aliran darah, dan melalui
pembuluh darah tersebut nikotin dapat mencapai otak dalam 15 detik. Waktu

paruh nikotin adalah sekitar 2 jam. Nikotin diyakini menghasilkan sifat penguat
positif dan adiktif dengan mengaktivasi jaras dopaminergik yang berjalan dari
area tegmental ventral ke koorteks serebri dan sistem limbik. Selain mengaktivasi
sistem reward dopamin ini, nikotin menyebabkan peningkatan konsentrasi
norepinefrin dan epinefrin yang bersirkulasi serta peningkatan pelepasan
vasopresin, beta endorfin, hormon adrenokortikotropik, dan kortisol. Hormonhormon ini dianggap berperan dalam efek stimulatorik dasar nikotin terhadap SSP.
9 Fensiklidin
Fensiklidin (Phenilcyclohexil Piperidin/ PCP) dikembangkan sebagai
anestetik disosiatif. Namun penggunaannya sebagai anestetik pada manusia
menimbulkan disorientasi, agitasi, delirium, dan halusinasi yang tidak
menyenangkan saat terbangun. PCP juga mengaktivasi neuron dopaminergik pada
area tegmental ventral, yang berjalan ke korteks serebri dan sistem limbik.5
2.5 Delirium yang diinduksi Zat Psikoaktif
Delirium pada putus alkohol merupakan bentuk putus zat yang paling parah,
yang juga disebut sebagai delirium tremens (DT). Delirium pada putus alkohol
adalah suatu kegawatdaruratan medis yang dapat mengakibatkan morbiditas dan
mortalitas yang signifikan. Pasien delirium dapat membahayakan dirinya sendiri
dan orang lain. Pasien delirium dapat menyerang atau bunuh diri atau bertindak
menurut halusinasi atau pikiran wahamnya seolah-olah benar-benar ada bahaya.5
Gambaran delirium pada intoksikasi alkohol mencakup hiperaktivitas
otonom seperti takikardia, diaforesis, demam, ansietas, insomnia, hipertensi,
distorsi persepsi (paling sering berupa halusinasi visual atau taktil), dan tingkatan
aktivitas psikomotor yang berfluktuasi (berkisar dari hipereksabilitas sampai
letargi). Gambaran delirium akibat benzodiazepine dan barbiturate mirip dengan
gambaran delirium akibat alkohol.5
Delirium yang diakibatkan oleh penggunaan amfetamin biasanya muncul
akibat penggunaan dosis tinggi atau terus menerus sehingga deprivasi tidur
memengaruhi tampilan klinis. Delirium akibat intoksikasi kanabis ditandai dengan
hendaya kognisi dan tugas performa yang nyata. Bahkan dosis sedang kanabis
dapat mengganggu memori, persepsi, koordinasi motorik, dan atensi. Dosis tinggi

yang juga mengganggu tingkat kesadaran pengguna menimbulkan efek nyata pada
pengukuran kognitif.5

Gunther M, Morandi A, Ely W. Pathophysiology of Delirium in the Intensive Care Unit. Crit Care
Clin 24 (2008) 4565.8

2.6 Manifestasi klinis delirium


Gambaran klinis delirium meliputi terganggunya kesadaran, seperti
penurunan tingkat kesadaran; terganggunya atensi yang mencakup berkurangnya
kemampuan memfokuskan, mempertahankan, atau mengalihkan atensi; hendaya
dalam bidang fungsi kognitif lain yang dapat bermanifestasi sebagai disorientasi
(khususnya terhadap waktu dan tempat) dan penurunan fungsi memori; awitan
yang relatif

cepat (biasanya dalam hitungan jam atau hari); durasi singkat

(biasanya selama beberapa hari atau minggu); dan seringkali fluktuasi keparahan
serta manifestasi klinis lain yang nyata dan tidak dapat diramalkan terjadi
sepanjang hari, kadang memburuk di malam hari (senja), terkadang dengan
hendaya kognitif serta disorganisasi yang cukup parah.5
Gambaran

klinis

terkait

sering

muncul

dan

menonjol,

meliputi

disgorganisasi proses pikir (berkisar dari tangensialitas ringan hingga inkoherensi


nyata), gangguan persepsi seperti ilusi dan halusinasi, hiperaktivitas dan
hipoaktivitas psikomotor, gangguan siklus tidur-bangun (gejala yang sering
berupa tidur yang terfragmentasi di malam hari, dengan atau tanpa rasa kantuk di
siang hari), perubahan mood (dari iritabilitas sampai disforia, ansietas, atau

bahkan euforia yang nyata), serta manifestasi lain dari fungsi neurologis yang
terganggu (contoh: hiperaktivitas atau instabilitas otonom, kejang mioklonik, dan
disartria).5
2.7 Diagnosis
a. Kriteria diagnosis4

Kriteria diagnosis DSM-IV-TR untuk delirium akibat kondisi medis umum


A. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap
lingkungan)

yang

ditandai

dengan

berkurangnya

kemampuan

memfokuskan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian


B. Adanya perubahan

dalam kognisi

(defisit memori, disorientasi,

gangguan berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan


dengan demensia
C. Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek, cenderung
berfluktuasi dalam sehari
D. Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan laboratorium
bahwa

gangguan disebabkan oleh konsekuensi fisiologik langsung

dari suatu kondisi medis umum.

Kriteria diagnosis DSM-IV-TR untuk delirium akibat intoksikasi zat


A. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap
lingkungan)

yang

ditandai

dengan

berkurangnya

kemampuan

memfokuskan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian


B. Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi,
gangguan berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan dengan
demensia
C. Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek, cenderung
berfluktuasi dalam sehari
D. Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium bahwa
simtom A dan B terjadi selama intoksikasi zat atau penggunaan
medikasi.
Catatan: Diagnosis ini sebaiknya dibuat untuk menggantikan diagnosis
intoksikasi zat hanya bila gejala kognitif melebihi yang biasa disebabkan oleh

sindrom intoksikasi dan bila gejala cukup parah hingga memerlukan


perhatian klinis tersendiri.
*Catatan: Diagnosis sebaiknya dicatat sebagai delirium terinduksi zat bila
berkaitan dengan penggunaan obat.
Kode delirium pada intoksikasi (zat spesifik):
(Alkohol; Amfetamin [atau zat yang menyerupai amfetamin]; Kanabis;
Kokain; Halusinogen; Inhalan; Opioid; Fensiklidin; Sedativa, hipnotik, atau
ansiolitik; Zat lain

Kriteria diagnosis DSM-IV-TR untuk delirium akibat putus zat


A. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap
lingkungan)

yang

ditandai

dengan

berkurangnya

kemampuan

memfokuskan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian


B. Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi,
gangguan berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan
dengan demensia
C. Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek, cenderung
berfluktuasi dalam sehari
D. Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium bahwa
delirium tersebut memiliki lebih dari satu etiologi (contoh: lebih dari satu
kondisi medis umum sebagai etiologi, satu kondisi medis umum
ditambah intoksikasi zat atau efek samping obat).
Catatan: Diagnosis ini sebaiknya dibuat sebagai ganti diagnosis keadaan
putus zat hanya bila gejala kognitif melebihi yang biasa disebabkan oleh
sindrom putus zat dan bila gejala cukup parah hingga memerlukan perhatian
klinis tersendiri.
Kode delirium pada intoksikasi (zat spesifik):
(Alkohol; Sedativa, hipnotik, atau ansiolitik; Zat lain

Kriteria diagnosis DSM-IV-TR untuk delirium yang tak tergolongkan


Kategori ini sebaiknya hanya digunakan untuk mendiagnosis delirium yang
tidak memenuhi kriteria untuk salah satu dari delirium tipe spesifik yang
telah dijelaskan di bagian ini.
contohnya meliputi:
1. Tampilan klinis delirium yang dicurigai diakibatkan oleh suatu kondisi

medis umum atau penggunaan zat namun belum ada cukup bukti untuk
menetapkan etiologi yang spesifik
2. Delirium akibat kausa yang tidak terdaftar di bagian ini (contoh:
deprivasi sensorik)
b. Pemeriksaan Fisik 3,9

Adanya bekas suntikan sepanjang vena di lengan,tangan kaki bahkan pada

tempat-tempat tersembunyi misalnya dorsum penis.


Pemeriksaan
fisik
terutama
untuk
menemukan

gejala

intoksikasi/overdosis/putus zat dan komplikasi medik seperti Hepatitis,

Eudokarditis, Bronkoneumonia, HIV/AIDS dan lain-lain.


Perhatikan terutama : kesadaran, pernafasan, tensi, nadi pupil,cara jalan,
sclera ikterik, conjunctiva anemis, perforasi septum nasi, caries gigi,
aritmia jantung, edema paru, pembesaran hepar dan lain-lain.

c. Pemeriksaan Laboratorium 3,9


Analisa Urin

Bertujuan untuk mendeteksi adanya zat psikoaktif dalam tubuh

(benzodiazepin, barbiturat, amfetamin, kokain, opioida, kanabis)


Pengambilan urin hendaknya tidak lebih dari 24 jam dari saat pemakaian
zat terakhir dan pastikan urine tersebut urine pasien.

d. Pemeriksaan Penunjang 3,4,5


Pemeriksaan EEG secara karakteristik menunjukkan perlambatan aktivitas
secara umum dan berguna untuk membedakan delirium dengan depresi ataupun
psikosis. EEG pada delirium kadang-kadang menunjukkan area hiperaktivitas
fokal. Pada delirium akibat putus alkohol ataupun zat sedatif EEG menunjukkan
aktivitas voltase rendah yang cepat.
2.8 Diagnosa Banding
a. Demensia

Onset demensia terjadi secara perlahan, berbeda dengan delirium yang


terjadi secara mendadak. Meski kedua kondisi tersebut mencakup hendaya
kognitif, perubahan pada demensia lebih stabil dengan berjalannya waktu dan
tidak berfluktuasi sepanjang hari.5
b. Gangguan psikotik dan Depresi
Beberapa pasien gangguan psikotik seperti skizofrenia atau episode manik
mungkin mengalami periode perilaku yang sangat kacau yang sulit dibedakan
dengan delirium. Namun, umumnya halusinasi dan waham pada pasien psikotik
akut lebih konstan dan lebih teratur dibandingkan dengan delirium. Pasien
psikotik akut biasanya tidak mengalami perubahan tingkat kesadaran atau
orientasi.
Pasien delirium dengan gejala hipoaktif mungkin akan tampak serupa
dengan pasien depresi berat namun dapat dibedakan berdasarkan EKG.5

2.9 Tatalaksana
a. Nonfarmakologis
Tatalaksana non farmakologis yang penting adalah memberikan dukungan
fisik, sensorik, dan lingkungan. Dukungan fisik dibutuhkan agar pasien delirium
tidak terjebak dalam situasi yang mencelakai dirinya sendiri. Pasien delirium
sebaiknya tidak mengalami deprivasi sensorik maupun dirangsang secara
berlebihan oleh lingkungan. Mereka biasanya akan terbantu dengan adanya teman
atau saudara di ruangan yang sama atau orang yang biasa dekat dengannya.
Orientasi yang teratur terhadap orang, tempat, dan waktu dapat membantu
membuat pasien delirium merasa nyaman.5
b. Farmakologis
Dalam pengobatan delirium, tujuan utamanya adalah mengatasi penyebab
yang mendasari.
Haloperidol:5

Haloperidol mempunyai rekam jejak terpanjang dalam mengobati


delirium, dapat diberikan per oral, IM, atau IV

Dosis haloperidol injeksi adalah 2-5 mg IM/IV dan dapat diulang

setiap 30 menit (maksimal 20 mg/hari)


Efek samping parkinsonisme dan akatisia dapat terjadi
Bila diberikan IV, dipantau dengan EKG adanya pemanjangan interval
QTc dan adanya disritmia jantung.

Benzodiazepin:
Di Amerika Serikat, benzodiazepin (BZD) telah ditetapkan sebagai obat
pilihan untuk pencegahan dan pengobatan DT. Benzodiazepin memodulasi
tindakan GABAA reseptor dengan meningkatkan afinitas neurotransmitter GABA
untuk reseptor. Biokimia, ini memungkinkan untuk lebih Cl-ion melintasi
membran terminal dan menyebabkan efek penghambatan. Peran utama dari BZD
adalah untuk mengganti GABA modulasi efek bahwa alkohol diberikan kepada
pasien. Farmakologi ini memberikan efek penghambatan dan akan membantu
dalam mengurangi gejala terkait dengan DT. Benzodiazepin telah terbukti aman
dan manjur dalam mencegah komplikasi yang terkait dengan DT . Pemilihan
sebuah BZD di rumah sakit tergantung pada beberapa faktor termasuk rute
pemberian , onset dan durasi tindakan , fungsi hati , dan Status formularium rawat
inap. Chlordiazepoxide, diazepam, lorazepam dan midazolam berada di kelas ini,
digunakan dalam pengaturan penarikan akut untuk mengobati DT.
Tidak ada penelitian yang menunjukkan satu BZD menjadi lebih mujarab
ketimbang yang lain. Ketika memilih sebuah BZD dalam pengobatan penarikan
etanol , yang dokter harus pertimbangkan ada banyak faktor . Semua BZDs
tersedia dalam bentuk sediaan oral dan intravena. Lorazepam mungkin
menguntungkan dalam beberapa situasi klinis karena menawarkan intramuscular
administrasi . Lorazepam tidak memiliki metabolit aktif , menjadikannya pilihan
yang menarik dalam pasien dengan fungsi hati atau fungsi ginjal menurun . Dosis
BZD digunakan selama DT dapat melebihi yang yang dianggap normal.
Farmakologis maksud dari terapi adalah untuk merangsang produksi GABA pada
tingkat yang akan dianggap setara dengan yang dihasilkan oleh etanol . pada 1
kasus , 2.640 mg diazepam intravena diberikan lebih dari 48 jam diperlukan untuk
mengendalikan pasien usia 34 tahun yang mengaku kondisi darurat dengan
penarikan alkohol akut.

2.10 Prognosis
Awitan delirium yang akut, gejala prodromalnya seperti gelisah dan
perasaan takut mungkin muncul pada awal awitan. Bila penyebabnya telah
diketahui dan dapat dihilangkan maka gejala-gejalanya akan menghilang dalam
waktu 3-7 hari dan akan hilang seluruhnya dalam waktu dua minggu.

BAB III
KESIMPULAN
1. Delirium adalah suatu sindrom yang ditandai dengan gangguan kesadaran
dan kognisi yang terjadi secara akut dan berfluktuasi. Delirium memiliki
banyak penyebab yang semuanya mengakibatkan pola gejala yang serupa
berkaitan dengan tingkat kesadaran dan gangguan kognitif pasien.
2. Penyebab utama delirium adalah penyakit susunan saraf pusat, penyakit
sistemik, serta intoksikasi maupun keadaan putus zat psikoaktif.
3. Penegakan diagnosis delirium yang diinduksi zat psikoaktif dapat
ditegakkan

berdasarkan

criteria

laboratorium, serta pemeriksaan EEG.

diagnosis,

pemeriksaan

fisik,

4. Tatalaksana dapat berupa non farmakologis dan farmakologis. Non


farmakologis terdiri dari memberikan dukungan fisik, sensorik, dan
lingkungan. Tatalaksana farmakologis dapat diberikan haloperidol ataupun
benzodiazepine (kecuali pada delirium akibat benzodiazepine).

DAFTAR PUSTAKA
1. Pisani, Margaret et al. Benzodiazepine and Opioid Use and The Duration
of ICU Delirium in an Older Population. Crit Care Med. 2009; 37(1):
177183.
2. Sadock & Virginia. 2000. Kaplan & Sadock's Comprehensive Textbook of
Psychiatry. Lippincott Williams & Wilkins Publishers; 7th edition.
3. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia. 2010. Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 420/Menkes/SK/ii/2010. Pedoman Layanan Terapi Dan
Rehabilitasi Komprehensif Pada Gangguan Penggunaan Napza Berbasis
Rumah Sakit. Hal: 1-92

4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa. 2012. Pedoman Nasional


Pelayanan Kedokteran Jiwa/Psikiatri. PP PDSKJI.
5. Sadock & Virginia. 2010. Kaplan & Sadocks Concise Textbook Clinical
Psychiatry. 2nd edition. Jakarta: EGC.
6. Nevid, J. S., et al. 2005. Psikologi Abnormal. Edisi Kelima. Jakarta:
Erlangga.
7. American Psychiatric Association. 2000. Diagnostic and statistical
manual of mental disorders. (4th ed.,textrevision). Washington D. C.
8. Gunther M, Morandi A, Ely W. Pathophysiology of Delirium in the
Intensive Care Unit. Crit Care Clin. 2008. 4565.
9. Ricardo P. 2010. Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba Oleh
Kepolisian (Studi Kasus Satuan Narkoba Polres Metro Bekasi). Jurnal
Kriminologi Indonesia. Vol. 6 No.III Desember: 232 245.
10. Smith, Brian et al. Management of Delirium Tremens. Journal of Intensive
Care Medicine. 2005; 20: 164.

Anda mungkin juga menyukai