Anda di halaman 1dari 23

BAB 1

PENDAHULUAN
Rhinitis adalah peradangan lapisan mukosa hidung. Gejala rinitis alergi berupa bersin
(5-10 kali berturut-turut), rasa gatal (pada mata, telinga, hidung, tenggorok, dan palatum),
hidung berair, mata berair, hidung tersumbat, post nasal drip, tekanan pada sinus, dan rasa
lelah. Rinitis alergi menjadi masalah kesehatan global yang menyerang 5-50% penduduk.
Anak dan dewasa muda dengan rinitis alergi mengalami gangguan aktifitas fisik, maupun
sosial dan terjadi perasaan mental tidak sehat.
Rinitis alergi musiman adalah rinitis yang dipicu oleh allergen serbuk sari, spora
lumut selama musim semi, musim panas, maupun musim gugur. Rinitis alergi perenial
menunjukkan gejala hayfever sepanjang tahun yang dipicu oleh alergen dalam rumah, seperti:
debu rumah tangga, kecoa, spora lumut, bulu binatang, dan sebagainya. ARIA (Allergic
Rhinitis and its Impact on Asthma) membuat klasifikasi rinitis alergi berdasarkan lama dan
seringnya timbul gejala, dan berdasarkan gejala yang dialami pasien, bukan berdasarkan
penyebab. Klasifikasi baru membagi rinitis alergi menjadi 2 kategori, yaitu intermiten dan
persisten. Kategori intermiten adalah apabila gejala timbul kurang dari 4 hari per minggu atau
kurang dari 4 minggu, sedangkan kategori persisten adalah apabila gejala timbul lebih dari 4
hari dalam seminggu dan berlangsung lebih dari 4 minggu.
Penderita rinitis alergi mempunyai resiko berlanjut menjadi asma (3). Rinitis alergi
dan asma merupakan penyakit inflamasi yang sering timbul bersamaan. Dokter perlu
mengevaluasi adanya riwayat asma pada pasien dengan rinitis alergi yang menetap. Evaluasi
dapat dilakukan melalui pemeriksaan sinar X, pemeriksaan adanya sumbatan saluran nafas
sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator. Bukti epidemiologis adanya hubungan antara
rinitis dan asma adalah 1) prevalensi asma meningkat pada rinitis alergi dan non alergi; 2)
rinitis hampir selalu dijumpai pada asma; 3) rinitis merupakan faktor resiko terjadinya asma;
dan, 4) pada persisten rinitis terjadi peningkatan hipereaktivitas bronkus non spesifik.
Penelitian epidemiologi menunjukkan prevalensi rinitis alergi dan asma meningkat di seluruh
dunia termasuk di AS (4). Sekitar 56 juta orang atau 20% penduduk AS menderita rinitis
alergi dan 5% menderita asma (5). Berbagai penelitian menunjukkan 78- 94% penderita asma
pada remaja dan dewasa juga menderita rinitis alergi, dan 38% penderita rinitis alergi juga
menderita asma.
Adanya potensi keterkaitan antara rinitis alergi dan asma menunjukkan pentingnya
pengendalian rinitis alergi. Disamping itu rinitis alergi yang tidak dikendalikan dengan baik
akan mengganggu aktifitas sehari-hari. Strategi pengendalian rinitis harus diawali dengan
mengenali berbagai faktor yang menjadi resiko atau pencetus terjadinya rinitis alergi.

Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji faktor-faktor yang diduga menjadi resiko terjadinya
rinitis alergi pada pasien anak .
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Nasal
Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung dengan
pendarahan serta persarafannya, serta fisiologi hidung. Hidung luar berbentuk piramid
dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah:
a Pangkal hidung (bridge)
b Batang hidung (dorsum nasi)
c Puncak hidung (hip)
d Ala nasi
e Kolumela
fLubang hidung ( nares anterior )
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Lubang
masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior, tepat dibelakang disebut dengan
vestibulum. Vestibulum dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar subasea dan
rambut panjang yang disebut vibrise. Sedangkan nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Tiap kavum nasi mempunyai empat buah
dinding, yaitu dinding lateral, medial, inferior, dan superior.

Gambar 1. Anatomi Hidung

Gambar 2. Batas lateral kavum nasi (lubang hidung)


Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang
rawan. Bagian tulang adalah 1) lamina perpendikularis os etmoid, 2) vomer, 3) krista nasalis
os maksila dan 4) krista nasalis os palatine. Bagian tulang rawan adalah 1) kartilago septum
(lamina kuadrangularis) dan 2) kolumela.

Gambar 3. Kartilago septum nasi sisi lateral


Dinding lateral terdapat 4 buah konka yaitu yang terbesar bagian bawah konka inferior
kemudian lebih kecil adalah konka media dan lebih kecil lagi konka superior dan yang
terkecil disebut konka suprema yang biasanya rudimenter. Diantara konka dan dinding lateral
hidung terdapat meatus nasi yang jumlahnya tiga buah, yaitu meatus inferior, meatus media,
dan meatus superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan
dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus
nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga
hidung yang bermuara pada sinus frontalis, sinus etmoid anterior dan sinus maksilaris. Pada
meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat
muara sinus etmoid posterior dan sinus sphenoid.

Gambar 4. Konka nasi


Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os
palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribriformis
merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang
(kribrosa=saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior,
atap rongga hidung dibentuk oleh os sphenoid.
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa secara histologi dan fungsional dibagi atas mukosa
pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktori). Mukosa
pernafasan dilapisi oleh epitel pseudokolumnar berlapis yang mempunyai silia dan terdapat
sel-sel goblet. Dalam keadaan normal warna mukosa adalah merah muda dan selalu basah
karena diliputi oleh palut lendir. Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak
sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat
disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental, dan obat-obatan.
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior, dan sepertiga bagian
atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel pseudostratified columnar tidak bersilia. Daerah
mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.
Rongga hidung bagian bawah mendapat perdarahan dari cabang arteri maksilaris
interna, diantaranya adalah ujung a. palatina mayor dan a. splenopalatina yang keluar dari
foramen splenopalatina bersama n. splenopalatina. Hidung bagian depan mendapat
perdarahan dari a. fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis cabang a.
splenopalatina, a. etmoidalis anterior, a. palatina mayor, dan a. labialis superior yang
membentuk Pleksus Kiesselbach yang mudah cedera oleh trauma sehingga sering menjadi
sumber epistaksis anterior. Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan
sensoris dari n. etmoidalis anterior yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris yang berasal
dari n. ophtalmicus. Rongga hidung lainnya sebagian lainnya mendapat persarafan sensoris
4

dari n. maksilaris melalui ganglion spenopalatina. Ganglion spenopalatina selain memberikan


persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa
hidung. Ganglion ini menerima serabut sensoris dari n. maksilaris (N V2), serabut
parasimpatis dari n. petrosus superfisialis mayor dan serabut simpatis dari n. petrosus
profunda.
Ganglion spenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka
media. N. olfaktorius turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius
dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di sepertiga
atas hidung.
2.2. Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional. Fungsi hidung dan
sinus paranasal adalah 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning),
penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme
imunologik lokal, 2) fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir
udara untuk menampung stimulus penghidu, 3) fungsi fonetik berguna untuk resonansi suara,
membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang, 4)
fungsi statis dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma, dan
pelindung panas, 5) refleks nasal.

2.3 Rhinitis Alergi


2.3.1. Definisi
Pengertian rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik
tersebut (von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on
Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,
rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai
oleh IgE.
Pengertian rhinitis alergi adalah inflamasi pada membran mukosa hidung yang
disebabkan oleh adanya alergen yang terhirup yang dapat memicu respon hipersensitivitas.
Rhinitis adalah istilah untuk peradangan mukosa.Menurut sifatnya dapat dibedakan
menjadi dua yaitu Rhinitis akut (coryza, commond cold) merupakan peradangan membran
mukosa hidung dan sinus-sinus aksesoris yang disebabkan oleh suatu virus dan
bakteri.Penyakit ini dapat mengenai hampir setiap orang pada suatu waktu dan sering kali
5

terjadi pada musim dingin dengan insidensi tertinggi pada awal musim hujan dan musim
semi.

2.3.2 Etiologi
Rhinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik
dalam berkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada
ekspresi rinitis alergi (Adams, Boies, Higler, 1997). Penyebab rinitis alergi tersering adalah
alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anakanak. Pada anak-anak sering disertai
gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rhinitis alergi dapat
berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen.
Alergen yang menyebabkan rhinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur.
Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama
tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur,
binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya
debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor
kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya
jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor
nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan
perubahan cuaca (Becker, 1994).
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah,
tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur,
coklat, ikan dan udang.
Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau
sengatan lebah.
Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003).
Alergen makanan yang paling sering dijumpai pada penelitian ini adalah udang (40%)
dan selanjutnya berturut-turut coklat (32%), kuning telur (24%), kacang-kacangan (20%),
susu sapi (16%), kedelai (16%), ikan (16%), putih telur (12%) dan kepiting (8%). Alergen
hirup paling banyak dijumpai adalah tungau debu rumah (36%) dan serpihan kulit anjing

(36%), selanjutnya berturut-turut serpihan kulit kucing (32%), debu rumah (24%), katun
(24%), kecoa
(20%), kapuk (20%), bulu (campuran) (16%), aspergilus fumigatus (12%), alternaria (8%),
bulu kelinci (4%), bulu burung (4%), dan Candida albicans (4%).
Faktor risiko terjadinya rinitis alergi meliputi:
(1) Riwayat atopi keluarga;
(2) IgE serum lebih tinggi daripada 100 IU/mL pada anak di bawah usia 6 tahun;
(3) Keluarga dengan sosial ekonomi yang tinggi;
(4) Paparan terhadap alergen rumah tangga seperti hewan dan tungau debu rumah tangga;
(5) Uji kulit tusuk positif.
Faktor predisposisi terjadinya alergi adalah faktor genetik dan faktor lain misalnya
pemaparan dengan virus-virus tertentu. Pemaparan alergen virus jangka lama dapat
menyebabkan eksem, dermatitis atopi, hay fever dan asma. Hal ini dapat muncul bersamaan
atau salah satu muncul lebih dulu.
2.3.4 Klasifikasi
Klasilikasi rhinitis alergi sebelumnya dibagi berdasarkan waktu pajanan menjadi
rhinitis musiman (seasonal), sepanjang tahun (perennial) dan akibat kerja. Pembagian ini
ternyata tidak memuaskan. Maka disusunlah klasifikasi baru rhinitis alergi menurut WHOARIA (2001):
1. Menggunakan parameter gejala dan kualitas hidup
2. Berdasarkan atas lamanya, dan dibagi dalam penyakit "intermiten" atau "persisten
3. Berdasarkan derajat berat penyakit, dan dibagi dalam "ringan' atau "sedang-berat'
tergantung
dari gejala dan kualitas hidup. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan
aktivitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.
Rhinitis alergi musiman adalah rinitis yang dipicu oleh allergen serbuk sari, spora
lumut selama musim semi,musim panas, maupun musim gugur. Rinitis alergi perenial
menunjukkan gejala hayfever sepanjang tahun yang dipicu oleh alergen dalam rumah, seperti:
debu rumah tangga, kecoa, spora lumut, bulu binatang, dan sebagainya. ARIA (Allergic
Rhinitis and its Impact on Asthma) membuat klasifikasi rinitis alergi berdasarkan lama dan
7

seringnya timbul gejala, dan berdasarkan gejala yang dialami pasien, bukan berdasarkan
penyebab.
Klasifikasi baru membagi rinitis alergi menjadi 2 kategori, yaitu intermiten dan
persisten. Kategori intermiten adalah apabila gejala timbul kurang dari 4 hari per minggu atau
kurang dari 4 minggu, sedangkan kategori persisten adalah apabila gejala timbul lebih dari 4
hari dalam seminggu dan berlangsung lebih dari 4 minggu.
Penderita rinitis alergi mempunyai resiko berlanjut menjadi asma. Rinitis alergi dan
asma merupakan penyakit inflamasi yang sering timbul bersamaan. Dokter perlu
mengevaluasi adanya riwayat asma pada pasien dengan rinitis alergi yang menetap. Evaluasi
dapat dilakukan melalui pemeriksaan sinar X, pemeriksaan adanya sumbatan saluran nafas
sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator.

2.3.4. Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate
phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak
dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi
fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas)
setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.

Gambar 2.1 Patofisiologi alergi (rinitis, eczema, asma) paparan alergen pertama dan selanjutnya
(Benjamini, Coico, Sunshine, 2000).

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit
yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen
yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk
fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek
peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan
pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 dan IL-13 dapat
diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan
akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan
diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua
sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua
rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk
(Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed
Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT
C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6,
GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang
disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
9

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga


menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan
kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat
sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.
Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada
mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak
berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah
pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi
seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan
sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GMCSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung
adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic
Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik
(alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau
yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan,
Rusmono, 2008).
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan
pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang
interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada
jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat
serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat
terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan
yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga
tampak mukosa hidung menebal. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi
reaksi yang secara garis besar terdiri dari:
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan
dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut
menjadi respon sekunder.

10

2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem
imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada
tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem
imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat
sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh. Gell dan Coombs
mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate
hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4
atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang
banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi (Irawati, Kasakayan,
Rusmono, 2008).
2.3.5. Manifestasi klinis
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya
bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak
dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses
membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya
lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai
bersin patologis (Soepardi, Iskandar, 2004). Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer
dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan
banyak air mata keluar (lakrimasi).
Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring. Tanda
hidung termasuk lipatan hidung melintang garis hitam melintang pada tengah punggung
hidung akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic
salute), pucat dan edema Universitas Sumatera Utara mukosa hidung yang dapat muncul
kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di mata
termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic
shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi membran timpani atau otitis media serosa
sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal termasuk faringitis granuler
akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid. Tanda laringeal termasuk suara serak dan
11

edema pita suara (Bousquet, Cauwenberge, Khaltaev, ARIA Workshop Group. WHO, 2001).
Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi,
penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami
lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur
2.3.6 Diagnosis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan
pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi
yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore)
yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang
disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat
merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien (Irawati,
Kasakayan, Rusmono, 2008). Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta
onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik dan herediter
sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan
dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau
lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus
encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata merah serta berair maka dinyatakan
positif (Rusmono, Kasakayan, 1990).
2. Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu
bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung
(Irawati, 2002). Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang
pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering
digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic salute). Pada pemeriksaan rinoskopi
ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan sekret
yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang
dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis
bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media (Irawati,
2002).

12

3. Pemeriksaan Penunjang
a

Pemeriksaan Sitologi Hidung


Apabila pada pemeriksaan sitologi sekret hidung didapatkan lebih dari 10% eosinofil

maka dapat diindikasikan rhinitis alergi. Namun kadangkala adanya eosinofil dalam sekret
hidung dapat dijumpai pada non-rhinitis alergi. Eosinofil tidak dapat ditemukan pada
penderita yang mengalami perbaikan, infeksi, dan mendapat terapi kortikosteroid fokal atau
sistemik.
b

IgE Total
IgE total dianggap meningkat bila lebih dari 100-159 kU/I, ini dapat terjadi pada

penderita alergi atau pada penderita dengan infestasi parasit dan 50% penderita rhinitis alergi
musiman (RAS) kadar IgEnya normal, jadi pemeriksaan igE total terbatas manfaatnya.
c

Tes Kulit
Tes kulit terhadap suatu alergen diindikasikan untuk memberikan bukti adanya dasar

alergi pada gejala penderita, untuk mengkonfirmasi penyebab keluhan yang dicurigai atau
untuk melihat derajat sensitifitas untuk alergi terrtentu. Tes kulit ini lebih disukai karena
sederhana, cepat, mudah, relatif murah, dan sensitifitas tinggi. Pada saat pemeriksaan kulit,
harus dikerjakan dengan teknik yang benar untuk mendapatkan hasil yang akurat. Intepretasi
hasil tes kulit yang tepat perlu pengetahuan, aeroallergen apa yang penting secara lokal dan
klinis penting memungkinkan adanya reaksi silang.
Tes kulit melibatkan perkenalan yang dikendalikan alergen dan zat kontrol ke dalam
kulit. Test Percutaneous adalah jenis yang paling umum yang di uji pada kulit dan lebih
disukai dalam primer care karena nyaman, aman, dan luas, dapat diterima. Kadang-kadang
test intradermal digunakan (kebanyakan oleh peneliti dan subspesialis alergi), adalah lebih
sensitif tetapi kurang spesifik daripada tes percutaneous. Tidak jelas metode mana lebih
unggul, namun terdapat peningkatan kekhawatiran keamanan menggunakan tes kulit
intradermal.
Rhinitis alergi memiliki respon immediate atau respon delayed. Tes kulit (Skin test)
dapat ditimbulkan dari kedua respon tersebut. Namun tujuan utama skin test adalah untuk
mendeteksi langsung respon alergi yang ditimbulkan oleh pelepasan sel mast atau basofil
mediator spesifik Ig E. yang mana menyebabkan reaksi setelah 15 menit. Pada respon
delayed terjadi empat sampai delapan jam setelah terpapar alergen tersensitiasasi dan kurang
berguna dalam diagnos klinis.
13

Tes kulit (skin-test) alergi dilakukan dengan uji tusukan yaitu dengan menempatkan
setetes larutan uji pada kulit dan menusuk melalui drop dengan alat yang tajam, atau melalui
uji intracutaneous (intradermal) dimana sejumlah kecil larutan uji disuntikkan ke dalam kulit.
Menurut literature uji tusukan lebih disukai untuk pengujian awal, karena lebih murah, lebih
cepat, kurang nyaman, dan kepekaan klinisnya lebih baik daripada uji intrakutaneus.
d

Tes Provokasi
Tes provokasi hidung dengan alergen sangat bermanfaat pada penelitian, namun

potensi terjadinya serangan alergi, sehingga tidak dilakukan untuk pemeriksaan rutin. Dalam
tes provokasi hidung mukosa hidung dipaparkan dengan alergen atau bahan iritan dan
kemudian reaksi dipantau. Provokasi adalah alat yang berguna dalam pekerjaan penelitian
dan dalam kasus untuk verifikasi diagnosis alergi dibutuhkan. Dalam pekerjaan klinis,
mayoritas pengujian provokasi dilakukan dengan alergen. Selain itu digunakan untuk menilai
reaktivitas non-spesifik pada hidung dan reaksi yang telah diinduksi dengan beberapa zat
kimia dan juga dengan rangsangan fisik.
Ada beberapa teknik provokasi hidung yaitu dengan agen larut yang ditetes kedalam
hidung, dengan disemprot atau dinebul ke dalam hidung (diuapkan) atau rongga hidung
dicuci dengan larutan uji untuk aplikasi topikal dapat dilakukan dengan kertas disk.
Hasil dari provokasi dapat dinilai dengan pengamatan berupa bersin, discharge
hidung dan pembengkakkan mukosa dengan rhinoscopy. Sensasi sekresi hidung subjek, gatalgatal dan kongesti pada semiquantitative skor atau skala analog visual. Menghitung bersin
merupakan cara yang sederhana untuk menilai respon iritasi.
Metode lain yang sederhana adalah dengan mengukur volume sekresi yang timbul,
dikumpulkan dengan membiarkan menetes ke dalam saluran dengan mengisap. Ditimbang
disaputangan, sekresi ke disk kertas preweighed dan reweighed. Perbedaan bobot
mencerminkan jumlah sekresi dikumpulkan dalam jangka waktu yang tetap. Rinomanometri
diterima secara luas sebagai metode objektif yang akurat sebagai respon dalam mengukur
perubahan dalam saluran napas hidung resistensi (NAR).
e

Immunoassay
Pemeriksaan rasioallergo test (RAST) dan enzyme link immune sorbent test (ELISA),

untuk memeriksa pelepasan mediator selama reaksi alergi dengan mengukur mediator/enzim
yang dilepaskan dalam darah.
Test alergen antibody spesifik IgE radioallergosorbent testing (RAST]) adalah
bermanfaat pada primary care, jika tes perkutaneus tidak praktis misalnya, masalah dengan
penyimpanan reagen, keahlian, frekuensi penggunaan, staf pelatihan) atau jika pasien
14

menjalani pengobatan yang terganggu dengan adanya test pada kulit (skin test) misalnya,
antidepresan trisiklik, antihistamin. RAST sangat spesifik namun umumnya tidak sensitif
seperti skin test.
RAST berguna untuk mengidentifikasi alergen umum (misalnya, bulu hewan
peliharaan, tungau debu, serbuk sari), tetapi kurang berguna dalam mengidentifikasi
makanan, racun, atau alergi obat. Tes alergi pada anak-anak memiliki tantangan tersendiri.
Banyak literatur memberikan rekomendasi berdasarkan bukti untuk test alergi pada anak
dengan berbagai penyakit alergi (misalnya, rhinitis, asma, alergi makanan). Tes perkutaneus
sesuai untuk anak-anak tiga tahun dan lebih tua dan RAST biasanya tepat pada usia berapa
pun. Beberapa literatur merekomendasikan bahwa dasar keputusan melakukan test oleh sang
dokter adalah berdasarkan riwayat klinis, rekomendasi usia dewasa; melakukan tes hanya bila
diperlukan untuk mengubah terapi atau untuk memperjelas diagnosis.

Atau pemeriksaan penunjang lainnya adalah:


a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai
normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain
rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan
RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay
Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap
berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak
menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi
makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri (Irawati,
2002).
b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET
dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi
yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi
serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui (Sumarman, 2000). Untuk alergi
makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya
15

ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test). Alergen ingestan secara
tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan
yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati
reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan
sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan (Irawati,
2002).
2.3.7 Diagnosis Banding
Diagnosa banding dari rhinitis alergi adalah sebagai berikut:
1 Rhinitis Non-alergik
Rhinitis non-alergik adalah suatu keadaan inflamasi hidung
yang disebabkan oleh selain alergi. Keadaan ini tidak dapat
diidentifikasi

dengan

pemeriksaan

alergi

yang

sesuai

(anamnesis, tes cukit kulit, kadar antibodi IgE spesifik serum).


Kelainan ini dapat bermacam-macam bergantung dari
penyebabnya, antara lain:
Rhinitis vasomotor
Rhinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa
adanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan,
hipertiroid), dan pajanan obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, B-bloker,
aspirin, klorpromazin dan obat topikal hidung dekongestan).
Biasanya penderita rhinitis vasomotor tidak mempunyai riwayat alergi pada
keluarganya. Mereka menjelaskan fenomena iritatifnya dimulai di usia
dewasa. Jarang terjadi bersin dan rasa gatal.
Hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan, tergantung pada posisi pasien.
Terdapat rinorea yang mukus atau serosa, kadang agak banyak. Jarang
disertai bersin dan tidak disertai gatal di mata. Gejala memburuk pada pagi
hari waktu bangun tidur karena perubahan suhu yang ekstrim, udara
lembab, juga karena asap rokok dan sebagainya.
Rhinitis medikamentosa
Rhinitis medikamentosa adalah kelainan hidung berupa gangguan respon
normal vasomotor sebagai akibat pemakaian vasokontriktor topikal dalam

16

waktu lama dan berlebihan sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang


menetap.
Obat vasokonstriktor topikal dari golongan simpatomimetik akan
menyebabkan siklus nasal terganggu dan dakan berfungsi kembali bila
pemakaian dihentikan. Pemakaian vasokontriktor topikal yang berulang dan
waktu lama akan menyebabkan terjadinya fase dilatasi ulang (rebound
dilatation) setelah vasokontriksi, sehingga timbul obstruksi. Bila pemakaian
obat diteruskan maka akan terjadi dilatasi dan kongesti jaringan,
perttambahan mukosa jaringan dan rangsangan sel-sel mukoid sehingga
sumbatan akan menetap dan produksi sekret berlebihan.
Selain vasokontriktor topikal, obat-obatan yang dapat menyebabkan edema
mukosa diantaranya adalah asam salisilat, kontrasepsi oral, hydantoin,
estrogen, fenotiazin, dan guanetidin. Sedangkan obat-obatan yang
menyebabkan kekeringan pada mukosa hidung adalah atropin, beladona,
kortikosteroid dan derivat katekolamin.
Pada rhinitis medikamentosa terdapat gejala hidung tersumbat terus
menerus, berair. Pada pemeriksaan edema/hipertrofi konka dengan secret
hidung berlebihan. Apabila diberi tampon adrenalin, edema konka tidak
berkurang.
Rhinitis hormonal
Gastro-oesophageal reflux
2 Immotile cilia syndrome (ciliary dyskinesis)
Diskinesia Silia Primer (PCD, juga disebut sindrom immotilesilia) ditandai oleh penurunan nilai bawaan dari clearance
mukosiliar (PKS). Manifestasi klinis termasuk batuk kronis, rinitis
kronis, dan sinusitis kronis. Otitis dan otosalpingitis yang umum di
masa kanak-kanak, seperti juga poliposis hidung dan agenesis
sinus frontalis.
3
4
5
6
7
8
9

Polyposis
Cerebrospinal rhinorrhea
Tumor benigna/maligna
Deviasi septum
Foreign bodies
Blocked nostril (choanal atresia)
Penyakit granulomatous

17

2.3.8 Tatalaksana
1

Non Farmakoterapi
Menghindari faktor alergen merupakan terapi yang pertama kali perlu dilakukan.

Menghindari alergen kausal merupakan dasar pendekatan untuk mencegah munculnya gejala
alergi.
2

Farmakoterapi
Saat memilih terapi yang cocok bagi rhinitis alergi, beberapa hal yang menjadi

pertimbangan adalah keadaan penyakit penderita saat itu, gejala yang paling dominan, umur,
gejala saluran pernafasan lain yang ada di penderita serta riwayat, riwayat pengobatan yang
sebelumnya.
a

Antihistamin
Antihistamin banyak dipilih sebagai terapi lini pertama dan banyak dari tipe
antihistamin bisa dibeli tanpa resep dokter. Obat ini memblokir reseptor H1 menghalangi
terjadinya reaksi histamin seperti mencegah peningkatan permeabilitas vaskuler,
mencegah kontraksi otot polos, meningkatkan produksi mukus dan mencegah pruritus.
Oleh karena obat ini menghilangkan gejala reaksi histamin di kulit, penderita tidak
dianjurkan untuk mengkonsumsinya beberapa hari sebelum dilakukan tes cukit kulit
karena hasilnya dapat menjadi negatif. Pada tes in vitro, mengkonsumsi antihistamin
tidak akan berpengaruh pada hasil tes. Antihistamin sangat efektif pada reaksi alergi fase
cepat (RAFC) sehingga dapat mencegah gejala bersin, rinore, dan pruritus namun kurang
berpengaruh pada reaksi alergi fase lambat (RAFL) contohnya sumbatan hidung (nasal
congestion/blockers). Antihistamin generasi pertama yang banyak bisa dibeli tanpa resep
mempunyai efek sedasi sehingga berpengaruh terhadap penurunan prestasi dan tumpuan
penderita Efek samping yang lain adalah efek antikolinergik yang dapat mengakibatkan
mulut kering contohnnya difenhidramin, hidroksizin, klorfeniramin dan bromfeniramin.
Generasi kedua sangat kecil sekali kemungkinan mengikat reseptor H1 sentral,
sehingga mengurangi efek sedasi serta tidak berefek antikolinergik. Golongan ini
diabsorpsi secara baik, kerja cepat dan menghilangkan gejala dalam waktu sejam.
Pemakaiannya cukup sekali sehari dan tidak menimbulkan efek penggunaan jangka
panjang contohnya loratadin dan levosetirisin.

Kortikosteroid intranasal
18

Kortikosteroid intranasal mungkin adalah terapi yang paling efektif bagi tiap tingkat
gejala rhinitis alergi. Keberhasilan maksimal timbul pada minggu pertama sampai kedua dari
hari pertama penggunaan. Efektifitasnya tergantung pemakaian yang sering dan keadaan
hidung yang adekuat untuk inhalasi obat. Obat ini turut bekerja pada RAFL sehingga
mencegah terjadinya peningkatan sel inflamasi yang mendadak. Formulasi mutakhir seperti
triamsinolon, budesonid dan flutikason mempunyai ciri absorpsi sistemik yang minimal
dengan hampir tiada efek samping sistemik sehingga aman pada tiap golongan umur
termasuk anak-anak. Efek samping lokal seperti hidung kering dan epistaksis dapat diregulasi
dengan instruksi pemakaian yang benar.
c

Kortikosteroid sistemik
Preparat ini sesuai bagi gejala sangat berat yang menetap. Pemberiannya adalah

melalui intramuskular atau per oral. Jika lewat oral, penurunan dosis secara tapering off
diberikan dalam tiga sampai tujuh hari. Obat ini bertindak terhadap inflamasi justru
menurunkan gejala rhinitis alergi secara signifikan. Namun pada penggunaan jangka panjang
dapat timbul efek samping yang serius seperti penekaan aksis HPA dan efek samping
kortikosteroid sistemik lain yang lazim ditemukan.
d

Dekongestan
Dekongestan bekerja pada reseptor -adrenergik di hidung, menimbulkan efek

vasokonstriksi sehingga kongesti nasal dikurangi. Kongesti rongga hidung berkurang namun
obat ini tidak mengatasi gejala lainnya seperti rinore, bersin, dan pruritus. Obat ini banyak
ditemukan dalam preparat flu yang bisa dibeli tanpa resep namun pemakaian pada penderita
dengan kelainan jantung dan hipertensi harus dengan berhati-hati. Dekongestan intranasal
seperti oksimetazolin dapat menimbulkan kekambuhan kongesti nasal serta menimbulkan
ketergantungan pada pemakaian lebih dari tiga hari (rhinitis medikamentosa).
e

Antikolinergik intranasal
Obat ini berpengaruh dalam mengurangi gejala rinore namun tidak gejala lainnya.

Contohnya adalah ipatrium bromida dan obat ini dapat digunakan dengan obat alergi lainnya
terutama bagi penderita dengan rhinitis alergi tipe sepanjang tahun (perennial).

Kromolin intranasal

19

Preparat ini harus digunakan sebelum munculnya gejala untuk menjadi efektif.
Penggunaannya harus sepanjang paparan terhadap alergen dengan dosis sehingga empat kali
sehari dan cukup aman bagi penderita.
g

Inhibitor leukotrien
Obat ini mengatasi kelebihan plasebo dalam menangani rhinitis alergi namun masih

jauh ketinggalan efeknya berbanding antihistamin dan kortikosteroid intranasal.


3

Imunoterapi
Tujuan terapi ini adalah untuk meningkatkan ambang batas (threshold) sebelum

munculnya gejala pada penderita yang terpapar pada alergen. Mekanisme kerja terapi imun
ini masih belum jelas dimengerti. Indikasi imunoterapi adalah penggunaan farmakoterapi
jangka panjang, terapi farmakologi yang tidak adekuat dan tidak dapat ditoleransi oleh
penderita serta sensitifitas signifikan terhadap alergen. Sebelum memulai imunoterapi, harus
ditentukan alergen yang tepat pada penderita. Di Amerika Serikat yang biasa dilakukan
adalah penyuntikan alergen secara subkutan yang gradual sehingga timbul reaksi sistemik
yang ringan atau reaksi lokal yang berat. Teknik lain adalah pemberian secara sublingual
yang terutama dianuti di Eropa. Teknik ini lebih aman dan mudah dilakukan sendiri oleh
penderita di rumah.
4 . Operatif
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior
hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25%
atau triklor asetat.
2.3.9 Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah: a. Polip hidung yang memiliki tanda
patognomonis: inspisited mucous glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa
banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan
metaplasia skuamosa. b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak. c.
Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi
akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang menyebabkan sumbatan
ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut
akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan akan menyebabkan
rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa
yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah (Durham,
2006).
20

2.3.10 Prognosis
Secara umum, pasien dengan rinitis alergi tanpa komplikasi yang respon dengan
pengobatan memiliki prognosis baik. Pada pasien yang diketahui alergiterhadap serbuk sari,
maka kemungkinan rinitis pasien ini dapat terjadi musiman.Prognosis sulit diprediksi pada
anak-anak dengan penyakit sinusitis dan telinga yangberulang. Prognosis yang terjadi dapat
dipengaruhi banyak faktor termasuk statuskekebalan tubuh maupun anomali anatomi.
Perjalanan penyakit rinitis alergi dapatbertambah berat pada usia dewasa muda dan tetap
bertahan hingga dekade lima danenam. Setelah masa tersebut, gejala klinik akan jarang
ditemukan karena menurunnyasistem kekebalan tubuh.

BAB 3
KESIMPULAN

1. Rinitis alergi adalah kelainan berupa inflamasi pada hidung dengan gejala bersin-bersin,
rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yangdiperantarai
oleh IgE.
2. Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yangsecara
genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan
21

3.Peran lingkungan

pada kejadian rhinitis

alergi adalah sangat penting, ditinjau darifaktor

alergen yang mensensitisasi terjadinya penyakit ini.


4. Pengobatan paling efektif dari rinitis alergi adalah menyingkirkan faktor penyebabyang
dicurigai (avoidance), dimana apabila tidak dapat disingkirkan dapat dibantudengan terapi
medika mentosa hingga pembedahan.
5. Pasien dengan rinitis alergi tanpa komplikasi yang respon dengan pengobatan
memiliki prognosis baik

DAFTAR PUSTAKA
Adams G., Boies L., Higler P., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
Bailey BJ et al. Head and neck Surgery-Otolaryngology: Third Edition. 2001.
Philadelphia: Lippincott William & Wilkins.
Ghanie A. 2007. Penatalaksanaan Rhinitis Alergi Terkini. Palembang: Universitas
Sriwijaya
Harsono G, Munasir Z, et al. 2007. FAKTOR YANG DIDUGA MENJADI RESIKO
PADA ANAK DENGAN RINITIS ALERGI DI RSU DR. CIPTO MANGUNKUSUMO
22

JAKARTA. Bagian Anak, RSUD Dr.Moewardi Surakarta: Jurnal Kedokteran Brawijaya vol.
XXIII no. 3
Jan L., Jean B, et al. 2010. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA)
guidelines. American Academy of Allergy, Asthma & Immunology: J Allergy Clin Immunol
2010;126:466-76.
Nadraja I. 2011. PREVALENSI GEJALA RINITIS ALERGI DI KALANGAN
MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ANGKATAN
2007-2009. Medan: FK USU Medan
Pengertian rinitis alergi dikutp dari http://www.e-jurnal.com/2013/09/pengertianrinitis-alergi.html pada tanggal 19 Oktober 2015
Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi ke Enam.
2004. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

23

Anda mungkin juga menyukai