Anda di halaman 1dari 24

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)


Jl. Terusan Arjuna no.6 Kebon Jeruk, Jakarta-Barat

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT THT
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari / Tanggal Presentasi Kasus : Rabu, 11 November 2015
SMF PENYAKIT THT
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA

Nama

: Gian Alodia Risamasu

Nim

: 11-2015-064

Tanda Tangan

Dr. Pembimbing : dr. Arroyan Wardhana, Sp.THT

Tanda Tangan

IDENTITAS PASIEN
Nama

: Bpk. S

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Umur

: 76 tahun

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Pensiun

Status menikah : Sudah menikah

ANAMNESA
Diambil secara

: Autoanamnesis

Pada tanggal

: 10 Desember 2015 pada jam 12.00

Keluhan utama

: Mimisan sejak satu minggu yang lalu

Keluhan tambahan

: Hidung mampet, sakit kepala, mata berair, nyeri pada pipi kanan
1

Riwayat penyakit sekarang :


Bpk. S, 76 tahun, mengeluh mimisan sejak 1 minggu yang lalu. Mimisan terjadi saat pagi hari
dan tidak berhenti seperti air mengalir. Satu jam kemudian baru mimisan berhenti, tapi
kemudian setelah pasien selesai sholat, mimisan keluar lagi. Karena mimisan tidak berhenti
pasien kemudian pergi ke Puskesmas, disana hidung pasien di sumbat dengan kapas. Sore
harinya, pukul 15.00 WIB pasien mengalami muntah yang berisi darah segar, sebanyak
setengah gelas aqua. Pasien kemudian di rujuk ke RSUD Koja.
Selain mimisan, pasien juga mengeluh hidung mampet, bersin, sakit kepala, mata berair, ada
nyeri pada sekitar pipi, dan merasa kering pada tenggorokan. Pasien mengaku keluhan ini
membuat nya merasa susah tidur. Pasien merasa lebih mampet di hidung sebelah kiri. Pasien
tidak memiliki riwayat alergi, hipertensi, diabetes mellitus, ataupun penyakit kronik lainnya.

Riwayat penyakit dahulu :


Pasien mengaku dulu sering mengalami hidung mampet, tapi keluhannya tidak separah yang
sekarang dialami. Pasien tidak mempunyai riwayat penyakit lainnya.

PEMERIKSAAN FISIK
KU : Compos mentis, tampak sakit ringan
Telinga
Bentuk daun telinga

: Normotia ADS

Kelainan kongenital

: Tidak ada ADS

Radang, tumor

: Tidak ada ADS

Nyeri tekan tragus

: Tidak ada ADS

Kelainan Pre, infra, dan retroaurikuler : Tidak ada ADS


Region Mastoid

: Tidak ada nyeri tekan ADS

Liang telinga

: Lapang ADS

Membran tympani

: Utuh ADS

Hidung
Bentuk

: Normal, tidak ada krepitasi

Sinus frontalis dan maxillaris : Nyeri tekan + (Sinus maxillaris)


Vestibulum

: Tidak terlihat ada penyempitan atau massa


2

Cavum nasi

: Terlihat secret mukopurulen

Konka inferior

: Tidak tampak kelainan

Meatus inferior

: Tidak tampak kelainan

Konka medius

: Tampak hiperemis

Meatus medius

: Tampak secret mukopurulen

Septum nasi

: Terdapat deviasi septum

Tenggorokan
Dinding faring : Terdapat post nasal drip
Tonsil

: T1-T1

Uvula

: Normal

Gigi

: Terdapat gigi yang bolong pada rahang atas

RESUME
Dari anamnesa didapatkan pasien Bpk. S, 76 tahun mengeluh mimisan sejak 1 minggu yang
lalu. Pasien juga mengeluh hidung mampet, bersin, sakit kepala, mata berair, ada nyeri pada
sekitar pipi, dan merasa kering pada tenggorokan. Pasien tidak memiliki riwayat alergi,
maupun penyakit kronis lainnya. Pasien pernah mengalami keluhan yang sama dulu, tapi
tidak separah yang sekarang.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan:
Telinga
Kanan : normotia, tidak ada nyeri tekan tragus, tidak ada kelainan pre, infra, retroaurikuler,
tidak ada nyeri tekan mastoid, lubang telinga lapang, membran timpani utuh
Kiri : normotia, tidak ada nyeri tekan tragus, tidak ada kelainan pre, infra, retroaurikuler,
tidak ada nyeri tekan mastoid, lubang telinga lapang, membran timpani utuh
Hidung :
Hidung tampak normal, tidak ada krepitasi, vestibulum terlihat tidak ada massa, terlihat ada
secret serous, konka inferior dan meatus inferior tidak tampak kelainan, konka medius terlihat
hiperemis dengan meatus medius terlihat secret mukopurulen, tidak ditemukan deviasi
septum.
Tenggorok:
Uvula terlihat normal, tonsil T1-T1, terlihat post nasal drip pada dinding faring.

Differential Diagnosis :
Rhinitis Alergi
Polip Hidung
Working Diagnosis:
Sinusitis Maxillaris Sinistra
Penatalaksanaan :
Non-medikamentosa : Hindari penyebab alergi
Medikamentosa :
Meropenem 1 gr Inj No I S. imm
Metronidazol drip 500 ml S. imm

Tinjauan Pustaka
Anatomi sinus paranasal
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsi
karena bentuknya sangat bervariasi pada setiap individu. Ada empat pasang sinus paranasal,
mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid
kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga
terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga
hidung.1
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung
dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3 4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus
frontal. Sinus etmoid dan maksila telah ada sejak anak lahir, sedangkan sinus frontalis
berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun.
Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8 10 tahun dan berasal dari bagian
posterosuperior rongga hidung. Sinus sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada
usia antara 15 18 tahun. 1
Manusia mempunyai sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian lateral rongga
udara hidung; jumlah, ukuran, bentuk, dan simetri bervariasi. Sinus sinus ini membentuk
rongga di dalam beberapa tulang wajah dan diberi nama sesuai : sinus maksilaris, sfenoidalis,
frontalis, dan etmoidalis. Yang terakhir biasanya berupa kelompok kelompok sel etmoidalis
anterior dan posterior yang saling berhubungan, masing masing kelompok bermuara ke
dalam hidung. Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang mengalami
modifikasi, dan mampu menghasilkan mukus, dan bersilia, sekret disalurkan ke dalam rongga
hidung. Pada orang sehat, rongga terutama berisi udara. 1

Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila

bervolume 6 8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai
ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila berbentuk segitiga. Dinding
anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fossa kanina, dinding
posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding
lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah
prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding
medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. 1

Dasar dari sinus maksila sangat berdekatan dengan rahang gigi atas, yaitu premolar
(P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar M3,
bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi
mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis.

Suplai darah terbanyak melalui cabang dari

arteri maksilaris. Inervasi mukosa sinus melalui cabang dari nervus maksilaris. 2

Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan keempat fetus,

berasal dari sel sel resessus frontal atau dari sel sel infundibulum etmoid. Ukuran sinus
frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm, dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya
bersekat sekat dan tepi sinus berlekuk lekuk. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang
relatif tipis dari orbita dan fossa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah
menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resessus
frontal. Resessus frontal adalah bagian dari sinus etmoid anterior. 1
Suplai darah diperoleh dari arteri supraorbital dan arteri supratrochlear yang berasal
dari arteri oftalmika yang merupakan salah satu cabang dari arteri carotis interna. Inervasi
mukosa disuplai oleh cabang supraorbital dan supratrochlear cabang dari nervus frontalis
yang berasal dari nervus trigeminus. 2

Sinus Etmoid
Pada orang dewasa sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior.

Ukurannya dari anterior ke posterior 4,5 cm, tinggi 2,4 cm, dan lebarnya 0,5 cm di bagian
anterior dan 1,5 cm di bagian posterior. Sinus etmoid berongga rongga, terdiri dari sel sel
yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang
terletak diantara konka media dan dinding medial orbita. Sel sel ini jumlahnya bervariasi
antara 4 17 sel (rata rata 9 sel).
Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang
bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Sel
sel sinus etmoid anterior biasanya kecil kecil dan banyak, letaknya dibawah perlekatan
konka media, sedangkan sel sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih
sedikit jumlahnya dan terletak di postero-superior dari perlekatan konka media. Di bagian
terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resessus frontal, yang
berhubungan dengan sinus frontal. Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis
berbatasan dengan lamina kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat
tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid
6

posterior berbatasan dengan sinus sfenoid. Suplai darah berasal dari cabang nasal dari arteri
sphenopalatina. Inervasi mukosa berasal dari divisi oftalmika dan maksilaris nervus
trigeminus. 2

Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus

sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah 2 cm
tingginya, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya bervariasi dari 5 7,5 ml.
Batas- batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa,
sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan
a. karotis interna dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di
daerah pons.
Atap sinus sfenoid diperdarahi oleh a.ethmoid posterior, sedangkan bagian lainnya
mendapat aliran darah dari a.sfenopalatina. Aliran vena melalui v.maksilaris ke v.jugularis
dan pleksus pterigoid. sinus sfenoid dipersarafi oleh cabang n V.1 dan V.2. n.nasociliaris
berjalan menuju n.etmoid posterior dan mempersarafi atap sinus. Cabang-cabang
n.sfenopalatina mempersarafi dasar sinus. 1

Gambar 1 : Anatomi Sinus


Kompleks ostimeatal
Kompleks ostiomeatal dideskripsikan sebagai area yang terdapat di dinding lateral
hidung dimana terdapat meatus medius yang merupakan muara dari sinus

paranasalis

(kecuali sinus sfenoid). Adanya sedikit kelainan (contoh: variasi anatomi, pembengkakan
mukosa) dapat menghambat ventilasi di daerah ini, yang mengakibatkan rangkaian kelainan
di sinus paranasalis. Struktur fungsional dari kompleks ini terdiri dari prosesus uncinatus,
hiatus semilunaris, resesus frontalis, bulla ethmoid, infundibulum ethmoid dan muara dari
sinus maksila. 1

Gambar 2. Anatomi Kompleks Ostimeatal


Fungsi sinus paranasal
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain : 1

Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)


Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk mamanaskan dan mengatur

kelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih
1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk
pertukaran udara total dalam sinus.

Sebagai penahan suhu (thermal insulators)


Sinus paranasal berfungsi sebagai (buffer) panas, melindungi orbita dan fossa serebri

dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.

Membantu keseimbangan kepala


Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan

tetapi, bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan
berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini tidak dianggap bermakna.

Membantu resonansi suara


Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi udara dan mempengaruhi

kualitas udara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak
memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonansi yang efektif.
8

Sebagai peredam perubahan tekanan suara


Fungsi ini akan berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak,

misalnya pada waktu bersin dan beringus.

Membantu produksi mukus


Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan

dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut
masuk dalam udara.
SINUSITIS
Definisi
Sinusitis adalah peradangan mukosa sinus paranasal. Umumnya disertai atau dipicu
oleh rhinitis sehingga sering disebut rhinosinusitis. Definisi lain menyebutkan, sinusitis
adalah inflamasi dan pembengkakan membrana mukosa sinus disertai nyeri lokal. Sesuai
anatomi sinus yang terkena dapat dibagi menjadi sinusitis maxilla, sinusitis ethmoid, sinusitis
frontal, dan sinusitis sphenoid. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis
sedangkan bila mengenai semua sinus disebut pansinusitis. 2
Yang paling sering ditemukan adalah sinusitis maxilla dan sinusitis ethmoid, sedangkan
sinusitis frontal dan sinusitis sphenoid lebih jarang ditemukan. Pada anak hanya sinus maxilla
dan sinus ethmoid yang berkembang sedangkan sinus frontal dan sinus sphenoid mulai
berkembang pada anak berusia kurang lebih 8 tahun. 2
Sinus maxilla merupakan sinus yang paling sering terinfeksi, oleh karena (1) merupakan
sinus paranasal terbesar, (2) letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar sehingga sekret dari sinus
maxilla hanya tergantung dari gerakan silia, (3) dasar sinus maxilla adalah dasar akar gigi
(processus alveolaris), sehingga infeksi pada gigi dapat menyebabkan sinusitis maxilla, (4)
ostium sinus maxilla terletak di meatus medius, di sekitar hiatus semilunaris yang sempit,
sehingga mudah tersumbat. 2
Klasifikasi sinusitis dapat dikategorikan sebagai sinusitis akut apabila gejala berlangsung
kurang dari 4 minggu dimana dengan pengobatan yang tepat dan cepat pasien bisa sembuh
sepenuhnya. Sinusitis subakut merupakan perkembangan gejala selama 4 hingga 12 minggu
dan dinyatakan sinusitis kronis bila gejala berlangsung melebihi 3 bulan.2

Terdapat beberapa gejala dan tanda yang bisa membedakan antara sinusitis akut, sinusitis
subakut dan sinusitis kronis. Seperti radang-radang akut timbul sebagai gejala sinusitis akut,
hilangnya tanda radang akut dan perubahan histologik mukosa sinus masih reversible adalah
tanda bagi sinusitis subakut dan dikatakan sinusitis kronis ditandai dengan perubahan
histologik mukosa irreversible, misalnya sudah berubah menjadi jaringan granulasi atau
polipoid. 2
EPIDEMIOLOGI
Sinusitis adalah penyakit yang benyak ditemukan di seluruh dunia, terutama di tempat
dengan polusi udara tinggi. Iklim yang lembab, dingin, dengan konsentrasi pollen yang tinggi
terkait dengan prevalensi yang lebih tinggi dari sinusitis. Sinusitis maksilaris adalah sinusitis
dengan insiden yang terbesar. Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa
penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama
atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit.
Setiap 1 dari 7 orang dewasa di Amerika Serikat dideteksi positif sinusitis dengan
lebih dari 30 juta manusia didiagnosa sinusitis setiap tahun. Sinusitis lebih sering terjadi dari
awal musim gugur dan musim semi. Insiden terjadinya sinusitis meningkat seiring dengan
meningkatnya kasus asma, alergi, dan penyakit traktus respiratorius lainnya. Perempuan lebih
sering terkena sinusitis dibandingkan laki-laki karena mereka lebih sering kontak dengan
anak kecil. Angka perbandingannya 20% perempuan disbanding 11.5% laki-laki. Sinusitis
lebih sering diderita oleh anak-anak dan dewasa muda akibat rentannya usia ini dengan
infeksi Rhinovirus. 3
ETIOLOGI
Seperti yang diketahui, terdapat banyak faktor menjadi penyebab sesuatu penyakit
timbul, antaranya faktor internal seperti daya tahan tubuh yang menurun akibat defisiensi gizi
yang menyebabkan tubuh rentan dijangkiti penyakit dan faktor eksternal seperti perubahan
musim yang ekstrim, terpapar lingkungan yang tinggi zat kimiawi, debu, asap tembakau dan
lain-lain. 2,4
Faktor-faktor lokal tertentu juga dapat menjadi predisposisi penyakit sinusitis, berupa
deformitas rangka, alergi, gangguan geligi, benda asing dan neoplasma. Adapun agen
etiologinya dapat berupa virus, bakteri atau jamur. 2,4

Virus

10

Sinusitis virus biasanya terjadi selama infeksi saluran napas atas, infeksi virus yang
lazim menyerang hidung dan nasofaring juga menyerang sinus. Mukosa sinus paranasalis
berjalan kontinyu dengan mukosa hidung dan penyakit virus yang menyerang hidung perlu
dicurigai dapat meluas ke sinus. Antara agen virus tersering menyebabkan sinusitis antara
lain: rhinovirus, influenza virus, parainfluenza virus dan adenovirus. 2,4

Bakteri
Organisme penyebab tersering sinusitis akut mungkin sama dengan penyebab otitis

media. Yang sering ditemukan antara lain Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza,
Branhamella cataralis, Streptococcus alfa, Staphylococcus aureus dan Streptococcus
pyogenes. Penyebab dari sinusitis kronik hampir sama dengan bakteri penyebab sinusitis
akut. Namun karena sinusitis kronik berhubungan dengan drainase yang kurang adekuat
ataupun fungsi mukosiliar yang terganggu, maka agen infeksi yang terlibat cenderung bersifat
oportunistik, dimana proporsi terbesar merupakan bakteri anaerob (Peptostreptococcus,
Corynebacterium, Bacteroides, dan Veillonella). 2,4

Jamur
Biasanya terjadi pada pasien dengan diabetes, terapi immunosupresif, dan

immunodefisiensi misalnya pada penderita AIDS. Jamur penyebab infeksi biasanya berasal
dari genus Aspergillus dan Zygomycetes. 2,4

PREDISPOSISI
Sinusitis lebih sering disebabkan adanya factor predisposisi, seperti :2,4
1. Gangguan fisik akibat kekurangan gizi, kelelahan, atau penyakit sistemik.
2. Gangguan faal hidung oleh karena rusaknya aktivitas silia oleh asap rokok, polusi
udara, atau karena panas dan kering.
3. Kelainan anatomi yang menyebabkan gangguan saluran seperti : atresia atau stenosis
koana, deviasi septum, hipertrofi konka media, polip yang dapat terjadi pada 30%
anak yang menderita fibrosis kistik, tumor atau neoplasma, udem mukosa karena
infeksi atau alergi, benda asing.
4. Berenang dan menelam pada waktu sedang pilek.
5. Trauma yang menyebabkan perdarahan mukosa sinus paranasal.
6. Kelainan imunologi didapat seperti imunodefisiensi karena
imunosupresi oleh obat.
11

leukemia

dan

PATOFISIOLOGI
Kesehatan sinusitis dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya
klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam KOM (kompleks ostio-meatal). Mukus
juga mengandung substansi antimikroba dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme
pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan. Organ-organ yang
membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema di komplek ostiomeatal
tersebut, mukosa yang letaknya berhadapan akan saling bertemu, sehingga silia tidak dapat
bergerak, lendir tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan lalu ostium juga akan
tersumbat. Maka terjadi gangguan draenase dan ventilasi di dalam sinus, sehingga silia
menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi mukosa sinus menjadi lebih kental dan
merupakan media yang baik untuk tumbuhnya bakteri pathogen.2,4
Ostium yang tersumbat menyebabkan terjadinya tekanan negatif (penurunan tekanan)
di dalam rongga sinus karena mukosa dalam rongga sinus masih membutuhkan udara (O2)
sehingga udara di dalam rongga sinus diabsorpsi dan kapiler-kapiler melebar lalu selanjutnya
menyebabkan terjadinya transudasi cairan (mula-mula cairan serous) ke rongga sinus.
Kondisi tersebut bisa dianggap sebagai rhinosinusitis non-bacterial dan biasanya sembuh
dalam beberapa hari tanpa pengobatan. 2,4
Sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media baik untuk tumbuhnya dan
multiplikasi bakteri. Sekret yang semula serous akan menjdai purulen. Keadaan seperti ini
disebut sebagai rhinosinusitis akut bacterial dan memerlukan terapi antibiotik. Jika terapi
tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia
dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai
siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu
hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan
tindakan operasi. 2,4
KLASIFIKASI SINUSITIS
Klasifikasi secara klinis untuk sinusitis dibagi atas sinusitis akut, subakut, dan kronis.
Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi atas sinusitis tipe rinogen dan sinusitis
tipe dentogen.

12

Sinusitis tipe rinogen terjadi disebabkan kelainan atau masalah di hidung dimana
segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis.
Sinusitis tipe dentogen terjadi disebabkan kelainan gigi, dimana yang sering menyebabkan
sinusitis adalah infeksi pada gigi geraham atas yaitu gigi premolar dan molar.2,4

Sinusitis akut
Sinusitis akut biasanya dimulai dari infeksi saluran pernafasan atas oleh virus yang

melebihi 10 hari. Organisme yang umum menyebabkan sinusitis akut termasuk Streptococcus
pneumonia, Haemophilus influenza, dan Moraxella catarrhalis. Diagnosis dari sinusitis akut
dapat ditegakkan ketika infeksi saluran nafas atas oleh virus tidak semubuh selama 10 hari
atau memburuk setelah 5 7 hari.2,4
Penyebab utamanya adalah salesma (common cold) yang merupakan infeksi virus,
terdapat transudasi rongga rongga sinus, mula mula serous yang biasanya sembuh dalam
beberapa hari tanpa pengobatan. Selanjutnya diikuti oleh infeksi bakteri, yang bila kondisi
ini menetap, secret yang terkumpul dalam sinus merupakan media baik untuk tumbuhnya dan
pultiplikasi bakteri, sehingga secret menjadi purulent.
Dari anamnesis didapatkan keluhan utama sinusitis akut adalah hidung tersumbat
disertai rasa nyeri atau rasa tekanan pada muka dan ingus purulent, yang sering sekali turun
ke tenggorok (post nasal drip). Dapat juga disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu.
Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena, merupakan ciri khas sinusitis
akut, serta kadang kadang nyeri juga dirasakan di tempat lain (reffered pain). Nyeri pipi,
gigi, dahi dan depan telinga menandakan sinusitis maksilaris. Nyeri di dahi atau seluruh
kepala menandakan sinusitis frontalis. Pada sinusitis sfenoid, nyeri dirasakan di vertex,
oksipital, belakang bola mata, dan daerah mastoid. Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia,
anosmia, halitosis, post nasal drip yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak. 2,4

Sinusitis subakut
Gejala klinisnya sama dengan sinusitis akut hanya tanda tanda radang akutnya

(demam, sakit kepala, nyeri tekan) sudah reda. Pada rinoskopi anterior tampak secret meatus
medius atau superior. Pada rinoskopi posterior tampak secret purulent nasofaring. Pada
pemeriksaan transluminasi tampak sinus yang sakit, suram, atau gelap.2,4

Sinusitis kronik
Sinusitis kronis berbeda dengan sinusitis akut dalam berbagai aspek, umumnya sukar

disembuhkan dengan pengobatan medikamentosa saja. Harus dicari factor penyebab dan
13

factor predisposisinya. Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi
perubahan mukosa hidung. Perubahan tersebut juga dapat disebabkan oleh alergi dan
defisiensi imunologik, sehingga mempermudah terjadinya infeksi menjadi kronis apabila
pengobatan sinusitis akut tidak sempurna.
Gejala yang timbul diantaranya:
(1) terdapat skeret pada hidung dan post nasal drip yang seringkali mukopurulen dan
hidung biasanya sedikit tersumbat
(2) rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorokan
(3) pendengaran terganggu karena adanya sumbatan tuba eustachius
(4) nyeri atau sakit kepala
(5) gejala pada mata karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis
(6) gejala di saluran cerna karena mukopus tertelan sehingga menyebabkan
gastroenteritis.
Temuan pemeriksaan fisik tidak seberat sinusitis akut dan tidak terdapat pemebengkakan
pada wajah. Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan secret kental, purulen dari meatus
medius atau meatus superior, dapat juga ditemukan polip, tumor, atau komplikasi sinusitis
lainnya. Rinoskopi posterior tampak secret purulent di nasofaring atau turun ke tenggorok.2,4

Sinusitis dentogen
Merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronik. Dasar sinus maksila adalah

prosesus alveolaris tempat akar gigi rahang atas, sehingga rongga sinus maksilaris hanya
terpisahkan oleh tulang tipis dengan akar gigi, bahkan kadang kadang tanpa tulang
pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi apical akar gigi atau inflamasi jaringan
periodontal mudah menyebar secara langsung ke sinus, atau melalui pembuluh darah dan
limfe. Harus curiga adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maksilaris kronik yang mengenai
satu sisi dengan ingus purulent dan napas berbau busuk.2,4
DIAGNOSIS
Diagnosis dari sinusitis didasarkan pada kombinasi dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan foto radiologis dan/atau laboratorium. Sinusitis bakterialis akut dicurigai pada
pasien dengan riwayat infeksi saluran pernapasan yang berlangsung selama 10 sampai 14
hari. Gejala utama pada orang dewasa antara lain, hidung tersumbat, ingus purulen, nyeri
pada gigi dan wajah, post-nasal drip, sakit kepala dan batuk. 2,4,5

14

Dalam menganamnesis pasien, differensial diagnosis dari sinusitis dan faktor


predisposisinya harus dipertimbangkan. Anamnesis yang akurat memiliki dampak untuk
terapi awal dan manajemen terapi selanjutnya yang lebih baik. 2,4
ANAMNESIS
Keluhan utama sinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai nyeri/rasa tekanan pada
muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip). Dapat disertai
gejala sistemik seperti demam dan lesu.2,4
Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan ciri khas
sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa di tempat lain (reffered pain). Nyeri pipi
menandakan sinusitis maksila, nyeri di antara atau di belakang ke dua bola mata menandakan
sinusitis etmoid, nyeri di dahi atau seluruh kepala menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis
sfenoid, nyeri dirasakan di verteks, oksipital, belakang bola mata dan daerah mastoid. Pada
sinusitis maksila kadang-kadang ada nyeri alih ke gigi dan telinga. Gejala lain adalah sakit
kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post-nasal drip yang menyebabkan batuk dan sesak pada
anak. 2,4
Kelainan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang-kadang hanya
1 atau 2 dari gejala-gejala dibawah ini yaitu sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk
kronik, gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba
Eustachius, gangguan ke paru seperti bronkitis (sino-bronkitis), bronkiektasis dan yang
penting adalah serangan asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak, mukopus yang
tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis. 2,4
PEMERIKSAAN FISIK. 2,4
Pemeriksaan dimulai dengan melakukan inspeksi dengan teliti pada wajah. Sinusitis
akut dapat dihubungkan dengan adanya pembengkakan dan nyeri tekan pada daerah yang
terkena. Keadaan mukosa hidung dan sekresinya harus diperiksa. Mukosa yang merah dan
membengkak terlihat pada kasus rhinitis dan sinusitis, concha yang pucat menandakan
adanya rhinitis akut. Pada saat terjadi infeksi saluran pernapasan, awalnya sekret terlihat
jernih dan cair, tetapi setelah beberapa hari sekret dapat menjadi lebih tebal dan berwarna
kuning kehijauan. Sekret purulen yang terdapat di meatus medius dan bertahan selama lebih
dari 10 hari merupakan karakteristik dari sinusitis. Eksudat purulen di meatus medius
dipercaya menjadi tanda khas dari sinusitis bakterialis, tetapi mungkin sulit dinilai tanpa

15

diberikan dekongestan dan vasokonstriktor. Ketiadaan eksudat purulen tidak menyingkirkan


adanya diagnosis sinusitis.
Keadaan orofaring harus diperiksa untuk melihat adanya tanda-tanda sekresi
mukopurulen dari faring bagian posterior. Pada kasus tertentu, sinusitis dapat disertai dengan
nyeri pada gigi karena bagian akar gigi menjadi dasar dari sinus maksilaris. Pada
kenyataanya, beberapa kasus sinusitis maksilaris disebabkan oleh adanya infeksi pada akar
gigi yang menjalar melalui tulang ke rongga sinus.
Pemeriksaan telinga mungkin menunjukkan adanya otitis media, khususnya pada
anak-anak dengan sinusitis. Sinusitis bakterialis persisten yang tidak teratasi dengan baik
dapat memudahkan terjadinya otitis media rekuren. Dalam menilai pasien dengan sinusitis
rekuren, pada pemeriksaan fisik harus dicai tanda-tanda adanya imunodefisiensi, komplikasi
dar infeksi primer (contoh: mastoiditis, orbital celllulitis), pertumbuhan yang buruk pada
anak, disfungsi sillia, dan abnormalitas anatomi. Dalam pasien-pasien tertentu dengan
sinusitis rekuren atau kronik, perlu dipertimbangkan pemeriksaan nasoendoskopi.
Pemeriksaan ini memberikan visualisasi yang lebih baik untuk melihat kelainan pada septum,
concha, mukosa, nasofaring, adenoid, orificium tuba eustachius, tonsil, lidah bagian posterior,
epiglotis, glotis dan pita suara. Selain itu dapat diidentifikasi asal dan perluasan dari polip dan
adanya sekret purulen pada ostium.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis untuk mendapatkan informasi dan untuk mengevaluasi sinus
paranasal adalah; pemeriksaan foto kepala dengan berbagai posisi yang khas, pemeriksaan
tomogram dan pemeriksaan CT-Scan. Dengan pemeriksaan radiologis tersebut para ahli
radiologi dapat memberikan gambaran anatomi atau variasi anatomi, kelainan-kelainan
patologis pada sinus paranasalis dan struktur tulang sekitarnya, sehingga dapat memberikan
diagnosis yang lebih dini.5-7

Pemeriksaan foto kepala


Pemeriksaan foto polos kepala adalah pemeriksaan yang paling baik dan paling utama

untuk mengevaluasi sinus paranasal. Karena banyaknya unsur-unsur tulang dan jaringan
lunak yang tumpang tindih pada daerah sinus paranasal, kelainan-kelainan jaringan lunak,
erosi tulang kadang-kadang sulit dievaluasi. Pemeriksaan ini dari sudut biaya cukup

16

ekonomis dan pasien hanya mendapat radiasi yang minimal. Pemeriksaan foto kepala untuk
mengevaluasi sinus paranasal terdiri atas berbagai macam posisi antara lain:
1. Foto kepala posisi anterior-posterior ( AP atau posisi Caldwell)
Foto ini diambil pada posisi kepala menghadap film , bidang midsagital kepala tegak
lurus pada film. Idealnya pada film tampak pyramid tulang petrosum diproyeksi pada 1/3
bawah orbita atau pada dasar orbita. Hal ini dapat tercapai apabila orbito-meatal line tegak
lurus pada film dan membentuk 1500 kaudal.5-7

Gambar 3. Air fluid level sinus maxilla posisi Caldwell


2. Foto kepala lateral
Dilakukan dengan film terletak di sebelah lateral dengan sentrasi di luar kantus mata,
sehingga dinding posterior dan dasar sinus maksilaris berhimpit satu sama lain.
Pada sinusitis tampak, penebalan mukosa, air fluid level (kadang-kadang), perselubungan
homogen pada satu atau lebih sinus para nasal, dan penebalan dinding sinus dengan sklerotik
(pada kasus-kasus kronik).

Gambar 4. Air fluid level pada Sinus Maxilla (foto lateral)

17

3. Foto kepala posisi Waters


Foto ini dilakukan dengan posisi dimana kepala menghadap film, garis orbito meatus
membentuk sudut 370 dengan film. Pada foto ini, secara ideal piramid tulang petrosum
diproyeksikan pada dasar sinus maxillaris sehingga kedua sinus maxillaris dapat dievaluasi
sepenuhnya. Foto Waters umumnya dilakukan pada keadaan mulut tertutup. Pada posisi
mulut terbuka akan dapat tenilai dinding posterior sinus sphenoid dengan baik. 5-7

Gambar 5. Foto kepala posisi Waters


4. Foto kepala posisi Submentoverteks
Foto diambil dengan meletakkan film pada vertex, kepala pasien menengadah
sehingga garis infraorbito meatal sejajar dengan film. Sentrasi tegak lurus film dalam bidang
midsagital melalui sella turcica kearah vertex. Posisi ini biasa untuk melihat sinus frontalis
dan dinding posterior sinus maxillaris. 5-7

Gambar 6 : Foto kepala posisi submentoverteks


5. Foto Rhese
Posisi Rhese atau oblique dapat mengevaluasi bagian posterior sinus ethmoidalis,
kanalis optikus, dan lantai dasar orbita sisi lain.

18

6. Foto proyeksi Towne


Posisi ini diambil dengan berbagai variasi sudut angulasi antara 300-600 ke arah garis
orbitomeatal. Sentrasi dari depan kira-kira 8 cm diatas glabela dari foto polos kepala dalam
bidang midsagital.proyeksi ini paling baik untuk menganalisis dinding posterior sinus
maxillaris, fisura orbitalis inferior, kondilus mandibularis dan arkus zigomatikus posterior.

Pemeriksaan CT-Scan
Pemeriksaan CT-Scan sekarang merupakan pemeriksaan yang sangat unggul untuk

mempelajari sinus paranasal, karena dapat menganalisis dengan baik tulang-tulang secara
rinci dan bentuk-bentuk jaringan lunak, irisan axial merupakan standar pemeriksaan paling
baik yang dilakukan dalam bidang inferior orbitomeatal (IOM). Pemeriksaan ini dapat
menganalisis perluasan penyakit dari gigi geligi, sinus-sinus dan palatum, terrmasuk ekstensi
intrakranial dari sinus frontalis. 5-7
Pada kasus-kasus sinusitis sphenoid, kira-kira 50% foto polos sinus sphenoidalis yang
normal, tapi apabila dilakukan pemeriksaan CT-Scan, maka tampak kelainan pada mukosa
berupa penebalan

Gambar 7. Foto normal CT- Scan Sinus Maxilla

Pemeriksaan MRI
MRI memberikan gambaran yang lebih baik dalam membedakan struktur jaringan

lunak dalam sinus. Kadang digunakan dalam kasus suspek tumor dan sinusitis fungal.
Sebaliknya, MRI tidak mempunyai keuntungan dibandingkan dengan CT Scan dalam
mengevaluasi sinusitis. MRI memberi hasil positif palsu yang tinggi, penggambaran tulang
yang kurang, dan biaya yang mahal. MRI membutuhkan waktu lama dalam penyelesaiannya
dibandingkan dengan CT Scan yang relatif cukup cepat dan sulit dilakukan pada pasien
klaustrofobia.5-7

19

Gambar 8. Foto MRI normal sinus.

Sinuskopi.
Sinuskopi merupakan satu satunya cara yang memberikan informasi akurat tentang

perubahan mukosa sinus, jumlah sekret yang ada di dalam sinus, dan letak dan keadaan dari
ostium sinus. Yang menjadi masalah adalah pemeriksaan sinoscopy memberikan suatu
keadaan yang tidak menyenangkan buat pasien.5,6

PENATALAKSANAAN
Tujuan terapi sinusitis ialah mempercepat penyembuhan, mencegah komplikasi dan
mencegah akut menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di kompleks
ostio-meatal (KOM) sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami.2,4,7
Penatalaksanaan sinusitis supuratif dapat dibagi menjadi penatalaksanaan medis dan
penatalaksanaan bedah. Penatalaksanaan bedah dapat berupa penatalaksanaan bedah minor,
pembedahan di poliklinik atau intervensi di ruang operasi. 2,4,7
Penatalaksanaan Medis
Karena sebagian besar infeksi sinusitis supuratif akut disebabkan oleh organisme
gram-positif yang kebanyakannya Diplococcus pneumonia, Staphylococcus aureus,
Steptococcus (grup A,B,dan D), dan Heamophilus influenza (gram negatif) disertai hospes
organisme anaerob, maka terapi terpilihnya penisilin G. Penisilin G juga merupakan pilihan
yang baik terapi awal dan definitive untuk kokus gram negatif, basal gram positif dan gram
negative. Ini kunci utama penatalaksanaan medis pada sinusitis supuratif akut. Untuk
H.influenza, diindikasikan pemberian ampisilin. 2,4,7

20

Terapi antibiotic harus diteruskan dinimum 1 minggu setelah gejala terkontrol. Lama
terapi rata-rata 10 hari. Karena banyaknya distribusi ke sinus-sinus yang terlibat, perlu
mempertahankan kadar antibiotika yang adekuat; bila tidak, mungkin terjadi sinusitis
supuratif kronik. 2,4,7
Tindakan lain yang dapat dilakukan untuk membantu memperbaiki drainase dan
pembersihan secret dari sinus. Untuk sinusitis maxillaris dilakukan pungsi dan irigasi sinus,
sedangkan untuk sinusitis ethmoidalis frontalis dan sinusitis sphenoidalis dilakukan tindakan
pencucian Proetz. Irigasi dan pencucian dilakukan 2 kali dalam seminggu. Bila setelah 5 atau
6 kali tidak ada perbaikan dan klinis masih tetap banyak secret purulen, maka perlu dilakukan
bedah radikal.2,4,7
Untuk pasien yang menderita alergi, pengobatan alergi yang dijalani bermanfaat.
Pengontrolan lingkungan, steroid topical, dan imunoterapi dapat mencegah eksesarbasi
rhinitis sehingga mencegah perkembangannya menjadi sinusitis. 2,4,7
Penatalaksanaan Bedah
Harus dipertimbangkan penatalaksanaan bedah untuk mempermudah drainase sinus yang
terkena serta mengeluarkan mukosa yang sakit. Hal ini diperlukan (1) bila terancam
komplikasi, (2) untuk menghilangkan nyeri hebat, dan (3) bila pasien tidak berespon
terhadapat terapi medis. 2,4,7

Pembedahan Radikal

Pembedahan radikal yaitu pengangkatan mukosa yang patologik dan membuat drainase dari
sinus yang terkena. Untuk sinus maxillaris dilakukan operasi Caldwell-luc, sedangkan untuk
sinus ethmoidalis dilakukan ethmoidektomi yang bisa dilakukan dari dalam hidung
(intranasal) atau dari luar (ekstranasal). Drainase sekret pada sinus frontalis dapat dilakukan
dari dalam hidung (intranasal) atau dari luar (ekstranasal) seperti dalam operasi Kilian.
Drainase sinus sphenoidalis dilakukan dari dalam hidung (intranasal).2,4,7

Pembedahan Non-Radikal

Akhir-akhir ini dikembangkan metode operasi sinus paranasal dengan menggunakan


endoskop yang disebut Bedah Sinus Endoskop Fungsional (BSEF). Prinsipnya ialah
membuka dan membersihkan daerah kompleks ostiomeatal yang menjadi sumber sumbatan
dan infeksi, sehingga ventilasi dan drainase sinus dapat lancar kembali melalui ostium alami.
Dengan demikian mukosa sinus akan kembali normal. 2,4,7
KOMPLIKASI
21

Komplikasi sinusitis akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila tidak


mendapatkan penanganan yang baik dan adekuat. Letak sinus paranasal yang berdekatan
dengan mata dan kranial sangat berperan pada infeksi sinusitis akut ataupun kronik.2,4
Beberapa faktor yang diduga sebagai penyebab terjadinya komplikasi antara lain karena
terapi yang tidak adekuat, daya tahan tubuh yang rendah, virulensi kuman dan penanganan
tindakan operatif (yang seharusnya) terlambat dilakukan.2,4
Komplikasi yang sering ditimbulkan antara lain sebagai berikut:

Komplikasi ke mata

Secara anatomi perbatasan daerah mata dan sinus sangat tipis: batas medial sinus ethmoid
dan sphenoid, batas superior sinus frontal dan batas inferior sinus maxilla. Sinusitis
merupakan salah satu penyebab utama infeksi orbita. Pada era pre antibiotik hampir 50%
terjadi komplikasi ke mata, 17% berlanjut ke meningen dan 20% terjadi kebutaan. 2,4
Komplikasi ke orbita dapat terjadi pada segala usia, tetapi pada anak-anak ebih sering.
Intervensi tindakan operatif lebih banyak dilakukan pada anak-anak yang lebih besar dan
dewasa. Ethmoiditis sering menimbulkan komplikasi orbita, diikuti sinusitis frontal dan
maxilla. 2,4

Komplikasi intrakranial

Komplikasi intrakranial dapat terjadi pada infeksi sinus yang akut, eksaserbasi akut ataupun
kronik. Komplikasi ini lebih sering pada laki-laki dewasa diduga ada faktor predileksi yang
berhubungan dengan pertumbuhan tulang frontal dan meluasnya sistem anyaman pembuluh
darah yang terbentuk. 2,4
Beberapa tahap komplikasi intrakranial yang dikenal:
1. Osteomielitis
Penyebaran infeksi melalui anyaman pembuluh darah ke tulang kranium menyebabkan
osteitis yang akan mengakibatkan erosi pada bagian anterior tulang frontal. Gejala tampak
odem yang terbatas pada dahi di bawah kulit dan penimbunan pus di superiosteum. 2,4
2. Epidural abses
Terdapat timbunan pus diantara duramater dan ruang kranium yang sering tampak pada
tulang frontal dimana duramater melekat longgar pada tulang dahi. Gejala sangat ringan,
tanpa ada gangguan neurologi, ada nyeri kepala yang makin lama dirasakan makin berat dan
sedikit demam. 2,4
3. Subdural empiema
22

Terjadi karena retrograde tromboplebitis ataupun penyebaran langsung dari abses epidural.
Gejala nyeri kepala hebat, ada tanda-tanda iskemik/infark kortek seperti hemiparesis,
hemiplegi, paralisis n.Facialis, kejang, peningkatan tekanan intrakranial, demam tinggi,
lekositosis dan akhirnya kesadaran menurun. 2,4
4. Abses otak
Lokasi di daerah frontal paling sering disebabkan sinusitis frontal dengan penyebaran
retrograde, septik emboli dari anyaman pembuluh darah. Bila abses timbul perlahan, gejala
neurologi tak jelas tampak, bila odem terjadi di sekitar otak, tekanan intrakranial akan
meningkat, gejala-gejala neurologi jelas tampak, ancaman kematian segera terjadi bila abses
ruptur. 2,4
5. Meningitis
Sinusitis frontal jarang menyebabkan meningitis tetapi seringkali karena infeksi sekunder dari
sinus ethmoid dan sphenoid. Gejala-gejala tampak jelas : adanya demam, sakit kepala,
kejang, diikuti kesadaran menurun sampai koma. 2,4
PROGNOSIS
Sinusitis akut memiliki prognosis yang sangat baik, dengan perkiraan 70% penderita
sembuh tanpa pengobatan. Sedangkan sinusitis kronik memiliki prognosis yang bervariasi.
Jika penyebabnya adalah kelainan anatomi dan telah diterapi dengan bedah, maka
prognosisnya baik.lebih dari 90% pasien membaik dengan intervensi bedah, namun pasien ini
kadang mengalami kekambuhan. 4

DAFTAR PUSTAKA
1

Soetjipto D , Mangunkusumo E,. Sinus paranasal dalam Soepardi EA, Iskandar N,


Bashiruddin J, Restuti RD (Editor). Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok
kepala dan leher. Edisi ke-enam.Jakarta:Balai Penerbit FK UI;2010.h. 145-9

23

Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, iskandar N, Bashiruddin J,


Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi

Keenam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2010.hal.150-3


Itzhak Brook,MD,MSc. Epidemiology of Acute Sinusitis. Updated Apr 2, 2012. Diunduh dari
http//emedicine.medscape.com/article/232670-overview#a0156 pada tanggal 6 september

2015.
4 Hilger PA. Penyakit Sinus Paranasalis. Dalam: Adam GL, Boies LR, Higler PA. Buku Ajar
Penyakit THT ( BOIES Fundamental of Otolaryngology). Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran; 1997.hal.240-59.
5 Rachman MD, Sinus paranasalis dan Mastoid. Dalam: Ekayuda I. Radiologi Diagnostik.
Edisi Kedua. Jakarta : Divisi Radiodiagnostik Departemen Radiologi FKUI; 2005. Hal 43145.
6 Dr Tomas Sempere Dura, Orbit And Paranasal Sinuses Conventional X-Rays. Dalam : Atlas
7

Of Anatomy By Sectional Imaging, Berlin, Bayer Health Care; 2009.


Raymond G. Slavin, MD, Sheldon L. Spector, MD, and I. Leonard Bernstein, MD. The
diagnosis and management of sinusitis: a practice parameter update. J Allergy Clin Immunol.
December 2005; 116(6): 13-5.

24

Anda mungkin juga menyukai