PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Imunisasi merupakan upaya pencegahan yang terbukti sangat cost ef-fective. Banyak
kematian dan kecacatan yang disebabkan oleh penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.
Eradikasi polio secara global akan memberi keuntungan secara finansial. Biaya jangka
pendek yang dikeluarkan untuk mencapai tujuan eradikasi tidak akan seberapa dibanding dengan
keuntungan yang akan didapat dalam jangka panjang. Tidak akan ada lagi anak-anak yang
menjadi cacat karena polio sehingga biaya yang diperlukan untuk rehabilitasi penderita polio dan
biaya untuk imunisasi polio akan dapat dihemat.
Pada bulan Mei 2012, World Health Assembly (WHA) mendeklarasikan bahwa eradikasi
polio adalah salah satu isu kedaruratan kesehatan masyarakat dan perlu disusun suatu strategi
menuju eradikasi polio (Polio Endgame Strategy). Indonesia telah berhasil menerima sertifikasi
bebas polio bersama dengan negara anggota WHO di South East Asia Region (SEAR) pada
bulan Maret 2014. Untuk mempertahankan keberhasilan tersebut dan untuk melaksanakan
strategi menuju eradikasi polio di dunia, Indonesia akan melakukan beberapa rangkaian kegiatan
yaitu Pekan Imunisasi Nasional (PIN) Polio, penggantian vaksin trivalent Oral Polio Vaccine
(tOPV) ke bivalent Oral Polio Vaccine (bOPV) dan introduksi Inactivated Polio Vaccine (IPV).
Pada akhir tahun 2018 diharapkan penyakit polio telah berhasil dihapus dari seluruh dunia.
Berdasarkan laporan dari provinsi, cakupan imunisasi Polio4 telah melebihi 90% namun
tidak merata di seluruh provinsi. Apabila dibandingkan dengan data Riset Kesehatan Dasar tahun
2013, cakupan imunisasi rutin Polio 4 adalah 77%. Selain itu, kinerja surveilans AFP juga
menunjukkan penurunan di beberapa wilayah sehingga tidak sensitif.
Data dari surveilans AFP tahun 2011 sampai 2014 menunjukkan bah-wa 20% kasus non
polio AFP tidak mendapatkan imunisasi polio lengkap. Gambaran ini serupa dengan keadaan
pada tahun 2005 pada saat terjadi KLB polio di Indonesia. Selain itu, berdasarkan penilaian
risiko yang dilakukan oleh WHO tahun 2011 sampai 2014, Indonesia dinyatakan berisiko tinggi
terhadap importasi virus polio dan Komite Penasehat Ahli Imunisasi (ITAGI) merekomendasikan
Indonesia untuk melaksanakan kegiatan PIN Polio.
1.1.1 Situasi Polio Indonesia
Setelah dilaksanakan PIN Polio tiga tahun berturut-turut pada tahun 1995, 1996 dan
1997, virus polio liar asli Indonesia (indigenous) sudah tidak ditemukanlagi sejak tahun 1996.
Namun pada tanggal 13 Maret 2005 ditemukan kasus polio importasi pertama di Kecamatan
Cidahu Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Kasus polio tersebut berkembang menjadi KLB yang menyerang 305 orang dalam kurun
waktu 2005 sampai awal 2006. KLB ini tersebar di 47 kabupaten/kota di 10 provinsi. Selain itu
juga ditemukan 46 kasus Vaccine Derived Polio Virus (VDPV) dimana 45 kasus di antaranya
terjadi di semua kabupaten di Pulau Madura dan satu kasus terjadi di Probolinggo, Jawa Timur.
Setelah dilakukan Outbreak Response Immunization (ORI), dua kali mop-up, lima kali PIN, dan
dua kali Sub-PIN, KLB dapat ditanggulangi sepenuhnya.
Kasus Virus Polio Liar (VPL) terakhir yang mengalami kelumpuhan ditemukan pada
tanggal 20 Februari 2006 di Aceh Tenggara, Nanggroe Aceh Darussalam. Sejak tahun 2006
hingga sekarang tidak pernah lagi ditemukan kasus Polio.
Tahun 2014 Indonesia telah mendapat sertifikasi bebas polio tingkat regional SEAR,
sementara dunia masih menunggu negara lain yang belum bebas polio yaitu Afghanistan ,
Pakistan dan Nigeria.
Menular
g. Peraturan
Menteri
Kesehatan
RI
Nomor:
42/Menkes/SK/VI/2013
tentang
1.5 Strategi
1.6 Sasaran
PIN Polio akan dilaksanakan pada awal tahun 2016 dengan sasaran semua anak usia 0 s.d
59 bulan
.
1.7 Tempat Pemberian Imunisasi
Pemberian imunisasi polio dilaksanakan di Posyandu, Polindes, Poskesdes, Puskesmas,
Puskesmas pembantu, dan Rumah Sakit serta pos pelayanan imunisasi lainnya di wilayah
lingkungan kerja Puskesmas Cijagra Lama di bawah koordinasi Dinas Kesehatan setempat.
1.8 Jejaring Kerja dan Koordinasi
Pelaksanaan kegiatan dilakukan dengan keterlibatan berbagai pihak terkait seperti Dinas
Pendidikan, Dinas Sosial, PKK, Kantor Departemen Agama di bawah koordinasi Dinas
Kesehatan melalui jejaring kerja dengan pembagian tugas masing-masing untuk
meningkatkan kelancaran penyelenggaraan PIN Polio.
1.9 Pemenuhan Dana
Biaya penyelenggaraan PIN Polio pada tahun 2016 bersumber pada anggaran APBN,
APBD, dan sumber lain yang tidak mengikat dan sah menurut ketentuan yang berlaku.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
kerja meliputi dua kelurahan yaitu Kelurahan Turangga dan Kelurahan Lingkar Selatan. Wilayah
kerja puskesmas memiliki luas wilayah daratan sekitar 284 Ha, dengan masing-masing luas
Kelurahan Turangga seluas 166 Ha dan Kelurahan Lingkar Selatan 118 Ha. Puskesmas Cijagra
Lama membina 21 RW dengan 23 posyandu dan 15 posbindu.
Secara geografis, Puskesmas Cijagra Lama memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:
dalam pelayanan kesehatan wilayah kerjanya yang senantiasa memberi nilai tambah kepada
pelanggannya (masyarakat) dan juga selalu memperkuat jaringan untuk menyediakan pelayanan
yang semakin lengkap dan dengan dukungan sistem informasi yang handal senantiasa
meningkatkan kepuasan masyarakat.
Puskesmas Cijagra Lama memiliki beberapa misi, antara lain:
1.
2.
3.
4.
keputusan Mendagri No. 23 Tahun 1994 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Puskesmas.
Dalam penyusunan dan pemilihan struktur organisasi, tentunya juga ditentukan oleh tujuan yang
ingin dicapai, kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan, tenaga yang tersedia, sumber
daya lain yang ada serta beban kerja yang akan dilakukan.
Struktur organisasi Puskesmas Cijagra Lama, terdiri atas:
Penanggung Jawab
: dr. Hj. Tita Rostiana
Koordinator Tata Usaha
: Imas Yuningsih
Tata Usaha, pentor
: Suryana
Tata Usaha
: Yuyun Wahyuningsih
Bendahara
: Dian Susiany
Kesehatan Lingkungan, Promosi Kesehatan : Dian Susiany
Gizi, Jaminan Kesehatan Nasional
: Nuraini
Kesehatan Ibu dan Anak
: Rosmawati
Imunisasi, Kesehatan Olahraga, Lansia
: Nunik Yulianti
Mata, Kesehatan Jiwa, MTBS
: Kurniasih
BP, P2M, P2TB
: Iis Maryani
BP Gigi
: drg. Mia Oetami
UKS, PHN
: Enisah
Farmasi
: N. Rohaetih
Dokter umum
Bidan
Perawat gigi
Perawat
Gizi
Petugas fungsional tersebut melaksanakan tugasnya di dalam gedung puskesmas dengan fasilitas
tertera pada tabel 2.1.
Tabel 2.1
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
Uraian
Ruang pendaftaran
Ruang tunggu
Ruang pelayanan rawat jalan (BP)
Ruang pelayanan BP gigi
Ruang pelayananan rawat inap
Ruang pelayanan KIA
Ruang pelayanan laboratorium
Ruang pimpinan puskesmas
Ruang pelayanan obat
Ruang staf puskesmas
Ruang pertemuan
Ruang gedung obat
Ruang dapur
Kamar mandi
Ruangan lain
Rumah dinas dokter
Rumah dinas perawat
Rumah dinas apoteker
Rumah dinas penjaga puskesmas
Jumlah
1
1
1
1
1
1
1
1
2
1
1
1
2
1
1
1
Kondisi
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Jumlah penduduk yang termasuk dalam wilayah kerja Puskesmas Cijagra Lama pada tahun
2015 sebanyak 22.842 jiwa. Dengan jumlah penduduk laki-laki 11.445 jiwa dan penduduk
perempuan 11.397 jiwa. Komposisi penduduk di wilayah kerja Puskesmas Cijagra Lama dapat
dilihat pada tabel 2.2.
Tabel 2.2 Data demografi berdasarkan kelurahan di wilayah kerja Puskesmas Cijagra Lama tahun
2015
No.
1.
2.
Kelurahan
Turangga
Lingkar
Selatan
Jumlah
Jumlah
Penduduk
Penduduk
Laki-laki
Perempuan
12.634
5.959
6.675
10.208
5.486
4.722
Jumlah
Jumlah
Jumlah
Jumlah
RT
RW
KK
Penduduk
84
11
2.871
74
10
2.128
Tabel 2.3 Data demografi umur dan jenis kelamin laki-laki berdasarkan kelurahan di wilayah
kerja Puskesmas Cijagra Lama tahun 2015
No.
Kelurahan
0-4 th
5-14 th
1.
2.
Turangga
426
649
Lingkar Selatan
435
923
Jumlah
861
1.572
Tabel 2.4 Data demografi umur dan jenis kelamin
1544 th
4564 th
> 65 th
3.205
1.579
97
2.763
1.100
265
5.968
2.679
362
perempuan berdasarkan kelurahan di wilayah
1.
2.
Kelurahan
Turangga
Lingkar Selatan
Jumlah
0-4 th
5-14 th
1544 th
4564 th
> 65 th
570
403
973
857
885
1.742
3.089
2.303
5.392
1.942
912
2.854
216
219
435
Berdasarkan tabel di atas, maka dapat diketahui kelompok usia balita 0-4 tahun terdapat
1.834 jiwa, usia anak 5-14 tahun sebanyak 3.314 jiwa, usia 15-44 tahun yang merupakan
kelompok usia produktif berjumlah 11.360 jiwa dan kelompok usia diatas 44 tahun memiliki
jumlah 6.330 jiwa. Tingginya jumlah penduduk yang termasuk ke dalam wilayah kerja
Puskesmas Cijagra Lama mengakibatkan banyaknya jumlah pasien yang datang untuk
memperoleh pengobatan.
Terdapat sejumlah instansi pendidikan yang termasuk ke dalam cakupan wilayah kerja
Puskesmas Cijagra lama, diantaranya 12 taman kanak-kanak atau sederajat, 13 sekolah dasar, 6
sekolah menengah pertama, 13 sekolah menengah atas dan 1 sekolah luar biasa.
2.2 Imunisasi
2.3 Poliomielitis
kekakuan otot yang diperjelas dengan tanda-tanda head-drop, tanda tripod saat duduk, tandatanda spinal, tanda Brudzinsky atau Kernig harus dicurigai kemungkinan adanya poliomielitis.
illness
(gejala
ringan)
terjadi
sebagai
akibat
proses
inflamasi
akibat
berkembangbiaknya virus polio. Gejalanya sangat ringan atau bahkan tanpa gejala. Keluhan
biasanya nyeri tenggorok dan perasaan tidak enak di perut, gangguan gastroinstetinal, demam
ringan, perasaan lemas, dan nyeri kepala ringan. Gejala ini terjadi selama 1-4 hari, kemudian
menghilang. Gejala ini merupakan fase enterik dari infeksi virus polio. Masa inkubasi 1-3 hari
dan jarang lebih dari dari 6 hari. Selama masa inkubasi, virus terus bereplikasi pada nasofaring
dan saluran cerna bagian bawah. Gejala klinis yang tidak khas ini terdapat pada 90%-95% kasus
polio.
Major illness (gejala berat) merupakan gejala klinik akibat penyebaran dan replikasi virus
di tempat lain serta kerusakan yang ditimbulkannya. Menurut Hostman, masa ini berlangsung
selama 3-35 hari termasuk gejala minor illness dengan rata-rata 17 hari. Usia penderita akan
mempengaruhi gejala klinis. Sepertiga dari kasus polio berusia 2-10 tahun, akan memberikan
gambaran bifasik atau dromedari yaitu terdapat 2 letupan kedua kelainanan sistemik dan
neurologik. Gejala klinis dimulai dengan demam, kelemahan cepat dalam beberapa jam, nyeri
kepala dan muntah. Dalam waktu 24 jam terlihat kekakuan pada leher dan punggung. Penderita
terlihat mengantuk, irritable dan cemas. Pada kasus tanpa paralisis maka keadaan ini sukar
dibedakan dengan meningitis aseptik yang disebabkan oleh virus lain. Bila terjadi paralisis
biasanya dimulai dalam beberapa detik sampai 5 hari sesudah keluhan nyeri kepala. Pada anak
stadium pre paralisis lebih singkat dan kelemahan otot terjadi dalam waktu penurunan suhu, pada
saat penderita merasa lebih baik. Pada dewasa, stadium pre paralisis berlangsung lebih hebat dan
lebih lama, penderita terlihat sakit berat, tremor, agitasi, kemerahan daerah muka, otot menjadi
sensitif dan kaku, pada otot ekstensor ditemukan refleks tendon meninggi dan fasikulasi.
Poliomielitis merusak sel motorik, yaitu neuron yang besar pada substansi griseria anterior pada
medulla spinalis dan batang otak.
yang tidak lumpuh. Luasnya kerusakan sangat bervariasi. Kesembuhan maksimum biasanya
terjadi dalam 6 bulan dengan paralisis bertahan lebih lama.
Atrofi otot yang progresif pasca poliomielitis ditandai dengan terlihatnya paralisis yang
timbul berulang-ulang dan pengecilan otot pada individu puluhan tahun setelah perjalanan
mereka dengan virus poliomielitis paralitik. Walaupun atrofi otot progresif pasca poliomielitis
jarang terjadi, ini merupakan sindrom yang spesifik. Banyak kasus yang belakangan ini
dilaporkan di AS, dimana pada tahun 1993 ada sekitar 300.000 orang dengan riwayat
poliomielitis.
terhdadap semua sasaran akan mempercepat pemutusan rantai virus polio dan juga untuk
meningkatkan kekebalan tubuh balita terhadap penyakit polio.
2.4.2 Vaksinasi Polio
Imunisasi polio dimulai dari upaya imunisasi pasif dengan menggunakan serum
konvalesen penderita untuk mengobati kasus polio akut. Meskipun berbagai cara
penggunaan/memasukkan serum telah dicoba dengan hasil yang kontroversial, namun akhirnya
terbukti (pada wabah tahun 1931), bahwa cara ini tidak mempunyai manfaat yang bermakna
secara klinis.
Imunisasi aktif mulai dicoba setelah berbagai upaya imunisasi pasif gagal. Penelitian
berkembang menjadi dua arah yaitu virus yang dimatikan dengan menggunakan feno/formalin
(IPV) atau virus dilemahkan (attenuated vaccine OPV) dengan cara melakukan pasasi berulang
pada kultur jaringan. Kedua cara tersebut menghasilkan dua macam vaksin yaitu yang pertama
adalah Inactivated Polio Vaccine dan disusul dengan Oral Polio Vaccine. Kedua vaksin terbukti
dapat menurunkan angka kelumpuhan dan angka kesakitan akibat virus polio. Kriteria vaksin
yang baik adalah vaksin itu harus antigenik, proporsi vaksin trivalent harus sesuai dengan virus
liar yang ada di lingkunan, replikasi dan mutasi harus sangat minimal. Vaksin OPV mengandung
vaksin yang masih hidup sehingga bisa hidup dan berkembangbiak dalam usus. Imunisasi cara
ini tidak hanya membentuk antibodi humoral yang dapat menghambat virus polio menimbulkan
infeksi di sistem saraf pusat, namun juga merangsang sekretori IgA, antibodi sekretori yang
mencegah perlekatan dan replikasi virus di epitel usus. Virus dapat bertahan sampai 17 bulan
setelah imunisasi dan pada anak dengan gammaglobulin, bahkan dapat bereplikasi terus sampai
684 hari. Suntikan IPV bisa menimbulkan antibodi antipolio humoral yang tinggi, namun karena
tidak menimbulkan kekebalan interstinal yang cukup, IPV tidak bisa menghentikan trasmisi virus
polio liar.
2.4.3 Eliminasi
Eliminasi penyakit merupakan upaya intervensi berkelanjutan yang bertujuan menurunkan
insidensi dan prevalensi suatu penyakit sampai pada tingkat nol di suatu wilayah geografis.
Upaya intervensi berkelanjutan diperlukan untuk mempertahankan tingkat nol. Contoh: eliminasi
tetanus neonatorum, poliomielitis, di suatu wilayah. Eliminasi infeksi merupakan upaya
intervensi berkelanjutan yang bertujuan menurunkan insidensi infeksi yang disebabkan oleh
suatu agen spesifik sampai pada tingkat nol di suatu wilayah geografis. Eliminasi infeksi
bertujuan memutus transmisi (penularan) penyakit di suatu wilayah. Upaya intervensi
berkelanjutan diperlukan untuk mencegah terulangnya transmisi. Contoh: eliminasi campak,
poliomielitis, dan difteri. Eliminasi penyakit/ infeksi di tingkat wilayah merupakan tahap penting
untuk mencapai eradikasi global.
Untuk mempercepat eliminasi penyakit polio di seluruh dunia, WHO membuat
rekomendasi untuk melakukan PIN. Indonesia melakukan PIN dengan memberikan satu dosis
polio pada bulan September 1995, 1996, dan 1997. Pada tahun 2002, PIN dilaksanakan kembali
dengan menambahkan imunisasi campak di beberapa daerah. Setelah adanya kejadian luar biasa
(KLB) acute flaccid paralysis (AFP) pada tahun 2005, PIN tahun 2005 dilakukan kembali
dengan memberikan tiga dosis polio saja pada bulan September, Oktober, dan November. Pada
tahun 2006 PIN diulang kembali dua kali/dosis polio yang dilakukan pada bulan September dan
Oktober 2006. Dengan adanya PIN tersebut, frekuensi imunisasi polio bisa lebih dari seharusnya.
Tetapi WHO menyatakan bahwa polio sebanyak tiga kali cukup memadai untuk imunisasi dasar
polio.
2.4.4 Eradikasi
Berbagai manfaat akan diperoleh apabila eradikasi polio global berhasil dicapai, terutama
dunia terbebas dari penyakit polio dan cacat/lumpuh/layu yang terjadi akibat penyakit tersebut,
mengurangi pengeluaran biaya yang diperlukan oleh sistem kesehatan untuk menyelenggarakan
imunisasi dan perawatan kasus-kasus polio yang diperkirakan mencapai US S 1.5 milyar
pertahun.
Pada tahun 1988, dalam sidangnya yang ke 41, WHO telah menetapkan program eradikasi
polio global (global polio eradication initiative) yang ditujukan untuk mengeradikasikan penyakit
polio pada tahun 2000 (ERAPO 2000). Target ini kemudian diformulasikan lagi pada pertemuan
World Summit for Children yang berlangsung tanggal 29-30 September 1990 di New York, yakni
dalam sasaran kesejahteraan anak.
Terbukanya peluang untuk melaksanakan eradikasi polio kemungkinan karena infeksi polio
hanya berlangsung pada manusia, tidak ada binatang reservoir (binatang pengidap polio) maupun
pengidap kronis (chronic carrier), sumber virus polio dari lingkungan yang dapat bertahan lama
tidak ada; virus polio didaerah tropis diluar tubuh hanya bertahan sekitar 48 jam. Selain itu,
kekebalan berlangsung seumur hidup, dan vaksin polio yang efektif telah berhasil
dikembangkan, yakni vaksin polio inaktif pada tahun 1955 oleh Dr. Jonas Salk dan vaksin polio
oral (life attenuated) tahun 1960 oleh Dr. Albert Sabin.
Untuk mencapai eradikasi polio tersebut WHO menetapkan 4 strategi global untuk
mengeradikasi polio pada tahun 2000, yakni imunisasi rutin dengan cakupan > 80%, NID
(National Immunization Days) identik dengan PIN, surveilans AFP dan surveilans virus polio
liar, serta mopping-up.
Latar belakang kebijaksanaan dan strategi ERAPO di Indonesia adalah kesepakatan WHA
(World Health Assembly) 1988 yang menetapkan dicapainya target eradikasi polio global pada
tahun 2000. Untuk mencapai target tersebut di Indonesia telah ditetapkan langkah-langkah
kegiatan, seperti imunisasi rutin dengan OV sebanyak 4 kali, pelaksanaan PIN, dan surveilans
AFP dan virus polio liar.
2. Weakness
Perlunya kejelasan tentang tingkat kelemahan program polio. Dalam hal pelaksanaan PIN,
terdapat kelemahan dalam hal pendistribusian vaksin polio di daerah-daerah terpencil, sehingga
hasil yang diharapkan tidak mencapai target. Misalnya ada beberapa daerah di Nias, dimana
untuk mencapai daerah-daerah yang berbukit di pegunungan membutuhkan waktu selama 2-3
hari sehingga efektivitas vaksin polio tidak maksimal walaupun menggunakan termos es.
3. Opportunity
Adanya Surveilans AFP dan Surveilans virus polio liar dapat mencapai program eradikasi
polio di Indonesia pada tahun 2000. Surveilans polio bertujuan untuk memantau adanya
transmisi virus polio liar disuatu wilayah sehingga upaya pemberantasan menjadi terfokus dan
efisien. Sasaran surveilans adalah kelompok yang rentan terhadap polio, yaitu anak berusia
dibawah 15 tahun. Untuk meningkatkan sensitivitas surveilans polio, pengamatannya dilakukan
pada semua kelumpuhan yang terjadi secara akut dan sifatnya layuh.
4. Threat
Adanya Kejadian Luar Biasa (KLB) polio di salah satu daerah, menunjukkan masih
lemahnya tingkatan sasaran surveilans polio di Indonesia.
sedangkan protektivitas terhadap tipe 3 tercapai setelah 4-5 dosis, bahkan protektivitasnya dapat
mencapai di atas 95% dan tercapai setelah dosis kedelapan. Keuntungan vaksin ini adalah mudah
diberikan (tanpa alat suntik) dan harganya jauh lebih murah dibandingkan IPV. OPV selain dapat
mencegah kelumpuhan, juga merangsang kekebalan usus dan menghambat penempelan, invasi
dan replikai virus liar. Pemberian OPV secara simultan pada suatu daerah akan menaikkan kadar
sekretori IgA usus terhadap virus polio dan memutus rantai hidup virus liar.
Pemberian OPV dalam bentuk tetesan melalui mulut. Vaksin ini mengandung sejumlah
kecil virus hidup yang telah dimodifikasi dari masing-masing tipe polio sehingga tidak
menimbulkan penyakit tersebut, dan antibiotik (neomisin) dalam jumlah amat kecil.
Dosis OPV berisi 3 tipe virus polio dengan titer:
Tipe 1: 106 TCID (tissue culture infective dose) 50/CCID (cell culture infective dose) 50 (10 5,510 6,5),
Tipe 2: 105 TCID (tissue culture infective dose) 50 (10 4,5-10 5,5),
Tipe 3: 10 5,5 TCID (tissue culture infective dose) 50 (10 5,0-10 6).
Gambar 1. OPV
Vaksin polio oral harus disimpan tertutup pada suhu 2-8 C. Vaksin sangat stabil namun
sekali dibuka, vaksin akan kehilangan potensi disebabkan perubahan pH setelah terpapar udara,
kebijaksanaan Departemen Kesehatan & Kesejahteraan Sosial manganjurkan bahwa vaksin polio
yang telah terbuka botolnya pada akhir sesi imunisasi (pasca imunisasi masal) harus dibuang.
Tetapi saat ini kebijaksanaan WHO membolehkan botol-botol yang berisi vaksin dosis ganda
(multidose) digunakan pada sesi-sesi imunisasi, apabila tanggal kadarluarsa tidak terlampaui,
vaksin disimpan dalam keadaan yang sangat dingin (2-8C), botol vaksin yang telah terbuka
yang terpakai hari itu harus dibuang.
Setiap membuka vial baru harus menggunakan penetes (dopper) yang baru. Di unit
pelayanan, vaksin polio yang telah dibuka hanya boleh digunakan selama 2 minggu dengan
ketentuan vaksin belum kadaluarsa, vaksin disimpan dalam suhu 2 C 8C , tidak pernah
terendam air, dan sterilitasnya terjaga.
Cara pemberian dilakukan secara oral melalui mulut, 1 dosis adalah 2 tetes sebanyak 4 kali
(dosis) pemberian, dengan interval setiap dosis minimal 4 minggu. Pada daerah yang tingkat
kasus polionya tinggi (seperti Indonesia) merupakan daerah endemik polio, pemberian extra
imunisasi polio segera setelah lahir (polio 0 pada kunjungan 1) dengan tujuan meningkatkan
cakupan imunisasi. Imunisasi polio 0 diberikan saat bayi akan dipulangkan dari rumah
sakit/rumah bersalin, agar tidak mencemari bayi yang lain mengingat virus polio hidup dapat
dieksresi melalui tinja. Imunisasi polio ulangan diberikan 1 tahun sejak imunisasi polio 4,
selanjutnya saat masuk sekolah (5-6 tahun).
Penyimpanan OPV beku pada temperatur 2-8C. Vaksin yang beku dengan cepat dicairkan
dengan cara ditempatkan antara dua telapak tangan dan digulir-gulirkan, di jaga agar warna tidak
berubah yaitu merah muda sampai orange muda (sebagai indikator pH). Bila keadaan tersebut
dapat terpenuhi, maka sisa vaksin yang telah terpakai dapat dibekukan lagi, kemudian dapt
dipakai lagi sampai warna berubah dengan catatan dan tanggal kadarluwarsa harus selalu
diperhatikan.
Kontraindikasi OPV yaitu pada penyakit akut atau demam (suhu > 38,5C), imunisasi
harus ditunda; muntah atau diare, imunisasi ditunda; sedang dalam pengobatan kortikosteroid
atau imunosupresif oral maupun suntikan, juga pengobatan radiasi umum; serta keganasan dan
penderita HIV.
menimbulkan kadar antibodi lebih tinggi digunakan tahun 1988. IPV merupakan vaksin yang
cukup efektif, 2 dosis akan menimbulkan antibodi yang protektif pada sekitar 90% resipien,
sedang 3 dosis akan meningkatkan protektifitas sampai 99%. Protektivitas terhadap kelumpuhan
berkaitan dengan tingginya kadar antibodi serum. Keuntungan dari IPV adalah virus vaksin telah
dinonaktifkan sehingga tidak bisa bereplikasi. Vaksin ini aman dalam arti tidak menimbulkan
kelumpuhan akibat imunisasi dan tidak berbahaya bagi penderita defisiensi imun, meskipun
vaksin tersebut tetap dibuat dari virus liar. Kerugiannya adalah vaksin ini harus disuntikkan,
relatif mahal dan kurang merangsang timbulnya antibodi IgA sekretori di usus, sehingga tidak
dapat menghambat perlekatan, replikasi polio liar dan tidak dapat menghentikan trasmisi virus
tersebut.
Indikasi pemberian IPV yaitu semua anak harus menerima 4 dosis IPV pada bulan 2, 4 dan
6, serta 4-5 tahun; interval yang lebih disukai antara 3 dosis pertama adalah 2 bulan, jika
perlindungan dipercepat diperlukan, interval minimum antara dosis adalah 4 minggu; tidak ada
dosis tambahan yang diperlukan jika lebih banyak waktu dari yang direkomendasikan berlalu
antara dosis. Mereka yang memulai seri vaksin dengan satu atau lebih dosis OPV harus
menerima IPV untuk menyelesaikan seri vaksinasi. Sebuah interval minimal 4 minggu harus
berlalu antara OPV dan IPV, tetapi celah minimal 2 bulan lebih baik. Inactivated Polio Vaccine
dapat diberikan bersamaan dengan semua lainnya secara rutin direkomendasikan vaksin anak.
Gambar 2. IPV
IPV harus diberikan sebanyak 0,5 ml secara intramuskular pada paha, sebaiknya paha
kanan dengan menggunakan Autodisable Syringe (ADS) yang steril pada setiap penyuntikan.
Bayi harus menerima minimal 4 dosis IPV dengan interval minimal 4 minggu. IPV diberikan
pada usia 2, 4 dan 6 bulan bersamaan dengan vaksin DPT/HB. IPV dapat diberikan dengan aman
berbarengan dengan vaksin DPT, DT, TT, Td, Campak, Mumps, Rubella, BCG, Hepatitis B atau
Hib dan tidak mempengaruhi pembentukan respon imunologik yang dihasilkan masing-masing
vaksin.
Kontraindikasi pemberian IPV adalah pada bayi dengan riwayat hipersensitif terhadap
salah satu komponen vaksin termasukk phenoxyethanol, formaldehid 0,02% neomycin,
streptomycin, polymyxin B. Bayi yang terinfeksi HIV baik simptomatik maupun asimptomatik
bukan kontraindikasi IPV, harus diimunisasi dengan IPV menurut jadwal standar. Tidak ada
gejala klinis yang timbul pada ibu hamil dengan vaksin polio yang dimatikan. Meskipun tidak
ada bukti yang meyakinkan atau melaporkan dampak buruk dari vaksin polio yang dimatikan
pada wanita hamil atau janin yang sedang berkembang, tetapi pemberian polio pada ibu hamil
tetap tidak diberikan.
IPV merupakan vaksin yang freeze sensitive (tidak kuat terhadap suhu beku), sehingga
harus disimpan dan ditransportasikan pada kondisi suhu 2-8oC. Pada tingkat provinsi, vaksin
harus disimpan dikamar dingin/lemari es pada suhu 2-8 oC. Pada tingkat kabupaten/kota dan
puskesmas, vaksin harus disimpan di lemari es pada suhu 2-8oC. Pada pelayanan, vaksin dibawa
dengan menggunakan vaccine carrier yang berisi cool pack (kotak air dingin). Berbeda dengan
OPV, IPV tidak boleh dibekukan.
IPV atau vaksin-vaksin yang mengandung IPV dapat menyebabkan nyeri otot, rasa sakit,
bengkak atau warna merah di tempat injeksi. Sampai 1 dari 10 anak mungkin mengalami demam
ringan dan kehilangan selera makan.