202
Berikan manitol bila diuresis tidak mencukupi secara persisten setelah sebelumnya
diberikan cairan intravascular yang cukup. Pada pemberian transfusi terdapat
kemungkinan yang lebih besar untuk terjadinya keracunan sitrat, hal ini dikarenakan
metabolismenya oleh hati yang terganggu sehingga teradi hipokalsemia akiat kalsium
serum yang diikat oleh sitrat. Berikan kalsium intravena untuk mencegah efek inotopik
negatif akibat penurunan konsentrasi kalsium ionisasi.
11. MONITORING
EKG
Pulse oksimetri
Pemeriksaan AGD untuk melakukan evaluasi status asam basa Intraarterial pressure
(pada pasien dengan resiko perdarahan dan perpindahan cairan ke ruang ketiga
yang banyak)
CVP
Urine output
12. MANAJEMEN PASCAOPERASI
Observasi terhadap kemungkinan perburukan fungsi hepar akibat pemakian obat
anestesi.
Pada pasien dengan kebiasaan minum alkohol terdapat resiko alcohol withdrawal
syndrome setelah 48-72 jam dari waktu terakhir mengkonsumsi alkohol.
13. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis
- Lembar informed consent
14. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter residen di bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif, dokter/ residen bedah, dokter/ residen IPD di lingkungan RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung.
15. REFERENSI:
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for patient with liver disease. Dalam:
Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 789-801 Stoelting RK, Dierdorf SF. Disease of
the liver and billiary track. Dalam: Handbook for Anesthesia and Co-existing
Disease.2002,h: 221-238.
203
TUJUAN : Sebagai acuan dalam peiaksanaan tindakan anestesi pada pasien dengan
CKD yang akan menjalani tindakan pembedahan.
2. RUANG LINGKUP :
Memahami penyebab dari sindrom uremia
Mengoptimalkan fisiologi tubuh yang terganggu akibat CKD/ sindrom
uremia
Menjamin kondisi anestesi yang stabil dan mencegah timbulnya
komplikasi.
3. KEBIJAKAN:
Mengelola kondisi. gangguan organ dan keseimbangan (elektrolit, asam
basa, hormonal)
Menentukan tindakan hemodialisa sesuai indikasi
Mempertahankan aliran darah ginjal seoptimal mungkin
Menentukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan
4. PENGERTIAN :
Sindrom Uremia merupakan kumpulan keadaan klinis yang berhubungan dengan
ketidakseimbangan elektrolit, hormonal, asam basa, serta kelainan metabolic yang
berkembang seiring dengan terjadinya kerusakan ginjal.
5. MANIFESTASI CHRONIC KIDNEY DISEASE DENGAN UREMIA
Neurologis: neuropati perifer, neuropati otonom, muscle twitching,
ensefalopati ( asterixis,myoclonus, letargi, confusion, kejang, koma)
Kardiovaskular; kelebihan cairan, congestive heart failure, hipertensi,
perikarditis, aritmia, blok konduksi, kalsifikasi vascular.aterosklerosis.
Pulmonal: hiperventilasi, edema interstisial, edema alveolar, effuse
pleura.
Gastrointestinal: anoreksia, mual, muntah, gangguan pengosongan
lambung, hiperasiditas, ulserasi mukosa, perdarahan, ileus.
Metabolik;
metabolic
asidosis,
hiperkalemia,
hiponatremia,
hipermagnesemia,
hiperfosfatemia.hipokalsemia,
hiperurisemia,
hipoalbuminemia.
Hematologis; anemia,disfungsi platelet, disfungsi leukosit.
Endokrin;
intoleransi
glukosa,
hiperparatiroid
skunder,
hipertrigliseridemia.
Skeletal; osteodistrofi, kalsifikasi
Kulit; hiperpigmentasi, ekimosis, priritus
6. MANAJEMEN PREOPERATIF
Evaluasi prabedah dimulai dengan mengumpulkan data-data untuk mengetahui
riwayat medis lengkap tentang keadaan kondisi umum yang
204
Alat monitoring standar: EKG, pulse oxymetri, NIBP, temperature, kateter urin
dipergunakan pada operasi yang tidak lama dan kehilangan cairan yang
diperkirakan hanya sedikit.
Arterial line juga diperlukan pada pasien dengan hipertensi tidak terkontrol
dimana dapat terjadi perubahan tekanan darah yang cepat.
205
Induksi:
Dosis obat induksi pada pasien sakit berat/ kritis harus dikurangi, dapat
diberikan thiopental 2-3 mg/ kg, propofol 1-2 mg/ kg, sedangkan pada
pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil dapat diberikan etomidat 0,20,4 mg/ kg.
Obat anestesi inhalasi yang menjadi pilihan adalah gas yang metabolitnya
tidak memperburuk gangguan fungsi ginjal yang telah ada, yaitu: isofluran
dan desfluran.
Penggunaan gas N2O harus hati-hati pada pasien dengan fungsi ventrikel
yang tidak baik dan sebaiknya tidak digunakan pada pasien dengan kadar
hb yang sangat rendah (<7 g/dL).
MANAJEMEN PASCAOPERASI
206
207
2.
RUANG LINGKUP : Diagnosa, tanda klinis, komplikasi, manajemen pre, intra, dan
pascaoperasi.
3.
4. PENGERTIAN :
Penyakit Paru Obstruktif Kronis adalah penyakit pada paru-paru dengan karakteristik
berupa adanya hambatan terhadap aliran udara yang berkembang progresif dan
bersifat irreversible. Terminologi PPOK lebih mengarah kepada bronchitis obstruktif
kronis ( obstruksi pada small air way ), dan emfisema ( pelebaran ruang udara dan
destruksi parenkim paru, hilangnya elastisitas paru, dan penutupan dari small airway).
5. TANDA KLINIS DAN DIAGNOSIS
Bronkitis kronis dan emfisema ditandai dengan:
Riwayat merokok Batuk produktif kronis (> 3 bulan)
Sesak
Keterbatasan aktivitas fisik karena sesak
Pasien yang predominan bronchitis kronis lebih dominan dengan gejala batuk produktif
kronis, sedangkan pada pasien predominan emfisema lebih didominasi dengan gejala
sesak nafas.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda obstruksi jalan nafas saat ekspirasi dengan
masa ekspirasi yang memanjang Pada pemeriksaan Tes Fungsi Paru terdapat
penurunan rasio FEVi/ FVC, dan terdapat penurunan Forced Expiratory Flow antara
25%-75% dari Vital Capacity. Residual Volume meningkat, FRC dan Kapasitas paru
total dapat normal atau meningkat. Rongent toraks: Hiperlusen dan hiperinflasi
AGD: pada pasien Bronkitis kronis biasanya meningkat (>40 mmHg), sedangkan pada
emfisema PaC02 normal atau < 40 mmHg.
6.
EVALUASI FAKTOR RESIKO KOMPLIKASI PARU PASCAOPERASI:
Pre-existing pulmonary disease
Operasi pada abdomen bagian atas atau toraks
Merokok
Obesitas
Umur >60 tahun
Anestesi umum yang memanjang (>3 jam)
208
7. MANAJEMEN PREOPERATIF
Pada operasi elektif pasien dengan PPOK harus optimal teiiebih dahulu
(tidak ada sesak, wheezing, dan batuk, atau dengan sesak/ wheezing/
batuk minimal)
Lakukan intervensi untuk koreksi hipoksemia, bronkospasme,
mengurangi sekresi, dan bila ada infeksi pada saluran nafas harus
diberikan terapi dengan antibiotic.
Hentikan merokok selama 6-8 minggu sebelum operasi untuk
mengurangi sekresi dan komplikasi pascabedah. Paling tidak pasien
yang tidak merokok selama 24 jam akan meningkan Oxygen Carrying
capacity.
Fisioterapi pemafasan preoperative dengan perkusi dan drainase
postural.
Apabila didapatkan hipertensi pulmonal harus diterapi dengan
meningkatkan oksigenasi, dan apabila terdapat corpulmonal dilakukan
digitalisasi terutama bila terdapat gagal jantung kanan.
8. MANAJEMEN INTRAOPERASTIF
Regional anestesi (bila memungkinkan) merupakan teknik pilihan untuk
mengurangi kemungkinan komplikasi pascaoperasi.
Pemberian sedasi pada pasien yang dilakukan regional anestesi
diberikan secara incremental oleh karena pada pasien ini (terutama
geriatric) sangant sensitive terhadap efek depresan dari obatOobat
sedative.
Bila dilakukan anestesi umum maka pertama kali harus dilakukan
preoksigenasi untuk mencegah terjadinya desaturasi oksigen yang cepat.
induksi harus dilakukan dengan smooth. Reflek bronkospasme dapat
ditekan dengan memberikan tambahan thiopental (1-2 mg/kg), ventilasi
dengan volatile 2-3 MAC selama 5 menit, atau pemberian lidokain
intravena atau intratrakeal 1-2 mg/ kg
Pemilihan obat-obatan harus menghindari obat yang bersifat histamine
release (kurare, atrakurium, rnorfin, meperidin), atau bila digunakan
harus diberikan dengan sangat perlahan.
Obat induksi golongan hipnotik yang dapat dijadikan pilihan adalah
propofol, etomidat, dan pada pasien dengan hemodinamik yang tidak
stabil pilihannya adalah ketamin yang bersifat sebagai bronkodilator.
Halotan dan sevofluran merupakan obat pilihan induksi inhalasi yang
paling smooth.
Selama operasi harus dilakukan ventilasi kontrol dengan tidal volume
yang kecil-sedang dan frekuensi yang lambat untuk menghindari "air
trapping"
Penggunaan N2O harus dihindari pada pasien dengan bullae dan
hipertensi pulmanal.
Pengukuran kadar CO2 harus dilakukan sebeiumnya sebagai panduan
dalam melakukan ventilasi selama operasi.
209
Pada akhir operasi dilakukan ekstubasi dengan smooth. Ekstubasi pada saat anestesi
dalam dapat menurunkan resiko reflek bronkospasme, tetapi harus dipastikan terlebih
dahulu bahwa pemafasan pasien sudah adekuat.
9. MANAJEMEN PASCAOPERASI
Intubasi trakeal dan ventilasi mekanik dipertimbangkan untuk dilanjutkan
pada operasi abdominal dan intratorakal pada pasien yang sebelumnya
(preoperative) didapatkan hasil pemeriksaan PCO2 > 50 mmHg dan
FEW FVC < 0,5.
PaC>2 harus dijaga pada rentang 60-100 mmHg dan PaC02 harus berada
pada rentang yang mempertahankan pHa 7,35-7,45
Lakukan maneuver untuk ekspansi volume paru (bemafas dalam, CPAP,
spirometri insentif)
Chest fisioterapi
Analgesia pascaoperasi yang adekuat (neuraxial opioids, blok interkostal,
PCA)
10. DOKUMEN TERKAIT : -
11. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis, dokter residen di bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif di lingkungan RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.
12. REFERENSI:
- Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for patient with respiratory disease.
Dalam: Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 576-578.
- Stoelting RK, Dierdorf SF. Endocrine disease. Dalam: Handbook for Anesthesia and
Co-existing Disease.2002,h: 137-146.
210
TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien dengan
asma bronkial yang akan menjalani tindakan pembedahan.
2.
3.
KEBIJAKAN: Target utama pemberian anestesi umum adalah induksi dan emergence
yang harus smooth.
4. PENGERTIAN :
Asma merupakan penyakit kronis dengan karakteristik berupa inflamasi dan hipereaktifitas
pada jalan nafas (bronkus) akibat berbagai stimulus yang mengakibatkan terjadinya obstruksi
aliran udara ekspirasi yang reversibel.
5.
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis klasik asma adalah: wheezing, batuk, dan sesak.
- Beratnya derajat obstruksi terhadap ekspirasi direfleksikan dari Forced exhaled volume in 1
second (FEVi) dan maximum mid expiratory flow
rate.
Severity
FEVi (%
FEF25.75 (%
Pa02
PaC02
predicted)
predicted)
(mmHg
(mmHg)
)
Mild (asimptomatik)
65-80
60-75
>60
<40
Mode rat
50-64
45-59
>60
<45
Marked
35-49
30-44
<60
>50
Severe
(status
<35
<30
<60
>50
asthmaticus)
FEVi: Forced Expiratory Volume in 1 second; FEF25-75: Forced Expiratory Flow 25-75%
forced vital capacity
Asma yang ringan biasanya ditandai dengan Pa02 normal dan PaC02 normal atau menurun.
Takipnoe dan hiperventilasi selama serangan asma akut lebih merupakan refleksi dari reflekreflek neural pada paru-paru dibanding dengan hipoksia arterial. Pada keadaan terjadi
kelelahan pada otot-otot pernafasan akan mengakibatkan terjadinya hiperkarbia. Nilai PaC02
normal atau tinggi merupakan indikasi bahwa pasien tidak dapat lebih lama lagi
mengkompensasi work of breathing dan merupakan tanda impending respiratory failure.
Pemeriksaan EKG pada obstruksi jalan nafas yang berat ditandai dengan pulsus
paradoksus, perubahan ST-segment, right-axis deviation, dan RBBB. Diagnosa banding
asma adalah: trakeobronkitis, sarkoidosis, rheumatoid arthritis, epiglotitis, croup, gagal
jantung kongestif, emboli paru.
211
6. TERAPI FARMAKOLOGI
Antiinflamasi: Glukokortikoid; menurunkan responsivitas jalan nafas dengan
menurunkan inflamasi pada jalan nafas dan meningkatkan stabilitas pada membran.
Pembenan glukokortikoid sangat berguna baik pada keadaan serangan akut maupun
sebagai terapi maintenan, tetapi membutuhkan waktu beberapa jam untuk bekerja
dengan efektif.
Cromolyn; menghambat proses inflamasi dengan menghambat pelepasan mediatormediator kimia. Diberikan secara inhalasi selama 7 hari sebelum terjadi paparan
terhadap allergen, dan tidak efektif apabila dalam serangan. Leukotien inhibitor
Bronkodilator:
Agonis (3-adrenergik (misal: albuterol); merupakan obat yang paling
bermanfaat dan paling sering digunakan. Efek samping yang mungkin
terjadi adalah stimulasi simpatis (takikardia, disritmia) dan perpindahan
potassium ke dalam sel.
Antikolinergik (iptratropiurn); efek bronkodilatasinya disebabkan oleh aksi
antimuskariniknya dan dapat memblok reflek bronkokonstriksi.
Methylxanthine; menghasilkan bronkodilatasi dengan cara menghambat
phosfodiesterase.
7. TERAPI STATUS ASMATIKUS
P2-agonis tiap 15-20 menit (merupakan terapi yang paling efektif pada saat
emergensi)
Kortikosteroid; kortisol 2 mg/kg iv dilanjutkan dengan 0,5 mg/ kg/ jam, atau
metilprednisolon 60-125 mg iv tiap 6 jam
Oksigen suplemen
Intubasi trakeal dan ventilasi mekanik dilakukan apabila PaC02 > 50
mmHg.
Terapi antibiotik
8. MANAJEMEN PREOPERATIF
Anamnesa yang harus dilakukan adalah tentang: onset terjadinya serangan,
pencetus, riwayat dirawat di rumah sakit akibat asma, faktor alergi, batuk,
sputum (wama dan karakteristiknya), terapi sebelumnya.
Keadaan yang optimal untuk operasi elektif adalah apabila dari pemeriksaan
tidak didapatkan wheezing, batuk, dan sesak. Pada keadaan operasi
emergensi harus diberikan terapi yang agresif sebelumnya.
Pasien yang sering mengalami serangan bronkospasme atau dalam kondisi
kronik harus mendapatkan terapi regimen bronkodilator yang optimal.Terapi
yang dapat diberikan berupa (32-agonis dan glukokortikoid.
Lakukan pemeriksaan ronsen toraks untuk menilai adanya air trapping
(hiperinflasi, diafragma datar, jantung terlihat kecil, paru-paru hiperiusen).
Lakukan pemeriksaan fungsi paru untuk mengkonfirmasi keadaan klinis
yang didapatkan.
212
213
- Halotan dan sevofluran merupakan pilihan obat induksi inhalasi pada anak yang paling
smooth. Isofluran dan desfluran juga sebenarnya mempunyai efek bronkodilatasi
yang sama baiknya dengan halotan dan sevofluran akan tetapi tidak cocok
digunakan untuk induksi inhalasi.
- Maintenan anestesi dengan volatile anestesi memberikan keuntungan pada pasien
asma karena mempunyai efek bronkodilator.
- Apabila isofluran dan desfluran dipergunakan sebagai maintenan anestesi, maka
dosisnya harus ditingkatkan secara perlahan agar tidak menimbulkan iritasi pada
jalan nafas.
- Hindari pemakaian halotan bersamaan dengan aminofilin dan p-agonis karena akan
menyebabkan sensitisasi pada jantung.
- Lakukan ventilasi kontrol dengan gas humidifikasi yang telah dihangatkan. Berikan
tidal volume < 10 ml/ kg dengan memanjangkan fase ekspirasi sehingga dapat
menyeragamkan distribusi aliran udara kedua paru dan mencegah air trapping.
- Bronkospasme yang berat ditandai dengan peningkatan peak inspiratory pressure dan
ekshalasi inkomplit.
- Bila terjadi bronkospasme intraoperatif akan didapatkan tanda-tanda berpa wheezing,
peningkatan peak pressure, penurunan volume tidal ekshalasi, atau terdapat
bentuk peningkatan gelombang kapnograf yang melambat.
- Tindakan yang dilakukan bila terjadi bronkospasme intraoperatif adalah dengan
mendalamkan anestesi dengan meningkatkan konsentrasi volatile.
- Apabila bronkospasme tidak teratasi dengan meningkatkan konsentrasi volatile maka
harus disingkirkan kemungkinan-kemungkinan lain sebelum memberikan obatobatan yang lebih spesifik.
- Kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas,
seperti: ETT yang tertekuk, sekret, overinflasi balon, intubasi bronchial, edema
paru, emboli paru, atau pneumotoraks.
- Kemudian bronkospasme harus diatasi dengan memberikan p-agonis dalam bentuk
inhaler atau metered dose melalui jalur inspirasi dari sirkuit pernafasan, dan
hidrokortison i.v. 1,5-2 mg/ kg terutama pada pasien yang sebelumnya telah
mendapatkan terapi glukokortikoid.
- Pemberian reversal pelemas otot dengan antikolinesterase tidak akan menyebabkan
bronkokonstriksi apabila disertai dengan pemberian entikolinergik dengan dosis
yang tepat.
- Lakukan ekstubasi dalam (bila tidak ada kontraindikasi) untuk mencegah terjadinya
bronkokonstriksi saat pasien bangun.
- Untuk menumpulkan reflek jalan nafas saat ekstubasi dapat diberikan bolus lidokain
1,5-2 mg/ kg atau dengan infus kontinyu 1 -2 mg/ menit.
10. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis
- Lembar informed consent
12. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter residen di bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif, dokter/ residen bedah, dokter/ residen IPD di lingkungan
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.
214
13. REFERENSI:
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for patient with respiratory disease.
Dalam: Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 573-576 - Stoelting RK, Dierdorf SF.
Asthma. Dalam: Handbook for Anesthesia and Co-existing Disease.2002,h: 147-156.
215
2.
3.
4. PENGERTIAN :
Overweight dan obesitas diklasifikasikan menggunakan indeks massa tubuh (Body
Mass Index/ BMI). Overweight didefinisikan apabila BMI > 24 kg/ m 2, Obesitas bila BMI
> 30, dan morbid obesity bila BMI 2 40. Resiko penyakit akan semakin meningkat
dengan meningkatnya derajat obesitas.
5. MANIFESTASI KLINIS:
Obesitas biasanya berhubungan dengan berbagai penyakit penyerta, seperti:
- Hipertensi sistemik ringan-sedang; hipertensi pada pasien dengan abesitas terjadi
karena peningkatan volume cairan ekstraselular, peningkatan cardiac output, dan
hiperinsulinemia. Pada keadaan hipoksia arterial kronik/ peningkatan volume darah
paru akan disertai dengan hipertensi pulmonal.
- Congestive heart failure; keadaan hipertensi sistemik yang kronis akan menyebabkan
terjadinya hipertropi konsentrik pada ventrikel kiri, bila disertai dengan hipervolemia
akan meningkatkan resiko terjadinya congestive heart failure.
- Diabetes mellitus; peningkatan jaringan lemak akan meningkatkan resistensi jaringan
perifer terhadap efek insulin.
- Penyakit hepatobillier; Pada pasien obesitas sering ditemui tes fungsi hati yang tidak
normal dan infiltrasi fatty liver.
- Penyakit tromboembolik; resiko untuk terjadinya deep vein thrombosis pada pasien
obesitas yang akan menjalani pembedahan akan meningkat.
Sindrom metabolik: obesitas, hipertensi, dan DM tipe II.
Walaupun tidak terdapat penyakit penyerta, pada morbid obesity akan terjadi
perubahan fisiologis sebagai konsekuensinya.
Perubahan Fisiologis pada pasien obesitas:
- Perubahan fisologis yang terjadi dapat berupa peningkatan laju metabolik yang
proporsional terhadap berat badan sehingga terjadi peningkatan kebutuhan
oksigen, produksi CO2, dan ventilasi alveolar.
- Komplain, resistensi paru, dan work of breathing; Jaringan lemak yang berlebihan pada
dinding dada akan menurunkan komplain dinding dada, walaupun komplain dari
paru sendiri sebenamya tidak berubah. Work of
216
breathing akan meningkat sehingga pasien bernafas cepat dan dangkal terutama pada
posisi supine.
Peningkatan massa intraabdomen akan mendesak diafragma ke sefalad sehingga
menyebabkan gambaran penyakit paru restriksi.
Pengurangan volume paru akan bertambah besar dengan posisi supine atau
trendelenburg.
Apabila FRC turun di bawah closing capacity maka beberapa alveoli akan menutup
saat ventilasi dengan tidal volume sehingga terjadi ketidaksesuaian ventilasi/
perfusi.
Pasien obesitas biasanya ditemukan dalam keadaan hipoksik, apabila terjadi keadaan
hiperkapnik maka kita harus waspada akan segera timbulnya komplikasi.
Sindrom obesitas-hipoventilasi (Pickwickian syndrome) merupakan komplikasi dari
morbid obesity yang ditandai dengan hiperkapnia, sianosis, polisitemia, gagal
jantung kanan, dan somnolen.
Pasien dengan Obstuctive Sleep Apnoe Syndrome (OSAS) biasanya berhubungan
dengan komplikasi pascaoperasi: hipertensi, hipoksia, aritmia, myocardial infark,
edema paru, dan stroke.
Beban kerja jantung akan meningkat oleh karena memberikan perfusi ke tambahan ke
simpanan lemak. Peningkatan cardiac output dengan meningkatkan stroke volume
pada suatu saat akan menyebabkan terjadinya hipertensi dan hipertropi ventrikel kiri.
Peningkatan aliran darah pulmonal dan vasokonstriksi pembuluh darah paru akibat
hipoksia yang persisten akan menyebabkan hipertensi pulmonal dan cor pulmonal.
Obesitas menyebabkan gangguan gastrointestinal berupa: hiatal hernia, refluk
gastroesofageal, gangguan pengosongan lambung, hiperasiditas cairan lambung,
dan beresiko untuk terjadinya kanker lambung.
6. MANAJEMEN PREOPERATIF
Pasien obes beresiko untuk terjadinya pneumonia aspirasi. Oleh karena itu
pertimbangkan untuk diberikan premedikasi dengan antagonis H2 dan metoklopramid.
- Pemberian premedikasi dengan obat yang dapat menimbulkan depresi pernafasan
harus dihindari pada pasien yang sebelumnya sudah terdapat hipoksia, hiperkapnia,
dan obstructive sleep apnoe.
- Pemeriksaan fisik pada pasien dengan morbid obesity harus difokuskan pada fungsi
kardiopulmonal dengan didukung pemeriksaan penunjang foto toraks, EKG, AGD,
dan tes fungsi paru.
- Tekanan darah harus diukur dengan manset yang berukuran tepat. Perhatikan
kemungkinan terdapatnya kesulitan jalan nafas. Pasien obesity biasanya sulit
untuk dilakukan intubasi dikarenakan pergerakan sendi temporomandibula dan
atlantooksipital yang terbatas, jalan nafas atas yang sempit, dan pendeknya jarak
antara mandibula dengan lemak di sternum.
7. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Pilhan taknik dan obat anestesi yang terbaik sampai saat ini tidak diketahui.
217
MANAJEMEN PASCAOPERATIF
Pasien harus tetap terintubasi sampai pernafasan adekuat.
- Ekstubasi dilakukan setelah tidak ada lagi efek dari pelemas otot dan pasien sudah
benar-benar bangun.
- Bila ektubasi dilakukan di kamar bedah, berikan suplemen oksigen saat transportasi
pasien ke ruang pemulihan.
- Posisikan pasien setengah duduk ( 45") untuk meningkatkan ventilasi dan oksigenasi.
- Resiko terjadinya hipoksia dapat berlangsung selama beberapa hari pascaoperasi,
oleh karenanya harus tetap dilakukan monitoring walaupun pasien sudah di
ruangan.
6. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis
- Lembar informed consent
7. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter residen di bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif, dokter/ residen bedah, dokter/ residen IPD di lingkungan RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung
218
8. REFERENSI:
- Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for patient with endocrine disease.
Dalam: Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 813-815
- Stoelting RK, Dierdorf SF. Nutritional disease and inborn errors of metabolism. Dalam:
Handbook for Anesthesia and Co-existing Disease.2002,h: 333-344.
219
2.
3.
4. PENGERTIAN :
Diabetes mellitus merupakan penyakit endokrin dimana terjadi gangguan
metabolisme yang disebabkan oleh defisiensi insulin absolut maupun relatif
atau gangguan pada responsivitas insulin yang menimbulkan keadaan
hiperglikemia dan glukosuria.
5. KLASIFIKASI
Diabetes mellitus diklasifikasikan dalam 4 tipe, yaitu:
- Tipe I (IDDM) : defisiensi insulin absolut akibat gangguan imunitas atau
idiopatik, onset pada usia muda, resiko terjadi ketosis, terdapat antibodi
terhadap sel islet.
- Tipe II (NIDDM): resistensi insulin walaupun sekresi insulin adekuat, onset
biasanya pada usia > 40 tahun, resistensi ketosis, obesitas.
- Tipe III (Diabetes Sekunder): tipe diabetes mellitus spesifik sebagai akibat
sekunder, seperti: penyakit pankreas.
- Tipe IV (gestasional): terjadi intoleransi glukosa, onset 24-30 minggu usia
kehamilan.
6.
MANIFESTASI KLINIS
IDDM: hiperglikemia, poliuria, polidipsia, penurunan berat badan.
- NIDDM: hiperglikemia, poliuria, polidipsia, penurunan berat badan, gula
darah puasa >140 mg/ dl_, tes toleransi glukosa peroral abnormal.
DM gestasional: tes toleransi glukosa peroral abnormal.
DM sekunder: hiperglikemi, poliuria, polidipsia, penurunan berat
badan.
- Pasien dengan NIDDM biasanya asimptomatik atau hanya menunjukkan
sedikit gejala ( 50% tidak terdiagnosis).
7. KOMPLIKASI DIABETES MELLITUS dan PENATALAKSANAANNYA
Terdapat 4 komplikasi dari DM, yaitu: Metabolik:
ketoasidosis, hipoglikemia Makrovaskular: CAD, CVD,
peripheral vascular disease. Mikrovaskular. retinopati,
nefropati. Nervous system: neuropati otonom, neropati
perifer.
220
222
223
Infus Kontinyu
10. MANAJEMEN
PASCAOPERATIF
Monitoring gula darah
hams dilanjutkan post
operatif karena terdapat
variasi
individual dari onset
dan duration of action
dari insulin (regular dan
NPH),
selain itu dapat terjado
progresi dari stress
hiperglikemia saat
periode
pemulihan.
Apabila durante operasi
diberi banyak Ringer
Lactate (RL) gula darah
biasanya akan naik 2448 jam Postoperatif
saat hepar
mengkonversi laktat
menjadi glukosa.
Karakteristik dan
bioavaibilitas dari
insulin :
Insulin type
Short acting
Lispro
Regular, Actrapid,
Velosulin
Semilente,
Semitard
Intermediate
Long Acting
11. DOKUMEN
TERKAIT :- Catatan
rekam medis
Lem
bar
infor
med
con
sent
12. UNIT TERKAIT :
Dokter
spesialis
anestesi,
dokter
residen di bagian
Onset
10-20
min
15-30
min
30-60
min
2-4 hr
4-5 hr
Peak
Duration
action
30-90 min 4-6 hr 5-7 hr
1-3 hr 4-6 12-16 hr
hr
8-10 hr
18-24 hr
8-12 hr
25-36 hr
Anestesiologi dan
Terapi
Intensif,
dokter/
residen
bedah,
dokter/
residen IPD di
lingkungan RSUP
Dr. Hasan Sadikin
Bandung
13. REFERENSI:
Morgan GE, Mikhail
MS, Murray MJ.
Anesthesia for patient
with endocrine disease.
Dalam: Clinical
Anesthesiology, ed.4,
2006, h: 808-809
Stoelting RK,
Dierdorf SF. Endocrine
disease. Dalam:
Handbook for
Anesthesia and Coexisting
Disease.2002,h: 301315.
224
2.
3.
KEBIJAKAN : Pada operasi elektif pasien harus dalam keadaan eutiroid dan
gejala klinis yang sudah terkontrol.
4. PENGERTIAN :
Hipertiroid merupakan suatu keadaan disfungsi kelenjar tiroid dengan produksi
hormone triiodotironin (T3) dan atau tiroksin (T4) yang bertebihan. Hormon tiroid
menyebabkan peningkatan metabolisme karbohidrat dan lemak yang sangat
berperanan dalam kecepatan pertumbuhan dan metabolism. Peningkatan metabolism
akan menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen dan produksi C02 yang secara
tidak langsung meningkatkan ventilasi semenit, denyut jantung, kontraktilitas, dan
produksi panas/energi.
5. MANIFESTASI KLINIS:
Goiter
Takikardia
Ansietas
Tremor halus
Penurunan berat badan
Intoleransi terhadap panas.
Kelemahan otot
Fatigue
Eksoptalmus
Cardiac signs dapat berupa: sinus takikardia, atrial fibrilasi, gagal jantung
kongestif.
6. DIAGNOSIS
Diagnosis hipertiroid ditegakkan dengan pemeriksaan tes fungsi tiroid yang abnormal
dimana terjadi peningkatan kadar total (terikat dan tidak terikat) T4, T3 serum dan T4
bebas (tidak terikat).
7. TERAPI HIPERTIROID
Terapi Medikamentosa Inhibitor sintesa hormon: propiltiourasil, metimazol Inhibitor
pelepasan hormon: potassium, sodium iodide Aktivitas adrenergik yang
bertebihan diatasi dengan antagonis 3-adrenergic, misal: propanolol, nadolol,
atenolol.
225
226
227
2.
3.
4.
5.
228
2.
3.
4. PENGERTIAN :
Hipotiroid merupakan disfungsi kelenjar tiroid yang ditandai dengan penurunan
produksi hormone tiroid T3 dan atau T4. Hipotiroid dapat disebabkan primer oleh
penyakit autoimun, tiroidektomi, pemakaian iodine radioaktif, medikasi dengan
antitiroid, defisiensi iodine, atau sekunder akibat kegagalan hypothalamic-pituitary axis.
5. MANIFESTASI KLINIS:
Hipotiroid yang terjadi pada masa neonatal akan mengakibatkan kretinism
yang ditandai dengan gangguan pertumbuhan fisik, dan retardasi mental.
Pada dewasa gejala hipotiroid tidak begitu jelas terlihat.
Letargi
Peningkatan berat badan
Intoleransi terhadap dingin
Fatigue
Konstipasi
Hiporeflek
Depresi
Bradikardia
Kontraktilitas jantung, stroke volume, dan cardiac output menurun.
Ekstremitas dingin dan mottled akibat vasokonstriksi perifer
Atropi kortek adrenal
Hiponatremia
Kadang terdapat efusi pleural, abdominal, dan pericardial.
Pada keadaan hipotiroid subklinis gangguan kardiovaskular jarang terjadi
6. DIAGNOSIS
Diagnosis hipotiroid ditegakkan dengan kadar T4 bebas yang rendah. Hipotiroid
primer dibedakan dengan hipotiroid sekunder dengan peningkatan kadar
TSH.
7. TERAPI
Terapi pengganti dengan preparat hormone tiroid (T4)
229
8. PERMASALAHAN PERIOPERATIF
Peningkatan sensitivitas temadap obat yang menimbulkan depresi
Hipodinamik kardiovaskular
Penurunan laju jantung
Penurunan cardiac output
Metabolisme obat menjadi lambat
Reflek baroreseptor yang tidak responsif
Kegagalan respon ventilasi terhadap hipoksemia dan hiperkarbia
Hipovolemia
Gangguan pengosongan lambung
Hiponatremia
Hipotermia
Anemia
Hipoglikemia
Insufisiensi adrenal
9. KOMPLIKASI HIPOTIROID (KOMA MYXEDEMA)
Koma Myxedema merupakan komplikasi dari hipotiroid yang ekstrim. Gejalanya
yaitu: penurunan kesadaran, hipoventilasi, hipotermi, hiponatremia (akibat
sekresi ADH), kolaps kardiovaskular, koma, dan dapat menyebabkan kematian.
Sering terjadi pada orang tua yang dicetuskan oleh proses pembedahan, infeksi, atau
trauma.
Penatalaksanaannya adalah dengan memberikan hormon tiroid T3 atau T4 intravena,
dengan dosis awal levotiroksin sodium 300-500 mg (pada pasien tanpa penyakit
jantung) diikuti dengan dosis pemeliharaan 50 mg/ hari, steroid (misalnya hidrokortison
100 mg tiap 8 jam). Selama terapi lakukan pemantauan EKG terhadap tanda-tanda
iskemik atau aritmia. Pertimbangkan bantuan ventilasi dan pemanasan eksternal bila
diperiukan.
10. MANAJEMEN PREOPERATIF
Pasien yang akan menjalani operasi elektif dengan keadaan hipotiroid
berat (T4 < 1 mg/dl) atau koma myxedema harus ditunda.
Pasien dengan hipotiroid berat (T4< 1 mg/ dl_) atau koma myxedema
yang akan menjalani operasi emergensi harus mendapatkan terapi
dengan hormone tiroid terlebih dahulu sebelum operasi.
Keadaa preoperatif yang ideal adalah pasien dalam keadaan eutiroid,
tetapi keadaan hipotiroid ringan-sedang bukan merupakan kontraindikasi
absolute untuk dilakukan operasi.
Evaluasi semua permasalahan yang mungkin ada akibat hipotiroid (poin
no.8)
Berikan terapi pengganti hormon tiroid untuk mencapai keadaan eutiroid
pada saat operasi.
Berikan kortisol suplemen sebagai medikasi preoperatif.
Pada keadaan hipotiroid pasien sangat sensitif terhadap obat-obatan
sedasi yang dapat menimbulkan depresi jalan nafas dan pada keadaan
230
231
2.
RUANG LINGKUP :
hipertensi.
3.
4. PENGERTIAN :
Hipertensi sistemik : tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih pada
dua saat pengukuran yang terpisah paling sedikit 1 sampai 2 minggu.
Hipertensi krisis : tekanan darah > 180/120 mmHg, dibagi menjadi 2
kategori
Hipertensi emergensi : bila didapatkan kerusakan target organ yang
akut. Tujuan terapi : menurunkan tekanan diastolik secara cepat
namun bertahap (penurunan MAP sebanyak 20% dalam 60 menit
pertama dan kemudian secara bertahap)
Hipertensi urgensi : peningkatan tekanan darah yang berat, tetapi
tidak didapatkan tanda-tanda kerusakan target organ. Gejala yang
mungkin timbul adalah nyeri kepala, epistaxis, atau kecemasan.
Hipertensi borderline : tekanan diastolik 85-89 mmHg atau tekanan
sistolik 130-139 mmHg
Hipertensi berat : peningkatan tekanan darah secara progresif dan
terus menerus, di mana tekanan diastolik melebihi 110-119 mmHg dan
didapatkan disfungsi renal.
Hipertensi malignan : 'true medical emergency', dengan tanda-tanda
hipertensi berat (> 210/120 mmHg), papilledema, dan ensefalopati.
5. PATOFISIOLOGI:
Essensial/primer (idiopatik) : 80-95% kasus dan berhubungan
dengan peningkatan yang abnormal dari baseline cardiac output,
tahanan vaskuler sistemik, atau keduanya.
Sekunder : penyakit ginjal, hiperaldosteronism primer, sindroma
Cushing, acromegaly, pheochromocytoma, kehamilan, atau terapi
estrogen.
6. DIAGNOSIS
Diagnosis hipertensi tidak dapat dibuat hanya berdasarkan satu kali pemeriksaan
preoperasi saja, namun memerlukan konfirmasi melalui adanya riwayat peningkatan
tekanan darah yang konsisten. Dalam hal ini, hasil pengukuran tekanan darah
dipengaruhi oleh postur, waktu dilakukan pemeriksaan (siang atau malam), kondisi
232
PANDUAN
ANESTESI
REGIONAL
232
4.
TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi spinal pada pasien
yang akan menjalani tindakan pembedahan.
2.
RUANG LINGKUP:
3.
KEBIJAKAN :
5. PROSEDUR:
Penentuan Indikasi:
Operasi abdomen bagian bawah, inguinal, urogenital, rectal, dan ekstremitas bagian bawah
Kontra Indikasi:
Absolut:
infeksi pada daerah tempat tusukan
Pasien menolak
Koagulopati atau gangguan perdarahan
Hipovolemia berat
Peningkatan tekanan intracranial
Severe aortic/ mitral stenosis
Relatif:
Sepsis
Pasien tidak kooperatif Defisit neurologis
sebelumnya Severe spinal deformity
Kontroversi:
Bekas operasi pada tempat tusukan
Pasien yang tidak bisa berkomunikasi
Prosedur operasi yang kompleks (durasi lama, perdaraha banyak)
PERSIAPAN ALAT/ OBAT:
Sumberoksigen
Peralatan manajemen Jalan Nafas (lihat pedoman persiapan pra-bedah)
Obat-obatan emergensi/ resusitasi
Monitor tekanan darah, pulse oximetry, EKG
Regional set steril, bethadine, alkohol
Jarum spinal no. 25/27/29
Spuite 3cc / 5cc
233
Untuk operasi elektif : bila didapatkan tekanan darah diastolik > 110 mmHg,
an
operasi ditunda sampai tekanan darah terkontrol.
kisar
Pasien dengan hipertensi yang tidak mendapat terapi atau tidak terkontrol
an
dapat mengalami iskemia miokard, aritmia, hipertensi, maupun hipotensi
hiper
selama intraoperatif.
tensi
bord
9. MANAJEMENINTRA-OPERASI
erlin
9.1. Tuiuan :
e
235
II
ll
II
II
Jarum spinal akan menembus kulit, sub kutis, ligamentum supra spinosus,
ligamentum interspinosus, dan ligamentum flavum.
Bila tusukan berada pada arah yang tepat, maka kita akan merasakan dua
perubahan tahanan.
Tahanan pertama terjadi saat kita menembus ligamentum flavum dan tahanan
kedua saat menembus permukaan membrane dura-arachnoid.
Setelah tahanan yang kedua (terasa seperti loss of resistance atau "pop"),
tusukan jarum dihentikan. Pada saat ini ujung telah berada di ruang sub
arachnoid.
Tarik stylet dari jarum spinal sehingga LCS mengalir bebas. Apabila LCS tidak
keluar maka dicoba untuk mendorong jarum spinal.
Urutan tindakan di atas diulangi sampai didaptkan LCS
Paramedian Approach
Biasanya dilakukan pada pasien yang telah mengalami kalsifikasi pada
ligamentum interspinosus atau kesulitan untuk memposisikan pasien pada posisi
fleksi.
Tentukan daerah tusukan dengan menarik garis 2 cm ke lateral dari aspek inferior
dari prosesus spinosus superior dari daerah yang diinginkan.
Jarum spinal ditusukkan dengan membentuk sudut 10-25 derajat kea rah garis
tengah.
Identifikasi ligamentum flavum pada paramedian tidak begitu dapat kita rasakan
dibandingkan dengan pendekatan median.
Jika jarum membentur tulang pada saat jarum masuk tidak begitu dalam, maka
biasanya jarum membentur bagian medial dari lamina bagian bawah. Untuk itu
jarum harus diarahkan kembali sedikit ke atas dan lebih ke lateral.
Sebaliknya bila jarum membentur tulang setelah jarum dimasukkan begitu dalam,
maka biasanya jarum membentur bagian lateral dari lamina bawah. Jarum harus
diarahkan kembali sedeikit lebih ke atas dan medial dari garis tengah.
Sebelum menghubungkan spuit dengan hub dari jarum spinal, pastikan teriebih
dahulu tidak ada darah pada aliran LCS. Tunggu sampai aliran LCS benar-benar
bening.
Lakukan barbotase dan kemudian masukkan obat lokal anestesi dengan
kecepatan 1 cc/ 3 detik. Dosis yang dibutuhkan adalah sebagai berikut:
Dosis (mg)
Obat (hiperbarik)
Procaine
Bupivacaine
Tetracaine
Lidocaine
Ropivacaine
Perineum,
Lower Limbs
75
4-10
4-8
25-50
8-12
Abdomen Bawah
125
12-14
10-12
50-75
12-16
Abdomen Atas
200
12-18
10-16
75-100
16-18
Posisikan pasien sesuai dengan kebutuhan prosedur operasi yang akan dilakukan.
235
II II II
11
I
II
9.2. Induksi:
Seki
tar
25%
pasi
en
den
gan
hipe
rten
si
dap
at
men
gala
mi
hipe
rten
si
bera
t
setel
ah
intu
basi
end
otra
khe
al,
sehi
ngg
a
tind
aka
n
Ketamin
kontraindikasi
untuk
prosedur
elektif,
karena
menyebabkan stimulasi simpatis (bila digunakan dapat disertai dengan
pemberian dosis kecil propofol atau benzodiazepin)
9.3. Monitoring :
236
Pengukuran tekanan darah dan laju nadi harus sesegera mungkm dilakukan
setelah obat disuntikkan.Pengukuran dilakukan tiap menit pada 15 menit pertama
kemudian tiap 3 menit setelahnya.
Bila terjadi hipotensi berikan vasopresor (efedrin 5-10 mg) dan/ cairan
Sensasi suhu diperiksa dengan menggunakan kapas alcohol, dan distribusi blok
sensoris dinilai dengan tes pinprick
Selama operasi berikan suplemen oksigen dengan nasal kanul 2-3 l/menit.
6.
DOKUMEN TERKAIT :-
7. UNIT TERKAIT :
236
Dapat dilanjutkan penggunaan obat inhalasi dengan atau tanpa nitrous intubasi
atau
oxide
Balanced technique : opioid + nitrous oxide + obat pelumpuh otot, atau manipula
si
teknik intravena total
sympathetic agonists
Bila terjadi hipotensi dapat diberikan dosis kecil direct acting agent
(phenylephrine 25-50 ug) atau ephedrine 5-10 mg iv (bila terjadi
peningkatan tonus vagal)
Pemberian epinephrine dengan dosis yang tidak tepat pada pasien
dengan hipertensi dapat mengakibatkan morbiditas kardiovaskuler
yang bermakna
I
1
II
II
II
II
II
II
237
I
II
II
II
II
238
tI