Anda di halaman 1dari 40

Hindari pemberian sedasi pada pasien dengan ensefalopati.

10. MANAJEMEN INTRAOPERATIF


Hindari kontak langsung dengan darah dan cairan tubuh pasien, hal ini
dikarenakan kemungkinan pasien menderita hepatitis B atau C.
Pilihan obat-obatan dan teknik anestesi yang tebaik pada pasien dengan
sirosis tidaklah diketahui.
Respon terhadap obat anestesi pada pasien sirosis tidak dapat
diperkirakan. Hal ini dikarenakan terjadi perubahan pada sensitivitas
saraf pusat, volume distribusi, ikatan proein, dan eliminasi obat.
Peningkatan volume distribusi pada obat dengan struktur ion yang besar
seperti pelemas obat menyebabkan kebutuhan dosis obat yang lebih
besar, tetapi untuk obat-obatan yang metabolismenya terjadi di hati
(pancuronium, vecuronium.dan rocuronium) harus dikurangi dosisnya.
Apabila kita memakai suksinilkolin sebagai pelemas otot, terdapat resiko
untuk pemanjangan efek obat dikarenakan penurunan kadar
pseudokolinesterase.
Pada pasien sirosis telah terjadi penurunan aliran darah vena porta.
Hindari penurunan perfusi hepar.
Induksi dengan menggunakan barbiturat atau propofol dengan
pemeliharaan memakai isofluran dengan campuran oksigen dan air
merupakan teknik yang sering dipergunakan.
Lakukan intubasi awake atau rapid sequence induction dengan
penekanan krikoid pada pasien yang tidak stabil atau dengan perdarahan
aktif dengan menggunakan ketamin atau etomidat dan suksinilkolin.
Hindari penggunaan halotan.
Penggunaan suplemen opioid dapat mengurangi pemakaian volatile
sehingga meminimalisasi penurunan MAP, tetapi waktu paruh opioid
akan memanjang secara signifikan yang akan menyebabkan depresi
pernafasan yang memanjang.
Atrakurium
merupakan pelumpuh otot
pilihan dikarenakan
metabolismenya yang bersifat nonhepatik.
Obat anestesi innalasi yang menjadi pilihan utama adalah isofluran, hal
ini dikarenakan isofluran mempunyai efek yang paling kecil terhadap
aliran darah hepar.
Faktor-faktor yang menyebabkan penurunan aliran darah hepar harus
dihindari. Faktor-faktor ini adalah: hipotensi, rangsangan simpatis yang
berlebihan, tahanan jalan nafas yang terlalu besar pada saat melakukan
ventilasi kontrol.
Teknik regional anestesi dapat dilakukan bila tidak terdapat gangguan
koagulasi dan keadaan hipotensi.
Pada saat preoperatif kita sering melakukan restriksi sodium, tetapi pada
masa intraoperatif prioritas kia adalah menjaga volume intravascular dan
dieresis.
Gunakan cairan predominan koloid untuk menghindari kelebihan sodium
dan untuk meningkatkan tekanan onkotik.

202

Berikan manitol bila diuresis tidak mencukupi secara persisten setelah sebelumnya
diberikan cairan intravascular yang cukup. Pada pemberian transfusi terdapat
kemungkinan yang lebih besar untuk terjadinya keracunan sitrat, hal ini dikarenakan
metabolismenya oleh hati yang terganggu sehingga teradi hipokalsemia akiat kalsium
serum yang diikat oleh sitrat. Berikan kalsium intravena untuk mencegah efek inotopik
negatif akibat penurunan konsentrasi kalsium ionisasi.
11. MONITORING
EKG
Pulse oksimetri
Pemeriksaan AGD untuk melakukan evaluasi status asam basa Intraarterial pressure
(pada pasien dengan resiko perdarahan dan perpindahan cairan ke ruang ketiga
yang banyak)
CVP
Urine output
12. MANAJEMEN PASCAOPERASI
Observasi terhadap kemungkinan perburukan fungsi hepar akibat pemakian obat
anestesi.
Pada pasien dengan kebiasaan minum alkohol terdapat resiko alcohol withdrawal
syndrome setelah 48-72 jam dari waktu terakhir mengkonsumsi alkohol.
13. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis
- Lembar informed consent
14. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter residen di bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif, dokter/ residen bedah, dokter/ residen IPD di lingkungan RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung.
15. REFERENSI:
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for patient with liver disease. Dalam:
Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 789-801 Stoelting RK, Dierdorf SF. Disease of
the liver and billiary track. Dalam: Handbook for Anesthesia and Co-existing
Disease.2002,h: 221-238.

203

ANESTESI PADA PASIEN DENGAN CHRONIC KIDNEY DISEASE


(CKD)
1.

TUJUAN : Sebagai acuan dalam peiaksanaan tindakan anestesi pada pasien dengan
CKD yang akan menjalani tindakan pembedahan.

2. RUANG LINGKUP :
Memahami penyebab dari sindrom uremia
Mengoptimalkan fisiologi tubuh yang terganggu akibat CKD/ sindrom
uremia
Menjamin kondisi anestesi yang stabil dan mencegah timbulnya
komplikasi.
3. KEBIJAKAN:
Mengelola kondisi. gangguan organ dan keseimbangan (elektrolit, asam
basa, hormonal)
Menentukan tindakan hemodialisa sesuai indikasi
Mempertahankan aliran darah ginjal seoptimal mungkin
Menentukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan
4. PENGERTIAN :
Sindrom Uremia merupakan kumpulan keadaan klinis yang berhubungan dengan
ketidakseimbangan elektrolit, hormonal, asam basa, serta kelainan metabolic yang
berkembang seiring dengan terjadinya kerusakan ginjal.
5. MANIFESTASI CHRONIC KIDNEY DISEASE DENGAN UREMIA
Neurologis: neuropati perifer, neuropati otonom, muscle twitching,
ensefalopati ( asterixis,myoclonus, letargi, confusion, kejang, koma)
Kardiovaskular; kelebihan cairan, congestive heart failure, hipertensi,
perikarditis, aritmia, blok konduksi, kalsifikasi vascular.aterosklerosis.
Pulmonal: hiperventilasi, edema interstisial, edema alveolar, effuse
pleura.
Gastrointestinal: anoreksia, mual, muntah, gangguan pengosongan
lambung, hiperasiditas, ulserasi mukosa, perdarahan, ileus.
Metabolik;
metabolic
asidosis,
hiperkalemia,
hiponatremia,
hipermagnesemia,
hiperfosfatemia.hipokalsemia,
hiperurisemia,
hipoalbuminemia.
Hematologis; anemia,disfungsi platelet, disfungsi leukosit.
Endokrin;
intoleransi
glukosa,
hiperparatiroid
skunder,
hipertrigliseridemia.
Skeletal; osteodistrofi, kalsifikasi
Kulit; hiperpigmentasi, ekimosis, priritus
6. MANAJEMEN PREOPERATIF
Evaluasi prabedah dimulai dengan mengumpulkan data-data untuk mengetahui
riwayat medis lengkap tentang keadaan kondisi umum yang

204

meliputi tanda manifestasi dan uremia dan hasil pemeriksaan


laboratorium/ penunjang secara lengkap untuk memastikan apakah
pasien berada dalam kondisi medis yang optimal. Semua manifestasi
uremia yang telah disebutkan di atas harus dikontrol.
Pemeriksaan fisik dan evaluasi laboratorium harus difokuskan pada
pemeriksaan fungsi jantung dan respirasi.
Perhatikan tanda-tanda hipovolemia atau hypervolemia. Periksa
kesadaran, membrane mukosa, perubahan ortostatik terhadap laju nadi
dan tekanan darah, dieresis, laju nadi, isi dan tekanan nadi, tekanan
darah, dan turgor kulit.
Pemeriksaan EKG untuk mendeteksi tanda-tanda hiperkalemia atau
hipokalsemia, iskemik, blok konduksi, hipertropi ventrikel.
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah darah rutin.waktu
perdarahan dan faktor koagulasi (terutama bila akan dilakukan anestesi
regional), serum elektrolit, BUN, kreatinin, gula darah.
Pada pasien yang sesak sebaiknya diperiksa AGD untuk mengetahui
apakah terdapat hipoksemia dan status asam basa.
Transfusi darah hanya diberikan pada pasien dengan anemia berat (hb <
6-7 g/dL) atau bila diperkirakan pada saat operasi akan terjadi
perdarahan yang banyak.
Pemeriksaan EKG untuk mendeteksi tanda-tanda hiperkalemia atau
hipokalsemia, iskemik, blok konduksi, hipertropi ventrikel.
INDIKASI HAEMODIALISA
Hipervolemia
Hiperkalemia Asidosis
berat Ensefalopati
metabolic Perikarditis
Koagulopati
Gejala gastrointestinal yang refrakter Toksisitas
obat
MANAJEMEN INTRAOPERATIF
Teknik anestesi dapat dilakukan dengan anestesi umum atau anestesi regional
(disesuaikan dengan daerah operasi dan kondisi masing-masing pasien).
Monitoring:

Alat monitoring standar: EKG, pulse oxymetri, NIBP, temperature, kateter urin
dipergunakan pada operasi yang tidak lama dan kehilangan cairan yang
diperkirakan hanya sedikit.

Monitor intraarterial, vena sentral, dan arteri pulmonal diperlukan pada


operasi yang diperkirakan akan terjadi perdarahan/ perpindahan cairan yang
banyak.

Arterial line juga diperlukan pada pasien dengan hipertensi tidak terkontrol
dimana dapat terjadi perubahan tekanan darah yang cepat.

205

Induksi:

Pertimbangkan induksi dengan teknik rapid sequence induction dengan


penekanan krikoid pada pasien dengan riwayat mual, muntah serta
perdarahan gastrointestinal.

Dosis obat induksi pada pasien sakit berat/ kritis harus dikurangi, dapat
diberikan thiopental 2-3 mg/ kg, propofol 1-2 mg/ kg, sedangkan pada
pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil dapat diberikan etomidat 0,20,4 mg/ kg.

Respon hipertensi terhadap intubasi dapat ditumpulkan dengan


menggunakan opioid, beta bloker (esmolol), atau lidokain.

Penggunann suksinilkolin sebagai pelumpuh otot masih dapat ditolerir pada


kadar kalium < 5 meq/L.

Pemilihan pelumpuh otot pada pasien dengan hyperkalemia adalah


rocuronium (0,6 mg/kg), cisatrakurium (0,15 mg/kg), atrakurium (0,4 mg/kg),
atau mivakurium (0,15 mg/kg). Sebagai altematif masih mungkin untuk
menggunakan vekuronium 0,1 mg/ kg dengan tetap memperhatikan
kemungkinan terjadinya efek obat yang memanjang.
Pemeliharaan

Idealnya kita harus mampu mengontrol tekanan darah tanpa mempengaruhi


cardiac output.

Obat anestesi inhalasi yang menjadi pilihan adalah gas yang metabolitnya
tidak memperburuk gangguan fungsi ginjal yang telah ada, yaitu: isofluran
dan desfluran.

Penggunaan gas N2O harus hati-hati pada pasien dengan fungsi ventrikel
yang tidak baik dan sebaiknya tidak digunakan pada pasien dengan kadar
hb yang sangat rendah (<7 g/dL).

Hindari penggunaan meperidin, hal ini dikarenakan terjadinya akumulasi


metabolit aktif normeperidin yang dapat mencetuskan terjadinya kejang.
Penggunaan morfin masih memungkinkan dengan kemungkinan efek yang
akan memanjang.

Lakukan kontrol ventilasi untuk menghindari terjadinya hiperkarbia karena


pernafasan yang tidak adekuat dan dapat menyebabkan terjadinya asidosis
respiratorik yang akan memperberat kondisi asidosis yang sudah ada,
depresi pernafasan, dan akan meningkatkan kadar potassium serum.

Alkalosis repiratorik juga harus dihindari karena akan menyebabkan


pergeseran ke kiri kurva disosiasi hb dan akan menurunkan aliran darah
serebral.
Bila dilakukan anestesi regional harus dipastikan terlebih dahulu tidak adanya
gangguan koagulasi. Keadaan asidosis dapat menurunkan ambang kejang yang
berhubungan dengan pemakaian anestesi lokal.

MANAJEMEN PASCAOPERASI

206

Pemantauan dilakukan di ruang intermediet dengan monitoring standar


untuk mengevaluasi kesadaran, pernafasan, hemodinamik, dan dieresis.
Penggunaan opioid sebagai analgetik pascaoperasi hams dipantau
terhadap kemungkinan terjadinya penurunan kesadarn dan hipoventilasi.
Berikan nalokson jika terjadi efek samping akibat pemakaian opioid.
Hindari penggunaan analgetik golongan NSAID yang dapat
memperburuk fungsi ginjal
Lakukan pemeriksaan EKG serial untuk mengevaluasi disritmia akibat
hyperkalemia.
Berikan oksigen suplemen terutama pada pasien dengan anemia dan
perdarahan yang memerlukan transfuse.
Kesadaran dan pernafasan yang tidak adekuat, asidosis berat dan
hemodinamik yang tidak stabil menendakan adanya kegagalan organ
dan merupakan indikasi untuk perawatan di ruang intensif dan penilaian
untuk perlu tidaknya dilakukan hemodialisa pascaoperatif.
10. UNIT TERKATT: Anestesiologi dan terapi intensif, llmu penyakit dalam sub divisi
ginjal dan hipertensi, kardiologi, dan bedah di lingkungan RSHS.
16. DOKUMEN TERKAIT: Status rawat pasien, status anestesi, surat izin
operasi, surat izin anestesi.
17. REFERENSI:
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for patient with kidney disease. Dalam:
Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 746-751. Stoelting RK, Dierdorf SF. Endocrine
disease. Dalam: Handbook for Anesthesia and Co-existing Disease.2002,h: 255-268.

207

ANESTESI PADA PASIEN DENGAN PPOK (BRONKITIS


KRONIS DAN EMFISEMA)
1.

TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien


dengan PPOK yang akan menjalani tindakan pembedahan.

2.

RUANG LINGKUP : Diagnosa, tanda klinis, komplikasi, manajemen pre, intra, dan
pascaoperasi.

3.

KEBIJAKAN : Regional anestesi (bila memungkinkan) merupakan teknik pilihan


untuk mengurangi kemungkinan komplikasi pascaoperasi.

4. PENGERTIAN :
Penyakit Paru Obstruktif Kronis adalah penyakit pada paru-paru dengan karakteristik
berupa adanya hambatan terhadap aliran udara yang berkembang progresif dan
bersifat irreversible. Terminologi PPOK lebih mengarah kepada bronchitis obstruktif
kronis ( obstruksi pada small air way ), dan emfisema ( pelebaran ruang udara dan
destruksi parenkim paru, hilangnya elastisitas paru, dan penutupan dari small airway).
5. TANDA KLINIS DAN DIAGNOSIS
Bronkitis kronis dan emfisema ditandai dengan:
Riwayat merokok Batuk produktif kronis (> 3 bulan)
Sesak
Keterbatasan aktivitas fisik karena sesak
Pasien yang predominan bronchitis kronis lebih dominan dengan gejala batuk produktif
kronis, sedangkan pada pasien predominan emfisema lebih didominasi dengan gejala
sesak nafas.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda obstruksi jalan nafas saat ekspirasi dengan
masa ekspirasi yang memanjang Pada pemeriksaan Tes Fungsi Paru terdapat
penurunan rasio FEVi/ FVC, dan terdapat penurunan Forced Expiratory Flow antara
25%-75% dari Vital Capacity. Residual Volume meningkat, FRC dan Kapasitas paru
total dapat normal atau meningkat. Rongent toraks: Hiperlusen dan hiperinflasi
AGD: pada pasien Bronkitis kronis biasanya meningkat (>40 mmHg), sedangkan pada
emfisema PaC02 normal atau < 40 mmHg.
6.
EVALUASI FAKTOR RESIKO KOMPLIKASI PARU PASCAOPERASI:
Pre-existing pulmonary disease
Operasi pada abdomen bagian atas atau toraks
Merokok
Obesitas
Umur >60 tahun
Anestesi umum yang memanjang (>3 jam)

208

7. MANAJEMEN PREOPERATIF
Pada operasi elektif pasien dengan PPOK harus optimal teiiebih dahulu
(tidak ada sesak, wheezing, dan batuk, atau dengan sesak/ wheezing/
batuk minimal)
Lakukan intervensi untuk koreksi hipoksemia, bronkospasme,
mengurangi sekresi, dan bila ada infeksi pada saluran nafas harus
diberikan terapi dengan antibiotic.
Hentikan merokok selama 6-8 minggu sebelum operasi untuk
mengurangi sekresi dan komplikasi pascabedah. Paling tidak pasien
yang tidak merokok selama 24 jam akan meningkan Oxygen Carrying
capacity.
Fisioterapi pemafasan preoperative dengan perkusi dan drainase
postural.
Apabila didapatkan hipertensi pulmonal harus diterapi dengan
meningkatkan oksigenasi, dan apabila terdapat corpulmonal dilakukan
digitalisasi terutama bila terdapat gagal jantung kanan.
8. MANAJEMEN INTRAOPERASTIF
Regional anestesi (bila memungkinkan) merupakan teknik pilihan untuk
mengurangi kemungkinan komplikasi pascaoperasi.
Pemberian sedasi pada pasien yang dilakukan regional anestesi
diberikan secara incremental oleh karena pada pasien ini (terutama
geriatric) sangant sensitive terhadap efek depresan dari obatOobat
sedative.
Bila dilakukan anestesi umum maka pertama kali harus dilakukan
preoksigenasi untuk mencegah terjadinya desaturasi oksigen yang cepat.
induksi harus dilakukan dengan smooth. Reflek bronkospasme dapat
ditekan dengan memberikan tambahan thiopental (1-2 mg/kg), ventilasi
dengan volatile 2-3 MAC selama 5 menit, atau pemberian lidokain
intravena atau intratrakeal 1-2 mg/ kg
Pemilihan obat-obatan harus menghindari obat yang bersifat histamine
release (kurare, atrakurium, rnorfin, meperidin), atau bila digunakan
harus diberikan dengan sangat perlahan.
Obat induksi golongan hipnotik yang dapat dijadikan pilihan adalah
propofol, etomidat, dan pada pasien dengan hemodinamik yang tidak
stabil pilihannya adalah ketamin yang bersifat sebagai bronkodilator.
Halotan dan sevofluran merupakan obat pilihan induksi inhalasi yang
paling smooth.
Selama operasi harus dilakukan ventilasi kontrol dengan tidal volume
yang kecil-sedang dan frekuensi yang lambat untuk menghindari "air
trapping"
Penggunaan N2O harus dihindari pada pasien dengan bullae dan
hipertensi pulmanal.
Pengukuran kadar CO2 harus dilakukan sebeiumnya sebagai panduan
dalam melakukan ventilasi selama operasi.

209

Pada akhir operasi dilakukan ekstubasi dengan smooth. Ekstubasi pada saat anestesi
dalam dapat menurunkan resiko reflek bronkospasme, tetapi harus dipastikan terlebih
dahulu bahwa pemafasan pasien sudah adekuat.

9. MANAJEMEN PASCAOPERASI
Intubasi trakeal dan ventilasi mekanik dipertimbangkan untuk dilanjutkan
pada operasi abdominal dan intratorakal pada pasien yang sebelumnya
(preoperative) didapatkan hasil pemeriksaan PCO2 > 50 mmHg dan
FEW FVC < 0,5.
PaC>2 harus dijaga pada rentang 60-100 mmHg dan PaC02 harus berada
pada rentang yang mempertahankan pHa 7,35-7,45
Lakukan maneuver untuk ekspansi volume paru (bemafas dalam, CPAP,
spirometri insentif)
Chest fisioterapi
Analgesia pascaoperasi yang adekuat (neuraxial opioids, blok interkostal,
PCA)
10. DOKUMEN TERKAIT : -

Catatan rekam medis


Lembar informed consent

11. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis, dokter residen di bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif di lingkungan RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.
12. REFERENSI:
- Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for patient with respiratory disease.
Dalam: Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 576-578.
- Stoelting RK, Dierdorf SF. Endocrine disease. Dalam: Handbook for Anesthesia and
Co-existing Disease.2002,h: 137-146.

210

PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN DENGAN ASMA


BRONKIAL
1.

TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien dengan
asma bronkial yang akan menjalani tindakan pembedahan.

2.

RUANG LINGKUP : Manifestasi klinis, diagnosis, terapi asma/ status


asmatikus, manajemen pre,intra, dan pascaoperasi.

3.

KEBIJAKAN: Target utama pemberian anestesi umum adalah induksi dan emergence
yang harus smooth.

4. PENGERTIAN :
Asma merupakan penyakit kronis dengan karakteristik berupa inflamasi dan hipereaktifitas
pada jalan nafas (bronkus) akibat berbagai stimulus yang mengakibatkan terjadinya obstruksi
aliran udara ekspirasi yang reversibel.
5.

MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis klasik asma adalah: wheezing, batuk, dan sesak.
- Beratnya derajat obstruksi terhadap ekspirasi direfleksikan dari Forced exhaled volume in 1
second (FEVi) dan maximum mid expiratory flow
rate.
Severity
FEVi (%
FEF25.75 (%
Pa02
PaC02
predicted)
predicted)
(mmHg
(mmHg)

)
Mild (asimptomatik)
65-80
60-75
>60
<40
Mode rat
50-64
45-59
>60
<45
Marked
35-49
30-44
<60
>50
Severe
(status
<35
<30
<60
>50
asthmaticus)
FEVi: Forced Expiratory Volume in 1 second; FEF25-75: Forced Expiratory Flow 25-75%
forced vital capacity
Asma yang ringan biasanya ditandai dengan Pa02 normal dan PaC02 normal atau menurun.
Takipnoe dan hiperventilasi selama serangan asma akut lebih merupakan refleksi dari reflekreflek neural pada paru-paru dibanding dengan hipoksia arterial. Pada keadaan terjadi
kelelahan pada otot-otot pernafasan akan mengakibatkan terjadinya hiperkarbia. Nilai PaC02
normal atau tinggi merupakan indikasi bahwa pasien tidak dapat lebih lama lagi
mengkompensasi work of breathing dan merupakan tanda impending respiratory failure.
Pemeriksaan EKG pada obstruksi jalan nafas yang berat ditandai dengan pulsus
paradoksus, perubahan ST-segment, right-axis deviation, dan RBBB. Diagnosa banding
asma adalah: trakeobronkitis, sarkoidosis, rheumatoid arthritis, epiglotitis, croup, gagal
jantung kongestif, emboli paru.

211

6. TERAPI FARMAKOLOGI
Antiinflamasi: Glukokortikoid; menurunkan responsivitas jalan nafas dengan
menurunkan inflamasi pada jalan nafas dan meningkatkan stabilitas pada membran.
Pembenan glukokortikoid sangat berguna baik pada keadaan serangan akut maupun
sebagai terapi maintenan, tetapi membutuhkan waktu beberapa jam untuk bekerja
dengan efektif.
Cromolyn; menghambat proses inflamasi dengan menghambat pelepasan mediatormediator kimia. Diberikan secara inhalasi selama 7 hari sebelum terjadi paparan
terhadap allergen, dan tidak efektif apabila dalam serangan. Leukotien inhibitor
Bronkodilator:
Agonis (3-adrenergik (misal: albuterol); merupakan obat yang paling
bermanfaat dan paling sering digunakan. Efek samping yang mungkin
terjadi adalah stimulasi simpatis (takikardia, disritmia) dan perpindahan
potassium ke dalam sel.
Antikolinergik (iptratropiurn); efek bronkodilatasinya disebabkan oleh aksi
antimuskariniknya dan dapat memblok reflek bronkokonstriksi.
Methylxanthine; menghasilkan bronkodilatasi dengan cara menghambat
phosfodiesterase.
7. TERAPI STATUS ASMATIKUS
P2-agonis tiap 15-20 menit (merupakan terapi yang paling efektif pada saat
emergensi)
Kortikosteroid; kortisol 2 mg/kg iv dilanjutkan dengan 0,5 mg/ kg/ jam, atau
metilprednisolon 60-125 mg iv tiap 6 jam
Oksigen suplemen
Intubasi trakeal dan ventilasi mekanik dilakukan apabila PaC02 > 50
mmHg.
Terapi antibiotik
8. MANAJEMEN PREOPERATIF
Anamnesa yang harus dilakukan adalah tentang: onset terjadinya serangan,
pencetus, riwayat dirawat di rumah sakit akibat asma, faktor alergi, batuk,
sputum (wama dan karakteristiknya), terapi sebelumnya.
Keadaan yang optimal untuk operasi elektif adalah apabila dari pemeriksaan
tidak didapatkan wheezing, batuk, dan sesak. Pada keadaan operasi
emergensi harus diberikan terapi yang agresif sebelumnya.
Pasien yang sering mengalami serangan bronkospasme atau dalam kondisi
kronik harus mendapatkan terapi regimen bronkodilator yang optimal.Terapi
yang dapat diberikan berupa (32-agonis dan glukokortikoid.
Lakukan pemeriksaan ronsen toraks untuk menilai adanya air trapping
(hiperinflasi, diafragma datar, jantung terlihat kecil, paru-paru hiperiusen).
Lakukan pemeriksaan fungsi paru untuk mengkonfirmasi keadaan klinis
yang didapatkan.

212

Pemeriksaan AGD hanya dilakukan apabila kita meragukan adekuasi


ventilasi atau oksigenasi arterial.
Sedasi preoperatif dapat diberikan terutama pada pasien yang penyakitnya
dipengaruhi oleh komponen emosional. Secara umum benzodiazepine
memberikan efek yang memuaskan sebagai sedasi preoperatif pada pasien
asma.
Hindari pemberian premedikasi dengan opioid, antikolinergik, dan antagonis
H-2. Antikolinergik diberikan apabila terdapat sekresi yang kental atau
apabila akan memakai ketamin sebagai obat induksi.
- Premedikasi dengan antagonis H-2 karena akan menyebabkan aktivitas H-1
lebih dominan sehingga dapat terjadi bronkokonstriksi.
- Terapi asma harus tetap diberikan sampai menjelang operasi
Pasien yang mendapatkan terapi glukokortikoid jangka panjang harus mendapatkan
terapi suplemen untuk mengkompensasi supresi adrenal. Terapi suplemen yang paling
sering diberikan adalah hidrokortison 50-100 mg pada saat preoperatif dan pada saat
Postoperatif diberikan 100 mg tiap 8 jam selama 1-3 hari berikutnya.
- Berikan hidrasi perioperatif dengan cairan knstaloid untuk menjaga hidrasi
yang adekuat dan mengurangi kekentalan sekret.
9. MANAJEMENINTRAOPERATIF
- Saat yang paling berbahaya pada pemberian anestesi pada pasien asma adalah pada
saat akan dilakukan tindakan instrumentasi pada jalan nafas.
- Pemilihan teknik anestesi umum dengan memakai masker atau regional anestesi akan
mengatasi masalah di atas, tetapi tetap tidak menghilangkan resiko terjadinya
serangan bronkospame.
- Target utama pada manajemen anestesi umum adalah induksi dan emergence yang
smooth/ lancer.
- Bronkospasme juga dapat dicetuskan oleh stimulasi dalam keadaan anestesi yang
dangkal, nyeri, dan stress emosional.
- Pastikan kedalaman anestesi telah tercapai sebelum dilakukan tindakan laringoskopiintubasi dan stimulasi bedah.
- Hindari
penggunaan
obat-obatan
yang
menyebabkan
pelepasan
histaminekurare.atrakurium, mivakurium, morfin, dan meperidin) atau bila terpaksa
digunakan berikan dengan sangat periahan.
Propofol dan etomidat merupakan pilihan obat induksi yang relatif aman.
- Ketamin merupakan satu-satunya obat induksi yang mempunyai efek bronkodilator dan
merupakan pilihan yang baik pada pasien yang juga dalam keadaan hemodinamik
yang tidak stabil. Jangan memberikan ketamin pada pasien dengan level teofilin
yang tinggi karena interaksi kedua obat tersebut dapat memicu terjadinya kejang.
- Reflek bronkospasme akibat laringoskopi-intubasi dapat ditumpulkan dengan
sebelumnya memberikan tambahan dosis thiopental (1-2 mg/kg), ventilasi dengan
volatile 2-3 mac selama 5 menit, atau dengan memberikan lidokain i.v 1-2 mg/ kg.
Pemberian antikolinergik (atropine 2 mg atau glikopirolat 1 mg) dapat juga memblok
reflek bronkospasme kan tetapi dapat menyebabkan takikardia.

213

- Halotan dan sevofluran merupakan pilihan obat induksi inhalasi pada anak yang paling
smooth. Isofluran dan desfluran juga sebenarnya mempunyai efek bronkodilatasi
yang sama baiknya dengan halotan dan sevofluran akan tetapi tidak cocok
digunakan untuk induksi inhalasi.
- Maintenan anestesi dengan volatile anestesi memberikan keuntungan pada pasien
asma karena mempunyai efek bronkodilator.
- Apabila isofluran dan desfluran dipergunakan sebagai maintenan anestesi, maka
dosisnya harus ditingkatkan secara perlahan agar tidak menimbulkan iritasi pada
jalan nafas.
- Hindari pemakaian halotan bersamaan dengan aminofilin dan p-agonis karena akan
menyebabkan sensitisasi pada jantung.
- Lakukan ventilasi kontrol dengan gas humidifikasi yang telah dihangatkan. Berikan
tidal volume < 10 ml/ kg dengan memanjangkan fase ekspirasi sehingga dapat
menyeragamkan distribusi aliran udara kedua paru dan mencegah air trapping.
- Bronkospasme yang berat ditandai dengan peningkatan peak inspiratory pressure dan
ekshalasi inkomplit.
- Bila terjadi bronkospasme intraoperatif akan didapatkan tanda-tanda berpa wheezing,
peningkatan peak pressure, penurunan volume tidal ekshalasi, atau terdapat
bentuk peningkatan gelombang kapnograf yang melambat.
- Tindakan yang dilakukan bila terjadi bronkospasme intraoperatif adalah dengan
mendalamkan anestesi dengan meningkatkan konsentrasi volatile.
- Apabila bronkospasme tidak teratasi dengan meningkatkan konsentrasi volatile maka
harus disingkirkan kemungkinan-kemungkinan lain sebelum memberikan obatobatan yang lebih spesifik.
- Kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas,
seperti: ETT yang tertekuk, sekret, overinflasi balon, intubasi bronchial, edema
paru, emboli paru, atau pneumotoraks.
- Kemudian bronkospasme harus diatasi dengan memberikan p-agonis dalam bentuk
inhaler atau metered dose melalui jalur inspirasi dari sirkuit pernafasan, dan
hidrokortison i.v. 1,5-2 mg/ kg terutama pada pasien yang sebelumnya telah
mendapatkan terapi glukokortikoid.
- Pemberian reversal pelemas otot dengan antikolinesterase tidak akan menyebabkan
bronkokonstriksi apabila disertai dengan pemberian entikolinergik dengan dosis
yang tepat.
- Lakukan ekstubasi dalam (bila tidak ada kontraindikasi) untuk mencegah terjadinya
bronkokonstriksi saat pasien bangun.
- Untuk menumpulkan reflek jalan nafas saat ekstubasi dapat diberikan bolus lidokain
1,5-2 mg/ kg atau dengan infus kontinyu 1 -2 mg/ menit.
10. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis
- Lembar informed consent
12. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter residen di bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif, dokter/ residen bedah, dokter/ residen IPD di lingkungan
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.

214

13. REFERENSI:
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for patient with respiratory disease.
Dalam: Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 573-576 - Stoelting RK, Dierdorf SF.
Asthma. Dalam: Handbook for Anesthesia and Co-existing Disease.2002,h: 147-156.

215

PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN DENGAN OBESITAS


1.

TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien


dengan obesitas yang akan menjalani tindakan pembedahan.

2.

RUANG LINGKUP : Klasifikasi obesitas, manifestasi klinis, manajemen pre,intra,


dan pascaoperasi.

3.

KEBIJAKAN : obesitas biasanya disertai dengan penyakit penyerta dan


perubahan fisiologis pada pasien.

4. PENGERTIAN :
Overweight dan obesitas diklasifikasikan menggunakan indeks massa tubuh (Body
Mass Index/ BMI). Overweight didefinisikan apabila BMI > 24 kg/ m 2, Obesitas bila BMI
> 30, dan morbid obesity bila BMI 2 40. Resiko penyakit akan semakin meningkat
dengan meningkatnya derajat obesitas.
5. MANIFESTASI KLINIS:
Obesitas biasanya berhubungan dengan berbagai penyakit penyerta, seperti:
- Hipertensi sistemik ringan-sedang; hipertensi pada pasien dengan abesitas terjadi
karena peningkatan volume cairan ekstraselular, peningkatan cardiac output, dan
hiperinsulinemia. Pada keadaan hipoksia arterial kronik/ peningkatan volume darah
paru akan disertai dengan hipertensi pulmonal.
- Congestive heart failure; keadaan hipertensi sistemik yang kronis akan menyebabkan
terjadinya hipertropi konsentrik pada ventrikel kiri, bila disertai dengan hipervolemia
akan meningkatkan resiko terjadinya congestive heart failure.
- Diabetes mellitus; peningkatan jaringan lemak akan meningkatkan resistensi jaringan
perifer terhadap efek insulin.
- Penyakit hepatobillier; Pada pasien obesitas sering ditemui tes fungsi hati yang tidak
normal dan infiltrasi fatty liver.
- Penyakit tromboembolik; resiko untuk terjadinya deep vein thrombosis pada pasien
obesitas yang akan menjalani pembedahan akan meningkat.
Sindrom metabolik: obesitas, hipertensi, dan DM tipe II.
Walaupun tidak terdapat penyakit penyerta, pada morbid obesity akan terjadi
perubahan fisiologis sebagai konsekuensinya.
Perubahan Fisiologis pada pasien obesitas:
- Perubahan fisologis yang terjadi dapat berupa peningkatan laju metabolik yang
proporsional terhadap berat badan sehingga terjadi peningkatan kebutuhan
oksigen, produksi CO2, dan ventilasi alveolar.
- Komplain, resistensi paru, dan work of breathing; Jaringan lemak yang berlebihan pada
dinding dada akan menurunkan komplain dinding dada, walaupun komplain dari
paru sendiri sebenamya tidak berubah. Work of

216

breathing akan meningkat sehingga pasien bernafas cepat dan dangkal terutama pada
posisi supine.
Peningkatan massa intraabdomen akan mendesak diafragma ke sefalad sehingga
menyebabkan gambaran penyakit paru restriksi.
Pengurangan volume paru akan bertambah besar dengan posisi supine atau
trendelenburg.
Apabila FRC turun di bawah closing capacity maka beberapa alveoli akan menutup
saat ventilasi dengan tidal volume sehingga terjadi ketidaksesuaian ventilasi/
perfusi.
Pasien obesitas biasanya ditemukan dalam keadaan hipoksik, apabila terjadi keadaan
hiperkapnik maka kita harus waspada akan segera timbulnya komplikasi.
Sindrom obesitas-hipoventilasi (Pickwickian syndrome) merupakan komplikasi dari
morbid obesity yang ditandai dengan hiperkapnia, sianosis, polisitemia, gagal
jantung kanan, dan somnolen.
Pasien dengan Obstuctive Sleep Apnoe Syndrome (OSAS) biasanya berhubungan
dengan komplikasi pascaoperasi: hipertensi, hipoksia, aritmia, myocardial infark,
edema paru, dan stroke.
Beban kerja jantung akan meningkat oleh karena memberikan perfusi ke tambahan ke
simpanan lemak. Peningkatan cardiac output dengan meningkatkan stroke volume
pada suatu saat akan menyebabkan terjadinya hipertensi dan hipertropi ventrikel kiri.
Peningkatan aliran darah pulmonal dan vasokonstriksi pembuluh darah paru akibat
hipoksia yang persisten akan menyebabkan hipertensi pulmonal dan cor pulmonal.
Obesitas menyebabkan gangguan gastrointestinal berupa: hiatal hernia, refluk
gastroesofageal, gangguan pengosongan lambung, hiperasiditas cairan lambung,
dan beresiko untuk terjadinya kanker lambung.

6. MANAJEMEN PREOPERATIF
Pasien obes beresiko untuk terjadinya pneumonia aspirasi. Oleh karena itu
pertimbangkan untuk diberikan premedikasi dengan antagonis H2 dan metoklopramid.
- Pemberian premedikasi dengan obat yang dapat menimbulkan depresi pernafasan
harus dihindari pada pasien yang sebelumnya sudah terdapat hipoksia, hiperkapnia,
dan obstructive sleep apnoe.
- Pemeriksaan fisik pada pasien dengan morbid obesity harus difokuskan pada fungsi
kardiopulmonal dengan didukung pemeriksaan penunjang foto toraks, EKG, AGD,
dan tes fungsi paru.
- Tekanan darah harus diukur dengan manset yang berukuran tepat. Perhatikan
kemungkinan terdapatnya kesulitan jalan nafas. Pasien obesity biasanya sulit
untuk dilakukan intubasi dikarenakan pergerakan sendi temporomandibula dan
atlantooksipital yang terbatas, jalan nafas atas yang sempit, dan pendeknya jarak
antara mandibula dengan lemak di sternum.
7. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Pilhan taknik dan obat anestesi yang terbaik sampai saat ini tidak diketahui.

217

Bila dilakukan anestesi umum, harus dipertimbangkan terdapatnya kesulitan


ventilasi dengan masker dan intubasi trakeal (timbunan lemak pada wajah
dan pipi, leher pendek, lidah besar, jaringan lunak palatal dan faring yang
berlebihan, dada yang besar).
Pasien obes mempunyai resiko yang tinggi untuk terjadinya aspirasi pulmonal.
- Jika diperkirakan terdapat kesulitan intubasi maka sebaiknya intubasi
dilakukan dalam keadaan awake, direkomendasikan dengan memakai
bronkoskopi fiberoptik.
Pemakaian gas anestesi belum terbukti menyebabkan lama bangun pada pasien
meskipun pada operasi yang lama, hal ini dikarenakan distribusi gas anestesi ke
jaringan lemak yang begitu lambat.
- Obat-obatan yang larut dalam lemak (benzodiazepine, opioid) diberikan dengan dasar
berat badan aktual.
- Obat-obatan yang larut dalam air (misal; pelemas otot) diberikan dengan dosis
berdasarkan berat badan ideal untuk menghindari kelebihan dosis.
- Lakukan kontrol ventilasi dengan konsentrasi oksigen inspirasi yang reiatif tinggi untuk
mencegah terjadinya hipoksia, terutama bila pasien berada pada posisi litotomi,
trendelenburg, atau tengkurap.
- Pemakaian abdominal pack yang diletakkan pada daerah subdiafragma akan
memperburuk ventilasi pasien dan mengganggu venous return.
- Untuk meningkatkan oksigenasi dapat dilakukan dengan memberikan PEEP saat
ventilasi. Namun pemberian PEEP pada pasien dengan morbid obesity dapat
memperburuk keadaan hipertensi pulmonal bila didapatkan sebelumnya.
8.

MANAJEMEN PASCAOPERATIF
Pasien harus tetap terintubasi sampai pernafasan adekuat.
- Ekstubasi dilakukan setelah tidak ada lagi efek dari pelemas otot dan pasien sudah
benar-benar bangun.
- Bila ektubasi dilakukan di kamar bedah, berikan suplemen oksigen saat transportasi
pasien ke ruang pemulihan.
- Posisikan pasien setengah duduk ( 45") untuk meningkatkan ventilasi dan oksigenasi.
- Resiko terjadinya hipoksia dapat berlangsung selama beberapa hari pascaoperasi,
oleh karenanya harus tetap dilakukan monitoring walaupun pasien sudah di
ruangan.
6. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis
- Lembar informed consent
7. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter residen di bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif, dokter/ residen bedah, dokter/ residen IPD di lingkungan RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung

218

8. REFERENSI:
- Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for patient with endocrine disease.
Dalam: Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 813-815
- Stoelting RK, Dierdorf SF. Nutritional disease and inborn errors of metabolism. Dalam:
Handbook for Anesthesia and Co-existing Disease.2002,h: 333-344.

219

PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN DENGAN DIABETES


MELLITUS
1.

TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada


pasien dengan diabetes yang akan menjalani tindakan pembedahan.

2.

RUANG LINGKUP : Pemeriksaan preoperatif, komplikasi terhadap target


organ, manajemen kadar gula darah perioperatif.

3.

KEBIJAKAN: Tujuan utama dalam manajemen untuk mengatasi


keadaan hiperglikemia adalah menghindari terjadinya hipoglikemia.

4. PENGERTIAN :
Diabetes mellitus merupakan penyakit endokrin dimana terjadi gangguan
metabolisme yang disebabkan oleh defisiensi insulin absolut maupun relatif
atau gangguan pada responsivitas insulin yang menimbulkan keadaan
hiperglikemia dan glukosuria.
5. KLASIFIKASI
Diabetes mellitus diklasifikasikan dalam 4 tipe, yaitu:
- Tipe I (IDDM) : defisiensi insulin absolut akibat gangguan imunitas atau
idiopatik, onset pada usia muda, resiko terjadi ketosis, terdapat antibodi
terhadap sel islet.
- Tipe II (NIDDM): resistensi insulin walaupun sekresi insulin adekuat, onset
biasanya pada usia > 40 tahun, resistensi ketosis, obesitas.
- Tipe III (Diabetes Sekunder): tipe diabetes mellitus spesifik sebagai akibat
sekunder, seperti: penyakit pankreas.
- Tipe IV (gestasional): terjadi intoleransi glukosa, onset 24-30 minggu usia
kehamilan.
6.

MANIFESTASI KLINIS
IDDM: hiperglikemia, poliuria, polidipsia, penurunan berat badan.
- NIDDM: hiperglikemia, poliuria, polidipsia, penurunan berat badan, gula
darah puasa >140 mg/ dl_, tes toleransi glukosa peroral abnormal.
DM gestasional: tes toleransi glukosa peroral abnormal.
DM sekunder: hiperglikemi, poliuria, polidipsia, penurunan berat
badan.
- Pasien dengan NIDDM biasanya asimptomatik atau hanya menunjukkan
sedikit gejala ( 50% tidak terdiagnosis).
7. KOMPLIKASI DIABETES MELLITUS dan PENATALAKSANAANNYA
Terdapat 4 komplikasi dari DM, yaitu: Metabolik:
ketoasidosis, hipoglikemia Makrovaskular: CAD, CVD,
peripheral vascular disease. Mikrovaskular. retinopati,
nefropati. Nervous system: neuropati otonom, neropati
perifer.

220

Penatalaksanaannya adalah dengan membenkan resusitasi cairan


dengan normal saline, dosis kecil insulin, dan suplemen potasium.
HIPOGLIKEMIA
Hipoglikemia pada pasien diabetes disebabkan karena kelebihan relative
insulin terhadap intake karbohidrat.
Terlebih lagi pada pasien diabetic tidak bias mengkompensasi keadaan
hipoglikemia dengan sekresi glucagon atau epinefrin ( counterregulatory
failure).
Ketergantungan otak terhadap glukosa sebagai sumber
energi
menyebabkan otak menjadi sangat sensitive tehadap keadaan
hipoglikemia.
Jika hipoglikemia tidak teratasi akan terjadi perubahan status mental dari
keluhan kepala yang melayang menjadi confusion, konvulsidan koma
yang
permanen.
Hipoglikemia terjadi bila kadargula darah puasa < 50 mg/dL.
Terapi hipoglikemia adalah dengan memberikan dekstrosa 50% dimana
tiap
ml dari gukosa 50% akan meningkatkan kadar glukosa darah pasien
dengan berat 70 kg kira-kira sebesar 2 mg/ dL.
MANAJEMEN PREOPERATIF
Level Hemoglobin Aic akan membantu untuk mengidentifikasi pasien
dengan resiko terbesar untuk terjadinya hiperglikemia perioperatif
sehingga
akan meningkatkan komplikasi dan memperburuk outcome.
Morbiditas perioperatif pada pasien diabetik berhubungan
dengan
kerusakan end-organ preoperative akibat komplikasi DM. Oleh
karenanya
tentukan gangguan target organ preoperatif.
Lakukan pemeriksaan yang teliti terhadap fungsi paru, kardiovaskular,
dan
system renal.
Lakukan pemeriksaan ronsen toraks untuk menilai adanya
kemungkinan
pembesaran jantung, kongesti pembuluh darah paru, atau efusi pleura.
Lakukan pemeriksaan EKG. Pada pasien diabetes terjadi peningkatan
abnormalitas pada ST-segmen dan gelombang T. Lakukan evaluasi
apakah
terdapat tanda iskemia myocardial walaupun dari anamnesa
tidak
didapatkan riwayat hal ini dikarenakan terdapat resiko terjadinya silent
myocardial ischemia/ infarct.
Pasien DM yang disertai hipertensi mempunyai 50% kemungkinan untuk
terjadinya neuropati otonom.
Tanda-tanda neuropati otonom adalah: hipertensi, painless
myocardial
ischemia, hipotensi ortostatik, hilangnya variabilitas denyut
jantung
(variabilitas denyut jantung pada orang normal pada saat bernafas
dalam/
6x permenit adalah lebih dari 10 denyut/ menit), resting takikardia,
neurogenic bladder, tidak berkeringat, impotensi.
Neuropati otonom akan membatasi kemampuan kompensasi
jantung
terhadap perubahan volume intravascular dan merupakan
factor
predisposisi instabilitas hemodinamik (hipotensi post induksi) dan dapat
menyebabkan kematian mendadak. Insiden akan meningkat
dengan
pemakaian ACE inhibitor.

222

Neuropati otonom juga akan memperlambat pengosongan lambung. Oleh


karenanya berikan premedikasi dengan antacid non partikulat dan
metoklopramid pada pasien dengan tanda neuropati otonom.
Disfungsi renal pertama kali ditandai dengan proteinuria dan diikuti
peningkatan serum kreatinin.
Perhatikan tanda-tanda limited-mobility joint syndrome yang terjadi akibat
glikosilasi protein jaringan pada keadaan hiperglikemia kronik.
Lakukan evaluasi rutin terhadap gerakan sendi temporomandibular dan
mobilitas servikal untuk mengantisipasi kesulitan intubasi.
Pemakaian obat-obat anti hiperglikemik oral dapat terus diberikan sampai
hari operasi, KECUALI sulfonylurea dan metformin yang memiliki waktu
paruh yang panjang.
Sulfonilurea dan metformin harus dihentikan 24-48 jam sebelum
pembedahan, dan dapat diberikan lagi pascaoperasi setelah pasien boleh
minum dan telah dipastikan fungsi ginjal dan hati yang adekuat.
Perlu diperhatikan pula bahwa pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal
akan terjadi pemanjangan efek obat antihiperglikemia oral dengan masa
kerja yang singkat.
Manajemen gula darah preoperatif pada pasien yang mendapatkan terapi
insulin dilakukan dengan memberikan setengah dari dosis insulin
(intermediate acting) yang seharusnya diberikan pada pagi hari menjelang
operasi.
Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya hipoglikemia, maka pemberian
insulin dapat diberikan setelah dilakukan pemasangan jalur intravena
dengan pemberian cairan dekstrosa 5% (1,5 ml/ kg/jam) dan pemeriksaan
kadar gula darah pagi.
. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
Target utama dari pengelolaan gula darah adalah menghindari keadaan
hipoglikemia. Keadaan hiperglikemi sendiri berhubungan dengan
hiperosmolalitas, infeksi, gangguan penyembuhan luka dan dapat
memperburuk fungsi neurologis
Hiperglikemia yang terjadi intraoperatif dikoreksi dengan memberikan
regular insulin intravena dengan metode sliding scale atau dengan infuse
kontinyu.
Keuntungan dengan metode infusa kontinyu adalah dapat mengkontrol
kadar gula darah yang lebih presisi.
Infus insulin kontinyu dimulai dengan dosis 0,1 u/ kg/ jam. Penyesuaian
dosis berikutnya mengikuti formula sebagai berikut:
Unit perjam = Glukosa plasma (mg/dL) /150
Target kadar gula darah intraoperatif adalah 120-150 mg/ dL
Untuk menghindari resiko terjadinya hipokalemia karena perpindahan
kalium kedalam intrasel akibat pemberian insulin maka harus diberikan
tambahan 20 mEq KCL untuk setiap liter cairan.

223

Teknik manajemen gula darah perioperatif:


Pemberian Bolus
Preoperatif
D5W (1,5
D5W(1ml/k
Intraoperatif
ml/ kg/
g/jam)
Pascaoperatif
jam) NPH Regular
insulin
insulin:
(setengah Unit/jam=
dosis
Glukosa
pagi)
plasma/
150
=
Regular
preoperativ
insulin
e
(sliding
scale)_________________
Regular
=
insulin
preoperativ
(sliding
e
scale)_________________

Infus Kontinyu

10. MANAJEMEN
PASCAOPERATIF
Monitoring gula darah
hams dilanjutkan post
operatif karena terdapat
variasi
individual dari onset
dan duration of action
dari insulin (regular dan
NPH),
selain itu dapat terjado
progresi dari stress
hiperglikemia saat
periode
pemulihan.
Apabila durante operasi
diberi banyak Ringer
Lactate (RL) gula darah
biasanya akan naik 2448 jam Postoperatif
saat hepar
mengkonversi laktat
menjadi glukosa.
Karakteristik dan
bioavaibilitas dari
insulin :
Insulin type
Short acting

Lispro
Regular, Actrapid,
Velosulin
Semilente,
Semitard

Intermediate

Lente, Lentard, NPH,


Monotard
Ultralente, Ultratard,
PZI

Long Acting

11. DOKUMEN
TERKAIT :- Catatan
rekam medis
Lem
bar
infor
med
con
sent
12. UNIT TERKAIT :
Dokter
spesialis
anestesi,
dokter
residen di bagian

Onset
10-20
min
15-30
min
30-60
min
2-4 hr
4-5 hr

Peak
Duration
action
30-90 min 4-6 hr 5-7 hr
1-3 hr 4-6 12-16 hr
hr

8-10 hr

18-24 hr

8-12 hr

25-36 hr

Anestesiologi dan
Terapi
Intensif,
dokter/
residen
bedah,
dokter/
residen IPD di
lingkungan RSUP
Dr. Hasan Sadikin
Bandung
13. REFERENSI:
Morgan GE, Mikhail
MS, Murray MJ.
Anesthesia for patient
with endocrine disease.
Dalam: Clinical
Anesthesiology, ed.4,
2006, h: 808-809
Stoelting RK,
Dierdorf SF. Endocrine
disease. Dalam:
Handbook for
Anesthesia and Coexisting
Disease.2002,h: 301315.
224

ANESTESI PADA PASIEN DENGAN HIPERTIROID


1.

TUJUAN : Sebagai acuan dalam peiaksanaan tindakan anestesi pada pasien


dengan hipertiroid yang akan menjalani tindakan pembedahan.

2.

RUANG LINGKUP : Diagnosa hipertiroid, manajemen pre.intra, dan


pascaoperasi, krisis tiroid, komplikasi tiroidektomi.

3.

KEBIJAKAN : Pada operasi elektif pasien harus dalam keadaan eutiroid dan
gejala klinis yang sudah terkontrol.

4. PENGERTIAN :
Hipertiroid merupakan suatu keadaan disfungsi kelenjar tiroid dengan produksi
hormone triiodotironin (T3) dan atau tiroksin (T4) yang bertebihan. Hormon tiroid
menyebabkan peningkatan metabolisme karbohidrat dan lemak yang sangat
berperanan dalam kecepatan pertumbuhan dan metabolism. Peningkatan metabolism
akan menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen dan produksi C02 yang secara
tidak langsung meningkatkan ventilasi semenit, denyut jantung, kontraktilitas, dan
produksi panas/energi.
5. MANIFESTASI KLINIS:
Goiter
Takikardia
Ansietas
Tremor halus
Penurunan berat badan
Intoleransi terhadap panas.
Kelemahan otot
Fatigue
Eksoptalmus
Cardiac signs dapat berupa: sinus takikardia, atrial fibrilasi, gagal jantung
kongestif.

6. DIAGNOSIS
Diagnosis hipertiroid ditegakkan dengan pemeriksaan tes fungsi tiroid yang abnormal
dimana terjadi peningkatan kadar total (terikat dan tidak terikat) T4, T3 serum dan T4
bebas (tidak terikat).
7. TERAPI HIPERTIROID
Terapi Medikamentosa Inhibitor sintesa hormon: propiltiourasil, metimazol Inhibitor
pelepasan hormon: potassium, sodium iodide Aktivitas adrenergik yang
bertebihan diatasi dengan antagonis 3-adrenergic, misal: propanolol, nadolol,
atenolol.
225

Pemberian antagonis p-adernergik juga akan menurunkan konversi T4


menjadi T3 di perifer.
Iodine radioaktif dapat menghancurkan fungsi sel tiroid. Pemberian
iodine
radioaktif ini dapat menyebabkan keadaan hipotiroid dan
dikontraindikasikan
pada wanita hamil.
Reflek-reflek hiperaktif
Terapi Pembedahan Tiroidektomi subtotal merupakan alternative dari
terapi medikamentosa Biasanya tindakan pembedahan ini dilakukan
pada struma multinodular toksik yang berukuran besar, adenoma soliter
toksik, struma berukuran besar yang dapat menimbulkan kompresi
trakea, atau untuk alasan kosmetik.
MANAJEMEN PREOPERATIF
Semua prosedur operasi elektif harus ditunda sampai gejala-gejala klinis
terjadi perbaikan dan pasien harus dalam keadaan eutiroid dengan terapi
medikamentosa.
Pada pemeriksaan preoperatif harus dipastikan keadaan eutiroid dengan
tes
fungsi tiroid yang normal dan direkomendasikan laju nadi dalam keadaan
istirahat < 100 x/ menit.
Terapi antrtiroid dan antagonis (3 tetap diteruskan sampai saat pagi
menjelang operasi.
Pada keadaan emergensi pasien dapat dioptimalisasi dalam waktu
kurang
dari 1 jam dengan mengkontrol keadaan sirkulasi yang hiperdinamik
menggunakan infus esmoloi secara titrasi dengan dosis 100-300 ug/ kg/
menit atau dengan propanolol dengan target laju nadi < 100x/ menit.
Lakukan evaluasi terhadap kemungkinan obstruksi jalan nafas bagian
atas.
Obat pilihan untuk sedasi preoperatif adalah dengan obat golongan
benzodiazepine.
Hindari obat antikolinergik sebagi premedikasi.
MANAJEMEN INTRAOPERATIF
Teknik regional anestesi (bila memungkinkan) dapat memberikan
keuntungan yang sangat besar karena dapat memblokade system saraf
simpatis/ stress response.
Bila dilakukan anestesi umum harus dipilih obat-obatan induksi yang
mempunyai efek minimal terhadap kardiovaskular. Tiopental merupakan
pilihan yang terbaik karena mempunyai efek antitiroid pada dosis besar.
Hindari pemakaian ketamin, pankuronium, dan obat-obatan yang dapat
menstimulasi system saraf simpatis karena dapat menyebabkan
peningkatan laju nadi dan tekanan darah.
Pastikan kedalaman anestesi yang adekuat sudah tercapai sebelum
melakukan laringoskopi/ intubasi atau saat stimulasi pembedahan untuk
menghindari terjadinyaq takikardia, hipertensi, dan aritmia ventrikel.

226

Pastikan pasien dalam keadaan normovolum sebelum induksi karena


pasien-pasien hipertiroid biasanya dalam keadaan hipovolemik kronis
dengan sirkuasi yang cenderung mengalami vasodilatasi.
Maintenance anestesi dapat dilakukan dengan isofluran, desfluran, atau
sevofluran dengan N20.
Keadaan hipertiroid tidak meningkatkan kebutuhan anestetik.
Lakukan pemantauan ketat terhadap fungsi kardiovaskular dan suhu tubuh
untuk mengetahui tanda-tanda badai tiroid/ thyroid storm.
Lindungi mata pasien selama operasi dengan baik, karena keadaan
eksoptalmus akan meningkatkan resiko terjadinua abrasi dan ulkus komea.
10. KRISIS TIROID/ THYROID STORM dan PENATALAKSANAANNYA
Krisis tiroid merupaka keadaan emergensi medikal yang memerlukan
manajemen dan monitoring yang agresif. Tanda dari krisis tiroid adalah
munculnya gejala-gejala hipertiroid secara tiba-tiba akibat pelepasan
hormon T3 dan T4 secara mendadak.
Tanda-tanda yang didapatkan berupa: takikardia,
hipertermia,
agitasi/delirium/ koma, kelemahan oto skeletal, gagal jantung kongestif,
dehidrasi, syok.
Krisis tiroid dapat terjadi pada periode intraoperatif akan tetapi paling sering
terjadi pada saat 6-24 jam pascaoperasi.
Gejala krisis tiroid yang terjadi intraoperatif sangat mirip dengan malignant
hyperthermia, yang membedakannya adalah pada malignant hyperthermia
terjadi rigiditas otot, peningkatan kreatinin kinase, dan asidosis respiratorik/
metabolik yang berat.
Penatalaksanaan krisis tiroid adalah dengan hidrasi dan pendinginan
dengan menggunakan cairan infus yang dingin, infus kontinyu esmolol atau
propanolol (dosis incremental dimulai dengan 0,5 mg sampai laju nadi <
100/ menit), PTU (250-500 mg tiap 6 jam secara oral atau melalui NGT),
sodium iodide (1g dalam 12 jam), dan lakukan koreksi terhadap faktor
pencetus.
Pemberian kortisol 100-200 mg tiap 8 jam direkomendasikan untuk
mencegah timbulnya komplikasi akibat supresi kelenjar adrenal.
11. MAJEMEN PASCAOPERATIF
Lakukan monitoring terhadap tanda-tanda krisis tiroid paling tidak selama 24
jam, hal ini dikarenakan krisis tiroid paling sering terjadi pada periode 6-24
jam pascaoperasi.
Lakukan evaluasi terhadap terjadinya komplikasi tiroidektomi subtotal, yaitu: 1.
Kerusakan nervus laryngeus recurrent; bila unilateral ditandai dengan paralisis pita
suara dan suara serak, bilateral ditandai dengan paralisis pita suara, afonia dan
stridor (obstruksi jalan nafas). Fungsi pita suara dapat segera dinilai dengan
laringoskopi segera setelah dilakukan ekstubasi dalam. Kegagalan 1 atau kedua
pita suara untuk bergerak memerlukan tindakan intubasi untuk membebaskan jalan
nafas.

227

2.

3.
4.
5.

Perdarahan pascaoperatif pada daerah leher; keadaan mi menimbulkan


hematom yang dapat menimbulkan gangguan jalan nafas akibat kompresi
pada trakeal. Tindakan yang dilakukan adalah dengan sesegera mungkin
membuka kembali luka insisi untk evakuasi bekuan darah.
Trakeomalasia; lakukan penilaian apakah diperlukan tindakan intubasi.
Hipoparatiroid; terjadi karena kelenjar paratiroid yang tidak sengaja
terangkat. Keadaan ini akan menyebabkan terjadinya hipokalsemia akut
yang terjadi dalam 12-72 jam.
Pneumotoraks; dapat terjadi secara tidak sengaja saat dilakukannya
eksplorasi pada daerah leher. Segera lakukan pemasangan CTT untuk
mengatasinya.
6. Hipotiroid permanen.

12. DOKUMEN TERKAIT - Catatan rekam medis


- Lembar informed consent
13. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter residen di bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif, dokter/ residen bedah, dokter/ residen
IPD di lingkungan RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
14. REFERENSI:
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for patient with endocrine
disease. Dalam: Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 807-808. Stoelting
RK, Dierdorf SF. Endocrine disease. Dalam: Handbook for Anesthesia
and Co-existing Disease.2002,h: 315-319.

228

ANESTESI PADA PASIEN DENGAN HIPOTIROID


1.

TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien


dengan hipotiroid yang akan menjalani tindakan pembedahan.

2.

RUANG LINGKUP : Diagnosa hipotiroid, gejala klinis, komplikasi, terapi,


manajemen anestesi pre, intra, dan pascaoperasi.

3.

KEBIJAKAN : Keadaan paling ideal untuk dilakukan operasi elektif adalah


eutiroid, tetapi hipotiroid ringan-sedang bukanlah kontraindikasi absolute. Operasi
elektif ditunda pada hipotiroid berat (T4< 1mg/dL)

4. PENGERTIAN :
Hipotiroid merupakan disfungsi kelenjar tiroid yang ditandai dengan penurunan
produksi hormone tiroid T3 dan atau T4. Hipotiroid dapat disebabkan primer oleh
penyakit autoimun, tiroidektomi, pemakaian iodine radioaktif, medikasi dengan
antitiroid, defisiensi iodine, atau sekunder akibat kegagalan hypothalamic-pituitary axis.
5. MANIFESTASI KLINIS:
Hipotiroid yang terjadi pada masa neonatal akan mengakibatkan kretinism
yang ditandai dengan gangguan pertumbuhan fisik, dan retardasi mental.
Pada dewasa gejala hipotiroid tidak begitu jelas terlihat.
Letargi
Peningkatan berat badan
Intoleransi terhadap dingin
Fatigue
Konstipasi
Hiporeflek
Depresi
Bradikardia
Kontraktilitas jantung, stroke volume, dan cardiac output menurun.
Ekstremitas dingin dan mottled akibat vasokonstriksi perifer
Atropi kortek adrenal
Hiponatremia
Kadang terdapat efusi pleural, abdominal, dan pericardial.
Pada keadaan hipotiroid subklinis gangguan kardiovaskular jarang terjadi
6. DIAGNOSIS
Diagnosis hipotiroid ditegakkan dengan kadar T4 bebas yang rendah. Hipotiroid
primer dibedakan dengan hipotiroid sekunder dengan peningkatan kadar
TSH.
7. TERAPI
Terapi pengganti dengan preparat hormone tiroid (T4)

229

8. PERMASALAHAN PERIOPERATIF
Peningkatan sensitivitas temadap obat yang menimbulkan depresi
Hipodinamik kardiovaskular
Penurunan laju jantung
Penurunan cardiac output
Metabolisme obat menjadi lambat
Reflek baroreseptor yang tidak responsif
Kegagalan respon ventilasi terhadap hipoksemia dan hiperkarbia
Hipovolemia
Gangguan pengosongan lambung
Hiponatremia
Hipotermia
Anemia
Hipoglikemia
Insufisiensi adrenal
9. KOMPLIKASI HIPOTIROID (KOMA MYXEDEMA)
Koma Myxedema merupakan komplikasi dari hipotiroid yang ekstrim. Gejalanya
yaitu: penurunan kesadaran, hipoventilasi, hipotermi, hiponatremia (akibat
sekresi ADH), kolaps kardiovaskular, koma, dan dapat menyebabkan kematian.
Sering terjadi pada orang tua yang dicetuskan oleh proses pembedahan, infeksi, atau
trauma.
Penatalaksanaannya adalah dengan memberikan hormon tiroid T3 atau T4 intravena,
dengan dosis awal levotiroksin sodium 300-500 mg (pada pasien tanpa penyakit
jantung) diikuti dengan dosis pemeliharaan 50 mg/ hari, steroid (misalnya hidrokortison
100 mg tiap 8 jam). Selama terapi lakukan pemantauan EKG terhadap tanda-tanda
iskemik atau aritmia. Pertimbangkan bantuan ventilasi dan pemanasan eksternal bila
diperiukan.
10. MANAJEMEN PREOPERATIF
Pasien yang akan menjalani operasi elektif dengan keadaan hipotiroid
berat (T4 < 1 mg/dl) atau koma myxedema harus ditunda.
Pasien dengan hipotiroid berat (T4< 1 mg/ dl_) atau koma myxedema
yang akan menjalani operasi emergensi harus mendapatkan terapi
dengan hormone tiroid terlebih dahulu sebelum operasi.
Keadaa preoperatif yang ideal adalah pasien dalam keadaan eutiroid,
tetapi keadaan hipotiroid ringan-sedang bukan merupakan kontraindikasi
absolute untuk dilakukan operasi.
Evaluasi semua permasalahan yang mungkin ada akibat hipotiroid (poin
no.8)
Berikan terapi pengganti hormon tiroid untuk mencapai keadaan eutiroid
pada saat operasi.
Berikan kortisol suplemen sebagai medikasi preoperatif.
Pada keadaan hipotiroid pasien sangat sensitif terhadap obat-obatan
sedasi yang dapat menimbulkan depresi jalan nafas dan pada keadaan
230

mi mereka tidak mampu mengkompensasi hipoksia dengan meningkatkan ventilasi


semenit. Biasanya pada pasien hipotiroid tidak memerlukan sedasi preoperatif.
Berikan premedikasi dengan antagonis histamine H-2 dan metoklopramid karena pada
pasien ini terjadi perlambatan pengosongan lambung. Pasien yang mendapatkan terapi
tiroid harus tetap diberikan sampai saat pagi menjelang operasi.
11. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
Obat pilihan untuk induksi adalah dengan ketamin, hal ini dikarenakan
pasien dengan hipotiroid sangat rentan terhadap efek hipotensi dari obat
anestesi akibat dari penurunan cardiac output, reflek baroreseptor yang
tidak responsif, dan penurunan volume intravaskular.
Evaluasi semua permasalahan yang mungkin ada akibat hipotiroid (poin
no.8)
Pada keadaan hipotensi yang refrakter pertimbangkan kemungkinan
terjadinya insufisiensi adrenal dan gagal jantung kongestif.
Kemungkinan terdapat kesulitan intibasi dikarenakan lidah yang besar.
Pemeliharaan anestesi dapat diberikan inhalasi, N20, dan bila diperlukan
diberikan opioid kerja singkat, benzodiazepine, atau ketamin.
Lakukan pemantauan terhadap kemungkinan depresi kardiovaskular dan
hipotermi (naikkan temperatu kama operasi, pakai selimut penghangat,
berikan cairan infus yang hangat).
12. MANAJEMEN PASCAOPERASI
Proses pemulihan dari anestesi umum dapat menjadi lambat akibat keadaan hipotermi,
depresi nafas, atau metabolism obat yang lambat. Pada keadaan ini sering kali terjadi
memanjangnya ventilasi mekanik yang diberikan.
Pasien harus tetap terintubasi sampai bangun dan normotermi. Pilihan obat untuk
manajemen nyeri adalah obat golongan non-opioid (misal ketorolak) dikarenakan
pasien sensitif terhadap efek depresi nafas dari obat yang diberikan.
13. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis
- Lembar informed consent
14. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter residen di bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif, dokter/ residen bedah, dokter/ residen IPD di lingkungan RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung.
15. REFERENSI:
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for patient with
endocrine disease. Dalam: Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 808809
Stoelting RK, Dierdorf SF. Endocrine disease. Dalam: Handbook for
Anesthesia and Co-existing Disease.2002,h: 318-321.

231

ANESTESI PADA PASIEN HIPERTENSI


1.

TUJUAN : Sebagai acuan dalam penatalaksanaan tindakan anestesi pada


pasien dengan hipertensi yang akan menjalani tindakan pembedahan.

2.

RUANG LINGKUP :
hipertensi.

3.

KEBIJAKAN : Pada operasi elektif, tekanan darah pasien harus dalam


keadaan klinis yang sudah terkontrol.

Diagnosa hipertensi, penatalaksanaan perioperatif

4. PENGERTIAN :
Hipertensi sistemik : tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih pada
dua saat pengukuran yang terpisah paling sedikit 1 sampai 2 minggu.
Hipertensi krisis : tekanan darah > 180/120 mmHg, dibagi menjadi 2
kategori
Hipertensi emergensi : bila didapatkan kerusakan target organ yang
akut. Tujuan terapi : menurunkan tekanan diastolik secara cepat
namun bertahap (penurunan MAP sebanyak 20% dalam 60 menit
pertama dan kemudian secara bertahap)
Hipertensi urgensi : peningkatan tekanan darah yang berat, tetapi
tidak didapatkan tanda-tanda kerusakan target organ. Gejala yang
mungkin timbul adalah nyeri kepala, epistaxis, atau kecemasan.
Hipertensi borderline : tekanan diastolik 85-89 mmHg atau tekanan
sistolik 130-139 mmHg
Hipertensi berat : peningkatan tekanan darah secara progresif dan
terus menerus, di mana tekanan diastolik melebihi 110-119 mmHg dan
didapatkan disfungsi renal.
Hipertensi malignan : 'true medical emergency', dengan tanda-tanda
hipertensi berat (> 210/120 mmHg), papilledema, dan ensefalopati.
5. PATOFISIOLOGI:
Essensial/primer (idiopatik) : 80-95% kasus dan berhubungan
dengan peningkatan yang abnormal dari baseline cardiac output,
tahanan vaskuler sistemik, atau keduanya.
Sekunder : penyakit ginjal, hiperaldosteronism primer, sindroma
Cushing, acromegaly, pheochromocytoma, kehamilan, atau terapi
estrogen.
6. DIAGNOSIS
Diagnosis hipertensi tidak dapat dibuat hanya berdasarkan satu kali pemeriksaan
preoperasi saja, namun memerlukan konfirmasi melalui adanya riwayat peningkatan
tekanan darah yang konsisten. Dalam hal ini, hasil pengukuran tekanan darah
dipengaruhi oleh postur, waktu dilakukan pemeriksaan (siang atau malam), kondisi
232

PANDUAN
ANESTESI
REGIONAL

232

PROSEDUR ANESTESI SPINAL


1.

4.

TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi spinal pada pasien
yang akan menjalani tindakan pembedahan.
2.

RUANG LINGKUP:

3.

KEBIJAKAN :

PENGERTIAN : Suatu teknik regional anestesi dengan melakukan blockade


neuroaksial melalui penyuntikan obat anestesi ke dalam sub arachnoid.

5. PROSEDUR:
Penentuan Indikasi:
Operasi abdomen bagian bawah, inguinal, urogenital, rectal, dan ekstremitas bagian bawah
Kontra Indikasi:
Absolut:
infeksi pada daerah tempat tusukan
Pasien menolak
Koagulopati atau gangguan perdarahan
Hipovolemia berat
Peningkatan tekanan intracranial
Severe aortic/ mitral stenosis
Relatif:
Sepsis
Pasien tidak kooperatif Defisit neurologis
sebelumnya Severe spinal deformity
Kontroversi:
Bekas operasi pada tempat tusukan
Pasien yang tidak bisa berkomunikasi
Prosedur operasi yang kompleks (durasi lama, perdaraha banyak)
PERSIAPAN ALAT/ OBAT:
Sumberoksigen
Peralatan manajemen Jalan Nafas (lihat pedoman persiapan pra-bedah)
Obat-obatan emergensi/ resusitasi
Monitor tekanan darah, pulse oximetry, EKG
Regional set steril, bethadine, alkohol
Jarum spinal no. 25/27/29
Spuite 3cc / 5cc

233

Obat anestesi local untuk spinal (hiperbarik atau isobaric)


PERSIAPAN PASIEN:
Pada prosedur pembedahan elektif pasien tetap harus dipuasakan 6-8 jam
sebelumnya
Dilakukan informed consent tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan,
keuntungan, dan kerugiannya
Sebaiknya diberikan sedasi untuk memfasilitasi kooperasi pasien pada tingkatan
sedasi yang membuat pasien nyaman tetapi tetap kooperatif dan komunikatif
TEKNIK PELAKSANAAN:
Dilakukan terlebih dahulu pengukuran tekanan darah, laju nadi, dan saturasi
oksigen perifer
Pemasangan jalur intravena dengan kateter vena no. 18
Preloading cairan RL sebanyak 10-20 cc/ kgbb 15 menit sebelum penyuntikan
spinal
Posisi pasien:
Lateral Decubitus:
Pasien diposisikan tidur miring ke salah satu sisi badan dengan punggung yang paralel
dengan meja operasi. Sendi panggul dan lutut di-fleksikan maksimal sehingga lutut pasien
berada dekat dengan abdomen dan dada bagian bawah. Leher berda pada posisi fleksi.
Bahu dan panggul harus berada dalam satu garis lurus sehingga tidak terjadi rotasi pada
tulang punggung. Posisi dan kelengkungan pada tulang belakang harus dipertahankan oleh
seorang asisten. Posisi Duduk:
Pasien diposisikan duduk dengan tungkai menggantung di sisi meja operasi dan kaki
ditopang dengan kursi/footrest. Bantal diletakkan di pangkuan pasien dengan kedua lengan
atas berada pada posisi merangkul bantal. Kemudian pasien diperintahkan untuk menunduk
dan melenkungkan ke depan tulang belakangnya sambil memeluk bantal. Posisi dan
kelengkungan tulang belakang ini harus dipertahankan oleh seorang asisten.
Dilakukan identifikasi ruang intervertebral L2-3, L3-4, L4-5 dengan panduan
Tuffier Line
Untuk mengurangi resiko infeksi maka dokter anestesi harus mencuci tangan
terlebih dahulu dengan prosedur cuci tangan yang telah ditetapkan. Kemudian
mengenakan sarung tangan steril.
Dilakukan tindakan desinfeksi kulit pada daerah tusukan dengan menggunakan
povidon iodine dan biarkan mongering. Kemudian dibersihkan dengan kassa
sehingga daerah tusukan bersih dari zat antiseptik
Daerah tusukan ditutupi dengan kain/ duk bolong steril.
Penusukan jarum spinal:
Midline approach:
Jarum spinal ditusukkan pada garis tengah celah intervertebral yang telah ditentukan
dengan arah angulasi sedikit sefalad dan sumbu jarum searah dengan sumbu tulang
belakang pasien.
234
8.4. Premedikasi:
Mempert

Untuk mengurangi kecemasan pada masa preoperatif


ahan

Pada hipertensi preoperatif ringan sampai sedang dapat diberikan obat


kan
anxiolytic (midazolam)
stabil
itas

Obat antihipertensi preoperatif:


tekan
Obat yang telah diberikan dilanjutkan sampai saat hari operasi
an
dijadwalkan.
dara
ACE inhibitor dapat menimbulkan efek hipotensi intraoperatif
h
Central a2-adrenergic agonists (clonidine 0,2 mg) merupakan obat
yang
tambahan untuk premedikasi pasien hipertensi, dapat menambah
sesu
efek sedasi, menimbulkan hipotensi intraoperatif dan bradikardia.
ai
8.5. Penundaan operasi:
deng

Untuk operasi elektif : bila didapatkan tekanan darah diastolik > 110 mmHg,
an
operasi ditunda sampai tekanan darah terkontrol.
kisar

Keputusan penundaan operasi dengan mempertimbangkan : Derajat


an
beratnya peningkatan tekanan darah yang ditemukan Penyakit penyerta
awal
yang didapatkan seperti iskemik miokard, disfungsi ventrikel, komplikasi
(bas
serebral atau ginjal
eline
Jenis pembedahan
)

Hipertensi preoperatif dapat disebabkan karena ketidakteraturan pasien


Pasien
dalam menjalani terapi yang telah diberikan.
deng

Pasien dengan hipertensi yang tidak mendapat terapi atau tidak terkontrol
an
dapat mengalami iskemia miokard, aritmia, hipertensi, maupun hipotensi
hiper
selama intraoperatif.
tensi
bord
9. MANAJEMENINTRA-OPERASI
erlin
9.1. Tuiuan :
e

diperlakukan sebagai pasien dengan normotensi


Pada pasien dengan hipertensi tidak terkontrol atau hipertensi lama mengalami
perubahan pada autoregulasi aliran darah serebral (CBF), sehingga tekanan
darah rata-rata dipertahankan sedikit lebih tinggi dari normal untuk menjaga
aliran darah serebral yang adekuat.
Tekanan darah arteri dipertahankan dalam kisaran 10-20% dari level preoperatif:
Penurunan MAP sampai 25% akan mencapai batas autoregulasi yang lebih
rendah.
Penurunan MAP sampai 55% akan mengakibatkan hipoperfusi serebral
simtomatis.
Bila
terjadi
hipertensi
berat
(>180/120
mmHg)
pada
saat
preoperatif, tekanan darah arterial dipertahankan dalam kisaran
normal tinggi (150-140/90-80 mmHg)

235

II
ll
II
II

Jarum spinal akan menembus kulit, sub kutis, ligamentum supra spinosus,
ligamentum interspinosus, dan ligamentum flavum.
Bila tusukan berada pada arah yang tepat, maka kita akan merasakan dua
perubahan tahanan.
Tahanan pertama terjadi saat kita menembus ligamentum flavum dan tahanan
kedua saat menembus permukaan membrane dura-arachnoid.
Setelah tahanan yang kedua (terasa seperti loss of resistance atau "pop"),
tusukan jarum dihentikan. Pada saat ini ujung telah berada di ruang sub
arachnoid.
Tarik stylet dari jarum spinal sehingga LCS mengalir bebas. Apabila LCS tidak
keluar maka dicoba untuk mendorong jarum spinal.
Urutan tindakan di atas diulangi sampai didaptkan LCS
Paramedian Approach
Biasanya dilakukan pada pasien yang telah mengalami kalsifikasi pada
ligamentum interspinosus atau kesulitan untuk memposisikan pasien pada posisi
fleksi.
Tentukan daerah tusukan dengan menarik garis 2 cm ke lateral dari aspek inferior
dari prosesus spinosus superior dari daerah yang diinginkan.
Jarum spinal ditusukkan dengan membentuk sudut 10-25 derajat kea rah garis
tengah.
Identifikasi ligamentum flavum pada paramedian tidak begitu dapat kita rasakan
dibandingkan dengan pendekatan median.
Jika jarum membentur tulang pada saat jarum masuk tidak begitu dalam, maka
biasanya jarum membentur bagian medial dari lamina bagian bawah. Untuk itu
jarum harus diarahkan kembali sedikit ke atas dan lebih ke lateral.
Sebaliknya bila jarum membentur tulang setelah jarum dimasukkan begitu dalam,
maka biasanya jarum membentur bagian lateral dari lamina bawah. Jarum harus
diarahkan kembali sedeikit lebih ke atas dan medial dari garis tengah.
Sebelum menghubungkan spuit dengan hub dari jarum spinal, pastikan teriebih
dahulu tidak ada darah pada aliran LCS. Tunggu sampai aliran LCS benar-benar
bening.
Lakukan barbotase dan kemudian masukkan obat lokal anestesi dengan
kecepatan 1 cc/ 3 detik. Dosis yang dibutuhkan adalah sebagai berikut:
Dosis (mg)
Obat (hiperbarik)
Procaine
Bupivacaine
Tetracaine
Lidocaine
Ropivacaine

Perineum,
Lower Limbs
75
4-10
4-8
25-50
8-12

Abdomen Bawah
125
12-14
10-12
50-75
12-16

Abdomen Atas
200
12-18
10-16
75-100
16-18

Posisikan pasien sesuai dengan kebutuhan prosedur operasi yang akan dilakukan.
235

II II II
11

I
II

9.2. Induksi:

Induksi dan intubasi endotrakheal merupakan periode yang rawan untuk


terjadinya ketidakstabilan hemodinamik. Hal ini disebabkan karena
dalam periode tersebut dapat terjadi respon hipotensi yang menonjol
akibat induksi anestesi, diikuti dengan respon hipertensi yang berlebihan
akibat tindakan intubasi.
Respon hipotensi terjadi akibat efek samping depresi sirkulasi oleh obatobat anestesi maupun dari obat antihipertensi (vasodilator, depresi
jantung, atau kedua-duanya), atau berkurangnya volume cairan
intravaskuler.
Obat-obat simpatolitik dapat menurunkan tonus simpatis dan
meningkatkan aktivitas vagal.

Seki
tar
25%
pasi
en
den
gan
hipe
rten
si
dap
at
men
gala
mi
hipe
rten
si
bera
t
setel
ah
intu
basi
end
otra
khe
al,
sehi
ngg
a
tind
aka
n

intubasi sebaiknya dilakukan pada tahap anestesi dalam.


Teknik anestesi yang dapat dilakukan untuk menumpulkan respon
hipertensi:
o Mendalamkan anestesi dengan menggunakan obat inhalasi selama
5-10 menit o Pemberian opioid : fentanyl 2,5-5 ug/kg iv, alfentanyl 1525 ug/kg,
sufentanyl 0,25-0,5 ug/kg, atau remifentanyl 0,5-1 pg/kg o Pemberian
lidokain 1,5 mg/kg iv atau intratrakheal o Memberikan ^-adrenergic blocker
seperti esmolol 0,3-1,5 mg/kg,
propranolol 1-3 mg, atau labetalol 5-20 mg o
Menggunakan obat topikal

Obat induksi: propofol, barbiturat, benzodiazepine, dan etomidate

Ketamin
kontraindikasi
untuk
prosedur
elektif,
karena
menyebabkan stimulasi simpatis (bila digunakan dapat disertai dengan
pemberian dosis kecil propofol atau benzodiazepin)

Obat pelumpuh otot:


o Semua obat pelumpuh otot dapat digunakan secara rutin
o Pancuronium dapat menyebabkan blokade vagal dan melepaskan
katekolamin, terutama bila diberikan dengan dosis besar secara
bolus, sehingga dapat menimbulkan efek hipertensi pada pasien
dengan hipertensi yang tidak terkontrol o Pancuronium bermanfaat
bila digunakan pada keadaan di mana
terjadi tonus vagal yang berlebihan akibat obat opioid atau
menipulasi pembedahan

9.3. Monitoring :

Tekanan darah arterial invasif, pada pasien dengan keadaan :


o Perubahan tekanan darah dalam kisaran yang lebar
o Menjalani pembedahan mayor yang berhubungan dengan perubahan yang
besar dan cepat terhadap preload atau afterload jantung

EKG : deteksi tanda-tanda iskemik

236

Pengukuran tekanan darah dan laju nadi harus sesegera mungkm dilakukan
setelah obat disuntikkan.Pengukuran dilakukan tiap menit pada 15 menit pertama
kemudian tiap 3 menit setelahnya.
Bila terjadi hipotensi berikan vasopresor (efedrin 5-10 mg) dan/ cairan
Sensasi suhu diperiksa dengan menggunakan kapas alcohol, dan distribusi blok
sensoris dinilai dengan tes pinprick
Selama operasi berikan suplemen oksigen dengan nasal kanul 2-3 l/menit.
6.

DOKUMEN TERKAIT :-

7. UNIT TERKAIT :

Catatan rekam medis


Lembar informed consent

Dokter spesialis, dokter residen di bagian Anestesiologi dan


Terapi Intensif di lingkungan RSUP Dr. Hasan
Sadikin Bandung

236

Urine output : pemasangan folley catheter pada prosedur berlebiha


pembedahan yang diperkirakan > 2 jam, atau pada pasien dengan n, baik
gangguan ginjal.
yang
disebabk

Pemasangan monitor hemodinamik invasif (PA catheter):


an oleh
o Tekanan pulmonary capillary wedge yang tinggi (12-18 mmHg)
katekola
diperlukan untuk mempertahankan volume left ventricular end-diastolic dan
min
cardiac output.
endogen
(akibat
9.4. Rumatan :

Dapat dilanjutkan penggunaan obat inhalasi dengan atau tanpa nitrous intubasi
atau
oxide

Balanced technique : opioid + nitrous oxide + obat pelumpuh otot, atau manipula
si
teknik intravena total

Penggunaan obat inhalasi atau penambahan vasodilator intravena dapat pembeda


han)
mempermudah pengendalian tekanan darah selama intraoperatif

Obat inhalasi yang diberikan secara titrasi dapat menyebabkan maupun


vasodilatasi dan depresi miokard secara cepat dan reversibel dalam secara
eksogen
menurunkan tekanan darah
akibat

Penggunaan obat vasopresor:


pemberia
Pada pasien dengan hipertensi dapat terjadi respon yang
n obat

sympathetic agonists
Bila terjadi hipotensi dapat diberikan dosis kecil direct acting agent
(phenylephrine 25-50 ug) atau ephedrine 5-10 mg iv (bila terjadi
peningkatan tonus vagal)
Pemberian epinephrine dengan dosis yang tidak tepat pada pasien
dengan hipertensi dapat mengakibatkan morbiditas kardiovaskuler
yang bermakna

Bila terjadi hipertensi:

Kedalaman anestesi dapat ditingkatkan dengan obat-obat anestesi


terutama obat inhalasi. Bila masih terjadi hipertensi, dipertimbangkan obat
antihipertensi/vasodilator parenteral (iv).

Sebelum mulai memberikan obat antihipertensi iv, dipastikan terlebih


dahulu tingkat kedalaman anestesi sudah adekuat, tidak terjadi
hipoksemia maupun hiperkapnia.

Pemilihan obat antihipertensi berdasarkan :


/ Beratnya, timbulnya dan penyebab hipertensi
S Derajat beratnya hipertensi
/ Fungsi ventrikel baseline
/ Laju nadi
/ Ada tidaknya penyakit bronkhospastik pulmonal

Pengelolaan tekanan darah :


o Selama operasi berlangsung, tekanan darah dipertahankan dalam batas
normal tinggi MAP untuk mempertahankan autoregulasi dan

I
1

II
II
II
II

II
II
237

I
II
II

level 10-20% preoperatif. o Obat-obat yang dapat digunakan :


(3-adrenergic blockade : obat terpilih untuk pasien dengan fungsi
ventrikel yang baik dan terjadi peningkatan laju nadi
Nicardipine
digunakan pada pasien dengan penyakit
bronkhospastik
Nitroprusside : paling cepat dan efektif untuk penatalaksanaan
hipertensi moderat dan berat intraoperatif
Nitroglycerin : bermanfaat untuk terapi atau mencegah iskemik
miokard
Fenoldopam : memperbaiki atau mempertahankan fungsi
renal
Hydralazine : mengontrol tekanan darah secara konstan, mula
kerja lebih lambat, dapat menimbulkan efek takikardi

10. PENATALAKSANAAN PASCA-OPERASI


Hipertensi pasca operasi dapat terjadi dan harus diantisipasi terutama
pada pasien dengan hipertensi yang tidak terkontrol.
Observasi ketat dilakukan terhadap tekanan darah selama periode
dini pasca operasi di ruang pemulihan.
Penyebab hipertensi pada pasca operasi bersifat multifaktorial:
masalah respirasi, volume overload, nyeri, distensi bladder, dan
diawasi secara ketat pula adanya iskemik miokard, CHF, terjadinya
hematom di daerah luka operasi maupun gangguan vaskularisasi.
Bila penyebab tersebut sudah diatasi dan masih terjadi hipertensi,
dapat diberikan obat antihipertensi parenteral, seperti labetalol
perfusi
(hipertensi disertai takikardi) atau nicardipine (menurunkan laju nadi
serebral terutama bila dicurigai adanya iskemik miokard atau
, di
bronkhospasme).
mana Bila pasien sudah memungkinkan untuk minum, obat-obat
perubah antihipertensi oral sebelumnya dapat diberikan.
an
tekanan 11.DOKUMENTERKAIT:
darah - Catatan rekam medis
dijaga - Lembar informed consent
pada
12. UNITTERKAIT:

II

Dokter anestesi, dokter residen di bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif,


spesiali dokter/residen bedah, dokter/residen IPD, dokter/residen Kardiologi di
s
lingkungan RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung

II
238

tI

Anda mungkin juga menyukai