Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput


organ perut (peritonieum). Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih yang
membungkus organ perut dan dinding perut sebelah dalam. Lokasi peritonitis bisa
terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau kronik dan patogenesis disebabkan oleh
infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu kegawat daruratan yang
biasanya disertai dengan bakterisemia atau sepsis.
Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering
terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis,
salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi
post operasi, iritasi kimiawi, ataudari luka tembus abdomen. Pada keadaan
normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara inokulasi kecilkecilan); kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen, resistensi yang
menurun, dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif, merupakan faktorfaktor yang memudahkan terjadinya peritonitis.
Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena
setiap keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya
tergantung dari kemampuan melakukan analisis pada data anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama

: Ny. Rati

Usia

: 63 tahun

Tanggal Lahir

: 27 September 1952

Jenis Kelamin

: Perempuan

Status Pernikahan

: Menikah

Alamat

: Kp. Ranca Sepat RT 03 RW 07 Desa Mulyajaya,


Kecamatan Teluk Jambe, Karawang

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Nomor Rekam Medis : 605537

2.2 ANAMNESIS
Diperoleh dengan cara autoanamnesis pada hari kamis tanggal 27 September 2015
pukul 11.00
Keluhan Utama : Pasien datang dengan keluhan nyeri perut
Keluhan Tambahan: Belum BAB selama 3 hari

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSUD Karawang pada tanggal 27 September
2015, dengan keluhan nyeri perut yang dirasakan di seluruh perut sejak 4 hari
lalu. Pasien juga mengeluh tidak dapat buang air besar dan buang angina selama 3
hari disertai penurunan nafsu makan kurang lebih seminggu. Pasien tidak merasa
mual dan tidak muntah dan merasa lemas.
Setelah di ruangan dilakukan pemasangan NGT, pemeriksaan EKG dan
foto Thorax. Setelah di berikan cairan (loading NaCl 0,9% 1 kolf 20 tpm) dan
obat (ceftriaxone, omeprazole dan ketorolac) pasien di konsulkan ke dokter
spesialis penyakit dalam dan bedah untuk di jadwalkan operasi. Operasi dilakukan
tanggal 28 September 2015
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaku tidak memiliki penyakit hipertensi, DM, alergi obat maupun
asma
Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengaku di keluarga pasien tidak ada yang menderita hal serupa.
Riwayat Operasi
Pasien mengaku belum pernah dioperasi sebelumnya
Riwayat Pengobatan
Pasien mengaku sempat pergi ke ahli urut (pijat perut) dan pasien mengaku tidak
mengkonsumsi obat-obatan apapun
Riwayat Kebiasaan
Tidak terdapat riwayat merokok, namun didapat riwayat sering minum kopi rutin
setiap hari 2 cangkir dan konsumsi daging kambing yang berlebih sebelumnya.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


Dilakukan tanggal tanggal 29 September 2015 di ICU RSUD Karawang.
I.

II.

Keadaan Umum
a. Kesan Sakit : Tampak sakit sedang
b. Kesadaran
: Somnolen
c. Status Gizi
: Gizi kurang
d. Tidak ada sesak
Tanda Vital dan Antropometri

PEMERIKSAAN
Suhu
Nadi

NILAI NORMAL
36,50 37,20 C
60-100 x/mnt

HASIL PASIEN
36,0
111 x/mnt, reguler,

Tekanan darah
Nafas

120/80 mmHg
14-18x/menit

isi cukup, equivalen


127/74 mmHg
13x/menit

Tabel 1. Tanda vital dan antropometri


A. Status Generalis
Kepala: Ukuran normosefali, bentuk bulat oval, tidak tampak deformitas,

rambut berwarna hitam, tipis


Wajah: tidak tampak sesak, tidak kesakitan, tidak pucat, tidak sianosis,
ekspresi wajah simetris, dan tidak tampak gambaran khas seperti moon

face ataupun fasies hipocrates


Mata: Bentuk normal, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil

bulat isokor, reflek cahaya (+/+), kornea jernih.


Telinga: Normotia, nyeri tekan tragus (-), meatus akustikus eksterna
lapang, sekret (-/-), serumen (+/+) sedikit, membran timpani intak, refleks

cahaya (+/+)
Hidung: Bentuk normal, deviasi septum (-), sekret (-/-), nafas cuping

hidung (-/-)
Mulut: Palatoschiziz (-), labioschiziz (-), bibir sinosis (-), bibir kering (-),

trismus (-), terpasang NGT


Leher: Trakea teraba ditengah, KGB serta kelenjar tiroid tidak teraba

membesar
Paru-paru:

Inspeksi : bentuk simetris pada saat statis & dinamis, tidak terdapat
retraksi
Palpasi : vocal fremitus simetris (+)
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi: Suara nafas vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing
(-/-)
- Jantung:
Inspeksi : Tidak tampak adanya pulsasi Ictus cordis
Palpasi : Tidak teraba adanya pulsasi Ictus cordis
Perkusi : Batas jantung tidak dinilai
Auskultasi: S1 S2 regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen:
Inspeksi : tampang cembung, distensi abdomen
Auskultasi: Bising usus (-)
Palpasi : defens muskuler (+)
Perkusi : hipertimpani
Genitalia/Anorektal : tidak dinilai
Ekstremitas:

Ekstremitas
Oedem
Deformitas
Akral dingin
Akral sianosis
Ikterik
CRT
Tonus

Superior
-/-/-/-/-/< 2 detik
Baik

Inferior
-/-/-/-/-/< 2 detik
Baik

Tabel 2. Pemeriksaaan fisik ekstremitas

Kulit : tidak didapati adanya sianosis maupun ikterik

II.4

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium tanggal 27 September 2015


Parameter

Hasil

Nilai Rujukan

Satuan

Tabel 3.
Hasil

Hematologi
Hemoglobin

12*

12,0-16,0

g/dL

Leukosit

14,96*

3,8-10,60

Ribu/L

Hematokrit

35,8

35-47

Trombosit

293

150-440

Ribu/L

Masa perdarahan/BT

1-3

Menit

Masa pembekuan/CT

10

5-11

Menit

MCV

77

90-100

fL

MCH

26

26-34

fL

MCHC

34

35-36

G/DL

RDW-SD

51,1

fL

Kimia
Glukosa

Darah 135

<140

mg/dl

Sewaktu
Ureum

92,5*

15,0-50,0

mg/dL

Kreatinin

0,67

0,50-0,90

mg/dL

pemeriksaan laboratorium I

Pemeriksaan Laboratorium tanggal 28 September 2015

Parameter

Hasil

Nilai Rujukan

Satuan

Tabel 4.
Hasil

Hematologi
Hemoglobin

11,8*

12,0-16,0

g/dL

Leukosit

4,48

3,8-10,60

Ribu/L

Hematokrit

35,1

35-47

Trombosit

249

150-440

Ribu/L

Natrium

135

135-145

mol/L

Kalium

4,3

3,5-5,6

mol/L

Chlorida

106

98-108

mol/L

Albumin

1,77

3,5-5,0

g/dL

Kimia

pemeriksaan laboratorium II
EKG tanggal 27 September 2015

Gambar 1. Hasil EKG

2.5 DIAGNOSIS KERJA


Diagnosis : Peritonitis umum suspek peforasi hollow viscera

2.6 KESIMPULAN
Status fisik pasien

: ASA I

Perencanaan anestesi

: Pada pasien ini akan dilakukan tindakan

laparotomi eksplorasi dengan teknik anestesi umum.

BAB III
LAPORAN ANASTESI

Status anestesi

Diagnosa pre operasi

: Peritonitis umum et causa perforasi hollow


viscus

Jenis operasi
Rencana teknik anestesi
Status fisik

: Laparotomi eksplorasi
: Anastesi umum / General Anesthesia
: ASA I

Pre Operasi :

Infromed Consent
Pasien puasa 14 jam pre-operatif (mulai jam 12 malam)
Cek dan persiapan obat dan alat anestesi
Persiapan Alat
- Mesin anestesi
- Monitor anestesi
- Sfigmomanometer digital
- Pulse oksimeter/saturasi
- Stetoskop
- Sungkup muka
- Guedel
- Laringoscope
- Tube non-kinking
- Stylet
- Klem Kasa
- Peg
- Plester
- Spuit 10cc
Persiapan Obat
-

Pre medikasi

Induksi
Maintenance
Obat emergency

: Midazolam (Sedacum) 2 mg
Fentanyl 50 mcg
: Propofol 100 mg
: O2 : N2O : Isoflurane
: Ephedrine

Infus RL 20 tpm
Tanda vital : TD : 114/85 mmHg, Nadi : 103x/menit, Nafas: 20x/menit,
Suhu: 36,81oC
Intra Operasi

Lama operasi
Lama anestesi
Jenis anestesi
Posisi
Infus
Premedikasi
Medikasi

: 85 menit (Jam 14.05 - 15.35 WIB)


: 95 menit (Jam 14.10 15.45 WIB)
: Anestesi umum / General anesthesia
: Supine
: Ringer laktat pada tangan kanan
: Midazolam (Sedacum) 2 mg
: Fentanyl 100 mcg, Propofol 100 mg, Notrixum 40

mg, O2 2L/menit, N2O 2L/menit, Isofluran 1 vol%, Injeksi

Ondansentron 4 mg i.v, Injeksi Tramadol 100 mg i.v


Cairan Masuk
: 1000 cc Ringer Laktat, 500 cc Gelofusin

Monitoring saat operasi


Jam

Tindakan

(waktu)
14.00

Pasien

masuk

Tekanan

Nadi

SPO2

darah

(x/menit)

( %)

90

98

(mmHg)
ke 114/85

kamar operasi dan di


pindahkan

ke

meja

operasi

Pemasangan
monitoring

tekanan

darah, nadi, saturasi


oksigen.

Infus Ringer Laktat


terpasang pada tangan
kanan

10

14.05

Premedikasi

dengan 110/60

90

98

90

99

100

98

100

98

82

99

sedacum 2 mg

Medikasi : Fentanyl
50 mcg, Propofol 100
mg , Notrixum 25 mg

Pemasangan sungkup
muka

Pemberian
2L/menit,

O2
N2O

2L/menit, Isofluran 1
vol%

14.20

Bagging

dengan

frekuensi 12 x/m
Penambahan notrixum 110/60
15 mg

Intubasi

Bagging

dengan

frekuensi 12x/menit
14.25
14.35
14.50

15.05
15.20
15.35

Pasien napas spontan


128/70
Operasi dimulai
Operasi
masih 128/68

berjalan
Operasi

berjalan
Pemberian fentanyl 50

mcg
Operasi

masih 100/50

100

99

berjalan
Operasi

masih 100/50

100

99

berjalan
Operasi selesai
Pemberian

120/60

100

100

masih 128/70

obat

11

Injeksi Ondansentron
4

15.45

mg

i.v,

Injeksi

Tramadol 100 mg i.v


Pemasangan Guedel
Pemasangan sungkup

muka
Pemberian O2 3 L

Melepaskan
monitoring

120/60

100

100

tekanan

darah, nadi, saturasi

oksigen
Pemberian

dihentikan
Pasien dipindahkan ke

O2

recovery room
Tabel 5. Monitoring intraoperatif

Post Operasi
Operasi berakhir pada pukul 15.45 WIB tanggal 28 September 2015.
Selesai Operasi pasien masih dalam kondisi tidak sadar dengan napas spontan
lalu dipindahkan ke ruang pemulihan, melanjutkan pemberian cairan dan di
observasi pernafasan, tekanan darah serta nadi. Lalu pasien dimasukan ke
ruang ICU.
Ruangan ICU (29/09/2015)
S : tidak ada keluhan
O:

Keadaan Umum : somnolen, tampak sakit sedang, kesan gizi kurang

Tanda vital

12

TD
Nadi
RR
Suhu
Saturasi O2

08.00
125/69
111
18
36
99

09.00
128/77
112
15
36
99

10.00
124/74
108
15
36
98

11.00
121/72
108
15
36
98

12.00
132/76
112
18
36
98

Tabel 6. Tanda vital per jam post operatif

Status Generalis :
Mata

: Konjungtiva anemis (), Sklera ikterik ()

Paru

: Vesikular rhonki -/- , wheezing -/-

Jantung

: BJ I dan II N , Murmur (), Gallop ()

Abdomen : BU (+), Nyeri Tekan (+)


Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik , oedem (-)
A : Post laparotomi explorasi + adhesiolisis + repair gaster + omental patch
P:
Infus : RL 500ml 20 tpm
Futrolit infusion rate 28 tpm
Po
IV

: di puasakan (NGT masih berdarah)


: injeksi ceftriaxone 2 x 1 g
Injeksi tramadol 100 g/12 jam
Injeksi omeprazole 2 x 40 mg

13

BAB IV
ANALISA KASUS
Pasien datang ke IGD RSUD Karawang pada tanggal 27 September 2015, dengan
keluhan nyeri perut yang dirasakan di seluruh perut sejak 4 hari lalu. Pasien juga
mengeluh tidak dapat buang air besar dan buang angina selama 3 hari disertai
penurunan nafsu makan kurang lebih seminggu. Pasien tidak merasa mual dan
tidak muntah dan merasa lemas.
Setelah di ruangan dilakukan pemasangan NGT, pemeriksaan EKG dan
foto Thorax. Setelah di berikan cairan (loading NaCl 0,9% 1 kolf 20 tpm) dan
obat (ceftriaxone, omeprazole dan ketorolac) pasien di konsulkan ke dokter
spesialis penyakit dalam dan bedah untuk di jadwalkan operasi. Operasi dilakukan
tanggal 28 September 2015

14

Sebelum dilakukan pembiusan, pasien mendapat obat anestesi premedikasi


midazolam 2 mg dan fentanyl 50 mcg. Tujuan diberikannya premedikasi sebelum
anestesi adalah untuk meredakan ketakutan dan kecemasan pasien, agar pasien
merasa tenang sebelum pembedahan, serta untuk memperlancar induksi.
Midazolam merupakan obat golongan benzodiazepine yang memberikan efek
sedatif sehingga pasien menjadi lebih tenang dan memiliki efek amnesia
retrograde dengan dosis premedikasi : iv 0,03-0,04 mg. Fentanyl merupakan
agonis opioid, memiliki sifat analgesic kuat yang setara 100x morfin. Dosis 1-2
mcg/kgBB iv biasa digunakan untuk memberikan efek analgetik saat dilakukan
pembedahan.
Setelah diberikan premedikasi, pasien diinduksi menggunakan propofol
dengan dosis 100 mg. Propofol merupakan obat anestesi intravena yang paling
sering digunakan saat ini. Sifat utama propofol adalah hipnotik yang bekerja pada
reseptor

GABA (Gamma Amino

Butiric Acid),

yaitu

suatu

inhibitor

neurotransmitter. Terjadi distribusi darah ke jaringan (2-4 menit) dan metabolisme


(30-60 menit) yang cepat. Dengan dosis 2-2,5 mg/kgBB untuk induksi, propofol
memiliki onset of action 30 detik, dengan duration of action 3-10 menit.
Muscle relaxant bersifat non-depolarizing (Notrixum = Atracurium
Besylate) diberikan sebagai pelemas otot untuk mempermudah intubasi jalan
napas. Notrixum bekerja dengan bersaing dengan asetilkolin dalam menduduki
reseptor kolinergik yang ada di motor end plate. Dosis bolus 0.5 mg/kgBB dan
intubasi 0.3-0.5 mg/kgBB dengan onset of action (OOA) 3-5 menit dan duration
of action (DOA) 30-45 menit. Pada pasien ini diberikan setelah induksi sebesar 25
mg.
Untuk mempertahankan pasien agar terus dalam keadaan teranastesi,
pasien diberikan maintanance menggunakan inhalasi melalui selang ETT (Endo
Tracheal Tube) yang diindikasikan untuk prosedur operasi yang lama dan yang
memerlukan proteksi terhadap aspirasi. Untuk mengatasi intubasi yang sulit, maka
sebelumnya diberikan Notrixum tambahan sebanyak 15 mg. Pemberian anestesi

15

inhalasi N2O harus disertai O2 minimal 25%. Gas ini bersifat anestetik lemah
tetapi analgesik kuat. Pada anestesi inhalasi, N2O jarang diberikan secara
kombinasi dengan salah satu cairan anestetik lain. Pada pasien ini diberikan
anestesi inhalasi berupa O2 2L/menit, N20 2L/menit, dan Isoflurane 1 vol%
sebagai maintanance. Isoflurane menstimulasi adrenergic yang menyebabkan
penurunan resistensi vaskular perifer dan menyebabkan penurunan tekanan darah,
namun memiliki efek depresi kardiak dan curah jantung yang minimal.
Selama operasi, kondisi pasien dalam keadaan cukup stabil sehingga tidak
diperlukan penambahan obat lain. Kemudian setelah operasi selesai, pasien
diberikan injeksi Tramadol 100 mg, dan Ondansentron 4 mg. Ondansentron
merupakan antagonis selektif reseptor 5-HT3 yang terdapat di saluran cerna dan
otak. Pemberiannya bertujuan untuk penanganan mual dan muntah post operatif.
Obat ini diindikasikan pada pasien dengan riwayat mual muntah pada operasi
sebelumnya, operasi yang memiliki resiko tinggi untuk muntah (laparotomi),
operasi dengan keadaan tidak boleh muntah (bedah saraf) dan apabila pasien
merasa mual muntah pasca operasi. Ondansentron dapat diberikan melalui injeksi
dapat secara intravena atau intramuskular tanpa pengenceran. injeksi diberikan
sebagai dosis tunggal 4 mg melalui injeksi intravena segera sebelum induksi
anastesi atau diberikan segera pasca-operasi.
Pemberian tramadol 100 mg sebagai analgetik pasca operasi yang dapat
menjadi alternative selain OAINS (obat anti inflamasi sistemik) yang menjadi
kontraindikasi pada pasien ini (perforasi gaster) Tramadol bekerja sebagai agonis
opioid lemah dan penghambat reuptake monoamine neurotransmitter. Di plasma
terdapat dalam waktu 15-45 menit dengan onset setelah 1 jam. Dosis 50-100 mg
yang dapat diulang setiap 4-6 jam maksimum sampai 400 mg per hari
Pemberian Cairan

Kebutuhan cairan rumatan (BB= 50 kg)

16

Holiday Segar : (4 x 10 kg pertama) + (2 x 10 kg kedua) + (1 x sisa berat


badan)
40 + 20 + 30 = 90 ml/jam

Kebutuhan cairan intraoperasi ( laparotomy : operasi besar = 8ml/kgBB)


= 8 x 50 kg = 400 ml/jam
Kebutuhan cairan saat puasa dari pukul 00.00 (14 jam)
Lama puasa x rumatan =
14 jam x 90ml/jam = 1260 ml/jam
o Pemberian cairan pada jam pertama operasi
(Rumatan) + (kebutuhan cairan intraoperative) + (50 % kebutuhan
cairan puasa) =
90 + 400 + 630 = 1120 ml
o Pemberian cairan pada jam kedua operasi
(Rumatan) + (kebutuhan cairan intraoperative) + ( 25% kebutuhan
cairan puasa) =
90 + 400 + 315 = 805 ml
o Pemberian cairan pada jam ketiga operasi
(Rumatan) + (kebutuhan cairan intraoperative) + ( 25% kebutuhan
cairan puasa) =
90 + 400 + 315 = 805 ml
o Pemberian cairan pada jam keempat operasi
(Rumatan) + (kebutuhan cairan intraoperative)
90 + 400 = 490 ml
o Total durasi operasi 95 menit ( 1 jam 35 menit)
Jam (I) + Jam (II) = 1120 + 425 = 1.545 ml

17

Cairan yang masuk selama operasi


Cairan Ringer Laktat pertama pada pukul 14.20 dan kedua pada pukul
15.05. Pemberian gelofusin pada pukul 15.35. Total cairan yang masuk

selama operasi adalah 1.500 cc.


Allowed Blood Loss
20 % x EBV = 20 % x (50 kg x 65) = 650 ml

Jumlah cairan keluar

(Darah di lapangan operasi) + ( darah suction) + ( darah di kassa sedang) 50 cc


+ 50 cc + (20 cc x 10 kassa sedang) = 300 cc
Tidak perlu dilakukan transfusi darah karena jumlah cairan keluar tidak
melebihi nilai allowed blood loss pasien. Pasien diberikan cairan kristaloid
atau koloid sebanyak: Koloid (Gelofusin) : 300 cc

BAB V
TINJAUAN PUSTAKA

5.1 Definisi Peritonitis


Peritonitis di definisikan sebagai inflamasi dari membran serosa sepanjang
rongga abdomen dan organ didalamnya. Peritonitis merupakan reaksi inflamasi
dari fokus infeksi berupa mikroorganisme patogenik dan produknya. Proses
inflamasi ini dapat lokal (abses, disebut sebagai abses intra abdomen) atau difus
(generalisata ; peritonitis). Peritonitis dapat dibagi menjadi beberapa tipe,
peritonitis primer, sekunder dan tersier.

Source region
Esophagus

Causes
-Boerhaavesyndrome
-Malignancy
-Trauma (mostly penetrating)

18

Stomach

Duodenum

Biliary tract

Pancreas

Small bowel

Large
bowel
and appendix

Uterus, salpinx,
and ovaries

-Iatrogenic*
-Peptic ulcer perforation
-Malignancy (eg, adenocarcinoma,
lymphoma, gastrointestinal stromal tumor)
-Trauma (mostly penetrating)
-Iatrogenic*
-Peptic ulcer perforation
-Trauma (blunt and penetrating)
-Iatrogenic*
-Cholecystitis
-Stone perforation from gallbladder (ie,
gallstone ileus) or common duct
-Malignancy
-Choledochal cyst (rare)
-Trauma (mostly penetrating)
-Iatrogenic*
-Pancreatitis (eg, alcohol, drugs, gallstones)
-Trauma (blunt and penetrating)
-Iatrogenic*
-Ischemic bowel
-Incarcerated hernia (internal and external)
-Closed loop obstruction
-Crohn disease
-Malignancy (rare)
-Meckel diverticulum
-Trauma (mostly penetrating)
-Ischemic bowel
-Diverticulitis
-Malignancy
-Ulcerative colitis and Crohn disease
-Appendicitis
-Colonic volvulus
-Trauma (mostly penetrating)
-Iatrogenic
-Pelvic inflammatory disease (eg, salpingooophoritis, tubo-ovarian abscess, ovarian
cyst)
-Malignancy (rare)
-Trauma (uncommon)

Tabel 7. Pembagian penyebab peritonitis


5.1.1 Peritonitis Primer
Peritonitis primer biasanya disebabkan oleh karena adanya
penyebaran mikroorganisme secara hematogen ataupun limfogen biasanya

19

pada pada pasien dengan penurunan imunitas atau immunocompromised


state. Peritonitis bacterial spontan adalah infeksi akut bakteri dari cairan
ascites, yang berasal dari translokasi mikroorganisme. 10-30 % pada pasien
sirosis dekompensata dengan protein cairan ascites < 1 g/dL. Penurunan
fungsi hepar, dengan rendahnya total protein, rendahnya kadar komplemen,
atau prothrombin time (PT) yang memanjang berhubungan dengan
peningkatan resiko maksimal. 90% kasus disebabkan oleh infeksi
monomikrobial gram negative. (2)
5.2.2 Peritonitis Sekunder
Etiologi umum untuk peritonitis sekunder adalah perforasi ataupun
ulkus. Perforasi dapat meliputi gaster, appendiks, kolon sigmoid yang
berasal dari penyebab lain (divertikulitis, volvulus, dsb). Strangulasi usus
halus dapat menyebabkan nekrosis dan dapat menjadi fokus infeksi.
Pathogen yang menyebabkan infeksi dibagi berdasarkan lokasi. Peritonitis
seringnya disebabkan oleh banyak bakteri atau polimikrobial terdiri dari
bakteri aerob dan anaerob yang predominannya adalah bakteri gram
negatif.

Gambar 2. Mikroorganisme penyebab peritonitis

20

5.1.3 Patofisiologi
Bila peritonitis disebabkan oleh bakteria, infeksinya di tentukan
oleh beberapa hal seperti virulensi bakteri, besarnya inokulasi, status
imunitas, lingkungan sekitar jaringan (jaringan nekrotik, kontaminan darah
maupun cairan empedu). Sepsis intra abdominal akibat perforasi organ
viscus berasal dari tumpahan langsung dari isi organ yang perforasi,
biasanya mengandung bakteri gram negative dan bakteri anaerob serta flora
usus normal yang masuk ke rongga peritoneal. Selanjutnya endotoksin yang
di produksi bakteri gram negative akan menstimulasi pelepasan sitokin dan
menginduksi respon imun humoral. Menyebabkan kerusakan sel, syok
septik dan MODS (Multiple Organ dysfunction Syndrome)
5.1.4 Manifestasi Klinis
a. Nyeri
Nyeri menyebar dan terasa sangat sakit, cenderung konstan,
terlokalisasi dan lebih terasa di sekitar tempat inflamasi serta diperberat oleh
gerakan. Terdapat nyeri dan kaku di tempat inflamasi. Ileus paralitik dapat
terjadi dapat berupa konstipasi.
b. Mual dan muntah
c. Penurunan peristaltik
d. Suhu dan frekuensi nadi meningkat
e. Peningkatan jumlah leukosit
5.1.5 Komplikasi
a. Sepsis
Menurun American College of Chest Physician (ACCP) and The
Society of Critical Care Medicine sepsis adalah gejala SIRS (Systemic
Inflammatory Response Syndrome) dua dari kriteria berikut ;
-

Suhu > 380 C / < 360 C


Nadi > 90 x/min
Pernapasan > 20 x/min
Leukosit > 12.000 / < 4.000

21

Disebut sebagai sepsis, yaitu memenuhi kriteria SIRS diengan


adanya gejala klinis. Fokus infeksi atau endotoksin menstimulasi respon
imun tubuh complex (TNF-, IL-1,IL-4) menginduksi pembentukan NOS
(Nitric Oxide Synthetase). NOS mengkatalisasi konversi l-arginin dan O 2
menjadi sitruline dan NO (Nitric Oxide). NO memiliki peran dalam
vasodilatasi dan inhibisi agregasi trombosit dan transmisi neurotransmitter.
NO menyebabkan relaksasi otot polos , depresi miokard, dan inaktivasi
platelet.
Organ
CNS

Kardiovaskula
r

Efek Sepsis
- Mengganggu kesadaran ( mild confusion to coma)
- Mengganggu fungsi termoregulasi, demam karena
meningkatnya mediator inflamasi
Hipotensi dengan takikardia sebagai kompensasi ;
-

Hipovolemia

akibat

(meningkatnya

kehilangan

permeabilitas

cairan
membrane,

meningkatnya metabolism, insensible loss karena


-

demam)
Depresi miokard, penurunan resistensi vascular,
sepsis meninduksi penurunan elastisitas ventrikel

Respirasi

kiri
Acute Lung Injuri (ALI) / Acute Respiratory Distress
Syndrome (ARDS) ;
-

Produksi

mediator

destruksi

sel

kehilangan
-

inflamasi

alveolar

surfaktan

tipe

menyebabkan
I

menyebabkan

(atelectasis),

penurunan

compliance dan elastisitas


Peningkatan permeabilitas endotel vaskuler dan
akumulasi debris, dan cairan di alveolus

Menyebabkan perubahan pada respiratory rate, volume dan


pertukaran gas.
Peningkatan demand oksigen karena peningkatan laju
metabolisme, penurunan penghantaran oksigen hasilkan

22

Renal

imbalance supply and demand dari oksigen


Penurunan GFR akibat hipotensi dan iskemia (kerusakan sel

Sistem digestif

tubular dan pembentukan cast)


Hipotensi, menyebabkan penurunan sirkulasi splanikus ;
-

Penurunan motilitas
Gangguan fungsi barrier mukosa
Peningkatan
permeabilitas
vascular

dapat

menimbulkan translokasi bakteri

Tabel 8. Sepsis dan Efek pada Organ


5.1.6 Managemen preoperatif pada sepsis
Sepsis dapat mengakibatkan instabilitas

hemodinamik dan

disfungsi organ, karena itu pilihan anesthesia terbaik adalah anesthesia


umum. Managemen pasien sepsis preoperative utama adalah 1) mengatasi
infeksi, kontrol sumber yaitu mengurangi respon inflamasi dengan
memberikan terapi antibiotik. 2) pertahankan oksigenasi yang adekuat 3)
pertahankan fungsi organ.
5.1.7 Managemen perioperatif pasien sepsis

Airway management & ventilation


Pada sepsis, sepsis berat atauun syok septik, membutuhkan
intubasi dan ventilasi yang adekuat. Bantuan ventilator mekanik
dengan volume controlled ventilation dapat digunakan untuk
mecegah hipoksia. Pengaturan Peak Pressure di batasi 38 cmH2O,
tidal volume dipertahankan 6-8 ml/kgBB untuk mencegah
barotrauma. PEEP (Postitive End Expiration Pressure) 8-10
ml/kgBB akan meningkatkan oksigenasi, ventilasi dan compliance
(daya kembang) untuk mencegah kolapsnya alveolus.

Hemodynamic management

23

Vasodilatasi dan depresi miokard pada sepsis, sepsis berat


dan syok septik akan menyebabkan hipovolemi. Obat hipnotik
dapat menyebabkan depresi miokard. Ketamine memiliki efek
meningkatkan tonus simpatik yang dapat meningkatkan tekanan
darah dan membantu pasien yang hemodinamiknya tidak stabil
serta memiliki efek supresi erhadapt mediator inflamasi sitokin.
Propofol dapat menghambar nitric oxide synthetase (NOS) yang
berperan dalam vasodilatasi, namun propofol dapat menyebabkan
depresi miokard dan peningkatan TNF- yang memperberat reaksi
inflamasi. Karena itu pemilihan obat lebih dipentingkan pada
pemberian dosis yang hati-hati.
menjaga kestabilan hemodinamik memiliki tujuan 1)
menjaga perfusi jaringan agar tetap baik 2) menjaga oxygen
delivery

agar

metabolisme

sel

tetap

normal.

Kestabilan

hemodinamik dapat di jaga dengan ;


1. Resusitasi cairan
Cairan untuk resusitasi dapat dibagi menjadi koloid
maaupun kristaloid. Koloid meningkatkan osmolaritas di ekstrasel,
menyebabkan perpindahan cairan dari intrasel ke interstisial dan
kompartemen vascular. Sementara kristaloid memiliki distribusi ke
ekstrasel yang dominan. Ringer laktat memiliki kadar garam yang
cenderung lebih seimbang dibandingkan dengan NaCL.
Jenis Koloid

Fungsi

Fresh frozen Menggantikan faktor pembekuan pada pasien


plasma

dengan perdarahan aktif

Hydroxyethy

l starch

Meminimalkan kerusakan endotel


Mengurangi kebocoran kapiler
Meningkatkan mikrosirkulasi
Menurunkan fungsi supresi dari makrogaf

24

Gelatin
(Gelofusin

Dextran

Menurunkan factor pembekuan VIII


Prolong

Memiliki molekul yang kecil sehingga cepat


migrasi ke interstisial
Dapat
menimbulkan
anafilaktik
dan
pelepasan histamine

Menurunkan viskositas darah


Meningkatkan mikrosirkulasi
Tabel

10.

Cairan Koloid
Pada sepsis resusitasi cairan dengan volume sampai dengan 6 liter,
jika menggunakan kristaloid, pemberian volumenya dikalikan 2-4
kali koloid. Pemberhentian cairan atau end points jika terdapat
penurunan heart rate sampai normal, dan kenaikan urine output
serta CVP 10-12 cmH2O.

Gambar 3. End-points resusitasi cairan


2. Vasoactive agents

25

Jika tidak respon terhadap resusitasi cairan atau Mean


Arterial Pressure <60 mmHg, dapat diberikan vasoactive agents.
Pemberian vasoactive agents harus disertai dengan resusitasi cairan
yang adekuat.
Vasoactive agents
Dopamine

Fungsi

Efek dopaminergic
Reseptor dan
adrenergik, meningkatan
tekanan darah dengan
meningkatkan cardiac
output (peningkatan heart
rate dan stroke volume)

Reseptor 1, 2 adrenergik,
meningkatkan heart rate,
menurunkan resistensi
vaskular sistemik,
bronkodilatasi

Stimulator adrenergic
Vasokonstriktor
bronkodilator

2-5 g/kgbb/menit
(vasodilatasi)
5-20 g/kgbb/menit (stimulasi
, inotropic , kronotropik +)
>20 g/kgbb/menit
(vasokonstriksi, takikardia)
Dobutamine (2-20
g/kgbb/menit)

Ephedrine
2,5-10 mg i.v

Tabel 11. Vasoactive agents


Jika hipotensi tidak responsive tehadap resusitasi cairan dan
vasoactive agents maka dapat diberikan kortikosteroid untuk
menurunkan respon inflamasi. Dosis rendah dapat diberikan 50100 mg 3 kali perhari selama 5 hari.
Muscle relaxant Pancuronium dapat menjaga aktivitas
simpatis, sedangkan atracurium dan cisatracurium tidak
membenani kerja hepar dan ginjal dalam metabolismenya.
26

Pemberian adjuvant harus dilakukan secara hati-hati pada pasien


dengan disfungsi organ karena dapat terjadi toksisitas obat (sulit
dimetabolisme). Fentanil cukup stabil perihal kardiovaskular,
sedangkan morfin memerlukan hepar dan ginjal yang baik untuk
metabolisme
5.1.8 Managemen postoperatif
Melanjukan ke ICU (Intensive Care Unit)

bila tanda-tanda pasien

memburuk. Hal- hal yang dilakukan di ICU sebagai berikut ;

Resusitasi jantung paru


Pengelolaan jalan napas, termasuk intubasi trakeal dan
penggunaaan ventilator

Terapi oksigen

Pemantauan EKG terus menerus

Pemasangan alat pacu jantung dalam keadaan gawat

Pemberian nutrisi enteral dan parenteral

Pemeriksaaan laboratorium khusus dengan cepat dan menyeluruh

Pemakaian pompa infus atau semprit untuk terapi secara titrasi

Kemampuan melakukan tekhnik khusus sesuai dengan keadaan


pasien

Memberikan bantuan fungsi vital dengan alat-alat portabel selama


transportasi pasien gawat
Sebelum masuk ICU dapat dilakukan triase terlebih dahulu ;
1. Pasien yang kemungkinan hidupnya besar tanpa terapi
sekalipun
2. Pasien yang memerlukan terapi intensif, jika tidak pasien
tersebut akan meninggal

27

3. Pasien yang hampir pasti meninggal meskipun mendapat terapi


intensif
Pemilihan pasien di ICU menjadi sangat penting saat fasilitas
perawatan rumah sakit tidak mencukupi kebutuhan seluruh pasien,
prinsip

utamanya

adalah

mendahulukan

pasien

yang

punya

kemungkinan hidup dan memerlukan terapi segera, pasien yang


penyakitnya sangat parah sampai kemungkinan hidup kecil tidak
diprioritaskan.
Penentuan indikasi pasien masuk ke ICU dan keluar dari ICU
serta pasien yang tidak dianjurkan untuk dirawat di ICU ditentukan
berdasarkan kriteria sebagai berikut:

1. Kriteria Masuk
a. Pasien Prioritas 1 (Satu)
Kelompok ini merupakan pasien sakit kritis, tidak stabil
yang memerlukan terapi intensif seperti dukungan/bantuan
ventilasi dan alat bantu suportif organ/sistem yang lain, infus obatobat vasoaktif kontinyu, obat aritmia kontinyu dan lain-lainnya.
Contoh

pasien

kelompok

ini

antara

lain

pasca

bedah

kardiotoraksik, pasien sepsis berat, gangguan keseimbangan asam


basa dan elektrolit yang mengancam nyawa. Terapi pada pasien
prioritas 1 (satu) umumnya tidak mempunyai batas.
b. Pasien Prioritas 2 (Dua)
Pasien ini memerlukan pelayanan pemantauan canggih di
ICU, sebab sangat berisiko bila tidak mendapatkan terapi intensif
segera, misalnya pemantuan intensif menggunakan pulmonary
arterial catheter. Contoh pasien seperti ini antara lain mereka yang
menderita penyakit dasar jantung, paru, gagal ginjal akut dan berat
atau yang telah mengalami pembedahan major. Terapi pada pasien
28

prioritas 2 tidak terbatas karena kondisi mediknya senantiasa


berubah.
c. Pasien Prioritas 3 (Tiga)
Pasien golongan ini adalah pasien sakit kritis, yang tidak
stabil status kesehatan sebelumnya, penyakit yang mendasarinya,
atau penyakit akut secara sendirian atau kombinasi. Kemungkinan
sembuh dan atau manfaat terapi di ICU sangat kecil. Contoh pasien
ini antara lain pasien dengan keganasan metastase disertai penyulit
infeksi, pericardial tamponade, sumbatan jalan napas, atau pasien
penyakit jantung, penyakit paru terminal disertai komplikasi
penyakit akut berat. Pengelolaan hanya untuk mengatasi kegawatan
akutnya saja.
2. Kriteria Keluar
Prioritas

pasien

dipindahkan

dari

ICU

berdasarkan

pertimbangan medis oleh kepala ICU dan tim yang merawat pasien.
a. Pasien Prioritas 1 (Satu)
Pasien prioritas 1 (satu) dikeluarkan dari Intensive Care
Unit (ICU) bila kebutuhan untuk terapi intensif telah tidak ada lagi,
atau bila terapi telah gagal dan prognosis jangka pendek jelek
dengan kemungkinan kesembuhan atau manfaat dari terapi intensif
kontinu kecil. Contoh hal terakhir adalah pasien dengan tiga atau
lebih gagal sistem organ yang tidak berespons terhadap
pengelolaan agresif dan meninggal dunia.
b. Pasien Prioritas 2 (Dua)
Pasien prioritas 2 (dua) dikeluarkan bila kemungkinan
untuk memerlukan terapi intensif secara mendadak

telah

berkurang.
c. Pasien Prioritas 3 (Tiga)

29

Pasien prioritas 3 (tiga) dikeluarkan dari Intensive Care


Unit (ICU) bila kebutuhan untuk terapi intensif telah tidak ada lagi,
tetapi mereka mungkin dikeluarkan lebih dini bila kemungkinan
kesembuhannya atau manfaat dari terapi intensif kontinu kecil.
Contohnya adalah pasien dengan penyakit lanjut (penyakit paru
kronis, penyakit jantung atau liver terminal, karsinoma yang telah
menyebar luas dan lain-lainnya) yang telah tidak berespons
terhadap terapi Intensive Care Unit (ICU)) untuk penyakit akutnya,
yang tidak ada terapi yang potensial untuk memperbaiki
prognosisnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Daley BJ, Peritonitis and Abdominal Sepsis. Medscape [Internet]. 2015


[updated 2015 Feb 15; cited 2015 Oct 2]. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/180234-overview#a5
2. Lata J, Stiburek O, Kopacova M. Spontaneous bacterial peritonitis: a severe
complication of liver cirrhosis. World J Gastroenterol. 2009 Nov 28. 15(44):550510
3. Soenarjo, Jatmiko HD, edt. Anestesiologi. 2010. Semarang : Bagian anestiologi
dan terapi intensif FKUNDIP/RSUP Dr.Kariadi.
4. Soenarto RF, Chandra S, edt. Buku Ajar Anestesiologi 1st edition. 2012. Jakarta
: Departemen Anestesiologi dan Intensive Care FKUI/RSCM.
5. Lunn JN. Catatan Kuliah Anestesi. 2005. Jakarta : EGC.

30

6. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR, Petunjuk Praktis Anestesiologi: Edisi
Kedua. 2009. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI
7. Radford HM. Sepsis, severe sepsis and septic shock in adults and anaesthesia.
Southern African Journal of Anesthesia & Analgesia [Internet]. 2002 May [cited
2015 Oct 2].
8. Depkes RI. Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1778/MENKES/SK/XII/2010.
Pedoman Penyelenggaraan Intensive Care Unit (ICU) di Rumah Sakit. Jakarta:
Kemenkes RI; 2010.

31

Anda mungkin juga menyukai