Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

ETIOLOGI DAN PENANGANAN SINUSITIS AKUT

Penulis :
Putri Maharani
030.11.235

Pembimbing :
dr. Much. Agus Sugiharto, Sp.THT

KEPANITERAAN KLINIK ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK


RUMAH SAKIT TNI ANGKATAN LAUT MINTOHARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 19 OKTOBER 21 NOVEMBER 2015
LEMBAR PERSETUJUAN
1

Referat dengan judul :


ETIOLOGI DAN PENANGANAN SINUSITIS AKUT

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing sebagai syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan klinik subdepartemen THT di Rumah Sakit TNI Angkatan Laut Mintohardjo
periode 19 Oktober - 21 November 2015

Pada Hari ., Tanggal . 20 ..

Jakarta, November 2015

Pembimbing,

(dr. Much. Agus Sugiharto, Sp.THT)

DAFTAR ISI

BAB I Pendahuluan

BAB II Tinjauan Pustaka

II.1 Anatomi .

II.2 Fisiologi .

II.3 Definisi ..

II.4 Etiologi ..

II.5 Patofisiologi .

II.6 Diagnosis klinis ........

II.7 Penanganan ..

3.8 Komplikasi

12

BAB III Tinjauan Pustaka

15

BAB I
PENDAHULUAN

Sinusitis merupakan inflamasi mukosa sinus paranasalis. Sinusitis menurut guideline IDSA
(The Infectious Disease Society of America) dapat disebut sebagai rhinosinusitis karena mukosa
nasal yang saling kontinyu, sehingga inflamasi dari sinusitis selalu diikuti inflamasi dari kavum
nasi.(1) Sinusitis merupakan kondisi yang umum ditemukan. Menurut National Health Survey
tahun 2008, 1 dari 7 (13,4%) orang dewasa 18 tahun di diagnosa sinusitis dalam 12
sebelumnya, dengan prevalensi wanita lebih banyak daripada laki-laki dengan range umur 45-71
tahun.(2)
Hal ini dicetuskan oleh banyak faktor, antara lain alergen, iritan dari lingkungan sekitar,
infeksi bakteri, virus maupun jamur. Infeksi saluran pernapasan atas akibat infeksi virus
merupakan penyebab tersering. Dengan insiden pada anak mencapai 6 kali episode pertahun dan
2-3x episode pertahun pada dewasa.(3) Sinusitis akut merupakan inflamasi sinus paranasal yang
terjadi kurang dari 4 minggu. 90-98% sinusitis akut disebabkan oleh virus, sementara 2-10%
disebabkan oleh infeksi bakteri.(4)
Walaupun demikian, pada prakteknya pemberian antibiotik masih tinggi sebanyak 65,8%.
(5)

Sebuah survey nasional menyebutkan bahwa pemberian antibiotik pada infeksi saluran napas

atas sebanyak 81% pada dewasa dengan sinusitis akut, walaupun 70% dari pasien sinusitis akut
dapat sembuh secara spontan.(6) Hal ini menimbulkan pernyataan overperscription yang banyak
karena sulitnya membedakan sinusitis bakterial akut dengan virus.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Anatomi
Bagian lateral dinding kavum nasi terdiri atas konka superior, medius dan inferior.
Ostium dari sinus-sinus terdapat di lateral dinding nasal kecuali dari sinus sphenoid. Ductus
nasolakrimalis terdapat di bawah meatus inferior, kurang lebih 3 cm posterior eksternal dari
meatus nasalis eksterna.dibawah konka medius terdapat meatus medius, tempat bermuara sinus
frontalis, maxilaris, dan ethmoid anterior. Meatus superior berada diantara konka medius dan
konka superior menjadi muara sinus ethmoid posterior. Sinus sphenoid berada sejajar dengan
meatus superior.

Gambar 1. Anatomi sinus paranasal


Fossa nasalis dan sinus mendapat suplai darah dari arteri carotis interna dan eksterna.
Arteri karotis eksterna mensuplai hidung bagian dalam via arteri maxilaris dan arteri
sfenopalatina. Arteri palatina mayor mensuplai bagian anteroinferior septum melalui kanalis
insisivus. Arteri karotis interna mensuplai darah via arteri ethmoid anterior dan superior yang
berasal dari arteri ophtalmika. Anastomosis dari beberapa arteri ini (arteri ethmoidal anterior,
arteri spfenopalatina, arteri palatina mayor dan cabang septal arteri labialis superior) disebut
plexus kiesselbach.(7)

Gambar 2. Perdarahan sinus paranasal


Secara embriologik sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan
perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sphenoid dan frontalis. Sinus
maksila dan ethmid telah ada sejak bayi lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus
ethmoid anterior padan usia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sphenoid dimulai pada usia
8-10 tahun. Sinus umumnya mencapai pneumatisasi maksimal pada usia 15-18 tahun. Karena
perkembangan yang terjadi belakangan maka gangguan pada sinus frontalis dan sphenoid tidak
umum pada anak-anak. Sinus ethmoid anterior, frontalis dan maksila bermuara pada satu meatus,
yaitu meatus medius / osteomeatal complex yang jalurnya relative sempit (narrow drainage
pathway). Karena bentuk anatomis ini ketiga sinus bergantung pada ostiomeatal complex
terhadap ventilasi dan bersihan mukosilier.. Jika terdapat obstruksi pada area ini dapat
mencetuskan adanya sinusitis.(8)
Sinus maksila berbatas anterior permukaan fasial os. Maksila fossa kanina, dinding
posterior pemukaan infra-temporal maksila, medial adalah dinding lateral rongga hidung ,
superior adalah dasar orbita. sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas yaitu premolar (P1
dan P2) dan molar (M1 dan M2), dan terkadang pada gigi taring (C) ataupun gigi moalr M3
bahkan akar gigi dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi mudah naik ke atas dan
menyebabkan sinusitis. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus sehingga
drainase hanya tergantung gerak silia dan melewati jalur yang relatif sempit maka itu lebih

mudah terkena infeksi. Karena batas sinus maksila superior adalah dasar orbita, maka komplikasi
sinusitis maxilla dapat menyebar ke orbita.

Gambar 3. Osteomeatal Complex


Sinus frontalis biasanya tidak simetris. Satu lebih besar dari yang lain dan dipisahkan
sekat di midline. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya memiliki satu sinus dan 5% sinus
frontalnya tidak berkembang.(8) Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relative tipis dari
orbita dan fosa serebri, sehingga lebih prone terhadap penjalaran infeksi.
Sinus ethmoid berongga dan terdiri dari sel-sel. Pada sinus ethmoid anterior sel-sel kecil
dan banyak. Sedangkan sinus ethmoid posterior didapati sel yang besar dan lebih sedikit. Atap
sinus ethmoid berbatasan langsung dengan lamina kribosa. Dinding lateral sinus ethmoid
berbatasan dengan rongga orbita yang di lapisi oleh lamina papirasea.
Sinus sphenoid berbatasan di superior dengan fosa serebri media dan kelenjar hipofisis,
sebelah inferior dengan atap nasofaring, sebelah lateral dengan sinus kavernosus dan arteri
karotis interna, posterior dengan fossa serebri posterior.
Selain sinus paranasal, terdapat bagian penunjang (supportive part) lain seperti, kelenjar
lakrimalis dan tuba eustachius yang drainasenya mengarah ke nasofaring. Hal yang umum terjadi
bila terdapat common cold atau infeksi saluran napas atas, terjadi inflamasi di nasofaring maupun
mukosa nasal yang menyebabkan edema dan sumbatan (blocking) pada meatus media dan tuba
7

eustachius dalam fungsinya sebagai jalur untuk drainase.(9) Sekret dari sinus dan telinga tengah
terakumulasi, hal ini yang dapat menyebabkan sinusitis dan otitis media. Infeksi virus pun dapat
menyebabkan infeksi langsung pada telinga tengah dan sinus paranasal.
II.2 Fisiologi
Sinus adalah rongga udara berisi epitel kolumnar bersilia dengan sel goblet. Fungsi dari
sinus paranasal sendiri antara lain (1) sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning), sinus
berfungsi unuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi. (2) Sebagai penahan
suhu (thermal insulators), sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi
orbita dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. (3) Membantu
keseimbangan kepala dengan mengurangi berat tulang wajah. (4) Membantu resonansi suara
yang berperan dalam resonansi suara dan mempengaruhi kualitasnya.(5) Sebagai peredam
perubahan tekanan udara biasanya saat bersin maupun membuang ingus. (6) Membantu produksi
mukus dengan menghasilkan sedikit mukus untuk membersihkan partikel yang masuk bersama
udara inspirasi.(8)
II.3 Definisi
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi dari sinus paranasal yang dikarakteristikan
sebagai akut bila menetap hingga 4 minggu, subakut 4-8 minggu, rekuren jika berulang lebih dari
3 kali per tahun dan disebut kronik bila menetap sampai lebih dari 8 minggu.(10) Walaupun belum
ditetapkan secara universal, namun definisi rhinosinusitis lebih dapat di aplikasikan
dibandingkan dengan sinusitis karena beberapa hal ; (1) rhinitis biasanya mendahului sinusitis,
(2) sinusitis jarang ditemui tanpa rhinitis, (3) mukosa hidung dan sinus berkesinambungan dan
(4) gejala obstruksi nasal dan adanya sekret prominen pada sinusitis.
II.4 Etiologi
Pada sinusitis akut, infeksi saluran pernapasan atas akibat virus seringkali mendahului
infeksi bakteri oleh Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza dan Moraxella
catarrhalis. H. influenza dan M. cattarhalis memproduksi beta-laktamase yang resisten terhadap
amoxicillin. Terdapat peningkatan resistensi terhadap S. pneumonia terhadap penisilin sebanyak
25-50%.(11) Terjadi perbedaan pathogen yang kontras antara sinusitis akut yang community8

acquired dengan nosocomial. Pathogen pada infeksi nosocomial yaitu gram negatif
(Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella pneumoniae, Enterobacter, S. marcescens) dan gram
positif (Streptococci dan Staphylococci). Infeksi apabila bakteri mencapai 103 104 cfu/ml
Etiologi akibat jamur dapat dibagi menjadi 3 yaitu; (1) sinusitis jamur alergi, (2) fungus
ball, (3) sinusitis jamur invasif fulminan. Sinusitis jamur yang disebabkan alergi biasanya terjadi
pada pasien imunokompeten dengan penyakit atopic. Biasanya disertai dengan nasal polip dan
kongesti nasal yang kronik. Alergi terjadi karena manifestasi reaksi imun tubuh terhadap inhalasi
spora jamur, dengan adanya skin test yang positif dan peningkatan kada total serum IgE,
Bipolaris, Curvularia, Aspergillus, dan Dreschlera adalah jenis spesies jamur yang paling umum
menyebabkan sinusitis. Fungus ball secara histologi yaitu adanya akumulasi hifa yang
terkonsentrasi membentuk lapisan fungus ball. Biasanya menyerang sinus maksila dan sphenoid
serta unilateral. Sinusitis jamur invasif fulminant terdapat pada pasien dengan penurunan daya
tahan tubuh (diabetes, leukemia, malignansi, demam, neutrpenic dan pemakaian steroid jangka
panjang). Terdapat kumpulan gejala yaitu, demam, sakit kepala, epistaksis, perubahan status
mental yang disebut mucormycosis.
II.5 Patofisiologi
Secara anatomis, sinus frontalis, ethmoid anterior dan maksila dependen terhadap
osteomeatal complex untuk ventilasi dan bersihan mukosilier. drainase pada meatus media ini
dengan strukturnya yang relatif sempit (narrow pathway) bila ditambah dengan obstruksi yang
signifikan dapat memicu berkembangnya sinusitis. (10) Saat terjadi obstruksi, terdapat penurunan
tekanan di dalam kavum sinus (membentuk tekanan negatif) yang dapat menyebabkan
penurunan oksigenasi dalam kavum sinus yang dapat memfasilitasi pertumbuhan bakteri
anaerobic. Penurunan tekanan di kavum sinus dapat mencapai 20 30 mm H2O dengan tekanan
terendah dapat mencapai -60 mm H2O. Transudasi dimulai jika tekanan mencapai kurang dari
20-30 mm H2O.Transudasi dan infeksi bakteri anaerob dapat menghasilkan sekret purulent.
Kombinasi antara inflamasi mukosa dengan tekanan dinding sinus akibat sekret purulent yang
terus bertambah dapat menyebabkan nyeri.

II.6 Diagnosis klinis


Diagnosis sinusitis berdasarkan kombinasi antara anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang (laboratorium dan imaging studies). Anamnesis dapat ditemukan gejala
seperti pada tabel 1.
Gejala pada sinusitis
Infeksi saluran napas atas (menetap selama 11-14 hari)
Facial Pain.
Nyeri pipi atau nyeri alih gigi dan telinga (sinus maksila)
Nyeri di antara atau dibelakang kedua bola mata (sinus ethmoid)
Nyeri di dahi atau seluruh kepala / nyeri diverteks, oksipital (sinus
frontalis)
Nyeri di mastoid (sinus sphenoid)
Rhinorrhea purulen
Maxillary toothache
Hidung tersumbat (nasal congestion)
Anosmia/hiposmia
Halitosis
Batuk dan sesak karena postnasal drip
Tabel 1. Gejala pada Sinusitis
Pada pemeriksaan fisik didapati adanya edema mukosa nasal, sekret purulent, sinus
tenderness, edema faring, hyperplasia kelenjar limfoid, sekret purulent di faring posterior
karena post-nasal drip. Pada pemeriksaan fisik dengan naso-endoskopi ditandai dengan ;
terdapat pus di meatus medius / meatus superior, edema dan hiperemis pada mukosa nasal,
adanya sumbatan pada ostia meatus, meatus tidak lapang dan terdapat septum deviasi. Nasal
polip dapat menjadi tanda obstruksi ostia sinus yang dapat menjadi sumber sinusitis rekuren.
Hal-hal seperti pembengkakan wajah dan eritem pada sinus yang terkena, perubahan visual,
inflamasi dan edema periorbital, gangguan gerakan ekstraokular serta proptosis dapat
menjadi faktor komplikatif.
Pemeriksaan penunjang seperti foto polos dan CT-Scan dapat dilakukan untuk meninjau
kondisi sinus paranasal. Foto polos dengan posisi waters, PA dan lateral terdapat gambaran
air fluid level dan penebalan mukosa. CT-Scan sebagi gold standard untuk menilai anatomi
10

hidung dan sinus secara keseluruhan. Pemeriksaan lain seperti pemeriksaan transluminasi
didapati isinus yang sakit akan menjadi suram dan gelap. Pemeriksaan mikrobiologik dan tes
resistensi diperlukan dengan mengambil sekret dari meatus medius/superior.
Diagnosis sinusitis dapat ditegakkan apabila terdapat 2 gejala mayor atau 1 gejala mayor
ditambah 2 gejala minor. Dan klasifikasi akut, subakut, kronik maupun rekuren sesuai
dengan waktu daripada gejala tersebut muncul.
Gejala Mayor
Facial Pain
Hidung Tersumbat (Kongesti)
Sekret Purulen
Anosmia / Gangguan Penghidu
Post Nasal Drip

Gejala Minor
Nyeri kepala
Nyeri Gigi
Batuk
Demam
Halitosis

Tabel 2. Kriteria diagnosis sinusitis


II.7 Penanganan
Infectious Diseases Society of America (IDSA) guidelines merekomendasikan pemberian
antibiotik di inisiasikan saat diagnosis sinusitis bakterial dapat ditegakkan. (12) Yaitu bila
terdapat (1) gejala persisten dalam kurun waktu 10 hari tanpa perbaikan. (2) Onset dengan
gejala berat atau suhu 39C (102F), terdapat sekret purulent atau facial pain yang menetap
minimal 3-4 hari terus menerus yang mulai pada awal gejala muncul. (3) Jika gejala
memburuk atau terdapat tanda demam dengan onset baru, nyeri kepala, peningkatan jumlah
sekret yang menetap selama 5-6 hari didahului infeksi saluran napas atas.
Terdapat clinical trial pada 13 pasien rhinosinusitis didapati 70% membaik tanpa
pemberian antibiotik dalam 7 hari, 35% dalam 12 hari, 15% dalam 14-15 yang
menyimpulkan bahwa tidak adanya keuntungan atau benefit yang didapat dari pemberian
antibiotik pada hari ke 15.(11) Indikasi kuat pemberian antibiotik apabila terdapat tanda-tanda
komplikasi seperti demam tinggi, edema periorbital dan nyeri wajah yang intens.
Amoxicillin adalah drug of choice karena aman, efektif, murah dan spektrum
mikrobiologiknya yang sempit. Untuk coverage lebih terhadap M. cattarhalis dan H.
influenza dapat diberikan amoxicillin-clavulanat. Apabila pasien alergi terhadap penisilin,
dapat diberikan alternatif trimethoprim sulfamethoxazole (TMP-SMX) atau makrolid
11

(clarithromycin, azithromycin). Namun IDSA merekomendasikan pemberian doxyxyclin


sebagai second line atau alternative amoxcicilin-clavulanat dikarenakan resistensi yang
cukup

besar

terhadap

pemakaian TMP-SMX

S.

pneumoniae and Haemophilus influenzae (30%40%)

pada

dan azithromycin.(12) Infeksi berat-sedang dapat diberikan

fluoroquinolone respirasi yang broad spectrum seperti ciprofloxacin. Terapi antibiotik


direkomendasikan untuk diberikan selama 10 hari, namun durasi lebih singkat (3-5 hari
memiliki efektifitas yang sama dengan efek samping yang lebih kecil dibandingkan dengan
durasi 10 hari.
Terapi tambahan seperti analgesik atau OAINS dapat diberikan untuk mengurangi
rasa nyeri. Dapat diberikan acetaminophen 500 mg maksimal 4 gr perhari, atau golongan
OAINS seperti non-flamin dengan dosis 3 x 50 mg perhari atau sintetik opioid seperti
tramadol 50 mg maksimal 8 tablet per hari untuk nyeri sedang-berat.
Pemberian dekongestan oral maupun topikal memiliki tujuan untuk mengurangi
edema mukosa nasal dan membantu aerasi serta drainase sekret. Dekongetan oral yang
mengandung pseudoephedrine (golongan -adrenergic sebagai vasokonstriktor) seperti
Rhinofed dengan dosis 3 tablet perhari atau 3x 1 sendok untuk sirup. Pemberian preparat
topikal yang mengandung oxymetazoline seperti Iliadin dibatasi maksimal 3 hari untuk
menghindari rebound nasal congestion. Yaitu terjadinya dilatasi berulang (rebound
dilatation) setelah vasokonstriksi. Sehingga menimbulkan gejala obstruksi dan menyebabkan
pasien lebih sering menggunakan dekongestan topikal kembali.
Intranasal kortikosteroid diberikan bertujuan untuk mengurangi inflamasi dan edema
nasal mukosa, konka, serta ostium sinus. Dapat diberikan yang mengandung fluticasone
furoate (Avamyst) dengan potensi tinggi, mometasone (Nasonex) atau triamcinolone
(Nasacort) dengan potensi rendah sebanyak 2 spray untuk tiap hidung 2x per hari.
Pemberian antihistamine untuk mengurangi inflamasi hanya diberikan jika
didapati kecurigaan adanya alergi, dikarenakan kerjanya yang mengurangi
inflamasi dengan mengeringkan mukosa.

12

Gambar 4. Pilihan terapi antibiotik sinusitis (10)


13

Skematis penanganan sinusitis sebagai berikut ;

14

Gambar 5. Algoritma penanganan sinusitis(11)

II.8 Komplikasi
Sebanyak 75% komplikasi orbital atau periorbital disebabkan karena sinusitis yang
berlanjut dikarenakan tidak adanya penanganan atau kurang adekuatnya penanganan tersebut,
yang dapat menyebabkan sinusitis kronik, meningitis, abses otak, atau komplikasi extra sinus
lainnnya. Karena lokasi anatomis sinus frontalis dan ethmoid, dimana sinus frontalis dibatasi
oleh tulang orbita yang lebih tipis dan sinus ethmoid dinding lateralnya berbatasan dengan
rongga orbita, infeksi daripada sinus ini akan memiliki resiko komplikasi intracranial lebih besar.
Vena yang berjalan sepanjang dinding posterior sinus frontalis tidak memiliki katup, sehingga
mempermudah penyebaran infeksi intracranial. Komplikasi sinusitis akut dibagi menjadi
beberapa ; (1) komplikasi lokal, (2) komplikasi periorobital, (3) komplikasi intracranial. (4)
komplikasi sistemik
Komplikasi lokal dapat berupa mukokel yaitu sebuah sebutan terhadap kista epiteloid
yang terbentuk akibat obstruksi sinus ostia, yang memiliki potensi untuk berkembang secara
progresif dan berekspansi menyebabkan erosi tulang menyebar keluar dari sinus. Komplikasi
lokal lain seperti osteomyelitis yang biasanya terjadi pada sinus frontalis dan disebut pott puffy
tumor. Gambarannya berupa abses subperiosteal dengan edema lokal pada bagian anterior sinus
frontalis. Hal ini dapat memburuk dan membentuk fistula pada kelopak mata atas akibat
sekuestrasi jaringan nekrotik tulang.
Komplikasi orbital dapat terjadi akibat penyebaran infeksi melewati batasan tulang yang
tipis pada sinus frontalis dan ethmoid. Pada pemeriksaan fisik, dapat diklasifikasikan menjadi 5
grup inflamasi orbital menurut klasifikasi Chandler ; (Group 1) Edema inflamasi dengan visus
dan gerakan ekstraokular normal. (Group 2 ) selulitis pada orbita dengan edema yang difus tanpa
abses. (Group 3) abses subperiosteal dibawah lamina papiracea sebabkan desakan rongga orbita
kea rah bawah dan lateral. (Group 4) abses orbital dengan kemosis, optalmoplegia, dan
penurunan visus

15

Gambar 6. Klasifikasi Chandler


Komplikasi intrakranial terjadi karena adanya perluasan melewati dinding
posterior sinus frontalis atau melalui thrombophlebitis vena opthalmika. Abses subdural
adalah yang paling sering terjadi sebagai komplikasi, abses serebri dapat menyebabkan
kejang ataupun gangguan neurologis bergantung dari besar abses. Sinusitis dapat
menyebabkan sepsis dan kegagalan multi organ akibat bacteremia dengan insiden
mortalitas setinggi 11% karena, empyema, dan pneumonia nosocomial.(13)

16

Gambar 8. Komplikasi sinusitis


BAB III
RINGKASAN
Sinusitis akut memiliki beberapa etiologi, namun penyebab tersering adalah infeksi
saluran napas atas akibat virus yag dapat mencetuskan infeksi bakteri. Sinusitis akut dapat
ditentukan sesuai onset gejala, yaitu kurang dari 4 minggu. Diagnosis sinusitis dapat ditentukan
dari 2 gejala mayor atau 1 gejala mayor ditambah 2 gejala minor. Selain itu pemeriksaan
penunjang dapat dilakukan foto rontgen dengan posisi waters, PA ataupun lateral serta CT-Scan
coronal atau axial untuk melihat infalamsi pada sinus paranasal yang biasanya dilakukan pada
kondisi kronis atau berulang.
Penatalaksanaan meliputi medikamentosa seperti pemberian antibiotik dan terapi
tambahan seperti analgesic, dekongestan, nasal spray sterioid dan anti-histamin bila perlu.
Karena 2-10% sinusitis akut disebabkan oleh infeksi bakteri.(4) maka pemberian antibiotik hanya
diberikan bila diagnosis mengarah ke etiologi bakterial. Yaitu, gejala persisten selama 10 hari
tanpa perbaikan gejala, onset dengan gejala berat atau suhu 39oC, sekret purulent atau facial
pain yang menetap selama 3-4 hari secara terus menerus atau gejala memburuk dengan demam
onset baru, nyeri kepala dan peningkatan jumlah sekret dalam 5-6 hati.
First line antibiotik yang dapat diberikan adalah amoxicillin, dengan coverage yang lebih
bila ditambah denga clavulanat. Alternatif lain seperti trimethroprim-sulfaethoxazole, golongan
macrolide seperti azithromycin atau doxyxyclin. Bila infeksi sedang sampai berat dapat
diberikan golongan quinolone seperti ciprofloxacin. Antibiotik dapat diberikan selama 10 hari.
Terapi tambahan seperti dekongestan bertujuan untuk mengurangi edema mukosa nasal dan
memperbaiki aerasi. Pemberian nasal spray steroid dapat menjadi alternative namun tidak lebih
dari 3 hari untuk menghindari rebound phenomenon. Pemberian anti-histamin hanya apabila
terdapat kecurigaan etiologi berupa alergi.
.

17

DAFTAR PUSTAKA

1. Meltzer EO, Hamilos DL, Hadley JA, et al. Rhinosinusitis: establishing definitions for
clinical research and patient care. J Allergy Clin Immunol 2004;114:155-212.
2. Pleis JR, Lucas JW, Ward BW. Summary health statistics for U.S. adults: National
Health Interview Survey, 2008. Vital Health Stat 10 2009:1-157.
3. Fokkens W, Lund V, Mullol J. European position paper on rhinosinusitis and nasal
polyps 2007. Rhinol Suppl 2007:1-136.
4. Gwaltney JM Jr., Wiesinger BA, Patrie JT. Acute community-acquired bacterial
sinusitis: the value of antimicrobial treatment and the value of antimicrobial treatment
and the natural history. Clin Infect Dis 2004;38:227-33.
5. Wang DY, Wardani RS, Singh K, Thanaviratananich S, et al. A survey on the
management of acute rhinosinusitis among Asian physicians. Rhinology 49: 264-271,
2011.
6. Young J, De Sutter A, Merenstein D, et al. Antibiotics for adults with clinically
diagnosed acute rhinosinusitis: a meta-analysis of individual patient
data. Lancet2008;371:908-14.
7. William NS, Bulstrode CJ, OConnell PR, Arnold H. Bailey & Loves Short Practice
Surgery. 25th Ed. 2008. New York : CRC Press.
8. Soepardi

EA, Iskandar N. Editor: Otitis Media Non-Supuratif. Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorokan Kepala dan Leher. Jakarta: Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia. 2001. p 58-60.
9. Marchisio P, Ghisalberti E, Fusi M, Baggi E, et all. Paranasal sinuses and middle ear
infections: what do they have in common?. Pediatr Allergy Immunol. 2007 Nov;18
Suppl 18:31-4.
10. Aring AM, Chan M.M. Acute Rhinosinusitis in Adults. American Family Physician.
2011. 81 ; 1058-1061

18

11. Slavin RG, Spector SL, Bernstein L. The Diagnosis and Management of Sinusitis : A
Practice Parameter Update. J Allergy Clinnical Immunology. 2005; 09 :16-47.
12. Anthony W. Chow, Michael S. Benninger, Itzhak Brook, Jan L. Brozek, et al. IDSA
Clinical Practice Guideline for Acute Bacterial Rhinosinusitis in Children and Adults.
Oxford Journals. 2012. p.1-5, 6-8.
13. Brook I. Acute Sinusitis.[Internet]. Medscape Article; 2015 [Updated 2015 July 29
;cited 2015 Oct 30]. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/232670overview

19

Anda mungkin juga menyukai