Anda di halaman 1dari 3

Konsen Saya Terhadap Tambang Freeport

Banyak yang menilai, bahwa problem terbesar tambang Freeport (gambar dari sini) adalah soal
royalti kepada Negara yang terlampau kecil: hanya 1%. Itu untuk emas yang katanya produk
ikutan. Untuk hasil tembaga, Freeport memberikan royalti sekitar 3% angka yang sebetulnya
juga mengenaskan. Setidaknya angka 3% inilah yang direstui undang-undang pertambangan.
Memang, angka 1% atau 3% itu di luar pajak, khususnya pajak penghasilan, yang rata-rata
sebesar 35%. Tetapi di sini pajak tak layak diperhitungkan, mengingat setiap pelaku usaha
yang tidak memanfaatkan kekayaan Negara pun, bayar pajak penghasilan.
Tanpa perlu mengkajinya secara mendalam, angka-angka itu jelas tidak adil bagi Negara dan
rakyat selaku pemangku kepentingan. Sebagai pembanding, di negara-negara lain, untuk
tambang emas, rata-rata royalti bagi negara di atas 5%. Belum lagi jika dibandingkan dengan
minyak dan gas bumi.
Dalam tambang minyak atau gas bumi, bagian Pemerintah sebesar 85% net, setelah kontraktor
mendapatkan penggantian biaya operasi dan membayar pajak. Secara gross, bagian Pemerintah
rata-rata 55 60%.
Di samping itu, Pemerintah juga mengatur skema first tranche petroleum (FTP) untuk
mengamankan bagian Negara, untuk mengantisipasi biaya operasi membengkak (di atas 100%
pendapatan gross). FTP biasanya sebesar 10%. Kalau biaya-biaya tidak di-mark-up, posisi
Negara cukup aman. Kalau biaya operasi dimanipulasi, ya wassalam juga. Tapi setidaknya,
hitam di atas putih, PSC migas memberikan bagi hasil yang cukup fair.
Di luar persoalan besaran royalti, sebetulnya problem yang lebih mendasar adalah soal
kedaulatan Negara. Absurd? Tidak!
Kedaulatan Negara tercermin dari posisinya sebagai pemilik sumberdaya alam, dalam hal ini
emas dan tembaga. Konsekuensinya, hanya negara yang berhak memiliki emas dan tembaga
yang ditambang dari bumi Papua itu. Negara punya hak untuk membawa kemana, mau dijadikan

apa, serta menjual dengan harga berapa, atas emas dan tembaga itu. Negara secara mutlak
memiliki mineral right dan mining right.
Lantas Freeport, selaku kontraktor, dapat apa?
Freeport berhak atas manfaat ekonomis dari investasi yang dia tanamkan. Dia berhak atas
economic right. Gampangnya: Freeport berhak dapat upah dari Negara. Pertanyaan
selanjutnya: Negara mau membayar Freeport pakai apa? Jika Negara punya duit, bayar upah itu
pakai duit. Kalau Negara dianggap tidak mampu mengupah Freeport pakai duit, ya silakan pakai
emas atau tembaga sebagai upah. Perhitungan keekonomian jelas harus dilakukan, agar Freeport
selaku investor mendapat keuntungan ekonomis. Tetapi posisi Negara dalam hal ini jelas: sebagai
pemilik. Tanpa bisa diganggu gugat.
Prinsip kedaulatan Negara ini tercermin di dalam model PSC (Production Sharing Contract)
yang berlaku pada sektor pertambangan minyak dan gas bumi. Di dalam PSC, Negara bertindak
sebagai pemilik minyak dan gas bumi yang dihasilkan. Karena itu, Negara berhak mengatur,
mengawasi dan mengendalikan kegiatan operasional minyak dan gas bumi, termasuk ke mana
dan dengan harga berapa minyak dan gas yang dihasilkan itu dijual. Untuk kontraktor, mereka
mendapatkan upah berupa minyak atau gas bumi dalam bentuk bagi hasil produksi (production
sharing).
Lain halnya dengan Freeport. Negara nyaris tidak punya akses terhadap emas dan tembaga yang
dihasilkan. Negara hanya dapat persenan alakadarnya. Negara tidak berhak mengatur ke mana
emas dan tembaganya itu dilarikan, dijual ke mana dan dengan harga berapa.
Pertanyaannya: mengapa tambang emas dan tembaga Papua, dan semua tambang lainnya dari
perut bumi pertiwi, tidak menggunakan skema yang sama atau identik dengan PSC? Bukankah
konstitusi tidak membedakannya?
Di masa yang lalu, khusunya pada pada era revolusi kemerdekaan, mungkin hanya minyak dan
gas bumi yang dianggap strategis bagi Negara, sedangkan komoditas tambang lainnya tidak.
Karena itu, para pendiri republik dulu memisahkan antara model kontrak minyak dan gas bumi,
dengan tambang umum lainnya, termasuk emas dan tembaga. Tetapi hari ini jelas tidak. Emas,

tembaga, batubara, bijih besi, timah, dan lain-lain, adalah kekayaan alam yang juga sifatnya
strategis. Keberadaannya harus diolah secara benar, sehingga memberikan manfaat bagi
kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi.
Untuk itu, terhadap tambang emas dan tembaga Freeport ini, konsen saya sangat jelas: bongkar
lagi model kontrak karya tambang Freeport di Papua. Ganti dengan model kontrak yang sesuai
dengan konstitusi: dimana Negara sebagai pemilik sumberdaya alam, berhak atas emas dan
tembaga yang dihasilkan. Selanjutnya berikan bagian Freeport sebagai upah bagi kontraktor
secara layak. Tak ada lagi cerita Negara tidak punyak akses terhadap emas dan tembaga yang
dihasilkan.
Jadi, tidak sekedar re-negosiasi. Kenaikan angka royalti bagi Negara memang penting, tetapi
tidak sepenting menguasai atau memiliki emas dan tembaga yang dihasilkan dari sana.
Saya kira, hanya dengan cara inilah amanat konstitusi kita ditegakkan: bahwa bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Anda mungkin juga menyukai