Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

BIOLOGI MOLEKULER
Prinsip Pengurutan DNA

OLEH
MUHAMMAD AHSAN
P2500215011
PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015

BAB I
PENDAHULUAN
Asam nukleat merupakan salah satu makromolekul yang memegang
peranan sangat penting dalam kehidupan organisme karena di dalamnya
tersimpan informasi genetik. DNA atau DeoxyriboNucleic Acid merupakan
asam nukleat yang menyimpan semua informasi tentang genetika. DNA
inilah yang menentukan jenis rambut, warna kulit dan sifat-sifat khusus
dari manusia. DNA ini akan menjadi cetak biru (blue print) ciri khas
manusia yang dapat diturunkan kepada generasi selanjutnya. Sehingga
dalam tubuh seorang anak komposisi DNA nya sama dengan tipe DNA
yang diturunkan dari orang tuanya.
Asam nukleat sering dinamakan juga polinukleotida karena tersusun
dari sejumlah molekul nukleotida sebagai monomernya. Tiap nukleotida
mempunyai struktur yang terdiri atas gugus fosfat, gula pentosa, dan basa
nitrogen atau basa nukleotida (basa N). Ada dua macam asam nukleat,
yaitu asam deoksiribonukleat atau deoxyribonucleic acid (DNA) dan asam
ribonukleat atau ribonucleic acid (RNA). Dilihat dari strukturnya,
perbedaan di antara kedua macam asam nukleat ini terutama terletak
pada komponen gula pentosanya. Pada RNA gula pentosanya adalah
ribosa, sedangkan pada DNA gula pentosanya mengalami kehilangan
satu atom O pada posisi C nomor 2 sehingga dinamakan gula 2deoksiribosa Perbedaan struktur lainnya antara DNA dan RNA adalah
pada basa N-nya. Basa N, baik pada DNA maupun pada RNA,

mempunyai struktur berupa cincin aromatic heterosiklik (mengandung C


dan N) dan dapat dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu purin dan
pirimidin. Basa purin mempunyai dua buah cincin (bisiklik), sedangkan
basa pirimidin hanya mempunyai satu cincin (monosiklik). Pada DNA, dan
juga RNA, purin terdiri atas adenin (A) dan guanin (G). Akan tetapi, untuk
pirimidin ada perbedaan antara DNA dan RNA. Kalau pada DNA basa
pirimidin terdiri atas sitosin (C) dan timin (T), pada RNA tidak ada timin
dan sebagai gantinya terdapat urasil (U). Timin berbeda dengan urasil
hanya karena adanya gugus metil pada posisi nomor 5 sehingga timin
dapat juga dikatakan sebagai 5-metilurasil.
Di antara ketiga komponen monomer asam nukleat tersebut di atas,
hanya basa N lah yang memungkinkan terjadinya variasi. Pada
kenyataannya memang urutan (sekuens) basa N pada suatu molekul
asam nukleat merupakan penentu bagi spesifisitasnya. Dengan perkataan
lain, identifikasi asam nukleat dilakukan berdasarkan atas urutan basa Nnya sehingga secara skema kita bisa menggambarkan suatu molekul
asam nukleat hanya dengan menuliskan urutan basanya saja.
Untuk mengetahui informasi genetik yang terdapat dalam DNA
digunakan teknik DNA Sequencing, yaitu metode yang digunakan untuk
menentukan urutan basa nukleotida (adenine, guanine, cytosine dan
thymine) pada molekul DNA. Saat ini teknik DNA Sequencing sudah
memasuki tahap baru yang mengarah pada large scale atau high-

throughput sequencing, jutaan bahkan miliaran basa nukleotida DNA


dapat ditentukan urutannya dalam sekali putaran saja.

BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Sejarah Sekuensing DNA
Pada

mulanya,

sekuensing

DNA

dilakukan

dengan

mentranskripsikannya ke dalam bentuk RNA terlebih dahulu karena


metode sekuensing RNA telah ditemukan sebelumnya. Pada tahun 1965,
Robert Holley dan timnya dari Cornell University di New York, Amerika
Serikat, mempublikasikan sekuens tRNA alanin dari khamir yang terdiri
atas 77 nukleotida. Sekuensing tRNA tersebut membutuhkan waktu 7
tahun dan hasilnya merupakan sekuens molekul asam nukleat yang
pertama

kali

dipublikasikan.

Sekuens

DNA

yang

pertama

kali

dipublikasikan adalah DNA sepanjang 12 nukleotida dari suatu virus, yaitu


bakteriofag lambda, pada tahun 1971, yang ditentukan dengan cara
serupa oleh Ray Wu dan Ellen Taylor, keduanya juga dari Cornell
University.
Pada tahun 1975, Frederick Sanger dan Alan Coulson dari
laboratorium biologi molekular Medical Research Council Inggris di
Cambridge mempublikasikan metode sekuensing DNA secara langsung
yang disebut teknik plusminus. Dengan teknik tersebut, tim mereka
berhasil melakukan sekuensing DNA sebagian besar genom bakteriofag
X174 sepanjang 5.375 nukleotida yang dipublikasikan pada Februari
1977. Pada bulan yang sama, metode sekuensing DNA yang dicetuskan

Allan Maxam dan Walter Gilbert dari Harvard University di Cambridge,


Massachusetts, Amerika Serikat, dipublikasikan.
Sejak pertengahan tahun 1980-an, metode Sanger menjadi lebih
umum digunakan. Pada tahun 1986, tim Leroy Hood di California Institute
of Technology dan Applied Biosystems berhasil membuat mesin
sekuensing DNA automatis berdasarkan metode Sanger.
II.2 Prinsip Sekuensing DNA
Molekul
dalam

DNA rekombinan yang

reaksi hibridisasi

dengan

memperlihatkan

fragmen

pelacak

hasil positif

sangat

diduga

sebagai molekul yang membawa fragmen sisipan atau bahkan gen


yang diinginkan. Namun, hal ini masih memerlukan analisis lebih
lanjut untuk memastikan bahwa fragmen tersebut benar-benar sesuai
dengan tujuan kloning. Analisis antara lain dapat dilakukan atas dasar
urutan (sekuens) basa fragmen sisipan.
Sequencing adalah suatu metoda untuk membaca urutan basa-basa
nukleotida dari suatu gen. Penentuan urutan (sekuensing) basa DNA
pada

prinsipnya

melibatkan

produksi seperangkat

molekul/fragmen

DNA yang berbeda-beda ukurannya tetapi salah satu ujungnya selalu


sama. Selanjutnya, fragmen-fragmen ini dimigrasikan/dipisahkan menggunakan

elektroforesis

gel

poliakrilamid

atau

polyacrylamide

gel

electrophoresis (PAGE) agar pembacaan sekuens dapat dilakukan. Di


bawah ini akan diuraikan sekilas dua macam metode sekuensing DNA.

II.3 Metode Maxam-Gilbert


Metode sekuensing DNA yang pertama dikenal adalah metode
kimia yang dikembangkan oleh A.M. Maxam dan W. Gilbert pada
tahun 1977. Chemical degradation method (Maxam and Gilbert, 1977):
urutan molekul DNA untai ganda ditentukan dengan menggunakan bahan
kimia yang memotong molekul DNA pada posisi nukleotida tertentu. Pada
metode ini fragmen-fragmen DNA yang akan disekuens harus dilabeli
pada salah satu ujungnya, biasanya menggunakan fosfat radioaktif
atau suatu nukleotida pada ujung 3. Metode Maxam-Gilbert dapat
diterapkan baik untuk DNA untai ganda maupun DNA untai tunggal
dan melibatkan pemotongan basa spesifik yang dilakukan dalam dua
tahap.
Molekul DNA terlebih dahulu dipotong-potong secara parsial
menggunakan piperidin. Pengaturan masa inkubasi atau konsentrasi
piperidin akan menghasilkan fragmen-fragmen DNA yang bermacammacam

ukurannya.

Selanjutnya,

basa dimodifikasi

menggunakan

bahan-bahan kimia tertentu. Dimetilsulfat (DMS) akan memetilasi basa


G, asam format menyerang A dan G, hidrazin akan menghidrolisis C dan
T, tetapi garam yang tinggi akan menghalangi reaksi T sehingga hanya
bekerja pada C. Dengan demikian, akan dihasilkan empat macam
fragmen, masing-masing dengan ujung G, ujung A atau G, ujung C atau T,
dan ujung C.

Gambar 1. Contoh PAGE sekuensing dengan metode Maxam-Gilbert

Dari hasil PAGE pada Gambar 1 dapat diketahui sekuens fragmen


DNA yang dipelajari atas dasar laju migrasi masing-masing pita. Lajur
kedua berisi fragmen-fragmen yang salah satu ujungnya adalah A atau
G. Untuk memastikannya harus dilihat pita-pita pada lajur pertama. Jika
pada

lajur kedua

terdapat pita-pita

yang

posisi migrasinya sama

dengan posisi migrasi pada lajur pertama, maka dapat dipastikan bahwa
pita-pita tersebut merupakan fragmen yang salah satu ujungnya adalah G.
Sisanya adalah pita-pita yang merupakan fragmen dengan basa A
pada salah satu ujungnya. Cara yang sama dapat kita gunakan untuk
memastikan pita-pita pada lajur ketiga, yaitu dengan membandingkannya
dengan pita-pita pada lajur keempat.
Seperti halnya pada elektroforesis gel agarosa, laju migrasi pita
menggambarkan ukuran fragmen. Makin kecil ukuran fragmen, makin
cepat migrasinya. Dengan demikian, ukuran fragmen pada contoh
tersebut di atas dapat diurutkan atas dasar laju/posisi migrasinya. Jadi,

kalau diurutkan dari yang terkecil hingga yang terbesar, hasilnya


adalah fragmen-fragmen dengan ujung TTGCCCCGCGTGGCGCAAAGG.
Inilah sekuens fragmen DNA yang dipelajari.
Prinsip Kerja
Molekul DNA dihasilkan setelah diberi perlakuan dengan bahan kimia
yang memotong secara spesifik pada nukleotida tertentu.
Langkah Kerja
1. Denaturasi DNA untai ganda menjadi untai tunggal
2. Pemberian label pada masing-masing ujung DNA untai tunggal.
3. Molekul diberi dimethyl sulfate yang menempelkan grup metil pada
cincin purin dari nukleotida G (terjadi modifikasi nukleotida G).
Pemberian dimethyl sulfate hanya dalam jumlah kecil maka proses
modifikasi berlangsung lambat (1 per nukleotida). Pada stadium ini untai
DNA masih utuh. Pemotongan untai DNA akibat pemberian piperidine.
Piperidine membuang cincin G yang dimodifikasi dan memotong molekul
DNA pada ikatan fosfodiester tepat pada bagian atas dari cincin G yang
dibuang.
Hasilnya adalah suatu set DNA yang terpotong-potong, ada yang
terlabel dan ada yang tidak. Potongan untai DNA yang dihasilkan tidak
sama panjang (hasilnya equivalent dengan hasil yang didapat dari metoda
chain terminal). Potongan-potongan DNA ini selanjutnya dielektroforesis
dalam gel poliakrilamid.

Gambar 2. Hasil Chemical degradation method

II.4 Metode Sanger


Dewasa ini metode sekuensing Maxam-Gilbert sudah sangat
jarang digunakan karena ada metode lain yang jauh lebih praktis,
yaitu metode dideoksi yang dikembangkan oleh A. Sanger dan kawan-

kawan pada tahun 1977 juga. Chain termination method (Sanger et al.,
1977): urutan molekul DNA untai tunggal ditentukan dengan sintesis rantai
polinukleotida komplementer secara enzimatis.
Dewasa ini, hampir semua usaha sekuensing DNA dilakukan dengan
menggunakan metode terminasi rantai yang dikembangkan oleh Frederick
Sanger dan rekan-rekannya. Teknik tersebut melibatkan terminasi atau
penghentian reaksi sintesis DNA in vitro yang spesifik untuk sekuens
tertentu menggunakan substrat nukleotida yang telah dimodifikasi.
Pada metode terminasi rantai (metode Sanger), perpanjangan atau
ekstensi rantai DNA dimulai pada situs spesifik pada DNA cetakan dengan
menggunakan

oligonukleotida

pendek

yang

disebut

primer

yang

komplementer terhadap DNA pada daerah situs tersebut. Primer tersebut


diperpanjang menggunakan DNA polimerase, enzim yang mereplikasi
DNA. Bersama dengan primer dan DNA polimerase, diikutsertakan pula
empat jenis basa deoksinukleotida (satuan pembentuk DNA), juga
nukleotida pemutus atau penghenti rantai (terminator rantai) dalam
konsentrasi

rendah

(biasanya

di-deoksinukleotida).

Penggabungan

nukleotida pemutus rantai tersebut secara terbatas kepada rantai DNA


oleh polimerase DNA menghasilkan fragmen-fragmen DNA yang berhenti
bertumbuh hanya pada posisi pada DNA tempat nukleotida tertentu
tersebut tergabungkan. Fragmen-fragmen DNA tersebut lalu dipisahkan
menurut ukurannya dengan elektroforesis gel poliakrilamida, atau
sekarang semakin lazim dengan elektroforesis menggunakan tabung

gelas berjari-jari kecil (pipa kapiler) yang diisi dengan polimer kental.
Metode Sanger pada dasarnya memanfaatkan dua sifat salah
satu subunit enzim DNA polimerase yang disebut fragmen klenow.
Kedua

sifat

tersebut adalah kemampuannya untuk menyintesis DNA

dengan adanya dNTP dan ketidakmampuannya untuk

membedakan

dNTP dengan ddNTP. Jika molekul dNTP hanya kehilangan gugus


hidroksil (OH) pada atom C nomor 2 gula pentosa, molekul ddNTP
atau dideoksi nukleotida juga mengalami kehilangan gugus OH pada
atom C nomor 3 sehingga tidak dapat membentuk ikatan fosfodiester.
Artinya, jika ddNTP disambungkan oleh fragmen klenow dengan suatu
molekul DNA, maka polimerisasi lebih lanjut tidak akan terjadi atau
terhenti. Basa yang terdapat pada ujung molekul DNA ini dengan
sendirinya adalah basa yang dibawa oleh molekul ddNTP.
Dengan dasar
metode

pemikiran

dideoksi dilakukan

itu
pada

sekuensing
empat

DNA

reaksi

menggunakan
yang

terpisah.

Keempat reaksi ini berisi dNTP sehingga polimerisasi DNA dapat


berlangsung. Namun, pada masing-masing reaksi juga ditambahkan
sedikit ddNTP sehingga kadang-kadang polimerisasi akan terhenti di
tempat-tempat tertentu sesuai dengan ddNTP yang ditambahkan. Jadi, di
dalam tiap reaksi akan dihasilkan

sejumlah

fragmen

DNA

yang

ukurannya bervariasi tetapi ujung 3nya selalu berakhir dengan basa


yang sama. Sebagai contoh, dalam reaksi yang mengandung ddATP akan

diperoleh

fragmen-fragmen

DNA

dengan

berbagai

ukuran

yang

semuanya mempunyai basa A pada ujung 3nya.


Pada Gambar 3. diberikan sebuah contoh sekuensing sebuah
fragmen DNA. Tabung ddATP menghasilkan dua fragmen dengan
ukuran

tiga

dan

tujuh

basa;

tabung ddCTP

menghasilkan

tiga

fragmen dengan ukuran satu, dua, dan empat basa; tabung ddGTP
menghasilkan dua fragmen dengan ukuran lima dan sembilan basa;
tabung ddTTP menghasilkan dua fragmen dengan ukuran enam dan
delapan basa. Di depan (arah 5) tiap fragmen ini sebenarnya terdapat
primer, yang berfungsi sebagai prekursor reaksi polimerisasi sekaligus
untuk kontrol hasil sekuensing karena urutan basa primer telah
diketahui.
Untuk melihat ukuran fragmen-fragmen hasil sekuensing tersebut
dilakukan elektroforesis menggunakan gel poliakrilamid sehingga akan
terjadi perbedaan migrasi sesuai dengan ukurannya masing-masing.
Setelah ukurannya diketahui, dilakukan pengurutan fragmen mulai dari
yang

paling pendek hingga

yang

paling

panjang, yaitu fragmen

dengan ujung C (satu basa) hingga fragmen dengan ujung G


(sembilan basa). Dengan demikian, hasil sekuensing yang diperoleh
adalah CCACGTATG. Urutan basa DNA yang dicari adalah urutan
yang komplementer dengan hasil sekuensing ini, yaitu GGTGCATAC.
Gambar 3. Skema sekuensing DNA

a) reaksi polimerisasi dan terminasi


b) PAGE untuk melihat ukuran fragmen

Keunggulan Chain Terminal Method


Lebih mudah dikerjakan secara otomatis menggunakan mesin
sekuensing, bahan-bahan yang digunakan tidak toksik.
Prinsip Kerja Chain Termination Sequencing
1. berdasarkan perbedaan panjang molekul DNA untai tunggal yang
dipisahkan dengan elektroforesis gel poliakrilamid.
2. Dengan gel ini dapat dipisahkan sekelompok molekul mulai dari 10
1500 nukleotida ke dalam suatu seri pita DNA.

Langkah Kerja

1. Mempersiapkan molekul DNA untai tunggal yang identik sebagai


2.
3.
4.
5.

cetakan.
Penempelan (annealing) primer pada DNA cetakan.
Reaksi perpanjangan rantai dengan bantuan enzim DNA polimerase.
Inkorporasi dNTP dan ddNTP pada rantai yang diperpanjang.
Elektroforesis pita DNA yang baru disintesis menggunakan gel
poliakrilamid. Setelah elektroforesis urutan DNA dapat dibaca langsung
dari posisi pita pada gel . Pita yang bergerak paling jauh merupakan
pita DNA terkecil.

Gambar 4. Hasil Elektroforesis Sekuensing

II.5 Automathic Chain Termination


Prinsip
Menggunakan label radioaktif untuk melacak nukleotida yang
diinkorporasikan. Radioaktif yang digunakan adalah

33

P atau

35

S karena

energi emisinya rendah sehingga dapat menghasilkan resolusi yang


tinggi. Label dikaitkan ke ddNTP dengan warna yang berbeda untuk setiap
nukleotidanya.
Keunggulan
Reaksi sekuensing dapat dilakukan dalam 1 tube dan loading ke-4
molekul nukleotida dilakukan dalam 1 lane gel poliakrilamid karena
detektor fluorescent dapat membedakan antara label-label yang berbeda.

Gambar

5. Hasil
Automatic chain termination

II.6 SSCP
Metoda untuk mendeteksi mutasi 1 basa pada suatu untai DNA
tunggal dari suatu gen.
Prinsip Kerja
Terjadinya perubahan konformasi untai DNA tunggal akibat adanya
mutasi yang terdeteksi dari posisi pita DNA dalam gel poliakrilamid.

Langkah Kerja
Aplifikasi gen yang akan diamati dengan PCR. Denaturasi DNA untai
ganda menjadi untai tunggal. Elektroforesis DNA untai tunggal dalam gel
poliakrilamide selama 4 jam. Visualisasi pita-pita DNA dengan
pewarnaan perak nitrat.

Gambar 6. Hasil SSCP

II.7 Automatisasi dan Penyiapan Sampel


Mesin sekuensing DNA automatis modern mampu mengurutkan 384
sampel berlabel fluoresens sekaligus dalam sekali batch (elektroforesis)
yang dapat dilakukan sampai 24 kali sehari. Hal tersebut hanya mencakup
proses pemisahan dan proses pembacaan kurva; reaksi sekuensing,
pembersihan, dan pelarutan ulang dalam larutan penyangga yang sesuai
harus dilakukan secara terpisah.
Untuk memperoleh hasil reaksi berlabel yang dapat dideteksi dari
DNA cetakan, metode "sekuensing daur" (cycle sequencing) paling lazim
dilakukan. Dalam metode ini dilakukan berturut-turut penempelan primer

(primer annealing), ekstensi oleh polimerase DNA, dan denaturasi


(peleburan atau melting) untai-untai DNA cetakan secara berulang-ulang
(2540 putaran). Kelebihan utama sekuensing daur adalah lebih
efisiennya penggunaan pereaksi sekuensing yang mahal (BigDye) dan
mampunya mengurutkan templat dengan struktur sekunder tertentu
seperti hairpin loop atau daerah kaya-GC. Setiap tahap pada sekuensing
daur ditempuh dengan mengubah temperatur reaksi menggunakan mesin
pendaur panas (thermal cycler) PCR. Cara tersebut didasarkan pada fakta
bahwa dua untai DNA yang komplementer akan saling menempel
(berhibridisasi) pada temperatur rendah dan berpisah (terdenaturasi) pada
temperatur tinggi. Hal penting lain yang memungkinkan cara tersebut
adalah penggunaan enzim DNA polimerase dari organisme termofilik
(organisme yang hidup di lingkungan bertemperatur tinggi), yang tidak
mudah terurai pada temperatur tinggi yang digunakan pada cara tersebut
(>95 C).

II.8 Sekuensing Generasi Berikutnya


Pyrosequencing
Pyrosequencing adalah teknik pemetaan DNA yang berdasarkan
deteksi terhadap pirofosfat (PPi) yang dilepaskan selama sintesis DNA.
Teknik ini memanfaatkan reaksi enzimatik yang dikatalisis oleh ATP

sulfurilase dan luciferase untuk pirofosfat inorganik yang dilepaskan


selama penambahan nukleotida.
Sekuensing DNA Skala Besar
Metode sekuensing DNA yang kini ada hanya dapat merunut
sepotong pendek DNA sekaligus. Contohnya, mesin sekuensing modern
yang menggunakan metode Sanger hanya dapat mencakup paling banyak
sekitar 1000 pasang basa setiap sekuensing. Keterbatasan ini disebabkan
oleh probabilitas terminasi rantai yang menurun secara geometris seiring
dengan bertambahnya panjang rantai, selain keterbatasan fisik ukuran
dan resolusi gel.
Sekuens DNA dengan ukuran jauh lebih besar kerap kali dibutuhkan.
Sebagai contoh, genom bakteri sederhana dapat mengandung jutaan
pasang basa, sedangkan genom manusia terdiri atas lebih dari 3 milyar
pasang basa. Berbagai strategi telah dikembangkan untuk sekuensing
DNA skala besar, termasuk strategi primer walking dan shotgun
sequencing. Kedua strategi tersebut melibatkan pembacaan banyak
bagian DNA dengan metode Sanger dan selanjutnya menyusun hasil
pembacaan tersebut menjadi sekuens yang runut. Masing-masing strategi
memiliki kelemahan sendiri dalam hal kecepatan dan ketepatan; sebagai
contoh, metode shotgun sequencing merupakan metode yang paling
praktis

untuk

sekuensing

genom

ukuran

penyusunannya rumit dan rentan kesalahan.

besar,

namun

proses

Data sekuens bermutu tinggi lebih mudah didapatkan bila DNA


bersangkutan dimurnikan dari pencemar yang mungkin terdapat pada
sampel dan diamplifikasi. Hal ini dapat dilakukan dengan metode reaksi
berantai polimerase bila primer yang dibutuhkan untuk mencakup seluruh
daerah yang diinginkan cukup praktis dibuat. Cara lainnya adalah dengan
kloning DNA sampel menggunakan vektor bakteri, yaitu memanfaatkan
bakteri untuk "menumbuhkan" salinan DNA yang diinginkan sebanyak
beberapa

ribu

pasang

basa

sekaligus.

Biasanya

proyek-proyek

sekuensing DNA skala besar memiliki persediaan pustaka hasil kloning


semacam itu.
II.9 Pangkalan Data Sekuens DNA
Selama
ditentukan

bertahun-tahun

oleh

telah

para ilmuwan

di

banyak
seluruh

sekuens
dunia,

DNA

dan

yang

saat

ini

kebanyakan jurnal ilmiah mempersyaratkan penyerahan sekuens DNA


terlebih

dahulu

untuk

keperluan

pangkalan

data

publik sebelum

mereka menerima naskah selengkapnya dari para penulis/ilmuwan.


Pengelola pangkalan data akan saling bertukar

informasi tentang

sekuens-sekuens yang terkumpul dan menyediakannya untuk akses


publik sehingga semua pangkalan data yang ada akan menjadi nara
sumber yang sangat bermanfaat. Sekuens-sekuens
bertambah

dengan

kecepatan

yang

kian

baru

terus

meningkat. Begitu pula,

sejumlah perangkat lunak komputer diperlukan agar data yang tersedia


dapat dimanfaatkan dengan lebih baik.

EMBL di Eropa dan GenBank di Amerika Serikat merupakan


dua pangkalan data sekuens DNA terbesar di dunia. Selain sekuens
DNA, mereka
Sementara

juga mengelola data sekuens

itu,

beberapa

perusahaan

RNA

mempunyai

dan

protein.

pangkalan data

sekuens DNA sendiri.


Ketika sekuens suatu fragmen DNA telah diketahui, hanya ada
sedikit sekali gambaran yang dapat diperoleh dari sekuens tersebut.
Analisis

sekuens

perlu dilakukan untuk

mengetahui

beberapa

karakteristik pentingnya seperti peta restriksi, rangka baca, kodon


awal dan kodon akhir, atau kemungkinan tempat promoternya. Di
samping itu, perlu juga dipelajari hubungan kekerabatan suatu sekuens
baru dengan beberapa sekuens lainnya

yang

telah terlebih

dahulu

diketahui. Biasanya, analisis semacam itu dilakukan menggunakan


paket-paket

perangkat

lunak,

misalnya

paket

GCG

Universitas

Wisconsin dan DNAstar.


II.10 Proyek-Proyek Sekuensing Genom
Sejalan dengan berkembangnya mesin-mesin sekuensing DNA
automatis (automatic DNA sequencer),

sejumlah

organisasi

telah

memberikan perhatian dan dukungan dana bagi penentuan sekuens


genom berbagai spesies organisme penting. Beberapa genom yang
ukurannya sangat kecil seperti genom virus HIV dan

fag telah

disekuens seluruhnya. Genom sejumlah bakteri, misalnya E. coli (4,6


x 106 pb), dan khamir Saccharomyces cerevisiae (2,3 x 107 pb) juga telah

selesai disekuens. Sementara itu, proyek sekuensing genom tanaman


Arabidopsis thaliana (6,4 x 107 pb) dan nematoda Caenorhabditis elegans
saat ini masih berlangsung. Proyek Genom Manusia (Human Genom
Project),

yang diluncurkan

pada

tahun

1990

dan

sebenarnya

diharapkan selesai pada tahun 2005, ternyata berakhir dua tahun


lebih cepat daripada jadwal yang telah ditentukan.
Pada genom manusia dan genom-genom lain yang berukuran
besar biasanya dilakukan pemetaan kromosom terlebih dahulu untuk
mengetahui

lokus-lokus

gen

pada

tiap

kromosom.

Selanjutnya,

perpustakaan gen untuk suatu kromosom dikonstruksi menggunakan


vektor YACs dan klon-klon YACs yang saling tumpang tindih diisolasi
hingga panjang total kromosom tersebut akan tercakup. Demikian
seterusnya untuk kromosom-kromosom yang lain hingga akhirnya
akan diperoleh sekuens genom total yang sambung-menyambung dari
satu kromosom ke kromosom berikutnya.

BAB III
PENUTUP
Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Sequencing adalah penentuan urutan basa DNA dalam segmen


molekul DNA yang relatif pendek yang memungkinkan kita mengetahui
kode genetic dari molekul DNA.
2. Komponen-komponen yang terlibat dalam proses squencing meliputi:
a. Beberapa kopi dari template DNA utas tunggal
b. Primer yang sesuai (sepotong DNA yang dapat berpasangan dengan
DNA template yang bertindak sebagai titik mulai untuk replikasi)
c. DNA polymerase (suatu enzim yang meng-kopi
DNA,
menambahkan nukleotid baru pada ujung 3 dari template)
d. Suatu kolam berisi nukleotida normal
e. Sejumlah kecil dideoksinukleotida terlabel (radioaktif atau dengan
pewarna fluoresent
3. Ada dua metode yang dapat digunakan untuk mengurutkan molekul
DNA yaitu Metode Maxam-Gilbert dan metode Sanger.
4. Hasil dari skuencing adalah fragmen-fragmen DNA dengan panjang
bervariasi, yang satu sama lain berbeda sebanyak satu basa tunggal.
Dari

fragmen-fragmen

tersebut

kita

dapat

menarik

kesimpulan

mengenai sequence asam nukleat molekul DNA yang diperiksa.

DAFTAR PUSTAKA
1. Sawant SV, Singh PK, Gupta SK, Madnala R and Tuli R. 1999.
Conserved nucleotide sequences in highly expressed genes in plants.
Journal of Genetics. Vol. 78 (2). 123-13.
2. Campbell, Reece dan Mitchel. 2002. Biologi Terjemahan edisi kelima
jilid 1. Jakarta. Erlangga
3. Yuwono T. 2005. Biologi Molekuler. Jakarta. Erlangga

4. Nejad AM, Narimani Z, Hosseinkhan N. 2013. Next Generation


Sequencing and Sequence Assembly. New York: Springer
5. Poirel L, Naas T, Nordmann P. 2006. Pyrosequencing as a Rapid Tool
for Identification of GES-Type Extended-Spectrum Lactamases. J Clin
Microbiol 44(8):3008-11.

Anda mungkin juga menyukai