Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN KASUS

BELLS PALSY
Disusun untuk Memenuhi Tugas Ilmu Kedokteran Klinik
di RSUD Blambangan Banyuwangi
Oleh:
Putri Avnita Machfudzoh
101611101002

Pembimbing:
dr. Andar Setyawan, Sp.S
ILMU KEDOKTERAN KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS JEMBER
2016

BAB I
LAPORAN KASUS POLI SARAF
A. Identitas
Nama
: Marwati
Umur
: 22 Tahun
JenisKelamin
: Perempuan
Pekerjaan
: Petani
Status Perkawinan: Sudah Menikah
Agama
: Islam
Suku/Bangsa
: Jawa/Indonesia
Alamat
: Karangrejo Selatan 2/1 Wongsorejo Banyuwangi
B. Anamnesa
Keluhan utama

: Pasien datang dengan bibir perot ke kiri,

Riwayat penyakit sekarang

mata kanan tidak bisa menutup maksimal.


: Pasien mengeluh sejak 1 minggu yang lalu
bibir perot ke kiri, mata kanan tidak bisa
menutup maksimal sehingga merah dan
terus mengeluarkan air mata. Pipi kanan
terasa tebal.Pasien mengalami kesulitan
ketika berkumur karena air berceceran dan
tidak dapat minum menggunakan sedotan.

Riwayat penyakit dahulu


Riwayat penyakit keluarga

Pasien mengaku sering tidur di lantai.


: : Tidak ada riwayat penyakit seperti yang

dikeluhkan pasien.
C. Pemeriksaan fisik status generalis
Vital sign
:
Tensi
: 110/70 mmHg
Respirasi: 20x/menit
Nadi
: 78x/menit
Suhu
: tidak dilakukan pemeriksaan
D. Status Neurologis
-

Kesadaran

: GCS (Glasgow Coma Scale)

: 4-5-6

E. Kepala :
-

Mata n. II
n. III

:n. Optic
:n. Oculomotor

:
:

Dbn
Dbn

n. IV
n. VI
Hidungn. I
Mulut n. VII

:n. Troklearis
:n. Abducent
:n. Olfactorius :
:n. Facial

:
:
Dbn
:

Lidah n. IX :n. Glossopharyngeal


n. X :n. Vagus
n. XII :n. Hypoglossal
Telingan. VIII:n. Vestibulochoclear: Dbn
Leher-pundak n. XI: n. Accessory

Dbn
Dbn
Parastesis Unilateral Dekster
Paraparesis/ plegi
:Dbn
:
Dbn
:
Dbn
:

Dbn

F. Pemeriksaan Ekstermitas
1. Gerakan
BBB
BBB
2. Kekuatan
555
555

G. Diagnosa
H. Deferensial Diagnosa

BBB
BBB
555
555

: Paresis N. VII perifer kanan (Bells palsy)


: Paresis N. VII sentral kanan

I. Rencana Perawatan
Medikasi
- prednisone tab No XIV 3x1
- Ibuprofen tab No XIV 3x1
- Artificial tears drops 3 gtt II OD
- Vit B1 B6 B12 XXI 3x1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Bells Palsy atau prosoplegia adalah suatu sindrom kelemahan wajah
dengan tipe lower motor neuron, yang disebabkan oleh keterlibatan n. facialis
perifer dan terjadi secara akut. Penyebab penyakit ini masih idiopatik (tidak
diketahui), di luar sistem saraf pusat tanpa disertai penyakit neurologis
lainnya.Bells palsy sering terjadi setelah infeksi virus (misalnya Herpes Simplex
virus) atau setelah imunisasi, lebih sering terjadi pada wanita hamil, penderita
diabetes, serta penderita hipertensi.Lokasi cedera nevus facialis pada Bells palsy
adalah di bagian perifer nucleus nervus VII.Cedera tersebut terjadi di dekat
ganglion genikulatum.
2.2. Epidemiologi
Kejadian Bells palsy di dunia menempati urutan ketiga penyebab
terbanyak dari paralysis facial akut. Di Amerika serikat, insiden Bells palsy setiap
tahun sekitar 23:100.000 kasus telah ditemukan, dan 63% mengenai wajah bagian
kanan. Di Indonesia telah dilaporkan bahwa kasus Bells palsy merupakan 19,55%
dari seluruh kasus neuropati. Penderita Diabetes mempunyai resiko 23% lebih
tinggi disbanding non-diabetes. Baik lelaki ataupun wanita memiliki peluang yang
sama terkena Bells palsy, namun wanita muda lebih rentan terkena daripada lakilaki dari kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur,
namun lebih sering terjadi pada rentang usia 15-50 tahun. Kemungkinan terkena
pada wanita pasca persalinan dan hamil lebih tinggi daripada wanita yang tidak
hamil, bahkan mencapai 10kali lipat. Tingkat kejadian sama baik di iklim panas
ataupun dingin, namun pada beberapa penderita didapatkan riwayat terpapar udara
dingin atau angin berlebihan.

2.3. Anatomi
Nervus facialis terutama merupakan saraf motorik, yang menginervasi
otot-otot ekspresi wajah. Saraf ini membawa serabut parasimpatis ke kelenjar
saliva, air mata, dan ke selaput mukosa rongga hidung dan mulut, juga

menghantar berbagai jenis sensasi dari otot-otot yang disarafinya. Inti nervus
facialis terletak di pons.
Saraf mengitari inti nervus abdusen, dan kelenjar di bagian lateral pons.
Nervus intermedius keluar di permukaan lateral pons diantara nervus facialis dan
nervus vestibulokoklearis. Nervus facialis bersama dengan n. intermedius dan n.
vestibulokoklearis kemudian memasuki meatus akusticus internus. Di sini n.
facialis bersatu dengan n. intermedius dn menjadi satu berkas yang berjalan dalam
kanalis facialis dan kemudian masuk ke dalam os mastoid. Ia keluar dari tulang
tengkorak melalui foramen stilomastoideum, dan bercabang untuk mempersarafi
otot-oot wajah.
Nervus facialis memiliki empat macam inti:
1. Nukleus facialis, saraf somatomotorik, yang mempersarafi otot-otot
wajah(kecuali m. levator palpebrae (N.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus
bagian posterior dan stapedius di telinga tengah).
2. Nukleus salivatorius superior, saraf visero motorik. Saraf ini mensarafi
glandula dan mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan
glandula submaksiler serta sublingual dan maksilaris.
3. Nukleus solitaries, saraf viserosensorik yang menghantar impuls dari alat
pengecap di dua pertiga lidah bagian depan.
4. Nukleus sensoris trigeminus, saraf somatosensorik. menghantarkan rasa nyeri,
suhu, dan raba dari bagian daerah kulit dan mukosa.

Gambar 1. Perjalanan saraf facialis

2.4 Etiologi Bells palsy


Bells palsy terjadi ketika saraf yang mengendalikan otot-otot saraf wajah
mengalami keradangan atau dikompresi.Penyebab saraf ajah meradang belum
diketahui, meskipun diperkirakan bahwa virus banyak dikaitkan dengan Bells
palsy. Terdapat beberapa teori yang mengemukakan tentang penyebab Bells palsy
antara lain sebagai berikut:
1. Teori infeksi virus
Salah satu penyebab timbulnya Bells palsy adalah karena adanya infeksi
virus herpes simplex dan Herpes zoster.Virus Herpes hidup di dalam jaringan
saraf. Apabila radang dari herpes menyerang ganglion genikulatum, maka dapat
melibatkan paralisis pada otot-otot wajah sesuai area persarafannya. Jenis herpes
zoster yang menyebabkan kelemahan pada otot-otot wajah ini sering dikenal
dengan sindrom Ramsay-Hunt atau Bells palsy (Duus Peter, 1996). Pada
penelitian yang dilakukan pada penderita Bells palsyyang dilakukan oleh
Murakami et al, ditemukan genom virus HSV tipe1 di dalam cairan endoneural
sekelilin saraf ketujuh pada 11 sampel dari 14 kasus Bells palsy yang dilakukan
dekompresi pada kasus yang berat. Dengan adanya temuan ini, istilah paralisis
facialis herpes simpleks atau herpetika dapat diadopsi. Gambaran patologi
dnmikroskopis menunjukkan proses demielinisasi, edema, dan gangguan vascular
saraf.
2. Teori Iskemia Vaskuler

Terjadinya gangguan sirkulasi darah di kanalis falopii, secara tidak


langsung menimbulkan paralisis pada nervus facialis.Kerusakan yang ditimbulkan
berasal dari tekanan saraf perifer terutama berhubungan dengan oklusi dari
pembuluh darah yang mengaliri saraf tersebut, bukan akibat dari tekanan langsung
pada sarafnya.kemungkinan terdapat respon simpatis yang berlebihan sehingga
terjadi spasme arterioral atau statis vena pada bagian bawah dari kanalis facialis,
sehingga menimbulkan oedema sekunder yang selanjutnya menambah kompresi
terhadap suplai darah, menambah iskemia dan menjadikan parese nervus facialis
(Esslen, 1970).
3. Teori Herediter
Teori ini mengemukakan bahwa Bells palsy yang disebabkan karena
faktor herediter brhubungan dengan kelainan anatomis pada canalis facialis yang
bersifat menurun (Hamid, 1991)
4. Pengaruh udara dingin
Udara dingin menyebabkan lapisan endothelium dari pembuluh darah
leher atau telinga rusak, sehingga terjadi proses transdusi (proses mengubah dari
satu bentuk ke bentuk lain) dan mengakibatkan foramen stilomastoideus bengkak.
Nervus facialis yang melewati daerah tersebut terjepit sehingga rangsangan yang
dihantarkan terhambat dan menyebabkan otot-otot wajah mengalami kelemahan
atau kelumpuhan.
5. Teori imunologi
Teori ini mengatakan bahwa Bells palsy terjadi akibat reaksi imunologi
terhadap infeksi virus yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi.
Berdasarkan teori ini maka penderita bells palsy diberikan pengobatan
kotikosteroid dangan tujuan untuk mengurangi inflamasi dan edema di dalam
kanalis Fallopii dan juga sebagai immunosupresor.
2.5 Patofisiologi
Pada Bells Palsy terjadi proses inflamasi akut pada nervus facialis di
daerah os temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bells palsy hampir selalu
terjadi secara unilateral.Namun demikian, dalam waktu lebih dari satu minggu
berpotensi terjadi paralysis bilateral.Penyakit ini dapat recurrent.
Terjadinya proses inflamasi pada nervus facialisakan menyebabkan
meningkatnya diameter n. facialis sehingga teradi kompresi dari saraf tersebut

saat melewati os temporal. Perjalanan n. facialis keluar dari os temporal melalui


kanalis facialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada
pintu keluar sebagai foramen mentale.Bentukan kanalis yang unik tersebut
menyebabkan gangguan dari konduksi apabila terjadi inflamasi, demyelinasi, atau
iskemik.Bagian pertama dari kanalis facialis yang disebut dengan segmen
labyrinthine adalah bagian yang paling sempit, meatus foramen ini memiliki
diameter 0,66 mm. Lokasi inilah yang diduga merupakan tempat paling sering
terjadinya kompresi pada N.VII pada Bells Palsy, karena bagian ini merupakan
tempat yang paling sempit
Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus facialis bisa mendapatkan
gangguan di lintasan supranuclear, nuclear, dan intranuklear.lesi supranuklear bisa
terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar
ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah
di korteks motorik primer. Saat n. facialis menjadi bengkak dan terjepit dalam
foramen stilomastoideus maka akan terjadi kelumpuhan facialis LMN. Lesi LMN
terletak biasanya terletak di di pons, di sudut serebelo pontin, di os petrosum atau
kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan di tepi cabang-cabang n.
facialis.Lesi di pons berada di daerah sekitar inti n. abdusens dan fasikulus
longitudinalis medialis.karena itulah paralisis facialis LMN tersebut akan disertai
kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu,
biasanya diiringi dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia ( tidak bisa
mengecap rasa dengan 2/3 lidah bagian depan).
2.6 Manifestasi klinis
Gambaran klinis biasanya timbul mendadak, hampir selalu unilateral,
sering kali waktu bangun tidur pagi penderita baru mengetahui kelumpuhan otot
wajah atau diberitahukan orang di sekelilingnya bahwa salah satu sudut mulutnya
rendah.Manifestasi klinis Bells palsy sangat khas dengan memperhatikan riwayat
penyakit dan gejala kelumpuhan yang timbul.Pada 73% kasus didahului infeksi
saluran pernapasan atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin.

Perasaan nyeri, pegal, linu, dan rasa tidak enak pada telinga atau
sekitarnyasering merupakangejala awal yang segera diikuti oleh gejala
kelumpuhan yang timbul berupa:
-

Dahi tidak dapat dikerutkan atau lipat dahi hanya terlihat pada daerah sisi

yang sehat
kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang lumpuh

(lagofalmus)
gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bolam atau
berputar ke atas pada saat memejamkan mata (elevasi), fenomena ini

disebut Bells sign


sudut mulut tidak dapat diangkat, lipat nasolabiais mendatar pada sisi yang

lumpuh dan mencong kea rah sisi yang sehat


ganguan fungsi pengecap
hiperakusis (pendengaran yang sangat tajam)
gangguan lakrimasi
tidak dapat bersiul ataupun meniup, atau saat berkumur air akan keluar
dari sisi mulut yang lumpuh
Tanda dan gejala klinis pada Bells palsy juga dapat dilihat dari letak lesi:

a. Lesi di luar foramen stylomastoideus


Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat, makanan berkumpul di antara
pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang, lipatan
kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak
dilindungi maka air mata akan keluar terus menerus.
b. Lesi di canalis facialis (melibatkan n. chorda tympani)
Gejala dan tanda klinik seperti pada lesi di luar foramen stylomastoideus,
ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan
salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah
menunjukkan terlibatnya intermedius nerve, sekaligus menunjukkan lesi di daerah
antara pons dan titik di mana chorda tympani bergabung dengan n. facialis di
canalis facialis.
c. Lesi di canalis facialis lebih tinggi lagi (melibatkan musculus stapedius)
Gejala dan tanda klinik seperti pada lesi di luar foramen stylomastoideus,
lesi di canalis facialis, ditambah dengan adanya hiperakusis.
d. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)

Gejala dan tanda klinik seperti lesi di luar foramen stylomastoideus. Lesi
di canalis facialis, lebih tinggi lagi disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam
liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes.
e.Lesi di daerah meatus acusticus interna
Gejala dan tanda klinik seperti lesi di luar foramen stylomastoideus, lesi di
canalis facialis, lesi di canalis facialis lebih tinggi lagi, lesi di tempat yang lebih
tinggi

lagi,

ditambah dengan

tuli

sebagai akibat

dari terlibatnya

n.

vestibulokoklearis.
f. Lesi di tempat keluarnya n. facialis dari pons.
Gejala dan tanda klinik sama dengan di atas, disertai gejala dan tanda
terlibatnya n. trigeminus,n. vagus, dan kadang-kadang juga n. abducens, n.
accessorius, dan n. hypoglossus.

2.2 Gambaran Manifestasi Klinis Pasien Bells Palsy


2.7. Diagnosa
Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesa serta beberapa pemeriksaan
fisik, dalam hal ini yaitu pemeriksaan neurologis. Untuk menegakkan diagnosis
suatu bells palsy harus ditetapkan dulu adanya paresis facialis tipe perifer, paresis
facialis perifer berbeda dari tipe sentral. Pada tipe sentral yang terganggu atau
paresis hanya pada bagian bawah wajah saja.
Anamnesa :
- Keluhan kelemahan pada salah satu sisi wajah dengan sensasi mati rasa
- Rasa nyeri post auricular. Hampir 50% pasien menderita nyeri nyeri di
region mastoid. Nyeri muncul simultan disertai paresis, tetapi paresis
-

muncul dalam 2-3 hari.


Aliran air mata, oleh karena penurunan fungsi orbicularis oculi dalam
mengalirkan air mata.

Kelopak mata tidak bisa menutup sempurna


Gangguan atau kehilangan pengecapan.
Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari

di ruangan terbuka atau di luar ruangan.


Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi

saluran pernafasan, otitis, herpes, dan lain-lain.


Pemeriksaan :
1. Pemeriksaan neurologi
Kelumpuhan nervus fasilalis melibatkan semua otot wajah sesisi
dan dapat dibuktikan dengan pemeriksaan - pemeriksaan berikut, yaitu:
a. Pemeriksaan motorik nervus facialis.
- Mengerutkan dahi : lipatan kulit dahi hanya tampak pada sisi yang
-

sehat saja.
Mengangkat alis : alis pada sisi yang sakit tidak dapat diangkat
Memejamkan mata dengan kuat : pada sisi yang sakit kelompak
mata tidak dapat menutupi bola mata dan berputarnya bola mata ke
atas dapat dilihat. Hal tersebut dikenal Fenomena Bell. Selain itu
dapat dilihat juga bahwa gerakan kelopak mata yang sakit lebih
lambat dibandingkan dengan gerakan kelopak mata yang sehat, hal
ini dikenal sebagai Lagoftalmus.

Mengembungkan pipi : pada sisi yang tidak sehat pipi tidak dapat

dikembungkan.
Pasien disuruh utnuk memperlihatkan gigi geliginya atau disuruh
meringis menyeringai : sudut mulut sisi yang lumpuh tidak dapat
diangkat sehingga mulut tampaknya mencong ke arah sehat. Dan
juga sulcus nasolabialis pada sisi wajah yang sakit mendatar.

b. Pemeriksaan sensorik pada nervus facialis.


Sensasi pengecapan diperiksa sebagai berikut : rasa manis
diperiksa pada bagian ujung lidah dengan bahan berupa garam, dan
rasa asam diperiksa pada bagian tengah lidah dengan bahan asam
sitrat. Pengecapan 2/3 depan lidah : pengecapan pada sisi yang tidak
sehat kurang tajam.
c. Pemeriksaan Refleks.
Pemeriksaan reflek yang dilakukan pada penderita Bells Palsy
adalah pemeriksaan reflek kornea baik langsung maupun tidak
langsung dimana pada paresis nervus VII didapatkan hasil berupa
pada sisi yang sakit kedipan mata yang terjadi lebih lambat atau tidak
ada sama sekali. Selain itu juga dapat diperiksa refleks nasopalpebra
pada orang sehat pengetukan ujung jari pada daerah diantara kedua
alis langsung dijawab dengan pemejaman kelopak mata pada sisi,
sedangkan pada paresis facialis jenis perifer terdapat kelemahan
kontraksi m. orbikularis oculi (pemejaman mata pada sisi sakit).
Umumnya diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala
klinik adanya kelumpuhan n. facialis perifer diikuti pemeriksaan
untuk menyingkirkan penyebab lain dad kelumpuhan n. facialis
perifer.
Beberapa pemeriksaan penunjang yang penting untuk menentukan
letak lesi dan derajat kerusakan n. facialis sbb:
1) Uji kepekaan saraf (nerve excitability test)

Pemeriksaan ini membandingkan kontraksi otot-otot wajah


kiri& kanan setelah diberi rangsang listrik. Perbedaan rangsang lebih
3,5 mA menunjukkan keadaan patologik dan jika lebih

20 mA

menunjukkan kerusakan facialis ireversibel.


2) Uji konduksi saraf (nerve conduction test)
Pemeriksaan untuk menentukan derajat denervasi dengan cara
mengukur kecepatan hantaran listrik pada n. facialis kiri dan kanan.
3) Elektromiografi
Pemeriksaan yang menggambarkan masih berfungsi atau
tidaknya otot-otot wajah.
4) Uji fungsi pengecap 2/3 bagian depan lidah
Pemeriksaan fungsi pengecap dengan cara sederhana yaitu rasa
manis (gula), rasa asant dan rasa pahit (pil kina). Elektrogustometri
membandingkan reaksi antara sisi yang sehat dan yang sakit dengan
stimulasi listrik pada 2/3 bagian depan lidah terhadap rasa kecap pahit
atau metalik. Gangguan rasa kecap pada BP menunjukkan letak lesi n.
facialis setinggi khorda timpani atau proksimalnya.
5) Uji Schirmer
Pemeriksaan ini menggunakan kertas filter khusus yang di
letakkan di belakang kelopak mata bagian bawah kiri dan kanan.
Penilaian berdasarkan atas rembesan air mata pada kertas filter;
berkurang atau mengeringnya air mate menunjukkan lesi n. facialis
setinggi ggl. genikulatum
2. Pemeriksaan radiologis.
Pemeriksaan Radiologis yang dapat dilakukan untuk Bells Palsy
antara lain adalah MRI (Magnetic Resonance Imaging) dimana pada
pasien dengan Bell Palsy dapat timbul gambaran kelainan pada nervus
facialis. Selain itu pemeriksaan MRI

juga berguna apabila penderita

mengalami Kelumpuhan wajah yang berulang, agar dapat dipastikan


apakah kelainan itu hanya merupakan gangguan pada nervus Facialis
ataupun terdapat tumor.
2.7 Diagnosa banding
1. Otitis Media Supurativa dan Mastoiditis
Ditemukan adanya rasa nyeri di dalam atau di belakang telinga. Pada
foto mastroid ditemukan gambaran infeksi. Pada otitis media terjadi proses

radang di dalam kavum timpani sehingga dinding tulang kanalis facialis


ikut mengalami kerusakan sehingga terjadi paresis facialis.
2. Herpes Zoster Oticus
Terjadi infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum. Gambaran
klinis tampak vesikel-vesikel yang timbul terasa amat nyeri di daun
telinga. Karena adanya proses inflamasi maka akan menimbulkan
pembengkakan, timbunan metabolit di dalam kanalis Fallopii dan
selanjutnya menyebabkan iskemia dan paresis facialis. Adanya tinnitus
dan tuli perseptif.Pada pemeriksaan darah didapatkan adanya kenaikan
titer antibodi terhadap virus varisela-zoster.
3. Trauma kapitis
Trauma kapitis (misalnya fraktur os temporal, fraktur basis kranii
atau trauma lahir/forceps) atau karena operasi yang hampir selalu
mengenai kanalis facialis, hal ini juga dapat menyebabkan paresis facialis.
Pada cedera kepala sering terjadi fraktura os temporale parspetrosus yang
tidak selalu terlihat pada foto rontgen.
4. Sindroma Guillain Barre dan Miastenia Gravis
Pada kedua penyakit ini, perjalanan dan gambaran penyakitnya khas
dan paresis hampir selalu bilateral.
5. Tumor Intrakranialis
Semua neoplasma yang mengenai sepanjang perjalanan N.facialis
dapat menyebabkan paresis facialis. Tumor intra kranial yang tersering
yaitu tumor sudut serebelo pontis. Di sini selain terdapat paresis N.facialis
juga

biasanya

ditemukan

adanya

lesi

N.trigeminus

dan

N.

vestibulokoklearis. Tumor yang lain misalnya Ca-nasofaring (biasanya


disertai dengan kelainan saraf kraniales lain) dan tumor kelenjar parotis.
6. Leukimia
Paresis facialis disebabkan karena infiltrat sel-sel lekemia. Paresis
terjadi bilateral dan simultan. Diawali dengan rasa nyeri di dalam kepala
atau telinga dan tuli.
7. Tumor kelenjar parotis
Apabila ditemukan massa di wajah (angulus mandibula)
2.8 Penatalaksanaan
1. Terapi Farmakologis:

Inflamasi dan edema saraf facialis merupakan penyebab paling mungkin


dalam patogenesis dalam patogenesis Bells palsy. Penggunaan steroid
dapat mengurangi kemungkinan paralisys permanen dan pembengkakan
pada saraf di kanalis facialis yang sempit.Kortikosteroid dapat digunakan
salah satu contohnya adalah prednison maksimal 40-60mg/hari atau
prednisolon maksimal 70mg/hari6 hari dosis awal dan diikuti penurunan
dosis secara bertahap (tappering off) selama 4 hari.

Penggunaan obat antiviral (acyclovir) dengan kortikosteroid. Penggunaan


Acyclovir 400 mg sebanyak 5 kali per hari P.O selama 10 hari. Atau
penggunaan Valacyclovir 500 mg sebanyak 2 kali per hari P.O selama lima
hari, penggunaan Valacyclovir memiliki efek yang lebih baik.
Kortikosteroid oral mengurangi peradangan saraf wajah pada
pasien dengan Bells palsy. Tiemstra JD and Khathare N melalui penelitian
Meta-analisis dari tiga uji coba terkontrol secara acak membandingkan
kortikosteroid dengan plasebo ditemukan pengurangan kecil dan secara
statistik tidak signifikan dalam persentase.
Terdapat Kemungkinan HSV-1 ikut berperan sebagai penyebab
Bell palsy, obat antivirus acyclovir (Zovirax) dan valacyclovir (Valtrex)
telah dipelajari bermanfaat manfaat dalam pengobatan. Asiklovir 400 mg
lima kali per hari selama tujuh hari atau valacyclovir 1 g tiga kali per hari
selama tujuh hari. Pasien yang diobati dengan obat antivirus dalam
kombinasi dengan prednisolon menunjukkan pemulihan penuh dengan
persentase yang lebih tinggi dibandingkan dengan prednisolon saja.
Namun, ketika pengobatan tertunda lebih dari empat hari setelah
timbulnya gejala makatidak terlihat manfaat yang berarti. Pasien yang
datang pada 3 hari pertama timbulnya gejala dan dan tidak kontraindikasi
terhadap obat dapat dilakukan terapi kombinasi. Pasien yang datang
dengan kelumpuhan saraf wajah lengkap memiliki tingkat pemulihan
spontan lebih rendah dan mungkin lebihmembutuhkan efek dari obat.
Goudakos JK and Markou KD pada penelitian meta-analisis,
berdasarkan bukti yang tersedia menunjukkan bahwa agen antivirus untuk

kortikosteroid pengobatan Bells palsy tidak terkait dalammeningkatkan


-

pemulihan lengkap dari fungsi motorik wajah.


Vitamin B1, B6 dan B12 dalam dosis tinggi selama 2 minggu dapat

mempercepat penyembuhan.
- Analgesic untuk menghilangkan rasa nyeri.
2. Terapi operatif
Indikasi terapi operatif yaitu:
- Produksi air mata berkurang menjadi < 25%
- Aliran saliva berkurang menjadi < 25%
- Respon terhadap tes listrik antara sisi sehat dan sakit berbeda 2,5 mA.
Beberapa terapi bedah yang dapat dilakukan antara lain dekompresi
nervus Facialis, Subocularis Oculi Fat Lift (SOOF), Implantasi alat ke dalam
kelopak mata, tarsorrhapy, transposisi otot muskulus temporalis, facial nerve
graftingdan direct brow lift.
Tiemstra JD and Khathare N dalam American Academy of Neurology
saat ini tidak merekomendasikan dekompresi bedah untuk Bells palsy.
Komplikasi yang paling umum dari pembedahan adalah pasca operasi yaitu
berkurangnya pendengaran yang mempengaruhi 3 sampai 15 persen pasien.
Berdasarkan potensi yang signifikan untuk kerugian dan kurangnya manfaat
data

pendukung, American Academy of

Neurology

saat

ini

tidak

merekomendasikan dekompresi bedah untuk Bells palsy.Selain itu, operasi


tidak dibutuhkan karena pemulihan spontan biasanya terjadi dalam banyak
kasus.
3. Rehabilitasi Medik
Rehabilitasi medik menurut WHO adalah semua tindakan yang
ditujukan guna mengurangi dampak cacat dan handicap serta meningkatkan
kemampuan penyandang cacat mencapai integritas sosial.
Tujuan rehabilitasi medik adalah :
Meniadakan keadaan cacat bila mungkin
Mengurangi keadaan cacat sebanyak mungkin
Melatih orang dengan sisa keadaan cacat badan untuk dapat hidup dan
bekerja dengan apa yang tertinggal.
Untuk mencapai keberhasilan dalam tujuan rehabilitasi yang efektif
dan efisien maka diperlukan tim rehabilitasi medik yang terdiri dari dokter,
fisioterapis, okupasi terapis, ortotis prostetis, ahli wicara, psikolog, petugas
sosial medik dan perawat rehabilitasi medik.

Sesuai dengan konsep rehabilitasi medik yaitu usaha gabungan terpadu


dari segi medik, sosial dan kekaryaan, maka tujuan rehabilitasi medik pada
Bells palsy adalah untuk mengurangi/mencegah paresis menjadi bertambah
dan membantu mengatasi problem sosial serta psikologinya agar penderita
tetap dapat melaksanakan aktivitas kegiatan sehari-hari. Program-program
yang diberikan adalah program fisioterapi, okupasi terapi, sosial medik,
psikologi dan ortotik prostetik, sedang program perawat rehabilitasi dan terapi
wicara tidak banyak berperan.
1) Program Fisioterapi
- Pemanasan
a. Pemanasan superfisial dengan infra red.
b. Pemanasan dalam berupa Shortwave Diathermy atau Microwave
-

Diathermy.
Stimulasi listrik
Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu menstimulasi otot
untuk mencegah/memperlambat terjadi atrofi sambil menunggu proses
regenerasi dan memperkuat otot yang masih lemah. Misalnya dengan
faradisasi yang tujuannya adalah untuk menstimulasi otot, reedukasi
dari aksi otot, melatih fungsi otot baru, meningkatkan sirkulasi serta
mencegah/meregangkan perlengketan. Diberikan 2 minggu setelah

onset.
Latihan otot-otot wajah dan massage wajah
Latihan gerak volunter otot wajah diberikan setelah fase akut.
Latihan berupa mengangkat alis tahan 5 detik, mengerutkan dahi,
menutup

mata

dan

mengangkat

sudut

mulut,

tersenyum,

bersiul/meniup (dilakukan didepan kaca dengan konsentrasi penuh).


Massage adalah manipulasi sitemik dan ilmiah dari jaringan
tubuh dengan maksud untuk perbaikan/pemulihan. Pada fase akut,
Bells palsy diberi gentle massage secara perlahan dan berirama.
Gentle massage memberikan efek mengurangi edema, memberikan
relaksasi otot dan mempertahankan tonus otot. Setelah lewat fase akut
diberi Deep Kneading Massage sebelum latihan gerak volunter otot
wajah. Deep Kneading Massage memberikan efek mekanik terhadap
pembuluh darah vena dan limfe, melancarkan pembuangan sisa

metabolik, asam laktat, mengurangi edema, meningkatkan nutrisi


serabut-serabut otot dan meningkatkan gerakan intramuskuler
sehingga melepaskan perlengketan. Massage daerah wajah dibagi 4
area yaitu dagu, mulut, hidung dan dahi. Semua gerakan diarahkan
keatas, lamanya 5-10 menit.
2) Program Terapi Okupasi
Pada dasarnya terapi disini memberikan latihan gerak pada otot
wajah. Latihan diberikan dalam bentuk aktivitas sehari-hari atau dalam
bentuk permainan. Perlu diingat bahwa latihan secara bertahap dan melihat
kondisi penderita, jangan sampai melelahkan penderita. Latihan dapat
berupa latihan berkumur, latihan minum dengan menggunakan sedotan,
latihan meniup lilin, latihan menutup mata dan mengerutkan dahi di depan
cermin.
3) Program Sosial Medik
Penderita Bells palsy sering merasa malu dan menarik diri dari
pergaulan sosial. Problem sosial biasanya berhubungan dengan tempat
kerja dan biaya. Petugas sosial medik dapat membantu mengatasi dengan
menghubungi tempat kerja, mungkin untuk sementara waktu dapat bekerja
pada bagian yang tidak banyak berhubungan dengan umum. Untuk
masalah biaya, dibantu dengan mencarikan fasilitas kesehatan di tempat
kerja atau melalui keluarga. Selain itu memberikan penyuluhan bahwa
kerja sama penderita dengan petugas yang merawat sangat penting untuk
kesembuhan penderita.
4) Program Psikologik
Untuk kasus-kasus tertentu dimana ada gangguan psikis amat
menonjol, rasa cemas sering menyertai penderita terutama pada penderita
muda, wanita atau penderita yang mempunyai profesi yang mengharuskan
ia sering tampil di depan umum, maka bantuan seorang psikolog sangat
diperlukan.
5) Program Ortotik Prostetik
Dapat dilakukan pemasangan Y plester dengan tujuan agar sudut
mulut yang sakit tidak jatuh. Dianjurkan agar plester diganti tiap 8 jam.
Perlu diperhatikan reaksi intoleransi kulit yang sering terjadi. Pemasangan
Y plester dilakukan jika dalam waktu 3 bulan belum ada perubahan pada

penderita setelah menjalani fisioterapi. Hal ini dilakukan untuk mencegah


teregangnya otot Zygomaticus selama parese dan mencegah terjadinya
kontraktur.
6) Home Program:
a. Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20 menit
b. Massage wajah yang sakit ke arah atas dengan menggunakan tangan
dari sisi wajah yang sehat
c. Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah disisi yang
sakit, minum dengan sedotan, mengunyah permen karet
4. Perawatan mata:
Tindakan yang dilakukan antara lain:
a. Memakai tetes mata (golongan artifial tears) 3x sehari dan salep mata.
b. Mamakai kaca mata untuk mencegah iritasi debu dan cahaya.
c. Kelopak mata diplaster agar tetap dalam keadaan tertutup.
d. Bila keadaan terlalu berat maka dilakukan tarsorafi ataupun blefarofati
dengan menjahit dan mendekatkan kedua kelopak atas dengan bawah.
Pada tempat jahit diberikan salep antibiotika.
2.9 Komplikasi
1. Reinervasi yang salah dari saraf facialis, dapat menyebabkan:
- Crocodile tear phenomenon (fenomena air mata buaya). Yaitu keluarnya air
mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul beberapa bulan setelah
terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi yang salah dari serabut
otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi menuju ke kelenjar
lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar ganglion genikulatum.
- Synkinesis. Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau
tersendiri.selalu timbul gerakan bersama. Misal bila pasien disuruh
memejamkan mata, maka akan timbul gerakan (involunter) elevasi sudut
mulut,kontraksi platisma, atau berkerutnya dahi.Penyebabnya adalah innervasi
yang salah, serabut saraf yang mengalami regenerasi bersambung dengan
serabut-serabut otot yang salah.
- Tic Facialis sampai Hemifacial Spasm. Timbul kedutan pada wajah (otot
wajah bergerak secara spontan dan tidak terkendali) dan juga spasme otot
wajah, biasanya ringan.Pada stadium awal hanya mengenai satu sisi wajah
saja, tetapi kemudian dapat mengenai pada sisi lainnya.Kelelahan dan
kelainan psikis dapat memperberat spasme ini.Komplikasi ini terjadi bila

penyembuhan tidak sempurna, yang timbul dalam beberapa bulan atau 1-2
tahun kemudian.
2. Regenerasi motor incomplete, dapat menyebabkan paresis seluruh atau
beberapa muskulus facialis
3. Regenerasi sensorik incomplete yang menyebabkan disgeusia (gangguan
pengecapan), ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan sensai atau
tidak sama dengan stimuli normal).

2.10 Prognosis
Penderita Bells Palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa. Faktor
resiko yang memperburuk prognosis Bells palsy adalah:
-

Usia di atas 60 tahun


Paralisis komplit
Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh
Nyeri pada bagian belakang telinga
Berkurangnya air mata.
Pada umumnya prognosis Bells palsy baik yaitu sekitar 80-90% penderita

sembuh dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan.Penderita
yang berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan
beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau
kurang, hanya memiliki peluang 10-15% untuk sembuh total dengan
meninggalkan geala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu empat bulan maka
penderita cenderung meninggalkan gejala sisa.
Penderita Diabetes mempunyai kemungkinan sembuh secara parsial,
dibandingkan dengan penderita non diabetic yang mempunyai kemungkinan pulih
lebih besar.penderita diabetik lebih sering kambuh daripada non diabetic. Dari
keseluruhan kasus Bells palsy hanya 23% yang muncul secara bilateral.Tingkat
kekambuhan sekitar 10-15%.

BAB III
KESIMPULAN
Bells palsy adalah sindrom klinis gangguan saraf facialis yang bersifat
perifer. Kelumpuhan n.facialis, terjadi secara akut dan penyebabnya tidak
diketahui (idiopatik) atau tidak menyertai penyakit lain yang dapat mengakibatkan
lesi n.facialis.
Gambaran klinis bells palsy dapat berupa hilangnya semua gerakan
volunter pada kelumpuhan total. Pada sisi wajah yang terkena, ekspresi akan
menghilang sehingga lipatan nasolabialis akan menghilang, sudut mulut menurun,
bila minum atau berkumur air menetes dari sudut ini dan lagoftalmus.
Penatalaksanaannya dengan terapi medikamentosa yaitu kortikosteroid,
vitamin B1, B6 dan B12, analgesic, penggunaan obat antiviral (acyclovir). Juga
dilakukan rehabilitasi medik, perawatan mata seperti memakai obat salep mata
(golongan artifial tears), memakai kaca mata, kelopak mata diplaster dan jika
keadaan terlalu berat pada lagoftalmusdilakukan tarsorafi ataupun blefarofati.

DAFTAR PUSTAKA
Fisioterapi div ums. 2009. Bells Palsy. http://fisterdiv07ums.blogspot.com/
(diakses pada tanggal 17 februari 2016)
Ginsberg I. 2008.Neurologi.Jakarta: Erlangga
Hardi. 2008. Bells Palsy. http://www.anunda.com/support/no-mind.htm
(diakses pada tangal 17 Februari 2016)
Lowis H., Gaharu M. N. 2012. Bels Palsy, Diagnosis and Management in
Primary Case.Journal Indon Med Assoc. 2012:62, No. 1 (32-37)
Nurdin,MoslemHendra,2010,BellPalsy
http://coolhendra.blogspot.com/2010.blogspot.com/2010/08/bell-palsy.html
(diakses tanggal 17 Februari 2016)

Anda mungkin juga menyukai