BELLS PALSY
Disusun untuk Memenuhi Tugas Ilmu Kedokteran Klinik
di RSUD Blambangan Banyuwangi
Oleh:
Putri Avnita Machfudzoh
101611101002
Pembimbing:
dr. Andar Setyawan, Sp.S
ILMU KEDOKTERAN KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS JEMBER
2016
BAB I
LAPORAN KASUS POLI SARAF
A. Identitas
Nama
: Marwati
Umur
: 22 Tahun
JenisKelamin
: Perempuan
Pekerjaan
: Petani
Status Perkawinan: Sudah Menikah
Agama
: Islam
Suku/Bangsa
: Jawa/Indonesia
Alamat
: Karangrejo Selatan 2/1 Wongsorejo Banyuwangi
B. Anamnesa
Keluhan utama
dikeluhkan pasien.
C. Pemeriksaan fisik status generalis
Vital sign
:
Tensi
: 110/70 mmHg
Respirasi: 20x/menit
Nadi
: 78x/menit
Suhu
: tidak dilakukan pemeriksaan
D. Status Neurologis
-
Kesadaran
: 4-5-6
E. Kepala :
-
Mata n. II
n. III
:n. Optic
:n. Oculomotor
:
:
Dbn
Dbn
n. IV
n. VI
Hidungn. I
Mulut n. VII
:n. Troklearis
:n. Abducent
:n. Olfactorius :
:n. Facial
:
:
Dbn
:
Dbn
Dbn
Parastesis Unilateral Dekster
Paraparesis/ plegi
:Dbn
:
Dbn
:
Dbn
:
Dbn
F. Pemeriksaan Ekstermitas
1. Gerakan
BBB
BBB
2. Kekuatan
555
555
G. Diagnosa
H. Deferensial Diagnosa
BBB
BBB
555
555
I. Rencana Perawatan
Medikasi
- prednisone tab No XIV 3x1
- Ibuprofen tab No XIV 3x1
- Artificial tears drops 3 gtt II OD
- Vit B1 B6 B12 XXI 3x1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Bells Palsy atau prosoplegia adalah suatu sindrom kelemahan wajah
dengan tipe lower motor neuron, yang disebabkan oleh keterlibatan n. facialis
perifer dan terjadi secara akut. Penyebab penyakit ini masih idiopatik (tidak
diketahui), di luar sistem saraf pusat tanpa disertai penyakit neurologis
lainnya.Bells palsy sering terjadi setelah infeksi virus (misalnya Herpes Simplex
virus) atau setelah imunisasi, lebih sering terjadi pada wanita hamil, penderita
diabetes, serta penderita hipertensi.Lokasi cedera nevus facialis pada Bells palsy
adalah di bagian perifer nucleus nervus VII.Cedera tersebut terjadi di dekat
ganglion genikulatum.
2.2. Epidemiologi
Kejadian Bells palsy di dunia menempati urutan ketiga penyebab
terbanyak dari paralysis facial akut. Di Amerika serikat, insiden Bells palsy setiap
tahun sekitar 23:100.000 kasus telah ditemukan, dan 63% mengenai wajah bagian
kanan. Di Indonesia telah dilaporkan bahwa kasus Bells palsy merupakan 19,55%
dari seluruh kasus neuropati. Penderita Diabetes mempunyai resiko 23% lebih
tinggi disbanding non-diabetes. Baik lelaki ataupun wanita memiliki peluang yang
sama terkena Bells palsy, namun wanita muda lebih rentan terkena daripada lakilaki dari kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur,
namun lebih sering terjadi pada rentang usia 15-50 tahun. Kemungkinan terkena
pada wanita pasca persalinan dan hamil lebih tinggi daripada wanita yang tidak
hamil, bahkan mencapai 10kali lipat. Tingkat kejadian sama baik di iklim panas
ataupun dingin, namun pada beberapa penderita didapatkan riwayat terpapar udara
dingin atau angin berlebihan.
2.3. Anatomi
Nervus facialis terutama merupakan saraf motorik, yang menginervasi
otot-otot ekspresi wajah. Saraf ini membawa serabut parasimpatis ke kelenjar
saliva, air mata, dan ke selaput mukosa rongga hidung dan mulut, juga
menghantar berbagai jenis sensasi dari otot-otot yang disarafinya. Inti nervus
facialis terletak di pons.
Saraf mengitari inti nervus abdusen, dan kelenjar di bagian lateral pons.
Nervus intermedius keluar di permukaan lateral pons diantara nervus facialis dan
nervus vestibulokoklearis. Nervus facialis bersama dengan n. intermedius dan n.
vestibulokoklearis kemudian memasuki meatus akusticus internus. Di sini n.
facialis bersatu dengan n. intermedius dn menjadi satu berkas yang berjalan dalam
kanalis facialis dan kemudian masuk ke dalam os mastoid. Ia keluar dari tulang
tengkorak melalui foramen stilomastoideum, dan bercabang untuk mempersarafi
otot-oot wajah.
Nervus facialis memiliki empat macam inti:
1. Nukleus facialis, saraf somatomotorik, yang mempersarafi otot-otot
wajah(kecuali m. levator palpebrae (N.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus
bagian posterior dan stapedius di telinga tengah).
2. Nukleus salivatorius superior, saraf visero motorik. Saraf ini mensarafi
glandula dan mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan
glandula submaksiler serta sublingual dan maksilaris.
3. Nukleus solitaries, saraf viserosensorik yang menghantar impuls dari alat
pengecap di dua pertiga lidah bagian depan.
4. Nukleus sensoris trigeminus, saraf somatosensorik. menghantarkan rasa nyeri,
suhu, dan raba dari bagian daerah kulit dan mukosa.
Perasaan nyeri, pegal, linu, dan rasa tidak enak pada telinga atau
sekitarnyasering merupakangejala awal yang segera diikuti oleh gejala
kelumpuhan yang timbul berupa:
-
Dahi tidak dapat dikerutkan atau lipat dahi hanya terlihat pada daerah sisi
yang sehat
kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang lumpuh
(lagofalmus)
gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bolam atau
berputar ke atas pada saat memejamkan mata (elevasi), fenomena ini
Gejala dan tanda klinik seperti lesi di luar foramen stylomastoideus. Lesi
di canalis facialis, lebih tinggi lagi disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam
liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes.
e.Lesi di daerah meatus acusticus interna
Gejala dan tanda klinik seperti lesi di luar foramen stylomastoideus, lesi di
canalis facialis, lesi di canalis facialis lebih tinggi lagi, lesi di tempat yang lebih
tinggi
lagi,
ditambah dengan
tuli
sebagai akibat
dari terlibatnya
n.
vestibulokoklearis.
f. Lesi di tempat keluarnya n. facialis dari pons.
Gejala dan tanda klinik sama dengan di atas, disertai gejala dan tanda
terlibatnya n. trigeminus,n. vagus, dan kadang-kadang juga n. abducens, n.
accessorius, dan n. hypoglossus.
sehat saja.
Mengangkat alis : alis pada sisi yang sakit tidak dapat diangkat
Memejamkan mata dengan kuat : pada sisi yang sakit kelompak
mata tidak dapat menutupi bola mata dan berputarnya bola mata ke
atas dapat dilihat. Hal tersebut dikenal Fenomena Bell. Selain itu
dapat dilihat juga bahwa gerakan kelopak mata yang sakit lebih
lambat dibandingkan dengan gerakan kelopak mata yang sehat, hal
ini dikenal sebagai Lagoftalmus.
Mengembungkan pipi : pada sisi yang tidak sehat pipi tidak dapat
dikembungkan.
Pasien disuruh utnuk memperlihatkan gigi geliginya atau disuruh
meringis menyeringai : sudut mulut sisi yang lumpuh tidak dapat
diangkat sehingga mulut tampaknya mencong ke arah sehat. Dan
juga sulcus nasolabialis pada sisi wajah yang sakit mendatar.
20 mA
biasanya
ditemukan
adanya
lesi
N.trigeminus
dan
N.
mempercepat penyembuhan.
- Analgesic untuk menghilangkan rasa nyeri.
2. Terapi operatif
Indikasi terapi operatif yaitu:
- Produksi air mata berkurang menjadi < 25%
- Aliran saliva berkurang menjadi < 25%
- Respon terhadap tes listrik antara sisi sehat dan sakit berbeda 2,5 mA.
Beberapa terapi bedah yang dapat dilakukan antara lain dekompresi
nervus Facialis, Subocularis Oculi Fat Lift (SOOF), Implantasi alat ke dalam
kelopak mata, tarsorrhapy, transposisi otot muskulus temporalis, facial nerve
graftingdan direct brow lift.
Tiemstra JD and Khathare N dalam American Academy of Neurology
saat ini tidak merekomendasikan dekompresi bedah untuk Bells palsy.
Komplikasi yang paling umum dari pembedahan adalah pasca operasi yaitu
berkurangnya pendengaran yang mempengaruhi 3 sampai 15 persen pasien.
Berdasarkan potensi yang signifikan untuk kerugian dan kurangnya manfaat
data
Neurology
saat
ini
tidak
Diathermy.
Stimulasi listrik
Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu menstimulasi otot
untuk mencegah/memperlambat terjadi atrofi sambil menunggu proses
regenerasi dan memperkuat otot yang masih lemah. Misalnya dengan
faradisasi yang tujuannya adalah untuk menstimulasi otot, reedukasi
dari aksi otot, melatih fungsi otot baru, meningkatkan sirkulasi serta
mencegah/meregangkan perlengketan. Diberikan 2 minggu setelah
onset.
Latihan otot-otot wajah dan massage wajah
Latihan gerak volunter otot wajah diberikan setelah fase akut.
Latihan berupa mengangkat alis tahan 5 detik, mengerutkan dahi,
menutup
mata
dan
mengangkat
sudut
mulut,
tersenyum,
penyembuhan tidak sempurna, yang timbul dalam beberapa bulan atau 1-2
tahun kemudian.
2. Regenerasi motor incomplete, dapat menyebabkan paresis seluruh atau
beberapa muskulus facialis
3. Regenerasi sensorik incomplete yang menyebabkan disgeusia (gangguan
pengecapan), ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan sensai atau
tidak sama dengan stimuli normal).
2.10 Prognosis
Penderita Bells Palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa. Faktor
resiko yang memperburuk prognosis Bells palsy adalah:
-
sembuh dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan.Penderita
yang berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan
beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau
kurang, hanya memiliki peluang 10-15% untuk sembuh total dengan
meninggalkan geala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu empat bulan maka
penderita cenderung meninggalkan gejala sisa.
Penderita Diabetes mempunyai kemungkinan sembuh secara parsial,
dibandingkan dengan penderita non diabetic yang mempunyai kemungkinan pulih
lebih besar.penderita diabetik lebih sering kambuh daripada non diabetic. Dari
keseluruhan kasus Bells palsy hanya 23% yang muncul secara bilateral.Tingkat
kekambuhan sekitar 10-15%.
BAB III
KESIMPULAN
Bells palsy adalah sindrom klinis gangguan saraf facialis yang bersifat
perifer. Kelumpuhan n.facialis, terjadi secara akut dan penyebabnya tidak
diketahui (idiopatik) atau tidak menyertai penyakit lain yang dapat mengakibatkan
lesi n.facialis.
Gambaran klinis bells palsy dapat berupa hilangnya semua gerakan
volunter pada kelumpuhan total. Pada sisi wajah yang terkena, ekspresi akan
menghilang sehingga lipatan nasolabialis akan menghilang, sudut mulut menurun,
bila minum atau berkumur air menetes dari sudut ini dan lagoftalmus.
Penatalaksanaannya dengan terapi medikamentosa yaitu kortikosteroid,
vitamin B1, B6 dan B12, analgesic, penggunaan obat antiviral (acyclovir). Juga
dilakukan rehabilitasi medik, perawatan mata seperti memakai obat salep mata
(golongan artifial tears), memakai kaca mata, kelopak mata diplaster dan jika
keadaan terlalu berat pada lagoftalmusdilakukan tarsorafi ataupun blefarofati.
DAFTAR PUSTAKA
Fisioterapi div ums. 2009. Bells Palsy. http://fisterdiv07ums.blogspot.com/
(diakses pada tanggal 17 februari 2016)
Ginsberg I. 2008.Neurologi.Jakarta: Erlangga
Hardi. 2008. Bells Palsy. http://www.anunda.com/support/no-mind.htm
(diakses pada tangal 17 Februari 2016)
Lowis H., Gaharu M. N. 2012. Bels Palsy, Diagnosis and Management in
Primary Case.Journal Indon Med Assoc. 2012:62, No. 1 (32-37)
Nurdin,MoslemHendra,2010,BellPalsy
http://coolhendra.blogspot.com/2010.blogspot.com/2010/08/bell-palsy.html
(diakses tanggal 17 Februari 2016)