Anda di halaman 1dari 17

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA
3.1
Anatomi dan Fisiologi Hepar
Hepar mempunyai dua facies (permukaan), yaitu:
1. Facies diaphragmatika
Facies diaphragmatika adalah sisi hepar yang menempel di permukaan
bawah diafragma, facies ini berbentuk konveks. Facies diafragmatika dibagi
menjadi facies anterior, superior, posterior, dan dekstra yang batasan satu sama
lainnya tidak jelas, kecuali dimana margo inferior yang tajam terbentuk. Abses
hati dapat menyebar ke sistem pulmonum melalui facies diafragmatika ini
secara perkontinuitatum. Abses menembus diafragma dan akan timbul efusi
pleura, empiema abses pulmonum atau penumonia.
2. Facies visceralis (inferior)
Facies viseralis adalah permukaan hepar yang menghadap ke inferior,
berupa struktur-struktur yang tersusun membentuk huruf H. Pada bagian
tengahnya terletak porta hepatis (hilus hepar). Sebelah kanannya terdapat vena
kava inferior dan vesika fellea. Sebelah kiri porta hepatis terbentuk dari
kelanjutan fisura untuk ligamnetum venosum dan ligamentum teres. Di bagian
vena kava terdapat area nuda yang berbentuk segitiga dengan vena kava
sebagai dasarnya dan sisi-sisinya terbentuk oleh ligamentum koronarius
bagian atas dan bawah.
Struktur yang ada pada permukaan viseral adalah porta hepatis, omentum
minus yang berlanjut hingga fissura ligamen venosum, impresio ginjal kanan
dan glandula supra renal, bagian kedua duodenum, fleksura colli dekstra,
vesika fellea, lobus kuadratus, fissura ligamentum teres dan impresio gaster.
Facies viseralis ini banyak bersinggungan dengan organ intestinal lainnya
sehingga infeksi dari organ-organ intestinal tersebut dapat menjalar ke hepar.

Gambar 3.1. Anatomi Hepar


Hepar diperdarahi oleh arteri hepatika yang bercabang menjadi kiri dan
kanan dalam porta hepatis. Cabang kanan melintas di posterior duktus hepatis dan
di hepar menjadi segmen anterior dan posterior. Cabang kiri menjadi medial dan
lateral. Arteri hepatika merupakan cabang dari trunkus coeliacus (berasal dari
aorta abdominalis) dan memberikan pasokan darah sebanyak 20% darah ke hepar.
Aliran darah dari seluruh traktus gastrointestinal dibawa menuju ke hepar
oleh vena porta hepatis cabang kiri dan kanan. Vena ini mengandung darah yang
berisi produk-produk digestif dan di metabolisme hepar. Cabang dari vena ini
berjalan diantara lobulus dan berakhir di sinusoid. Darah meninggalkan hepar
melalui vena sentralis dari setiap lobulus yang mengalir melalui vena hepatika.
Peradangan pada vena porta dapat menyebabkan abses pada hepar dikarenakan
aliran vena porta ke hepar.

Gambar 3.2. Aliran vena pada hepar


Persarafan pada hepar diinervasi oleh dua nervus, yaitu nervus simpatikus
yang berasal dari ganglion seliakus, berjalan bersama pembuluh darah pada
ligamentum hepatogastrika dan masuk porta hepatis, dan nervus vagus dari
trunkus sinistra yang mencapai porta hepatis menyusuri kurvatura minor gaster
dalam omentum.
Aliran limfatik hepar menuju nodus yang terletak pada porta hepatis
(nodus hepatikus). Jumlahnya sebanyak 3-4 buah. Nodi ini juga menerima aliran
limfe dari vesika fellea. Dari nodus hepatikus, limfe dialirkan (sesuai perjalanan
arteri) ke nodus retropilorikus dan nodus seliakus.6
Hati terbagi menjadi 8 segmen berdasarkan percabangan arteri hepatis,
vena porta dan duktus pankreatikus sesuai dengan segi praktisnya terutama untuk
keperluan reseksi bagian pada pembedahan. Pars hepatis dekstra dibagi menjadi
divisi medialis dekstra (segmentum anterior medialis dekstra dan segmentum
posterior medialis dekstra) dan divisi lateralis dekstra (segmentum anterior
lateralis dekstra dan segmantum posterior lateralis dekstra).
Pars hepatis sinistra
3
dibagi menjadi pars post hepatis lobus kaudatus, divisio lateralis sinistra

(segmantum posterior lateralis sinistra dan segmantum anterior lateralis sinistra)


dan divisio medialis sinistra (segmentum medialis sinistra).4,5

Gambar 3.3. Segmen hepar


Secara mikroskopis di dalam hati manusia terdapat 50.000-100.000 lobuli.
Setiap lobulus berbentuk heksagonal yang terdiri atas sel hati berbentuk kubus
yang tersusun radial mengellilingi vena sentralis. Diantara lembaran sel hati
terdapat kapiler yang disebut sinusoid yang merupakan cabang vena porta dan
arteri hepatika. Sinusoid dibatasi oleh sel fagositik (sel kupffler) yang merupakan
sistem retikuloendotelial dan berfungsi menghancurkan bakteri dan benda asing
dalam tubuh, jadi hati merupakan organ utama pertahanan tubuh terhadap
serangan bakteri dan organ toksik. Selain cabang-cabang vena porta dan arteri
hepatika yang mengelilingi lobulus hati, juga terdapat saluran empedu yang
membentuk kapiler empedu yang dinamakan kanalikuli empedu yang berjalan
antara lembaran sel hati.
Hati terdiri atas bermacam-macam sel. Hepatosit meliputi 60% sel hati,
sisanya adalah sel-sel epitelial sistem empedu dan sel-sel non parenkim yang
termasuk di dalamnya endotelium, sel kupffler, dan sel stellata yang berbentuk
seperti bintang. Hepatosit dipisahkan oleh sinusoid yang melingkari eferen vena
4

hepatika dan duktus hepatikus. Membran hepatosit berhadapan langsung dengan


sinusoid yang mempunyai banyak mikrofili. Mikrofili juga tampak pada sisi lain

sel yang membatasi saluran empedu dan merupakan penunjuk tempat permulaan
sekresi empedu. Permukaan lateral hepatosit memiliki sambungan penghubung
dan desmosom yang saling bertautan dengan sebelahnya. Sinusoid hati merupakan
lapisan endotelial berpori yang dipisahkan dari hepatosit oleh ruang Disse (ruang
perisinusoidal).4

Gambar 3.4. Gambaran mikroskopis hepar


Hati mempunyai fungsi yang sangat beraneka ragam. Fungsi utama hati
adalah pembentukkan dan ekskresi empedu. Hati mengekskresikan empedu
sebanyak 1 liter per hari ke dalam usus halus. Garam empedu, lesitin, dan
kolesterol merupakan komponen terbesar (90%) cairan empedu, sisanya (10%)
adalah bilirubin, asam lemak dan garam empedu. Empedu yang dihasilkan ini
sangat berguna bagi percernaan terutama untuk menetralisir racun terutama obatobatan dan bahan bernitrogen seperti amonia. Bilirubin merupakan hasil akhir
metabolisme dan walaupun secara fisiologis tidak berperan aktif, tetapi penting
sebagai indikator penyakit hati dan saluran empedu, karena bilirubin dapat
memberi warna pada jaringan dan cairan yang berhubungan dengannya.
Sirkulasi vena porta yang memberikan suplai darah 75% dari seluruh
asupan asinus memegang peranan penting dalam fisiologi hati, terutama dalam hal
metabolisme karbohidrat, protein dan asam lemak. Hasil metabolisme
monosakarida dari usus halus diubah menjadi glikogen dan disimpan di hati
(glikogenesis). Dari pasokan glikogen ini diubah menjadi glukosa secara spontan
5

ke darah (glikogenolisis) untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Sebagian glukosa


dimetabolisme dalam jaringan untuk menghasilkan tenaga dan sisanya diubah

menjadi glikogen (yang disimpan dalam otot) atau lemak (yang disimpan dalam
jaringan subkutan). Pada zona-zona hepatosit yang oksigenasinya lebih baik,
kemampuan glukoneogenesis dan sintesis glutation lebih baik dibandingkan zona
lainnya. Fungsi hati dalam metabolisme protein adalah mengasilkan protein
plasma berupa albumin, protrombin, fibrinogen, dan faktor bekuan lainnya.
Fungsi hati dalam metabolisme lemak adalah menghasilkan lipoprotein dan
kolesterol, fosfolipid dan asam asetoasetat.
Hati merupakan komponen sentral sistem imun. Sel kupffler yang
merupakan 15% massa hati dan 80% dari total populasi fagosit tubuh, merupakan
sel yang sangat penting dalam menanggulangi antigen yang berasal dari luar tubuh
dan mempresentasikan antigen tersebut kepada limfosit.7
3.2
3.2.1

Abses Hepar
Definisi
Abses hepar merupakan infeksi pada hati yang disebabkan oleh infeksi

bakteri, parasit, jamur, maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem GIT,
ditandai dengan proses supurasi dengan pembentukan pus, terdiri dari jaringan
hepar nekrotik, sel inflamasi, sel darah dalam parenkim hepar.1
Hati adalah organ yang paling sering untuk terjadinya abses. Dari suatu
studi di Amerika, didapatkan 13% abses hati dari 48% abses viseral. Abses hati
dapat berbentuk soliter maupun multipel. Hal ini dapat terjadi dari penyebaran
hematogen maupun secara langsung dari tempat terjadinya infeksi di dalam
rongga peritoneum. Hati menerima darah secara sistemik maupun melalui
sirkulasi vena portal, hal ini memungkinkan terinfeksinya hati oleh karena
paparan bakteri yang berulang, tetapi dengan adanya sel Kuppfer yang membatasi
sinusoid hati akan menghindari terinfeksinya hati oleh bakteri tersebut.1,10
3.2.2

Epidemiologi
Di negara negara yang sedang berkembang, AHA didapatkan secara

endemik dan jauh lebih sering dibandingkan AHP. AHP ini tersebar di seluruh
dunia, dan terbanyak di daerah tropis dengan kondisi hygiene/sanitasi yang
6

kurang. Secara epidemiologi, didapatkan 8 15 per 100.000 kasus AHP yang


memerlukan perawatan di RS, dan dari beberapa kepustakaan Barat, didapatkan

prevalensi autopsi bervariasi antara 0,291,47% sedangkan prevalensi di RS


antara 0,0080,016%. AHP lebih sering terjadi pada pria dibandingkan
perempuan, dengan rentang usia berkisar lebih dari 40 tahun, dengan insidensi
puncak pada dekade ke 6. 1
Hampir 10 % penduduk dunia terutama negara berkembang terinfeksi
E.histolytica tetapi hanya 1/10 yang memperlihatkan gejala. Insidens amubiasis
hati di rumah sakit seperti Thailand berkisar 0,17 % sedangkan di berbagai rumah
sakit di Indonesia berkisar antara 5-15% pasien/tahun. Penelitian di Indonesia
menunjukkan perbandingan pria dan wanita berkisar 3:1 sampai 22:1, yang
tersering pada dekade keempat. Penularan umumnya melalui jalur oral-fekal dan
dapat juga oral-anal-fekal. Kebanyakan yang menderita amubiasis hati adalah pria
dengan rasio 3,4-8,5 kali lebih sering dari wanita. Usia yang sering dikenai
berkisar antara 20-50 tahun terutama dewasa muda dan lebih jarang pada anak.
Infeksi E.histolytica memiliki prevalensi yang tinggi di daerah subtropikal dan
tropikal dengan kondisi yang padat penduduk, sanitasi serta gizi yang buruk. 2,7
3.2.3 Etiologi dan Patogenesis
A. Abses Hepar Amoebik
Abses hati amoebik disebabkan oleh strain virulen Entamoeba
hystolitica yang tinggi. Entamoeba histolytica adalah protozoa usus kelas
Rhizopoda yang mengadakan pergerakan menggunakan pseupodia/kaki
semu. Terdapat 3 bentuk parasit, yaitu tropozoit yang aktif bergerak dan
bersifat invasif, mampu memasuki organ dan jaringan, bentuk kista yang
tidak aktif bergerak dan bentuk prakista yang merupakan bentuk antara
kedua stadium tersebut. Tropozoit adalah bentuk motil yang biasanya
hidup komensal di dalam usus. Dapat bermultiplikasi dengan cara
membelah diri menjadi 2 atau menjadi kista. Tumbuh dalam keadaan
anaerob dan hanya perlu bakteri atau jaringan untuk kebutuhan zat gizinya.
Tropozoit besar sangat aktif bergerak, mampu memangsa eritrosit,
mengandung protease yaitu hialuronidase dan mukopolisakaridase yang
mampu mengakibatkan destruksi jaringan. Bentuk tropozoit ini akan mati
7

dalam suasana kering atau asam. Bila tidak diare/disentri tropozoit akan
membentuk kista sebelum keluar ke tinja.2,6

Kista akan berinti 4 setelah melakukan 2 kali pembelahan dan


berperan dalam penularan karena tahan terhadap perubahan lingkungan,
tahan asam lambung dan enzim pencernaan. Kista infektif mempunyai 4
inti merupakan bentuk yang dapat ditularkan dari penderita atau karier ke
manusia lainnya. Kista berbentuk bulat dengan diameter 8-20 um, dinding
kaku.2,9
E.hystolitica

dalam 2

bentuk,

baik

bentuk

trofozoit

yang

menyebabkan penyakit invasif maupun kista bentuk infektif yang dapat


ditemukan pada lumen usus. Bentuk kista tahan terhadap asam lambung
namun dindingnya akan diurai oleh tripsin dalam usus halus. Kemudian
kista pecah dan melepaskan trofozoit yang kemudian menginvasi lapisan
mukosa usus. Amuba ini dapat menjadi patogen dengan mensekresi enzim
cysteine protease, sehingga melisiskan jaringan maupun eritrosit dan
menyebar keseluruh organ secara hematogen dan perkontinuinatum.
Amoeba yang masuk ke submukosa memasuki kapiler darah, ikut dalam
aliran darah melalui vena porta ke hati. Di hati E.hystolitica mensekresi
enzim proteolitik yang melisis jaringan hati, dan membentuk abses. Di hati
terjadi fokus akumulasi neutrofil periportal yang disertai nekrosis dan
infiltrasi granulomatosa. Lesi membesar, bersatu, dan granuloma diganti
dengan nekrotik. Bagian nekrotik ini dikelilingi kapsul tipis seperti
jaringan fibrosa. Lokasi yang sering adalah di lobus kanan (70% - 90%)
karena lobus kanan menerima darah dari arteri mesenterika superior dan
vena portal sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri mesenterika
inferior dan aliran limfatik. Dinding abses bervariasi tebalnya,bergantung
pada lamanya penyakit. Secara klasik, cairan abses menyerupai achovy
paste dan berwarna coklat kemerahan, sebagai akibat jaringan hepar serta
sel darah merah yang dicerna.2,8,12
B. Abses Hepar Piogenik
Etiologi AHP adalah

enterobacteriaceae,
8

microaerophilic

streptococci, anaerobic streptococci, klebsiella pneumoniae, bacteriodes,


fusobacterium, staphylococcus aureus, staphylococcus milleri, candida

albicans,

aspergillus,

actinomyces,

eikenella

corrodens,

yersinia

enterolitica, salmonella typhi, brucella melitensis, dan fungal. Organisme


penyebab yang paling sering ditemukan adalah E.Coli, Klebsiella
pneumoniae, Proteus vulgaris, Enterobacter aerogenes dan spesies dari
bakteri anaerob (contohnya Streptococcus Milleri). Staphylococcus aureus
biasanya organisme penyebab pada pasien yang juga memiliki penyakit
granuloma yang kronik. Organisme yang jarang ditemukan sebagai
penyebabnya adalah Salmonella, Haemophillus, dan Yersinia. Kebanyakan
abses hati piogenik adalah infeksi sekunder di dalam abdomen.1,7,10,11
Bakteri piogenik dapat memperoleh akses ke hati dengan ekstensi
langsung dari organ-organ yang berdekatan atau melalui vena portal atau
arteri hepatika. Adanya penyakit sistem biliaris sehingga terjadi obstruksi
aliran empedu akan menyebabkan terjadinya proliferasi bakteri. Adanya
tekanan dan distensi kanalikuli akan melibatkan cabang-cabang dari vena
portal dan limfatik sehingga akan terbentuk formasi abses fileflebitis.
Mikroabses yang terbentuk akan menyebar secara hematogen sehingga
terjadi bakteremia sistemik. Penetrasi akibat trauma tusuk akan
menyebabkan inokulasi bakteri pada parenkim hati sehingga terjadi AHP.
Penetrasi akibat trauma tumpul menyebabkan nekrosis hati, perdarahan
intrahepatik dan terjadinya kebocoran saluran empedu sehingga terjadi
kerusakan dari kanalikuli. Kerusakan kanalikuli menyebabkan masuknya
bakteri ke hati dan terjadi pembentukan pus. Lobus kanan hati lebih sering
terjadi AHP dibanding lobus kiri, kal ini berdasarkan anatomi hati, yaitu
lobus kanan menerima darah dari arteri mesenterika superior dan vena
portal sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri mesenterika
3.2.4

inferior dan aliran limfatik.1


Manifestasi Klinis
A. Abses Hepar Amoebik 2,8,9
Gejala yang dapat timbul pada abses hepar amoebik, yaitu:
1. Demam internitten (38-40oC)
2. Nyeri perut kanan atas, kadang nyeri
9 epigastrium dan dapat
menjalar hingga bahu kanan dan daerah skapula
3. Anoreksia
4. Nausea

5. Vomitus
6. Keringat malam
7. Berat badan menurun
8. Batuk
9. Pembengkakan perut kanan atas
10. Ikterus
11. Buang air besar berdarah
12. Kadang ditemukan riwayat diare
Kelainan fisik:
1. Ikterus
2. Temperatur naik
3. Malnutrisi
4. Hepatomegali yang nyeri spontan atau nyeri tekan atau disertai
komplikasi
5. Nyeri perut kanan atas
6. Fluktuasi
B. Abses Hepar Piogenik 1,2,8
Gambaran klinis abses hepar piogenik menunjukkan manifestasi
sistemik yang lebih berat dari abses hepar amoebik, yaitu:
1. Demam yang sifatnya dapat remitten, intermitten atau kontinyu
yang disertai menggigil
2. Nyeri spontan perut kanan atas ditandai dengan jalan membungkuk
ke depan dan kedua tangan diletakkan di atasnya.
3. Mual dan muntah
4. Berkeringat malam
5. Malaise dan kelelahan
6. Berat badan menurun
7. Berkurangnya nafsu makan
8. Anoreksia
Pemeriksaan fisik:
1. Hepatomegali
2. Nyeri tekan perut kanan
3. Ikterus, namun jarang terjadi

10

4. Kelainan paru dengan gejala batuk, sesak nafas serta nyeri pleura
5. Buang air besar berwarna seperti kapur
6. Buang air kecil berwarna gelap
7. Splenomegali pada AHP yang telah menjadi kronik
3.2.5

Diagnosis
Penegakan diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan

fisik, laboratorium, serta pemeriksaan penunjang. Terkadang diagnosis abses


hepar sulit ditegakkan karena gejalanya yang kurang spesifik. Diagnosis dini
memberikan arti yang sangat penting dalam pengelolaannya karena penyakit ini
sebenarnya dapat disembuhkan. Diagnosis yang terlambat akan meningkatkan
morbiditas dan mortalitasnya. Pada beberapa pasien kadang sudah dapat terlihat
abses hepar secara inspeksi dikarenakan abses telah menembus kulit sehingga
terlihat dari luar. Terdapat nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen, selain
itu didapatkan hepatomegali yang teraba sebesar tiga jari sampai enam jari arcuscostarum. Pemeriksaan lain-lain seperti foto toraks dan foto polos abdomen
digunakan untuk mendeteksi kelainan atau komplikasi yang ditimbulkan oleh
amebiasis hati. Diagnosa pasti adalah melalui USG dan CT Scan yang
sensitivitasnya sekitar 85-95%.1,2,8
Kriteria diagnostik untuk hepatic amoebiasis menurut Lamont dan Pooler :
1. Pembesaran hati yang nyeri tekan pada orang dewasa.
2. Respons yang baik terhadap obat anti amoeba.
3. Hasil pemeriksaan hematologis yang menyokong : leukositosis.
4. Pemeriksaan Rontgen (PA Lateral) yang menyokong.
5. Trophozoit E. histolytica positif dalam pus hasil aspirasi.
6. "Scintiscanning" hati adanya "filling defect".
7. "Amoeba Hemaglutination" test positif
Pemeriksaan laboratorium

11

Pada pemeriksaan laboratorium yang diperiksa adalah darah rutin yaitu


kadar Hb darah, jumlah leukosit darah, kecepatan endap darah dan percobaan

fungsi hati, termasuk kadar bilirubin total, total protein dan kadar albumin dan
glubulin dalam darah. Banyak penderita abses hepar tidak mengalami perubahan
bermakna pada tes laboratoriumnya. Pada penderita akut anemia tidak terlalu
tampak tetapi menunjukkan leukositosis yang bermakna sementara penderita
abses hepar kronis justru sebaliknya. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
leukositosis yang tinggi dengan pergeseran ke kiri, anemia, peningkatan laju
endap darah, peningkatan alkalin fosfatase, peningkatan enzim transaminase dan
serum bilirubin, berkurangnya kadar albumin serum dan waktu protrombin yang
memanjang menunjukan bahwa terdapat kegagalan fungsi hati yang disebabkan
abses hati. Abnormalitas tes fungsi hati lebih jarang terjadi dan lebih ringan pada
abses hati amoebik dibanding abses hati piogenik. Hiperbilirubinemia didapatkan
hanya pada 10% penderita abses hepar. Karena pada abses hepar amoebik terjadi
proses destruksi parenkim hati, maka PPT (plasma protrombin time) meningkat.2,7
Serologis
Pemeriksaan serologi yang dapat dilakukan meliputi IHA (Indirect
Hemagglutination), GDP (Gel Diffusion Precipitin), ELISA (Enzyme-linked
Immunosorbent

Assay),

counterimmunelectrophoresis,

indirect

immunofluorescence, dan complement fixation. IHA dan GDP merupakan


prosedur yang paling sering digunakan. IHA dianggap positif jika pengenceran
melampaui 1:128. Sensitivitasnya mencapai 95%. Bila tes tersebut diulang,
sensitivitasnya dapat mencapai 100%. IHA sangat spesifik untuk amubiasis
invasif. Tetapi, hasil yang positif bisa didapatkan sampai 20 tahun setelah infeksi
mereda. GDP meskipun dapat mendeteksi 95% abses hepar karena amuba. Juga
mendeteksi colitis karena amuba yang non-invasif. Jadi, tes ini sensitif, tetapi
tidak spesifik untuk abses amuba hepar. Namun demikian, GDP mudah
dilaksanakan, dan jarang sekali tetap positif sampai 6 bulan setelah sembuhnya
abses. Karena itu, bila pada pemeriksaan radiologi ditemukan lesi "space
occupying" di hepar, GDP sangat membantu untuk memastikan apakah kelainan
tersebut disebabkan amuba.2,9

12

Pemeriksaan penunjang
USG memiliki sensitivitas yang sama dengan CT scan dalam
mengidentifikasi abses hepar. Rendahnya biaya dan sifat non-radiasi membuat
USG menjadi pilihan untuk mendiagnosis abses hepar. Abses hepar amoebik
biasanya besar dan multipel.2 Menurut Middlemiss (I964) gambaran radiologis
dari abses hati adalah sebagai berikut:
1. Peninggian dome dari diafragma kanan.
2. Berkurangnya gerak dari dome diafragma kanan.
3. Pleural efusion.
4. Kolaps paru.
5. Abses paru.
Pada CT scan gambarannya sebagai berikut:
1. Hipoekoik
2. Massa oval dengan batas tegas
3. Non-homogen
USG:
1. Bentuk bulat atau oval
2. Tidak ada gema dinding yang berarti
3. Ekogenitas lebih rendah dari parenkim hati normal.
4. Bersentuhan dengan kapsul hati
5. Peninggian sonik distal (distal enhancement)

Gambar 3.5. Gambaran CT Scan dan USG pada abses hepar


13

3.2.6

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan secara konvensional adalah dengan drainase terbuka


secara operasi dan antibiotika spektrum luas oleh karena bakteri penyebab abses
terdapat di dalam cairan abses yang sulit dicapai dengan antibiotika tunggal tanpa
aspirasi cairan abses. Penatalaksanaan saat ini adalah dengan drainase perkutaneus
abses intraabdominal dengan tuntutan abdomen ultrasound atau tomografi
komputer, komplikasi yang bisa terjadi adalah perdarahan, perforasi organ intra
abdominal dan infeksi, atau malah terjadi kesalahan dalam penempatan kateter
drainase. Kadang pada abses hati piogenik multipel diperlukan reseksi hati.
A. Antibiotik
Terapi medikamentosa adalah antibiotik yang bersifat amubisid seperti
metronidazol atau tinidazol. Dosis 50 mg/kgBB/hari diberikan tiga kali sehari
selama 10 hari, dapat menyembuhkan 95% penderita abses amuba hepar.
Pemberian intravena sama efektifnya, diperlukan pada penderita yang mengalami
rasa mual atau pada penderita yang keadaan umumnya buruk. Hasil yang positif
pada pemberian metronidazol secara empiris dapat memperkuat diagnosis abses
amuba hepar. Perbaikan gejala klinis terjadi dalam beberapa hari dan pemeriksaan
radiologis menunjukkan penurunan ukuran abses dalam 7 sampai 10 hari.
Metronidazol mudah didapat dan aman, walaupun merupakan kontraindikasi pada
kehamilan. Efek samping yang dapat terjadi ialah mual dan rasa logam. Neuropati
perifer kadang-kadang dapat terjadi. Emetin, dehidroemetin, dan klorokuin
berguna pada abses amuba hepar yang mengalami komplikasi atau bila
pengobatan dengan metronidazol gagal. Emetin dan dehidroemetin diberikan
secara intramuskular. Emetin memiliki "therapeutic range" yang sempit. Dapat
terjadi proaritmia, efek kardiotoksik yang diakibatkan akumulasi dosis obat.
Penderita yang mendapat obat ini harus tirah baring dan dilakukan pemantauan
vital sign secara teratur. Emetin dan dehidroemetin diindikasikan terutama untuk
penderita yang mengalami komplikasi paru, karena biasanya keadaan umumnya
buruk dan memerlukan terapi "multidrug" untuk mempercepat perbaikan gejala
klinis. Kombinasi klorokuin dan emetin dapat menyembuhkan
90% penderita
14
amubiasis ekstrakolon yang resisten.
B. Aspirasi

Selain diberi antibiotika, terapi abses juga dilakukan dengan aspirasi. Dalam
hal ini, aspirasi berguna untuk mengurangi gejala-gejala penekanan dan
menyingkirkan adanya infeksi bakteri sekunder. Aspirasi juga mengurangi risiko
ruptur pada abses yang volumenya lebih dari 250 ml, atau lesi yang disertai rasa
nyeri hebat dan elevasi diafragma. Aspirasi juga bermanfaat bila terapi dengan
metronidazol merupakan kontraindikasi seperti pada kehamilan. Aspirasi bisa
dilakukan secara buta, tetapi sebaiknya dilakukan dengan tuntunan ultrasonografi
sehingga dapat mencapai ssaran yang tepat. Aspirasi dapat dilakukan secara
berulang-ulang secara tertutup atau dilanjutkan dengan pemasangan kateter
penyalir. Pada semua tindakan harus diperhatikan prosedur aseptik dan antiseptik
untuk mencegah infeksi sekunder.
C. Drainase Perkutan
Drainase perkutan berguna pada penanganan komplikasi paru, peritoneum,
dan perikardial. Tingginya viskositas cairan abses amuba memerlukan kateter
dengan diameter yang besar untuk drainase yang adekuat. Infeksi sekunder pada
rongga abses setelah dilakukan drainase perkutan dapat terjadi.
D. Operasi
Pembedahan diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil
membaik dengan cara yang lebih konservatif. Laparotomi diindikasikan untuk
perdarahan yang jarang terjadi tetapi mengancam jiwa penderita, disertai atau
tanpa adanya ruptur abses. Tindakan operasi juga dilakukan bila abses amuba
mengenai sekitarnya. Penderita dengan septikemia karena abses amuba yang
mengalami infeksi sekunder juga dicalonkan untuk tindakan bedah, khususnya
bila usaha dekompresi perkutan tidak berhasil. Jika tindakan laparotomi
dibutuhkan, maka dilakukan dengan sayatan subkostal kanan. Abses dibuka,
dilakukan penyaliran, dicuci dengan larutan garam fisiologik dan larutan
antibiotik serta dengan ultrasonografi intraoperatif. Indikasi operasi pada abses
hepar antara lain:

Terapi antibiotika gagal

Aspirasi tidak berhasil

15

Abses tidak dapat dijangkau dengan aspirasi ataupun drainase

Adanya komplikasi intraabdominal

Kontraindikasi operasi pada abses hepar antara lain:

Abses multipel

Infeksi polimikrobakteri

Immunocompromise dissease

E. Hepatektomi
Dewasa ini dilakukan hepatektomi yaitu pengangkatan lobus hati yang terkena
abses. Hepatektomi dapat dilakukan pada abses tunggal atau multipel, lobus kanan
atau kiri, juga pada pasien dengan penyakit saluran empedu. Tipe reseksi
hepatektomi tergantung dari luas daerah hati yang terkena abses juga disesuaikan
dengan perdarahan lobus hati.2
3.2.7

Komplikasi
A. Abses Hepar Amoebik
Komplikasi yang paling sering adalah ruptur abses sebesar 5-5,6%.
Ruptur dapat terjadi ke pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal
atau kulit. Kadang-kadang dapat terjadi superinfeksi, terutama setelah
aspirasi atau drainase. Infeksi pleuropneumonal adalah komplikasi
yang

paling

umum

terjadi.

Mekanisme

infeksi

termasuk

pengembangan efusi serosa simpatik, pecahnya abses hati ke dalam


rongga dada yang dapat menyebabkan empiema, serta penyebaran
hematogen sehingga terjadi infeksi parenkim. Fistula hepatobronkial
dapat

menyebabkan

batuk

produktif

dengan

bahan

nekrotik

mengandung amoeba. Fistula bronkopleural mungkin jarang terjadi.


Komplikasi pada jantung biasanya dikaitkan pecahnya abses pada
lobus kiri hati dimana ini dapat menimbulkan kematian. Pecah atau
rupturnya abses dapat ke organ-organ peritonium dan mediastinum.
16

Kasus pseudoaneurysm arteri hepatika telah dilaporkan terjadi sebagai


komplikasi.12

B. Abses Hepar Piogenik


Saat diagnosis ditegakkan, menggambarkan keadaan penyakit berat
seperti septikamia/bakterimia dengan mortalitas 85%, ruptur abses hati
disertai peritonitis generalisata dengan mortalitas 6-7%, kelainan
pleuropulmonal, gagal hati, perdarahan ke dalam rongga abses,
hemobilia, empiema, fistula hepatobronkial, ruptur ke dalam perikard
atau retroperineum. Sesudah mendapatkan terapi, sering terjadi diatesis
hemoragik, infeksi luka, abses rekuren, perdarahan sekunder dan
terjadi rekurensi atau reaktifasi abses.1
3.2.8

Prognosis
Prognosis abses hati tergantung dari investasi parasit, daya tahan host,

derajat dari infeksi, ada tidaknya infeksi sekunder, komplikasi yang terjadi, dan
terapi yang diberikan. Prognosis yang buruk, apabila terjadi keterlambatan
diagnosis dan pengobatan, jika hasil kultur darah yang memperlihatkan penyebab
bakterial organisme multipel, tidak dilakukan drainase terhadap abses, adanya
ikterus, hipoalbuminemia, efusi pleura atau adanya penyakit lain.1

17

Anda mungkin juga menyukai