TINJAUAN PUSTAKA
3.1
Anatomi dan Fisiologi Hepar
Hepar mempunyai dua facies (permukaan), yaitu:
1. Facies diaphragmatika
Facies diaphragmatika adalah sisi hepar yang menempel di permukaan
bawah diafragma, facies ini berbentuk konveks. Facies diafragmatika dibagi
menjadi facies anterior, superior, posterior, dan dekstra yang batasan satu sama
lainnya tidak jelas, kecuali dimana margo inferior yang tajam terbentuk. Abses
hati dapat menyebar ke sistem pulmonum melalui facies diafragmatika ini
secara perkontinuitatum. Abses menembus diafragma dan akan timbul efusi
pleura, empiema abses pulmonum atau penumonia.
2. Facies visceralis (inferior)
Facies viseralis adalah permukaan hepar yang menghadap ke inferior,
berupa struktur-struktur yang tersusun membentuk huruf H. Pada bagian
tengahnya terletak porta hepatis (hilus hepar). Sebelah kanannya terdapat vena
kava inferior dan vesika fellea. Sebelah kiri porta hepatis terbentuk dari
kelanjutan fisura untuk ligamnetum venosum dan ligamentum teres. Di bagian
vena kava terdapat area nuda yang berbentuk segitiga dengan vena kava
sebagai dasarnya dan sisi-sisinya terbentuk oleh ligamentum koronarius
bagian atas dan bawah.
Struktur yang ada pada permukaan viseral adalah porta hepatis, omentum
minus yang berlanjut hingga fissura ligamen venosum, impresio ginjal kanan
dan glandula supra renal, bagian kedua duodenum, fleksura colli dekstra,
vesika fellea, lobus kuadratus, fissura ligamentum teres dan impresio gaster.
Facies viseralis ini banyak bersinggungan dengan organ intestinal lainnya
sehingga infeksi dari organ-organ intestinal tersebut dapat menjalar ke hepar.
sel yang membatasi saluran empedu dan merupakan penunjuk tempat permulaan
sekresi empedu. Permukaan lateral hepatosit memiliki sambungan penghubung
dan desmosom yang saling bertautan dengan sebelahnya. Sinusoid hati merupakan
lapisan endotelial berpori yang dipisahkan dari hepatosit oleh ruang Disse (ruang
perisinusoidal).4
menjadi glikogen (yang disimpan dalam otot) atau lemak (yang disimpan dalam
jaringan subkutan). Pada zona-zona hepatosit yang oksigenasinya lebih baik,
kemampuan glukoneogenesis dan sintesis glutation lebih baik dibandingkan zona
lainnya. Fungsi hati dalam metabolisme protein adalah mengasilkan protein
plasma berupa albumin, protrombin, fibrinogen, dan faktor bekuan lainnya.
Fungsi hati dalam metabolisme lemak adalah menghasilkan lipoprotein dan
kolesterol, fosfolipid dan asam asetoasetat.
Hati merupakan komponen sentral sistem imun. Sel kupffler yang
merupakan 15% massa hati dan 80% dari total populasi fagosit tubuh, merupakan
sel yang sangat penting dalam menanggulangi antigen yang berasal dari luar tubuh
dan mempresentasikan antigen tersebut kepada limfosit.7
3.2
3.2.1
Abses Hepar
Definisi
Abses hepar merupakan infeksi pada hati yang disebabkan oleh infeksi
bakteri, parasit, jamur, maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem GIT,
ditandai dengan proses supurasi dengan pembentukan pus, terdiri dari jaringan
hepar nekrotik, sel inflamasi, sel darah dalam parenkim hepar.1
Hati adalah organ yang paling sering untuk terjadinya abses. Dari suatu
studi di Amerika, didapatkan 13% abses hati dari 48% abses viseral. Abses hati
dapat berbentuk soliter maupun multipel. Hal ini dapat terjadi dari penyebaran
hematogen maupun secara langsung dari tempat terjadinya infeksi di dalam
rongga peritoneum. Hati menerima darah secara sistemik maupun melalui
sirkulasi vena portal, hal ini memungkinkan terinfeksinya hati oleh karena
paparan bakteri yang berulang, tetapi dengan adanya sel Kuppfer yang membatasi
sinusoid hati akan menghindari terinfeksinya hati oleh bakteri tersebut.1,10
3.2.2
Epidemiologi
Di negara negara yang sedang berkembang, AHA didapatkan secara
endemik dan jauh lebih sering dibandingkan AHP. AHP ini tersebar di seluruh
dunia, dan terbanyak di daerah tropis dengan kondisi hygiene/sanitasi yang
6
dalam suasana kering atau asam. Bila tidak diare/disentri tropozoit akan
membentuk kista sebelum keluar ke tinja.2,6
dalam 2
bentuk,
baik
bentuk
trofozoit
yang
enterobacteriaceae,
8
microaerophilic
albicans,
aspergillus,
actinomyces,
eikenella
corrodens,
yersinia
5. Vomitus
6. Keringat malam
7. Berat badan menurun
8. Batuk
9. Pembengkakan perut kanan atas
10. Ikterus
11. Buang air besar berdarah
12. Kadang ditemukan riwayat diare
Kelainan fisik:
1. Ikterus
2. Temperatur naik
3. Malnutrisi
4. Hepatomegali yang nyeri spontan atau nyeri tekan atau disertai
komplikasi
5. Nyeri perut kanan atas
6. Fluktuasi
B. Abses Hepar Piogenik 1,2,8
Gambaran klinis abses hepar piogenik menunjukkan manifestasi
sistemik yang lebih berat dari abses hepar amoebik, yaitu:
1. Demam yang sifatnya dapat remitten, intermitten atau kontinyu
yang disertai menggigil
2. Nyeri spontan perut kanan atas ditandai dengan jalan membungkuk
ke depan dan kedua tangan diletakkan di atasnya.
3. Mual dan muntah
4. Berkeringat malam
5. Malaise dan kelelahan
6. Berat badan menurun
7. Berkurangnya nafsu makan
8. Anoreksia
Pemeriksaan fisik:
1. Hepatomegali
2. Nyeri tekan perut kanan
3. Ikterus, namun jarang terjadi
10
4. Kelainan paru dengan gejala batuk, sesak nafas serta nyeri pleura
5. Buang air besar berwarna seperti kapur
6. Buang air kecil berwarna gelap
7. Splenomegali pada AHP yang telah menjadi kronik
3.2.5
Diagnosis
Penegakan diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan
11
fungsi hati, termasuk kadar bilirubin total, total protein dan kadar albumin dan
glubulin dalam darah. Banyak penderita abses hepar tidak mengalami perubahan
bermakna pada tes laboratoriumnya. Pada penderita akut anemia tidak terlalu
tampak tetapi menunjukkan leukositosis yang bermakna sementara penderita
abses hepar kronis justru sebaliknya. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
leukositosis yang tinggi dengan pergeseran ke kiri, anemia, peningkatan laju
endap darah, peningkatan alkalin fosfatase, peningkatan enzim transaminase dan
serum bilirubin, berkurangnya kadar albumin serum dan waktu protrombin yang
memanjang menunjukan bahwa terdapat kegagalan fungsi hati yang disebabkan
abses hati. Abnormalitas tes fungsi hati lebih jarang terjadi dan lebih ringan pada
abses hati amoebik dibanding abses hati piogenik. Hiperbilirubinemia didapatkan
hanya pada 10% penderita abses hepar. Karena pada abses hepar amoebik terjadi
proses destruksi parenkim hati, maka PPT (plasma protrombin time) meningkat.2,7
Serologis
Pemeriksaan serologi yang dapat dilakukan meliputi IHA (Indirect
Hemagglutination), GDP (Gel Diffusion Precipitin), ELISA (Enzyme-linked
Immunosorbent
Assay),
counterimmunelectrophoresis,
indirect
12
Pemeriksaan penunjang
USG memiliki sensitivitas yang sama dengan CT scan dalam
mengidentifikasi abses hepar. Rendahnya biaya dan sifat non-radiasi membuat
USG menjadi pilihan untuk mendiagnosis abses hepar. Abses hepar amoebik
biasanya besar dan multipel.2 Menurut Middlemiss (I964) gambaran radiologis
dari abses hati adalah sebagai berikut:
1. Peninggian dome dari diafragma kanan.
2. Berkurangnya gerak dari dome diafragma kanan.
3. Pleural efusion.
4. Kolaps paru.
5. Abses paru.
Pada CT scan gambarannya sebagai berikut:
1. Hipoekoik
2. Massa oval dengan batas tegas
3. Non-homogen
USG:
1. Bentuk bulat atau oval
2. Tidak ada gema dinding yang berarti
3. Ekogenitas lebih rendah dari parenkim hati normal.
4. Bersentuhan dengan kapsul hati
5. Peninggian sonik distal (distal enhancement)
3.2.6
Penatalaksanaan
Selain diberi antibiotika, terapi abses juga dilakukan dengan aspirasi. Dalam
hal ini, aspirasi berguna untuk mengurangi gejala-gejala penekanan dan
menyingkirkan adanya infeksi bakteri sekunder. Aspirasi juga mengurangi risiko
ruptur pada abses yang volumenya lebih dari 250 ml, atau lesi yang disertai rasa
nyeri hebat dan elevasi diafragma. Aspirasi juga bermanfaat bila terapi dengan
metronidazol merupakan kontraindikasi seperti pada kehamilan. Aspirasi bisa
dilakukan secara buta, tetapi sebaiknya dilakukan dengan tuntunan ultrasonografi
sehingga dapat mencapai ssaran yang tepat. Aspirasi dapat dilakukan secara
berulang-ulang secara tertutup atau dilanjutkan dengan pemasangan kateter
penyalir. Pada semua tindakan harus diperhatikan prosedur aseptik dan antiseptik
untuk mencegah infeksi sekunder.
C. Drainase Perkutan
Drainase perkutan berguna pada penanganan komplikasi paru, peritoneum,
dan perikardial. Tingginya viskositas cairan abses amuba memerlukan kateter
dengan diameter yang besar untuk drainase yang adekuat. Infeksi sekunder pada
rongga abses setelah dilakukan drainase perkutan dapat terjadi.
D. Operasi
Pembedahan diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil
membaik dengan cara yang lebih konservatif. Laparotomi diindikasikan untuk
perdarahan yang jarang terjadi tetapi mengancam jiwa penderita, disertai atau
tanpa adanya ruptur abses. Tindakan operasi juga dilakukan bila abses amuba
mengenai sekitarnya. Penderita dengan septikemia karena abses amuba yang
mengalami infeksi sekunder juga dicalonkan untuk tindakan bedah, khususnya
bila usaha dekompresi perkutan tidak berhasil. Jika tindakan laparotomi
dibutuhkan, maka dilakukan dengan sayatan subkostal kanan. Abses dibuka,
dilakukan penyaliran, dicuci dengan larutan garam fisiologik dan larutan
antibiotik serta dengan ultrasonografi intraoperatif. Indikasi operasi pada abses
hepar antara lain:
15
Abses multipel
Infeksi polimikrobakteri
Immunocompromise dissease
E. Hepatektomi
Dewasa ini dilakukan hepatektomi yaitu pengangkatan lobus hati yang terkena
abses. Hepatektomi dapat dilakukan pada abses tunggal atau multipel, lobus kanan
atau kiri, juga pada pasien dengan penyakit saluran empedu. Tipe reseksi
hepatektomi tergantung dari luas daerah hati yang terkena abses juga disesuaikan
dengan perdarahan lobus hati.2
3.2.7
Komplikasi
A. Abses Hepar Amoebik
Komplikasi yang paling sering adalah ruptur abses sebesar 5-5,6%.
Ruptur dapat terjadi ke pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal
atau kulit. Kadang-kadang dapat terjadi superinfeksi, terutama setelah
aspirasi atau drainase. Infeksi pleuropneumonal adalah komplikasi
yang
paling
umum
terjadi.
Mekanisme
infeksi
termasuk
menyebabkan
batuk
produktif
dengan
bahan
nekrotik
Prognosis
Prognosis abses hati tergantung dari investasi parasit, daya tahan host,
derajat dari infeksi, ada tidaknya infeksi sekunder, komplikasi yang terjadi, dan
terapi yang diberikan. Prognosis yang buruk, apabila terjadi keterlambatan
diagnosis dan pengobatan, jika hasil kultur darah yang memperlihatkan penyebab
bakterial organisme multipel, tidak dilakukan drainase terhadap abses, adanya
ikterus, hipoalbuminemia, efusi pleura atau adanya penyakit lain.1
17