Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak


dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring
termasuk dalam lima besar tumor ganas , dengan frekwensi tertinggi (bersama tumor
ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening dan tumor kulit), sedangkan
didaerah kepala dan leher menduduki tempat pertama ( KNF mendapat persentase
hampir 60% dari tumor di daerah kepala dan leher, diikuti tumor ganas hidung dan
sinus paranasal 18%, laring 16%, dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring
dalam persentase rendah). Tumor ini berasal dari fossa Rosenmuller pada nasofaring
yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel
skuamosa.
Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF berdasarkan
data patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK Unair Surabaya
(1973 1976) diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh tubuh. Di Bagian THT
Semarang mendapatkan 127 kasus KNF dari tahun 2000 2002. Survei yang
dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara pathology based
mendapatkan angka prevalensi karsinoma nasofaring 4,7 per 100.000 penduduk atau
diperkirakan 7000 8000 kasus per tahun di seluruh Indonesia.
Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu
problem, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas
serta letak nasofaring yang tersembunyi,dan tidak mudah diperiksa oleh mereka yg
bukan ahli sehingga diagnosis sering terlambat, dengan ditemukannya metastasis
pada leher sebagai gejala pertama. Dengan makin terlambatnya diagnosis maka
prognosis ( angka bertahan hidup 5 tahun) semakin buruk.

Dengan melihat hal tersebut, diharapkan dokter dapat berperan dalam


pencegan, deteksi dini, terapi maupun rehabilitasi dari karsinoma nasofaring ini.
Untuk dapat bereperan dalam hal tersebut dokter perlu mengetahui terlebih dahulu
sega aspek dai kanker nasofaring ini, meliputi definisi, anatomi fisiologi nasofaring,
epidemiologi dan etiologi, gejala dan tanda, patofisiologi, diagnosis, komplikasi,
terapi maupun pencegahanya. Penulis berusaha untuk menuliskan semua aspek
tersebut dalam tinjauan pustaka refarat ini dan diharapkan dapat bermanfaat.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.

Anatomi dan Fisiologi Nasopharing

Nasopharing berbentuk kerucut dan selalu terbuka pada waktu respirasi karena
dindingnya dari tulang, kecuali dasarnya yang dibentuk oleh palatum molle.
Batas nasopharing:
Superior : basis kranii, diliputi oleh mukosa dan fascia
Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior,
bersifat subjektif karena tergantung dari palatum durum.
Anterior : choane, oleh os vomer dibagi atas choane kanan dan kiri.
Posterior : - vertebra cervicalis I dan II
- Fascia space = rongga yang berisi jaringan longgar
- Mukosa lanjutan dari mukosa atas
Lateral : - mukosa lanjutan dari mukosa atas dan belakang
- Muara tuba eustachii
- Fossa rosenmulleri

Bangunan yang penting pada nasopharing


3

Ostium tuba eustachii pars pharyngeal


Tuba eustachii merupakan kanal yang menghubungkan kavum nasi dan
nasopharyng dengan rongga telinga tengah. Mukosa ostium tuba tidak datar
tetapi menonjol seperti menara, disebut torus tubarius.
Torus tubarius
Fossa rosen mulleri
Adalah dataran kecil dibelakang torus tubarius. Daerah ini merupakan tempat
predileksi karsinoma nasofaring, suatu tumor yang mematikan nomor 1 di
THT.
Fornix nasofaring
Adalah dataran disebelah atas torus tubarius, merupakan tempat tumor
angiofibroma nasopharing
Adenoid= tonsil pharyngeal=luskha
Secara teoritis adenoid akan hilang setelah pubertas karena adaenoid akan
mencapai titik optimal pada umur 12-14 tahun. Lokasi pada dinding superior
dan dorsal nasopharing sebelah lateral bursa pharyngea. Fungsinya sebagai
mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman- kuman yang lewat jalan napas
hidung.

Nasopharing akan tertutup bila paltum molle melekat ke dinding posterior pada
waktu menelan, muntah, mengucapkan kata-kata etrtentu seperti hak.
Fungsi nasopharing :
Sebagai jalan udara pada respirasi
4

Jalan udara ke tuba eustachii


Resonator
Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidung
Secret dari nasopharing dapat bergerak ke bawah karena:
Gaya gravitasi
Gerakan menelan
Gerakan silia (kinosilia)
Gerkan usapan palatum molle

B.

Definisi
Carcinoma adalah pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel
epithelial

yang

cenderung

menginfiltrasi

jaringan

sekitarnya

dan

menimbulkan metastasis. (DORLAND.2002)


Nasopharyngeal carcinoma merupakan tumor ganas yang timbul pada
epithelial pelapis ruangan dibelakang hidung (nasofaring) dan ditemukan
dengan frekuensi tinggi di Cina bagian selatan(DORLAND.2002)
C.

Epidemiologi dan Etiologi


Angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) di Indonesia cukup tinggi, yakni

4,7 kasus/tahun/100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 8000 kasus per tahun di
seluruh Indonesia (Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun
1980 secara pathology based). Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%)
penderita KNF berdasarkan data patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi
anatomi FK Unair Surabaya (1973 1976) diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh
tubuh. Di Bagian THT Semarang mendapatkan 127 kasus KNF dari tahun 2000
2002. Di RSCMJakarta ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS. Hasan Sadikin
Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, Denpasar 15 kasus, dan di
Padang dan Bukit tinggi (1977-1979). Dalam pengamatan dari pengunjung poliklinik

tumor THT RSCM, pasien karsinoma nasofaring dari ras Cina relative sedikit lebih
banyak dari suku bangsa lainya.
Studi epidemiologi KNF dengan berfokus kepada etiologi dan kebiasaan
biologi dari penyakit ini telah dikemukakan hasilnya oleh UICC (International Union
against Cancer) dalam symposium kanker nasofaring yg diadakan di Singapura tahun
1964 (MUIR,dkk.1967), dan dari investigasi dalam empat dekade terakhir telah
ditemukan banyak temuan penting di semua aspek. KNF mempunyai gambaran
epidemiologi yg unik, dalam daerah yg jelas, ras, serta agregasi family.
KNF mempunyai daerah distribusi endemic yang tidak seimbang antara
berbagai Negara, maupun yang tersebar dalm 5 benua. Tetapi, insiden KNF lebih
rendah dari 1/105 di semua area. Insisde. Insiden tertinggi terpusat pada di Cina
bagian selatan (termasuk Hongkong), dan insiden inni tertinggi di provinsi
Guangdong pada laki-laki mencapai 20-50/100000 penduduk. Berdasarkan data
IARC (International Agency for Research on Cancer) tahun 2002 ditemukan sekitar
80,000 kasus baru KNF diseluruh dunia, dan sekitar 50,000 kasus meninggal dengan
jumlah penduduk Cina sekitar 40%. Ditemukan pula cukup banyak kasus pada
penduduk local dari Asia Tenggara, Eskimo di Artik dan penduduk di Afrika utara dan
timur tengah (PARKIN dkk. 1992.2002, WATERHOUSE dkk. 1982, MUIR dkk.
1987).
Tumor ini lebih sering ditemukan pad pria disbanding wanita dengan rasio 23:1 (PARKINdkk.2002) dan apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti,
mungkin ada hubungannya dengan factor genetic, kebiasaan hidup, pekerjaan dan
lain-lain. Distribusi umur pasien dengan KNF berbeda-beda pada daerah dengan
insiden yg bervariasi. Pada daerah dengan insiden rendah insisden KNF meningkat
sesuia dengan meningkatnya umur, pada daeraj dengan insiden tinggi KNF
meningkat setelah umur 30 tahun, ;uncaknya pada umur 40-59 tahun dan menurun
setelahnya (ZONG dkk.1983).
6

Ras mongoloid merupakan factor dominan timbulnya KNF, sehingga


kekerapan cukup tinggi pada pendduduk CIna bagian selatan, Hongkong, Vietnam,
Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Sekalipun termasuk ras Mongoloid,
bangsa Korea, Jepang dan Tiongkok sebelah utara tidak banyak yang dijumpai
mengidap penyakit ini. Berbagai studi epidemilogik mengenai angka kejadian ini
telah dipublikasikan di berbagai jurnal. Salah satunya yang menarik adalah penelitian
mengenai angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) pada para migran dari daratan
Tiongkok yang telah bermukim secara turun temurun di China town (pecinan) di San
Fransisco Amerika Serikat. Terdapat perbedaan yang bermakna dalam terjadinya
Kanker Nasofaring (KNF) antara para migran dari daratan Tiongkok ini dengan
penduduk di sekitarnya yang terdiri atas orang kulit putih (Caucasians), kulit hitam
dan Hispanics, di mana kelompok Tionghoa menunjukkan angka kejadian yang lebih
tinggi. Sebaliknya, apabila orang Tionghoa migran ini dibandingkan dengan para
kerabatnya yang masih tinggal di daratan Tiongkok maka terdapat penurunan yang
bermakna dalam hal terjadinya Kanker Nasofaring (KNF) pada kelompok migran
tersebut. Jadi kesimpulan yang dapat ditarik adalah, bahwa kelompok migran masih
mengandung gen yang memudahkan untuk terjadinya Kanker Nasofaring (KNF),
tetapi karena pola makan dan pola hidup selama di perantauan berubah maka faktor
yang selama ini dianggap sebagai pemicu tidak ada lagi maka kanker ini pun tidak
tumbuh. Untuk diketahui bahwa penduduk di provinsi Guang Dong ini hampir setiap
hari mengkonsumsi ikan yang diawetkan (diasap, diasin), bahkan konon kabarnya
seorang bayi yang baru selesai disapih, sebagai makanan pengganti susu ibu adalah
nasi yang dicampur ikan asin ini. Di dalam ikan yang diawetkan dijumpai substansi
yang bernama nitrosamine yang terbukti bersifat karsinogen bagi hewan percobaan.
Dijumpai pula kenaikan angka kejadian ini pada komunitas orang perahu
(boat people) yang menggunakan kayu sebagai bahan bakar untuk memasak. Hal ini
tampak mencolok pada saat terjadi pelarian besar besaran orang Vietnam dari
negaranya. Bukti epidemiologik lain adalah angka kejadian kanker ini di Singapura.
7

Persentase

terbesar

yang

dikenai

adalah

masyarakat

keturunan

Tionghoa

(18,5/100.000 penduduk), disusul oleh keturunan Melayu (6,5/100.000) dan terakhir


adalah keturunan Hindustan (0,5/100.000).
Dijumpainya Epstein-Barr Virus (EBV), pada hampir semua kasus KNF telah
mengaitkan terjadinya kanker ini dengan keberadaan virus tersebut. Pada 1966,
seorang peneliti menjumpai peningkatan titer antibodi terhadap EBV pada KNF serta
titer antibodi IgG terhadap EBV, capsid antigen dan early antigen. Kenaikan titer ini
sejalan pula dengan tingginya stadium penyakit. Namun virus ini juga acapkali
dijumpai pada beberapa penyakit keganasan lainnya bahkan dapat pula dijumpai
menginfeksi orang normal tanpa menimbulkan manifestasi penyakit. Jadi adanya
virus ini tanpa faktor pemicu lain tidak cukup untuk menimbulkan proses keganasan.
Berbeda halnya dengan jenis kanker kepala dan leher lain, Kanker Nasofaring
(KNF) jarang dihubungkan dengan kebiasaan merokok dan minum alkohol tetapi
lebih dikaitkan dengan virus Epstein Barr, predisposisi genetik dan pola makan
tertentu. Meskipun demikan tetap ada peneliti yg

mencoba menghubungkannya

dengan merokok , secara umum resiko terhadap KNF pada perokok 2-6 kali
dibandingkan dengan bukan perokok (HSU dkk.2009). ditemukan juga bahwa
menurunnya angka kematian KNF di Amerika utara dan Hongkong merupakan hasil
dari mengurangi frekuensi merokok. Adanya hubungan antara faktor kebiasaan
makan dengan terjadinya KNF dipelajari oleh Ho dkk. Ditemukan kasus KNF dalam
jumlah yang tinggi pada mereka yang gemar mengkonsumsi ikan asin yang dimasak
dengan gaya Kanton (Cantonese-style salted fish). Risiko terjadinya KNF sangat
berkaitan dengan lamanya mereka mengkonsumsi makanan ini. Di beberapa bagian
negeri Cina makanan ini mulai digunakan sebagai pengganti air susu ibu pada saat
menyapih.
Tentang factor genetic telah banyak ditemukan kasus herediter atau familier
dari pasien KNF dengan keganasan pada organ tubuh lain. Suatu cintoh terkenal di
8

Cina selatan, satu keluarga dengan 49 anggota dari dua generasi didapatkan 9 pasien
KNF dan 1 menderita tumor ganas payudara. Secara umum didapatkan 10% dari
pasien karsinoma nasofaring menderita keganasan organ lain.
Penyebab lain yang dicurigai adalah pajanan di tempat kerja seperti
formaldehid, debu kayu serta asap kayu bakar. Belakangan ini penelitian dilakukan
terhadap pengobatan alami (Chinese herbal medicine=CHB). Hildesheim dkk
memperoleh hubungan yang erat antara terjadinya KNF, infeksi EBV dan
penggunaan CHB. Beebrapa tanaman dan bahan CHB dapat menginduksi aktivasi
dari virus EBV yg laten. Seperti pada TPA ( Tetradecanoylyphorbol Acetate) yaitu
substansi yg ada di alam dan tumbuhan jika dikombinasi dengan N-Butyrate yang
merupkan produk dari bakteri anaerob yang ditemukan di nasofaring dapat
menginduksi sintesis antigen EBV di tikus, meningkatnya transformasi cell-mediated
immunity dari EBV dan

mempromosikan pembentukan KNF (genesis) (TANG

dkk.1988).
Secara mikroskopis karsinoma nasofaring dapat dibedakan menjadi 3 bentuk yaitu :
1. Bentuk ulseratif
Bentuk ini paling sering terdapat pada dinding posterior dan di daerah sekitar
fosa rosenmulleri. Juga dapat ditemukan pada dinding lateral didepan tuba
eustachius dan pada bagian atap nasofaring. Lesi ini biasanya lebih kecil
disertai dengan jaringan yang nekrotik dan sangat mudah mengadakan
infiltrasi ke jaringan sekitarnya. Gambaran histopatologik bentuk ini adalah
karsinoma sel skuamosa deengan diferensiasi baik.
2. Bentuk noduler/lubuler/proliferative
Bentuk noduler atau lobuler sangat sering dijumpai pada daerah sekitar muara
tuba eustachius. Tumor jenis ini berbentuk seperti buah angguratau polipoid
jarang, dijumpai adanya ulserasi, namun kadang-kadang dijumpai ulserasi
9

kecil. Gambaran histopatologik bentuk ini biasanya karsinoma tanpa


diferensiasi.
3. Bentuk eksofitik
Bentuk eksofitik biasanya tumbuh pada satu sisi nasofaring, tidak dijumpai
adanya ulserasi, kadang-kadang bertangkai dan prmukaannya licin. Tumor
jenis ini biasanya tumbuh dari atap nasofaring dan dapat mengisi seluruh
rongga nasofaring. Tumor nini dapat mendorong palatum mole ke bawah dan
tumbuh kearah koana dan masuk ke dalam rongga hidung. Gambaran
histopatologik berupa limfasarkoma
D.

Gejala dan Tanda KNF

Gejala nasofaring yang pokok adalah :


1. Nasal sign :
Pilek lama yang tidak sembuh
Epistaksis. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya
sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna
merah jambu
Ingus dapat seperti nanah, encer atau kental dan berbau.
2. Ear sign :
Tinitus. Tumor menekan muara tuba eustachii sehingga terjadi tuba
oklusi, karena muara tuba eustachii dekat dengan fosa rosenmulleri.
Tekanan dalam kavum timpani menjadi menurun sehingga terjadi
tinnitus.
Gangguan pendengaran hantaran
Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia).
3. Eye sign :
Diplopia. Tumor merayap masuk foramen laseratum dan menimbulkan
gangguan N. IV

dan N. VI. Bila terkena chiasma opticus akan

menimbulkan kebutaan.
4. Tumor sign :

10

Pembesaran kelenjar limfoid leher ini merupakan penyebaran atau

metastase dekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring.


5. Cranial sign
Gejala cranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan dirasakan pada
penderita. Gejala ini berupa :
Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase

secara hematogen.
Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang.
Kesukaran pada waktu menelan
Afoni
Sindrom Jugular Jackson atau sindroma reptroparotidean mengenai N.
IX, N. X, N. XI, N. XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada:
o Lidah
o Palatum
o Faring atau laring
o M. sternocleidomastoideus
o M. trapezeus

E.

Patofisiologi Karsinoma Nasofaring


Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA yang memiliki kapsid

icosahedral dan termasuk dalam famili Herpesviridae. Infeksi EBV dapat berasosiasi
dengan beberapa penyakit seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T, mononukleosis dan
karsinoma nasofaring (KNF). KNF merupakan tumor ganas yang terjadi pada sel
epitel di daerah nasofaring yaitu pada daerah cekungan Rosenmuelleri dan tempat
bermuara saluran eustachii. Banyak faktor yang diduga berhubungan dengan KNF,
yaitu
(1)Aadanya infeksi EBV,
(2) Faktor lingkungan
(3) Genetik

1) Virus Epstein-Barr
11

Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten


dalam limfosit B. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu
sel epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B
dengan cara berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen komplemen C3d
(CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan
protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan rangkaian yang
berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B dan selanjutnya
menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini
mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat
dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, ada dua reseptor yang diduga
berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan
PIGR (Polimeric Immunogloblin Receptor). Sel yang terinfeksi oleh virus
epstein-barr dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu : sel menjadi mati
bila terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan replikasi, atau
virus epstein- barr yang meninfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus
sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu
interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat
sel sehingga terjadi transformsi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker.
Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu
EBERs, EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam
mempertahankan virus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan
LMP2B menghambat sinyal tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat
siklus litik virus. Diantara gen-gen tersebut, gen yang paling berperan dalam
transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur protein LMP1 terdiri atas 368 asam
amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada ujung N, 6 segmen protein
transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada ujung karboksi (C).
Protein transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor
necrosis factor) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi
sel B dan menghambat respon imun lokal.
12

2) Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetic, tetapi
kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu
relative menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan
gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1
(CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring.
Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas aktivasi metabolik yang terkait
nitrosamine dan karsinogen
3) Faktor lingkungan
Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di
berbagai daerah di asia dan america utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin
dan

makanan

lain

nitrosodimethyamine

yang

awetkan

(NDMA),

nitrospiperidine (NPIP ) yang

mengandung

sejumlah

besar

N-nitrospurrolidene

(NPYR)

dan

mungkin merupakan faktor karsinogenik

karsinoma nasofaring. Selain itu merokok dan perokok pasif yg terkena paparan
asap rokok yang mengandung formaldehide dan yang tepapar debu kayu diakui
faktor risiko karsinoma nasofaring dengan cara mengaktifkan kembali infeksi
dari EBV.
F.

Diagnosis
Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma

nasofaring, protokol dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis pasti
serta stadium tumor :
1. Anamnesis / pemeriksaan fisik
Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakan pasien (tanda dan gejala
KNF)
2. Pemeriksaan nasofaring
Dengan menggunakan kaca nasofaring atau dengan nashopharyngoskop
3. Biopsi nasofaring

13

Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang


dengan diagnosis histologik atau sitologik. Diagnosis histologik atau sitologik
dapat ditegakan bila dikirim suatu material hasil biopsy cucian, hisapan
(aspirasi), atau sikatan (brush), biopsy dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu
dari hidung atau dari mulut. Biopsi tumor nasofaring umunya dilakukan
dengan anestesi topical dengan xylocain 10%.
Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind
biopsy). Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung menyelusuri
konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan

dilakukan biopsy.
Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang
dimasukan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut
ditarik keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter yang dihdung.
Demikian juga kateter yang dari hidung disebelahnya, sehingga
palatum

mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kacalaring dilihat

daerah nasofaring. biopsy dilakukan dengan melihat tumor melalui


kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukan melalui
mulut, masaa tumor akan terlihat lebih jelas.
Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan mala
dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narcosis.
4. Pemeriksaan Patologi Anatomi
Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu :
Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell
Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik,

sedang dan buruk.


Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada tipe
ini dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel
skuamosa tanpa jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup
jelas.
14

Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada


tipe ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler,
berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya

batas sel tidak terlihat dengan jelas.


Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama,
yaitu bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu
radiosensitif.

Klasifikasi

gambaran

histopatologi

terbaru

yang

direkomendasikan oleh WHO pada tahun 1991, hanya dibagi atas 2 tipe, yaitu
:

Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell

Carcinoma).
Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Tipe ini
dapat dibagi lagi menjadi berdiferensiasi dan tak berdiferensiasi.

5. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan
penunjang diagnostic yang penting. Tujuan utama pemeriksaan radiologic
tersebut adalah:
Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor

pada daerah nasofaring


Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut
Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan
sekitarnya.

a) Foto polos
Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam
mencari kemungkina adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:
Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak (soft
tissue technique)
Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks
Tomogram Lateral daerha nasofaring
Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring
15

b) C.T.Scan
Pada umunya KNF yang dapat dideteksi

secara jelas dengan

radiografi polos adalah jika tumor tersebut cukup besar dan eksofitik,
sedangkan bula kecil mungkin tidak akan terdeteksi. Terlebih-lebih
jika perluasan tumor adalah submukosa, maka hal ini akan sukar
dilihat dengan pemeriksaan radiografi polos. Demikian pula jika
penyebaran ke jaringan sekitarnya belum terlalu luas akan terdapat
kesukaran-kesukaran dalam mendeteksi hal tersebut. Keunggulan C.T.
Scan dibandingkan dengan foto polos ialah kemampuanya untuk
membedakan bermacam-macam densitas pada daerah nasofaring, baik
itu pada jaringan lunak maupun perubahan-perubahan pada tulang,
gengan criteria tertentu dapat dinilai suatu tumor nasofaring yang
masih kecil. Selain itu dengan lebih akurat dapat dinilai pakah sudah
ada perluasan tumor ke jaringna sekitarnya, menilai ada tidaknya
destruksi tulang serta ada tidaknya penyebaran intracranial.
Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam
mencari kemungkina adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:
Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak (soft
tissue technique)
Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks
Tomogram Lateral daerha nasofaring
Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring
6. Pemeriksaan neuro-oftalmologi
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui
beberapa lobang, amka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai
gejala lanjut KNF ini.
7. Pemeriksaan serologi.
Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan igA anti VCA (capsid
antigen) untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan dalam
mendeteksi karsinoma nasofaring. Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta
16

mendapatkan dari 41 pasien karsinoma nasofaring stadium lanjut (stadium III


dan IV) senstivitas IgA VCA adalah 97,5% dan spesifitas 91,8% dengan titer
berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak titer 160. IgA anti EA
sensitivitasnya 100% tetapi spesifitasnya hanya 30,0%, sehingga pemeriksaan
ini hanya digunakan untuk menetukan prognosis pengobatan, titer yang didpat
berkisar antara 80 sampai 1280 dan terbanyak 160.
G.

Diagnosis Banding
1. Hiperplasia adenoid
Biasanya terdapat pada anak-anak, jarnag pada orang dewasa, pada
anak-anak hyperplasia ini terjadi Karena infeksi berulang. Pada foto polos
akan terlihat suatu massa jaringna lunak pada aatap nasofaring umunya
berbatas tegas dan umunya simetris serta struktur-struktur sekitarnya tak
tampak tanda- tanda infiltrasi seprti tampak pada karsinoma.
2. Angiofibroma juenilis
Baisanya ditemui pada usia relative muda dengan gejala-gejala
menyerupai KNF. Tumor ini kaya akan pembuluh darah dan biasnya tidak
infiltrative. Pada foto polos akan didapat suatu massa pada atap nasofairng
yang berbatas tegas. Proses dapat meluas seperrti pada penyebaran karsinoma,
walaupun jarang menimbulkan destruksi tulang hanay erosi saja karena
penekanan tumor. Biasanya ada pelengkungan ke arah depan dari dinding
belakang sinus maksilarisyang dikenals ebgai antral sign. Karena tumor ini
kaya akan vascular maka arterigrafi carotis eksterna sangat diperlukan sebab
gambaranya sangat karakteristik. Kadang-kadang sulit pula membedakan
angiofibroma juvenils dengan polip hidung pada foto polos.
3. Tumor sinus sphenooidalis
Tumor ganas primer sinus sphenoidalis adalah sangat jarang dan
biasanya tumor sudah sampai stadium agak lanjut waktu pasien dating untuk
pemeriksaan pertama.
4. Neurofibroma

17

Kelompok tumor ini sering timbul pada ruang faring lateral sehingga
menyerupai keganasan didnding lateral nasofaring. secara C.T. Scan,
pendesakan ruang para faring kea rah medial dapat membantu mebedakan
kelompok tumor ini dengan KNF.
5. Tumor kelenjarr parotis
Tumor kelenjar parotis terutama yang berasal dari lobus yang terletak
agak dalam mengenai ruang para faring dan menonjol kearah lumen
nasofaring. pada sebagian besar kasus terlihat pendesakan ruang parafaring
kea rah medial yang tampak pada pemeriksaan C.T.Scan.
6. Chordoma
Walaupun tanda utama chordoma adalah destruksi tulang, tetapi
mengingat KNF pun sering menimbulkan destruksi tulang, maka sering
timbul kesulitan untuk membedakanya. Dengan foto polos, dapat dilihat
kalsifikasi atau destruksi terutama di daerah clivus. CT dapat membantu
,elihat apakah ada pembesaran kelenjar cervical bagian atas karena chordoma
umunya tidak memperhatikan kelainan pada kelenjar tersebuts edangkan KNF
sering bermetastasis ke kelenjar getah bening.
7. Menigioma basis kranii
Walaupun tumor ini agak jarang tetapi gambaranya kadang-kadang
meyerupai KNF dengan tanda-tanda sklerotik pada daerah basis kranii.
Ganbaran CT meningioma cukup karakteristikk yaitu sedikit hiperdense
sebelum penyuntikanzat kontras dan akan menjadi sangat hiperdense setelah
pemberian zat kontras intravena. Pemeriksaan arteiografi juga sangat
membantu diagnosis tumor ini.
H.

Stadium
Penentuan stadium yang terbaru berdasarkan atas kesepakatan antara UICC

(Union Internationale Contre Cancer) pada tahun 1992 adalah sebagai berikut :
T = Tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya.
T0 : Tidak tampak tumor
T1 : Tumor terbatas pada 1 lokasi di nasofaring
18

T2 : Tumor meluas lebih dari 1 lokasi, tetapi masih di dalam rongga nasofaring
T3 : Tumor meluas ke kavum nasi dan / atau orofaring
T4 : Tumor meluas ke tengkorak dan / sudah mengenai saraf otak
N = Nodul, menggambarkan keadaan kelenjar limfe regional
N0 : Tidak ada pembesaran kelenjar
N1 : Terdapat pembesaran kelenjar homolateral yang masih dapat digerakkan
N2 : Terdapat pembesaran kelenjar kontralateral / bilateral yang masih dapat
digerakkan
N3 :Terdapat pembesaran kelenjar baik homolateral, kontralateral atau bilateral, yang
sudah

melekat pada jaringan sekitar.


M = Metastase, menggambarkan metastase jauh

M0 : Tidak ada metastase jauh


M1 : Terdapat metastase jauh.2,3,9-13
Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan :
Stadium I

: T1 N0 M0

Stadium II

: T2 N0 M0

Stadium III

: T3 N0 M0
T1,T2,T3 N1 M0

Stadium IV

: T4 N0,N1 M0
Tiap T N2,N3 M0
Tiap T Tiap N M12

Menurut American Joint Committee Cancer tahun 1988, tumor staging dari
nasofaring diklasifikasikan sebagai berikut :
Tis : Carcinoma in situ
T1 : Tumor yang terdapat pada satu sisi dari nasofaring atau tumor yang tak dapat
dilihat, tetapi hanya dapat diketahui dari hasil biopsi.
T2 : Tumor yang menyerang dua tempat, yaitu dinding postero-superior dan
dindinglateral.
T3 : Perluasan tumor sampai ke dalam rongga hidung atau orofaring.
19

T4 : Tumor yang menjalar ke tengkorak kepala atau menyerang saraf cranial (atau
keduanya).
I.

Prognosis
Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %. Prognosis

diperburuk oleh beberapa faktor, seperti :

J.

Stadium yang lebih lanjut.

Usia lebih dari 40 tahun

Laki-laki dari pada perempuan

Ras Cina dari pada ras kulit putih

Adanya pembesaran kelenjar leher

Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak

Adanya metastasis jauh


Komplikasi

1. Petrosphenoid sindrom
Tumor tumbuh ke atas ke dasar tengkorak lewat foramen laserum sampai
sinus kavernosus menekan saraf N. III, N. IV, N.VI juga menekan N.II. yang
memberikan kelainan :

Neuralgia trigeminus ( N. V ) : Trigeminal neuralgia merupakan suatu


nyeri pada wajah sesisi yang ditandai dengan rasa seperti terkena

20

aliran listrik yang terbatas pada daerah distribusi dari nervus


trigeminus.

Ptosis palpebra ( N. III )

Ophthalmoplegia ( N. III, N. IV, N. VI )

2. Retroparidean sindrom
Tumor tumbuh ke depan kea rah rongga hidung kemudian dapat
menginfiltrasi ke sekitarnya. Tumor ke samping dan belakang menuju ke arah
daerah parapharing dan retropharing dimana ada kelenjar getah bening. Tumor
ini menekan saraf N. IX, N. X, N. XI, N. XII dengan manifestasi gejala :

N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior


serta gangguan pengecapan pada sepertiga belakang lidah

N. X : hiper / hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan laring


disertai gangguan respirasi dan saliva

N XI : kelumpuhan / atrofi oto trapezius , otot SCM serta hemiparese


palatum mole

N. XII : hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah.

Sindrom horner : kelumpuhan N. simpaticus servicalis, berupa


penyempitan fisura palpebralis, onoftalmus dan miosis.

3. Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah,
mengenaiorgan tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah
tulang, hati dan paru. Hal ini merupakan hasil akhir dan prognosis yang
buruk. Dalam penelitian lain ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat

21

mengadakan metastase jauh, ke paru-paru dan tulang, masing-masing 20 %,


sedangkan ke hati 10 %, otak 4 %, ginjal 0.4 %, dan tiroid 0.4 %.
K.

Penatalaksanaan

1. Radioterapi
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam
penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma
nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.
Sampai saaat ini pengobatan pilihan terhadap tumor ganas nasofaring adalah
radiasi, karena kebanyakan tumor ini tipe anaplastik yang bersifat radiosensitif.
Radioterapi dilakukan dengan radiasi eksterna, dapat menggunakan pesawat kobal
(Co60 ) atau dengan akselerator linier ( linier Accelerator atau linac). Radiasi ini
ditujukan pada kanker primer didaerah nasofaring dan ruang parafaringeal serta pada
daerah aliran getah bening leher atas, bawah seerta klasikula. Radiasi daerah getah
bening ini tetap dilakukan sebagai tindakan preventif sekalipun tidak dijumpai
pembesaran kelenjar. Metode brakhiterapi, yakni dengan memasukkan sumber radiasi
kedalam rongga nasofaring saat ini banyak digunakan guna memberikan dosis
maksimal pada tumor primer tetapi tidak menimbulkan cidera yang serius pada
jaringan sehat disekitarnya. Kombinasi ini diberikan pada kasus-kasus yang telah
memeperoleh dosis radiasi eksterna maksimum tetapi masih dijumpai sisa jaringan
kanker

atau

pada

kasus

kambuh

lokal.

perkembangan teknologi pada dasawarsa terakhir telah memungkinkan pemberian


radiasi yang sangat terbatas pada daerah nasofaring dengan menimbulkan efek
samping sesedikit mungkin. Metode yang disebut sebagai IMRT ( Intersified
Modulated Radiotion Therapy ) telah digunakan dibeberapa negara maju.
Prinsip Pengobatan Radiasi, inti sel dan plasma sel terdiri dari (1) RNA
Ribose Nucleic Acid dan (2) DNA Desoxy Ribose Nucleic Acid . DNA terutama
22

terdapat paa khromosom ionizing radiation menghambat metabolisme DNA dan


menghentikan aktifitas enzim nukleus. Akibatnya pada inti sel terjadi khromatolisis
dan plasma sel menjadi granuar serta timbul vakuola-vakuola yang kahirnya
berakibat sel akan mati dan menghilang. Pada suatu keganasan ditandai oleh mitosis
sel yang berlebihan ; stadium profase mitosis merupakan stadium yang paling rentan
terhadap radiasi. Daerah nasofaring dan sekitarnya yang meliputi fosa serebri media,
koane dan daerah parafaring sepertiga leher bagian atas. Daerah-daerah lainnya yang
dilindungi dengan blok timah. Arah penyinaran dari lateral kanan dan kiri, kecuali
bila ada penyerangan kerongga hidung dan sinus paranasal maka perlu penambahan
lapangan radiasi dari depan. Pada penderita dengan stadium yang masih terbataas
(T1,T2), maka luas lapangan radiasi harus diperkecil setelah dosis radiasi mencapai
4000 rad , terutama dari atas dan belakang untuk menghindari bagian susunan saraf
pusat . Dengan lapangan radiasi yang terbatas ini, radiasi dilanjutkan sampai
mencapai dosis seluruh antara 6000- 7000 rad . pada penderita dengan stadium T3
dan T4, luas lapangan radiasi tetap dipertahankan sampai dosis 6000 rad. Lapangan
diperkecil

bila

dosis

akan

ditingkatkan

lagi

sampai

sekitar

7000

rad.

Daerah penyinaran kelenjar leher sampai fosa supraklavikula. Apabila tidak ada
metastasis kelenjar leher, maka radiasi daerah leher ini bersifat profilaktik dengan
dosis 4000 rad, sedangkan bila ada metastasis diberikan dosis yang sama dengan
dosis daerah tumor primer yaitu 6000 rad, atau lebih. Untuk menghindari gangguan
penyinaran terhadap medulla spinalis, laring dan esofagus, maka radiasi daerah leher
dan supraklavikula ini, sebaiknya diberikan dari arah depan dengan memakai blok
timah didaerah leher tengah.
Dosis radiasi
Dosis radiasi umumnya berkisar antara 6000 7000 rad, dalam waktu 6 7 minggu
dengan periode istirahat 2 3 minggu (split dose). Alat yang biasanya dipakai ialah
cobalt 60, megavoltageorthovoltage
23

Respon radiasi
Setelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon terhadap radiasi.
Respon dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening leher dan pengecilan tumor
primer di nasofaring. Penilaian respon radiasi berdasarkan kriteria WHO :
- Complete Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah bening yang besar.
- Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau lebih.
- No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap.
- Progressive Disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25% atau lebih.
Komplikasi radioterapi dapat berupa :
a) Komplikasi dini
Biasanya terjadi selama atau beberapa minggu setelah radioterapi, seperti :
-

Xerostomia - Mual-muntah
Mukositis (nyeri telan, mulut kering, dan hilangnya cita rasa)
kadang diperparah dengan infeksi jamur pada mukosa lidah

dan palatum
Anoreksi
Xerostamia (kekeringan mukosa mulut akibat disfungsi

kelenjar parotis yang terkena radiasi)


- Eritema
b) Komplikasi lanjut
Biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radioterapi, seperti :
-

Kontraktur
Penurunan pendengaran
Gangguan pertumbuhan

Untuk menghindari efek samping semaksimal mungkin maka sebelum dan selama
pengobatan, bahkan setelah selesai terapi, pasien akan selalu diawasi oleh dokter.
Perawatan sebelum radiasi adalah dengan membenahi gigi geligi, memberikan
informasi kepada pasien mengenai metode pembersihan ruang mulut dan gigi secara
benar. Untuk mengurangi keluhan penderita juga dapat diberikan obat kumur yang
24

mengandung adstringens, misalnya bactidol, efisol, gargarisma diberikan 3-4 kali


sehari. Bila tampak tanda-tanda moniliasis diberikan antimikotik misalnya funfilin.
Pemberian obat-obatan yang mengandung anestesi local seperti FG troches bias
mengurangi keluhan nyeri telan. Untuk keluhan umum nausea, anorexia dan
sebgainya bisa diberikan obat-obatan simptomatik terhadap keluhan ini seperti
avomit, avopreg.

2. Kemoterapi
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata
dapat meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada
keadaan kambuh.
Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu
bila setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata :
-

kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif

kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara
makroskopis.

pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko
kekambuhan dan metastasis jauh).

Berdasarkan saat pemberiannya kemoterapi adjuvan pada tumor ganas kepala leher
dibagi menjadi
1. neoadjuvant atau induction chemotherapy (yaitu pemberian kemoterapi
mendahului pembedahan dan radiasi)
2. concurrent, simultaneous atau concomitant chemoradiotherapy (diberikan
bersamaan dengan penyinaran atau operasi)

25

3. post definitive chemotherapy (sebagai terapi tambahan paska pembedahan


dan atau radiasi )
Efek Samping Kemoterapi
Agen kemoterapi tidak hanya menyerang sel tumor tapi juga sel normal yang
membelah secara cepat seperti sel rambut, sumsum tulang dan Sel pada traktus gastro
intestinal. Akibat yang timbul bisa berupa perdarahan, depresi sum-sum tulang yang
memudahkan terjadinya infeksi. Pada traktus gastro intestinal bisa terjadi mual,
muntah anoreksia dan ulserasi saluran cerna. Sedangkan pada sel rambut
mengakibatkan kerontokan rambut. Jaringan tubuh normal yang cepat proliferasi
misalnya sum-sum tulang, folikel rambut, mukosa saluran pencernaan mudah terkena
efek obat sitostatika. Untungnya sel kanker menjalani siklus lebih lama dari sel
normal, sehingga dapat lebih lama dipengaruhi oleh sitostatika dan sel normal lebih
cepat pulih dari pada sel kanker
Efek samping yang muncul pada jangka panjang adalah toksisitas terhadap
jantung, yang dapat dievaluasi dengan EKG dan toksisitas pada paru berupa kronik
fibrosis pada paru. Toksisitas pada hepar dan ginjal lebih sering terjadi dan sebaiknya
dievalusi fungsi faal hepar dan faal ginjalnya. Kelainan neurologi juga merupakan
salah satu efek samping pemberian kemoterapi.
Kemoradioterapi kombinasi adalah pemberian kemoterapi bersamaan dengan
radioterapi dalam rangka mengontrol tumor secara lokoregional dan meningkatkan
survival pasien dengan cara mengatasi sel kanker secara sistemik lewat
mikrosirkulasi.
Manfaat Kemoradioterapi adalah
1. Mengecilkan massa tumor, karena dengan mengecilkan tumor akan
memberikan hasil terapi radiasi lebih efektif. Telah diketahui bahwa pusat
tumor terisi sel hipoksik dan radioterapi konvensional tidak efektif jika tidak
26

terdapat oksigen. Pengurangan massa tumor akan menyebabkan pula


berkurangnya jumlah sel hipoksia.
2. Mengontrol metastasis jauh dan mengontrol mikrometastase.
3. Modifikasi melekul DNA oleh kemoterapi menyebabkan sel lebih sensitif
terhadap radiasi yang diberikan (radiosensitiser).
Terapi kombinasi ini selain bisa mengontrol sel tumor yang radioresisten,
memiliki manfaat juga untuk menghambat pertumbuhan kembali sel tumor yang
sudah sempat terpapar radiasi.
Kemoterapi neoajuvan dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor
sebelum radioterapi. Pemberian kemoterapi neoadjuvan didasari atas pertimbangan
vascular bed tumor masih intak sehingga pencapaian obat menuju massa tumor masih
baik. Disamping itu, kemoterapi yang diberikan sejak dini dapat memberantas
mikrometastasis sistemik seawal mungkin. Kemoterapi neoadjuvan pada keganasan
kepala leher stadium II IV dilaporkan overall response rate sebesar 80 %- 90 % dan
CR ( Complete Response ) sekitar 50%. Kemoterapi neoadjuvan yang diberikan
sebelum terapi definitif berupa radiasi dapat mempertahankan fungsi organ pada
tempat tumbuhnya tumor (organ preservation).
Secara sinergi agen kemoterapi seperti Cisplatin mampu menghalangi
perbaikan kerusakan DNA akibat induksi radiasi. Sedangkan Hidroksiurea dan
Paclitaxel dapat memperpanjang durasi sel dalam keadaan fase sensitif terhadap
radiasi.
Kemoterapi yang diberikan secara bersamaan dengan radioterapi (concurrent
or concomitant chemoradiotherapy ) dimaksud untuk mempertinggi manfaat
radioterapi. Dengan cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang sensitif
terhadap kemoterapi dan mengubah sel kanker yang radioresisten menjadi lebih
sensitif terhadap radiasi. Keuntungan kemoradioterapi adalah keduanya bekerja

27

sinergistik yaitu mencegah resistensi, membunuh subpopulasi sel kanker yang


hipoksik dan menghambat recovery DNA pada sel kanker yang sublethal.
Kelemahan Kemoradioterapi
Kelemahan cara ini adalah meningkatkan efek samping antara lain mukositis,
leukopeni dan infeksi berat. Efek samping yang terjadi dapat menyebabkan
penundaan sementara radioterapi. Toksisitas Kemoradioterapi dapat begitu besar
sehingga berakibat fatal.
Beberapa literatur menyatakan bahwa pemberian kemoterapi secara
bersamaan dengan radiasi dengan syarat dosis radiasi tidak terlalu berat dan jadwal
pemberian tidak diperpanjang, maka sebaiknya gunakan regimen kemoterapi yang
sederhana sesuai jadwal pemberian.
Untuk mengurangi efek samping dari kemoradioterapi diberikan kemoterapi tunggal
(single agent chemotherapy) dosis rendah dengan tujuan khusus untuk meningkatkan
sensitivitas sel kanker terhadap radioterapi (radiosensitizer). Sitostatika yang sering
digunakan adalah Cisplatin, 5-Fluorouracil dan MTX dengan response rate 15%-47%.
3. Operasi
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher
radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar
pasca radiasi atau adanya kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah
dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi.
Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus
yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan
cara lain.
4. Imunoterapi

28

Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring


adalah virus Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan
imunoterapi.
L.

Pencegahan

Pemberian vaksinasi dengan vaksin spesifik membran glikoprotein virus


Epstein Barr yang dimurnikan pada penduduk yang bertempat tinggal di
daerah dengan resiko tinggi.

Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah resiko tinggi ke tempat


lainnya.

Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak


makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang
berbahaya.

Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan


keadaan sosial ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan
kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab.

Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA secara massal di masa
yang akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring secara
lebih dini.

29

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas nomor satu yang mematikan


dan menempati urutan ke 10 dari seluruh tumor ganas di tubuh.

Banyak faktor yang diduga berhubungan dengan KNF, yaitu


(1)Aadanya infeksi EBV,
(2) Faktor lingkungan
(3) Genetik

Karsinoma nasofaring banyak ditemukan di Indonesia.

Pada stadium dini yang diberikan adalah penyinaran dan hasilnya baik.

30

DAFTAR PUSTAKA

Averdi Roezin, Aninda Syafril. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Efiaty A. Soepardi


(ed). Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi kelima. Jakarta :
FK UI, 2001. h. 146-50.
Harry a. Asroel. Penatalaksanaan radioterapi pada karsinoma nasofaring. Referat.
Medan: FK USU,2002.h. 1-11.
Hasibuan R, A. H. pharingologi. Jakarta: Samatra Media Utama, 2004.h. 70-81.
Kartikawati, Henny. Penatalaksanaan karsinoma nasofaring menuju terapi
kombinasi/kemoradioterapi.
Lu Jiade J, Cooper Jay S, M Lee Anne WM. The epidemiologi of Nasopharigeal
Carcinoma In : Nasopharyngeal Cancer. Berlin : Springer,2010. p. 1-9.
Susworo, R.

Kanker nasofaring : epidemiologi dan pengobatan mutakhir.

Tinjauan pustaka artikel. Dalam: Cermin Dunia Kedokteran. No. 144, 2004.h. 1618.

31

32

Anda mungkin juga menyukai