Anda di halaman 1dari 7

Arti Perkawinan KatolikArti perkawinan katolik menurut KHK1983 kan.

1055 1
adalah perjanjian (foedus) antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk
membentuk kebersamaan hidup. Latar belakang definisi ini adalah dokumen Konsili
Vatikan II, Gaudium et Spes 48). GS dan KHK tidak lagi mengartikan perkawinan
sebagai kontrak.

Dalam kanon 1055 dinyatakan bahwa perkawinan antara orang yang dibabtis
diangkat ke martabat sakramen. Perkawinan baru disebut sakramen bila pria dan wanita
yang menikah itu sama-sama dibabtis dalam Gereja Katolik. Jadi babtisanlah yang
membuat perkawinan itu menjadi sakramen.
Sifat kodrati keterarahan kepada anak (ad prolis generationem et educationem ordinatum)
Perkawinan pada hakikatnya terbuka pada keturunan dan pendidikan anak. KHK
1983 tidak lagi mengedepankan prokreasi sebagai tujuan pertama perkawinan yang
mencerminkan abad-abad Agustinus, melainkan tanpa hirarki, tujuan-tujuan
dimaksudkan untuk mengedepankan penghargaan terhadap aspek personal perkawinan
dengan lebih dahulu menyebut bonum coniugum.
Persoalan yang langsung berkaitan dengan hal ini adalah program KB. Namun
keterarahan perkawinan pada keturunan dapat diterima oleh budaya kita di Indonesia.
Senada dengan GS 48 Menurut sifat kodratinya lembaga perkawinan sendiri dan cinta
kasih suami-isteri tertujukan kepada lahirnya keturunan serta pendidikannya, dan sebagai
puncaknya bagaikan dimahkotai olehnya. Tetapi kanon ini tidak bermaksud mengatakan
bahwa hubungan suami-isteri (senggama) harus terarah pada keturunan, maka akan
langsung bertentangan dengan bonum coniugum. Jadi pembatasan kelahiran dengan KB
buatan atau alami tetap menjadi persoalan yang sampai sekarang belum terselesaikan.
Penjelasan kanon:
Perjanjian Perkawinan (matirmonium foedus)
Perjanjian perkawinan adalah gagasan yang bersumber dari Kitab Suci baik
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. GS 48 menguraikan dengan lengkap gagasan ini.
Sebagai perjanjian, perkawinan itu melambangkan hubungan Yahwe Israel dan Kristus
dan GerejaNya. Dalam perkawinan, Kristus yang mencintai jemaatNya, menyucikannya
dan menyelamatkannya dihadirkan kembali dalam perkawinan. Dengan perjanjian
perkawinan mau dikatakan bahwa Allah sendirilah pencipta perkawinan itu.
Allah sendirilah Pencipta perkawinan, yang mencakup berbagai nilai dan tujuan. Itu semua
penting sekali bagi kelangsungan umat manusia, bagi pertumbuhan pribadi serta tujuan kekal
masing-masing anggota keluarga, bagi martabat, kelestarian, damai dan kesejahteraan keluarga
sendiri maupun seluruh masyarakat manusia. Menurut sifat kodratinya lembaga perkawinan
sendiri dan cinta kasih suami-isteri tertujukan kepada lahirnya keturunan serta pendidikannya,
dan sebagai puncaknya bagaikan dimahkotai olehnya. Maka dari itu pria dan wanita, yang karena
janji perkawinan bukan lagi dua, melainkan satu daging (Mat 19:6), saling membantu dan
melayani berdasarkan ikatan mesra antara pribadi dan kerja sama; mereka mengalami dan dari
hari ke hari makin memperdalam rasa kesatuan mereka. Persatuan mesra itu, sebagai saling serah
diri antara dua pribadi, begitu pula kesejahteraan anak-anak, menuntut kesetiaan suami isteri

yang sepenuhnya, dan menjadikan tidak terceraikannya kesatuan mereka mutlak perlu.
Kristus Tuhan melimpahkan berkat-Nya atas cinta kasih yang beraneka ragam itu, yang berasal
dari sumber ilahi cinta kasih, dan terbentuk menurut pola persatuan-Nya dengan Gereja. Sebab
seperti dulu Allah menghampiri bangsa-Nya dengan perjanjian kasih dan kesetiaan, begitu pula
sekarang Penyelamat umat manusia dan Mempelai Gereja, melalui sakramen perkawinan
menyambut suami-isteri kristiani. Selanjutnya Ia tinggal berserta mereka supaya seperti Ia sendiri
mengasihi Gereja dan menyerahkan Diri untuknya begitu pula suami-isteri dengan saling
menyerahkan diri saling mengasihi dengan kesetiaan tak kunjung henti. Kasih sejati suami-isteri
ditampung dalam cinta ilahi, dan dibimbing serta diperkaya berkat daya penebusan Kristus serta
kegiatan Gereja yang menyelamatkan, supaya suami-isteri secara nyata diantar menuju Allah, lagi
pula dibantu dan diteguhkan dalam tugas mereka yang luhur sebagai ayah dan ibu]. Oleh karena
itu suami-isteri kristiani dikuatkan dan bagaikan dikuduskan untuk tugas-kewajiban maupun
martabat status hidup mereka dengan sakramen yang khas (GS 48).

Dengan hakikat perkawinan sebagai perjanjian, istilah perkawinan sebagai kontrak (yang
lebih mengedepankan dimensi institusional public yuridis) dapat diimbangi.
KANON-KANON PENDAHULUAN
Kanon-kanon mendasar tentang perkawinan (1055-1062)
Kanon 1055 - 1: Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan
seorang perempuan membentuk antara mereka kebersamaan (consortium) seluruh hidup,
yang menurut sifat kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum)
serta kelahiran (prolis generationem) dan pendidikan anak (educationem), antara orangorang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen.
2: Karena itu antara orang-orang yang dibaptis, tidak dapat ada kontrak perkawinan sah
yang tidak dengan sendirinya sakramen.
Dalam kanon 1055 1 ini dinyatakan tujuan perkawinan adalah kesejahteraan
suami isteri (bonum coniguum), kelahiran (prolis) dan pendidikan (educationem) anak.
Ketiganya merupakan sasaran yang dituju. Di luar tujuan ini perkawinan menjadi suatu
yang lain.
Unsur-unsur perkawinan mencakup
Tempat undang-undang perkawinan dalam Hukum Kanonik 1983.
Undang-undang perkawinan diutarakan dalam buku IV yang berbicara tentang
TUGAS GEREJA MENGUDUSKAN, judul VII (Kan 1055 1165) adalah tentang
perkawinan.
Kan. 1055 1 Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang
perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup,
yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum
coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis,
oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen.

Kan. 1055 2 Karena itu antara orang-orang yang dibaptis, tidak dapat ada kontrak perkawinan
sah yang tidak dengan sendirinya sakramen.

Kalau kita berbicara tentang perkawinan katolik atau kanonik, selalu dimaksudkan perkawinan
yang pelaksanaannya diatur oleh norma-norma Kitab Hukum Kanonik Gereja Katolik (khususnya
kanon 1055-1165). Perkawinan kanonik ini mencakup semua perkawinan yang diselenggarakan
oleh orang-orang katolik, paling tidak salah satu dari pasangan suami-isteri.
1. B. Hakikat Perkawinan

Sintesa ajaran Gereja tentang hakikat perkawinan, dapat kita temukan dalam rumusannya yang
paling ringkas, khususnya dalam ketiga kanon pertama KHK 1983 tentang perkawinan, yakni
kanon 1055-1057. Dalam kanon-kanon ini disarikan beberapa butir pokok ajaran Gereja Katolik
sehubungan dengan perkawinan:
menurut maksud Tuhan, perkawinan merupakan adalah suatu persekutuan hidup antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan.
perkawinan ini terjadi karena konsensus atau kesepakatan pribadi yang tak dapat ditarik
kembali dan yang harus diarahkan kepada kesejahteraan pasangan dan keturunan.
Oleh karena itu, perkawinan ini senantiasa menuntut kesetiaan yang sempurna dan tidak
mungkin diputuskan selain oleh kematian.
Pokok-pokok ajaran ini memberikan inspirasi bagi kita untuk lebih lanjut memahami institusi
perkawinan berdasarkan butir-butir pembahasan berikut ini: arti perkawinan, tujuan
perkawinan, sakramentalitas perkawinan, sifat-sifat perkawinan, kesepakatan nikah, dan
akhirnya halangan-halangan nikah pada khususnya.
1. 1. Arti perkawinan: kan. 1055 1

Dalam kanon 1055 1 disebutkan bahwa perkawinan adalah sebuah perjanjian seorang laki-laki
dan seorang perempuan untuk membentuk antara mereka persekutuan seluruh hidup. Dalam
kanon ini, perkawinan pertama-tama dipahami sebagai sebuah perjanjian atau konsensus untuk
membangun suatu persekutuan seluruh hidup. Pernyataan persekutuan seluruh hidup mau
menegaskan bahwa perkawinan mencakup dan melibatkan seluruh kehidupan suami dan isteri,
dalam segala situasi dan kondisinya: dalam untung dan malang, dalam suasana susah dan
gembira. Ini semua berlangsung mulai sejak diucapkannya janji pernikahan, sampai saat
kematiannya. Seluruh hidup mau menunjuk keseluruhan waktu selama laki-laki dan
perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan yang sah, mulai sejak diikrarkannya janji

pernikahan. Dalam hal ini, kegagalan mencapai tujuan perkawinan bukanlah alasan untuk
menuntut pemutusan ikatan perkawinan.
1. 2. Tujuan perkawinan: kan. 1055 1

Kanon 1055 1 secara sederhana menyebutkan tiga tujuan perkawinan, demikian: .yang
menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran
dan pendidikan anak, .. Dengan kesejahteraan suami-istri dimaksudkan bahwa suami dan
istri sama-sama bertanggungjawab mengusahakan kebahagiaan pasangannya. Sedangkan yang
dimaksudkan dengan kelahiran anak dan pendidikan anak adalah bahwa perkawinan mesti
terbuka terhadap kelahiran anak dan pendidikannya. Sehubungan dengan tujuan ini, perlu dicatat
bahwa kegagalan mencapai ketiga tujuan perkawinan ini tidak menggagalkan perkawinan.
1. 3. Sakramentalitas perkawinan: kan. 1055

Kanon 1055 menyebutkan bahwa Kristus telah mengangkat perkawinan dua orang yang telah
dibaptis menjadi sakramen (1), sehingga tidak ada perkawinan di antara orang-orang yang telah
dibaptis yang tidak dengan sendirinya sakramen (2). Artinya, hubungan kasih antara suami dan
istri kristiani menjadi lambang dan ungkapan nyata-kelihatan dari relasi kasih antara Kristus dan
GerejaNya (bdk. Ef 5,22-33).
Kanon 1055 ini menandaskan adanya identifikasi atau penyamaan antara perjanjian perkawinan
orang-orang dibaptis dengan sakramen. Dalam arti ini, semua perkawinan yang dilakukan oleh
orang-orang yang telah dibaptis (baik baptis katolik maupun kristen non-katolik) selalu
mempunyai karakter sakramen. Sementara itu, perkawinan yang dilangsungkan antara orangorang yang tidak baptis, paling tidak satu dari pasangan itu, hanya akan menghasilkan jenis
ikatan perkawinan natural atau non-sakramental.

Perkawinan dari sudut pandang teologis


Konsili Vatikan II meringkaskan doktrin katolik tentang perkawinan, bahwa
perkawinan pada kodratnya merupakan satu kesatuan antara pria dan wanita
yang telah memutuskan untuk saling memberi dan menerima satu sama lain,
untuk menciptakan satu keluarga. Di samping itu, realitas ilahi memberi makna dan
bobot dari kesatuan hidup tersebut, yakni didasari oleh cinta Kristus sendiri
kepada GerejaNya. Cinta kristus tersebut dinyatakan dalam tindakan pemberian
diri secara total dan radikal, cinta yang gratuit dan agapika. Cinta semacam ini juga
yang harus menjiwai kehidupan pasangan suami-sitri katolik. Dalam kesatuan
hidup dan cinta antara suami-istri dihadirkan hubungan cinta antara Kristus dan
Gereja-NYa, keluarga sebagai masyarakat cinta, menampilkan kesatuan cinta
diantara pribadi
-pribadi dalam Trinitas (lih. GS 48).

Yang menjadi dasar dalam membangun hidup berkeluarga adalah cinta


Yesus Kristus kepada GerejaNya, suami dan istri dipanggil untuk saling mencintai
secara timbal balik,total dan menyeluruh, saling memberi dan menerima yang
diungkapkan dalam persetubuhan yang dilakukan secara manusiawi dengan
memperhatikan kondisi dan situasi pasangannya; penuh pengertian, dilakukan
secara suka rela, tanpa ada paksaan. Hubungan suami-istri bukan hanya
menujukkan kesatuan fisik-biologis, tetapi juga kesatuan hati, kehendak, perasaan
dan visi, yakni mengusahakan kebahagiaan dan kesejahteraan bersama.
Persetubuhan ini merupakan peneguhan dan pembaharuan janji perkawinan. Dasar
Biblisnya adalah Yoh. 15,9-17 ; Ef. 5,22-33.
Perkawinan dari sudut pandang hukum kanonik
Perkawinan katolik hanyalah sah pada saat terjadi pertukaran konsensus
secara definitif, perkawinan sipil dapat dianggap hanya sebagai yang mengatur
efek-efek sipil dari perkawinan itu sendiri, yaitu pilihan kontrak perkaiwinan(yaitu
persetujuan atas pembagian hak dan kekayaan yang ada sekarang dan yang akan
datang) dan konsekuensi-konsekuensi yang diakui oleh hukum sipil negara yang
bersangkutan dalam persoalan ( tipe hubungan dan hak /kewajiban antara suami
dan istri, kondisi-kondisi hidup bersama, kewajiban juridis dan legitimasi anakanak). Karenanya dipahami bahwa dalam konteks ini, pasangan kristiani pada saat
yang sama, satu sama lain adalah subjek dan pelayanan sakramen secara timbal
balik, imam intervensi sebagai saksi autentik untuk memberkati kesatuan
perkawinan yang merupakan tuntutan gerejani, meresmikannya. Ini secara natural
bahwa sakramen perkawinan lahir dari konsensus dan dari persetujuan pasangan
secara bebas dan sadar.
Konsensus inilah yang menjadikan perkawinan. Secara natural tidak setiap
konsensus , tetapi hanyalah konsensus sebagai objek cinta suami-istri, yang mau
hidup bersama menjadi satu dan kesatuan tersebut tak dapat dilepaskan oleh kuasa
manusia manapun, kesatuan suami-istri tersebut karena kodratnya tidak
mengecualikan prokreasi. Demikian, oleh karena persetujuan kehendak secara
timbal balik, dapat dikatakan kontrak, tetapi dalam arti secara esensial moral.
Akibatnya, semua apa yang membuat ketidakmampuan mengungkapkan konsensus
atau yang membuat perkawinan tidak terjadi, konsensus yang tidak sah, membuat
perkawinan pada hakikatnya tidak ada, walaupun dengan penampilan perayaan
religius. Dan apa yang dikatakan halangan perkawinan yang merupakan sebagian
besar kasus yang membuat perkawinan tidak sah. Yang lebih sering melampaui
ketidaktahuan mengenai apa itu perkawinan (ketidaktahuan persoalan esensial
objek dari konsensus) adalah kekurangan kebebasan (contohnya karena tekanan
moral). Sesungguhnya jelas bahwa komitmen antara suami istri harus berlangsung
sepanjang hidup maka konsensus bebas harus dilindungi.
Sebagaimana telah dilihat bahwa keluarga adalah cinta suami istri,
ungkapan martabat pribadi manusia dalam dua pasangan, merumuskan satu
kesatuan dan indissolubilitas(sifat ketidakterceraikan). Oleh karenanya dalam hidup
perkawinan dituntut suatu relasi intim antara suami istri secara eksklusif dan
menuntut adanya kesetiaan timbal balik pada komitmen yang telah disepakati
bersama untuk sehidup-semati dalam suka dan duka.

Berkaitan dengan tujuan tradisional dari perkawinan, yaitu prokreasi dan


pendidikan anak, maka menuntut secara imperatif stabilitas keluarga; keluarga
sesunguhnya merupakan lingkungan alami dalam mana anak dibentuk dan
dikembangkan dalam integrasi dari semua kecenderungan-kecenderungan dan
aktivitasnya untuk membentuk satu kepribadian. Pendidikan dapat mencapai
tujuannya hanya jika anak sendiri mendapat contoh menngenai kesatuan stabil
dari orang tuanya dan jika ia berpartisipasi dalam iklim cinta dan relasi yang mesra
dalam keluarga. Maka sangat penting mempertahankan stabilitas dan kesatuan
hidup perkawinan. Rivelasi kristiani memperkuat dan meneguhkan sifat
indisolubilitas perkawinan karena cinta kristus pada gereja-Nya adalah cinta yang
total dan terpisahkan, absolut. Oleh karena keluarga kristiani merupakan simbol dan
ungkapan dari cinta Kristus kepada GerejaNya, maka relasi suami-istri pun harus
ditandai oleh kesetiaan dan ketikterceraikan.

Perkawinan sebagai sakramen.


Sakramentalitas perkawinan dimulai sejak terjadinya konsensus di antara dua
orang dibaptis yang melangsungkan perkawinan. Dalam membangun hidup
berkeluarga, pasutri harus sungguh-sungguh memberi kesaksian hidup, menjadi
sakramen, tanda keselamatan dan menghadirkan Kerajaan Allah: di dalam keluarga
diciptakan suasana damai, suka cita, pengampunan, cinta kasih, kerelaan
berkorban. Sakramen Perkawinan menyalurkan kepada pasangan-pasangan
Kristen kemampuan serta kesanggupan untuk menghayati panggilan mereka
sebagai awam dan karena itu, untuk mencari kerajaan Allah dengan mengurusi halhal yang fana dan mengaturnya seturut kehendak Allah (FC. 47.). Berkat
sakramen Perkawinan, suami dan istri menunaikan kewajiban-kewajiban mereka
sebagai suami-istri dalam keluarga, mereka diresapi oleh Roh Kristus, yang
memenuhi seluruh hidup mereka dengan iman, harapan dan cinta kasih.
Demikianlah mereka semakin maju menuju kesempurnaan mereka sendiri dan
saling menguduskan dan karena itu, bersama-sama berperan serta demi kemuliaan
Allah Bapa (FC 56 // GS 48).
Seperti dikatakan dalam kanon 1055 bahwa perkawinan diantara orang-orang
yang dibaptis diangkat ke martabat sakramental oleh Yesus. Sakramentalitas
perkawinan merupakan esensi dari perkawinan itu sendiri. Hal ini ditegaskan karena
banyak orang yang menganggap bahwa sakramentalitas hanyalah tambahan atau
asensoris dari kontrak perkawinan. Paus Pius IX mengatakan bahwa sakramen
bukan hanya kualitas acidental yang ditambahkan pada kontrak, tetapi merupakan
esensi perkawinan itu sendiri, dengan demikian, kesatuan suami istri diantara orang
kristiani tidaklah sah jika biukan di dalam perkawinan sakramental, di luar itu
adalah kumpul kebo. Menurut Pio IX tidaklah mungkin memisahkan dimensi
sakrakmental dari kontrak. Dengan demikian menjadi jelaslah posisi gereja
berkaitan dengan perkawinan.

Tujuan dasar perkawinan adalah kebaikan pasangan dan keterbukaan pada


prokreasi dan pendidikan anak. Pada saat seorang pria dan seorang wanita saling
memberikan dirinya secara utuh dalam kesatuan menjadi satu daging, logika
pemberian diri masuk dalam hidup mereka. Tanpa ini, perkawinan akan menjadi
tanpa arti. Cinta suami-istri tidak menutup diri pada dirinya sendiri, tetapi menurut
impuls dan hukum alam terarah pada kehidupan baru. Dengan demikian, pasutri
ikut serta dalam karya penciptaan Allah. Hal yang sama terjadi dalam pemenuhan
tugas mendidik anak yang merupakan kewajiban yang dihubungkan dengan
prokreasi itu sendiri.(kanon 1055)

Anda mungkin juga menyukai