Anda di halaman 1dari 16

Erika Anggraini

1102011088
Kelompok A-5
Sasaran Belajar
1. Memahami dan menjelaskan anatomi makro dan mikro Saluran Pernafasan Atas (SPA)
1.1. Anatomi Makroskopik
1.2.
Anatomi Mikroskopik
2. Memahami dan menjelaskan mekanisme fisiologis sistem respirasi
2.1. Mekanisme pertahanan tubuh SPA
3. Memahami dan menjelaskan Rhinitis Allergica
3.1.
Definisi
3.2.
Klasifikasi
3.3.
Etiologi
3.4.
Patofisiologi
3.5.
Manifestasi klinis
3.6.
Diagnosis dan Diagnosis Diferensial
3.7.
Tata laksana
3.8.
Komplikasi
3.9.
Pencegahan
3.10. Prognosis
4. Memahami dan menjelaskan sistem pernafasan dalam Islam
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------1. Memahami dan menjelaskan anatomi makro dan mikro Saluran Pernafasan Atas
(SPA)
1.1. Anatomi Makroskopik
Hidung
Organ hidung merupakan organ yang pertama berfungsi dalam saluran napas.
Dua buah nares anterior = apertura nasalis anterior ( lubang hidung )
Vestibulum nasi tempat muara nares anterior pada mucusa hidung, terdapat
silia yang kasar yang berfungsi sebagai saringan udara.
Cavum nasi bagian dalam rongga hidung yang berbentuk terowongan,
mulai dari nares anterior sampai ke nares posterior ( choanae ) dilanjutkan ke
daerah nasopharynx.
Septum nasi sekat antara kedua rongga hidung dibatasi oleh dinding yang
berasal dari tulang dan mucusa.
Dibentuk oleh tulang tulang cartilago septi nasi, os vomer dan lamina
parpendicularis ethmoidalis.
Dalam cavum nasi pada sisi lateral terdapat concha concha nasalis yang terbentuk
dari tulang tipis dan ditutupi mucusa yang dapat mengeluarkan lendir dan pada sisi
medial terlihat dinding septum nasi.
Ada tiga buah concha nasalis, yaitu:
1

1. concha nasalis superior


2. concha nasalis media
3. concha nasalis inferior

1.
2.

Tiga buah saluran keluar cairan melalui hidung yaitu:


meatus nasalis superior (antara concha nasalis superior dan media)
meatus nasalis media (antara concha media dan inferior)
3. meatus nasalis inferior (antara concha nasalis inferior dan dinding atas maxilla)
Sinus-sinus yang berhubungan dengan cavum nasi dikenal dengan sinus paranasalis,
antara lain:
1. sinus sphenoidalis, mengeluarkan sekresinya melalui meatus superior
2. sinus frontalis, ke meatus media.
3. sinus ethmoidalis, ke meatus superior dan media
4. sinus maxillaries, ke meatus media.
Pada sudut mata medial terdapat hubungan hidung dan mata melalui ductus
nasolacrimalis, tempat keluarnya air mata ke hidung melalui meatus inferior. Pada
nasopharynx terdapat hubungan antara hidung dengan rongga telinga melalui
Osteum Pharyngeum Tuba Audtiva (OPTA), torus tubarius.
Persarafan hidung
1. Bagian depan dan atas cavum nasi mendapat persarafan sensorik dari cabang
nervus opthalmicus (N V1) Nervus olfactorius (Nervus I): memberikan sel-sel
reseptor untuk penciuman yang terletak pada 1/3 bagian atas depan mucusa
hidung, septum dan conchae nasalis. Masuk cavum nasi melalui Lamina
cribrosa os ethmoidalis.
2. Bagian lainnya termasuk mucusa hidung cavum nasi dipersarafi oleh ganglion
sfenopalatinum.
3. Daerah nasopharynx dan concha nasalis mendapat persarafan sensorik dari
cabang ganglion pterygopalatinum.
Vaskularisasi hidung
Berasal dari cabang cabang Arteri opthalmica dan Arteri Maxillaris Interna
1. Arteria ethmoidalis anterior dengan cabang-cabangnya sebagai berikut: arteri
nasalis externa dan lateralis, arteri septalis anterior.
2. arteria ethmoidalis posterior dengan cabang-cabangnya: arteri nasalis
posterior, lateralis dan septal, arteri palatinus majus.
3. arteria sphenopalatinum cabang arteri maxillaris interna.
Ketiga pembuluh darah di atas pada mucusa hidung membentuk anyaman kapiler
pembuluh darah yang dinamakan Plexus Kisselbach. Plexus ini mudah pecah oleh
trauma/infeksi sehingga sering menjadi sumber epistaksis (pendarahan hidung
terutama pada anak).
Faring
Merupakan struktur seperti tuba yang menghubungkan hidung dan ronggamulut ke
laring. Dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:
Nasofaring
2

Orofaring
Laringofaringeal
Berfungsi untuk menyediakan saluran pada traktus repiratorius dan traktus
digestivus.
Larynx
Daerah yang dimulai dari aditus laryngis sampai batas bawah cartilago cricoid.
Rangka larynx terbentuk oleh tulang dan tulang rawan
1. Os Hyoid (1 buah)
terbentuk dari jaringan tulang, seperti besi telapak kuda
mempunyai 2 buah cornu-cornu majus dan minus
dapat diraba pada batas antara batas atas leher dengan pertengahan dagu
berfungsi tempat perlekatan otot mulut dan cartilago thyroid
2. Cartilago thyroid (1 buah)
terletak di bagian depan dan dapat diraba tonjolan yang dikenal dengan
prominens laryngis atau adams apple, dalam kehidupan sehari-hari
disebut jakun, lebih jelas pada laki laki.
Melekat ke atas dengan os hyoid dan ke bawah dengan cartilago cricoid, ke
belakang dengan arytenoid.
Jaringan ikatnya adalah membrana thyrohyoid.
Mempunyai cornu superior dan cornu inferior
Pendarahan dari arteri thyroidea superior dan inferior.
3. Cartilago arytenoid (2 buah)
Terletak posterior dari lamina cartilago thyroid dan di atas dari cartilago
cricoid.
Mempunyai bentuk seperti burung pinguin, ada cartilago cornuculata dan
cuneiforme.
Kedua arytenoid dihubungkan oleh m. arytenoideus transversus.
4. Epiglotis (1 buah)
Tulang rawan berbentuk sendok
Melekat di antara kedua cartilago arytenoid
Berfungsi membuka dan menutup aditus laryngis
Berhubungan dengan cartilago arytenoid melalui m. Aryepiglotica
Pada waktu biasa epiglotis terbuka, tetapi pada waktu menelan epiglotis
menutup aditus laryngis supaya makanan jangan masuk ke larynx.
5. Cartilago cricoid
Batas bawah cartilago thyroid (daerah larynx)
Berhubungan dengan thyroid dengan ligamentum cricothyroid dan m.
cricothyroid medial lateral
Batas bawah adalah cincin pertama trachea
Berhubungan dengan cartilago arytenoid dengan otot m. cricoarytenoideus
posterior dan lateralis.
Dalam cavum laryngis terdapat :
Plica vocalis adalah pita suara asli, sedangkan plica vestibularis adalah pita suara
palsu. Plica vocalis merupakan pita suara yang terbentuk dari lipatan mucusa
ligamentum vocale dan ligamentum ventricularis.
3

Bidang antara pilca vocalis kiri dan kanan disebut dengan rima glotis, sedangkan
antara kedua plica ventriculi disebut rima ventriculi.
Pada rima glotis terdapat m. vocalis, m. cricoarytenoideus posterior, dan di
sampingnya m. thyroarytenoideus.
Salah satu fungsi dari larynx adalah membantu respirasi dengan mengatur besar
kecilnya rima glotis, bila m. cricoarytenoideus berkontraksi akan menyebabkan
processus cartilago arytenoid bergerak ke lateral, sehingga rima glotis terbuka yang
disebut dengan abduksi plica vocalis, sedangkan sebaliknya bila m. cricoartenoideus
posterior relaksasi terjadi adduksi plica vocalis dan rima glotis menutup.
Trachea
Terdiri dari tulang rawan dan otot yang berbentuk pipa yang terletak di tengah
tengah leher sampai incisura jugularis di belakang manubrium sternum masuk
mediastinum superior.
Dimulai dari bagian bawah cartilago cricoid setinggi cervical V1 sampai bercabang
menjadi bronchus dextra dan sinistra setinggi vertebrae thoracal ke IV V.
Percabangan tersebut dikenal dengan bifurcatio trachea.
Panjang trachea (10-12 cm), pria (12 cm), dan wanita (10 cm) yang terdiri dari (1620 cincin) yang berbentuk lingkaran, berhubungan dengan daerah larynx melalui
cartilago cricoid dengan ligamentum cricotrachealis. Diantara tulang rawan terdapat
jaringan ikat ligamentum intertrachealis (ligamentum annulare).
Trachea adalah saluran napas yang penting dalam penyumbatan saluran napas
terutama daerah larynx dengan membuat tracheostomi ( membuat lubang pada
trachea terutama obstruksi larynx mendadak ) 1-2 cm di atas incisura jugularis sterni.
1.3.

Anatomi Mikroskopik
Permukaan SPA dilapisi epitel respirasi yaitu bertingkat toraks bersilia dengan sel
goblet. Di submukosa terdapat pembuluh darah dan kel. mukosa yang memproduksi
sekret mukus.

Hidun

g
1.

Vestibulum
nasi: kel. keringat dan sebasea, vibriseae
2. Concha nasalis: media dan inferior dilapisi epitel respirasi sedangkan superior
dilapisi epitel olfactorius (epitel bertingkat toraks). Lamina propria terdapat
pleksus venosus atau Suell Bodies yang akan mengembang ketika terjadi
inflamasi sehingga menyumbat hidung.
4

Sinus Paranasalis epitel respirasi tipis


Nasofaring epitel respirasi
Epiglotis permukaan lingual dilapisi epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk,
sedangkan laringeal epitel respirasi. Terdapat kartilago elastin dan kel. campuran.
Laring epitel respirasi, kel. serosa, kartilago hyalin, sedikit kartilago elastin,
terdapat lipatan membran (plica vestibularis dan vocalis), berkas serat elastin dan
berkas otot rangka M. Vokalis
Trakea Dilapisi oleh mukosa respirasi, epitel bertingkat silindris. 16-20 cincin
tulang rawan hialin berbentuk C, yang terdapat di dalam L. propria, berfungsi
menjaga agar lumen trakea tetap terbuka. Ujung terbuka dari cincin berbentuk C
terletak di permukaan posterior trakea. Ligamen fibroelastis dan berkas-berkas otot
polos (M. trakealis) terikat pada periostium dan menjembatani kedua ujung bebas
tulang rawan berbentuk C. Ligamen mencegah over distensi dari lumen, sedangkan
muskulus memungkinkan lumen menutup. Kontraksi otot dan penyempitan lumen
trakea akibat bekerjanya refleks batuk.

2. Memahami dan menjelaskan mekanisme fisiologis sistem respirasi


Sistem respirasi secara fisiologis meliputi pernafasan luar dan pernafasan dalam.
a. Pernafasan luar (eksternal)
pertukaran O2 CO2 antar sel-sel tubuh dengan udara luar.
b. Pernafasan dalam (internal)
respirasi sel didalam mitokondria intrasel, dimana metabolisme ini membutuhkan O 2
dari kapiler jaringan dan menyuplai metabolit CO 2 ke kapiler.
Proses pernafasan luar meliputi beberapa tahapan :
1. Ventilasi pertukaran udara luar dengan alveol paru. Terdiri dari inspirasi dan
ekspirasi.
2. Difusi pertukaran O2 CO2 antara udara alveol dengan kapiler paru.
- Fase gas pertukaran gas antara udara luar dengan udara alveol. Semakin berat
molekul gas, semakin cepat proses difusinya. (O 2 > CO2)
- Fase membran pertukaran O2 CO2 antara alveol dengan darah dalam kapiler
paru melewati membran kapiler. Semakin tipis membran, semakin cepat difusinya.
- Fase cairan pertukaran O2 CO2 dalam sirkulasi darah dengan hemoglobin dalam
eritrosit. Semakin mudah larut, difusi semakin cepat. (CO 2 > O2 , karena daya larut
CO2 24,3x > O2)
3. Perfusi pengangkutan O2 dan CO2 oleh pembuluh darah paru ke kapiler jaringan
atau sebaliknya.
4. Pertukaran O2 CO2 antara darah di kapiler jaringan dengan sel-sel jaringan.

Tiga pusat pengaturan pernapasan normal yaitu:


1. Pusat Respirasi
Terletak pada formatio retikularis medula oblongata sebelah kaudal. Pusat
respirasi ini terdiri atas pusat inspirasi dan pusat ekspirasi.
2. Pusat Apneustik

Terletak pada pons bagian bawah. Mempunyai pengaruh tonik terhadap pusat
inspirasi. Pusat apneustik ini dihambat oleh pusat pneumotaksis dan impuls
aferen vagus dari reseptor paru-paru. Bila pengaruh pneumotaksis dan vagus
dihilangkan, maka terjadi apneustik.
3. Pusat Pneumotaksis
Terletak pada pons bagian atas. Bersama-sama vagus menghambat pusat
apneustik secara periodik. Pada hiperpnea, pusat pneumostaksis ini
merangsang pusat respirasi.
Aktivitas pernapasan diatur secara kimia dan non-kimia.
Penurunan PO2 , peningkatan PCO2 atau konsentrasi ion H darah akan
meningkatkan aktivitas pusat respirasi. Perubahan yang berlawanan mempunyai
efek hambatan terhadap aktivitas respirasi.
Secara non-kimia, pengaturan aktivitas pernapasan adalah melalui suhu tubuh
dan aktivitas fisik. Peningkatan suhu tubuh dapat meningkatkan aktivitas
pernafasan.
Mekanisme pernapasan dibedakan atas dua macam, yaitu:
1. Pernapasan dada adalah pernapasan yang melibatkan otot antartulang rusuk.
Fase inspirasi. Fase ini berupa berkontraksinya otot antartulang rusuk sehingga
rongga dada membesar, akibatnya tekanan dalam rongga dada menjadi lebih
kecil daripada tekanan di luar sehingga udara luar yang kaya oksigen masuk.
Fase ekspirasi. Fase ini merupakan fase relaksasi atau kembalinya otot antara
tulang rusuk ke posisi semula yang dikuti oleh turunnya tulang rusuk sehingga
rongga dada menjadi kecil. Sebagai akibatnya, tekanan di dalam rongga dada
menjadi lebih besar daripada tekanan luar, sehingga udara dalam rongga dada
yang kaya karbondioksida keluar.
2. Pernapasan perut merupakan pernapasan yang mekanismenya melibatkan
aktivitas otot-otot diafragma yang membatasi rongga perut dan rongga dada.
Fase Inspirasi. Pada fase ini otot diafragma berkontraksi sehingga diafragma
mendatar, akibatnya rongga dada membesar dan tekanan menjadi kecil
sehingga udara luar masuk.
Fase Ekspirasi. Fase ekspirasi merupakan fase berelaksasinya otot diafragma
(kembali ke posisi semula, mengembang) sehingga rongga dada mengecil dan
tekanan menjadi lebih besar, akibatnya udara keluar dari paru-paru.
2.1.

Mekanisme pertahanan tubuh SPA


Mekanisme pertahanan saluran napas tidak hanya berkaitan dengan infeksi
(mikroorganisme) tetapi juga melawan debu/ partikel, gas berbahaya, serta suhu.
Mekanisme pertahanan tubuh yang melingdungi paru berupa:
1. Mekanisme yang berkaitan dengan factor fisik, anatomic dan fisiologik
a. Deposisi partikel
Partikel yang masuk ke dalam system pernapasan ukurannya sangat
heterogen. Partikal yang berukuran >10 m tertangkap di dalam rongga
hidung karena ditangkap oleh bulu bulu hidung, yang berukuran 5-10 m
6

tertangkap di bronkus dan percabangannya dan akan dikeluarkan dengan


reflek, sedangkan yang berukuran >3 m dapat masuk ke dalam alveoli dan
dimusnahkan dengan makrofag.
b. Reflek Batuk
Baktuk adalah mekanisme reflex yang sangat penting untuk menjaga jalan
napas agar tetap terbuka, menghalau benda asing yang dapat menyebabkan
peradangan pada system pernapasan. Mekanisme batuk adalah batuk
diawali dengan inspirasi dalam diikuti oleh ekspirasi kuat melawan glottis
yang tertutup. Hal ini dapat meningkatkan tekanan intrapleura sampai 100
mmHg atau lebih. Glottis terbuka secara tiba tiba sehingga terjadi semburan
aliran udara keluar dengan kecepatan mencapai 965 km/ jam.
2. Mekanisme eskalasi (pertambahan jumlah) mucus
Mekanisme ini melibatkan peran silia dan mucus. Silia terdapat pada dingding
saluran pernapasan mulai dari laring sampai bronkiolus terminal. Silia bergerak
14 kali per detik. Jumlah silia dan aktivitasnya dipengaruhi oleh asap rokok,
toksin, dan asidosis; ketiganya menurunkan jumlah silia dan aktivitasnya.
3. Mekanisme fagositik dan inflamasi
Partikel dan mikroorganisme yang tersisa akan difagositosis oleh sel yang
bertugas mempertahankan tubuh. Sel sel tersebut adalah makrofag dan sel
polimorfonuklear (PMN). Di jaringan paru terdapat sel makrofag alveolar/ dust
cell/ sel debu. Sel ini besar berdiameter 15-50 m, sel ini merupakan
perkembangan dari sel monosit yang diproduksi oleh SSTL. Di dalam sitoplasma
makrofag, terdapat bermacam bentuk granula yang berisi berbagai enzim untuk
mencerna partikel dan mikroorganisme yang difagositosis.
Sel PMN berperan ketika melawan mikroorganisme yang menginfeksi paru
terutama di distal paru. Jika ada mikroorganisme masuk dan tidak dapat diatasi
makrofag, mikroorganisme akan berkembang biak di alveoli dan menyebabkan
pneumonia dan proses inflamasi. Berbagai komplemen komponen inflamasi akan
mengundang PMN untuk dating dan segera memfagosit.
4. Mekanisme respon imun
Ada 2 macam komponen di dalam system imun, yaitu:
A. Mekanisme respon imun humoral yang melibatkan limfosit B
Mekanisme ini tampak dalam 2 bentuk antibody berupa IgA dan IgB. IgA
penting sebagai pertahanan di nasofaring dan saluran udara pernapasan
bagian atas. IgG banyak ditemukan di bagian distal paru. Berperan dalam
menggumpalkan partikel menetralkan toksin yang diproduksi oleh virus dan
bakteri, mengaktifkan komplemen dan melisiskan bakteri gram -.
B. Mekanisme respon imun selularl yang melibatkan limfosit T
Sensitasi terhadap limfosit T dapat menyebabkan limfosit T menghasilkan
berbagai mediator yang dapat larut yang disebut limfokin, yaitu zat yang
dapat menarik dan mengaktifkan sel pertahanan tubuh yang lain makrofag.
3. Memahami dan menjelaskan Rhinitis Allergica
3.1. Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen
spesifik tersebut (von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its
Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan
7

gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
alergen yang diperantarai oleh IgE.
3.2.Klasifikasi
1. Lama berlangsung :
Intermitten : kadang-kadang. Gejala < 4 hari/minggu atau < 4 minggu.
Persisten : menetap. Gejala > 4 hari/minggu dan atau > 4 minggu.
2. Port dentree (cara masuknya alergen) :
Inhalan : alergen yang masuk lewat inspirasi pernafasan. Co : tungau debu,
spora fungi, serbuk bunga, dll.
Ingestan : alergen yang masuk lewat saluran pencernaan. Co : ikan laut, udang,
telur, dll.
Injektan : alergen yang masuk tubuh lewat suntikan atau tusukan. Co : obatobatan (penisilin) dan gigitan serangga.
Kontaktan : alergen yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan
mukosa. Co : kosmetik, logam, latex, dll.
3. Derajat penyakit :
a. Ringan : bila tidak ditemukan gangguan tidur, aktifitas harian, olahraga, belajar,
bekerja dll yang mengganggu.
b. Sedang/berat : bila didapati 1 / > gangguan terhadap aktifitas yang disebut
diatas.
4. Respon :
a. Fase Cepat : langsung sejak terpapar alergen hingga 1 jam setelahnya. Gejala
berupa bersin-bersin, hidung tersumbat, dan rinore. Disebabkan oleh
pengikatan mediator inflamasi (terutama histamin) dengan reseptornya yang
menyebabkan
vasodilatasi
dan
peningkatan
permeabilitas
kapiler,
perangsangan serabut vidianus (ujung N.V) dan kontraksi otot polos.
b. Fase Lambat : 4-8 jam setelah fase cepat. Gejala didominasi hidung tersumbat,
hiposmia dan post nasal drip. Disebabkan pelepasan VCAM (vascular cell
adhesion molecule) oleh sel endotel post-kapiler yang diaktivasi mediator fase
cepat. Sehingga sel leukosit (terutama eosinofil) berinfiltrasi dan memproduksi
protein-protein eosinofilik yang menyebabkan hidung hiperreaktif dan
hiperresponsif.
Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative
ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi :
Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari
4 minggu.
Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.
3.3.Etiologi
Reaksi imunologis berupa Hipersensitivitas tipe 1 yang diperantarai oleh IgE. Reaksi
ini merupakan interaksi antara faktor genetik dengan faktor pencetus.
Faktor predisposisi : genetik atau riwayat atopik keluarga sangat berperan dalam
ekspresi rhinitis alergi.

Faktor pencetus : Bermacam-macam, diantaranya adalah suhu dingin, debu, polusi


udara, asap rokok, aroma yang kuat atau merangsang, obat-obatan tertentu, gigitan
serangga, toxin mikroba dll.
3.4.Patofisiologi
Terdiri dari beberapa tahapan :
1. Sensitasi Alergen kontak dengan sel CD4+
Alergen masuk dan melekat di membran mukosa difagosit oleh APC fragmen
antigen akan disajikan melalui kompleks MHC-II pada permukaan APC sensitasi
antigen oleh sel CD4+.
2. Produksi IgE sensitasi akan mengaktivasi APC dan melepas sitokin - mengubah
sel CD4+ menjadi sel Th2 - Sel Th2 melepas sitokin IL-4, IL-3, IL-13, IL-5 menginduksi sel B menjadi sel plasma penghasil IgE IgE dilepas ke sirkulasi
melekat pada reseptornya di sel mast dan basofil aktivasi sel.
3. Resensitasi pemaparan ulang antigen terhadap membran mukosa epitel
Dengan masuknya antigen yang sama, langsung diikat silang oleh IgE pada sel
mast.
4. Degranulasi dan pelepasan mediator infalamasi
Ikatan silang antigen IgE di sel mast - permeabilitas membran terhadap Ca 2+
meningkat - Ca2+ masuk intrasel - kadar cAMP intrasel turun - granul luruh dan
pecah - mediator inflamasi seperti histamin, serotonin, leukotrien, prostaglandin,
sitokin dan kemoatraktan keluar ke sirkulasi dan jaringan.
5. Respon fase cepat dan lambat mediator inflamasi berikatan dengan reseptor
spesifik timbul fase cepat. Selanjutnya dihasilkan VCAM yang memicu infiltrasi
eosinofil dan sel leukosit lainnya dilepaskan protein eosinofilik - timbul fase

lambat.
3.5.Manifestasi Klinis
9

Manifestasi
Hidung gatal dan bersin-bersin
>5x setiap serangan
Rinore (ingus encer, jernih dan
banyak)

Keterangan
Histamin reseptor di ujung saraf
vidianus (menggiatkan kerja
parasimpatis)
Vasodilatasi, pembesaran sel
goblet dan hipersekresi mukus

3.6.Diagnosis dan
Diagnosis
diferensial
1. Anamnesi
s
50%
diagnosis

Efek inflamasi histamin pada


konjungtiva mata melalui duktus
nasolakrimalis
Peningkatan permeabilitas
vaskuler - proliferasi jar. ikat dan
Konka membengkak, berwarna
hiperplasia mukosa, pembesaran
pucat/kebiruan
ruang interseluler dan penebalan
membran basal.
Vasodilatasi sinusoid dan
Hidung tersumbat
hipersekresi mucus dan edema
konka
ditegakkan dari anamnesis. Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 2/> manifestasi
diatas.
Identifikasi pola gejala (intermiten/persisten) beserta onset dan keparahannya,
identifikasi faktor predisposisi, respon pengobatan, kondisi lingkungan dan
pekerjaan.
Mata terasa gatal, merah dan
berair (lakrimasi)

2. Pemeriksaan Fisik
Allergic shiner (garis Dennie-Morgan)
Lingkar hitam dibawah mata akibat venostasis karena obstruksi hidung.
Allergic crease
Garis melintang pada dorsum nasi bagian 1/3 bawah akibat seringnya
menggosok hidung dengan punggung tangan (Allergic Sallute)
Konka edema, pucat/kebiruan, edema kelopak mata.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Uji alergi kulit : tes konfirmasi rhinitis alergi. untuk mencari jenis alergen
penyebab
SET (Skin End-point Titration) : untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan
alergen dengan konsentrasi bertingkat.
Challenge test : untuk menguji alergen ingestan dengan diet eliminasi dan
provokasi.
b. Sitologi : hanya pelengkap dan tidak memastikan diagnosis. Peningkatan
eosinofil menunjukkan alegen inhalan, bila basofil meningkat (5 sel/LPB) maka
alergen ingestan.
c. Serologi : pemeriksaan IgE dengan RAST/ELISA

Perbedaan
R. Alergi

Etiologi
Respon imun yg
dimediasi IgE

Gejala
Bersin yg
didahului gatal
pada mata dan
hidung.

Sekret
Jernih, cair

Lain-lain
Uji cukit kulit +

10

R. Vasomotor

R. Hormonal

Aktifitas
parasimpatis >
simpatis
Gangguan
keseimbangan
estrogen

R. Infeksiosa

Agen infeksius
(bakteri, virus)

R. Non-Alergi
dengan sindrom
eosinofilia
R.
Medikamentosa

Kelainan
metabolisme
prostaglandin
Efek samping
obat tertentu

----*
Hiposmia*
Dominasi oleh
rinore dan
obstruksi hidung
Demam, nyeri
tekan wajah,
hiposmia

----

---Kental,
kekuningan/hijau.

---Hiposmia

----

----

----

Sembuh bila
diberi penggiat
simpatis.
Sembuh sendiri
atau dg terapi
hormon
Sembuh dengan
antivirus atau
antibiotik
Eosinofil 10-20%
pada nasal swab.
Menghilang bila
obat dihentikan

---- : sama seperti R. Alergi


Hiposmia : penurunan fungsi indera penciuman
3.7.Tata Laksana
Terapi :
1. Menghindari kontak dengan allergen penyebab (terapi ideal)
2. Simtomatik Pengobatan, penggunaan obat antihistamin H-1 (lini pertama atau
kombinasi dekongestan oral). Obat Kortikosteroid, gejala utama sumbatan hidung
akibat respon fase lambat tidak berhasil diatasi oleh obat lain
3. Tindakan Operasi (konkotomi) jika tidak berhasil memotong konka nasi inferior
yang mengalami hipertrofi berat. Lakukan setelah kita gagal mengecilkan konka
nasi inferior menggunakan kauterisasi yang memakai AgNO3 25% atau triklor
asetat
4. Penggunaan Imunoterapi Jenisnya desensitasi, hiposensitasi dan netralisasi.
Desensitasi dan hiposensitasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi
inhalan yang gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum
memuaskan. Netralisasi tidak membentuk blocking antibody dan untuk alergi
ingestan.
Antihistamin
Antihistamin bekerja dengan memblok reseptor histamin. Dikenal 3 macam
reseptor histamin yaitu H1, H2 dan H3. Reseptor histamin yang diblok pada
pengobatan rinitis alergi adalah H1 yang terdapat di bronkus, gastrointestinal, otot
polos, dan otak.
Antihistamin (AH1) yang beredar di pasaran adalah generasi pertama dan kedua.
Perbedaan menonjol, terletak pada kemampuan menembus sawar darah otak dan
selektivitas/spesifisitas :
AH1 bersifat lipofobik sehingga kurang mampu menembus sawar darah otak,
yang akhirnya mengakibatkan penurunan efek sedasi.
AH2 :
- generasi kedua lebih selektif sehingga tidak mempengaruhi reseptor fisiologik
yang lain seperti muskarinik dan adrenergik alfa.

11

mempunyai efek antialergi (menghambat pelepasan histamin, prostaglandin,


kinin, dan leukotrien ) dan antiinflamasi (dapat mengurangi ekspresi ICAM-1 pada
epitel konjungtiva)

Kortikosteroid
Berdasarkan pemakaiannya, kortikosteroid dibagi menjadi 2 yaitu topikal dan
sistemik.
Kortikosteroid topikal menjadi pilihan pertama untuk penderita rinitis alergi
dengan gejala sedang sampai berat dan persisten (menetap) efek antiinflamasi
jangka panjang. Kortikosteroid topikal efektif mengurangi gejala sumbatan hidung
yang timbul pada fase lambat.
Efek spesifik kortikosteroid topikal menghambat fase cepat dan lambat dari
rinitis alergi, menekan produksi sitokin Th2, sel mast dan basofil,
mencegah switching dan sintesis IgE oleh sel B, menekan pengerahan lokal dan
migrasi transepitel dari sel mast, basofil, dan eosinofil, menekan ekspresi GM-CSF,
IL-6, IL-8, RANTES, sitokin, kemokin, mengurangi jumlah eosinofil di mukosa
hidung dan juga menghambat pembentukan, fungsi, adhesi, kemotaksis dan
apoptosis eosinofil 1.
Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk terapi jangka pendek pada
penderita rinitis alergi berat yang refrakter terhadap terapi pilihan pertama.
Studi oleh Weiner JM dkk, seperti dilansir dari British Medical Journal 1998,
menyimpulkan bahwa kortikosteroid intranasal lebih baik digunakan sebagai
terapi lini pertama rinitis daripada antihistamin, ditilik dari segi keamanan
dan cost-effective-nya.
Dekongestan
Dekongestan mengurangi sumbatan hidung dan kongesti dengan cara
vasokonstriksi melalui reseptor adrenergik alfa.
Preparat topikal bekerja dalam waktu 10 menit, dan dapat bertahan hingga 12
jam. Es : rasa panas dan kering di hidung, ulserasi mukosa, serta perforasi
septum. Terakhir jarang terjadi adalah Takifilaksis dan gejala rebound (rinitis
medikamentosa) dapat terjadi pada pemakaian dekongestan topikal jangka
panjang.
Efek preparat oral setelah 30 menit dan berakhir 6 jam kemudian, atau dapat
lebih lama (8-24 jam) bila bentuk sediaanya adalah tablet lepas lambat (sustained
release). Efek samping berupa iritabilitas, pusing melayang (dizziness), sakit
kepala, tremor, takikardi, dan insomnia.
Penstabil Sel Mast
Contoh golongan ini adalah sodium kromoglikatefektif mengontrol gejala rinitis
dengan efek samping minimal. Tetapi, terapi hanya dapat digunakan sebagai
preventif.
Preparat ini bekerja dengan cara menstabilkan membran mastosit dengan
menghambat influks ion kalsium sehingga pelepasan mediator tidak terjadi.
Kelemahan lain adalah frekuensi pemakaiannya sebanyak 6 kali per hari sehingga
mempengaruhi kepatuhan pasien.

12

Immunoterapi
Mekanisme immunoterapi dalam menekan gejala rinitis mengurangi jumlah IgE,
neutrofil, eosinofil, sel mast, dan limfosit T dalam peredaran darah.
Salah satu contoh preparat ini adalah omalizumab merupakan antibodi anti-IgE
monoklonal yang bekerja dengan mengikat IgE dalam darah.
Penelitian omalizumab berhasil menurunkan kadar IgE bebas dan memperbaiki
gejala rinitis. Uji klinis fase II memaparkan
Dosis omalizumab adalah 300 mg secara subkutan, 1 kali setiap 3-4 minggu.
Secrist H dkk dalam Journal of Experimental Medicine 2006 memaparkan,
immunoterapi dapat mengurangi IL-4 yang diproduksi oleh limfosit T CD4 +.
Dengan demikian, produksi IgE pun akan berkurang.
Fototerapi
Alternatif bagi penderita rinitis yang tidak mendapat respon perbaikan dengan
terapi konvensional adalah fototerapi. Hal itu dibuktikan oleh Koreck AI dkk seperti
dikutip dalam Journal of Allergy and Clinical Immunology 2005.
Dilatarbelakangi oleh fakta bahwa fototerapi digunakan pada beberapa penyakit
kulit seperti psoriasis karena dapat merangsang apoptosis limfosit T. Penelitian ini
membandingkan kemampuan sinar ultraviolet dengan cahaya tampak intensitas
rendah (low-intensity visible light) dalam mengurangi gejala rinitis.
Subyek penelitian disinari sebanyak 3 kali per minggu selama 3 minggu. Dosis
inisial sinar ultraviolet adalah 1,6 J/cm2 dan dinaikkan 0,25 J/cm2 setiap 3 kali
pengobatan. Sedangkan cahaya tampak intensitas rendah diberikan sebesar 0,06
J/cm2.
Hasilnya, gejala rinitis berkurang dan didapatkan pula penurunan jumlah
eosinofil, eosinophilic cationic protein (ECP) dan IL-5 pada kelompok sinar
ultraviolet daripada kelompok cahaya tampak intensitas rendah.
Operatif
Bila chonca inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan
kateterisasi AgNO3 atau troklor asetat maka dilakukan tindakan Konkotomi yaitu
pemotongan chonca inferior.
3.8.Komplikasi

Komplikasi
Polip hidung

Sinusitis
Otitis media

Keterangan
Akumulasi sel-sel inflamasi yang sangat banyak (>> eosinofil
dan sel CD4+), hiperplasia epitel, sel goblet dan metaplasia
squamosa.
Alergi obstruksi ostia sinus-oksigenasi dan tekanan udara
menurun-bakteri anaerob tumbuh-peradangan pada sinus
Alergi menyebabkan penyumbatan tuba eustaschii - disfungsi
dan efusi telinga tengah.

3.9.Pencegahan
Primer : mencegah sensitisasi alergen dengan sel imun.
13

Identifikasi bayi yang berisiko atopi, memberikan diet restriksi (tanpa susu, ikan
laut dan kacang) pada ibu hamil sejak trimester 3 hingga selama masa laktasi, bayi
diberikan ASI eksklusif selama 5-6 bulan, kontrol lingkungan untuk mengeliminir
faktor pencetus.
Sekunder : mencegah manifestasi alergi dengan menghindari allergen
1. Menghindari makanan dan obat-obatan yang dapat menimbulkan alergi.
2. Jangan biarkan hewan berbulu masuk kedalam rumah, jika alergi terhadap bulu
hewan.
3. Bersihkan debu dengan menyedot dan lap basah, minimal 2-3 kali dalam satu
minggu, jangan menggunakan sapu yang dapat menyebarkan debu.
4. Gunakan pembersih udara elektris (AC) untuk membuang debu rumah, jamur
dan pollen dari udara. Cuci dan ganti filter secara berkala.
5. Tutup perabotan berbahan kain dengan lapisan yang bisa dicuci sesering
mungkin.
6. Jangan mengunakan bahan atau perabot yang dapat menampung debu didalam
debu kamar.
7. Untuk menghindari kontak dengar allergen, gunakan sarung tangan dan masker
ketika sedang bersih-bersih di dalam maupun di luar rumah.
8. Larang rokok dan pengunaan produk yang beraroma di rumah.
Tersier : mengurangi dan mencegah bertambah buruknya gejala alergi dengan
avoidance dan terapi simtomatis.

3.10. Prognosis
Secara umum baik. Rinitis alergi secara menyeluruh akan berkurang dengan
bertambahnya usia walaupun risiko asma bronkial meningkat. Remisi spontan dapat
terjadi sebanyak 15-25% dalam jangka waktu 5-7 tahun. Remisi rinitis alergi musiman
lebih besar frekuensinya dibandingkan yang perennial.
Banyak gejala rinitis alergi dapat dengan mudah diobati. Pada beberapa kasus
(khususnya pada anak-anak), orang mungkin memperoleh alergi seiring dengan sistem
imun yang menjadi kurang sensitif pada alergen. Efek sistemik, termasuk lelah,
mengantuk, dan lesu, dapat muncul dari respon peradangan. Gejala-gejala ini sering
menambah perburukan kualitas hidup.
4. Memahami dan menjelaskan sistem pernafasan dalam Islam
HADIS TENTANG MENGUAP :
.
, , : ,
, ,

,
"Bersin itu dari Allah dan menguap itu dari syaitan. Jika salah seorang kalian menguap,
maka tutuplah mulutnya dengan tangannya dan jika ia mengatakan `aaah... ' , maka
syaitan tertawa di dalam perutnya. Sesungguhnya Allah menyukai bersin dan membenci
menguap." (Hadis riwayat. At-Tirmidzi )
a. Berusaha menahannya sedaya upaya.
Sabda Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam :
"Apabila salah seorang dari kalian menguap dalam sholatnya, hendaklah ia
14

berusaha menahan menguapnya sedaya mampu kerana ia boleh menyebabkan


syaitan masuk." (Hadis riwayat. Muslim)
b. Hendaklah kita menutup mulut (samada dengan tangan kiri atau kanan, depan
atau belakang, kerana Nabi Shallallaahu alaihi wa sallam tidak menetapkan mana2
bahagian),
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam
bersabda (maksudnya),
Jika seseorang dari kalian menguap, maka tutuplah mulut dengan tangannya kerana
sesungguhnya syaitan masuk (ke dalam mulut yang terbuka) . (Hadis Riwayat
Muslim)
c. Hindarkan dari mengeluarkan bunyi ketika menguap.
Seperti Haaaaaah Kerana apabila seseorang itu menguap sambil mengeluarkan
bunyi, maka Syaitan akan ketawa.
d. Hindarkan juga mengangkat suara ketika menguap.
Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam
bersabda (maksudnya),
Menguap adalah dari Syaitan. Maka apabila seseorang dari kalian menguap,
tahanlah (dari menguap) dengan segenap upaya mungkin kerana sesungguhnya
apabila seseorang itu menguap sambil berbunyi Haaa maka Syaitan akan
mentertawakannya. (Hadis Riwayat al-Bukhari.
Maka, apabila anda bebas dari gangguan syaitan, anda pasti dapat melaksanakan
tanggungjawab anda dengan cemerlang.
Adab bersin
Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud: Sesungguhnya Allah SWT sukakan bersin
dan benci pada menguap. Jika salah seorang kamu bersin dan memuji Allah SWT,
hendaklah orang Islam yang mendengarnya mengucapkan Yarhamukallah. Sedangkan
menguap itu adalah daripada syaitan. Maka jika seorang kamu menguap hendaklah ia
mengembalikannya (menahannya) sedapat mungkin, kerana apabila kamu menguap,
syaitan akan ketawa melihatnya. (Hadis Riwayat al-Bukhari)
Tasymid dan Tahmid Dari Anas bin Malik r.a. katanya: Dua orang laki-laki bersin dekat
Nabi SAW. Lalu yang satu ditasymitkan oleh baginda sedangkan yang satu lagi tidak.
Maka bertanya orang yang tidak ditasymitkan, tetapi aku bersin tidak kamu tasymitkan.
Mengapa begitu, ya Rasulullah? Jawab baginda, Yang ini sesudah bersin dia memuji
Allah sedangkan kamu tidak. (Sahih Muslim)
uraian:
1. Islam selaku agama yang mulia amat menekankan kesopanan dan kesantunan dari
sekecil-kecil perkara hinggalah sebesar-besarnya sama ada dalam pergaulan,
percakapan ataupun tingkah-laku refleks seperti menguap, bersin dan sebagainya.
2. Ketika menguap terdapat adabnya yang tersendiri iaitu hendaklah meletakkan tangan
di mulut ketika menguap untuk menutup pandangan yang tidak elok ketika mulut
terbuka dan juga untuk menghalang sesuatu daripada masuk ke dalam mulut. Selain
itu kita disuruh mengurangkan bunyi ketika menguap, seboleh-bolehnya tidak
kedengaran langsung.
3. Manakala apabila bersin pula kita hendaklah memalingkan muka ke arah lain sambil
menutup mulut dan hidung untuk mengurangkan bunyi bersin tersebut selain untuk
15

mengelak daripada terkena jangkitan pada orang lain. Selepas bersin hendaklah
mengucapkan alhamdulillah, sebagai rasa bersyukur dengan memuji Allah. Dan
orang yang mendengarnya hendaklah mengucapkan yarhamukallah sebagai
mendoakan kesejahteraan orang yang bersin itu agar dia agar dirahmati Allah. Serta
dibalas pula oleh orang yang bersin dengan mengucapkan Yahdiinaa
wayahdiikumullah. Namun begitu sekiranya orang yang bersin itu tidak
mengucapkan al-hamdulillah selepas bersin maka dia tidak berhak untuk diberikan
ucapan tersebut.
4. Menjawab orang yang bersin (jika dia mengucapkan hamdalah) hukumnya wajib, dan
wajib pula menjawab orang yang mengucapkan Yarhamukallah dengan ucapan
Yahdiina wayahdii kumullah, dan jika seseorang yang bersin itu terus menerus
bersin lebih dari tiga kali, maka kali keempatnya hendaklah diucapkan Afakallah
(Semoga Allah menyembuhkan anda) sebagai ganti dari ucapan Yarhamukallah.
5. Bersin yang terlalu kerap melebihi 3 kali menandakan seseorang itu kemungkinan
diserang selsema manakala menguap yang terlampau kerap menandakan seseorang
itu tidak cukup tidur selain menunjukkan ciri-ciri kemalasan yang patut dihindari
dengan melakukan aktiviti senam ringan dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Djojodibroto, Darmanto. (2009). Repirologi.Jakarta: EGC


Ganong, W. F. (2008). Fisiologi Kedokteran. Edisi 21. Jakarta: EGC
Kumala, Poppy [et al.]. (1998). Kamus Saku Kedokteran Dorland. Edisi 25. Jakarta : EGC.
Leeson CR, Leeson TS, Paparo AA. (1996). Buku Ajar Histologi. Edisi 5. Jakarta : EGC.
Raden, Inmar. (2011). Anatomi Kedokteran Sistem Respiratorius. Jakarta : Balai Penerbit FKUY.
Sherwood, Lauralee. (2001). Fisiologi Manusia : dari sel ke sistem. Edisi 2. Jakarta : EGC.
Soepardi, et al. (2007). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 6.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

16

Anda mungkin juga menyukai