Anda di halaman 1dari 43

DARI REDAKSI

Sidang Pembaca yang terhormat,


Penasehat
Ir. Ferry A. Soetikno, M.Sc., M.B.A.
Ketua Pengarah/Penanggung Jawab
Dr. Raymond R. Tjandrawinata
Pemimpin Redaksi
dr. Grace V.J., M.M.

Pada edisi terakhir di penghujung tahun 2006 ini, Dexa Media menampilkan
tema utama, yaitu dengan judul artikel Penggunaan Obat Antiepilepsi sebagai
Terapi Nyeri Neuropatik, yang menjelaskan bahwa penggunaan lamotrigine yang
pada awalnya sebagai antiepilepsi, sekarang ini digunakan sebagai analgesik
adjuvant untuk nyeri neuropatik.
Beberapa artikel dari rubrik tinjauan pustaka antara lain membahas mengenai

Redaktur Pelaksana
Tri Galih Arviyani, S.Kom.

austistik, manajemen gagal jantung kronik, diagnosis dan penatalaksanaan gagal

Staf Redaksi
dr. Della Manik Worowerdi Cintakaweni
Gelly Eka Prasasti, S.Si., Apt.
Herninta Pramitasari, S.Si., Apt
Gunawan Raharja, S.Si., Apt.
Drs. Karyanto, MM
dr. Marini Johan
Puji Rahayu, S.Farm, Apt.
dr. Ratna Kumalasari
dr. Lydia Fransisca H. Tambunan
Yosi Krisyanti, S.Si, Apt
Peer Review
Prof. dr. Arjatmo Tjokronegoro, Ph.D., Sp.And.
Prof. Dr. dr. Darmono, Sp.PD-KEMD
Prof. Dr. dr. Djokomoeljanto, Sp.PD-KEMD
Jan Sudir Purba, M.D., Ph.D.
Prof. Dr. Med. Puruhito, M.D., F.I.C.S., F.C.T.S.
Prof. dr. Sudradji Soemapraja, Sp.OG.
Prof. Dr. dr. H. Sidartawan Soegondo, Sp.PD-KEMD, FACE
Prof. dr. Wiguno Prodjosudjadi, Ph.D., Sp.PD-KGH
Redaksi/Tata Usaha
Jl. R.S. Fatmawati Kav. 33
Telp. (021) 7509575
Fax. (021) 75816588
Email: tri.galih@dexa-medica.com
Rekomendasi Depkes RI
0358/AA/III/88
Ijin Terbit
1289/SK/Ditjen PPG/STT/1988

jantung diastolik, infeksi cacing tambang, patogenesis dan lain sebagainya. Untuk
mengetahui lebih lanjut, kami persilahkan untuk membacanya.
Penelusuran jurnal yang memuat artikel-artikel terbaru sebagai tambahan
wawasan dan pengetahuan untuk pembaca dan Kalendar Peristiwa yang memuat
jadwal simposium yang diadakan pada tahun 2006 ini tetap kami tampilkan tiap
edisinya.
Tak lupa kami terus mengundang para pembaca untuk berpartisipasi mengisi
lembaran Dexa Media dengan memberikan tulisan berupa Tinjauan Pustaka, Case
Report, Artikel Penelitian.
Akhir kata kami redaksi Dexa Media mengucapkan selamat Idul Fitri 1427 H
dan selamat Natal dan Tahun Baru 2007.
Salam!

DAFTAR ISI
Pengantar Redaksi
Petunjuk untuk Penulisan Dexa Media

161
162

Artikel Utama:
Penggunaan obat antiepilepsi sebagai terapi nyeri neuropatik

163

Tinjauan Pustaka:
Tatalaksana farmakologis gangguan spektrum autistik:
Telaah pustaka terkini
Peran serotonin pada gangguan spektrum autistik
Konsep baru kortikosteroid pada penanganan sepsis

Patogenesis dan respon imun tubuh terhadap infeksi virus
Herpes simpleks
Infeksi cacing tambang

167
173
177
182
187

Artikel Penelitian:
Pemberian glutamin menurunkan kadar bilirubin darah serta
Mengurangi nekrosis sel-sel hati setelah pemberian aktivitas
Fisik maksimal dan parasetamol pada mencit
Diagnosis dan penatalaksanaan gagal jantung diastolik
Manajemen gagal jantung kronik

Cover: NEURON

SUMBANGAN TULISAN
Redaksi menerima partisipasi berupa tulisan, foto, dan materi
lainnya sesuai dengan misi majalah ini. Tulisan yang tidak
dimuat akan dikembalikan. Redaksi berhak mengedit atau
mengubah metode penulisan, tanpa mengubah tulisan yang
dimuat apabila dipandang perlu.

No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006

192
196
200

Sekilas Dexa Medica Group


Berkibarlah Merah Putih-ku
OGBdexa, Segitiga Merahnya, Bikin Hemat
Delon semarakkan peluncuran TOXILITE

207
207
208

Penelusuran Jurnal
Kalender Peristiwa
Daftar Iklan: Lamictal, Raivas, Dobuject, Toxilite, Tripoten, Generik

211
212

161

PETUNJUK PENULISAN
Redaksi menerima tulisan asli/tinjauan pustaka, penelitian atau laporan kasus dengan foto-foto asli dalam bidang Kedokteran dan Farmasi.
1. Tulisan yang dikirimkan kepada Redaksi adalah tulisan yang belum pernah
dipublikasikan di tempat lain dalam bentuk cetakan.
2. Tulisan berupa ketikan dan diserahkan dalam bentuk disket, diketik di program MS Word dan print-out dan dikirimkan ke alamat redaksi atau melalui
e-mail kami.
3. Pengetikan dengan point 12 spasi ganda pada kertas ukuran kuarto (A4) dan
tidak timbal balik.
4. Semua tulisan disertai abstrak dan kata kunci (key words). Abstrak hendaknya tidak melebihi 200 kata.
5. Judul tulisan tidak melebihi 16 kata, bila panjang harap dipecah menjadi anak judul.
6. Nama penulis harap disertai alamat kerja yang jelas.
7. Harap menghindari penggunaan singkatan-singkatan
8. Penulisan rujukan memakai sistem nomor (Vancouver style), lihat contoh
penulisan daftar pustaka.
9. Bila ada tabel atau gambar harap diberi judul dan keterangan yang cukup.
10. Untuk foto, harap jangan ditempel atau di jepit di kertas tetapi dimasukkan ke
dalam sampul khusus. Beri judul dan keterangan yang lengkap pada tulisan.
11. Tulisan yang sudah diedit apabila perlu akan kami konsultasikan kepada peer
reviewer.
12. Tulisan disertai data penulis/curriculum vitae, juga alamat email (jika ada), no.
telp/fax yang dapat dihubungi dengan cepat.
Contoh Penulisan Daftar Pustaka
Daftar pustaka di tulis sesuai aturan Vancouver, diberi nomor sesuai urutan pemunculan dalam keseluruhan tulisan, bukan menurut abjad. Bila nama penulis lebih dari 6
orang, tulis nama 6 orang pertama diikuti et al. Jumlah daftar pustaka dibatasi tidak
lebih dari 25 buah dan terbitan satu dekade terakhir.
Artikel dalam jurnal
1. Artikel standar
Vega KJ, Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with
an increased risk for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996;
124(11):980-3. Lebih dari 6 penulis: Parkin DM, Clayton D, Black RJ, Masuyer E, Freidl HP, Ivanov E, et al. Childhood leukaemia in Europe after Chernobyl: 5 years follow-up. Br J Cancer 1996; 73:1006-12
2. Suatu organisasi sebagai penulis
The Cardiac Society of Australia and New Zealand. Clinical Exercise Stress Testing. Safety and performance guidelines. Med J Aust 1996; 164:282-4
3. Tanpa nama penulis
Cancer in South Africa (editorial). S Afr Med J 1994; 84:15
4. Artikel tidak dalam bahasa Inggris
Ryder TE, Haukeland EA, Solhaug JH. Bilateral infrapatellar seneruptur hos
tidligere frisk kvinne. Tidsskr Nor Laegeforen 1996; 116:41-2
5. Volum dengan suplemen
Shen HM, Zhang QE. Risk assessment of nickel carcinogenicity and occupational
lung cancer. Environ Health Perspect 1994; 102 Suppl 1:275-82
6. Edisi dengan suplemen
Payne DK, Sullivan MD, Massie MJ. Womens psychological reactions to
breast cancer. Semin Oncol 1996; 23(1 Suppl 2):89-97
7. Volum dengan bagian
Ozben T, Nacitarhan S, Tuncer N. Plasma and urine sialic acid in non-insulin dependent diabetes mellitus. Ann Clin Biochem 1995;32(Pt 3):303-6
8. Edisi dengan bagian
Poole GH, Mills SM. One hundred consecutive cases of flap lacerations of the
leg in ageing patients. N Z Med J 1990; 107(986 Pt 1):377-8
9. Edisi tanpa volum
Turan I, Wredmark T, Fellander-Tsai L. Arthroscopic ankle arthrode-sis in
rheumatoid arthritis. Clin Orthop 1995; (320):110-4
10.Tanpa edisi atau volum
Browell DA, Lennard TW. Immunologic status of the cancer patient and
the effects of blood transfusion on antitumor responses. Curr Opin Gen
Surg 1993;325-33

162

11. Nomor halaman dalam angka romawi


Fischer GA, Sikic BI. Drug resistance in clinical oncology and hematology.
Introduction Hematol Oncol Clin North Am 1995; Apr; 9(2):xi-xii
Buku dan monograf lain
12. Penulis perseorangan
Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skills for nurses. 2nd
ed. Albany (NY):Delmar Publishers; 1996
13. Editor sebagai penulis
Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for eldery people. New
York:Churchill Livingstone; 1996
14. Organisasi sebagai penulis
Institute of Medicine (US). Looking at the future of the medicaid program.
Washington:The Institute; 1992
15. Bab dalam buku
Catatan: menurut pola Vancouver ini untuk halaman diberi tanda p, bukan
tanda baca titik dua seperti pola sebelumnya).
Phillips SJ, Whisnant JP. Hypertension and stroke. In: Laragh JH, Brenner
BM, editors. Hypertension: Patophysiology, Diagnosis and Management.
2nded. New York:Raven Press; 1995.p.465-78
16. Prosiding konferensi
Kimura J, Shibasaki H, editors. Recent Advances in clinical neurophysiology. Proceedings of the 10th International Congress of EMG and Clinical Neurophysiology;
1995 Oct 15-19; Kyoto, Japan. Amsterdam:Elsevier; 1996
17. Makalah dalam konferensi
Bengstsson S, Solheim BG. Enforcement of data protection, privacy and security in medical information. In: Lun KC, Degoulet P, Piemme TE, editors.
MEDINFO 92. Proceedings of the 7th World Congress on Medical Informatics; 1992 Sep 6-10; Geneva, Switzerland. Amsterdam:North-Hollan; 1992.
p.1561-5
18. Laporan ilmiah atau laporan teknis
Diterbitkan oleh badan penyandang dana/sponsor:
Smith P, Golladay K. Payment for durable medi-cal equipment billed during skilled nursing facility stays. Final report. Dallas(TX):Dept.of Health
and Human Services (US), Office of Evaluation and Inspections; 1994 Oct.
Report No.: HHSIGOEI69200860
Diterbitkan oleh unit pelaksana:
Field MJ, Tranquada RE, Feasley JC, editors. Health Services Research:
Work Force and Education Issues. Washington:National Academy Press;
1995. Contract No.: AHCPR282942008. Sponsored by the Agency for Health
Care Policy and Research
19. Disertasi
Kaplan SJ. Post-hospital home health care: The elderys access and utilization [dissertation]. St. Louis (MO): Washington Univ.; 1995
20. Artikel dalam koran
Lee G. Hospitalizations tied to ozone pollution: study estimates 50,000 admissions annually. The Washington Post 1996 Jun 21; Sept A:3 (col.5)
21. Materi audio visual
HIV + AIDS: The facts and the future [videocassette]. St. Louis (MO):
Mosby-Year Book; 1995
Materi elektronik
22. Artikel jurnal dalam format elektronik
Morse SS. Factors in the emergence of infection diseases. Emerg Infect Dis
[serial online] 1995 jan-Mar [cited 1996 Jun 5];1(1):[24 screens]. Available
from: URL:HYPERLINK
23. Monograf dalam format elektronik
CDI, Clinical dermatology illustrated [monograph on CD-ROM]. Reeves
JRT, maibach H. CMEA Multimedia Group, producers. 2nd ed. Version 2.0.
San Diego: CMEA; 1995
24. Arsip komputer

Hemodynamics III: The ups and downs of hemodynamics [computer program].
Version 2.2. Orlando [FL]: Computerized Educational Systems

No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006

ARTIKEL UTAMA

Penggunaan Obat Antiepilepsi

sebagai terapi Nyeri Neuropatik


Jan Sudir Purba
Departemen Neurologi FKUI/RSCM, Jakarta

Abstrak. Nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan
jaringan, baik aktual maupun potensial, atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut. Nyeri neuroaptik
yang tergolong pada tipe nyeri kronik diakibatkan oleh lesi di jaringan susunan saraf baik perifer maupun pusat.
Penggunaan obat antiepilepsi pada nyeri neuropatik didasari oleh keidentikan dalam neuropatofisiologik antara
nyeri neuropatik dan epilepsi. Keidentikan ini termasuk kepekaan yang abnormal dari neuron-neuron sebagai
akibat kelainan pada reseptor seperti NMDA, AMPA/kainat yang pada saatnya nanti bisa memicu plastisitas
reseptor tersebut di post-sinaptik. Kepekaan yang abnormal inilah yang mengakibatkan tarjadinya perubahan
elektrik potensial di otak yang disebut sebagai bangkitan epilepsi. Obat antiepilepsi merupakan obat yang
berkemampuan untuk menekankepekaan yang abnormal dari neuron-neuron sehingga dengan demikian
bisa menekan bangkitan epilepsi. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa obat antiepilepsi digunakan sebagai
analgesik adjuvant untuk terapi nyeri neuropatik. Ternyata obat antiepilepsi lamotrigine sangat efektif dalam
penanggulangan nyeri neuropatik terutama trigeminal neuralgia, nyeri neuropatik pada penderita HIV, nyeri
sentral pada penderita pasca stroke ataupun nyeri neuropatik yang intracktable. Cara kerja dari lamotrigine
adalah berperan dalam stabilisasi membrane sel neuron dengan memblok aktivitas kanal voltage-sensitive
natrium serta mencegah sekresi glutamate dan menstimulasi sekresi GABA di presinaptik ke sinaps.

Pendahuluan
yeri seperti didefinisikan oleh International Association
for Study of Pain (IASP), adalah suatu pengalaman
sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial, atau
yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut.1,2 Nyeri
bisa bervariasi berdasarkan: waktu dan lamaya berlangsung
(transient, intermittent, atau persisten), intensitas (ringan,
sedang dan berat), kualitas (tajam, tumpul, dan terbakar),
penjalarannya (superficial, dalam, local atau difus).3 Di samping
itu nyeri pada umumnya memiliki komponen kognitif dan
emosional yang digambarkan sebagai penderitaan. Selain itu
nyeri juga dihubungkan dengan refleks motorik menghindar
dan gangguan otonom yang oleh Woolf (2004)3 disebut
sebagai pengalaman nyeri.
Secara patologik nyeri dikelompokkan pada nyeri adaptif
atau nyeri nosiseptif, atau nyeri akut dan nyeri maladaptif
sebagai nyeri kronik juga disebut sebagai nyeri neuropatik serta
nyeri psikologik atau nyeri idiopatik. Nyeri akut atau nosiseptif
yang diakibatkan oleh kerusakan jaringan, merupakan salah
satu signal untuk mempercepat perbaikan dari jaringan yang
rusak.3 Sedangkan nyeri neuropatik disebut sebagai nyeri
fungsional merupakan proses sensorik abnormal yang disebut

DEXA MEDIA

No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006

juga sebagai gangguan sistem alarm.3 Nyeri idiopatik yang


tidak berhubungan dengan patologi baik neuropatik maupun
nosiseptif dan memunculkan simptom gangguan psikologik
memenuhi somatofovrm seperti stres, depresi, ansietas dan
sebagainya.4,5 Dalam tulisan ini dibahas nyeri neuropatik dan
penanggulangannya dengan penggunaan obat antiepilepsi
lamotrigine.
Neuropatologi dan Mekanisme Nyeri Neuropatik
Nyeri neuropatik yang didefinisikan sebagai nyeri akibat
lesi jaringan saraf baik perifer maupun sentral bisa diakibatkan
oleh beberapa penyebab seperti amputasi, toksis (akibat
khemoterapi) metabolik (diabetik neuropati) atau juga infeksi
misalnya herpes zoster pada neuralgia pasca herpes dan lainlain. Nyeri pada neuropatik bisa muncul spontan (tanpa
stimulus) maupun dengan stimulus atau juga kombinasi.6
Nyeri neuropatik juga disebut sebagai nyeri kronik
berbeda dengan nyeri akut atau nosiseptif dalam hal etiologi,
patofisiologi, diagnosis dan terapi. Nyeri akut adalah nyeri
yang sifatnya self-limiting dan dianggap sebagai proteksi
biologik melalui signal nyeri pada proses kerusakan jaringan.
Nyeri pada tipe akut merupakan simptoma akibat kerusakan
jaringan itu sendiri dan berlokasi disekitar kerusakan jaringan
163

ARTIKEL UTAMA
dan mempunyai efek psikologis sangat minimal dibanding
dengan nyeri kronik. Nyeri ini di picu oleh keberadaan
neurotransmiter sebagai reaksi stimulasi terhadap reseptor
serabut alfa-delta dan C polimodal yang berlokasi di kulit,
tulang, jaringan ikat otot dan organ viskera. Stimulus ini bisa
berupa mekhanik, kimia dan termis, demikian juga infeksi
dan tumor.6,7 Reaksi stimulus ini berakibat pada sekresi
neurotransmiter seperti prostaglandin, histamin, serotonin,
substansi P, juga somatostatin (SS), cholecystokinin (CCK),
vasoactive intestinal peptide (VIP), calcitoningenen-related
peptide (CGRP) dan lain sebagainya.8 Nyeri neuropatik adalah
non-self-limiting dan nyeri yang dialami bukan bersifat sebagai
protektif biologis namun adalah nyeri yang berlangsung
dalam proses patologi penyakit itu sendiri.6 Nyeri bisa
bertahan beberapa lama yakni bulan sampai tahun sesudah
cedera sembuh sehingga juga berdampak luas dalam strategi
pengobatan termasuk terapi gangguan psikologik.
Baik nyeri neuropatik perifer maupun sentral berawal dari
sensitisasi neuron sebagai stimulus noksious melalui jaras
nyeri sampai ke sentral. Bagian dari jaras ini dimulai dari
kornu dorsalis, traktus spinotalamikus (struktur somatik) dan
kolum dorsalis (untuk viskeral), sampai talamus sensomotorik,
limbik, korteks prefrontal dan korteks insula.6 Karakteristik
sensitisasi neuron bergantung pada: meningkatnya aktivitas
neuron; rendahnya ambang batas stimulus terhadap aktivitas
neuron itu sendiri misalnya terhadap stimulus yang nonnoksious, dan luasnya penyebaran areal yang mengandung
reseptor yang mengakibatkan peningkatan letupan-letupan
dari berbagai neuron.6 Sensitisasi ini pada umumnya
berasosiasi dengan terjadinya denervasi jaringan saraf akibat
lesi ditambah dengan stimulasi yang terus menerus dan inpuls
aferen baik yang berasal dari perifer maupun sentral dan juga
bergantung pada aktivasi kanal ion di akson yang berkaitan
dengan reseptor AMPA/kainat dan NMDA.9
Sejalan dengan berkembangnya penelitian secara
molekuler maka ditemukan beberapa kebersamaan antara
nyeri neuropatik dengan epilepsi dalam hal patologinya
tentang keterlibatan reseptor misalnya NMDA dan AMPA
dan plastisitas disinapsis, immediate early gene changes. Yang
berbeda hanyalah dalam hal burst discharge secara paroksismal
pada epilepsi sementara pada neuropatik yang terjadi adalah
ectopic discharge. Nyeri neuropatik muncul akibat proses
patologi yang berlangsung berupa perubahan sensitisasi
baik perifer maupun sentral yang berdampak pada fungsi
sistem inhibitorik serta gangguan interaksi antara somatik
dan simpatetik. Keadaan ini memberikan gambaran umum
berupa alodinia dan hiperalgesia.10 Permasalahan pada nyeri
neuropatik adalah menyangkut terapi yang berkaitan dengan
kerusakan neuron dan sifatnya ireversibel. Pada umumnya
hal ini terjadi akibat proses apoptosis yang dipicu baik melalui
modulasi intrinsik kalsium di neuron sendiri maupun akibat
proses inflamasi sebagai faktor ekstrinsik.6 Kejadian inilah
yang mendasari konsep nyeri kronik yang ireversibel pada
164

sistem saraf. Atas dasar ini jugalah maka nyeri neuropatik


harus secepat mungkin di terapi untuk menghindari proses
mengarah ke plastisitas sebagai nyeri kronik.6
Penanggulangan
Nyeri neuropatik merupakan masalah dalam dunia
kedokteran karena bukan hanya menyangkut kerusakan atau
lesi dari jaringan saraf itu sendiri, akan tetapi juga menyangkut
efek dari penderitaan yang kronik terhadap quality of life si
penderita. Nyeri neuropatik yang tergolong dalam nyeri
kronik menimbulkan tantangan yang berat dalam hal
pengobatan karena tidak berespons terhadap pengobatan nyeri
tradisional. Oleh sebab itu penanggulangan nyeri neuropatik
membutuhkan tim yang multi disipliner baik menyangkut
terapi non-farmaka maupun terapi farmaka. Penanggulangan
secara farmakologik bukan hanya sebatas pada tingkat
reseptor dan perbaikan lesi jaringan saraf saja, tapi juga yang
berkaitan dengan efek kronik dari nyeri tersebut misalnya
efek psikologik.11 Penelitian tentang nyeri termasuk klasifikasi
berkembang terus. Sejajar dengan itu maka penelitian untuk
menemukan obat juga berkembang tidak henti-hentinya.
Antiepilepsi sebagai terapi Nyeri Neuropatik
Seperti diketahui dari sejumlah hasil penelitian baik itu
malalui hewan percobaan maupun pada manusia ditemukan
bahwa nyeri neuropatik mendasar pada kelainan jaringan
saraf yang mengakibatkan perobahan komposisi biokimiawi
atau neurotransmiter terhadap sistem saraf perifer maupun di
sentral.12,13 Oleh sebab itu, penanggulangan nyeri neuropatik
juga mendasar pada kelainan atau patologi jaringan saraf yang
disertai oleh perobahan pada biokimiawi atau neurotransmiter
baik di perifer maupun di sentral. Dengan kata lain tindakan
yang memfokus pada pengurangan input neuronal dengan
tujuan mengembalikan ke keadaan normal dengan cara
menekan fungsi akson misalnya memblok kanal natrium
atau mengurangi sekresi eksitatorik serta meningkatkan
sekresi inhibitorik.14 Penggunaan obat antiepilepsi pada
nyeri neuropatik didasari oleh keidentikan dalam hal
neuropatofisiologik pada nyeri neuropatik dan epilepsi.15
Secara neurofarmakologi molekuler, diketahui bahwa standar
penanggulangan epilepsi mendasar pada blok kanal natrium,
sementara obat-obat antiepilepsi yang baru selain blok kanal
natrium juga blok kanal Ca2+ secara spesifik di post sinaptik,
yakni reseptor NMDA dan AMPA, stimulasi sekresi GABA
di presinaptik, reduksi sekresi glutamate di presinaptik. Hal
ini juga telah dibuktikan melalui beberapa penelitian. Dengan
demikian disimpulkan bahwa obat antiepilepsi digunakan
juga sebagai obat standar untuk nyeri neuropatik.12,13
Epilepsi dan nyeri neuropatik timbul karena munculnya
aktivitas abnormal dari sistem saraf sentral. Patologi nyeri
neuropatik mendasar pada sensitisasi perifer, ectopic discharge,
sprouting, dan berakhir pada kelainan patologi di neuron
berupa sensitisasi dan disinhibisi sentral. Epilepsi yang dipicu

DEXA MEDIA

No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006

ARTIKEL UTAMA
oleh hipereksitabilitas sistem saraf sentral mengakibatkan
bangkitan spontan dan paroksismal dan mirip dengan nyeri
spontan dan paroksismal pada nyeri neuropatik.16 Dalam
keadaan ini peran reseptor NMDA terhadap influks Ca2+
merupakan proses dasar terhadap kindling pada epilepsi serupa
halnya dengan kejadian wind-up pada nyeri neuropatik. Atas
dasar patologi ini maka antiepilepsi merupakan obat yang
berkemampuan untuk menekan kepekaan yang abnormal
dari neuron-neuron di sistem saraf pusat dengan memblokade
reseptor NMDA, AMPA/kainat.16 Hal ini disimpulkan oleh
Markman and Dworkin, (2006)17 bahwa permasalahan
nyeri neuropatik adalah di kanal ion sebagaimana juga pada
epilepsi. Oleh sebab itu target terapi adalah tertuju pada
voltage-gate kanal Na+ dan Ca2+.17
Dari hasil penelitian ternyata bahwa obat antiepilepsi
seperti lamotrigine mempunyai sifat analgesik dalam lingkup
yang luas. Lamotrigine membatasi influks kalsium melalui
penekanan voltage-gate.18 Pada percobaan hewan menyangkut
hiperalgesia pemberian lamotrigine berefek sebagai analgesik.19
Lamotrigine dengan dosis di atas 200 mg/hari sangat efektif
dalam penanggulangan nyeri neuropatik terutama trigeminal
neuralgia, nyeri neuropatik pada penderita HIV, nyeri
sentral pada penderita post stroke ataupun nyeri neuropatik
yang intracktable.12,13,20-23 Prinsip kerja dari lamotrigine
yang diketahui sampai sekarang ini berperan aktif terhadap
neurotransmiter eksitatorik glutamate dalam hal mencegah
sekresi glutamate di presinaptik serta berperan dalam inhibisi
reuptake serotonin oleh presinaptik yang berefek pada
stabilisasi membrane sel neuron dengan memblok aktivitas
kanal voltage-sensitive natrium.24,25 Efek samping bisa muncul
dengan dosis tinggi berupa dizziness, ruam, mual, insomnia.26
Kesimpulan
Nyeri neuropatik merupakan nyeri yang sangat sulit diterapi dengan obat analgesik biasa. Hal ini diakibatkan oleh
terjadinya kerusakan jaringan saraf baik di perifer maupun di
sentral. Oleh karena nyeri neuropatik bukan nyeri adaptif akan
tetapi merupakan proses patologi yang berjalan di mana adanya
perubahan struktur reseptor di membrane neuron baik itu di
perifer maupun di sentral. Kelainan reseptor ini mengakibatkan
perubahan pada influks dan dari ion-ion seperti kalsium,
natrium yang berperan dalam perobahan elektrik potensial saraf. Perubahan ini merupakan signal berupa stimulus yang akan
sampai ke korteks sensorik yang diterjemahkan dengan nyeri.
Obat antiepilepsi berperan sebagai inhibitorik terhadap
reseptor NMDA maupun AMPA/kainat akibat peran
glutamate dengan demikian mencegah masuknya ion kalsium
dan natrium yang berlebihan ke dalam sel. Mendasar pada
cara kerja dari obat antiepilepsi ini maka obat antiepilepsi
ini digunakan sebagai standard obat nyeri neuropatik
yang secara neuropatologik mempunyai kesamaan dengan
epilepsi. Penggunaan lamotrigine yang pada awalnya sebagai
antiepilepsi, sekarang ini digunakan sebagai analgesik

DEXA MEDIA

No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006

adjuvant untuk nyeri neuropatik. Hal ini telah terbukti


karena lamotrigine berperan dalam inhibisi ion natrium, juga
inhibisi sekresi glutamat serta sekresi GABA yang berefek
terhadap stabilisasi membrane neuron.
Daftar Pustaka
11. Pain Terms: a list with definitions and notes on usage. Pain 1979;6:49-252
12. Merksey H, Bogduk N, editors. Classification of chronic pain: description of
chronic pain syndromes and definition of pain terms. 2nd edition. Seattle:
International Association for the Study of Pain;1994
13. Woolf CJ. Pain: Moving from symptom control towards mechanisms- specific
pharmacologic management. Ann Internal Med 2004;140:441-51
14. Eccleston C. Role of psychology in pain management. Br J Anaestesia
2001;87:144-52
15. Ludwick-Rosenthal R and Neufeld R. Stress management during noxious
medical procedures. Psychological Bulletin 1988;104:326-42
16. Helme RD. Drug treatment of neuropathic pain. Austr Prescr 2006;29:72-5
17. Price DD and Harkins SW. Combined use of experimental pain and visual
analogue scale in providing standardized measurement of clinical pain.
Clin J Pain 1987;3:1-8
18. Agnati LF, Tiengo M, Ferragutti F. Pain, analgesia, and stress: an integrated
view. Clin J Pain 1991;7(S):S23-S37
19. Dworkin RH, Backonja M, Rowbotham MC, et al. Advances in neuropathic pain:
diagnosis, mechanisms, and treatment recommendations. Arch Neurol
2003;60:1524-34
10. Dogrul A, Gardell LR, Ossipov MH, et al. Reversal of experimental neuropathic
pain by t-type calcium channel blockers. Pain 2003;105:159-68
11. Teng J and Makhael N. Neuropathic pain: Mechanisms and treatment option.
Pain Practice 2003;3:388-98
12. Backonja MM. Use of anticonvulsants for treatment of neuropathic pain.
Neurology 2002; 59:S14-S17
13.Tremont-Lukts IW, Megeff C, Backonja MM. Anticonvulsants for neuropathic
pain syndromes : mechanisms of action and place in therapy. Drugs
2000;60:1029-52
14. Finnerup NB, Otto M, Mc Quuay HJ, et al. Algorithm for neuropathic pain
treatment: and evidence based proposal. Pain 2005; 118:289-305
15. Attal N. Antiepileptic drugs in the treatment of neuropathic pain. Ex Rev
Neurotherapeut 2001;1:199-206
16. Chong MS, Smith TE. Anticonvulsants for the management of pain. Pain Rev
2000;7:129-49
17. Markman JD and Dworkin RH. Ion channel targets and treatment efficacy in
neuropathic pain. J Pain 2006;7:S38-S47
18. Wang SJ, Shira TS, Gean PW. Lamotrigine inhibition of glutamate release from
isolated cerebrocortical nerve terminals (sinaptosomes) by suppression
of voltageactivated Ca2+ channels activity. Neuroreport 2001;12:2255-8
19. Von WagenerJ, Hesslinger B, Berger M, et al. A Ca2+ antagonistic effect of
the new antiepileptic drug lamotrigeine. Eur Neuropsychopharmacol
1997;7:77-8
20. Devulder J, De Laat M. Lamotrigine in the treatment of chronic refractory
neuropathic pain. J Pain Symptom Manage 2000;19:398-403
21. Kelompok studi Nyeri Perhimpunan Dokter spesialis saraf Indonesia (PErDOssI).
Konsensus Nasional Penanganan Nyeri Neuropatik. Dalam: Meliala L,
Suryamiharja A, Purba JS (Eds.) 2000.p.15, PERDOSSI, Jakarta
22. Vestergaard K, Andersen G, Gottrup H, et al. Lamotrigine for central poststroke
pain: a randomized controlled trial. Neurology 2001;56:184-90
23. Zarzewska JM, Chaudry Z, Nurmikko TJ, et al. Lamotrigine in refractory
trigeminal neuralgia in Ms patients. Neurology 2000;55:1587-88
24. Di Vadi PP, Hamann W. The use of lamotrigine in neuropathic pain. Anastesia
1998;53:808-9
25. Eisenberg E, Shifrin A, Krivoy N. Lamotrigine for neuropathic pain. Expert Rev
Neurother 2005;5:729-35
26. Elsworth, Allan J (Eds.). Mosbys Medical Drug reference. St Louis, MO; Mosby,
Inc, 1999.

165

SEKILAS PRODUK

Lamictal mengandung Lamotrigine 50 mg dan 100 mg.


Lamictal sudah digunakan di dunia oleh lebih dari 5 juta orang
lebih dari 15 tahun dan dilaunch di Indonesia pada bulan
Desember 1994 dengan indikasi obat anti-epilepsi (AED).
Lamictal adalah AED yang dapat digunakan sebagai
monoterapi maupun kombinasi dengan AED lain.
Indikasi Lamictal yang didaftarkan adalah untuk:
- Partial seizures (simple dan kompleks)
- Secondary general tonic-clonic seizure
- Primary general tonic-clonic seizure
- Lennox-Gastaut syndrome
Epilepsi timbul karena adanya ketidakseimbangan antara
pengeluaran dan penghambatan neurotransmitters. Lamictal
bekerja dengan menstabilkan membran saraf dengan cara
menghambat saluran natrium dan mengurangi pelepasan
neurotransmitter glutamat. Glutamat diketahui sebagai
penyebab utama dalam epileptogenesis 1,2.

3.0
160
140

2.0

120
100
80

1.0

60
40
20

30

60

Dose (mg)

120

240

Hubungan linear antara dosis Lamictal dan konsentrasi


plasma membuat tidak diperlukannya monitoring konsentrasi
plasma berulang untuk identifikasi dosis individu. Titrasi dosis
dapat berdasarkan respons daripada konsentrasi plasma
darah. Monitoring terapi obat yang rutin tidak dianjurkan
pada penggunaan Lamictal.

Bioavailabilitas Lamictal setelah administrasi 75 mg dosis


tunggal adalah 98%3. Konsentrasi plasma tertinggi tercapai
dalam waktu 1 3 jam. Absorpsi tidak dipengaruhi oleh
makanan, oleh karena itu pasien dapat minum obat sebelum
atau setelah makan.

Beberapa dokter menyadari perlunya monitoring konsentrasi


plasma pada penggunaan carbamazepine atau phenytoin5.
Carbamazepine menunjukkan farmakokinetik non-linear
dan phenytoin menunjukkan hubungan konsentrasi erratic,
pada penggunaan dosis tinggi memperlihatkan peningkatan
konsentrasi plasma yang tidak terkontrol.

Lamictal memiliki farmakokinetik linear dengan margin dosis


terapi, interaksi dengan obat lain yang rendah dan eliminasi
watu paruh yang panjang (rata-rata 29 jam)3,4.
Antara individu yang satu dengan yang lain dapat terjadi
perbedaan waktu eliminasi obat, hal ini disebabkan adanya
perbedaan pada klirens metabolisme pada masing-masing
individu.

Kesimpulannya Lamictal memberikan keuntungan pada


pasien penderita epilepsi, yaitu:
- Telah digunakan oleh jutaan orang di dunia untuk mengatasi
gangguan kejang
- Memiliki profil tolerabilitas yang baik
- Tidak memerlukan blood monitoring
- Absorpsi tidak dipengaruhi oleh makanan

Lamictal menunjukan farmakokinetik linear setelah pemberian


oral dosis tunggal 30 450 mg pada sukarelawan sehat
dan pasien yang menerima obat sebagai monoterapi atau
kombinasi (add-on)3. Lamictal dalam plasma meningkat
berbanding lurus dengan dosis Lamictal (gb.1).

Lamictal dapat diberikan sebagai monoterapi dan kombinasi


(add-on)
- Monoterapi untuk pasien epilepsi dari usia 12 tahun hingga
dewasa.
- Kombinasi untuk epilepsi anak dari usia 2 tahun.

166

No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006

SEKILAS PRODUK
Dosis Lamictal untuk dewasa dan anak-anak di atas usia 12
tahun:
Minggu 1 & 2

Minggu 3 & 4

Dosis Pemeliharaan

add-on Lamictal
dengan sodium
valproate

12,5 mg/hari
25 mg/hari
(diberikan 25 mg/hari
(sekali sehari)
2 hari sekali/selang sehari)

100-200 mg/hari
(sekali sehari atau di bagi
dalam 2 kali pemberian)

Monoterapi
Lamictal

25 mg/hari
(sekali sehari)

50 mg/hari
(sekali sehari)

100-200 mg/hari
(sekali sehari atau di bagi
dalam 2 kali pemberian)

add-on Lamictal
tanpa sodium
valproate

50 mg/hari
(sekali sehari)

100 mg/hari
(sekali sehari)

200-400 mg/hari
(di bagi dalam 2 kali
pemberian)

Dosis Lamictal untuk anak-anak dari usia 2 12 tahun:


Minggu 1 & 2

Minggu 3 & 4

Dosis Pemeliharaan

Add-on Lamictal
dengan sodium
valproate

0,2 mg/kg/hari
(sekali sehari)

0,5 mg/kg/hari
(sekali sehari)

1-5 mg/kg/hari
(sekali sehari atau di bagi
dalam 2 kali pemberian)

Monoterapi
Lamictal

0,5 mg/kg/hari
(sekali sehari)

1 mg/kg/hari
(sekali sehari)

2-10 mg/kg/hari
(sekali sehari atau di bagi
dalam 2 kali pemberian)

Add-on Lamictal
tanpa sodium
valproate

2 mg/kg/hari
(di bagi dalam
2 kali pemberian)

5 mg/kg/day
di bagi dalam
2 kali pemberian)

5-15 mg/kg/hari
(di bagi dalam
2 kali pemberian)

No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006

Dosis titrasi pada Lamictal dapat meminimalkan insiden


terjadinya rash. Rash yang terlihat pada penggunaan Lamictal
dapat berupa reaksi kelainan kulit dari yang ringan hingga
berat dengan kejadian 2% dari yang diterapi. Sedangkan
yang menghentikan terapi kurang dari 3% pasien.
Referensi:
1. Leach MJ et al. Lamotrigine: mechanism of action. In: Levy
RH et al (eds). Antiepileptic Drugs (4th ed.). New York
Raven Press; 1995. p.861 69
2. Xinmin X et al. Interaction of the antiepileptic drug lamotrigine
with recombinant rat type IIA Na+ channels and with native
Na+ channels in rat hippocampal neurones. Pflugers Arch
Eur J Physiol 1995; 430: 437 46
3. Pisani F. In: Reynolds EH (ed). Lamotrigine a new advance
in the treatment of epilepsy. London Royal Society of
Medicine Service; 1993, p.15-24.
4. Cohen AF et al. Lamotrigine, a new anticonvulsant: pharmacokinetics in normal humans. Clin Pharmacol Ther 1987;
42 (suppl 5): 535 41
5. Pugh CB, Garnet WR. Current issues in the treatment of
epilepsy. Clin Pharm 1991; 10; 335 58

167

TINJAUAN PUSTAKA

Tatalaksana Farmakologis
Gangguan Spektrum Autistik:
Telaah Pustaka Terkini
Rizaldy Pinzon
SMF Saraf RSUD Dr. M. Haulussy
Ambon
Abstrak. Autisme merupakan gangguan perkembangan pervasif. Penelitian terdahulu
menunjukkan kelainan neurotransmiter pada autisme. Penatalaksanaan farmakologis dengan
prinsip menyeimbangkan fungsi neurotransmiter merupakan dasar pendekatan terapi yang
rasional. Penelitian-penelitian terdahulu menggunakan terapi antagonis sistem dopaminergik,
pemacu sistem serotoninergik, antagonis opioid, dan pemacu GABA. Beberapa modalitas terapi
lain seperti penggunaan suplemen vitamin dan mineral dan penggunaan terapi imunologis telah
dilaporkan pula. Hasil kajian sistematis ini mendapatkan bahwa antagonis sistem dopaminergik
merupakan modalitas terapi yang cukup didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang baik.
Kata kunci: Autisme, treatment, randomized controlled trial, dopamine, serotonin, GABA (Gammaaminobutyric acid)

Pendahuluan
utisme merupakan gangguan perkembangan yang
terutama ditandai oleh ketidakmampuan dalam
komunikasi, sosialisasi, dan imajinasi.1 Penderita autisme
akan menunjukkan disabilitas dalam interaksi sosial, disabilitas
komunikasi dan kelambatan fungsi berbahasa, perilaku yang
terbatas dan stereotipik, dengan onset sebelum usia 3 tahun.2
Tatalaksana farmakologis tidak akan mengubah riwayat
keadaan atau perjalanan gangguan autistik.3 Terapi farmakologi
bukan merupakan pendekatan terapi yang utama, namun
penggunaan terapi farmaka untuk gejala-gejala tertentu dapat
membantu secara signifikan program terapi dan edukasi.4
Penggunaan terapi farmakologis yang memperbaiki
keseimbangan neurotransmiter merupakan pendekatan yang
rasional pada penderita autisme.3 Kajian Rapin4 menunjukkan
bahwa obat-obat diberikan secara spesifik untuk gejala
tertentu sebagai berikut: (1) obat yang bekerja sistem
noradrenergik terutama ditujukan untuk mengatasi gejala
agresif dan perilaku eksplosif, (2) obat-obat antidepresan
dan SSRI atau Selective Serotonin Reuptake Inhibitor ditujukan
untuk mengatasi obsesif, agresivitas, dan depresi, (3) obatobat penghambat dopamin ditujukan untuk gejala destruktif,
agresi, dan melukai diri sendiri, (4) obat-obat antagonis opioid
untuk gejala stereotipik dan melukai diri sendiri, (5) golongan
antikonvulsan untuk mengobati epilepsi, agresivitas, dan
regresi yang berhubungan dengan gelombang epileptiformis
subklinis. Permasalahan yang muncul adalah bagaimana
bukti ilmiah tatalaksana farmakologis gangguan spektrum
autistik. Tujuan penulisan makalah adalah mengkaji secara

No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006

kritis bukti-bukti ilmiah terapi farmaka untuk autisme.


Metode
Pelacakan Kepustakaan
Pelacakan kepustakaan dilakukan dengan menggunakan
internet, MEDLINE database, dan pelacakan manual
pada berbagai penelitian dan kajian tentang tatalaksana
farmakologis autisme dengan tahun publikasi 1995-2003.
Kata kunci yang dipergunakan adalah: autism, treatment,
randomized controlled trial, mechanism, dan pathophysiology.
Tingkat Bukti Ilmiah
Penetapan tingkat bukti ilmiah terhadap berbagai
penelitian terapi yang ada didasarkan sesuai dengan panduan
Scotish Intercollegiate Guidelines Network5 sebagai berikut:
Tabel 1. Derajat bukti ilmiah artikel terapi (SIGN, 2000)
Levels Kejadian

Deskripsi

IA

Bukti diambil dari suatu penelitian meta-analysis

IB

Bukti diambil minimal dari suatu penelitian


randomized controlled trial

IIA

Bukti diambil minimal dari suatu penelitian welldesigned controlled study without randomization

IIB

Bukti diambil minimal dari suatu penelitian tipe lain


dari well-designed quasi-experimental

III

Bukti diambil minimal dari suatu penelitian


well-designed non-experimental descriptive, seperti
comparative studies, correlation studies dan case
studies

IV

Bukti diambil dari suatu laporan komite ahli


dan/atau pengalaman klinis pakar

169

TINJAUAN PUSTAKA
Pembahasan
Hasil Pelacakan Pustaka
Hasil pelacakan kepustakaan secara manual dan
elektronik mendapatkan berbagai artikel terapi farmakologis
untuk autisme. Tabel 2 memperlihatkan berbagai artikel yang
diperoleh dan tingkat bukti ilmiahnya, sbb:
Tabel 2. Peringkat bukti ilmiah hasil pelacakan pustaka
Peneliti (tahun)
Fankhauser (1992)
Jaselskis (1992)
Sophie (1996)
Delong (1998)
McDougle (1998)
Fatemi (1998)
Owley dkk (1999)
Sandler (1999)
Adams (2000)
Pertejo (2000)
Lightdale (2001)
Roberts (2001)
McCracken (2002)
Chez (2002)
DeLong (2003)
Nye (2004)

Modalitas terapi

Derajat bukti ilmiah

Clonidine
Clonidine
Naltrexone
Fluoxetine
Risperidone
Fluoxetine
Secretin
Secretin
Suplemen vitamin dan mineral
Fluoxetine
Secretin
Secretin
Risperidone
L-Carnosine
Fluoxetine
Vitamin B6-Magnesium

IB
IIA
IB
IIB
IB
III
IB
IB
IB
IIB
IIB
IB
IB
IB
IIB
IA

Antagonis Dopamin Tipikal (haloperidol)


Sistem dopaminergik berperan dalam pengaturan
perilaku motorik. Dopamin yang berlebih akan menyebabkan
munculnya gerakan motorik berlebih, stereotipik seperti
yang diamati pada penderita autisme. Penggunaan antagonis
dopamin diharapkan memperbaiki gejala-gejala motorik
seperti hiperaktivitas dan stereotipik, sehingga proses belajar
menjadi lebih efektif.6
Obat-obat neuroleptik merupakan golongan obat yang
secara luas digunakan pada autisme. Tabel 3 menunjukkan
kajian terhadap penggunaan haloperidol dalam terapi autisme.
Tabel 3. Uji klinik haloperidol untuk terapi autisme6
Peneliti
(tahun)

Rancangan

Dosis

Subjek

Hasil

40 anak autisme, - Terdapat perbaikan dalam skor Corner


usia antara 2-7
Parent-Teacher Questonaire, Global
tahun
Improvement, dan Children's
Rating Scale
- Penurunan perilaku maladaptif
- 36 tetap meneruskan haloperidol

Anderson Uji klinik


(1984)
randomisasi,
double blind
cross over

0,53,0
mg/hari

Anderson Uji klinik


(1988)
randomisasi,
double blind,
cross over

0,25-0,40 45 anak autisme, - Terdapat perbaikan dalam skor Corner


mg/hari usia antara 2-7
Parent-Teacher Questonaire, Global
tahun
Improvement, dan Children's
Rating Scale
- Penurunan hiperaktivitas dan
stereotipik

Efek samping utama penggunaan haloperidol adalah


diskinesia. Diskinesia muncul pada 25% kasus setelah 11
bulan terapi, dan 75% kasus setelah 3,5 tahun terapi.6
Antagonis Dopamin Atipikal
Antipsikotik atipikal memblokade pula reseptor serotonin
postsinaptik, sehingga melindungi terhadap munculnya
efek samping ekstrapiramidal.7 Penelitian uji klinik dengan
170

randomisasi dilakukan oleh McDougle, dkk8 pada 31 penderita


gangguan autisme dewasa. Respon terapi diukur dengan
Global Improvement Scale dengan skala likert. Perbaikan gejala
didapatkan secara bermakna pada kelompok terapi risperidone
dibanding plasebo (57% VS 0%, p <0,002).
Penelitian uji klinik acak buta ganda (randomized clinical
trial) risperidone lebih baru dilakukan oleh McCracken, dkk7
dengan subjek 101 anak autisme yang berusia antara 2-8
tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon positif
secara bermakna didapatkan pada kelompok terapi risperidone
dibanding kelompok plasebo (69% vs 12%, p<0,01). Tabel
4 menunjukkan karakteristik dan hasil penelitian uji klinik
penggunaan Risperidone untuk terapi autisme.
Tabel 4. Hasil penelitian terapi risperidone pada autisme
Peneliti
(tahun)

Metode

Subjek

Hasil

McDougle RCT dengan dosis


(1998)
risperidone harian
2,9 1,4 mg/hari

31 penderita
- Perbaikan gejala didapatkan secara
autisme dewasa bermakna pada kelompok terapi
Risperidone dibanding plasebo
(57% vs 0%, p<0,002)

McCracken RCT dengan dosis


(2002)
risperidone harian
0,25 mg/hari

- Respon positif secara bermakna didapatkan


101 anak
dengan autisme pada kelompok terapi risperidone dibanding
kelompok plasebo (69% vs 12%, p<0,01)

- Efek samping utama sedasi ringan

Penelitian McCracken, dkk7 memperlihatkan terjadinya


efek samping akibat terapi yang ringan, yang akan menghilang
dengan sendirinya setelah beberapa minggu. Efek samping
konstipasi, pandangan kabur, mulut kering, dan mengantuk
disebabkan oleh perangsangan sistem antikolinergik.
Perangsangan anti histamin akan menyebabkan penambahan
berat badan dan mengantuk. Sifat antagonistik pada reseptor
alfa satu akan menyebabkan penurunan tekanan darah,
dizziness, dan mengantuk.9
Opioid
Kadar opiat yang tinggi dalam LCS dan urine sering
dijumpai pada penderita autisme. Opioid dalam konsentrasi
yang tinggi akan menghambat faktor pertumbuhan neuronal.
Opioid berperan pula dalam perilaku maladaptif, seperti
impulsivitas, perilaku berisiko abnormal, gangguan belajar,
gangguan perhatian, dan gangguan mood. Pasien-pasien
dengan perilaku melukai diri sendiri sering mengalami
insensitivitas nyeri. Penderita dengan perilaku melukai
diri sendiri cenderung menunjukkan peningkatan kadar
metenkephalin dan endorfin plasma.10
Sophie, dkk11 melakukan penelitian uji klinik pada 23 anak
autisme (usia berkisar antara 3-7 tahun). Terapi naltrexone
diberikan dengan dosis 1 mg/kgBB selama 4 minggu. Efek
terapi dipantau dengan kuisioner yang diisi oleh orang tua
dan guru, serta observasi saat bermain. Hasil penelitian
memperlihatkan bahwa para guru melaporkan adanya
perbaikan perilaku (hiperaktivitas dan iritabilitas) secara
signifikan. Pemberian naltrexone tidak memperbaiki kontak
sosial dan perilaku stereotipik. Kajian Perry dan Kuperman6
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006

TINJAUAN PUSTAKA
menyatakan bahwa penggunaan naltrexone tidak dianjurkan
sebagai terapi lini pertama untuk autisme.

Selective Serotonin Reuptake Inhibitor


Obat-obat Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI)
bekerja terutama pada terminal akson pre sinaptik dengan
menghambat ambilan kembali serotonin. Hal tersebut akan
menyebabkan serotonin bertahan lebih lama di celah sinaps.9
Tabel 5 memperlihatkan penelitian penggunaan fluoxetine
dalam terapi autisme.
Tabel 5. Penelitian-penelitian penggunaan fluoxetine untuk terapi autisme
Peneliti
(tahun)

Disain

Cook, dkk

Open label trial

fluoxetine
20-80
mg/hari

23 penderita Perbaikan pada Global


autisme
Clinical Impressions
pada 15 (65%) subjek

DeLong, dkk13 Open label trial

fluoxetine

37 anak
autisme
usia antara
2-7 tahun

Perbaikan pada Independent


Developmental Testing
pada 22 (59%) subjek

Fatemi, dkk14

fluoxetine
20-80
mg/hari

7 pasien
usia 9-20
tahun

Perbaikan Abberant Behaviour


Checklist dalam hal iritabilitas
21%, letargi 37%, stereotipik
27%, dan gangguan bicara 21%

fluoxetine
0,15-0,5
mg/kg

129 anak
autisme
(2-8 tahun)

12

Kajian data
retrospektif

DeLong, dkk15 Open label trial


(post hoc analysis)
selamarata-rata
32-36 bulan

Terapi

Subjek

Tabel 6. Kajian hasil penelitian penggunaan secretin sebagai terapi


autisme
Peneliti
(tahun)
Sandler17

Penelitian Buchsbaum, dkk16 mengukur efek pemberian


fluoxetine terhadap aliran darah regional dan tingkat
metabolisme otak. Penelitian dilakukan pada 6 pasien
dewasa dengan autisme dengan penggunaan possitron
emission tomography. Hasil penelitian menunjukkan adanya
peningkatan tingkat metabolisme di regio frontal kanan
(terutama gyrus cinguli anterior dan korteks orbito-frontal)
pada penderita yang diberikan terapi fluoxetine.
Secretin
Secretin merupakan suatu hormon peptida yang terdiri
dari 27 asam amino yang befungsi untuk menstimulasi
sekresi pankreas. Penggunaan secretin sebagai terapi autisme
dimulai pada saat muncul laporan kasus serial tentang efek
secretin. Laporan tersebut menyebutkan adanya perbaikan
gejala pada beberapa penyandang autisme yang menjalani
pemeriksaan fungsi gastrointestinal dengan Secretin.17 Tabel
6 memperlihatkan telaah hasil-hasil penelitian secretin dalam
terapi autisme.

Terapi farmakologi bukan merupakan


pendekatan terapi yang utama, namun
penggunaan terapi farmaka untuk gejalagejala tertentu dapat membantu secara
signifikan program terapi dan edukasi.
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006

Subjek

RCT

60 anak
autisme

Hasil
- Tidak ada perubahan bermakna
pada skorAutism Behavior
Checklist dan Clinical
Global Impression Scale
- Tidak didapatkan efek samping

Owley

RCT

20 anak
autisme,
usia antara
3-12 tahun

Lightdale,
dkk19

Penelitian
prospektif
open label

20 penderita
autisme,
usia rata-rata
5 tahun

18

Hasil penelitian

Respon pada Autism


Disgnostic Observation
Schedule
- Sangat baik pada 17% kasus
- Baik pada 52% kasus
- Buruk pada 31% kasus

Metode

Roberts20

RCT

64 anak
autisme,
usia antara
2-7 tahun

Tidak berbeda bermakna antara


kelompok terapi dan plasebo dalam
skor komunikasi sosial setelah
4 minggu terapi (p=0,74)
- Tidak dijumpai perbaikan bermakna pada fungsi berbahasa
dan perilaku
- 70% orang tua secara subjektif
melaporkan adanya perbaikan
gejala setelah infus secretin
Tidak ada beda efek terapi yang
berbeda bermakna pada fungsi
kognitif, perilaku, dan gejala
gastrointestinal antara kedua
kelompok

Obat Antiepilepsi pada Autisme


Epilepsi dan abnormalitas gelombang otak sering dijumpai
pada penderita autisme. Kajian Martino dan Tuchman21
memperkirakan adanya hubungan antara adanya epilepsi
dan gelombang otak abnormal dengan gangguan fungsi
kognitif, berbahasa, perilaku, dan mood. Terminologi yang
sering dipergunakan adalah Transient Cognitive Impairment
untuk menunjukkan gangguan adaptif fungsi serebral akibat
gelombang epileptiform di otak. Gelombang paku (spike) fokal
interiktal dapat mengganggu fungsi kortikal sesuai dengan
lokasi munculnya spike tersebut. Sampai saat ini masih
ada kontroversi dalam penggunaan obat antiepilepsi pada
kelompok penderita autisme dengan pola EEG yang abnormal
tanpa bangkitan epilepsi.
Penggunaan antiepilepsi pada penderita autisme
ditujukan untuk: (1) mengendalikan bangkitan epilepsi, (2)
mengendalikan gelombang abnormal epileptiform, dan (3)
memperbaiki komunikasi dan interaksi sosial. Penggunaan
obat anti epilepsi untuk autisme didasarkan pada 2 mekanisme,
yaitu: (1) mengatasi bangkitan epilepsi dengan peningkatan
GABA, dan (2) perangsangan GABA akan meningkatkan
kadar serotonin di sistem limbik.22
Suplemen Vitamin dan Mineral
Dasar pemikiran pemberian suplemen vitamin dan
mineral pada penderita autisme adalah: (1) penderita
autisme sering kali memiliki asupan vitamin dan mineral
yang terbatas atau picky eaters, (2) penderita autisme sering
kali memiliki fungsi pencernaan yang buruk (25% penderita
dengan diare kronik), dan (3) berbagai penelitian terdahulu
menunjukkan berkurangnya flora normal usus yang ikut
berperan dalam penyerapan vitamin.23 Penelitian terdahulu
tentang penggunaan suplemen vitamin dan mineral dapat
dilihat pada tabel 7 berikut.
171

TINJAUAN PUSTAKA
Tabel 7. Penelitian terdahulu tentang penggunaan suplemen
vitamin dan mineral untuk terapi autisme.
Peneliti
(tahun)

Disain

Subjek
(n)

Terapi

Hasil

Dolske, dkk
(1993)

Uji klinik, buta ganda,


cross over, 10 minggu

18

Vitamin C,
8 g/70 kg/hari

Penurunan subjektif
gangguan perilaku
dan stereotipik

Finding, dkk
(1997)

Uji klinik, buta ganda,


cross over, 4 minggu

10

Vitamin B6 30
mg/kg/hari dan
Mg 10 mg/kg/hari

Tidak ada perbedaan


efek terapi,sampel
terlalu kecil

Tolbert, dkk
(1993)

Uji klinik, buta ganda,


cross over, 10 minggu

15

Vitamin B6 200 mg/ Tidak ada perbedaan


70kg dan Mg 100
efek terapi
mg/ 70 kg

Martineau, dkk
(1988)

Systematic assignment,
control group

11

Vitamin B6 30 mg/
kg/hari dan Mg 10
mg/kg/hari

Penurunan dopamin
di urin, respon klinis
tidak jelas dengan
skala pengukuran
yang tidak sesuai

Martineau, dkk
(1988)

Random assignment

Vitamin B6 30
mg/kg/hari dan
Mg 10 mg/kg/hari

Tidak ada perubahan


pada metabolit
dopamin di urin

Bolman, dkk
(1999)

Uji klinik, buta ganda,


dengan kontrol plasebo

Dimethylglisine 125 Tidak ada perubahan


mg-350 mg/hari
dalam observasi

Penggunaan suplemen vitamin dan mineral dalam terapi


autisme didasarkan pada pemikiran bahwa vitamin dapat
memperkuat aksi neurotransmiter dengan meningkatkan
aviabilitasnya dan bertindak sebagai kofaktor. Vitamin C dalam
penelitian eksperimental dapat menghambat efek dopamin
sentral. Vitamin B6 berperan dalam pembentukan beberapa
neurotransmiter seperti serotonin, dopamin, GABA, dan
norepinefrin. Dimethylglisine merupakan suplemen nutrisi yang
memiliki efek neuroaktif serupa dengan Glysin.24
Penelitian uji klinik double blind oleh Adams, dkk23
melibatkan 18 anak dengan rata-rata umur 5,5 tahun dengan
diagnosis klinis autisme. Sebanyak 9 orang anak terdiri atas
8 laki-laki dan 1 perempuan mendapat terapi suplemen
multivitamin dan mineral, dan 9 orang lainnya mendapat
plasebo. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa terjadi
peningkatan kadar vitamin C yang berbeda bermakna pada
kelompok terapi serta perbaikan dalam pola tidur dan gejala
gastrointestinal yang bermakna, namun pada perilaku dan
kemampuan bahasa tidak berbeda bermakna (p>0,05)
Kajian sistematis yang dilakukan oleh Nye dan Bryce25
menyimpulkan bahwa sampai saat ini belum ada rekomendasi
untuk penggunaan kombinasi vitamin B6 dan magnesium
untuk terapi gangguan spektrum autisme. Hal ini disebabkan
karena berbagai penelitian yang ada saat ini memiliki
keterbatasan metodologi dan jumlah sampel yang kecil.
Kesimpulan
Autisme merupakan kelainan yang kompleks, terutama
ditandai oleh gangguan fungsi berbahasa, interaksi sosial,
dan gangguan perilaku. Penatalaksanaan farmakologis
dengan prinsip menyeimbangkan fungsi neurotransmiter
merupakan dasar pendekatan terapi yang rasional. Penelitianpenelitian terdahulu menggunakan terapi antagonis sistem
dopaminergik, pemacu sistem serotoninergik, antagonis
opioid, dan pemacu GABA. Beberapa modalitas terapi lain
seperti penggunaan suplemen vitamin dan mineral dan
172

penggunaan terapi imunologis telah dilaporkan pula. Hasil


kajian sistematis ini mendapatkan bahwa antagonis sistem
dopaminergik merupakan modalitas terapi yang cukup
didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang baik.
Daftar Pustaka
1. Herman A. Neurobiological insights into infantile autism. The Harvard Brain
1996:9-25
2. Tonge BJ. Autism, autistic spectrum and the need for better definition. MJA
2002;176:412-3
3. Ratcliff J. Treatment and education for autistic and related communication
handicapped children. Autism Course Section 5. Bexley; 2002
4. Rapin I. Autism: current concept. N Engl J Med 1997;337(2):97-104
5. SIGN. Classification of evidence levels and grades of recommendation.Scotish
Intercolligiate Guideline Network; 2000
6. Perry P, Kuperman S. Pediatric psychopharmacology: autism. Clinical
Psychopharmacology Seminar, University of Iowa; 2003
7. McCracken JT, McGough J, Shah B, et al. Risperidone in children with autism
and serious behavioral problems. N Eng J Med 2002; 347(5):314-21
8. McDougle CJ, Holmes JP, et al. A double-blind, placebocontrolled study
of risperidone in adults with autistic disorder and other pervasive
developmental disorders. Ach Gen Psychiatry 1998;53:633-41
9. Stahl SM. Essential psychopharmacology: neuroscientific basis and practical
applications. Cambridge University Press; 2000
10. Villalba R, Harrington C. Repetitive self-injurious behavior: the emerging
potential of psychotropic intervention.Psychiatric Times 2003; 20(2)
11. Sophie HN, Swinkels W, et al. the effect of chronic naltrexone treatment in young
autistic children: a double-blind placebo controlled crossover trial. Biol
Psychiatry 1996;39:1023-31
12. Cook EH, Rowlett R, Jaselkis C. Fluoxetine treatment of children and adults with
autistic disorder and mental retardation. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry
1992;31(4):734-45
13. DeLong GR, Teagoe LA, Kamran M. Effect of fluoxetine treatment in young
children with idiopathic autism. Dev Med Child Neurol 1998; 40(8):551-62
14. Fatemi SH, Realmuto Gm, Khan L, et al. Fluoxetine in treatment of adolescent
patients with autism: a longutudinal open trial. J Autism Dev Disord
1998;28(4):303-7
15. DeLongGR, Ritch CR, Burch S. Fluoxetine response in children with autistic
spectrum disorders: correlation with familial major affective disorder and
intelectual achivement. Dev Med Child Neurol 2002;44(10):652-9
16. Buchsbaum MS, Hollander E, Hazneder MM. Effect of fluoxetine on regional
cerebral metabolism in autistic spectrum disorder: a pilot study. Int J
Neuropsychopharmacol 2001; 4(2):119-25
17. Sandler AD, Sutton KA, DeWeese J, et al. Lack of benefit of a single dose of
synthetic human secretin in the treatment of autism and pervasive
developmental disorder. N Engl J Med 1999;341:1801-6
18. Owley T, Steele E, Corsello C, et al. A double-blind, placebocontrolled trial of
secretin for the treatment of autistic disorder. Med Gen 1999
19. Lightdale JR, Hayer C, Duer A, et al. Effects of intravenous secretin on language
and behaviour of children with autism and gastrointestinal symptoms: a
single blinded, open-label pilot study. Pediatrics 2001;108(5)
20. Roberts W, Weaver L, Brian J, et al. Repeated doses of porcine secretin in the
treatment of autism: a randomized, placebo-controlled trial. Pediatrics
2001;107(5)
21. Martino AD, Tuchmann RF. Antiepileptic drugs: affective use in autism spectrum
disorders. Pediatr Neurol 2001; 25:199-207
22. Esles L. the role of serotonin in autism. University of California;2000
23. Adams JB, Fabes R, Johnston C. Effect of vitamin/mineral supplements on
children with autism. Arizona State University; 2000
24. Hyman SL, Levy SE. Autistic spectrum disorders: when traditional medicine is
not enough, contemporary. Pediatrics 2000; 10:101-23
25. Nye C, Brice A. Combined vitamin B6-magnesium treatment in autism spectrum
isorder (Cochrane review). In: The Cochrane Library. Issue 2. Chichester, UK:
John Wiley & Sons, Ltd.; 2004

No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006

TINJAUAN PUSTAKA

Peran serotonin pada

Gangguan spektrum Autistik


Rizaldy Pinzon*, Lucas Meliala**, Sri Sutarni**
* SMF Saraf RSUD Dr. M. Haulussy Ambon
** Bagian IP Saraf FK UGM

Abstrak. Autisme merupakan gangguan perkembangan pervasif. Penelitian terdahulu


menunjukkan kelainan neurotransmiter pada autisme. Telaah pustaka ini membahas
peran serotonin pada autisme. Serotonin merupakan neurotransmiter yang berperan
besar dalam perkembangan otak. Berbagai penelitian sebelumnya memperlihatkan
bahwa sebagian besar penderita autisme adalah hiperserotonemia. Hal ini mungkin
berhubungan dengan kadar serotonin yang rendah di sistem limbik, dan penurunan
sintesis serotonin di nukleus raphe. Berbagai uji klinik terdahulu menunjukkan bahwa
pemberian obat-obat yang meningkatkan serotonin di sistem limbik akan memperbaiki
gejala autisme.
Kata kunci: Autisme, serotonin, hiperserotonemia, ssrI

Pendahuluan
utisme merupakan gangguan perkembangan yang
terutama ditandai oleh ketidakmampuan dalam
komunikasi, sosialisasi, dan imajinasi.1 Terminologi
yang sering digunakan adalah gangguan spektrum autistik/
autistic spectrum disorder, yang terdiri dari autisme, sindrom
Asperger atau Aspergers Syndrome, dan Pervasive Developmental
Disorder-Not Otherwise Specified/PDD-NOS.2,3
Gangguan spektrum autisme dinyatakan sebagai gangguan
dalam empati dan defisit pada fungsi perhatian, kontrol
motorik dan persepsi. Penderita autisme akan menunjukkan
disabilitas dalam interaksi sosial, disabilitas komunikasi dan
kelambatan fungsi berbahasa, perilaku yang terbatas dan
stereotipik, dengan onset sebelum usia 3 tahun.2
Berbagai bukti dari penelitian terdahulu menunjukkan
bahwa disfungsi otak dijumpai pada anak-anak dengan

No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006

autisme.1 Faktor genetik diperkirakan berperan penting


pada kejadian autisme.1,4 Hal ini didasarkan pada penemuan
autisme yang lebih sering pada anak laki-laki dibanding
perempuan (4:1).1 Faktor paparan zat kimiawi dianggap
berperan pula dalam kejadian autisme. Ada 2 faktor zat
kimiawi yang berperan pada autisme dan didukung oleh
bukti ilmiah, yaitu pemakaian thalidomide dan antikonvulsan
selama kehamilan.4
Saat ini telah disepakati secara luas bahwa autisme
merupakan kelainan neurobiologik.1 Pengetahuan tentang
aspek neuroanatomi autisme sangat dibantu oleh hasil
pemeriksaan histopatologis berbagai penelitian terdahulu.
Pengetahuan tentang kelainan neuroanatomi, neurokimiawi, dan perubahan molekuler pada autisme akan
membantu dalam formulasi uji diagnosa dan terapi farmakologi
pada autisme.5
173

TINJAUAN PUSTAKA
Gangguan sistem neurotransmiter sering dijumpai pada
penderita autisme, dan berhubungan dengan munculnya
gejala gangguan perilaku. Berbagai penelitian terdahulu
memperlihatkan adanya disfungsi sistem neurokimiawi
pada penderita autisme yang meliputi sistem serotonin,
norefinefrin, GABA, dan dopamin.5,6 Gangguan sistem
neurokimiawi tersebut berhubungan dengan perilaku agresif,
obsesif kompulsif, dan stimulasi diri sendiri (self stimulating)
yang berlebih.6
Permasalahan yang ada adalah bagaimana keterlibatan
disfungsi sistem serotonin pada gangguan spektrum autistik.
Tinjauan pustaka ini secara mendalam akan membahas peran
disfungsi sistem serotonin pada autisme. Berbagai terapi
farmaka yang bekerja pada sistem serotonin akan dibahas
pula. Pembahasan dititikberatkan pada peran obatobat
tersebut pada gangguan spektrum autistik.
Metode
Studi pustaka ini dilakukan secara kualitatif dengan
mengkaji berbagai penelitian terkini. Pelacakan kepustakaan
dilakukan dengan menggunakan internet, MEDLINE
database, dan pelacakan manual pada berbagai penelitian
dan kajian tentang hubungan disfungsi serotonin dan
autisme. Kata kunci yang dipergunakan adalah: autism,
serotonin, antidepressant drugs, treatment, mechanism, dan
pathophysiology.
Pembahasan
Gangguan fungsi serotonin pada penderita autisme
Serotonin dikenal juga dengan nama 5-hydroxytryptamine (5HT), suatu neurotransmiter yang dibentuk dari asam amino
tryptophan. Serotonin dimetabolisme oleh enzim monoamine
oxidase menjadi 5-hydroxyindoleacetic acid (5-HIAA), sebuah
metabolit yang dapat digunakan untuk menilai fungsi
serotonergik sentral.7
Sistem serotoninergik pada otak manusia terbagi dalam 2
bagian besar, yaitu pada bagian rostral dan kaudal. Nukleus
bagian rostral meliputi nukleus linearis, raphe dorsalis, raphe
medialis, dan raphe pontis, yang berproyeksi hampir ke seluruh
bagian otak termasuk serebelum. Sementara nukleus bagian
kaudal terdiri dari raphe magnus, raphe pallidus, dan raphe
obscuris dengan proyeksi yang lebih terbatas pada serebelum,
batang otak, dan medula spinalis.7
Serotonin disintesa dari asam amino tryptophan, tryptophan
akan dihidroksilasi oleh enzim tryptophan hydroxylase (TPH)
menjadi 5-Hydroxytryptophan yang kemudian mengalami
dekarboksilasi menjadi serotonin oleh enzim L-aromatic
amino acid decarboxylase. Metabolisme serotonin terutama
diperantarai oleh enzim MAO (Mono Amine Oxidase) menjadi
5-hydroxyindoleactic acid (5-HIAA).7
Serotonin yang dilepaskan ke celah sinaps akan mengalami
satu atau lebih kejadian berikut: (1) difusi dari sinaps, (2)
dimetabolisme oleh enzim MAO, (3) mengaktivasi reseptor
174

presinaptik, (4) mengaktivasi reseptor post sinaptik, dan


(5) mengalami ambilan kembali (reuptake) ke pre sinaptik.7
Neurotransmiter serotonin memiliki 14 reseptor yang berbeda
berdasar pada susunan protein dan lokasinya. Sebagian
reseptor serotonin berperan sebagai autoreseptor (misalnya:
5HT1A dan 5-HT1D), perangsangan autoreseptor akan
mengurangi sintesa dan pelepasan serotonin.7
Serotonin berperan dalam perkembangan otak (neurodevelopmental) dengan cara menstimulasi neurogenesis,
berperan pada diferensiasi neuronal, perkembangan dendrit,
sinaptogenesis, dan mielinisasi akson. Kadar serotonin
diatur melalui mekanisme umpan balik, kadar serotonin
yang berlebihan akan menghentikan produksi dan pelepasan
serotonin.8
Fungsi sistem serotonin di otak ditentukan oleh
lokasi sistem proyeksinya. Proyeksi pada korteks frontal
diperlukan untuk pengaturan mood, proyeksi pada ganglia
basalis bertanggung jawab pada gangguan obsesif kompulsif.
Kecemasan dan panik diperantarai oleh fungsi serotonin
pada sistem limbik, dan gangguan tidur diperantarai oleh
kurangnya serotonin pada pusat tidur di batang otak.9
Kajian Wiznitzer10 menunjukkan bahwa serotonin berperan
dalam hal-hal berikut: (1) perkembangan sistem saraf pusat,
(2) perilaku sosial, (3) tidur, (4) agresi, (5) ansietas, dan (6)
gangguan afektif. Berbagai penemuan yang menunjukkan
adanya peran sistem serotonin pada autisme adalah sebagai
berikut:(1) dijumpai adanya hiperserotonemia pada 25%-30%
kasus autisme, (2) kadar serotonin dalam darah yang lebih
tinggi pada saudara kandung penderita autisme, (3) deplesi
kadar triptofan akan memperburuk gejala, (4) peningkatan
antibodi terhadap reseptor serotonin, (5) fungsi serotonin
yang abnormal pada pemeriksaan pencitraan (PET), dan (6)
dijumpai adanya perbaikan gejala dengan pemberian Serotonin
Selective Reuptake Inhibitor (SSRI) pada penderita autisme.10
Berbagai penelitian memperlihatkan bahwa disfungsi
sistem serotonin pada autisme dapat disebabkan oleh halhal berikut: (1) menurunnya sintesa, (2) menurunnya
pelepasan serotonin, (3) peningkatan ambilan kembali, (4)
menurunnya sensitivitas postsinaps, dan (5) berkurangnya
efek postsinaptik.10
Pada sebagian penderita dijumpai adanya hiperserotonemia.
Hiperserotonemia yang terjadi tidak berhubungan dengan
peningkatan volume platelet, peningkatan ambilan platelet,
peningkatan sintesis 5-HT, dan penurunan katabolisme 5-HT.
Pada penderita autisme diamati pula adanya antibodi yang
bersirkulasi dan merusak reseptor serotonin. Faktor genetik
dianggap berperan besar dalam kejadian hiperserotonemia.1
Penelitian Leboyer, dkk11 pada penderita autisme dan
keluarganya memperlihatkan bahwa hiperserotonemia terdapat pada 51% ibu penderita, 45% ayah penderita, dan 87%
dari saudara kandung penderita.
Peningkatan kadar serotonin di dalam darah (hiperserotonemia) akan menyebabkan penurunan sistesis serotonin

No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006

TINJAUAN PUSTAKA
di raphe nuclei. Hyperserotonemia pada penderita autisme
terutama dijumpai dengan adanya peningkatan serotonin
pada platelet. Peningkatan serotonin pada platelet dapat
disebabkan oleh karena ambilan atau uptake platelet yang
berlebih atau karena pelepasan atau release serotonin dari
platelet yang kurang. Kadar serotonin yang kurang di sinaps
atau neuron serotoninergik dapat pula disebabkan oleh
karena ambilan berlebih dari platelet.8
Perilaku melukai diri sendiri atau self injurious behaviors
merupakan masalah yang sering dijumpai pada gangguan
perkembangan pervasif atau autisme. Gangguan sistem
serotonin diduga berperan dalam perilaku melukai diri sendiri
dengan cara mengganggu pengendalian impuls. Gangguan
pengendalian impuls disebabkan oleh menurunnya aktivitas
dan fungsi 5-HT impuls. Sistem serotonin yang hiperaktif
dihubungkan dengan perilaku eksplorasi, mengambil risiko,
ide bunuh diri, perilaku impulsif dan agresif, sementara sistem
serotonin yang hipoaktif menyebabkan temperamen yang
pasif impuls.12
Isolasi sosial pada awal kehidupan akan memicu
perilaku melukai diri sendiri, hal ini dihubungkan dengan
berkurangnya cabang-cabang dendrit pada korteks dan
serebelum, perubahan anatomis pada striatum dan hipokampus, dan menimbulkan gangguan pada kadar regional
neurotransmiter norepinefrin, dopamin, serotonin, substansia
P, dan leucine-enkephalin.12 Berbagai penelitian eksperimental
memperlihatkan adanya hubungan terbalik antara kadar
asam 5-hydroxyindole acetic acid sebagai metabolit serotonin
dengan perilaku kekerasan, mengambil risiko, dan mencederai
diri sendiri impuls.12,13
Serotonin berperan dalam pengaturan perkembangan
otak, dengan mengatur divisi sel, diferensiasi sel,
pertumbuhan neuron dan sinaps, dan pengaturan faktorfaktor neurotropik.14 Peranan neurotransmiter serotonin
pada autisme ditunjukkan dengan hiperserotonemia pada
penderita autisme, perbaikan gejala regresi dan stereotipi
dengan pemberian obat-obat penghambat reuptake serotonin,
dan pengurangan tryptopan akan memperburuk gejala
autisme. Penderita autisme mengalami gangguan dalam
kapasitas sintesis serotonin pada masa anak-anak.14
Pada penderita epilepsi dengan autisme, serotonin
memiliki peran tersendiri dalam munculnya gangguan
perilaku. Timbulnya gangguan perilaku dan afektif pada
penderita autisme dengan epilepsi atau abnormalitas
gelombang EEG diperkirakan terjadi melalui mekanisme
kindling seizure pada amigdala. Kindling memperlihatkan
sebuah model progresivitas kerusakan neuron akibat pacuan
berulang baik subkonvulsif maupun konvulsif.15
Neurotransmiter serotoninergik diperkirakan ikut
berperan dalam terjadinya kindling pada amygdala, pemberian
agonis 5-HT1A akan menghambat pembentukan kindling,
sementara percepatan kindling teramati setelah pemberian
5-HT2A. Serotonin berperan dalam pembentukan kindling

No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006

dengan cara memodulasi munculnya discharge pada amygdala


melalui fungsi reseptor glutamat NMDA (NMethyl DAspartate). Berbagai obat antiepilepsi memiliki efek yang
poten terhadap sistem serotoninergik.15
Penggunaan terapi farmakologi yang berperan pada
sistem serotoninergik
Agonis 5-Ht
Kelompok agonis 5-HT yang paling banyak digunakan
dalam penelitian terapi autisme adalah fenfluramine.
Fenfluramine merupakan kelompok agonis 5-HT indirek yang
memacu pelepasan 5-HT presinaps dan menghambat ambilan
kembali (reuptake) oleh neuron 5-HT.7 Fenfluramine juga
mempercepat pemecahan dopamin yang ditunjukkan dengan
adanya peningkatan ekskresi metabolit utama dopamin, yaitu
homovanilic acid (HVA).6
Fenfluramine akan menginduksi pelepasan cepat serotonin
dari neuron. Pemakaian fenfluramine jangka panjang akan
menyebabkan deplesi serotonin di neuron dan penurunan
fungsi enzim tryptophan hydroxylase (TPH), dengan mekanisme
yang tidak diketahui secara pasti. Saat ini fenfluramine telah
ditarik dari pasaran obat di Amerika Serikat karena efek
samping kerusakan katup jantung dan hipertensi pulmoner.7

Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI)


Obat-obat Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI)
bekerja terutama pada terminal akson presinaptik dengan
menghambat ambilan kembali serotonin. Penghambatan
ambilan kembali serotonin diakibatkan oleh ikatan obat
(misalnya: fluoxetine) pada transporter ambilan kembali yang
spesifik, sehingga tidak ada lagi neurotransmiter serotonin
yang dapat berikatan dengan transporter. Hal tersebut akan
menyebabkan serotonin bertahan lebih lama di celah sinaps.
Penggunaan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI)
terutama ditujukan untuk memperbaiki perilaku stereotipik,
perilaku melukai diri sendiri, resisten terhadap perubahan halhal rutin, dan ritual obsesif dengan ansietas yang tinggi.16
Salah satu alasan utama pemilihan obat-obat penghambat
reuptake serotonin yang selektif adalah keamanan terapi.17
Efek samping yang dapat terjadi akibat pemberian fluoxetine
adalah nausea, disfungsi seksual, nyeri kepala, dan mulut
kering. Tolerabilitas SSRI yang relatif baik disebabkan
oleh karena sifat selektivitasnya. Obat SSRI tidak banyak
berinteraksi dengan reseptor neurotransmiter lainnya.18
Penelitian Awad17 dengan metode pengamatan kasus serial
atau case series terhadap 8 subjek. Tindakan terapi ditujukan
untuk mengatasi gejala-gejala disruptif, dan dimulai dengan
fluoxetine dosis 10 mg/hari dengan pengamatan selama 1
bulan. Perbaikan paling nyata dijumpai pada gangguan
obsesif dan gejala cemas. Tabel 1 memperlihatkan penelitianpenelitian terdahulu tentang penggunaan fluoxetine dalam
terapi autisme.

175

TINJAUAN PUSTAKA
Tabel 1. Penelitian-penelitian terdahulu tentang penggunaan
fluoxetine untuk terapi autisme19-22
Disain

Terapi

Subjek

Hasil penelitian
Perbaikan pada Global
Clinical Impressions
pada 15 (65%) subjek

Open label trial

Fluoxetine
20-80 mg/hari

23 penderita
autisme

Open label trial

Fluoxetine

37 anak
Perbaikan pada Independent
autisme usia
Developmental Testing
antara 2-7 tahun pada 22 (59%) subjek

Kajian data
retrospektif

Fluoxetine
20-80 mg/hari

7 pasien usia
9-20 tahun

Perbaikan Abberant
Behaviour Checklist
dalam hal iritabiltas 21%,
letargi 37%, stereotipik 27%,
dan gangguan bicara 21%

Open label trial


selama 1 tahun

Fluoxetine
20 mg/hari

12 pasien usia
3-13 tahun

Open label trial


Fluoxetine
(post hoc analysis) 0,15-0,5
mg/kg
selama rata-rata
32-36 bulan

129 anak
autisme
usia 2-8 tahun

Perbaikan pada
Global Clinical Impressions
Respon pada Autism
Diagnostic Observation
Schedule
- Sangat baik pada 17% kasus
- Baik pada 52% kasus
- Buruk pada 31% kasus

Penelitian Buchsbaum, dkk23 mengukur efek pemberian


fluoxetine terhadap aliran darah regional dan tingkat
metabolisme otak. Penelitian dilakukan pada 6 pasien dewasa
autisme dengan penggunaan Possitron Emission Tomography.
Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan tingkat
metabolisme di regio frontal kanan (terutama gyrus cinguli
anterior dan korteks orbito-frontal) pada penderita yang
diberikan terapi fluoxetine.
Antidepresan trisiklik
Clomipramine merupakan golongan antidepresan trisiklik
yang digunakan sebagai terapi gangguan obsesif-kompulsif
dan autisme. Agen terapi obsesif-kompulsif pada autisme
terutama digunakan untuk mengurangi perilaku stereotipik
dan gerakan yang berulang-ulang, meningkatkan interaksi
sosial, dan menurunkan kecenderungan agresivitas.8
Mekanisme kerja utama clomipramine adalah menghambat
ambilan kembali (reuptake) 5-HT dan norepinefrine. Lima
penelitian terdahulu tentang clomipramine sebagai terapi
autisme masih bervariasi dan belum konklusif. Perbaikan
gejala hiperaktivitas, stereotipik, kompulsif, perilaku yang
ritual, dan kemarahan diamati pada sebagian besar kasus,
namun ada pula penderita yang menunjukkan perburukan
gejala. Pada kelompok anak-anak pemberian clomipramine
memerlukan monitor EKG yang ketat karena kemungkinan
efek samping takikardia dan perpanjangan interval QT.6
Kesimpulan
Autisme merupakan kelainan yang kompleks, terutama
ditandai oleh gangguan fungsi berbahasa, interaksi sosial,
dan gangguan perilaku. Morbiditas epilepsi dan retardasi
mental dilaporkan tinggi pula. Aspek neuroanatomi yang
mendasari munculnya autisme sangat kompleks. Gangguan
neurotransmiter dianggap berperan pula dalam patofisiologi
autisme. Gangguan yang terjadi terutama pada sistem
dopaminergik, serotoninergik, dan GABA. Gangguan pada
sistem neurotransmiter dianggap bertanggung jawab pada
176

berbagai gangguan perilaku yang muncul pada autisme.


Peranan neurotransmiter serotonin pada autisme ditunjukkan
dengan hiperserotonemia pada penderita autisme, perbaikan
gejala regresi dan stereotipi dengan pemberian obat-obat
penghambat reuptake serotonin, dan pengurangan tryptophan
akan memperburuk gejala autisme. Obat-obat yang bekerja
pada sistem serotonin banyak dipergunakan dalam terapi
autisme. Namun bukti-bukti ilmiah yang mendukungnya
kurang kuat, sehingga diperlukan suatu uji klinik double blind
randomisasi di waktu mendatang.
Daftar Pustaka
1. Herman A. Neurobiological insights into infantile autism. The Harvard Brain
1996:19-25
2. Tonge BJ. Autism, autistic spectrum and the need for better definition. MJA
2002; 176:412-3
3. Pusponegoro HD. Pandangan umum mengenai klasifikasi spektrum gangguan
autistik dan kelainan susunan saraf pusat. Konferensi Nasional Autisme
Pertama. Jakarta; 2003
4. Szatmari P. the causes of autism spectrum disorder: multiple factors has
been identified, but a unifying cascade of events is still elusive. BMJ
2003; 326:173-4
5. Rapin I. Autism: current concept. N Engl J Med 1997; 337(2):97-104
6. Perry P, Kuperman S. Pediatric psychopharmacology: autism, clinical
psychopharmacology seminar. University of Iowa; 2003
7. Nestler EJ, Hyman SE, Malenka RC. Molecular neuropharmacology: a
foundation for clinical neuroscience. McGraw-Hill Companies; 2001
8. Esles L. the role of serotonin in autism. University of California;2000
9. Stahl SM. Essential psychopharmacology: neuroscientific basis and practical
applications. Cambridge University Press; 2000
10. Wiznitzer M. Autism spectrum disorder in 2002: an update. Cleveland Ohio,
USA:Western Reserve University; 2002
11. Leboyer M, Philippe A, Bouvard M, et al. Whole blood serotonin and plasma
beta endorphin in autistic probands and their first degree relatives. Biol
Psychiatry 1999; 45:158-63
12. Villalba R, Harrington C, repetitive self-injurious behavior: the emerging
potential of psychotropic intervention. Psychiatric Times 2003; 20(2)
13. Levin AL. Neurobiological aspects of agression. Neuropsychiatry Bulletin 2002
14. Schultz RT. The Neural basis of autism. International Encylopedia of the Social
and Behavioral SciencesNew York: Elsevier Science, 2001.p.983-7
15. Martino AD, Tuchmann RF. Antiepileptic drugs: affective use in autism
spectrum disorders. Pediatr Neurol 2001; 25:199-207
16. Widyawati I. Manajemen multidisiplin pada individu dengan autistic spectrum
disorder. Konferensi Nasional Autisme Pertama. Jakarta; 2003
17. Awad GA. the use of selective serotonin reuptake inhibitors in young children
with pervasive developmental disorders: some clinical observations. Can
J Psychiatry 1996; 41(6):361-6
18. Ferguson JM. ssrI, anti depressant medications, adverse effects and
tolerability. J Clin Psychiatry 2001; 3:22-7
19. Cook EH, Rowlett R, Jaselkis C. fluoxetine treatment of children and adults
with autistic disorder and mental retardation. J Am Acad Child Adolesc
Psychiatry 1992; 31(4):734-45
20. DeLong GR, Teagoe LA, Kamran M. Effect of fluoxetine treatment in young
children with idiopathic autism. Dev Med Child Neurol 1998; 40(8):551-62
21. Fatemi SH, Realmuto Gm, Khan L, et al. fluoxetine in treatment of adolescent
patients with autism: a longutudinal open trial. J Autism Dev Disord 1998;
28(4):303-7
22. DeLongGR, Ritch CR, Burch S. fluoxetine response in children with autistic
spectrum disorders: correlation with familial major affective disorder and
intelectual achivement. Dev Med Child Neurol 2002; 44(10): 652-9
23. Buchsbaum MS, Hollander E, Hazneder MM. Effect of fluoxetine on regional
cerebral metabolism in autistic spectrum disorder: a pilot study. Int J
Neuropsychopharmacol 2001; 4(2):119-25

No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Baru Kortikosteroid


Pada Penanganan Sepsis
IGP Suka Aryana, Sjaiful I Biran
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah
Denpasar - Bali

Abstrak. Sepsis adalah respon inflamasi sistemik akibat infeksi. Mekanisme terjadinya sepsis masih merupakan
mekanisme yang tidak sepenuhnya jelas. Sepsis yang sebelumnya dianggap sebagai peningkatan respon
inflamasi ternyata juga peningkatan respon antiinflamasi. Pada sepsis ternyata terjadi keadaan imunosupresif
di mana didapatkan peningkatan respon antiinflamasi, anergi dan apoptosis sel imun. Peranan genetik
juga berpengaruh pada prognosis dari sepsis. Pengobatan kortikosteroid masih merupakan kontroversi.
Penelitian-penelitian terbaru membuktikan bahwa penggunaan kortikosteroid dosis tinggi tidak ada
manfaatnya pada terapi sepsis dan syok sepsis. Beberapa penelitian baru menunjukkan bahwa pemberian
kortikosteroid dosis rendah, dosis fisiologis dapat mengembalikan stabilitas hemodinamik, perbaikan fungsi
organ dan menurunkan mortalitas. Tetapi belum banyak studi yang membuktikan hal tersebut. Pengobatan
kortikosteroid dosis rendah sebaiknya diberikan pada penderita sepsis dengan disertai adanya adrenal
insufisiensi.
Kata kunci: sepsis, kortikosteroid, proinflamsi, antiinflamasi

Pendahuluan
epsis adalah merupakan respon inflamasi yang bersifat
sistemik akibat adanya infeksi berat. Respon imun
sistemik muncul setelah respon imun lokal tidak
berhasil mengeliminasi antigen dengan baik. Respon ini
dikenal sebagai istilah Systemic Inflammatory Responses
Syndrome (SIRS). Keberhasilan dari respon ini ditentukan
oleh kekuatan proses inflamasi dan keseimbangan antara
respon inflamasi dan kompensasi respon antiinflamasi.1,2
Beberapa istilah yang harus dipahami sehubungan dengan
sepsis antara lain infeksi, bakterimia, SIRS, sepsis, severe
sepsis, syok sepsis, dan Multiorgan Dysfunction (MOD). Infeksi
adalah respon inflamasi akibat adanya mikroorganisme atau
invasi mikroorganisme ke jaringan yang seharusnya steril.
Bakterimia adalah ditemukannya bakteri pada darah. Systemic
Inflammatory Responses Syndrome adalah respon inflamasi
sistemik akibat berbagai sebab dengan 2 atau lebih manifestasi
berikut: temperatur >38oC atau <36oC, denyut jantung >90
kali/menit, respirasi >20 kali/menit atau PaCO2 <32 mmHg,
dan leukosit >12.000/mm2, <4.000/mm2 atau >10% bentuk
(band) immature. Sepsis adalah respon inflamasi sistemik

No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006

akibat infeksi dengan manifestasi SIRS. Severe sepsis adalah


sepsis yang disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi, atau
hipotensi dan kadang disertai laktoasidosis, oligouri dan
penurunan kesadaran. Syok sepsis adalah bagian dari severe
sepsis yang disertai dengan hipotensi. Multiorgan Dysfunction
adalah sepsis yang disertai dengan adanya gangguan fungsi
organ akibat homeostasis tidak bisa dipertahankan.1-3
Insiden sepsis mempunyai kecenderungan terus
meningkat. Sepsis merupakan penyebab kematian terpenting
pasien-pasien yang di rawat di ruang intensif. Laporan Central
Disease Control (CDC) di Amerika, insiden septikemia
meningkat dari 73,6 per 100.000 pasien pada tahun 1979
menjadi 175,9 per 100.000 pasien pada tahun 1987. Laporan
terakhir tahun 1990 insiden septikemia di Amerika 450.000
kasus pertahun dengan angka kematian lebih dari 100.000
orang.2,4 Di Eropa didapatkan 2-11% pasien yang dirawat
di Intensive Care Unit (ICU) menderita severe sepsis. Angka
mortalitas dari syok sepsis berkisar 40%. Angka kematian
sepsis di Amerika didapatkan lebih rendah, yaitu 9,3% pada
tahun 1995. Total biaya yang diperlukan per kasus berkisar
22.10 dolar. Tingginya angka mortalitas membuat sepsis
177

TINJAUAN PUSTAKA
semakin diperdebatkan dalam hal patogenesis dan terapi
yang terus berkembang. Terapi kortikosteroid telah dimulai
sejak tahun 1950 ternyata masih menjadi perdebatan.
Pada tinjauan pustaka ini akan kami uraikan secara praktis
penggunaan kortikosteroid dalam terapi sepsis.1,2,5
Patofisiologi Sepsis
Sistem kekebalan alami (nonspesifik) adalah pertahanan
lini pertama tubuh terhadap infeksi yang diaktifkan bila ada
patogen masuk melewati pertahanan fisik, mekanik dan
kimiawi tubuh. Sistem kekebalan alami bisa berupa seluler
yang terdiri dari sel monosit, makrofag, neutrofil, eosinofil dan
sel Natural Killer (NK) dan humoral berupa protein terlarut
seperti komplemen, C Reactive Protein (CRP) dan sitokin.
Sistem kekebalan yang didapat (spesifik) akan membantu
sistem kekebalan alami melalui aktivitas dari sel limfosit.
Limfosit T bersifat seluler dan limfosit B bersifat humoral.
Sistem imun akan diaktifkan oleh protein patogen yang
dapat berasal dari berbagai jenis mikroorganisme, misalnya
endotoksin (lipopolysaccharide), peptidoglycan, lipoechoic acid,
lipopeptide, flagelin, mannan dan RNA virus. Kegagalan sistem
imun mengatasi infeksi dan menimbulkan reaksi imun yang
tidak sesuai dikatakan sebagai sepsis.4 Elemen kunci pada
patofisiologi sepsis adalah sitokin. Sitokin yang dihasilkan
oleh sel yang mengalami injuri bersifat sebagai peptida
imunoregulator yang polimorfik. Sitokin Tumor Necrosing
Factor (TNF), interleukin(IL)-1 dan IL-8 sebagai sitokin
proinflamasi dan IL-6, IL-10 sebagai sitokin antiinflamasi.6
Toksin mikroba akan merangsang produksi TNF dan IL-1
menyebabkan terjadinya adhesi dari lekosit pada endotel dan
mensekresi protese dan metabolit arakidonat. Hal ini akan
mengaktifasi sistem pembekuan.6 Jadi ada beberapa faktor
yang berperan pada proses ini, yaitu: respon tubuh, peranan
sel endotel dan monosit dan aktivasi sistem inflamasi dan
koagulasi. Ketiga hal ini berperan dalam menentukan
prognosis dari pasien sepsis. Inflamasi dan koagulasi
merupakan 2 keadaan yang akan saling berpengaruh untuk
menentukan prognosis pasien yang mengalami infeksi.

Elemen kunci pada patofisiologi


sepsis adalah sitokin. Sitokin yang
dihasilkan oleh sel yang mengalami
injuri bersifat sebagai peptida
imunoregulator yang polimorfik.
Adanya infeksi menghasilkan endotoksin atau toksin
akan meningkatkan sitokin proinflamasi. Reaksi dari sitokin
proinflamasi ini yang bermanifestasi sistemik sebagai (Systemic
178

Inflamatory Responses Syndrome) SIRS. SIRS ditandai


dengan adanya hipersitokinemia. Peningkatan respon imun
berlebihan ternyata berakibat buruk pada pasien. Pasien
dapat mengalami fase syok dan MOD dan berakhir pada
Multiple Organ Faillure (MOF) dan kematian. Pada SIRS
terjadi patogenesis yang sangat kompleks, melibatkan banyak
sel, dan merangsang sekresi berbagai hormon. Terapi tidak
akan berhasil jika berkerja hanya pada satu titik saja. Terapi
dengan antibodi antiTNF gagal menunjukan hasil bermakna
pada peningkatan angka harapan hidup pasien dengan sepsis
berat.1,7 Hal ini menimbulkan munculnya teori baru tentang
sepsis tersebut.
Beberapa penelitian sebelumnya mendapatkan bahwa
ternyata pada sepsis tidak ada bukti bahwa peran reaksi
proinflamasi lebih dominan. Hal ini yang menyebabkan
kita harus lebih banyak mengerti konsep baru di mana
ditambahkan 2 istilah baru yang dapat terjadi pada sepsis,
yaitu Compensatory Anti Inflammatory Responses (CARS)
dan Mixed Proinflammatory and Antiinflammatory Responses
(MARS).1,7
Respon
proinflamasi
lokal

Respon
antiinflamasi
lokal

Luka awal
(bakteri, virus,
kondisi traumatis,
termal)

Sebaran sistemik
mediator proinflamasi

Sebaran sistemik
mediator antiinflamasi

Reaksi
sistemik:
SIRS (proinflamasi)
CARS (antiinflamasi)
MARS
(campuran)

C
Cardiovascular
compromise
(syok)
SIRS
Predominate

H
Homeostatis

A
Apoptosis
(sel-sel mati)

Kematian
Keseimbangan dengan inflamasi
CARS dan SIRS
minimal

O
Disfungsi organ

S
Supresi sistem
organ

SIRS
mendominasi

CARS
mendominasi

Gambar 1. Konsep baru sepsis

Imunomodulasi pada sepsis sangat kompleks dan saling


tumpang tindih. Konsep baru ini menjelaskan bahwa ada 5
tahapan terjadinya MOD pada sepsis, yaitu:2
1. Stadium reaksi lokal
Respon awal tubuh adalah menginduksi mediator
proinflamasi untuk menghancurkan jaringan yang rusak,
benda asing, kuman dan merangsang pertumbuhan
jaringan baru. Kompensasi mediator antiinflamasi segera
muncul untuk mencegah agar proinflamasi tidak terlalu
destruktif. IL-4, IL-10, IL-11, IL-13, reseptor TNFa
terlarut, antagonis reseptor IL-1, tumor growth factor
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006

TINJAUAN PUSTAKA

Beberapa penelitian sebelumnya


mendapatkan bahwa ternyata

pada sepsis tidak ada


bukti bahwa peran
reaksi proinflamasi
lebih dominan.

(TGF)b dan mediator lainnya bertujuan mengurangi


ekspresi Major Histocompability Complex (MHC) klas II,
menurunkan aktivitas Antigen Precipating Cell (APC),
dan menurunkan aktivitas sel untuk memproduksi sitokin
inflamasi. Semua reaksi ini berlangsung lokal tanpa reaksi
sistemik berlebihan.
2. Stadium respon sistemik awal
Bila mediator proinflamasi didapatkan dalam sirkulasi
menandakan bahwa kerusakan/kuman tidak dapat
dikontrol oleh reaksi lokal saja. Mediator proinflamasi
bertujuan membantu menarik neutrofil, sel limfosit T,
dan B, trombosit dan faktor koagulasi untuk datang ke
injury location atau infeksi. Reaksi ini akan merangsang
respon kompensasi sistemik antiinflamasi. Tetapi respon
ini akan segera menurunkan respon sistemik proinflamasi.
Manifestasi klinis akan muncul tetapi tidak berat dan
jarang menimbulkan disfungsi organ.
3. Stadium inflamasi sistemik masif
Pada stadium ini terjadi kehilangan mekanisme regulasi
respon proinflamasi sehingga timbul manifestasi klinis
SIRS. Hal ini terjadi akibat dari: (1) progresivitas disfungsi
endotel sehingga terjadi peningkatan permiabilitas
mikrokapiler; (2) Trombosit yang memblok mikrosirkulasi
sehingga timbul iskemia atau injuri reperfusi dan
menginduksi Heat Shock Protein (HSP); (3) aktivasi
sistem koagulasi dan gangguan jalur inhibisi protein C dan
protein S; (4) adanya vasodilatasi dan maldistribusi aliran
darah sehingga pasien jatuh pada fase syok. Pada stadium
ini merupakan ancaman terjadinya disfungsi organ dan
MOF bila homeostasis tidak segera diatasi.
4. Stadium imunosupresi masif
Pada keadaan ini terjadi reaksi antiinflamasi kompensasi
yang tidak efektif dan menyebabkan terjadinya
imunodefisiensi. Keadaan ini sering disebut sebagai
immune paralysis atau CARS. Pada suatu penelitian
didapatkan bahwa pada pasien dengan SIRS. Pada CARS
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006

didapatkan ekspresi human leucocyte antigen (HLA)


DR monosit menurun kurang dari 30%. Penambahan
interferon (IFN) g-1b dapat meningkatkan ekspresi HLA
DR pada permukaan monosit sehingga memperbaiki
fungsi monosit dan sekresi IL-6 dan TNFa sehingga
kondisi pasien membaik.
5. Stadium imunologi dissonance
Stadium akhir dari sepsis adalah imunologis dissonance,
jadi terjadi ketidaksesuaian atau sistem imunomodulator
berada di luar keseimbangan. Keadaan ini sering dianggap
sebagai keadaan yang persisten sehingga mempunyai
angka kematian yang tinggi.
Adanya kenyataan seperti ini berarti masih banyak
misteri sepsis yang belum terungkap dengan jelas. Sepsis yang
didefinisikan sebagai respon inflamasi sistemik ternyata tidak
sepenuhnya terjadi respon inflamasi. Hal ini dapat dilihat
dari beberapa penelitian yang mencoba memberikan terapi
antiinflamasi dengan kortikosteroid, antibodi antiendotoksin,
antagonis TNF, antagonis reseptor IL-1 dan lainnya ternyata
gagal sebagai terapi pada sepsis. Penelitian lain mendapatkan
bahwa ternyata sepsis adalah suatu kondisi imunosupresif.
Hal ini didasari oleh didapatkannya bukti bahwa pada sepsis
terjadi kehilangan kemampuan pada reaksi hipersensitivitas
tipe lambat dan kemampuan eliminasi infeksi sehingga pada
sepsis mudah terjadi infeksi nosokomial. Ada beberapa teori
yang menjelaskan terjadinya imunosupresif pada sepsis,
yaitu: (1) perubahan/pergantian sitokin yang mulanya
proinflamasi menjadi antiinflamasi, (2) anergi: penurunan
respon terhadap antigen akibat kegagalan proliferasi dan
sekresi sitokin sehubungan dengan terjadinya apoptosis
limfosit akibat sepsis, (3) kematian sel imun akibat terjadinya
apoptosis baik pada sel B, sel T CD4 maupun sel dentritik
folikular. Peranan genetik dikatakan ikut mempengaruhi
prognosis pasien. Neutrofil yang sebelumnya diduga dapat
mengeradikasi kuman patogen ternyata juga dapat berakibat
kerusakan jaringan yang lebih luas karena produksi oksidan
dan protease yang berlebihan.8 Karena mekanisme sepsis
yang masih belum jelas diketahui, maka terapi kortikosteroid
juga masih merupakan kontroversi dan masih diperdebatkan.
Beberapa penelitian baru telah menunjukkan adanya manfaat
dari terapi kortikosteroid tersebut.
Perkembangan Pemakaian Kortikosteroid pada Terapi
Sepsis
Kortikosteroid telah banyak digunakan pada beberapa
penyakit yang ditandai dengan peningkatan respon inflamasi
seperti asma, penyakit kolagen, vaskulitis, sarcoidosis dan
penyakit lainnya. Pada syok sepsis terjadi peningkatan respon
inflamasi yang disertai dengan manifestasi syok dengan
penurunan kesadaran, laktoasidosis, dan penurunan produksi
urin. Kortikosteroid dikatakan dapat mengatasi respon inflamasi
ini melalui beberapa cara seperti terlihat pada tabel 1.1

179

TINJAUAN PUSTAKA
Tabel 1. Efek kortikosteroid sebagai antiinflamasi1
Efek pada lipokortin:
1. Meningkatkan respon PMN pada rangsangan
2. Hambatan phospholipase A2 dan cegah aktivasi
prostaglandin
3. Perubahan membran sel pada pengikatan kalsium
4. Hambat kemampuan netrofil untuk melepaskan metabolit
oksigen aktif
Efek pada interleukin:
1. Hambat sintesis IL-1 dan hambat IL-6
2. Menurunkan waktu paruh mRNA IL-3
3. Down egulasi sitokin dan growth factor
4. Cegah TNF dan IL-1 dilepas oleh sel mononuklear
Efek pada netrofil:
1. Stabilisasi lisosom neutrofil
2. Hambat pelepasan enzim lisosom
3. Menormalkan respon inflamasi
4. Cegah hiperagregasi dan adesi lekosit oleh endotoksin
Lain-lain:
1. Cegah aktivitas kaskade koagulasi
2. Hambat sintesis NO eksogen
3. Menurunkan platelet-activating factor selama rangsangan
endotoksin

Kortisol bentuk kortikosteroid yang disekresi oleh kortek


adrenal pada orang sehat tanpa stress mempunyai kadar
diurnal sesuai dengan rangsangan kortikotropin yang disekresi
oleh kelenjar pituitaria. Sekresi kortikotropin dirangsang
oleh Corticotropin Releasing Hormone (CRH) yang berasal
dari hipotalamus (gambar 3). Kedua hormon ini mempunyai
negative feedback control. Kortisol dalam darah terikat dengan
Corticosteroid Binding Globulin (CBG), di mana <10% dalam
bentuk bebas. Pada keadaan infeksi berat/sepsis, trauma, luka
bakar, dan operasi akan terjadi peningkatan sekresi kortisol
akibat peningkatan sekresi hormon kortikotropin dan CRH.
Mekanisme feed back tidak bekerja maksimal sehingga
variasi diurnal sekresi kortisol tidak normal. Gangguan pada
mekanisme aksis hipotalamus-pituitaria-adrenal dikatakan
disebabkan oleh banyaknya sitokin di dalam sirkulasi pada
keadaan tersebut. Pada keadaan ini juga terjadi penurunan
CGB sehingga kortisol bebas akan semakin tinggi. Proses
inflamasi dikatakan dapat memecah ikatan CBG dengan
kortisol oleh enzim neutrofil elastase. Sitokin inflamasi
juga dapat meningkatkan kortisol di jaringan karena
sitokin ini dapat merubah metabolisme kortisol perifer dan
meningkatkan afinitas reseptor glukokortikoid terhadap
kortisol. Tetapi tingginya kadar sitokin inflamasi pada sepsis
secara langsung dapat menghambat sintesis kortisol oleh
adrenal. Pemberian terapi kortikosteroid jangka lama dapat
menekan sekresi kortikotropin dan CRH akan menimbulkan
atropi adrenal terutama jika mendapat hidrokortison 30 mg
perhari selama lebih dari 3 minggu. Pada keadaan kadar
sitokin yang rendah dalam darah jaringan akan lebih sensitif
terhadap kortisol dibandingkan dengan keadaan sitokin
tinggi yang akan menyebabkan terjadi resistensi. Hal ini
menandakan perlukan respon adrenal yang normal untuk

180

dapat mengontrol inflamasi. Hal ini sering disebut sebagai


functional adrenal insufficiency atau relative adrenal insufficiency
artinya walaupun kadar kortisol tinggi tetapi belum cukup
untuk menekan proses inflamasi.1,9
A

B
Fungsi nonstres normal
hipofisis andrenal

Hipotalamus
Corticotropin
releasing hormonie

C
Fungsi normal aksis hipotalamushipofisis-adrenal selama sakit

Fungsi normal aksis hipotalamushipofisis-adrenal selama sakit

Mengurangi
asupan balik
Kortikotropin
melepaskan
hormon

Stress sitokin

Pelepasan hormon
kortikotropin

penyakit sistem
saraf pusat,
kortikostroid
Apoplexy hipofisis,
kortikosteroid

Hipofisis
Kortikotropin

Kortikotropin

Kortikotropin

Andrenal

Terikatnya kortisol dengan


kortikosteroid - mengikat globulin

Meningkatkan kortisol dan menurunkan


kortikostenoid-mengikat globulin

Sitokin anastesi,
antiinfeksi,
kortikosteroid
hemorrhage
infeksi termasuk
infutrasi HIV

Menurunkan kortisol dan menurunkan


kortikosteroid-mengikat globulin

Sitokin, aktivasi
kortikostenoid lokal
Aksis normal
pada jaringan

Meningkatkan aksi
pada jaringan

Menurunkan aksi
pada jaringan

Gambar 2. Aksis hipotalamus-pituitaria-adrenal

Konsep Lama Pemakaian Kortikosteroid pada Terapi


Sepsis
Sejak tahun 1950 penggunaan kortikosteroid pada sepsis
sudah diperdebatkan.1 Beberapa penelitian yang dilakukan
dari tahun 1950 sampai tahun 1971 menunjukkan banyaknya
kortikosteroid digunakan pada sepsis oleh karena bakteri.
Hasil-hasil penelitian ini sulit dievaluasi karena banyaknya
data-data dan metode yang tidak valid.5 Pada tahun 1970-an
beberapa penelitian menggunakan kortikosteroid dosis tinggi
pada sepsis berat dan syok sepsis. Schumer dkk., mendapatkan
pada studi prospektifnya bahwa pemberian metilprednisolon
30 mg/kg berat badan (BB) atau deksametason 3 mg/kg BB
diberikan 1 atau 2 kali dalam 24 jam dapat menurunkan
angka kematian dari 38,4% menjadi 10,5%. Pemberian
kortikosteroid dosis tinggi didasarkan pada asumsi bahwa
pemberian kortikosteroid dosis tinggi akan dapat menguatkan
efek antiinflamasi untuk melawan efek proinflamasi yang
tidak terkontrol. Pemberian kortikosteroid juga diharapkan
dapat mengobati relative adrenal insufficiency yang biasanya
terjadi pada pasien sepsis.1,10-13
Konsep Baru Pemakaian Kortikosteroid pada Terapi
Sepsis
Banyak studi mendapatkan bahwa pemberian
kortikosteroid dosis tinggi pada sepsis tidak bermanfaat
bahkan dapat merugikan karena dapat menimbulkan infeksi
sekunder, perdarahan saluran cerna dan peningkatan gula
darah. Penggunaan kortikosteroid dosis rendah masih
diharapkan bermanfaat karena dapat menurunkan efek
kerusakan sistem imunologis dan menurunkan insiden
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006

TINJAUAN PUSTAKA

Pemberian kortikosteroid
dosis tinggi didasarkan pada
asumsi bahwa pemberian
kortikosteroid dosis tinggi
akan dapat menguatkan efek
antiinflamasi untuk melawan
efek proinflamasi yang
tidak terkontrol.

antiinflamasi, dan genetik. Pengobatan kortikosteroid


masih merupakan kontroversi. Beberapa penelitian baru
menunjukkan bahwa pemberian kortikosteroid dosis rendah,
dosis fisiologis dapat mengembalikan stabilitas hemodinamik,
perbaikan fungsi organ dan menurunkan mortalitas.

Daftar Pustaka
1. Chacko J. Steroid in sepsis. Crit Care & Shock 2004; 7:129-33
2. Aird WC. The role of the endothelium in severe sepsis and multiple
dysfunction syndrome. Blood 2003; 101:3765-77
3. Abraham E, Matthay MA, Dinarello CA, et al. Consensus conference
definitions for sepsis septic shock, acute lung injury, and acute
respiratory distress syndrome: time for a reevaluation. Crit Care
Med 2000;28:232-5.
4. Bochud PY, Calandra. Pathogenesis of sepsis: new concepts and
implications for future treatment. BMJ 2003; 326:262-6

terjadinya infeksi sekunder. Terapi ini menjadi rasional karena


dianggap pada keadaan sepsis terjadi relatif defisiensi adrenal.
Terapi ini sering disebut sebagai terapi fisiologi/replacement
dari kortikosteroid.5
Metaanalisis terakhir oleh Minneci mendapatkan bahwa
terapi kortikosteroid dosis tinggi dalam waktu pendek dapat
menurunkan harapan hidup, sedangkan terapi kortikosteroid
dosis selama 5-7 hari dapat meningkatan umur harapan
hidup, dapat memperbaiki kondisi syok dan meningkatkan
respon vaskular terhadap vasopresor.11,14,15
Kelenjar adrenal mensekresi kortisol pada saat ada
stressor seperti pada sepsis. Baik tinggi maupun rendahnya
kadar kortisol endogen yang disekresi akan berhubungan
dengan mortalitas yang terjadi pada penderita sepsis.
Manfaat dari kortisol adalah dapat sebagai antiinflamasi
(menghambat sekresi sitokin dan migrasi sel radang) dan
efek kardiovaskularnya dapat menghambat rangsangan
sintesis Nitric Oxide (NO) dan meningkatkan respon
vasokonstriksi vaskular terhadap katekolamin.16 Pemberian
kortikosteroid dosis tinggi tidak dianjurkan karena lebih
banyak merugikan. Pemberian kortikosteroid dosis rendah
dikatakan lebih memberikan manfaat tetapi masih belum
disepakati. Penelitian terbaru yang sedang berjalan dilakukan
oleh Sprung dkk., dalam studi yang disebut CORTICUS
akan menjawab pertanyaan penggunaan steroid pada sepsis.
Sementara menunggu hasil studi pemberian kortikosteroid
dosis rendah hanya direkomendasi apabila didapatkan adanya
adrenal insufisiensi pada sepsis.12-14,17
Kesimpulan
Sepsis adalah respon inflamasi sistemik akibat infeksi.
Mekanisme terjadinya sepsis masih merupakan mekanisme
yang tidak sepenuhnya jelas. Sepsis merupakan kombinasi
kompleks peningkatan respon inflamasi, peningkatan respon

No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006

5. Sessler CN. Steroid for septic shock. Back from the dead?(Con).
Chest 2003; 123:482S-489S
6. Wheeler AP, Bernard GR. Treating patients with severe sepsis. N Engl
J Med 1999; 340:207-14
7. Bone RC, Grodzin CJ, Balk RA. Sepsis: a new hypothesis for pathogenesis of the disease process. Chest 1997; 112:235-43
8. Hotchkiss RS, Karl IE. The pathophysiology and treatment of sepsis.
N Engl J Med 2003; 384:138-50
9. Cooper MS, Stewart. Coricosteroid insuffeciency in acutle ill patients.
N Engl J Med 2003; 348:727-34
10. Lamberts SW, Bruining HA, DeJong FH. Corticosteroid therapy in
severe illness. N Engl J Med 1997; 337:1285-92
11. Minneci PC, Deans KJ, Banks SM, et al. Meta-analysis: the effect of
steroid on survival and shock during sepsis depends on the dose. Ann
Intern Med 2004; 141:47-56
12. Luce MJ. Physician should administer low dose corticosteroid
selectively to septic patients untill an ongoing trial is completed.
Ann Intern Med 2004; 141:70-2
13. Bornstein SR. A new role for glucocorticoid in septic shock. Am J
Respir Crit Care Med 2003; 167:485-9
14. Balk RA. Steroid for septic shock. Back from the dead?(pro). Chest
2003; 123:490S-499S
15. VanAmersfoort ES, VanBerkel TJ, Kuiper J. Receptors, mediators, and
mechanism involved in bacterial sepsis and septic shock. Clin
Microbiol R 2003; 16:379-414
16. Burry LD, Pharm B. Role of corticosteroids in septic shock. Annals
Pharm 2004; 38:464-72(abstract)
17. Annene D, Bellisant E, Bollaert PE, et al. Corticosteroid for severe
sepsis and septic shock: a systematic review and meta-analysis.
BMJ 2004; 329:480

181

TINJAUAN PUSTAKA

Patogenesis dan Respon Imun Tubuh


terhadap Infeksi Virus Herpes Simpleks
Ary Widhyasti Bandem, Satiti Retno Pudjiati
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Kulit Kelamin
Fakultas Kedokteran UGM/RS Dr. Sardjito
Yogyakarta

Abstrak. Herpes genital (HG) disebabkan oleh virus herpes simpleks (VHS) yang bermanifestasi sebagai papule vesicle
yang dengan mudah menjadi ulkus dangkal pada genital. Infeksi HG dapat berupa infeksi primer, rekuren dan bahkan
asimptomatis sehingga dengan mudah dapat menular kepada orang lain. Infeksi HG prevalensinya makin meningkat
dan memudahkan transmisi infeksi HIV maupun penyakit menular seksual lainnya. Manifestasinya dapat ringan
maupun berat pada penderita imunocompromise sehingga penting untuk diketahui patogenesis dan respon imun
tubuh terhadap infeksi VHS. Pada tulisan ini akan diuraikan tentang karakteristik VHS, patogenesis infeksi VHS pada
mukokutan, diagnosis HG serta respon imun tubuh terhadap infeksi VHS baik yang bersifat alamiah dan adaptif.
Kata kunci: Herpes genital, patogenesis, diagnosis, karakteristik, respon imun

Pendahuluan
erpes Genitalis (HG) adalah infeksi genital yang
disebabkan oleh virus herpes simpleks (VHS)
ditandai secara klasik dengan timbulnya erupsi
papulovesikular dengan dasar eritema pada kulit, dan pada
mukosa dengan mudah menjadi ulkus dangkal. Virus Herpes
Simpleks merupakan virus DNA dari famili Herpesviridae
dan menginfeksi epitel mukokutan secara inokulasi langsung
melalui lesi abrasi. Pada saat terjadinya infeksi di mukokutan,
VHS juga menginfeksi sel saraf sensoris, menuju ganglion
sakralis (S2-S4), selanjutnya menetap sebagai infeksi laten.
Pada beberapa keadaan seperti adanya trauma lokal, menstruasi,
stres emosi, demam, dan paparan sinar ultraviolet, VHS ini
mengalami reaktivasi, secara axonal kembali ke mukokutan
dan memberikan gambaran klinis sebagai infeksi rekuren.1-8
Prevalensi HG di Amerika Serikat meningkat dari 100.000
di tahun 1970-an menjadi 200.000 di tahun 1990. Hal ini di
samping karena jumlah kasus yang memang meningkat, juga
disebabkan karena perbaikan dalam menegakkan diagnosis
dan meningkatnya kepedulian pasien.9 Pada tahun 1988-1994,
seroprevalensi VHS-2 pada penduduk Amerika Serikat yang
berusia di atas 12 tahun sebesar 21,9% dari 45 juta penduduk
yang terinfeksi. Saat ini secara nasional di Amerika Serikat
dideteksi VHS-2 positif pada 1 dari 5 orang yang berusia di atas
12 tahun.6 VHS-1 sebagai penyebab HG di Amerika Serikat

182

telah didapatkan meningkat sampai 20% dan disebabkan


karena dari hubungan oral-genital.10
Manifestasi klinis HG bervariasi, dikenal dengan infeksi
primer, infeksi rekuren, dan bahkan infeksi dapat tidak
dirasakan penderita (asimptomatis) tetapi terjadi viral
shedding yang dapat menularkan kepada orang lain. Tentunya
transmisi ini berbahaya apalagi dengan adanya infeksi HG juga
memudahkan transmisi HIV ataupun penyakit menular seksual
lainnya.11-13 Manifestasi klinis yang bervariasi, rekureni yang
tinggi dan komplikasi berat pada penderita imunocompromise,
serta kesembuhan permanen yang tidak pernah terjadi, maka
diperlukan pemahaman yang lebih baik tentang patogenesis
dan respon imun tubuh terhadap infeksi VHS. Dengan
demikian, diharapkan dapat membantu menegakkan diagnosis
dan penatalaksanaan yang lebih tepat untuk penderita HG.
Pada makalah ini akan dibahas mengenai karakteristik
VHS, patogensis infeksi VHS pada mukokutan, diagnosis
HG serta respon imun tubuh terhadap infeksi VHS baik yang
bersifat alamiah dan adaptif.
Karakteristik VHS
Virus herpes simpleks tergolong ke dalam virus Herpes tipe
alfa yang mempunyai sifat neurotropik dan replikasi virus yang
relatif cepat serta dapat menginfeksi berbagai sel pada kultur.
Sejak tahun 1960 dikenal ada dua serotipe, yaitu VHS-1 dan

No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006

TINJAUAN PUSTAKA
VHS-2. Strain VHS-1 umumnya diisolasi dari labia, fasial dan
okular sedangkan strain VHS-2 dari lesi genital dan dari bayi
baru lahir yang terinfeksi lewat jalan lahir. Akan tetapi kedua
strain ini dapat dijumpai pada tempat yang sebaliknya. Kedua
strain ini sulit dibedakan dari patogenesisnya, hanya disebutkan
bahwa VHS-2 lebih sering menimbulkan infeksi rekuren pada
daerah genital daripada oral dan demikian sebaliknya.2,3
VHS mempunyai genom yang linier, double stranded DNA,
dengan ukuran 160 x 103 kDa, dikelilingi selubung protein
dan amplop lipid. Virion VHS terdiri dari inti DNA, kapsid
ikosahedral berdiameter 100 nm dengan permukaannya ditutupi

Manifestasi klinis yang bervariasi,


rekureni yang tinggi dan komplikasi berat
pada penderita imunokompromais, serta
kesembuhan permanen yang tidak pernah
terjadi, maka diperlukan pemahaman yang
lebih baik tentang patogenesis dan respon
imun tubuh terhadap infeksi VHS. Dengan
demikian, diharapkan dapat membantu
menegakkan diagnosis dan penatalaksanaan
yang lebih tepat untuk penderita HG.
162 kapsomer serta dibatasi oleh amplop yang mengandung
lipid. Antara nukleokapsid dan amplop dipisahkan oleh
tegumen. Genom VHS-1 dan VHS-2 mempunyai 50% sekuen
nukleotida yang sama (homolog) sedangkan 50% lainnya
berbeda. Genom virus mengkode 50 protein virus spesifik
termasuk 5-6 glikoprotein spesifik yang dipresentasikan pada
permukaan virus dan pada permukaan sel yang terinfeksi
virus. Glikoprotein VHS ditemukan ada 11 dan yang berfungsi
sebagai attachment pada hospes adalah glikoprotein B dan C,
sedangkan untuk entry dan terpenting dalam menginduksi
antibodi netralisir terhadap virus adalah glikoprotein D. dari 56 glikoprotein pada VHS tersebut, hanya satu dari glikoprotein
permukaan ini yang bersifat spesifik, gG1 untuk VHS-1 dan
gG2 untuk VHS-2. Secara signifikan didapatkan adanya
reaktivitas silang pada antibodi yang terbentuk di antara kedua
tipe virus tersebut.1,14-16
Genom VHS juga menyandi sejumlah protein non-struktural yang penting untuk replikasi DNA virus, termasuk virus
timidin kinase, DNA polimerase, ribonukleotida reduktase dan
alkaline DNase. Enzim virus ini berbeda dengan enzim sel yang
terinfeksi dan menjadi dasar penghambat obat antivirus.1

No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006

Patogenesis
VHS masuk ke dalam tubuh manusia untuk pertama kali
(infeksi inisial, infeksi primer) melalui kontak virus dengan
mukosa atau lesi abrasi. VHS-2 menginfeksi pejamu di mukosa
genital dan mengadakan replikasi dalam sel epitel. Virus
memasuki sel secara fusi dimulai dengan glikoprotein amplop
VHS mengikat reseptor spesifik sel pejamu, yaitu heparin sulfat
permukaan sel. Nukleokapsid ditransfer ke inti sel pejamu
melewati sitoplasma, terjadi uncoating (selubung VHS lepas),
dan akhirnya genom (DNA) VHS ditransfer ke inti sel pejamu.
Setelah terjadi fusi amplop virion dengan membran sel pejamu,
beberapa protein virus dilepaskan dari virion VHS. Beberapa
protein tersebut menghentikan sintesa protein pejamu dan
yang lainnya menghidupkan transkripsi early-genes untuk
replikasi VHS. Early genes atau gen alfa diperlukan untuk
sintesis kelompok polipetida, atau gen beta yang merupakan
protein regulator dan enzim yang diperlukan untuk replikasi
DNA. Kelompok gen VHS yang ketiga adalah gen gamma
yang dibutuhkan untuk replikasi DNA, yaitu untuk ekspresi
dan penggantian protein struktural virus. Setelah replikasi
genom virus dan pembentukan protein struktural virus,
nukleokapsid di susun di inti sel pejamu. Pembentukan amplop
melalui budding melewati membrana inti, ruang perinuclear
dan akhirnya virion ditransfer melalui retikulum endoplasma
dan apparatus golgi ke permukaan sel. Seluruh siklus replikasi
ini membutuhkan waktu 12-16 jam.14,15
Replikasi VHS dalam sel epidermis dan dermis menghasilkan kerusakan sel dan inflamasi. Secara klinis tampak lesi
vesikular di atas kulit eritem dan secara mikroskopis dijumpai
multinucleated giant cells, nekrosis sel setempat dan degenerasi
balon pada sel yang terinfeksi. Infeksi virus menyebabkan
degenerasi balon dengan kromatin yang padat di dalam inti sel,
diikuti degenerasi selular inti sel parabasal dan sel intermediate.
Sel yang terinfeksi kehilangan kontak dengan plasma membran
dan membentuk multinucleated giant cells. Bila sel mengalami
lisis akan terlihat sebagai vesikel pada lapisan epidermis dan
dermis. Cairan vesikel mengandung depris sel, sel-sel inflamasi,
dan multinucleated giant cell. Pada lapisan subdermis terjadi
respon inflamasi yang intens dan penyembuhan pada kulit di
mulai dengan vesikel menjadi pustul dan akhirnya menjadi
krusta. Pada mukosa tidak terbentuk krusta tetapi mudah
menjadi ulkus dangkal. Pada infeksi inisial penyebaran infeksi
virus dapat melalui sistem limfatik ke limfonodi regional.
Saat infeksi inisial, virus secara asenden mencapai neuron
sensoris perifer dan mengalami latensi pada ganglia saraf sensoris
maupun autonom serta mempunyai hubungan permanen
antara virus dengan pejamu. Saat latensi di ganglion dorsalis,
virus melakukan replikasi dalam jumlah sangat terbatas dan
transkripsi yang terjadi dikenal dengan LAT (latentcy associated
transcripts).2,8,15-17
Pada model binatang percobaan, VHS terdeteksi di neuron
ganglion 2 hari setelah infeksi. Replikasi virus dalam jaringan
saraf terbatas tetapi mempunyai kemampuan untuk migrasi
183

TINJAUAN PUSTAKA
kembali ke akson dekat tempat inokulasi awal sehingga dapat
memperjelas luasnya area permukaan yang terlibat pada infeksi
primer. Pada penderita yang imunokompeten replikasi virus ini
terkendali dan terjadi penyembuhan (reepitealisasi).3
Reaktivasi dan replikasi VHS laten (infeksi rekuren) terjadi
karena adanya stimuli multipel seperti dengan adanya pajanan
sinar ultraviolet, immunsupreisan, demam, infeksi dan trauma
pada neuron yang terinfeksi. Virus diantarkan di kulit kembali
melalui saraf sensoris tepi dan mengadakan replikasi lagi di
epidermis. Gejala yang timbul lebih ringan dibandingkan infeksi
inisial, tergantung dari jumlah virus yang mengalami replikasi,
virulensi strain VHS dan status imun penderita. Reaktivasi
dan replikasi virus dapat terjadi secara periodik pada penderita
asimtomatis dan pada fase ini virus dapat dideteksi walaupun
tanpa gejala dan tanda dari penyakit.10,15
Respon Alamiah dan Adaptif Tubuh terhadap Infeksi VHS
Virus adalah mikroorganisme obligat intraselular dan
saat masuk ke dalam sel epitel, pertama kali direspon tubuh
pejamu melalui barier mekanis, misalnya pada genitalia wanita,
dengan adanya mukus, flora normal dan glikokaliks. Sekresi
tersebut mengandung pula komplemen dan IgM alamiah
yang akan mengurangi jumlah sel yang terinfeksi akan tetapi
bila virus dapat menembus pertahanan ini tubuh berespon
dengan stimulasi respon imun alamiah lainnya. Replikasi virus
mengaktifkan komplemen, stimulasi kemokins dan interferon
(IFNab). Substansi-substansi ini mengaktifkan endotel kapiler,
menjadi bocor (leaky) dan mengekspresikan molekul adesi.
Substansi tersebut pula yang mengaktifkan sel dentritik dan
makrofag residen untuk mempresentasikan patogen. Sel
dentritik imatur memakan antigen atau partikel VHS dan
mengantarkan ke limfonodi regional untuk aktivasi sel T
sebagai permulaan respon imun adaptif. Saat sel dentritik keluar
dari mukosa yang terinfeksi, terjadi influks neutrofil, monosit
dan sel pembunuh alami, atau sel NK (natural killer). Sel-sel
ini melewati kapiler endotel yang teraktifasi dan mengikuti
kemokins di tempat yang terinfeksi. Sel- sel ini berusaha untuk
memfagositosis partikel virus dan sel-sel yang terinfeksi.13
Respon imun alamiah (innate) yang paling berperan
terhadap infeksi virus adalah interferon tipe I (IFN) dan
dimediasi oleh sel NK. Sel yang terinfeksi virus secara langsung
memproduksi IFN dan menginduksi sel yang belum terinfeksi
virus ke dalam antiviral state (keadaan di mana sel-sel pejamu
mendapatkan kekebalan terhadap infeksi virus). IFN gamma
mengaktifkan sel NK dan memfokuskan sel ini pada tempat
infeksi. Sel NK juga merupakan mediator utama dalam antibodydependent cellular cytotoxicity (ADDC), yaitu sitotoksisitas sel
yang tergantung antibodi. Sel NK melisiskan sel yang telah
terinfeksi dan berperan penting sebelum terbentuknya respon
imun yang adaptif. Sel NK aktif dapat terdeteksi 2 hari setelah
infeksi virus. Sel NK mengenali sel yang terinfeksi karena tidak
terekspresikan MHC kelas I.13,18-21
Respon imun adaptif dimulai dengan adanya sel

184

dentritik membawa antigen atau partikel virus ke limfonodi,


mempresentasikan MHC (Major Histocompability Complex),
mensekresikan sitokin dan menstimulasi sel T untuk
berdiferensiasi menjadi sel Th1 dan Th2.13 Respon imun adaptif
diperankan oleh antibodi dan sel limfosit sitotoksik. Antibodi
berperan saat virus berada di ektraseluler, yaitu saat virus
akan masuk ke dalam sel pejamu atau saat virus berada di luar
sel, saat sel pejamu lisis akibat efek sitopatik virus. Antibodi
berfungsi sebagai antiviral dengan atau tanpa bantuan
komplemen. Antibodi antiviral ini berfungsi sebagai antibodi
netralisir yang mencegah attachment dan entry ke dalam sel
pejamu. Antibodi netralisir ini menyatu dengan amplop
virus atau antigen kapsid. Antibodi netralisir menghambat
terjadinya infeksi virus dan penyebaran virus dari sel ke sel,
tetapi bila virus dapat masuk ke dalam sel, antibodi sudah tidak
berperan. Sehingga pemberian vaksinasi ataupun imunitas
humoral yang terbentuk dari infeksi sebelumnya hanya dapat
memproteksi dengan mencegah terjadinya infeksi tetapi tidak
dapat mengeliminasi infeksi virus yang telah terjadi.20
Untuk virus yang dapat masuk ke dalam sel pejamu
(intraseluler), diatasi oleh respon imun adaptif yang diperankan
oleh sel T sitotoksik (CD8). Sel T (CD8) mengenali sel terinfeksi
karena adanya presentasi antigen oleh sel panyaji antigen,
yaitu adanya ekspresi MHC kelas I. Diferensiasi sel CD8 juga
memerlukan sitokin yang dihasilkan oleh sel CD4 T helper. Efek
antiviral CD8 dengan cara melisiskan sel yang terinfeksi dan
aktivasi enzim nuklease di dalam sel terinfeksi sehingga genom
virus terdegradasi dan tersekresi sitokin dengan aktivitas IFN.
Virus Herpes Simpleks tetap mengadakan upaya untuk
menghindarkan diri dari pengenalan oleh CD8, yaitu dengan
menghasilkan protein ICP-47 yang mengikat pada TAP
(transporter associated within antigen processing). Hal ini akan
mencegah transporter menangkap peptida sitosolik yang
dibawa ke dalam retikulum endoplasma untuk pengikatan
molekul kelas I. Ini dikenal dengan mekanisme shutt off MHC
kelas I. (bagan pathway class I MHC). Dengan demikian MHC
kelas I tidak terekspresikan sehingga sel terinfeksi tersebut
tidak dikenali oleh sel CD8. Akan tetapi tubuh mengatasi hal
ini dengan adanya sel NK yang dapat berespon melawan sel
terinfeksi virus tersebut walaupun tidak mengekspresikan
MHC kelas I.19,20
Pada fase laten, virus di neuron tidak melakukan replikasi
dan tidak menimbulkan penyakit (infeksius). Sel neuron
sensoris tetap terinfeksi namun virus dalam keadaan quiescent
(diam, tanpa gerak) dan peptida yang dihasilkan sedikit,
sehingga hanya sedikit pula yang dipresentasikan sebagai MHC
kelas I. Neuron yang tidak mengekspresikan MHC kelas I
membuat sel T sitotoksik (CD8) tidak mengenalinya. Keadaan
ini menguntungkan, karena sel T (CD8) tidak merusak neuron
yang mempunyai regenerasinya memang lambat. Pada keadaan
tertentu virus dapat menjadi aktif, menuju ke sel epidermis yang
diinervasi saraf terinfeksi tersebut dan mengadakan replikasi
sehingga siklus berulang kembali dan menjadi infeksius yang

No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006

TINJAUAN PUSTAKA
disebut infeksi rekuren.22,23

Pada infeksi rekuren, 90%


didahului adanya gejala prodromal
sebelum timbul erupsi. Gejala
prodromal hanya berupa rasa
tingling selama 0,5 sampai 48 jam,
akan tetapi dapat pula disertai nyeri
menusuk pada pantat, paha dan
pinggang yang dapat berlangsung
1-5 hari sebelum timbal erupsi.

Diagnosis
1. Manifestasi klinis
Gambaran klinis HG primer dan HG rekuren sangat berbeda.
Pada infeksi primer disertai dengan adanya gejala sistemik
(demam, nyeri kepala, malaise dan myalgia), durasi penyakit
lebih lama (bisa sampai 20 hari), lesi genital yang multipel
dan disertai lesi ektragenital. Gejala lokal antara lain: nyeri,
gatal, disuria, discar uretra atau vagina, dan pembengkakan
limfonodi inguinal. Lesi klasik dimulai dengan makula dan
papul yang berkembang menjadi vesikel, pustul dan ulkus.
Kulit akan menjadi krusta sedangkan pada mukosa terjadi
ulkus dangkal.10 Penderita yang mengalami infeksi primer
(baik infeksi VHS1 atau VHS2) mengalami gejala penyakit
yang lebih berat dibandingkan yang secara klinis ataupun
serologis telah terinfeksi VHS-1 sebelumnya. Hal ini
disebabkan karena pada infeksi berikutnya sudah terbentuk
antibodi spesifik dan infeksi VHS-1 dapat memberikan
proteksi parsial terhadap infeksi VHS-2.24
Gambaran klinis herpes genitalis rekuren lebih terlokalisasi
di genital area. Gejala nyeri, gatal lebih ringan dibandingkan
pada infeksi primer. Pada infeksi rekuren, 90% didahului
adanya gejala prodromal sebelum timbul erupsi. Gejala
prodromal hanya berupa rasa tingling selama 0,5 sampai 48
jam, akan tetapi dapat pula disertai nyeri menusuk pada
pantat, paha dan pinggang yang dapat berlangsung 1-5 hari
sebelum timbul erupsi.
2. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang sangat diperlukan bila secara klinis
tidak menunjukkan gejala dan tanda khas (klasik) apalagi
pada herpes genitalis dapat bersifat asimtomatis sehingga
penderita tidak menyadari menjadi sumber penularan.
Kultur viral dan viral typing masih merupakan baku emas
dalam mendiagnosis infeksi herpes dengan spesifisitas
100% akan tetapi sensitivitasnya tergantung dari episode
infeksinya. Pada infeksi primer sensitivitasnya 74% dan
50% pada infeksi rekuren. Sampel sebaiknya diambil pada
awal penyakit dan tidak melewati fase erupsi vesikuler.
Sel yang terinfeksi virus banyak didapatkan pada tepi dan
di dasar lesi. VHS adalah virus yang tumbuh cepat dan
memperlihatkan efek sitopatik pada kultur sel dalam 24
jam. Virus ini dapat diisolasi dalam berbagai sel, seperti
sel embrionik paru manusia, ginjal kelinci, HEp2 (berasal
dari karsinoma laring manusia) dan A549 (karsinoma paru
manusia).4,15,17,25
Deteksi antigen VHS dapat dilakukan dengan metode
PCR (polymerase chain reaction) walaupun penggunaannya
masih terbatas untuk penelitian. Metode ini mempunyai
spesifisitas dan sensitivitas yang lebih tinggi dari kultur.
Pemeriksaan ini berdasarkan amplifikasi DNA VHS dan
hasil dapat diketahui dalam 2 hari.18,26,27
Tes Tzanck (pemeriksaan sitologi) bertujuan untuk
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006

melihat efek sitopatik pada sel epitel. Sel membesar,


dengan intranuclear inclusion dan sering terjadi fusi sel yang
memberi gambaran multinucleated giant cell. Pemeriksaan
Tzanck mempunyai sensitivitas yang rendah dan tidak
dapat membedakan VHS-1 dan VHS-2 ataupun virus
varisela-zoster.24,28
Pemeriksaan penunjang secara indirek (serologis) saat ini
ada 3 macam yang telah disetujui oleh FDA (Food and
Drug Association), yaitu Herpes Western Blot, Herpect Select
(Elisa dan Immnublot Kit) dan POC Rapid Test. Herpes
Western Blot merupakan baku emas dalam mendeteksi
antibodi terhadap VHS dan dengan pemeriksaan ini dapat
membedakan VHS-1 dan atau VHS-2. Dengan demikian
tes ini dapat mengetahui adanya serokonversi awal VHS2 pada penderita yang sebelumnya terinfeksi VHS-1.
Kekurangan pemeriksaan ini adalah harganya mahal, tidak
tersedia secara komersil (University of Washington, Amerika
Serikat) dan masih memerlukan 2-5 hari untuk mengetahui
hasil.26-29
Pemeriksaan EIAs (enzyme-linked immunosorbent assays)
berdasarkan deteksi glikoprotein yang spesifik seperti
glikoprotein G meningkatkan sensitivitas dan spesifitasnya
menjadi 93-98%. Test ini masing-masing untuk VHS-1 dan
ada untuk VHS-2. Tes ini diproduksi oleh Focus Technologies,
dengan nama ELISA Kits dan Immunoblot Kit.24,26,27
Saat ini juga tersedia pemeriksaan yang dapat dipakai
mendeteksi antibodi secara lebih cepat dan dapat dipakai
langsung di klinik. Contoh yang telah mendapatkan
persetujuan FDA dan khusus untuk mendeteksi antibodi
terhadap VHS-2 adalah POCkit HSV-2 Rapid Test
(Diagnology Incoporation) yang mempunyai sensitivitas 96%

185

TINJAUAN PUSTAKA

dan spesifisitas 87-98%.15,16,18 Tes ini lebih cepat hasilnya


karena memerlukan hanya kurang dari 10 menit dan darah
diambil dari tusukan jari saja.30,31
Tes serologis berguna pada penderita dengan manifestasi
klinis yang tidak klasik (konfirmasi diagnosis), untuk
skrining pada yang orang yang berisiko tinggi terinfeksi VHS
seperti pada penderita HIV, penderita dengan penyakit
menular seksual lainnya, atau penderita dengan partner
dengan riwayat herpes. Semua tes ini direkomendasikan
untuk dikerjakan 12-18 minggu setelah paparan VHS,
karena pada saat itu telah melewati window period dan
telah terbentuk antibodi.30,31

Kesimpulan
Virus herpes simpleks (VHS) adalah virus double standed
DNA yang terdiri dari dua serotipe VHS1 dan VHS2. VHS
sebagai penyebab herpes genital menginfeksi tubuh melalui lesi
abrasi yang secara klinis dapat ditegakkan dengan dijumpai lesi
papul vesikel yang menjadi ulkus dangkal pada area genital.
Pemeriksaan penunjang sederhana yang dapat dikerjakan
adalah tes Tzanck dengan menemukan multinucleated giant cell
sedangkan secara serologis dengan pemeriksaan Herpes Western
Blot, Herpect Select (Elisa dan Immunublot Kit) dan POC Rapid
Test.
Herpes genital masih merupakan penyakit menular seksual
yang tidak dapat sembuh permanen. Berat ringannya penyakit
yang diakibatkan virus ini tergantung oleh respon imun tubuh
dalam usahanya mengeliminasi virus. Respon imun pada
penderita dengan infeksi VHS terdiri dari respon imun alamiah
dan adaptif, baik selular maupun humoral. Virus yang berada
di ekstraselular dihambat oleh INF dan antibodi netralisir
sedangkan yang berperan dalam menghambat virus intraselular
adalah sel NK dan sel CD8 sitotoksik. Akan tetapi infeksi VHS
tetap dapat berlangsung seumur hidup karena selalu adanya
upaya penghindaran VHS terhadap sistem imun pejamu.
Daftar Pustaka
1. Crumpacker CS. Herpes simplex. In: Freeberg IM, Eisen AZ, Wolff K,
Austen KF, et al.(eds). Dermatology in General Medicine. 4th ed. New
York:McGraw-Hill, 1999.p.2414-25
2. Pertel PE and Spear PG. Biology of herpesviruses. In: Holmes KK,
Sparling PF, Mardh PA, et al.(eds). Sexually Transmitted Diseases.
3rd ed. New York:McGraw-Hill; 1999.p.269-78
3. Corey L and Wald Ann. Genital herpes. In: Holmes KK, Sparling PF,
Mardh PA, et al.(eds). Sexually Transmitted Diseases. 3rd ed. New
York:McGraw-Hill; 1999.p.285-306
4. Oates JK. Anogenital herpes. In: Csonka and Oates (eds). Sexually
Transmitted Diseases. A Textbook of Genitourinary Medicine. London:
Bailleire Tindall; 1990.p.129-51
5. Berger TG, James WD, and Odom RB (eds). Herpes simplex. In:
Andrews Diseases of the Skin. 9th ed. Philadelphia:WB Saunders
Company; 2001.p.473-82
6. Habib TP. Genital herpes simplex. In: Clinical Dermatology. 4th ed.
Edinburgh:Mosby; 2004.p.346-55
7. Heaton CL. Herpes simplex. In: Moschella SL and Hurley HJ (eds).
Dermatology. 3rd ed. Philadelphia:WB Saunders Company; 1992.

186

p.791-6
8. Patel R. Genital Herpes. In: Medicine International. Vol 36; 1996.p.80-2
9. Patrick TB, Johnson RA, Surmond D, et al. Herpes simplex virus: Genital
infection. In: Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology, 4th ed.
International Edition; 2001.p.874-81
10. Kimberlin DW and Rouse DJ. Genital herpes. N Engl J Med 2004;
350:1970-7
11. Arvin AM. Herpes simplex virus type 2. A persistent problem. N Engl
J Med 1997; 337:1158-9
12. Roe VA. Living with genital herpes. How effective is antiviral therapy?
J Perinat Neonat Nurs 2004; 18(3):206-15
13. Ashley RL and Wald A. Genital herpes: Review of the epidemic and
potensial use of type-spesific serology. Clinical Microbiology
Review 1999; 12(1):1-8
14. Brooks GF, Butel JS, and Ornston LN. Herpes viruses. In: Jawets,
Melnick and Adelbergs. Medical Microbiology. 20th ed. London:
Prentice International Hall; 1995.p. 358-67
15. Duerst RJ and Morrison LA. Review innate immunity to herpes simples
virus type 2. Viral Immunology 2003; 16(4):475-90
16. Whitley RJ, Kimbelin DW, and Roizman B. Herpes simples virus.
Clinical Infectious Diseases 1998; 26:541-55
17. Morrison LA. Vaccine against genital herpes. Drugs 2002; 62(8):1119-29
18. Bellanti JA. Mechanisms of immunity to viral diseases. In: Immunology
III. 2nd ed. Philadelphia:Saunders Co.; 1985.p.283-305
19. Roitt I, Brostoff J, Male D. Immunity to viruses. In: Immunology. 6th ed.
London:Mosby; 2001.p.235-42
20. Abbas AK, Lichtman AH, and Pober JS. Immunity to microbes. In:
Cellular and Molecular Immunology. 4th ed. Philadelphia:WB Saunders
Company; 2000.p.343-62
21. Mary Norval. Viral infection. In: Bos JD (ed). Skin Immune System (SIS).
2nd edition. New York:CRP Press; 1997.p.555-68
22. Lemon SM and Sparling PF. Pathognesis of sexually transmitted
viral and bacterial infections. In: Holmes KK, Sparling PF, Mardh
PA, et al.(eds). Sexually Transmitted Diseases. 3rd ed. New York:
McGraw-Hill; 1999.p.205-11
23. Janeway CA, Travers P, Walport M, et al. Failure of host defence
mechanism. In: Janeway (ed), Immunobiology. 4th ed. New York:
Garland Publishining; 2001.p.425-65
24. Xu F, Schillinger JA, Stenberg MR, et al. Seroprevalence and co
infection with herpes simples virus type 1 and type 2 in the
United Status, 1988-1994. The Journal Infectious Diseases 2002;
185:1094-24
25. Barton S, Brown D, Cowan FM, et al. National guidelines for
management of genital herpes. Diakses melalui internet http://
search epnet.com
26. Davison VE and Alderson GL. Clinical virology. In: Mahon CR (eds).
Textbook of diagnostic microbiology. Philadelphia. WB Saunders,
1995.p.796-826
27. Lowy, DR. Viral diseases: General considerations. In: Freeberg IM,
Eisen AZ, Wolff K, et al.(eds) Dermatology in General Medicine. 4th
ed. New York:McGraw-Hill; 1999.p.2389-2394
28. Cusini M and Ghislanzoni M. The importance of diagnosing genital
herpes. Journal of Antimicrobial Chemotherapy 2001;47:9-16
29. Stanberry L, Cunningham A, Mertz G, et al. Mini review: New
developments in the epidemiology, natural history and
management of genital herpes. Antiviral Research 1999; 42:1-14
30. Mark HD, Hanahan AP and Stender SC. Herpes simplex virus type 2:
An update. The Nurse Practioner 2003; 28(11):34-40
31. Wald A and Asley-Morrow R. Serological testing for herpes simplex
virus (HSV)-1 and HSV-2 infection. Clinical Infectious Diseases
2002; 35:S173-82

No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006

TINJAUAN PUSTAKA

Infeksi
Cacing Tambang
Mangatas SM Manalu*, SI Biran**
* Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam
** Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi
Bagian/SMF ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah
Denpasar - Bali

Abstrak. Infeksi cacing tambang masih menjadi masalah kesehatan yang besar di Indonesia karena merupakan
salah satu penyebab utama anemia defisiensi besi. Dan juga menyebabkan kekurangan protein. Pada akhirnya
infeksi ini dapat menyebabkan gangguan pada neonatus, hambatan tumbuh kembang balita dan penurunan
kecerdasan anak usia sekolah serta produktivitas kerja orang dewasa. Pengenalan dan pemahaman akan penyakit
yang sederhana ini serta pengkajian terapinya diharapkan akan membantu para klinisi untuk dapat melakukan
pencegahan dan diagnosis, mengingat belum ditemukannya vaksinasi dan terapi imunologis yang efektif untuk
infeksi cacing tambang.
Kata kunci: Infeksi cacing tambang, anemia, diagnosis, pencegahan

Pendahuluan
nfeksi cacing tambang pada manusia terutama disebabkan
oleh Ancylostoma duodenale (A. duodenale) dan Necator
americanus (N. americanus).1,2 Kedua spesies ini termasuk
dalam famili Ancylostomidae dari filum Nematoda.3 Selain
kedua spesies tesebut, dilaporkan juga infeksi zoonosis oleh
A. braziliense dan A. caninum yang ditemukan pada berbagai
jenis karnivora dengan manifestasi klinik yang relatif lebih
ringan, yaitu creeping eruption akibat cutaneus larva migrans.
Terdapat juga infeksi A. ceylanum yang diduga menyebabkan
enteritis eosinofilik pada manusia.2
Diperkirakan terdapat 1 miliar orang di seluruh dunia
yang menderita infeksi cacing tambang dengan populasi
penderita terbanyak di daerah tropis dan subtropis, terutama
di Asia dan subsahara Afrika. Infeksi N. americanus lebih luas
penyebarannya dibandingkan A. duodenale, dan spesies ini
juga merupakan penyebab utama infeksi cacing tambang di
Indonesia.1
Infeksi A. duodenale dan N. americanus merupakan
penyebab terpenting dari anemia defisiensi besi. Selain
itu infeksi cacing tambang juga merupakan penyebab
hipoproteinemia yang terjadi akibat kehilangan albumin
karena perdarahan kronik pada saluran cerna. Anemia
defisiensi besi dan hipoproteinemia sangat merugikan proses

No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006

tumbuh kembang anak dan berperan besar dalam mengganggu


kecerdasan anak usia sekolah.1,2
Penyakit akibat cacing tambang lebih banyak didapatkan
pada pria yang umumnya sebagai pekerja di keluarga. Hal
ini terjadi karena kemungkinan paparan yang lebih besar
terhadap tanah terkontaminasi larva cacing.2,4,5
Sampai saat ini infeksi cacing tambang masih merupakan
salah satu penyakit tropis terpenting. Penurunan produktivitas
sebagai indikator beratnya gangguan penyakit ini,
menempatkan infeksi cacing tambang di atas tripanosomiasis,
demam dengue, penyakit chagas, schisostomiasis dan lepra.2
Siklus Biologis Cacing Tambang
Cacing tambang jantan berukuran 8-11 mm sedangkan
yang betina berukuran 10-13 mm. Cacing betina
menghasilkan telur yang keluar bersama feses pejamu (host)
dan mengalami pematangan di tanah. Setelah 24 jam telur
akan berubah menjadi larva tingkat pertama (L1) yang
selanjutnya berkembang menjadi larva tingkat kedua (L2)
atau larva rhabditiform dan akhirnya menjadi larva tingkat
ketiga (L3) yang bersifat infeksius. Larva tingkat ketiga
disebut sebagai larva filariform. Proses perubahan telur
sampai menjadi larva filariform terjadi dalam 24 jam.3,5 Larva
filariform kemudian menembus kulit terutama kulit tangan
187

TINJAUAN PUSTAKA
dan kaki, meskipun dikatakan dapat juga menembus kulit
perioral dan transmamaria. Adanya paparan berulang dengan
larva filariform dapat berlanjut dengan menetapnya cacing di
bawah kulit (subdermal). Secara klinis hal ini menyebabkan
rasa gatal serta timbulnya lesi papulovesikular dan eritematus
yang disebut sebagai ground itch.2,4,6
Dalam 10 hari setelah penetrasi perkutan, terjadi migrasi
larva filariform ke paru-paru setelah melewati sirkulasi
ventrikel kanan. Larva kemudian memasuki parenkim paruparu lalu naik ke saluran nafas sampai di trakea, dibatukkan,
dan tertelan sehingga masuk ke saluran cerna lalu bersarang
terutama pada daerah 1/3 proksimal usus halus. Pematangan
larva menjadi cacing dewasa terjadi disini. Proses dari mulai
penetrasi kulit oleh larva sampai terjadinya cacing dewasa
memerlukan waktu 6-8 minggu. Cacing jantan dan betina
berkopulasi di saluran cerna selanjutnya cacing betina
memproduksi telur yang akan dikeluarkan bersama dengan
feses manusia. Pematangan telur menjadi larva terutama
terjadi pada lingkungan pedesaan dengan tanah liat dan
lembab dengan suhu antara 23-33o C. Penularan A. duodenale
selain terjadi melalui penetrasi kulit juga melalui jalur orofekal,
akibat kontaminasi feses pada makanan. Didapatkan juga
bentuk penularan melalui hewan vektor (zoonosis) seperti
pada anjing yang menularkan A. brazilienze dan A. caninum.
Hewan kucing dan anjing juga menularkan A. ceylanum. Jenis
cacing yang yang ditularkan melalui hewan vektor tersebut
tidak mengalami maturasi dalam usus manusia.2,5,6
Cacing N. americanus dewasa dapat memproduksi 5.00010.000 telur/hari dan masa hidup cacing ini mencapai 3-5
tahun, sedangkan A. duodenale menghasilkan 10.000-30.000
telur/hari, dengan masa hidup sekitar 1 tahun.4,5
Selengkapnya siklus biologis cacing tambang dapat dilihat
pada gambar 1 berikut ini:
Larva masuk/
penetrasi ke kulit,
masuk ke aliran
darah

Larva di atas rumput

Larva menetas
dan berkembang
didalam
Larva

Telur dikeluarkan
bersama dengan
feces

Telur

Cacing dewasa

Larva dewasa masuk


ke usus halus

Larva dibatukkan dan tertelan

Gambar 1. Siklus biologis cacing tambang2

188

Masa inkubasi mulai dari bentuk dewasa


pada usus sampai dengan timbulnya gejala
klinis seperti nyeri perut, berkisar antara
1-3 bulan. Untuk meyebabkan anemia
diperlukan kurang lebih 500 cacing
dewasa. Pada infeksi yang berat dapat
terjadi kehilangan darah sampai 200 ml/
hari, meskipun pada umumnya didapatkan
perdarahan intestinal kronik yang terjadi
perlahan-lahan
Patofisiologi
Cacing tambang memiliki alat pengait seperti gunting
yang membantu melekatkan dirinya pada mukosa dan
submukosa jaringan intestinal. Setelah terjadi pelekatan,
otot esofagus cacing menyebabkan tekanan negatif yang
menyedot gumpalan jaringan intestinal ke dalam kapsul
bukal cacing. Akibat kaitan ini terjadi ruptur kapiler dan
arteriol yang menyebabkan perdarahan. Pelepasan enzim
hidrolitik oleh cacing tambang akan memperberat kerusakan
pembuluh darah. Hal itu ditambah lagi dengan sekresi
berbagai antikoagulan termasuk diantaranya inhibitor faktor
VIIa (tissue inhibitory factor). Cacing ini kemudian mencerna
sebagian darah yang dihisapnya dengan bantuan enzim
hemoglobinase, sedangkan sebagian lagi dari darah tersebut
akan keluar melalui saluran cerna.2,4,5
Masa inkubasi mulai dari bentuk dewasa pada usus sampai
dengan timbulnya gejala klinis seperti nyeri perut, berkisar
antara 1-3 bulan. Untuk meyebabkan anemia diperlukan
kurang lebih 500 cacing dewasa. Pada infeksi yang berat
dapat terjadi kehilangan darah sampai 200 ml/hari, meskipun
pada umumnya didapatkan perdarahan intestinal kronik yang
terjadi perlahan-lahan.1,2,4,5
Terjadinya anemia defisiensi besi pada infeksi cacing
tambang tergantung pada status besi tubuh dan gizi pejamu,
beratnya infeksi (jumlah cacing dalam usus penderita), serta
spesies cacing tambang dalam usus. Infeksi A. duodenale
menyebabkan perdarahan yang lebih banyak dibandingkan
N. americanus.2,4,5
Manifestasi Klinis
Anemia defisiensi besi akibat infeksi cacing tambang
menyebabkan hambatan pertumbuhan fisik dan kecerdasan
anak. Pada wanita yang mengandung, anemia defisiensi besi
menyebabkan peningkatan mortalitas maternal, gangguan
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006

TINJAUAN PUSTAKA
laktasi dan prematuritas. Infeksi cacing tambang pada wanita
hamil dapat menyebabkan bayi dengan berat badan lahir
rendah. Diduga dapat terjadi transmisi vertikal larva filariform
A. duodenale melalui air susu ibu.1,2,5
Pada daerah subsahara Afrika sering terjadi infeksi
campuran cacing tambang dan malaria falsiparum. Diduga
infeksi cacing tambang menyebabkan eksaserbasi anemia
akibat malaria falsiparum dan sebaliknya.2
Kebanyakan infeksi cacing tambang bersifat ringan bahkan
asimtomatik. Dalam 7-14 hari setelah infeksi terjadi ground
itch. Pada fase awal, yaitu fase migrasi larva, dapat terjadi
nyeri tenggorokan, demam subfebril, batuk, pneumonia dan
pneumonitis. Kelainan paru-paru biasanya ringan kecuali
pada infeksi berat, yaitu bila terdapat lebih dari 200 cacing
dewasa. Saat larva tertelan dapat terjadi gatal kerongkongan,
suara serak, mual, dan muntah. Pada fase selanjutnya, saat
cacing dewasa berkembang biak dalam saluran cerna, timbul
rasa nyeri perut yang sering tidak khas (abdominal discomfort).
Karena cacing tambang menghisap darah dan menyebabkan
perdarahan kronik, maka dapat terjadi hipoproteinemia yang
bermanifestasi sebagai edema pada wajah, ekstremitas atau
perut, bahkan edema anasarka.1,2,4,5
Anemia defisiensi besi yang terjadi akibat infeksi cacing
tambang selain memiliki gejala dan tanda umum anemia,
juga memiliki manifestasi khas seperti atrofi papil lidah,
telapak tangan berwarna jerami, serta kuku sendok. Juga
terjadi pengurangan kapasitas kerja, bahkan dapat terjadi
gagal jantung akibat penyakit jantung anemia.3
Respons Imun Terhadap Infeksi Cacing Tambang
a. Terhadap larva filariform
Saat menembus kulit, larva filariform melepaskan bagian
luar kutikula dan mensekresi berbagai enzim yang
mempermudah migrasinya. Pada proses ini banyak larva
yang mati dan mengakibatkan pelepasan berbagai molekul
imunoreaktif oleh tubuh. Saat memasuki sirkulasi,
terutama sirkulasi peparu, larva filariform menghasilkan
berbagai antigen yang bereaksi dengan sistem imun
peparu dan menyebabkan penembusan sejumlah kecil
alveoli. Pada infeksi zoonotik (melalui vektor), terjadi
creeping eruption atau ground itch akibat terperangkapnya
larva dalam lapisan kulit, yang menyebabkan reaksi
hipersensitivitas tipe I (alergi). Jumlah larva yang masuk
ke sirkulasi jauh lebih banyak dari yang berdiam di kulit.
Pada infeksi antropofilik (langsung pada manusia) tidak
terjadi kumpulan larva di kulit.3

Antibodi humoral terhadap N. americanus hanya reaktif
terhadap lapisan dalam kutikula, hal ini menjelaskan
mengenai minimnya reaksi kulit terhadap parasit ini.
Antibodi yang berperan ialah Imunoglobulin M (IgM),
IgG1 dan IgE. Yang paling spesifik ialah IgE yang bersifat
cross reactive. Diduga reaksi hipersensitivitas tipe II
(antibody dependent cell mediated cytotoxicity) juga berperan

No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006

disini.2,3
Sistem kekebalan seluler pada infeksi cacing tambang
terutama dilakukan oleh eosinofil. Hal ini dicerminkan
oleh tingginya kadar eosinofil darah tepi. Eosinofil
melepaskan superoksida yang dapat membunuh larva
filariform. Jumlah eosinofil makin meningkat saat larva
berkembang menjadi bentuk dewasa (cacing) di saluran
cerna. Sistem komplemen berperan dalam perlekatan
larva pada eosinofil.3,7
Bukti-bukti penelitian menunjukkan bahwa eosinofil
lebih berperan dalam membunuh larva filariform, bukan
terhadap bentuk dewasa. Interleukin-5 (IL-5) yang
berperan dalam pertumbuhan dan diferensiasi eosinofil
meningkat pada infeksi larva yang diinokulasikan pada
tikus percobaan. Pada manusia hal tersebut belum
terbukti.3

b. Respons terhadap infeksi cacing tambang dewasa


Respons humoral dilakukan oleh IgG1, IgG4 dan IgE,
yang dikontrol oleh pelepasan sitokin pengatur sel Th2.
Sitokin yang utama, ialah IL-4. Pada percobaan, setelah
1 tahun pemberian terapi terhadap infeksi N. americanus,
didapatkan bahwa kadar IgG terus menurun sementara
kadar IgM dapat meningkat kembali meskipun tidak
setinggi seperti sebelum dilakukan terapi. Di sini kadar
IgE hanya menurun sedikit, sedangkan kadar IgA
dan IgD meningkat setelah 2 tahun pasca terapi. Para
pakar menyimpulkan bahwa dibutuhkan lebih sedikit
paparan antigen untuk meningkatkan IgE, IgA dan IgD
dibandingkan untuk meningkatkan IgG dan IgM. Selain
itu disimpulkan bahwa kadar IgG dan IgM merupakan
indikator terbaik untuk infeksi cacing tambang dewasa
dan untuk menilai efikasi pengobatan. Hanya sedikit bukti
yang menyatakan bahwa kadar antibodi berhubungan
dengan imunoproteksi terhadap infeksi cacing tambang

Anemia defisiensi besi


yang terjadi akibat infeksi
cacing tambang selain memiliki
gejala dan tanda umum anemia, memiliki
manifestasi khas seperti atrofi papil lidah,
telapak tangan berwarna jerami, serta kuku
sendok. Terjadi pengurangan kapasitas
kerja, bahkan dapat terjadi gagal jantung
akibat penyakit jantung anemia.
189

TINJAUAN PUSTAKA

dewasa.3
Sitokin perangsang sel T helper 2 (Th2), yaitu IL-4,
IL-5 dan IL-13 yang merangsang sintesis IgE, merupakan
sitokin yang predominan, sedangkan sitokin perangsang
sel Th1 seperti interferon yang menghambat produksi IgE,
lebih sedikit ditemukan. Para peneliti membuktikan bahwa
IgE lebih sensitif untuk menentukan adanya infeksi baik
infeksi larva maupun cacing tambang dewasa, sedangkan
IgG4 lebih spesifik sebagai marker infeksi cacing dewasa
N. americanus. Pada infeksi A. caninum, ternyata IgE lebih
spesifik dibandingkan IgG4.2,3
Peran IgG4 belum diketahui sepenuhnya. Kemungkinan IgG4 berperan menghambat respons imun dengan
inhibisi kompetitif terhadap mekanisme kekebalan tubuh
yang dimediasi oleg IgE, misalnya aktivasi sel mast.
Imunoglobulin G4 tidak mengikat komplemen dan hanya
mengikat reseptor Fc-g secara lemah. Pada infeksi cacing
tambang didapatkan fenomena pembentukan autoantibodi IgG terhadap IgE.3
Respons imun seluler terhadap infeksi cacing tambang
dewasa adalah terutama oleh adanya respons sel Th2 yang
mengatur produksi IgE dan menyebabkan eosinofilia.
Terjadinya eosinofilia dimulai segera setelah L3 menembus
kulit dengan puncak pada hari ke 38 sampai hari ke 64
setelah infeksi.
Sel mast yang terdegradasi akibat pengaruh IgE
melepaskan berbagai protease terhadap kutikula kolagen
N. americanus. Selain itu terjadi pelepasan neutralizing
antibody terhadap IL-9, yang akan menghambat perusakan sel mast oleh enzim mast cells protease I. Cacing
tambang tampaknya lebih tahan terhadap reaksi inflamasi
dibandingkan dengan famili nematoda lainnya.3,7

c. Bentuk larva hipobiosis


Pada infeksi A. duodenale dapat terjadi bentuk hipobiosis
di mana terjadi penghentian pertumbuhan larva pada
jaringan otot. Pada waktu tertentu, misalnya saat mulai
bersinarnya bulan ini, merupakan saat yang optimal
untuk pelepasan larva A. doudenale. Penyebab fenomena
tersebut tidak diketahui. Pada bentuk hipobiosis pelepasan
telur cacing melalui feses baru terjadi 40 minggu setelah
masuknya larva A. duodenale melalui kulit. Fenomena ini
juga terjadi pada infeksi A. caninum pada anjing. Buktibukti menunjukkan bahwa aktivasi bentuk hipobiosis
pada akhir kehamilan yang berakhir dengan penularan
transmamaria/transplasental dari A. duodenale.3
Proteksi Sistem Imun Terhadap Infeksi Cacing Tambang
Tidak terdapat bukti yang jelas mengenai proteksi
imunologis tubuh terhadap infeksi cacing tambang. Beberapa
penelitian di Papua New Guinea menunjukkan bahwa
penderita yang memiliki titer IgE lebih tinggi, lebih jarang
mengalami reinfeksi N. americanus.3,7
190

Diagnosis Cacing Tambang


I. Secara klinis dan epidemiologis
II. Pemeriksaan penunjang saat awal infeksi
(fase migrasi larva) mendapatkan:
a. eosinofilia (1.000-4.000 sel/ml)
b. feses normal
c. infiltrat patchy pada foto toraks
d. peningkatan kadar IgE
Pemeriksaan feses basah dengan fiksasi formalin 10%
dilakukan secara langsung dengan mikroskop cahaya.
Pemeriksaan ini tidak dapat membedakan N. americanus
dan A. duodenale. Pemeriksaan yang dapat membedakan
kedua spesies ini ialah dengan faecal smear pada filter paper
strip Harada-Mori. Kadang-kadang perlu dibedakan secara
mikroskopis antara infeksi larva rhabditiform (L2) cacing
tambang dengan larva cacing strongyloides stercoralis.4-6,8
III. Pemeriksaan penunjang pada cacing tambang dewasa
1. Didapatkan telur cacing dan atau cacing dewasa pada
pemeriksaan feses.
2. Tanda-tanda anemia defisiensi besi yang sering
dijumpai adalah anemia mikrositik-hipokrom, kadar
besi serum yang rendah, kadar total iron binding
capacity yang tinggi. Di sini perlu dieksklusi penyebab
anemia hipokrom mikrositer lainnya.
3. Dapat ditemukan peningkatan IgE dan IgG4, tetapi
pemeriksaan IgG4 tidak direkomendasikan karena
tinggi biayanya.2,4,5,8
Pengobatan Infeksi Cacing Tambang
1. Pada fase migrasi larva
Batuk-batuk dan bronkokonstriksi diatasi dengan
agonis b2 inhalasi. Pemberian inhalasi steroid
dapat menyebabkan eksaserbasi gejala pulmonal,
terutama bila terdapat ko-infeksi cacing strongyloides
stercoralis.2,4
2. Fase infeksi awal (ground itch)
Diatasi terutama dengan thiabendazole topikal
3. Fase infeksi lanjut
Diet tinggi protein dan suplemen besi diperlukan untuk
mengatasi anemia dan hipoproteinemia. Jika terjadi
perdarahan yang hebat (>200 ml/hari) diperlukan
transfusi darah, demikian juga jika terjadi penyakit
jantung anemia.2,4,8
Badan kesehatan dunia (WHO) menganjurkan pemberian
mebendazole dan pirantel pamoate, dengan pemberian dosis
dewasa untuk anak-anak usia 2-12 tahun. Pemberian obat
antihelmintik untuk anak berusia di bawah 2 tahun belum
direkomendasikan keamanannya, sedangkan untuk wanita
hamil, obat cacing tambang dapat diberikan pada trimester
II dan III. Selengkapnya obat-obatan anti cacing tambang
terdapat pada tabel 1 berikut ini.
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006

TINJAUAN PUSTAKA
Tabel 1. Obat yang direkomendasikan WHO untuk infeksi cacing tambang.4

Nama Obat

Pyrantel pamoate (Antimint, Pin-Rid, Pin-X) agen penghambat


depolarisasi neoromuskular. Menghambat kolinesterase, sehingga
menyebabkan poralisis spastik pada cacing. Aktif melawan Enterobius Vermicularis (pinworm), ascaris lumbricoides (round-worm),
A.duodenale (hook worm) obat pencahar tidak dibutuhkan dan boleh
diminum dengan susu atau Jus buah.

Dosis dewasa 11 mg/kg/hari peroral selama 3 hari, tidak lebih dari 1 gr/hari.
Dosis anak

11 mg/kg/hari peroral selama 3 hari, tidak lebih dari 500 gr/hari.

Kontraindikasi Hipersensitif, penyakit hati


Interaksi

Kadar serum teofilin dapat meningkat pada pasien anak-anak setelah


pemberian pirantel pamoet

Kehamilan

C - keamanan untuk penggunaan pada wanita hamil belum


ditetapkan

Perhatian

perhatian pada kerusakan hati, anemia dan mal nutrisi

Nama Obat

Mebendazole (vermox) menyebabkan kematian cacing secara efektif


dan secara irreversible menghambat uptake glukosa dan nutrien lain
pada usus manusia yang rentan , yang menjadi tempat tinggal bagi
cacing

Dosis dewasa 100 mg per oral, 2 kali sehari selama 3 hari atau 500 mg per oral sekali
Dosis anak

< 2 tahun : belum ditentukan


> 2 tahun : berikan seperti orang dewasa

Kontraindikasi hipersensitif
Interaksi
Kehamilan
Perhatian

Nama Obat

karbamazepin dan fenitroin dapat menurunkan efek mebendazole


cimeditin dapat meningkatkan kadar mebendezole
C keamanan untuk penggunaan pada wanita hamil belum
ditetapkan.
Penyesuaian dosis pada gangguan hati
Albendazole (Albenza) menurunkan produksi atp pada cacing,
menyebabkan penurunan energi, immobilisasi, dan akhirnya cacing
menjadi mati

Dosis dewasa 400 mg sekali per oral


Dosis anak

200 400 mg sekali per oral

Kontraindikasi Hipersensitif
Interactions
Pregnancy
Perhatian

Nama Obat

Pemberian bersamaan dengan karbamazepin dapat menurunkan


efikasi, deksametason, cimisidine dan praziquantel dapat meningkatkan
toksisitas
C Kehamilan untuk penggunaan pada wanita hamil belum ditetapkan
Hentikan jika terjadi peningkatan LFTs yang signifikan (lanjutan
pengobatan jika kadar menurun untuk menilai protest)
Thiabendazole (Mintezol) menghambat cacing yang spesifik pada
microchondria fumarate reductase dan mengurangi gejala trikinosis
selama fase infasiv untuk penggunaan topical.

Dosis dewasa 0.25 1.5 g per oral 2 kali sehari selama 2 hari, tidak lebih dari 3 g/hari
Dosis anak

50 mg /kg/hari per oral, dibagi dalam 2 dosis selama 2 hari, tidak lebih
dari 3 g/hari

Kontraindikasi Hipersensitif
Interaksi

Dapat meningkatkan kadar serum teofillin , meningkatkan toksisitas


(amati kadar serum dan kurangi dosis bila perlu)

Pregnancy

C Kehamilan untuk penggunaan pada wanita hamil belum ditetapkan

Perhatian

Pengawasan yang ketat pada disfungsi hati atau ginjal , sebelum memulai
terapi, terapi suportif perlu dilakukan pada pasien anemia , dehidrasi , atau
mal nutrisi digunakan bila benar ada parasit cacing (bukan profilaksis),
dapat menyebabkan mual, muntah dan depresi susunan saraf pusat.

Dalam 2-3 minggu setelah terapi selesai, dilakukan


pemeriksaan ulang feses. Jika masih terdapat telur maupun
cacing dewasa, dilakukan terapi ulang.
Pencegahan dan Imunisasi
Perbaikan lingkungan dengan meniadakan tanah
berlumpur serta pemakaian alas kaki saat melewati daerah
habitat cacing tambang, sangat dianjurkan. Cuci tangan
sebelum dan sesudah makan menurunkan kemungkinan
infeksi A. duodenale. Belum terdapat vaksin cacing tambang
yang efektif untuk manusia.2,3
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006

Perbaikan lingkungan dengan meniadakan


tanah berlumpur serta pemakaian alas kaki saat
melewati daerah habitat cacing tambang, sangat
dianjurkan. Cuci tangan sebelum dan sesudah
makan menurunkan kemungkinan infeksi A.
duodenale. Belum terdapat vaksin

cacing tambang yang efektif untuk


manusia.
Kesimpulan
Infeksi cacing tambang masih merupakan masalah
kesehatan di Indonesia, karena menyebabkan anemia
defisiensi besi dan hipoproteinemia. Spesies cacing tambang
yang terutama di Indonesia ialah N. americanus. Siklus
biologis cacing tambang berupa perubahan telur menjadi
larva (L1) sampai bentuk filariform (L3) di tanah, yang
kemudian menembus kulit manusia sampai akhirnya masuk
ke saluran cerna dan menjadi dewasa di sini. Terdapat
penularan melalui hewan vektor (zoonosis) dengan gejala
klinis berupa ground itch dan creeping eruption. Pneumonitis,
abdominal discomfort, hipoproteinemia dan anemia defisiensi
besi merupakan manifestasi infeksi antropofilik. Komponen
sistim imun yang berperan utama ialah eosinofil, IgE, IgG4
dan sel Th2. Tidak terdapat kekebalan yang permanen dan
adekuat terhadap infeksi cacing tambang. Diagnosis data
epidemiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang
termasuk pemeriksaan imunologis. Pengobatan dilakukan
dengan mebendazole, albendazole, pirantel pamoat dan
berbagai terapi suportif. Belum ada vaksin yang efektif
terhadap cacing tambang sehingga perbaikan higiene dan
sanitasi adalah hal yang terutama.
Daftar Pustaka
1. Pohan HT. Penyakit cacing yang ditularkan melalui tanah. In: Noer
HMS editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, 3rd ed. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 1996.p.515-6
2. Hotez PJ, Broker S, Bethony JM, et al. Hookworm infection. N Engl J
Med 2004; 351(8):799-807
3. Loukas A, Prociv P. Immune responses in hookworm infection. Clin
Microbiol Rev 2001:689-703
4. Weiss EL. Hookworm. 2001. Available from:http://www.eMedicine.com.
Downloaded in June 23, 2005
5. Keshavarz R. Hookworm infection. 2000. Available from: http://www.
eMedicine.com. Downloaded in June 23, 2005
6. Montressor A, Sanioli L. Ancylostomiasis. 2004. Available from: http://
www.orphanet.com. Downloaded in July 2, 2005
7. MacDonald AS, Araujo MI, Pearce EJ. Immunology of parasitic
helminth infections. Infect and Immun 2002; 70(2):427-33
8. Mahmoud AAF. Intestinal Nematodes. In: Mandell GL, Bennet JE, Dolin
R, editors. Principles and Practice of Infectious Diseases. 4th ed. New
York:Churchill Livingstone; 1995.p.2529-31

191

ARTIKEL PENELITIAN

Pemberian Glutamin Menurunkan Kadar Bilirubin


Darah serta Mengurangi Nekrosis Sel-Sel Hati
setelah Pemberian Aktivitas Fisik Maksimal dan
Parasetamol pada Mencit
I Made Jawi*, I B Rai Manuaba**, I W P Sutirtayasa***
dan Gopinath Muruti****
*
**
***
****

Staf Pengajar Bagian Farmakologi - Fakultas Kedokteran Universitas Udayana


Staf Pengajar Bagian Patologik Anatomi - Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Staf Pengajar Bagian Patologi Klinik - Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Mahasiswa Semester VIII - Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Abstrak.Stres oksidatif dapat terjadi akibat pemberian beban maksimal dan parasetamol secara bersamaan, yang akan
menyebabkan terjadinya kerusakan sel dan organel sel, termasuk sel hati. Banyak penelitian telah dilakukan untuk
melihat kerusakan sel hati akibat beban maksimal dengan mengukur kadar bilirubin dan SGPT darah. Penelitian yang
melihat pengaruh beban maksimal dan parasetamol serta efeknya terhadap gambaran histologis hati yang diawali
pemberian glutamin yang merupakan bahan baku glutathione nampaknya belum ada. Tujuan dari penelitian ini adalah
melihat pengaruh glutamin terhadap kadar bilirubin dan gambaran histologis hati setelah pemberian parasetamol dan
beban maksimal pada mencit. Penelitian dilakukan terhadap 40 ekor mencit jantan umur 45 bulan jenis Balb/C yang
dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu kelompok glutamin dan non-glutamin masing-masing 20 ekor. Masing-masing
kelompok dibagi menjadi 2 kelompok kecil, yaitu kelompok kontrol, kelompok renang maksimal dengan parasetamol,
masing-masing terdiri dari 10 ekor, dengan rancangan randomized control group post test only design. Terhadap
semua kelompok dilakukan pengamatan kadar bilirubin dan gambaran histologis hati setelah perlakuan. Data yang
diperoleh dianalisis dengan uji T untuk bilirubin, dan data tentang gambaran histologis hati dianalisis secara nonparametrik, yaitu dengan Mann-Whitney U dengan program SPSS. Hasil yang didapat menunjukan terjadi peningkatan
kadar bilirubin yang bermakna (p<0,05) pada kelompok glutamin dan non-glutamin setelah perlakuan. Peningkatan
bilirubin lebih tinggi pada kelompok non-glutamin dibandingkan kelompok dengan glutamin (p<0,05). Sel hepatosit
menunjukkan tingkat degenerasi, nekrosis yang lebih banyak dan peningkatan sel-sel radang setelah perlakuan
dengan glutamin dan non-glutamin (p<0,05). Kelompok non-glutamin mengalami peningkatan sel nekrosis dan sel
radang yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok glutamin (p<0,05). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan
glutamin dapat melindungi fungsi hati pada pemberian parasetamol dan beban maksimal pada mencit.
Kata kunci: Renang maksimal, glutamin, parasetamol, radikal bebas, kerusakan sel hati, mencit

Pendahuluan
ati merupakan organ tubuh yang penting dalam menjaga
dan menentukan derajat kesehatan seseorang. Dalam
menjalankan fungsi tersebut hati akan dipengaruhi
oleh berbagai faktor baik dari dalam tubuh maupun dari
lingkungan. Perkembangan teknologi yang sangat pesat saat ini
menyebabkan perubahan lingkungan yang pada akhirnya akan
berpengaruh terhadap hati. Penggunaan berbagai zat kimia baik
berupa food additive maupun berupa pestisida serta obat-obatan,
akan ikut memperberat kerja hati. Di samping itu kehidupan
yang semakin susah dan selalu dituntut untuk bekerja keras
dalam mempertahankan kehidupan, sering menyebabkan lupa
untuk mengatur waktu istirahat. Kerja keras tanpa istirahat
pada akhirnya akan membebani hati. Aktivitas fisik yang berat
ternyata akan menimbulkan perubahan metabolisme dalam

192

tubuh yang akan menghasilkan radikal bebas (oxidant) yang


merusak sel-sel termasuk sel-sel hati.
Pada penelitian yang dilakukan oleh banyak peneliti,
ditemukan peningkatan produksi reactive oxygen species (ROS)
yang akan menimbulkan oxidative damage setelah melakukan
latihan fisik yang berat.1 Pada latihan fisik berat berupa lari
80 km terjadi ketidakseimbangan antara prooksidan dan
antioksidan intraselular yang dapat menimbulkan kerusakan
sel hati sehingga terjadi peningkatan plasma aspartat
transaminase (AST/SGOT) 4 kali lipat dan peningkatan
kadar bilirubin yang merupakan tanda dari gangguan fungsi
hati.2 Setelah melakukan lari jarak jauh terjadi peningkatan
yang signifikan dari SGOT/AST 193% dan SGPT/ALT 42%
serta bilirubin total 106%. Hal ini terjadi karena kerusakan
hati dan kerusakan otot serta terjadi hemolisis.3 Pada
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006

ARTIKEL PENELITIAN

penelitian terhadap pelari maraton ditemukan peningkatan


yang signifikan dari SGOT, SGPT dan bilirubin.4
Latihan yang dilakukan sesaat, juga dapat meningkatkan
AST/ SGOT dan Alanin aminotransaminase (ALT/SGPT)
dalam darah.5 Latihan fisik berat akut meningkatkan kadar
malandialdehyde (MDA) sangat bermakna pada hati, yang
merupakan pertanda dari meningkatnya oxidative stress akibat
oxidant/radikal bebas.6
Penelitian yang dilakukan pada mencit dengan memberikan
beban aktivitas fisik berupa gerakan cepat 10 m/menit selama 2
jam dalam suatu rotating cage yang diikuti pemberian paracetamol/
acetaminophen 700 mg/Kg BB, terjadi peningkatan efek
hepatotoksik dibandingkan dengan tanpa beban maksimal.
Pada penelitian tersebut terjadi peningkatan kadar SGOT
dan SGPT yang diukur setelah 24 jam kemudian.7 Peningkatan
SGPT, SGOT dan bilirubin setelah aktivitas fisik dan setelah
pemberian acetominophen adalah akibat menurunnya kadar
glutathione yang merupakan antioksidan8 yang melindungi
sel-sel hati.9 Glutathione adalah suatu tripeptida yang terdiri
dari glycine-glutamate-cysteine.10
Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan
kadar glutathione sehingga efek hepatotoksik dari radikal
bebas dapat diatasi. Pemberian n-acetylcystein pada saat
melakukan aktivitas fisik berat ternyata dapat meningkatkan
kadar glutathione tapi tidak dapat mengurangi kelelahan.9
Penelitian lain yang meneliti pengaruh pemberian
nacetylcystein pada penderita hepatitis oleh karena virus ternyata
tidak mampu meningkatkan kadar glutathione dalam sirkulasi.11
Meskipun peran glutathione dalam mengatasi keracunan hati
oleh parasetamol/acetaminophen telah jelas12,13 namun pemberian
enzim glutathione sintetase pada mencit yang diberikan
parasetamol/acetaminophen ternyata tidak mampu meningkatkan
kadar glutathione.14 Nampaknya perlu dicari usaha lain untuk
dapat meningkatkan kadar glutathione saat melakukan aktivitas
fisik berat dan setelah pemberian acetaminophen.
Glutamin adalah salah satu asam amino yang diperlukan
untuk sintesa glutathione dalam sel. Glutamat yang
merupakan salah satu komponen dari glutathione baru bisa
terpenuhi bila ada glutamin yang cukup dalam darah.10 Peran
glutamin dalam mempercepat waktu pemulihan jumlah
limfosit lien dan limfosit darah setelah beban aktivitas fisik
berat pada mencit telah terbukti.15 Sehingga perlu diteliti
peran glutamin dalam mencegah gangguan fungsi hati akibat
pemberian parasetamol dan beban aktivitas fisik maksimal,
dengan mengukur kadar bilirubin darah dan melihat gambaran
histologis jaringan hati.
Masalah dalam penelitian ini apakah pemberian glutamin
dapat memperkecil kenaikan bilirubin darah akibat olahraga
berat/aktivitas fisik maksimal dan parasetamol? Masalah lain
apakah pemberian glutamin dapat mengurangi terjadinya
perubahan gambaran histologis hepar akibat olahraga
berat/aktivitas fisik maksimal dan parasetamol? Tujuan
dari penelitian ini mengetahui efek glutamin terhadap
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006

kadar bilirubin darah setelah melakukan aktivitas fisik


renang maksimal dan pemberian parasetamol pada mencit,
mengetahui efek glutamin terhadap perubahan gambaran
histologis hati setelah pemberian beban aktivitas fisik renang
maksimal dan parasetamol pada mencit.
Bahan dan Cara Kerja
Penelitian ini adalah eksperimental laboratorik dengan
rancangan randomized control group posttest only. Sampel
dalam penelitian ini adalah mencit Balb/C jantan dengan
umur 4-5 bulan yang diperoleh dari kandang hewan coba Lab.
Farmakologi FK Unud. Besar sampel dalam penelitian ini adalah
40 ekor. Sampel dibagi menjadi 4 kelompok masingmasing 10
ekor mencit. Kelompok 1 atau kelompok kontrol tanpa diberi
perlakuan. Kelompok 2 adalah kelompok kontrol dengan
glutamin secara oral dengan dosis 3,2 mg/hari/ekor selama
satu minggu. Kelompok 3 diberi perlakuan parasetamol secara
oral 7,5 mg/ekor dan latihan fisik berupa renang sekuatkuatnya sampai hampir tenggelam atau nampak tandatanda kelelahan berupa tenggelamnya hampir semua badan
kecuali hidung dan melemahnya gerakan anggota gerak serta
menurunnya waktu reaksi. Lamanya renang berkisar antara
45-50 menit. Perlakuan ini dilakukan di Lab. Farmakologi FK
Unud, hanya satu kali dilanjutkan dengan pengambilan darah
secara intrakardial sehingga mencit mati. Darah dikirim ke
Lab. Patologi Klinik FK Unud untuk dilakukan pemeriksaan
kadar bilirubin. Setelah mencit mati dilakukan pembedahan
laparatomi untuk mengambil hati. Hati direndam dengan
formalin 10% lalu dikirim ke Lab. Patologi Anatomi FK Unud
untuk dibuat sediaan PA. Kelompok 4 diberikan glutamin
secara oral dengan dosis 3,2 mg/ekor/hari selama seminggu
sebelum perlakuan renang maksimal. Setelah seminggu mencit
diberi perlakuan seperti kelompok 3. Terhadap kelompok
kontrol dilakukan pengambilan darah dan pengambilan hati
tanpa diawali dengan renang.
Variabel dalam penelitian ini meliputi: (a) variabel bebas,
yaitu renang sekuat-kuatnya sampai hampir tenggelam,
dengan parasetamol dan glutamin serta tanpa glutamin,
(b) Variabel tergantung, yaitu kadar bilirubin darah serta
gambaran histologis hati, (c) Variabel kendali, yaitu jenis
hewan coba, umur, kandang hewan coba.
Variabel gambaran histologis hati adalah keadaan sel-sel
hati serta adanya tanda-tanda degenerasi yang dilihat dengan
mikroskop cahaya dengan pembesaran 400 kali pada 10
lapangan pandang untuk setiap sediaan, dan dilakukan oleh
seorang ahli patologi.
Uji statistik yang digunakan adalah uji T dan statistik
non-parametrik, yaitu uji Mann Whitney.
Hasil Penelitian
Hasil penelitian berupa kadar bilirubin darah dapat dilihat
pada tabel 1,dan gambaran histopatologi jaringan hati dapat
dilihat pada grafik 1 dan 2 serta tabel 2.
193

ARTIKEL PENELITIAN
Tabel 1. Rata-rata kadar bilirubin dari ke empat kelompok percobaan
Kelompok
Std Deviasi

Rata-rata

I. 0,3557

10

0,7370

II. 0,3554

10

0,7350

III. 0,4889

10

1,2450

IV. 0,2884

10

0,8200

Keterangan:
Kelompok I:
Kelompok kontrol tanpa glutamin

yang mengalami nekrosis lebih banyak pada kelompok tanpa


glutamin, dan secara statistik signifikan (p<0,05). Sel-sel yang
mengalami degenerasi tidak berbeda secara statistik(p>0,05).

Kelompok II:
Kelompok kontrol dengan glutamin

Kelompok III:
Kelompok perlakuan yang diberikan
parasetamol dan aktivitas fisik maksimal
Kelompok IV: Kelompok perlakuan yang diberikan glutamin,
parasetamol dan aktivitas fisik maksimal

Pada tabel 1 terlihat terjadi kenaikan bilirubin darah setelah


pemberian parasetamol dan aktivitas fisik maksimal. Pada ratarata kontrol bilirubin darah baik yang diberikan glutamin dan
tanpa glutamin hampir sama, yaitu 0,7370 dan 0,7350.
Setelah diberikan perlakuan parasetamol dan aktivitas
fisik maksimal tanpa glutamin menjadi 1,2450. Secara
statistik perbedaan ini bermakna (p<0,05). Sedangkan
pada kelompok yang diberikan glutamin, parasetamol dan
aktivitas fisik maksimal kadar bilirubin darah naik menjadi
0,8200, secara statistik tidak berbeda dibandingkan kontrol
(p>0,05). Perbandingan keadaan sel-sel jaringan hati dapat
dilihat pada grafik 1 dan 2.

Grafik 2. Perbandingan sel yang mengalami degenerasi dan nekrosis


serta PMN dan sel limfosit pada kelompok tanpa glutamin dan
kelompok dengan glutamin

Keterangan:
Skala degenerasi dan nekrosis 0= tidak ada, 1=1%-25 %, =26%50%, 3=51%-75%, 4=76%-100%. (dalam lapangan pandang 10 x)
Skala PMN dan Limfosit: 0= tidak ada, 1=1 sel-25 sel, 2=26 sel-50 sel,
3=51 sel-75 sel, 4=76 sel-100 sel. (dalam lapangan pandang 10x)

Pada Grafik 2 terlihat tidak ada perbedaan sel yang mengalami


degenerasi pada kelompok glutamin dengan kelompok tanpa
glutamin (P>0,05). Sel yang mengalami nekrosis dan sel-sel
radang lebih tinggi pada kelompok tanpa glutamin.
Dengan uji Mann-Whitney perbedaan tersebut bermakna
(p<0,05). Gambaran jaringan hati pada ke-4 perlakuan dapat
dilihat pada gambar 1 berikut.

A.
Grafik 1. Perbandingan gambaran PA pada kelompok tanpa glutamin
dan kelompok dengan glutamin

Keterangan:
Skala degenerasi dan nekrosis 0= tidak ada, 1=1%-25%, 2=26%50%, 3=51%-75%, 4= 76%-100%. (dalam lapangan pandang 10x)
Skala PMN dan Limfosit: 0= tidak ada, 1=1 sel-25 sel, 2= 26 sel-50 sel,
3=51 sel-75 sel, 4=76 sel-100 sel. (dalam 10 lapangan pandang)

Pada Grafik 1 terlihat perbandingan fokus degenerasi dan


nekrosis pada kontrol adalah 0 baik tanpa glutamin maupun
dengan glutamin (tidak ada degenerasi dan nekrosis). Setelah
pemberian beban renang maksimal terjadi peningkatan
jumlah degenerasi dan nekrosis sel pada kelompok tanpa
glutamin maupun dengan glutamin.
Secara statistik perbedaan tersebut bermakna dibandingkan dengan kontrol (p<0,05). Begitu juga sel-sel PMN dan
limfosit (p<0,05). Kalau dibandingkan antara kelompok
tanpa glutamin dengan kelompok dengan glutamin setelah
diberikan beban maksimal terlihat perbedaan jumlah selsel yang mengalami degenerasi dan nekrosis. Terlihat sel-sel
194

B.

C.

No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006

ARTIKEL PENELITIAN
Seperti telah disebutkan bahwa glutathione merupakan
antioksidan yang penting dalam sel hati yang akan mengikat
radikal bebas serta metabolit toksik parasetamol.16 Glutamin
adalah salah satu asam amino yang diperlukan untuk sintesa
glutathione dalam sel. Glutamate yang merupakan salah satu
komponen dari glutathione baru bisa terpenuhi bila ada
glutamin yang cukup dalam darah.10

D.

Gambar 1. Gambaran histologis hati mencit kontrol dan setelah


perlakuan dengan pembesaran 400x
Keterangan:
A. Kontrol tanpa glutamin nampak sel hepatosit normal
B. Kontrol dengan glutamin nampak sel hepatosit normal
C. Renang, parasetamol tanpa glutamin nampak degenerasi dan
nekrosis yang banyak
D. Renang, parasetamol dengan glutamin nampak degenerasi
dan nekrosis yang lebih jarang dibandingkan tanpa glutamin.

Pembahasan
Pada penelitian ini terjadi peningkatan kadar bilirubin darah
setelah pemberian parasetamol dan aktivitas fisik maksimal.
Parasetamol dosis tinggi akan menyebabkan kerusakan jaringan
hati melalui beberapa mekanisme, yaitu akibat dari terbentuknya
metabolit toksik atau metabolit reaktif dari parasetamol, yaitu
N-acetyl-p-benzoquinon imine (NAPQI) yang terjadi akibat
dari aktivasi enzim cytochrom P450. NAPQI akan ditoksifiksi
oleh glutathion (GSH) menjadi acetaminophen-GSH. Pada
keracunan parasetamol GSH menurun hingga 90%. Akibatnya
metabolit reaktif NAPQI akan berikatan dengan cystein group
protein membentuk acetaminophen-protein adducts baik dengan
enzim maupun protein dalam sel maupun dalam mitochondria
sehingga terjadi gangguan fungsi pada akhirnya terjadi kerusakan
sel/lisis/nekrosis. Gangguan pada mitochondria menyebabkan
kekurangan ATP. Gangguan tersebut menyebabkan hilangnya
keseimbangan ion dalam sel dan mitokondria sehingga terjadi
peningkatan kalsium sitosolik pada akhirnya menyebabkan
aktivasi protease, endonuklease dan kerusakan DNA.16 Selain
mekanisme tersebut akibat pemberian parasetamol dosis tinggi
menyebabkan stres oksidatif.
Selama pembentukan NAPQI oleh Cytochrome P450 juga
terbentuk ion superoksida yang sangat reaktif. Kurangnya
glutathion akibat NAPQI akan menyebabkan ion superoksida
tidak dapat dinetralisir sehingga terjadi stres oksidatif.
Aktivitas fisik berat yang diberikan berupa renang
maksimal pada mencit akan memperberat terjadinya stres
oksidatif karena meningkatkan terbentuknya radikal bebas2
sehingga terjadi kerusakan sel-sel hati yang terlihat dari
meningkatnya SGOT, SGPT dan bilirubin.4,17 Meningkatnya
bilirubin juga disebabkan oleh karena terjadi kerusakan otot
dan hemolisis akibat aktivitas fisik berat.3,17
Pemberian glutamin sebelum pemberian parasetamol dan
beban maksimal dapat memperingan kerusakan jaringan hati
sehingga kadar bilirubin darah lebih rendah dibandingkan
dengan tanpa glutamin.
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006

Kesimpulan dan Saran


Pembebanan aktivitas fisik maksimal dan parasetamol
dapat meningkatkan kadar bilirubin darah dan dapat
meningkatkan degenerasi serta nekrosis sel hati mencit.
Pemberian glutamin sebelum pembebanan aktivitas fisik dan
parasetamol dapat melindungi fungsi hati serta mengurangi
nekrosis sel hati mencit.
Agar hasil penelitian ini dapat diaplikasikan perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut dengan melihat kadar
radikal bebas pada jaringan hati setelah aktivitas fisik dengan
pemberian parasetamol dan dilindungi dengan glutamin.
Daftar Pustaka
1. Li Li Ji. Antioxidants and oxidative stress in exercise. Proceedings of the Society for
Experimental Biology and Medicine 1999;222:283-92
2. Chevion S, Molan DS, Heled Y, et al. Plasma antioxidant status and cell injury after
severe physical exercise. PNAS 2003;100(9):5119-23
3. De Paz JA, Villa JG, Lopez P, et al. 1995. Effect of long-distance running on serum
bilirubin. Med Sci Sports Exerc 1995;27(12):1590-4
4. Wu HJ, Chen KT, Shee BW, et al. Effect of ultra-marathon on biochemical and
hematological parameters. World J Gastroenterol 2004;15; 10(18):2711-4
5. Koutedakis Y, Raafat A, Sharp NC, et al. Serum enzyme activities in individuals with
different levels of physical fitness. J Spotts Med phys Fitness 1993;33(3):2527
6. Liu J, Yeo HC, Hagen T, et al. Chronically and acutely exercised rats: biomarkers of
oxidative stress and endogenous antioxidants. J Appl Physiol 2000;89: 21-8
7. Yoon MY, Kim SN, Kim YC. Potentiation of acetaminophen hepatotoxicity by acute
physical exercise in rats. Res Commun Mol Pathol Pharmacol 1997;96(1):35-44
8. Phels DT, Deneke SM, Daley DL, et al. Elevation of glutathione levels in bovine
pulmonary artery endothelial cells by N-acetylcysteine. J Appl Physiol
1992;7(3):293-9
9. Medved, Brown MJ, Bjorksten AR, et al. N-acetylcysteine infusion alters blood redox
status but not time to fatigue during intense exercise in humans. J Appl Physiol
2003;94:1572-82
10. Frick R. Function of glutamine. Available at: http://www.medfaq.com/glulong 3.htm
11. Bernhard MC, Junker E, Hettinger A, et al. Time Course of total cystein, glutathione
and homocysteine in plasma of patients with chrinic hepatitis C treated with
interferon-alpha with and without supplementation with N-acetylcysteine. J
Hepatol 1998; 28(5):751-5
12. Song H, Chen TS. p-Aminophenol-induced liver toxicity: tentative evidence of a
role for acetaminophen. J Biochem Mol Toxicol 2001; 15(1):34-40
13. Chen TS, Richie JP, Nagasawa HT, et al. Glutathione monoethyl ester protects
against glutathione deficiencies due to aging and acetaminophen in mice.
Mech Ageing Dev 2000;120(1-3):127-39
14. Rzucidlo SJ, Bounous DI, Jones DP, et al. Acute acetaminophen toxicity in transgenic
mice with elevated hepatic glutathione. Vet Hum Toxicol 2000; 42(3):146-50
15. Jawi M. Glutamin mempercepat waktu pemulihan limfosit darah dan limfosit lien
setelah pemberian beban aktivitas fisik maksimal pada mencit. Penelitian Duelike 2002. Konas Ikafi XI Denpasar 2004
16. James LP, Mayyeux PR, Hinson JA. Acetaminophen-induced hepatotoxicity. Drug
Metabolism and Disposition 2003;31:1499-506
17. Fallon KE, Sivyer G, Sivyer K, et al. The biochemistry of runners in a 1600 km
ultramarathon. Br J Sports Med 1999;33(4):264-9

195

ARTIKEL PENELITIAN

Diagnosis dan Penatalaksanaan

Gagal Jantung Diastolik

L. Liza Nellyta* , Eko Purnomo**


* Alumni FKUP/RSHS
** RSPAD Gatot Subroto
Abstrak.Tiga juta penduduk Amerika terdiagnosis gagal jantung kongesti dan tidak kurang dari setengah
juta penderita baru dirawat di rumah sakit setiap tahun. Sayangnya data tentang prevalensi kasus gagal
jantung di Indonesia belum tersedia. Padahal angka kematian akibat gagal jantung cukup tinggi. Lebih
dari 50% penderita gagal jantung meninggal dalam kurun waktu 5 tahun setelah diagnosis. Penyakit
gagal jantung dijuluki pula sebagai heart cancer karena risikonya setara dengan bahaya penyakit kanker.
Insidensi gagal jantung diastolik meningkat sesuai pertambahan umur; oleh karena itu, 50% pasien yang
berusia >65 tahun dengan gagal jantung mempunyai Isolated Diastolic Dysfunction (IDD). Gagal jantung
diastolik diperkirakan 40-60% dari pasien gagal jantung kongesti, pasien ini mempunyai prognosis yang
lebih baik dibandingkan dengan gagal jantung sistolik. Gagal jantung diastolik adalah suatu sindroma
klinis yang ditandai dengan keluhan dan tanda gagal jantung di mana fungsi sistolik ventrikel kiri normal
(ejeksi fraksi >45%) dengan fungsi diastolik yang abnormal. Membedakan gagal jantung diastolik
dari sistolik penting sebab terdapat perbedaan patogenesis, prognosis dan penanganannya. Terapi
farmakologi yang merupakan pilihan untuk gagal jantung diastolik adalah angiotensin converting enzyme
inhibitors, angiotensin reseptor blockers, diuretics dan beta blockers.
Kata kunci: Gagal jantung diastolik, gagal jantung sistolik, ejeksi fraksi

Pendahuluan
iga juta penduduk Amerika terdiagnosis gagal jantung
kongesti dan terdapat 500.000 kasus baru tiap tahun.
Diagnosis tersebut paling sering ditemukan pada
pasien dengan usia >65 tahun.15 Gagal jantung diastolik
diperkirakan terjadi pada 40-60% dari pasien gagal jantung
kongesti, pasien ini mempunyai prognosis yang lebih baik
dibandingkan dengan gagal jantung sistolik.13
Insidensi gagal jantung diastolik meningkat sesuai
pertambahan umur. Lima puluh persen pasien yang berusia
>65 tahun dengan gagal jantung mempunyai Isolated Diastolic
Dysfunction (IDD). Dengan diagnosis dini dan penanganan
yang tepat, prognosis disfungsi diastolik lebih baik daripada
disfungsi sistolik.12 Baik disfungsi diastolik maupun sistolik
dapat menyebabkan gagal jantung kongesti. Oleh karena itu,
pasien tidak hanya mempunyai gagal jantung sistolik murni.
Meskipun penyakit kardiovaskular tertentu seperti hipertensi
dapat menyebabkan disfungsi diastolik tanpa disertai
disfungsi sistolik.17 Terapi farmakologi yang menjadi pilihan
untuk gagal jantung diastolik adalah angiotensin converting
enzyme inhibitors, angiotensin reseptor blockers, diuretik dan beta
blocker.12
Gagal jantung diastolik tidak dapat dibedakan dari

196

gagal jantung sistolik baik secara klinis dan radiografi, oleh


karena itu perlu pemeriksaan penunjang lainnya, seperti
ekokardiografi dua dimensi (alat noninvasif terbaik untuk
menegakkan diagnosis)/radionuclide angiography (digunakan
pada pasien yang secara teknis sulit dilakukan ekokardiografi),
namun kateterisasi jantung tetap merupakan metode yang
disarankan untuk mendiagnosis disfungsi diastolik.11,12
Oleh karena itu sangatlah penting bagi seorang dokter
untuk mengenali perbedaan gagal jantung diastolik dan
gagal jantung sistolik, serta memperbaiki penatalaksanaan
pengobatan pada pasien gagal jantung diastolik.
Definisi dan Kriteria Diagnosis
Gagal jantung diastolik adalah suatu sindrom klinis yang
ditandai dengan keluhan dan tanda gagal jantung (dyspnea on
exertion, orthopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea, pulmonary
edema, jugular venous distension, rales, third or fourth heart
sounds, edema perifer, kardiomegali) di mana fungsi sistolik
ventrikel kiri normal (efeksi fraksi >45%) dengan fungsi
diastolik yang abnormal.2,3,12,18
Suatu penelitian menyarankan para dokter mengkombinasikan informasi klinis dan ekokardiografi untuk
mengkategorikan pasien gagal jantung diastolik berdasarkan
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006

ARTIKEL PENELITIAN
tingkat kepastian diagnostik (tabel 1).16
Tabel 1. Kriteria diagnostik gagal jantung diastolik16

Kriteria Definitif

Kriteria Probable*

Kriteria Possible

Bukti definitif gagal jantung kongesti**


Dan

Dan

Bukti objektif fungsi sistolik ventrikel kiri normal


Dan

Dan

Bukti objektif disfungsi


diastolik ventrikel kiri
normal

Dan
Ejeksi fraksi ventrikel kiri 50%
tidak dalam 72 jam kejadian CHF

berat, ventrikel menjadi kaku sehingga otot atrium gagal


mengkompensasi dan volume akhir diastolik tidak dapat
dinormalisasi dengan peningkatan tekanan pengisian. Proses
ini mengurangi stroke volume dan cardiac output, sehingga
menyebabkan effort intollerance.8
Tabel 2. Patofisiologi gagal jantung diastolik8

Dan

Tidak ada informasi yang menyimpulkan fungsi diastolik


ventrikel kiri

Kelebihan tekanan
iskemia

Relaksasi abnormal

Pasien yang memiliki bukti definitif gagal jantung kongesti


dan bukti objektif fungsi sistolik ventrikel kiri normal pada saat
kejadian CHF, mempunyai kemungkinan gagal jantung diastolik
setelah penyakit katup mitral, cor pulmonale, primary volume
overload dan penyebab di luar jantung telah disingkirkan.
** Gejala-gejala dan tanda-tanda klinis, radiografi toraks yang
mendukung dan respon klinis yang spesifik terhadap diuretik
dengan atau tanpa peningkatan tekanan pengisian ventrikel
kiri atau indeks jantung yang rendah.
F Ejeksi fraksi ventrikel kiri lebih besar sama dengan 50% dalam
72 jam kejadian CHF
Y Relaksasi/pengisian/peregangan ventrikel kiri abnormal merupakan indikator kateterisasi jantung.

Prevalensi dan Etiologi


40% pasien gagal jantung mempunyai fungsi sistolik yang
baik.14 Insidensi gagal jantung diastole meningkat dengan
pertambahan umur, dan lebih banyak ditemukan pada wanita
lansia.1,9 Hipertensi dan penyakit jantung iskemik merupakan
penyebab tersering gagal jantung diastolik. Faktor presipitasi
tersering meliputi kelebihan volume; takikardi; hipertensi;
iskemik; stressor sistemik (seperti anemia, demam, infeksi,
tirotoksikosis); arritmia (seperti atrial fibrilasi, AV blok);
meningkatnya konsumsi garam dan penggunaan obat anti
inflamasi nonsteroid.12
Patofosiologi
Diastol merupakan proses dimana jantung kembali
pada keadaan relaksasi. Secara konvensional, diastol dapat
dibagi menjadi 4 fase: isovolumetric relaxation, ditandai oleh
penutupan katup aorta sampai pembukaan katup mitral;
early rapid ventricular filling, setelah pembukaan katup mitral;
diastasis, merupakan suatu periode aliran lambat selama middiastol; dan late rapid filling selama kontraksi atrial.6 Secara
luas isolated diastolic dysfunction dapat didefinisikan sebagai
gangguan relaksasi isovolumetrik ventrikular dan penurunan
compliance ventrikel kiri. Dengan disfungsi diastolik, jantung
dapat memenuhi kebutuhan metabolik tubuh baik saat
istirahat atau selama bekerja, tetapi dengan peningkatan
tekanan pengisian. Transmisi tekanan akhir diastolik yang
tinggi ke sirkulasi pulmonal menyebabkan kongesti pulmonal.
Dengan disfungsi ringan, late filling meningkat sampai volume
akhir diastolik ventrikel kembali ke normal. Pada kasus yang

No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006

Hipertrofi infark otot


jantung

Relaksasi abnormal
dan Kekakuan

Kekakuan

Tekanan pengisian
ventrikel kiri

Pengisian awal
abnormal

Tekanan dan ukuran


atrium kiri

Tekanan paru-paru
selama aktivitas fisik
Fibrilasi atrium dan
curah jantung

Toleransi aktivitas
fisik normal

Toleransi
aktivitas fisik

Toleransi aktivitas fisik dan


tanda-tanda gagal jantung

Gagal jantung
diastolik

Disfungsi
diastolik

Abnormalitas
diastolik

Diagnosis
Gagal jantung dapat menyebabkan kelelahan, dyspnea on
exertion, paroxysmal nocturnal dyspnea, orthopnea, distensi vena
jugularis, ronki, takikardi, bunyi jantung tiga atau empat,
hepatomegali dan edema. Kardiomegali dan kongesti vena
pulmonalis sering ditemukan pada rontgen toraks. Namun
penemuan klinis ini tidak spesifik dan sering ditemukan
pada penyakit di luar jantung seperti penyakit paru, anemia,
hipotiroidisme dan obesitas. Lebih jauh lagi sulit untuk
membedakan gagal jantung diastolik dari gagal jantung
sistolik hanya berdasarkan klinis saja.12
Test serum brain natriuretic peptide (BNP) dapat
membedakan secara akurat gagal jantung dari penyakit di
luar jantung pada pasien dengan sesak nafas, namun tidak
dapat membedakan gagal jantung diastolik dari sistolik.7
Tabel 3. Keakuratan kadar BNP dalam mendiagnosis gagal jantung7
Gagal jantung kongesti vs nonkongesti
Spesifisitas
LR+
(%)

Gagal jantung sistolik vs nonsistolik

Kadar BNP
(pg per mL)

Sensitivitas
(%)

100

90

73

4.5

0.12

95

200

81

85

5.4

0.22

89

300

73

89

6.6

0.3

400

63

91

0.41

LR-

Sensitivitas Spesifisitas
(%)
(%)

LR+

LR-

14

1.1

0.36

27

1.2

0.41

83

29

1.4

0.44

74

50

1.48 0.52

BNP= Brain Natriuretic Peptide; LR+= positive likelihood ratio; LR-=


negative likelihood ratio

197

ARTIKEL PENELITIAN
Sebagai tambahan untuk memperoleh informasi tentang
chamber size, ketebalan dinding dan pergerakan, fungsi sistolik,
katup dan perikardium, ekokardiografi dua dimensi dengan
doppler dapat digunakan untuk mengevaluasi karakteristik
transmitral diastolik dan pola aliran vena pulmonalis.10
Pada ekokardiografi, kecepatan puncak aliran darah
melewati katup mitral selama early diastolic filing dinyatakan
sebagai gelombang E dan kontraksi atrial dinyatakan sebagai
gelombang A. Oleh karena itu ratio E/A dapat dihitung. Pada
keadaan normal, E lebih besar dari A dan ratio E/A mendekati
1,5.12
Pada disfungsi diastolik awal, relaksasi terganggu dengan
kontraksi atrial kuat, ratio E/A menurun sampai <1. Selama
perjalanan penyakit, compliance ventrikel kiri berkurang,
di mana terdapat peningkatan tekanan atrial dan akhirnya
terdapat peningkatan early left ventricular filling selain
gangguan relaksasi. Keadaan ini disebut pseudonormalisasi.
Pada pasien dengan disfungsi diastolik berat, pengisian
ventrikel kiri terjadi pada awal diastol, sehingga membuat
ratio E/A>2. Kecepatan gelombang E dan A dipengaruhi
oleh volume darah, anatomi katup mitral, fungsi katup mitral
dan atrial fibrilasi, hal ini membuat standard ekokardiografi
kurang dapat dipercaya. Pada kasus ini, tissue doppler imaging
sangat berguna untuk mengukur mitral annular motion
(pengukuran aliran transmital bergantung pada faktor-faktor
yang telah disebutkan).12
Kateterisasi jantung tetap merupakan metode yang
disarankan untuk mendiagnosis disfungsi diastolik. Namun
dalam prakteknya, ekokardiografi dua dimensi dengan
doppler merupakan alat noninvasif terbaik untuk menegakkan
diagnosis. Walaupun sangat jarang, radionuclide angiography
digunakan pada pasien yang secara teknis sulit dilakukan
ekokardiografi.12
Penatalaksanaan
Pencegahan primer gagal jantung diastolik meliputi
berhenti merokok dan penanganan agresif hipertensi,
hiperkolesterolemia dan penyakit arteri koroner. Modifikasi
gaya hidup seperti penurunan berat badan, berhenti merokok,
perubahan pola makan, pembatasan asupan alkohol dan
olahraga, efektif dalam mencegah gagal jantung diastolik dan
sistolik. Disfungsi diastolik dapat muncul beberapa tahun
sebelum terdapat bukti klinis.8
Diagnosis dan pengobatan dini sangat penting dalam
mencegah perubahan struktural ireversibel dan disfungsi
sistolik. Namun tidak ada obat tunggal yang murni lusitropic
properties (selektif meningkatkan relaksasi otot jantung tanpa
menghambat fungsi atau kontraktilitas ventrikel kiri). Oleh
karena itu, terapi medis untuk disfungsi diastolik dan gagal
jantung diastolik sering empiris dan tidak sebaik terapi gagal
jantung sistolik. Pada permukaan tampaknya terapi farmako
untuk gagal jantung sistolik dan diastolik tidak berbeda jauh.12
American College of Cardiology dan American Heart
198

Association mengeluarkan panduan yang menyarankan


dokter untuk mengontrol tekanan darah, denyut jantung,
pengurangan volume darah sentral dan mengurangi iskemia
otot jantung. Target panduan ini adalah untuk mengatasi
faktor-faktor penyebab, meningkatkan fungsi ventrikel kiri dan
mengoptimalkan hemodinamik.5 Adapun tujuan penanganan
gagal jantung diastolik dapat dilihat pada tabel 4.12
Tabel 4. Tujuan penanganan gagal jantung diastolik12
Mengobati faktor-faktor presipitasi dan penyakit yang mendasarinya.
Mencegah dan mengobati hipertensi dan penyakit jantung iskemik.
Menghilangkan secara bedah penyakit perikardium.
Memperbaiki relaksasi ventrikel kiri.
ACE inhibitors
Calcium channel blokers
Mengurangi hipertropi ventrikel kiri(mengurangi penebalan dinding dan
menghilangkan kolagen yang berlebih).
ACE inhibitors dan ARBs
Aldosterone antagonists
Beta blocker
Calcium channel blockers
Menjaga sinkronikasi atrioventrikular dengan menangani takikardi (takiaritmia).
Beta blocker (pilihan)
Calcium channel blockers (obat golongan kedua)
Digoksin (kontroversial)
Ablasi nodus atrioventrikular (kasusnya jarang)
Optimalisasi volume sirkulasi (hemodinamik).
ACE inhibitors
Aldosterone antagonists (bermanfaat secara teoritis)
Pembatasan garam dan air
Diuresis, dialisis, atau plasmapheresis
Meningkatkan harapan hidup.
Beta blocker
ACE inibitors
Mencegah relaps dengan menekankan follow-up pada pasien rawat jalan.
Kontrol tekanan darah
Konsultasi gizi (garam)
Memonitor status volume (daily weights dan diuretic adjustment)
Program aktivitas fisik (olahraga) oleh suatu institusi

ACE= Angiotensin-Converting Enzyme;


ARB= Angiotensin Receptor Blocker

Memperbaiki Fungsi Ventrikel Kiri


Ketika menangani pasien dengan disfungsi diastolik,
penting untuk mengontrol denyut jantung dan mencegah
takikardi untuk memaksimumkan periode pengisian
diastolik. Beta bloker berguna untuk tujuan ini, namun
tidak secara langsung menyebabkan relaksasi otot jantung.
Dalam memperlambat denyut jantung, beta bloker terbukti
bermanfaat dalam mengurangi tekanan darah dan iskemia
otot jantung, mengurangi hipertropi ventrikel kiri dan
mengurangi stimulasi adrenergik berlebihan selama gagal
jantung. Beta bloker dapat memperbaiki harapan hidup
pada pasien dengan gagal jantung diastolik, khususnya bila
terdapat hipertensi, penyakit arteri koroner atau aritmia.12
Optimalisasi Hemodinamik
Optimalisasi hemodinamik terutama dicapai dengan
mengurangi preload dan afterload. Angiotensin Converting
Enzyme (ACE) inhibitor dan Angiotensin Receptor Blockers (ARB)
secara langsung mempengaruhi compliance dan relaksasi otot
jantung dengan menghambat produksi atau memblok reseptor
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006

ARTIKEL PENELITIAN
angiotensin II, dengan cara mengurangi cadangan kolagen
interstitial dan fibrosis. Manfaat tidak langsung dari optimalisasi
hemodinamik meliputi perbaikan pengisian ventrikel kiri
dan mengurangi tekanan darah. Lebih penting lagi, terdapat
perbaikan kapasitas kerja dan kualitas hidup.12,19
Diuretik efektif dalam penanganan optimal volume
intravaskular dan mengurangi sesak nafas dan mencegah
gagal jantung akut pada pasien dengan disfungsi diastolik.
Meskipun diuretik mengontrol tekanan darah, memperbaiki
hipertropi ventrikel kiri dan mengurangi kekakuan ventrikel
kiri, beberapa pasien dengan gagal jantung diastolik sensitif
terhadap pengurangan preload dan dapat mengakibatkan
hipotensi dan azotemia prerenal berat. Diuretik intravena
seharusnya hanya digunakan untuk mengurangi gejala akut.12
Hormon aldosteron menyebabkan fibrosis jantung
dan berperan dalam kekakuan diastolik. Efek antagonis
aldosteron, spironolactone (Aldactone) pada gagal jantung
sistolik menunjukkan penurunan angka mortalitas, sedangkan
efeknya pada disfungsi diastolik tidak jelas.12 Calcium channel
blockers telah menunjukkan dapat memperbaiki fungsi
diastolik secara langsung dengan mengurangi konsentrasi
kalsium sitoplasmik dan menyebabkan relaksasi otot
jantung atau secara tidak langsung mengurangi tekanan
darah, mencegah atau mengurangi iskemik otot jantung,
mengurangi hipertropi ventrikel kiri dan memperlambat
denyut jantung. Bagaimanapun juga nondihydropyrimidine
calcium channel blockers (seperti verapamil (Calan)),
diltiazem (Cardizem) seharusnya tidak digunakan pada
pasien dengan gangguan disfungsi ventrikel kiri. Long-acting
dihydropyrimidine (seperti amlodipine (Norvasc) seharusnya
hanya digunakan untuk mengontrol irama dan angina ketika
beta bloker kontraindikasi atau tidak efektif. Akhirnya pada
penelitian random terkontrol berskala besar, calcium channel
blockers belum terbukti menurunkan angka kematian pada
pasien dengan isolated diastolic dysfunction.4,12
Vasodilator (seperti nitrat, hydralazine (Apresoline))
mungkin berguna karena menurunkan preload dan efek
antiiskemik, khususnya ketika ACE inhibitor tidak dapat
digunakan. Vasodilator digunakan secara hati-hati karena
penurunan preload dapat memperburuk cardiac output.
Tidak seperti obat lain yang digunakan untuk gagal jantung
diastolik, vasodilator tidak mempunyai efek regresi ventrikel
kiri. Penelitian gagal jantung dengan vasodilator tidak
menunjukkan manfaat harapan hidup yang signifikan pada
pasien gagal jantung diastolik.12
Peranan digoksin masih kontroversial dalam penanganan
pasien dengan gagal jantung diastolik. Pada pasien dengan
ejeksi fraksi normal, digoksin dapat merusak fungsi jantung
dengan meningkatkan kontraktilitas dan konsumsi oksigen,
dimana oksigen menghambat kalsium klirens intraselular saat
diastolik sehingga mengganggu relaksasi diastolik. Digoksin
berperan untuk mengontrol laju ventrikel pada pasien atrial
fibrilasi atau flutter.12

No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006

Kesimpulan
Terdapat perbedaan patogenesis, prognosis dan
penanganan antara gagal jantung diastolik dan gagal jantung
sistolik. Dokter perlu mengkombinasikan informasi klinis dan
ekokardiografi untuk mengkategorikan pasien gagal jantung
diastolik. Gagal jantung diastolik diperkirakan 40-60% dari
pasien gagal jantung kongesti, pasien ini mempunyai prognosis
yang lebih baik dibanding gagal jantung sistolik. Terapi
farmakologi yang merupakan pilihan untuk gagal jantung
diastolik adalah angiotensin converting enzyme inhibitors,
angiotensin reseptor blockers, diuretics dan beta blockers.
Daftar Pustaka
1. Ahmed A, Nanda NC, Weaver MT, et al. Clinical correlates of isolated
left ventricular diastolic dysfunction among hospitalized older
heart failure patient. Am J Geriatr Cardiol 2003;12:82-9
2. Braunwald E, Michael JG, Wilson SC. Clinical aspect of heart failure.
In: Heart Disease: Textbook of Cardiovascular Medicine 6th edition.
Philadelphia:Saunders; 2001.p.534-62
3. Grossman W. Defining diastolic dysfunction. Circulation 2000;101:2020-1
4. Gutierrez C, Blanchard DG. Diastolic heart failure: challenges of
diagnosis and treatment. Am Fam Physician 2004;69:2609-16
5. Hunt SA, Baker DW, Chin MH, et al. ACC/AHA guidelines for the
evaluation and management of chronic heart failure in the
adult: executive summary. A report of the american college of
cardiology/american heart association task force on practice
guidelines. J Am Coll Cardiol 2001;38:2101-13
6. Kovacs SJ, Meisner JS, Yellin EL. Modelling of distole. Cardiol Clin
2000;18:459-87
7. Maisel AS, McCord J, Nowak RM, et al. Bedside B-type natriuretic
peptide in the emergency diagnosis of heart failure with reduced
or perseved efection fraction. Results from the breathing not
properly multinational study. J Am Coll Cardiol 2003; 41:2010-7
8. Mandinov L, Eberli FR, Seiler C, et al. Diastolic heart failure.
Cardiovascular Research 2000;45:813-25
9. McCullough PA, Philbin EF, Spertus JA, et al. Confirmation of a heart failure
epidemic: findings from the resource utilization among congestive
heart failure (REACH) study. J Am Coll Cardiol 2000;39:60-9
10. Naqvi TZ. Diastolic function assessment incorporating new techniques
in doppler echocardiography. Rev Cardiovasc Med 2003;4:81-99
11. Philbin EF, Hunsberger S, Garg R, et al. Usefulness of clinical information
to distinguish patients with normal from those with low ejection
fractions in heart failure. Am J Cardiol 2002;89:1218-21
12. Satpathy C, Mishra TK, Satpathy R, et al. Diagnosis and management
of diastolic dysfunction and heart failure. Am Fam Physician 2006;
73:841-6
13. Senni M, Redfield MM. Heart failure with preserved systolic function.
A different natural history? J Am Coll Cardiol 2001;38:1277-82
14. Tecce MA, Pennington JA, Segal BL, et al. Heart failure: clinical implications
of systolic and diastolic dysfunction. Geriatrics 1999;54:24-8, 31-3
15. van Kraaij DJ, van Pol PE, Ruiters AW, et al. Diagnosing diastolic heart
failure. Eur J Heart Fail 2002;4:419-30
16. Vasan RS, Larson MG, Benjamin EJ, et al. Congestive heart failure in
subjects with normal versus reduced left ventricular efection
fraction: prevalence and mortality in a population-based cohort. J
Am Coll Cardiol 1999;33:1948-55
17. Vasan RS, Levy D. Defining diastolic heart failure: a call for standardized
diagnostic criteria. Circulation 2000;101:2118-21
18. Warner JG, Metzger DC, Kitzman DW, et al. Losartan improves exercise
tolerance in patients with diastolic dysfunction and a hypertensive
response to exercise. J Am Coll Cardiol 1999;33:1567-72

199

SEKILAS DEXA MEDICA GROUP

Berkibarlah Merah Putih-Ku

Dexa Media. Keheningan saat merah putih dikibarkan oleh


petugas upacara, seolah meneguhkan kembali tingginya rasa
nasionalisme warga Dexa Medica Group (DXG). Diiringi
lagu Indonesia Raya, sang Merah Putih berkibar, melambai
ditiup sang bayu!
Gelanggang Olah Raga Ragunan Jakarta, 17 Agustus 2006,
pukul 08.10 WIB, menjadi saksi kebersamaan warga Dexa
Group di dalam memperingati HUT Proklamasi Republik
Indonesia yang ke-61. Sekitar 650 warga DXG dari kantor
pusat dan perwakilan Jabotabek berbaris berbanjar, khidmat
mengikuti prosesi upacara bendera.Usai upacara bendera,
dilanjutkan pertandingan DXG CUP II, yang berjalan meriah
dan penuh persaudaraan.
Bapak Ir. Ferry A. Soetikno, MSc,MBA, Corporate
Managing Director DXG, selaku Pembina Upacara, pagi

itu tampil mempesona, selaras dengan kostum para petugas


upacara bendera yang tampil gagah layaknya pasukan
pengibar bendera.
Dalam amanatnya, Pak Ferry mengingatkan agar warga
DXG terus berkarya demi nusa dan bangsa. Setiap niatan
yang baik, dan diproses dengan baik akan memberikan hasil
yang baik, demikian salah satu amanat yang penting dari
Pak Ferry Soetikno.
Karyanto

OGBdexa, Segitiga Merahnya, Bikin Hemat


Dexa Media. Pada hari Rabu, tanggal 20 September 2006, Tim OGB
Dexa di seluruh Indonesia mengadakan perhelatan bertajuk Sehari
Bersama OGBdexa.
Sejak pagi hari itu, kesibukan rekan-rekan Tim OGB Dexa di tiap-tiap
cabang mulai bergulir. Sekitar pukul 8.30, rekan-rekan Tim OGB Dexa
bergerak menuju Rumah Sakit Umum, baik swasta maupun pemerintah
yang telah ditetapkan.
Kegiatan di tiap lokasi diawali dengan membagi brosur Kenali OGB
kepada pasien dan pegawai apotek di Rumah Sakit. Tim OGB Dexa
juga melakukan survei dengan mewawancarai pasien untuk mengetahui
awareness masyarakat terhadap obat generik berlogo dan sekaligus
mengenalkan brand OGBdexa di kalangan awam.
Secara keseluruhan acara berjalan lancar dan mendapatkan respon
positif dari Rumah Sakit maupun masyarakat luas. OGBdexa: Segitiga
Merahnya, Bikin Hemat.
Natalia
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006

207

SEKILAS DEXA MEDICA GROUP

Delon Semarakkan
Peluncuran TOXILITE
Dexa Media. Komitmen Dexa Medica Group untuk terus
mengembangkan produk-produk non-konvensional semakin
nyata. Hal ini dibuktikan dengan peluncuran Toxilite di Hard
Rock Caf Jakarta, 12 September 2006.
Penyanyi Dellon dan presenter Novita Angie, menjadi
bintang tamu yang menghangatkan suasana. Toxilite
mengandung bahanbahan alami seperti ekstrak Curcuma
xanthorizza (100 mg), Lecithin(25 mg), dan Vitamin E (100
mg). Toxilite bekerja membantu memperbaiki sel-sel hati
(liver), sehingga dapat mengoptimalkan fungsi detoksifikasi
yang dilakukan oleh hati terhadap toxin (racun) yang diserap
tubuh. Toxin tersebut bisa berasal dari lingkungan disekitar kita,
seperti: asap rokok, obat serangga, zat pengawet, zat pewarna,
pestisida, alkohol, ataupun polusi kendaraan bermotor.
Grand Launching Toxilite dikemas atraktif, dihadiri perwakilan outlet wilayah Jabodetabek, rekan-rekan Dexa Medica
Group, dan sekitar 30 media cetak dan elektronik. Sebelum
grand launching digelar, diawali dengan Konferensi Pers.
Rekan-rekan media diajak berbagi wawasan mengenai
Kiat Menetralkan Racun dalam Tubuh Secara Sehat dan
Alami. Saat itu, Bapak Ferry A. Soetikno, Corporate
Managing Director Dexa Medica Group, dan Ibu Sylvia
A. Rizal, Head of Marketing and Sales OTC Dexa Medica
sebagai narasumber, dipandu Bapak Karyanto, Corporate

208

Communications Manager DXG.


Menjelang puncak acara, Novita Angie selaku MC,
mengundang sejumlah dancer untuk menyajikan komposisi
tarian unik dari Toxic Dancers. Dalam tarian itu digambarkan
toxintoxin itu akhirnya mati, berguguran, saat Toxilite
menggempur mereka.
Sebelum Delon menampilkan sejumlah lagu-lagu
manis, talkshow singkat digelar dengan topik mengenai
apa dan bagaimana Toxilite bekerja memkasimalkan proses
penetralan racun tubuh. Serta keunggulan Toxilite. Talkshow
menampilkan Bapak Raymond R. Tjandrawinata, Director
of Scientific Affairs & Corporate Development Dexa
Medica, dan dokter spesialis Hepatologi, Dr. Rino A Gani,
Sp.PD,KGEH.
Indriana

No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006

PROFIL

PENELUSURAN JURNAL

Pembaca yang budiman,

Mulai edisi ini Dexa Media melayani permintaan penelusuran jurnal hanya dengan
melalui Tim Promosi Dexa Medica Group, apabila tidak melalui Tim Promosi Dexa
Medica Group, kami tidak melayani permintaan. Di bawah ini akan diberikan daftar
isi beberapa jurnal terbaru yang dapat anda pilih. Bila anda menginginkannya, mohon
halaman ini difotokopi, artikel yang dimaksud diberi tanda p dan dikirimkan ke alamat
redaksi.

Avian influenza: Preparing for a pandemic. American Academy of Family Physicians 2006;74:783-90
Cognitive impairment in bipolar II disorder. British Journal of Psychiatry 2006;189:254-9
Effect of celecoxib on cardiovascular eventsand blood pressure in two trials for the prevention of
colorectal adenomas. Circulation 2006;114:1028-35
Hypoglycemia in type 1 and type 2 diabetes:Physiology, pathophysiology, and management.
Clinical Diabetes 2006; 24(3):115-21
Ferritin and transferrin are both predictive ofthe onset of hyperglycemia in men and women over
3 years. Diabetes Care 2006; 29:2090-4
Effect of weight loss with lifestle intervention on risk of diabetes. Diabetes Care 2006;29:2102-7
Oral anticoagulations in development. Focus on thromboprophylaxis in patients undergoing
orthopaedic surgery. Drugs 2006; 66(11):1411-29
Pharmacological approaches to the management of cognitive dysfunction in schizophrenia. Drugs
2006;66(11):1465-73
Risk for tuberculosis among children. Emerging Infectious Diseases 2006;12(9):1383-8
Clinical events in high-risk hypertensive patients randomly assigned to calcium channel blocker
versus angiotensin-converting enzyme inhibitor in the antihypertensive and lipid-lowering
treatment to prevent heart attack trial. Hypertension 2006;48:374-84
Topical ciprofloxacin/dexamethasone superior to oral amoxicillin/clavulanic acid in acute otitis
media with otorrhea through tympanostomy tubes. Pediatrics 2006;118:561-9
Mycoplasma genitalium as a sexually transmitted infection: implications for screening, testing,
and treatment. Sexually Transmitted Infections 2006;82:269-71
Role of minimally invasive surgery in gynecologic cancers. The Oncologist 2006;11:895-901
Celecoxib for the prevention of sporadic colorectal adenomas. The New England Journal of Medicine
2006;355(9):873-84
Cerebral aneurysms. The New England Journal of Medicine 2006;355(9):928-39

No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006

211

KALENDER PERISTIWA

1) Biennial Symposium DIGM: Geriatri Update 2006


Tempat: Hotel Le Meridien, Jakarta
Tanggal: 04-05 November 2006
Sekretariat: Global Medica Communications, Jakarta
E-mail: globalmedica@cbn.net.id
Telp: 021-30042089
Faks: 021-30041027
2) XVIII FIGO World Congress of Gynecology and
Obstetrics
Tempat: Kuala Lumpur Convention Center, Malaysia
Tanggal: 5-10 November 2006
Sekretariat: AOS Convention & Events Sdn Bhd
No. 39240, Jl. Mamandan 9, Ampang Point 68000,
Ampang Kuala Lumpur - Malaysia
E-mail: consec@figo2006kl.com
Telp: +60 3 4252 9100
Faks: +60 3 4257 1133
Website: http://www.figo2006kl.com
3) The 6th Asian & Oceanian Epilepsy Congress
Tempat: Kuala Lumpur, Malaysia
Tanggal: 16-19 November 2006
Sekretariat:
ILAE/IBE Congress Secretariat 7 Priory Hall, Stillorgan,
Dublin 18, Ireland
Telp: +353 1 2059720
Faks: +353 1 2056156
Website: http://www.epilepsykualalumpur2006.org
4) World Menopause Day: Menopause and Aging
Quality of Life and Sexual
Tempat: Hotel Borobudur, Jakarta
Tanggal: 16-19 November 2006
Sekretariat: Yayasan Sehat Wanita Indonesia PERMI
Jl. Saharjo 120 Jakarta 12960 Indonesia
E-mail: permijakarta@yahoo.com
Telp: 021-8292672 / 8312378
Faks: 021-830190
Contact person: Nelly Hutajulu, SKM
5) The 2nd International Symposium Jakarta for Healthy
Travellers
Tempat: Jakarta
Tanggal: 18-19 November 2006
Sekretariat: Global Medica Communications, Jakarta
E-mail: globalmedica@cbn.net.id
Telp: 021-30042089
Faks: 021-30041027

212

6) WFAS International Symposium on Acupuncture


Tempat: Sanur Paradise Plaza, Sanur, Bali
Tanggal: 22-26 November 2006
Sekretariat:
Pacto Convex Lagoon Tower, Level B-1 Jakarta Hilton
Intl, Jl. Gatot Subroto, Jakarta 10270
E-mail: convex1@indosat.net.id
Telp: 62-21-5705800 ext 420
Faks: 62-21-5705798
Contact: Reny Yetri
7) Kongres I PERKAPI (Perhimpunan Kedokteran Anti
Penuaan Indonesia) Anti Aging: New Challenge in
Medicine
Tempat: Jakarta Convention Center, Jakarta
Tanggal: 24-25 November 2006
Sekretariat:
Sekretariat Kongres Nasional I PERKAPI Perkantoran
Kebun Jeruk Baru Blok A No. 13-14 Jl. Arjuna Selatan,
Jakarta 11530
E-mail: hospex@cbn.net.id
Telp: 021-5367 7981-82
Faks: 021-5367 7983
8) Seminar & Workshop PASTI (Perkumpulan Awet Sehat
Indonesia) Restoring Youthful Hormone Level
Tempat: Hotel Borobudur, Jakarta
Tanggal: 25 November 2006
Sekretariat:
PASTI Jl. Sultan Iskandar Muda No. 30 A-B
Jakarta 12240
Telp: 021-729 0623
Faks: 021-7289 5871
Contact: dr. Fredy Wilmana / dr. Arjati Daud
9) 11th Asian Symposium on Rhinology
Tempat: Kuala Lumpur, Malaysia
Tanggal: 02-04 Desember 2006
Sekretariat:
Academy of Medicine
E-mail: acadmed@po.jaring.my
10) PIN PAPDI
Tempat: Hotel Mercure, Ancol - Jakarta
Tanggal: 15-17 Desember 2006
Sekretariat:
E-mail: pb_papdi@indo.net.id
Telp: 021-3910294, 31931384, 3193808 pswt: 6703
Faks: 021-3148163

No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006

Anda mungkin juga menyukai