Publication
Publication
Pada edisi terakhir di penghujung tahun 2006 ini, Dexa Media menampilkan
tema utama, yaitu dengan judul artikel Penggunaan Obat Antiepilepsi sebagai
Terapi Nyeri Neuropatik, yang menjelaskan bahwa penggunaan lamotrigine yang
pada awalnya sebagai antiepilepsi, sekarang ini digunakan sebagai analgesik
adjuvant untuk nyeri neuropatik.
Beberapa artikel dari rubrik tinjauan pustaka antara lain membahas mengenai
Redaktur Pelaksana
Tri Galih Arviyani, S.Kom.
Staf Redaksi
dr. Della Manik Worowerdi Cintakaweni
Gelly Eka Prasasti, S.Si., Apt.
Herninta Pramitasari, S.Si., Apt
Gunawan Raharja, S.Si., Apt.
Drs. Karyanto, MM
dr. Marini Johan
Puji Rahayu, S.Farm, Apt.
dr. Ratna Kumalasari
dr. Lydia Fransisca H. Tambunan
Yosi Krisyanti, S.Si, Apt
Peer Review
Prof. dr. Arjatmo Tjokronegoro, Ph.D., Sp.And.
Prof. Dr. dr. Darmono, Sp.PD-KEMD
Prof. Dr. dr. Djokomoeljanto, Sp.PD-KEMD
Jan Sudir Purba, M.D., Ph.D.
Prof. Dr. Med. Puruhito, M.D., F.I.C.S., F.C.T.S.
Prof. dr. Sudradji Soemapraja, Sp.OG.
Prof. Dr. dr. H. Sidartawan Soegondo, Sp.PD-KEMD, FACE
Prof. dr. Wiguno Prodjosudjadi, Ph.D., Sp.PD-KGH
Redaksi/Tata Usaha
Jl. R.S. Fatmawati Kav. 33
Telp. (021) 7509575
Fax. (021) 75816588
Email: tri.galih@dexa-medica.com
Rekomendasi Depkes RI
0358/AA/III/88
Ijin Terbit
1289/SK/Ditjen PPG/STT/1988
jantung diastolik, infeksi cacing tambang, patogenesis dan lain sebagainya. Untuk
mengetahui lebih lanjut, kami persilahkan untuk membacanya.
Penelusuran jurnal yang memuat artikel-artikel terbaru sebagai tambahan
wawasan dan pengetahuan untuk pembaca dan Kalendar Peristiwa yang memuat
jadwal simposium yang diadakan pada tahun 2006 ini tetap kami tampilkan tiap
edisinya.
Tak lupa kami terus mengundang para pembaca untuk berpartisipasi mengisi
lembaran Dexa Media dengan memberikan tulisan berupa Tinjauan Pustaka, Case
Report, Artikel Penelitian.
Akhir kata kami redaksi Dexa Media mengucapkan selamat Idul Fitri 1427 H
dan selamat Natal dan Tahun Baru 2007.
Salam!
DAFTAR ISI
Pengantar Redaksi
Petunjuk untuk Penulisan Dexa Media
161
162
Artikel Utama:
Penggunaan obat antiepilepsi sebagai terapi nyeri neuropatik
163
Tinjauan Pustaka:
Tatalaksana farmakologis gangguan spektrum autistik:
Telaah pustaka terkini
Peran serotonin pada gangguan spektrum autistik
Konsep baru kortikosteroid pada penanganan sepsis
Patogenesis dan respon imun tubuh terhadap infeksi virus
Herpes simpleks
Infeksi cacing tambang
167
173
177
182
187
Artikel Penelitian:
Pemberian glutamin menurunkan kadar bilirubin darah serta
Mengurangi nekrosis sel-sel hati setelah pemberian aktivitas
Fisik maksimal dan parasetamol pada mencit
Diagnosis dan penatalaksanaan gagal jantung diastolik
Manajemen gagal jantung kronik
Cover: NEURON
SUMBANGAN TULISAN
Redaksi menerima partisipasi berupa tulisan, foto, dan materi
lainnya sesuai dengan misi majalah ini. Tulisan yang tidak
dimuat akan dikembalikan. Redaksi berhak mengedit atau
mengubah metode penulisan, tanpa mengubah tulisan yang
dimuat apabila dipandang perlu.
192
196
200
207
207
208
Penelusuran Jurnal
Kalender Peristiwa
Daftar Iklan: Lamictal, Raivas, Dobuject, Toxilite, Tripoten, Generik
211
212
161
PETUNJUK PENULISAN
Redaksi menerima tulisan asli/tinjauan pustaka, penelitian atau laporan kasus dengan foto-foto asli dalam bidang Kedokteran dan Farmasi.
1. Tulisan yang dikirimkan kepada Redaksi adalah tulisan yang belum pernah
dipublikasikan di tempat lain dalam bentuk cetakan.
2. Tulisan berupa ketikan dan diserahkan dalam bentuk disket, diketik di program MS Word dan print-out dan dikirimkan ke alamat redaksi atau melalui
e-mail kami.
3. Pengetikan dengan point 12 spasi ganda pada kertas ukuran kuarto (A4) dan
tidak timbal balik.
4. Semua tulisan disertai abstrak dan kata kunci (key words). Abstrak hendaknya tidak melebihi 200 kata.
5. Judul tulisan tidak melebihi 16 kata, bila panjang harap dipecah menjadi anak judul.
6. Nama penulis harap disertai alamat kerja yang jelas.
7. Harap menghindari penggunaan singkatan-singkatan
8. Penulisan rujukan memakai sistem nomor (Vancouver style), lihat contoh
penulisan daftar pustaka.
9. Bila ada tabel atau gambar harap diberi judul dan keterangan yang cukup.
10. Untuk foto, harap jangan ditempel atau di jepit di kertas tetapi dimasukkan ke
dalam sampul khusus. Beri judul dan keterangan yang lengkap pada tulisan.
11. Tulisan yang sudah diedit apabila perlu akan kami konsultasikan kepada peer
reviewer.
12. Tulisan disertai data penulis/curriculum vitae, juga alamat email (jika ada), no.
telp/fax yang dapat dihubungi dengan cepat.
Contoh Penulisan Daftar Pustaka
Daftar pustaka di tulis sesuai aturan Vancouver, diberi nomor sesuai urutan pemunculan dalam keseluruhan tulisan, bukan menurut abjad. Bila nama penulis lebih dari 6
orang, tulis nama 6 orang pertama diikuti et al. Jumlah daftar pustaka dibatasi tidak
lebih dari 25 buah dan terbitan satu dekade terakhir.
Artikel dalam jurnal
1. Artikel standar
Vega KJ, Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with
an increased risk for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996;
124(11):980-3. Lebih dari 6 penulis: Parkin DM, Clayton D, Black RJ, Masuyer E, Freidl HP, Ivanov E, et al. Childhood leukaemia in Europe after Chernobyl: 5 years follow-up. Br J Cancer 1996; 73:1006-12
2. Suatu organisasi sebagai penulis
The Cardiac Society of Australia and New Zealand. Clinical Exercise Stress Testing. Safety and performance guidelines. Med J Aust 1996; 164:282-4
3. Tanpa nama penulis
Cancer in South Africa (editorial). S Afr Med J 1994; 84:15
4. Artikel tidak dalam bahasa Inggris
Ryder TE, Haukeland EA, Solhaug JH. Bilateral infrapatellar seneruptur hos
tidligere frisk kvinne. Tidsskr Nor Laegeforen 1996; 116:41-2
5. Volum dengan suplemen
Shen HM, Zhang QE. Risk assessment of nickel carcinogenicity and occupational
lung cancer. Environ Health Perspect 1994; 102 Suppl 1:275-82
6. Edisi dengan suplemen
Payne DK, Sullivan MD, Massie MJ. Womens psychological reactions to
breast cancer. Semin Oncol 1996; 23(1 Suppl 2):89-97
7. Volum dengan bagian
Ozben T, Nacitarhan S, Tuncer N. Plasma and urine sialic acid in non-insulin dependent diabetes mellitus. Ann Clin Biochem 1995;32(Pt 3):303-6
8. Edisi dengan bagian
Poole GH, Mills SM. One hundred consecutive cases of flap lacerations of the
leg in ageing patients. N Z Med J 1990; 107(986 Pt 1):377-8
9. Edisi tanpa volum
Turan I, Wredmark T, Fellander-Tsai L. Arthroscopic ankle arthrode-sis in
rheumatoid arthritis. Clin Orthop 1995; (320):110-4
10.Tanpa edisi atau volum
Browell DA, Lennard TW. Immunologic status of the cancer patient and
the effects of blood transfusion on antitumor responses. Curr Opin Gen
Surg 1993;325-33
162
ARTIKEL UTAMA
Abstrak. Nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan
jaringan, baik aktual maupun potensial, atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut. Nyeri neuroaptik
yang tergolong pada tipe nyeri kronik diakibatkan oleh lesi di jaringan susunan saraf baik perifer maupun pusat.
Penggunaan obat antiepilepsi pada nyeri neuropatik didasari oleh keidentikan dalam neuropatofisiologik antara
nyeri neuropatik dan epilepsi. Keidentikan ini termasuk kepekaan yang abnormal dari neuron-neuron sebagai
akibat kelainan pada reseptor seperti NMDA, AMPA/kainat yang pada saatnya nanti bisa memicu plastisitas
reseptor tersebut di post-sinaptik. Kepekaan yang abnormal inilah yang mengakibatkan tarjadinya perubahan
elektrik potensial di otak yang disebut sebagai bangkitan epilepsi. Obat antiepilepsi merupakan obat yang
berkemampuan untuk menekankepekaan yang abnormal dari neuron-neuron sehingga dengan demikian
bisa menekan bangkitan epilepsi. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa obat antiepilepsi digunakan sebagai
analgesik adjuvant untuk terapi nyeri neuropatik. Ternyata obat antiepilepsi lamotrigine sangat efektif dalam
penanggulangan nyeri neuropatik terutama trigeminal neuralgia, nyeri neuropatik pada penderita HIV, nyeri
sentral pada penderita pasca stroke ataupun nyeri neuropatik yang intracktable. Cara kerja dari lamotrigine
adalah berperan dalam stabilisasi membrane sel neuron dengan memblok aktivitas kanal voltage-sensitive
natrium serta mencegah sekresi glutamate dan menstimulasi sekresi GABA di presinaptik ke sinaps.
Pendahuluan
yeri seperti didefinisikan oleh International Association
for Study of Pain (IASP), adalah suatu pengalaman
sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial, atau
yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut.1,2 Nyeri
bisa bervariasi berdasarkan: waktu dan lamaya berlangsung
(transient, intermittent, atau persisten), intensitas (ringan,
sedang dan berat), kualitas (tajam, tumpul, dan terbakar),
penjalarannya (superficial, dalam, local atau difus).3 Di samping
itu nyeri pada umumnya memiliki komponen kognitif dan
emosional yang digambarkan sebagai penderitaan. Selain itu
nyeri juga dihubungkan dengan refleks motorik menghindar
dan gangguan otonom yang oleh Woolf (2004)3 disebut
sebagai pengalaman nyeri.
Secara patologik nyeri dikelompokkan pada nyeri adaptif
atau nyeri nosiseptif, atau nyeri akut dan nyeri maladaptif
sebagai nyeri kronik juga disebut sebagai nyeri neuropatik serta
nyeri psikologik atau nyeri idiopatik. Nyeri akut atau nosiseptif
yang diakibatkan oleh kerusakan jaringan, merupakan salah
satu signal untuk mempercepat perbaikan dari jaringan yang
rusak.3 Sedangkan nyeri neuropatik disebut sebagai nyeri
fungsional merupakan proses sensorik abnormal yang disebut
DEXA MEDIA
ARTIKEL UTAMA
dan mempunyai efek psikologis sangat minimal dibanding
dengan nyeri kronik. Nyeri ini di picu oleh keberadaan
neurotransmiter sebagai reaksi stimulasi terhadap reseptor
serabut alfa-delta dan C polimodal yang berlokasi di kulit,
tulang, jaringan ikat otot dan organ viskera. Stimulus ini bisa
berupa mekhanik, kimia dan termis, demikian juga infeksi
dan tumor.6,7 Reaksi stimulus ini berakibat pada sekresi
neurotransmiter seperti prostaglandin, histamin, serotonin,
substansi P, juga somatostatin (SS), cholecystokinin (CCK),
vasoactive intestinal peptide (VIP), calcitoningenen-related
peptide (CGRP) dan lain sebagainya.8 Nyeri neuropatik adalah
non-self-limiting dan nyeri yang dialami bukan bersifat sebagai
protektif biologis namun adalah nyeri yang berlangsung
dalam proses patologi penyakit itu sendiri.6 Nyeri bisa
bertahan beberapa lama yakni bulan sampai tahun sesudah
cedera sembuh sehingga juga berdampak luas dalam strategi
pengobatan termasuk terapi gangguan psikologik.
Baik nyeri neuropatik perifer maupun sentral berawal dari
sensitisasi neuron sebagai stimulus noksious melalui jaras
nyeri sampai ke sentral. Bagian dari jaras ini dimulai dari
kornu dorsalis, traktus spinotalamikus (struktur somatik) dan
kolum dorsalis (untuk viskeral), sampai talamus sensomotorik,
limbik, korteks prefrontal dan korteks insula.6 Karakteristik
sensitisasi neuron bergantung pada: meningkatnya aktivitas
neuron; rendahnya ambang batas stimulus terhadap aktivitas
neuron itu sendiri misalnya terhadap stimulus yang nonnoksious, dan luasnya penyebaran areal yang mengandung
reseptor yang mengakibatkan peningkatan letupan-letupan
dari berbagai neuron.6 Sensitisasi ini pada umumnya
berasosiasi dengan terjadinya denervasi jaringan saraf akibat
lesi ditambah dengan stimulasi yang terus menerus dan inpuls
aferen baik yang berasal dari perifer maupun sentral dan juga
bergantung pada aktivasi kanal ion di akson yang berkaitan
dengan reseptor AMPA/kainat dan NMDA.9
Sejalan dengan berkembangnya penelitian secara
molekuler maka ditemukan beberapa kebersamaan antara
nyeri neuropatik dengan epilepsi dalam hal patologinya
tentang keterlibatan reseptor misalnya NMDA dan AMPA
dan plastisitas disinapsis, immediate early gene changes. Yang
berbeda hanyalah dalam hal burst discharge secara paroksismal
pada epilepsi sementara pada neuropatik yang terjadi adalah
ectopic discharge. Nyeri neuropatik muncul akibat proses
patologi yang berlangsung berupa perubahan sensitisasi
baik perifer maupun sentral yang berdampak pada fungsi
sistem inhibitorik serta gangguan interaksi antara somatik
dan simpatetik. Keadaan ini memberikan gambaran umum
berupa alodinia dan hiperalgesia.10 Permasalahan pada nyeri
neuropatik adalah menyangkut terapi yang berkaitan dengan
kerusakan neuron dan sifatnya ireversibel. Pada umumnya
hal ini terjadi akibat proses apoptosis yang dipicu baik melalui
modulasi intrinsik kalsium di neuron sendiri maupun akibat
proses inflamasi sebagai faktor ekstrinsik.6 Kejadian inilah
yang mendasari konsep nyeri kronik yang ireversibel pada
164
DEXA MEDIA
ARTIKEL UTAMA
oleh hipereksitabilitas sistem saraf sentral mengakibatkan
bangkitan spontan dan paroksismal dan mirip dengan nyeri
spontan dan paroksismal pada nyeri neuropatik.16 Dalam
keadaan ini peran reseptor NMDA terhadap influks Ca2+
merupakan proses dasar terhadap kindling pada epilepsi serupa
halnya dengan kejadian wind-up pada nyeri neuropatik. Atas
dasar patologi ini maka antiepilepsi merupakan obat yang
berkemampuan untuk menekan kepekaan yang abnormal
dari neuron-neuron di sistem saraf pusat dengan memblokade
reseptor NMDA, AMPA/kainat.16 Hal ini disimpulkan oleh
Markman and Dworkin, (2006)17 bahwa permasalahan
nyeri neuropatik adalah di kanal ion sebagaimana juga pada
epilepsi. Oleh sebab itu target terapi adalah tertuju pada
voltage-gate kanal Na+ dan Ca2+.17
Dari hasil penelitian ternyata bahwa obat antiepilepsi
seperti lamotrigine mempunyai sifat analgesik dalam lingkup
yang luas. Lamotrigine membatasi influks kalsium melalui
penekanan voltage-gate.18 Pada percobaan hewan menyangkut
hiperalgesia pemberian lamotrigine berefek sebagai analgesik.19
Lamotrigine dengan dosis di atas 200 mg/hari sangat efektif
dalam penanggulangan nyeri neuropatik terutama trigeminal
neuralgia, nyeri neuropatik pada penderita HIV, nyeri
sentral pada penderita post stroke ataupun nyeri neuropatik
yang intracktable.12,13,20-23 Prinsip kerja dari lamotrigine
yang diketahui sampai sekarang ini berperan aktif terhadap
neurotransmiter eksitatorik glutamate dalam hal mencegah
sekresi glutamate di presinaptik serta berperan dalam inhibisi
reuptake serotonin oleh presinaptik yang berefek pada
stabilisasi membrane sel neuron dengan memblok aktivitas
kanal voltage-sensitive natrium.24,25 Efek samping bisa muncul
dengan dosis tinggi berupa dizziness, ruam, mual, insomnia.26
Kesimpulan
Nyeri neuropatik merupakan nyeri yang sangat sulit diterapi dengan obat analgesik biasa. Hal ini diakibatkan oleh
terjadinya kerusakan jaringan saraf baik di perifer maupun di
sentral. Oleh karena nyeri neuropatik bukan nyeri adaptif akan
tetapi merupakan proses patologi yang berjalan di mana adanya
perubahan struktur reseptor di membrane neuron baik itu di
perifer maupun di sentral. Kelainan reseptor ini mengakibatkan
perubahan pada influks dan dari ion-ion seperti kalsium,
natrium yang berperan dalam perobahan elektrik potensial saraf. Perubahan ini merupakan signal berupa stimulus yang akan
sampai ke korteks sensorik yang diterjemahkan dengan nyeri.
Obat antiepilepsi berperan sebagai inhibitorik terhadap
reseptor NMDA maupun AMPA/kainat akibat peran
glutamate dengan demikian mencegah masuknya ion kalsium
dan natrium yang berlebihan ke dalam sel. Mendasar pada
cara kerja dari obat antiepilepsi ini maka obat antiepilepsi
ini digunakan sebagai standard obat nyeri neuropatik
yang secara neuropatologik mempunyai kesamaan dengan
epilepsi. Penggunaan lamotrigine yang pada awalnya sebagai
antiepilepsi, sekarang ini digunakan sebagai analgesik
DEXA MEDIA
165
SEKILAS PRODUK
3.0
160
140
2.0
120
100
80
1.0
60
40
20
30
60
Dose (mg)
120
240
166
SEKILAS PRODUK
Dosis Lamictal untuk dewasa dan anak-anak di atas usia 12
tahun:
Minggu 1 & 2
Minggu 3 & 4
Dosis Pemeliharaan
add-on Lamictal
dengan sodium
valproate
12,5 mg/hari
25 mg/hari
(diberikan 25 mg/hari
(sekali sehari)
2 hari sekali/selang sehari)
100-200 mg/hari
(sekali sehari atau di bagi
dalam 2 kali pemberian)
Monoterapi
Lamictal
25 mg/hari
(sekali sehari)
50 mg/hari
(sekali sehari)
100-200 mg/hari
(sekali sehari atau di bagi
dalam 2 kali pemberian)
add-on Lamictal
tanpa sodium
valproate
50 mg/hari
(sekali sehari)
100 mg/hari
(sekali sehari)
200-400 mg/hari
(di bagi dalam 2 kali
pemberian)
Minggu 3 & 4
Dosis Pemeliharaan
Add-on Lamictal
dengan sodium
valproate
0,2 mg/kg/hari
(sekali sehari)
0,5 mg/kg/hari
(sekali sehari)
1-5 mg/kg/hari
(sekali sehari atau di bagi
dalam 2 kali pemberian)
Monoterapi
Lamictal
0,5 mg/kg/hari
(sekali sehari)
1 mg/kg/hari
(sekali sehari)
2-10 mg/kg/hari
(sekali sehari atau di bagi
dalam 2 kali pemberian)
Add-on Lamictal
tanpa sodium
valproate
2 mg/kg/hari
(di bagi dalam
2 kali pemberian)
5 mg/kg/day
di bagi dalam
2 kali pemberian)
5-15 mg/kg/hari
(di bagi dalam
2 kali pemberian)
167
TINJAUAN PUSTAKA
Tatalaksana Farmakologis
Gangguan Spektrum Autistik:
Telaah Pustaka Terkini
Rizaldy Pinzon
SMF Saraf RSUD Dr. M. Haulussy
Ambon
Abstrak. Autisme merupakan gangguan perkembangan pervasif. Penelitian terdahulu
menunjukkan kelainan neurotransmiter pada autisme. Penatalaksanaan farmakologis dengan
prinsip menyeimbangkan fungsi neurotransmiter merupakan dasar pendekatan terapi yang
rasional. Penelitian-penelitian terdahulu menggunakan terapi antagonis sistem dopaminergik,
pemacu sistem serotoninergik, antagonis opioid, dan pemacu GABA. Beberapa modalitas terapi
lain seperti penggunaan suplemen vitamin dan mineral dan penggunaan terapi imunologis telah
dilaporkan pula. Hasil kajian sistematis ini mendapatkan bahwa antagonis sistem dopaminergik
merupakan modalitas terapi yang cukup didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang baik.
Kata kunci: Autisme, treatment, randomized controlled trial, dopamine, serotonin, GABA (Gammaaminobutyric acid)
Pendahuluan
utisme merupakan gangguan perkembangan yang
terutama ditandai oleh ketidakmampuan dalam
komunikasi, sosialisasi, dan imajinasi.1 Penderita autisme
akan menunjukkan disabilitas dalam interaksi sosial, disabilitas
komunikasi dan kelambatan fungsi berbahasa, perilaku yang
terbatas dan stereotipik, dengan onset sebelum usia 3 tahun.2
Tatalaksana farmakologis tidak akan mengubah riwayat
keadaan atau perjalanan gangguan autistik.3 Terapi farmakologi
bukan merupakan pendekatan terapi yang utama, namun
penggunaan terapi farmaka untuk gejala-gejala tertentu dapat
membantu secara signifikan program terapi dan edukasi.4
Penggunaan terapi farmakologis yang memperbaiki
keseimbangan neurotransmiter merupakan pendekatan yang
rasional pada penderita autisme.3 Kajian Rapin4 menunjukkan
bahwa obat-obat diberikan secara spesifik untuk gejala
tertentu sebagai berikut: (1) obat yang bekerja sistem
noradrenergik terutama ditujukan untuk mengatasi gejala
agresif dan perilaku eksplosif, (2) obat-obat antidepresan
dan SSRI atau Selective Serotonin Reuptake Inhibitor ditujukan
untuk mengatasi obsesif, agresivitas, dan depresi, (3) obatobat penghambat dopamin ditujukan untuk gejala destruktif,
agresi, dan melukai diri sendiri, (4) obat-obat antagonis opioid
untuk gejala stereotipik dan melukai diri sendiri, (5) golongan
antikonvulsan untuk mengobati epilepsi, agresivitas, dan
regresi yang berhubungan dengan gelombang epileptiformis
subklinis. Permasalahan yang muncul adalah bagaimana
bukti ilmiah tatalaksana farmakologis gangguan spektrum
autistik. Tujuan penulisan makalah adalah mengkaji secara
Deskripsi
IA
IB
IIA
Bukti diambil minimal dari suatu penelitian welldesigned controlled study without randomization
IIB
III
IV
169
TINJAUAN PUSTAKA
Pembahasan
Hasil Pelacakan Pustaka
Hasil pelacakan kepustakaan secara manual dan
elektronik mendapatkan berbagai artikel terapi farmakologis
untuk autisme. Tabel 2 memperlihatkan berbagai artikel yang
diperoleh dan tingkat bukti ilmiahnya, sbb:
Tabel 2. Peringkat bukti ilmiah hasil pelacakan pustaka
Peneliti (tahun)
Fankhauser (1992)
Jaselskis (1992)
Sophie (1996)
Delong (1998)
McDougle (1998)
Fatemi (1998)
Owley dkk (1999)
Sandler (1999)
Adams (2000)
Pertejo (2000)
Lightdale (2001)
Roberts (2001)
McCracken (2002)
Chez (2002)
DeLong (2003)
Nye (2004)
Modalitas terapi
Clonidine
Clonidine
Naltrexone
Fluoxetine
Risperidone
Fluoxetine
Secretin
Secretin
Suplemen vitamin dan mineral
Fluoxetine
Secretin
Secretin
Risperidone
L-Carnosine
Fluoxetine
Vitamin B6-Magnesium
IB
IIA
IB
IIB
IB
III
IB
IB
IB
IIB
IIB
IB
IB
IB
IIB
IA
Rancangan
Dosis
Subjek
Hasil
0,53,0
mg/hari
Metode
Subjek
Hasil
31 penderita
- Perbaikan gejala didapatkan secara
autisme dewasa bermakna pada kelompok terapi
Risperidone dibanding plasebo
(57% vs 0%, p<0,002)
TINJAUAN PUSTAKA
menyatakan bahwa penggunaan naltrexone tidak dianjurkan
sebagai terapi lini pertama untuk autisme.
Disain
Cook, dkk
fluoxetine
20-80
mg/hari
fluoxetine
37 anak
autisme
usia antara
2-7 tahun
Fatemi, dkk14
fluoxetine
20-80
mg/hari
7 pasien
usia 9-20
tahun
fluoxetine
0,15-0,5
mg/kg
129 anak
autisme
(2-8 tahun)
12
Kajian data
retrospektif
Terapi
Subjek
Subjek
RCT
60 anak
autisme
Hasil
- Tidak ada perubahan bermakna
pada skorAutism Behavior
Checklist dan Clinical
Global Impression Scale
- Tidak didapatkan efek samping
Owley
RCT
20 anak
autisme,
usia antara
3-12 tahun
Lightdale,
dkk19
Penelitian
prospektif
open label
20 penderita
autisme,
usia rata-rata
5 tahun
18
Hasil penelitian
Metode
Roberts20
RCT
64 anak
autisme,
usia antara
2-7 tahun
TINJAUAN PUSTAKA
Tabel 7. Penelitian terdahulu tentang penggunaan suplemen
vitamin dan mineral untuk terapi autisme.
Peneliti
(tahun)
Disain
Subjek
(n)
Terapi
Hasil
Dolske, dkk
(1993)
18
Vitamin C,
8 g/70 kg/hari
Penurunan subjektif
gangguan perilaku
dan stereotipik
Finding, dkk
(1997)
10
Vitamin B6 30
mg/kg/hari dan
Mg 10 mg/kg/hari
Tolbert, dkk
(1993)
15
Martineau, dkk
(1988)
Systematic assignment,
control group
11
Vitamin B6 30 mg/
kg/hari dan Mg 10
mg/kg/hari
Penurunan dopamin
di urin, respon klinis
tidak jelas dengan
skala pengukuran
yang tidak sesuai
Martineau, dkk
(1988)
Random assignment
Vitamin B6 30
mg/kg/hari dan
Mg 10 mg/kg/hari
Bolman, dkk
(1999)
TINJAUAN PUSTAKA
Pendahuluan
utisme merupakan gangguan perkembangan yang
terutama ditandai oleh ketidakmampuan dalam
komunikasi, sosialisasi, dan imajinasi.1 Terminologi
yang sering digunakan adalah gangguan spektrum autistik/
autistic spectrum disorder, yang terdiri dari autisme, sindrom
Asperger atau Aspergers Syndrome, dan Pervasive Developmental
Disorder-Not Otherwise Specified/PDD-NOS.2,3
Gangguan spektrum autisme dinyatakan sebagai gangguan
dalam empati dan defisit pada fungsi perhatian, kontrol
motorik dan persepsi. Penderita autisme akan menunjukkan
disabilitas dalam interaksi sosial, disabilitas komunikasi dan
kelambatan fungsi berbahasa, perilaku yang terbatas dan
stereotipik, dengan onset sebelum usia 3 tahun.2
Berbagai bukti dari penelitian terdahulu menunjukkan
bahwa disfungsi otak dijumpai pada anak-anak dengan
TINJAUAN PUSTAKA
Gangguan sistem neurotransmiter sering dijumpai pada
penderita autisme, dan berhubungan dengan munculnya
gejala gangguan perilaku. Berbagai penelitian terdahulu
memperlihatkan adanya disfungsi sistem neurokimiawi
pada penderita autisme yang meliputi sistem serotonin,
norefinefrin, GABA, dan dopamin.5,6 Gangguan sistem
neurokimiawi tersebut berhubungan dengan perilaku agresif,
obsesif kompulsif, dan stimulasi diri sendiri (self stimulating)
yang berlebih.6
Permasalahan yang ada adalah bagaimana keterlibatan
disfungsi sistem serotonin pada gangguan spektrum autistik.
Tinjauan pustaka ini secara mendalam akan membahas peran
disfungsi sistem serotonin pada autisme. Berbagai terapi
farmaka yang bekerja pada sistem serotonin akan dibahas
pula. Pembahasan dititikberatkan pada peran obatobat
tersebut pada gangguan spektrum autistik.
Metode
Studi pustaka ini dilakukan secara kualitatif dengan
mengkaji berbagai penelitian terkini. Pelacakan kepustakaan
dilakukan dengan menggunakan internet, MEDLINE
database, dan pelacakan manual pada berbagai penelitian
dan kajian tentang hubungan disfungsi serotonin dan
autisme. Kata kunci yang dipergunakan adalah: autism,
serotonin, antidepressant drugs, treatment, mechanism, dan
pathophysiology.
Pembahasan
Gangguan fungsi serotonin pada penderita autisme
Serotonin dikenal juga dengan nama 5-hydroxytryptamine (5HT), suatu neurotransmiter yang dibentuk dari asam amino
tryptophan. Serotonin dimetabolisme oleh enzim monoamine
oxidase menjadi 5-hydroxyindoleacetic acid (5-HIAA), sebuah
metabolit yang dapat digunakan untuk menilai fungsi
serotonergik sentral.7
Sistem serotoninergik pada otak manusia terbagi dalam 2
bagian besar, yaitu pada bagian rostral dan kaudal. Nukleus
bagian rostral meliputi nukleus linearis, raphe dorsalis, raphe
medialis, dan raphe pontis, yang berproyeksi hampir ke seluruh
bagian otak termasuk serebelum. Sementara nukleus bagian
kaudal terdiri dari raphe magnus, raphe pallidus, dan raphe
obscuris dengan proyeksi yang lebih terbatas pada serebelum,
batang otak, dan medula spinalis.7
Serotonin disintesa dari asam amino tryptophan, tryptophan
akan dihidroksilasi oleh enzim tryptophan hydroxylase (TPH)
menjadi 5-Hydroxytryptophan yang kemudian mengalami
dekarboksilasi menjadi serotonin oleh enzim L-aromatic
amino acid decarboxylase. Metabolisme serotonin terutama
diperantarai oleh enzim MAO (Mono Amine Oxidase) menjadi
5-hydroxyindoleactic acid (5-HIAA).7
Serotonin yang dilepaskan ke celah sinaps akan mengalami
satu atau lebih kejadian berikut: (1) difusi dari sinaps, (2)
dimetabolisme oleh enzim MAO, (3) mengaktivasi reseptor
174
TINJAUAN PUSTAKA
di raphe nuclei. Hyperserotonemia pada penderita autisme
terutama dijumpai dengan adanya peningkatan serotonin
pada platelet. Peningkatan serotonin pada platelet dapat
disebabkan oleh karena ambilan atau uptake platelet yang
berlebih atau karena pelepasan atau release serotonin dari
platelet yang kurang. Kadar serotonin yang kurang di sinaps
atau neuron serotoninergik dapat pula disebabkan oleh
karena ambilan berlebih dari platelet.8
Perilaku melukai diri sendiri atau self injurious behaviors
merupakan masalah yang sering dijumpai pada gangguan
perkembangan pervasif atau autisme. Gangguan sistem
serotonin diduga berperan dalam perilaku melukai diri sendiri
dengan cara mengganggu pengendalian impuls. Gangguan
pengendalian impuls disebabkan oleh menurunnya aktivitas
dan fungsi 5-HT impuls. Sistem serotonin yang hiperaktif
dihubungkan dengan perilaku eksplorasi, mengambil risiko,
ide bunuh diri, perilaku impulsif dan agresif, sementara sistem
serotonin yang hipoaktif menyebabkan temperamen yang
pasif impuls.12
Isolasi sosial pada awal kehidupan akan memicu
perilaku melukai diri sendiri, hal ini dihubungkan dengan
berkurangnya cabang-cabang dendrit pada korteks dan
serebelum, perubahan anatomis pada striatum dan hipokampus, dan menimbulkan gangguan pada kadar regional
neurotransmiter norepinefrin, dopamin, serotonin, substansia
P, dan leucine-enkephalin.12 Berbagai penelitian eksperimental
memperlihatkan adanya hubungan terbalik antara kadar
asam 5-hydroxyindole acetic acid sebagai metabolit serotonin
dengan perilaku kekerasan, mengambil risiko, dan mencederai
diri sendiri impuls.12,13
Serotonin berperan dalam pengaturan perkembangan
otak, dengan mengatur divisi sel, diferensiasi sel,
pertumbuhan neuron dan sinaps, dan pengaturan faktorfaktor neurotropik.14 Peranan neurotransmiter serotonin
pada autisme ditunjukkan dengan hiperserotonemia pada
penderita autisme, perbaikan gejala regresi dan stereotipi
dengan pemberian obat-obat penghambat reuptake serotonin,
dan pengurangan tryptopan akan memperburuk gejala
autisme. Penderita autisme mengalami gangguan dalam
kapasitas sintesis serotonin pada masa anak-anak.14
Pada penderita epilepsi dengan autisme, serotonin
memiliki peran tersendiri dalam munculnya gangguan
perilaku. Timbulnya gangguan perilaku dan afektif pada
penderita autisme dengan epilepsi atau abnormalitas
gelombang EEG diperkirakan terjadi melalui mekanisme
kindling seizure pada amigdala. Kindling memperlihatkan
sebuah model progresivitas kerusakan neuron akibat pacuan
berulang baik subkonvulsif maupun konvulsif.15
Neurotransmiter serotoninergik diperkirakan ikut
berperan dalam terjadinya kindling pada amygdala, pemberian
agonis 5-HT1A akan menghambat pembentukan kindling,
sementara percepatan kindling teramati setelah pemberian
5-HT2A. Serotonin berperan dalam pembentukan kindling
175
TINJAUAN PUSTAKA
Tabel 1. Penelitian-penelitian terdahulu tentang penggunaan
fluoxetine untuk terapi autisme19-22
Disain
Terapi
Subjek
Hasil penelitian
Perbaikan pada Global
Clinical Impressions
pada 15 (65%) subjek
Fluoxetine
20-80 mg/hari
23 penderita
autisme
Fluoxetine
37 anak
Perbaikan pada Independent
autisme usia
Developmental Testing
antara 2-7 tahun pada 22 (59%) subjek
Kajian data
retrospektif
Fluoxetine
20-80 mg/hari
7 pasien usia
9-20 tahun
Perbaikan Abberant
Behaviour Checklist
dalam hal iritabiltas 21%,
letargi 37%, stereotipik 27%,
dan gangguan bicara 21%
Fluoxetine
20 mg/hari
12 pasien usia
3-13 tahun
129 anak
autisme
usia 2-8 tahun
Perbaikan pada
Global Clinical Impressions
Respon pada Autism
Diagnostic Observation
Schedule
- Sangat baik pada 17% kasus
- Baik pada 52% kasus
- Buruk pada 31% kasus
TINJAUAN PUSTAKA
Abstrak. Sepsis adalah respon inflamasi sistemik akibat infeksi. Mekanisme terjadinya sepsis masih merupakan
mekanisme yang tidak sepenuhnya jelas. Sepsis yang sebelumnya dianggap sebagai peningkatan respon
inflamasi ternyata juga peningkatan respon antiinflamasi. Pada sepsis ternyata terjadi keadaan imunosupresif
di mana didapatkan peningkatan respon antiinflamasi, anergi dan apoptosis sel imun. Peranan genetik
juga berpengaruh pada prognosis dari sepsis. Pengobatan kortikosteroid masih merupakan kontroversi.
Penelitian-penelitian terbaru membuktikan bahwa penggunaan kortikosteroid dosis tinggi tidak ada
manfaatnya pada terapi sepsis dan syok sepsis. Beberapa penelitian baru menunjukkan bahwa pemberian
kortikosteroid dosis rendah, dosis fisiologis dapat mengembalikan stabilitas hemodinamik, perbaikan fungsi
organ dan menurunkan mortalitas. Tetapi belum banyak studi yang membuktikan hal tersebut. Pengobatan
kortikosteroid dosis rendah sebaiknya diberikan pada penderita sepsis dengan disertai adanya adrenal
insufisiensi.
Kata kunci: sepsis, kortikosteroid, proinflamsi, antiinflamasi
Pendahuluan
epsis adalah merupakan respon inflamasi yang bersifat
sistemik akibat adanya infeksi berat. Respon imun
sistemik muncul setelah respon imun lokal tidak
berhasil mengeliminasi antigen dengan baik. Respon ini
dikenal sebagai istilah Systemic Inflammatory Responses
Syndrome (SIRS). Keberhasilan dari respon ini ditentukan
oleh kekuatan proses inflamasi dan keseimbangan antara
respon inflamasi dan kompensasi respon antiinflamasi.1,2
Beberapa istilah yang harus dipahami sehubungan dengan
sepsis antara lain infeksi, bakterimia, SIRS, sepsis, severe
sepsis, syok sepsis, dan Multiorgan Dysfunction (MOD). Infeksi
adalah respon inflamasi akibat adanya mikroorganisme atau
invasi mikroorganisme ke jaringan yang seharusnya steril.
Bakterimia adalah ditemukannya bakteri pada darah. Systemic
Inflammatory Responses Syndrome adalah respon inflamasi
sistemik akibat berbagai sebab dengan 2 atau lebih manifestasi
berikut: temperatur >38oC atau <36oC, denyut jantung >90
kali/menit, respirasi >20 kali/menit atau PaCO2 <32 mmHg,
dan leukosit >12.000/mm2, <4.000/mm2 atau >10% bentuk
(band) immature. Sepsis adalah respon inflamasi sistemik
TINJAUAN PUSTAKA
semakin diperdebatkan dalam hal patogenesis dan terapi
yang terus berkembang. Terapi kortikosteroid telah dimulai
sejak tahun 1950 ternyata masih menjadi perdebatan.
Pada tinjauan pustaka ini akan kami uraikan secara praktis
penggunaan kortikosteroid dalam terapi sepsis.1,2,5
Patofisiologi Sepsis
Sistem kekebalan alami (nonspesifik) adalah pertahanan
lini pertama tubuh terhadap infeksi yang diaktifkan bila ada
patogen masuk melewati pertahanan fisik, mekanik dan
kimiawi tubuh. Sistem kekebalan alami bisa berupa seluler
yang terdiri dari sel monosit, makrofag, neutrofil, eosinofil dan
sel Natural Killer (NK) dan humoral berupa protein terlarut
seperti komplemen, C Reactive Protein (CRP) dan sitokin.
Sistem kekebalan yang didapat (spesifik) akan membantu
sistem kekebalan alami melalui aktivitas dari sel limfosit.
Limfosit T bersifat seluler dan limfosit B bersifat humoral.
Sistem imun akan diaktifkan oleh protein patogen yang
dapat berasal dari berbagai jenis mikroorganisme, misalnya
endotoksin (lipopolysaccharide), peptidoglycan, lipoechoic acid,
lipopeptide, flagelin, mannan dan RNA virus. Kegagalan sistem
imun mengatasi infeksi dan menimbulkan reaksi imun yang
tidak sesuai dikatakan sebagai sepsis.4 Elemen kunci pada
patofisiologi sepsis adalah sitokin. Sitokin yang dihasilkan
oleh sel yang mengalami injuri bersifat sebagai peptida
imunoregulator yang polimorfik. Sitokin Tumor Necrosing
Factor (TNF), interleukin(IL)-1 dan IL-8 sebagai sitokin
proinflamasi dan IL-6, IL-10 sebagai sitokin antiinflamasi.6
Toksin mikroba akan merangsang produksi TNF dan IL-1
menyebabkan terjadinya adhesi dari lekosit pada endotel dan
mensekresi protese dan metabolit arakidonat. Hal ini akan
mengaktifasi sistem pembekuan.6 Jadi ada beberapa faktor
yang berperan pada proses ini, yaitu: respon tubuh, peranan
sel endotel dan monosit dan aktivasi sistem inflamasi dan
koagulasi. Ketiga hal ini berperan dalam menentukan
prognosis dari pasien sepsis. Inflamasi dan koagulasi
merupakan 2 keadaan yang akan saling berpengaruh untuk
menentukan prognosis pasien yang mengalami infeksi.
Respon
antiinflamasi
lokal
Luka awal
(bakteri, virus,
kondisi traumatis,
termal)
Sebaran sistemik
mediator proinflamasi
Sebaran sistemik
mediator antiinflamasi
Reaksi
sistemik:
SIRS (proinflamasi)
CARS (antiinflamasi)
MARS
(campuran)
C
Cardiovascular
compromise
(syok)
SIRS
Predominate
H
Homeostatis
A
Apoptosis
(sel-sel mati)
Kematian
Keseimbangan dengan inflamasi
CARS dan SIRS
minimal
O
Disfungsi organ
S
Supresi sistem
organ
SIRS
mendominasi
CARS
mendominasi
TINJAUAN PUSTAKA
179
TINJAUAN PUSTAKA
Tabel 1. Efek kortikosteroid sebagai antiinflamasi1
Efek pada lipokortin:
1. Meningkatkan respon PMN pada rangsangan
2. Hambatan phospholipase A2 dan cegah aktivasi
prostaglandin
3. Perubahan membran sel pada pengikatan kalsium
4. Hambat kemampuan netrofil untuk melepaskan metabolit
oksigen aktif
Efek pada interleukin:
1. Hambat sintesis IL-1 dan hambat IL-6
2. Menurunkan waktu paruh mRNA IL-3
3. Down egulasi sitokin dan growth factor
4. Cegah TNF dan IL-1 dilepas oleh sel mononuklear
Efek pada netrofil:
1. Stabilisasi lisosom neutrofil
2. Hambat pelepasan enzim lisosom
3. Menormalkan respon inflamasi
4. Cegah hiperagregasi dan adesi lekosit oleh endotoksin
Lain-lain:
1. Cegah aktivitas kaskade koagulasi
2. Hambat sintesis NO eksogen
3. Menurunkan platelet-activating factor selama rangsangan
endotoksin
180
B
Fungsi nonstres normal
hipofisis andrenal
Hipotalamus
Corticotropin
releasing hormonie
C
Fungsi normal aksis hipotalamushipofisis-adrenal selama sakit
Mengurangi
asupan balik
Kortikotropin
melepaskan
hormon
Stress sitokin
Pelepasan hormon
kortikotropin
penyakit sistem
saraf pusat,
kortikostroid
Apoplexy hipofisis,
kortikosteroid
Hipofisis
Kortikotropin
Kortikotropin
Kortikotropin
Andrenal
Sitokin anastesi,
antiinfeksi,
kortikosteroid
hemorrhage
infeksi termasuk
infutrasi HIV
Sitokin, aktivasi
kortikostenoid lokal
Aksis normal
pada jaringan
Meningkatkan aksi
pada jaringan
Menurunkan aksi
pada jaringan
TINJAUAN PUSTAKA
Pemberian kortikosteroid
dosis tinggi didasarkan pada
asumsi bahwa pemberian
kortikosteroid dosis tinggi
akan dapat menguatkan efek
antiinflamasi untuk melawan
efek proinflamasi yang
tidak terkontrol.
Daftar Pustaka
1. Chacko J. Steroid in sepsis. Crit Care & Shock 2004; 7:129-33
2. Aird WC. The role of the endothelium in severe sepsis and multiple
dysfunction syndrome. Blood 2003; 101:3765-77
3. Abraham E, Matthay MA, Dinarello CA, et al. Consensus conference
definitions for sepsis septic shock, acute lung injury, and acute
respiratory distress syndrome: time for a reevaluation. Crit Care
Med 2000;28:232-5.
4. Bochud PY, Calandra. Pathogenesis of sepsis: new concepts and
implications for future treatment. BMJ 2003; 326:262-6
5. Sessler CN. Steroid for septic shock. Back from the dead?(Con).
Chest 2003; 123:482S-489S
6. Wheeler AP, Bernard GR. Treating patients with severe sepsis. N Engl
J Med 1999; 340:207-14
7. Bone RC, Grodzin CJ, Balk RA. Sepsis: a new hypothesis for pathogenesis of the disease process. Chest 1997; 112:235-43
8. Hotchkiss RS, Karl IE. The pathophysiology and treatment of sepsis.
N Engl J Med 2003; 384:138-50
9. Cooper MS, Stewart. Coricosteroid insuffeciency in acutle ill patients.
N Engl J Med 2003; 348:727-34
10. Lamberts SW, Bruining HA, DeJong FH. Corticosteroid therapy in
severe illness. N Engl J Med 1997; 337:1285-92
11. Minneci PC, Deans KJ, Banks SM, et al. Meta-analysis: the effect of
steroid on survival and shock during sepsis depends on the dose. Ann
Intern Med 2004; 141:47-56
12. Luce MJ. Physician should administer low dose corticosteroid
selectively to septic patients untill an ongoing trial is completed.
Ann Intern Med 2004; 141:70-2
13. Bornstein SR. A new role for glucocorticoid in septic shock. Am J
Respir Crit Care Med 2003; 167:485-9
14. Balk RA. Steroid for septic shock. Back from the dead?(pro). Chest
2003; 123:490S-499S
15. VanAmersfoort ES, VanBerkel TJ, Kuiper J. Receptors, mediators, and
mechanism involved in bacterial sepsis and septic shock. Clin
Microbiol R 2003; 16:379-414
16. Burry LD, Pharm B. Role of corticosteroids in septic shock. Annals
Pharm 2004; 38:464-72(abstract)
17. Annene D, Bellisant E, Bollaert PE, et al. Corticosteroid for severe
sepsis and septic shock: a systematic review and meta-analysis.
BMJ 2004; 329:480
181
TINJAUAN PUSTAKA
Abstrak. Herpes genital (HG) disebabkan oleh virus herpes simpleks (VHS) yang bermanifestasi sebagai papule vesicle
yang dengan mudah menjadi ulkus dangkal pada genital. Infeksi HG dapat berupa infeksi primer, rekuren dan bahkan
asimptomatis sehingga dengan mudah dapat menular kepada orang lain. Infeksi HG prevalensinya makin meningkat
dan memudahkan transmisi infeksi HIV maupun penyakit menular seksual lainnya. Manifestasinya dapat ringan
maupun berat pada penderita imunocompromise sehingga penting untuk diketahui patogenesis dan respon imun
tubuh terhadap infeksi VHS. Pada tulisan ini akan diuraikan tentang karakteristik VHS, patogenesis infeksi VHS pada
mukokutan, diagnosis HG serta respon imun tubuh terhadap infeksi VHS baik yang bersifat alamiah dan adaptif.
Kata kunci: Herpes genital, patogenesis, diagnosis, karakteristik, respon imun
Pendahuluan
erpes Genitalis (HG) adalah infeksi genital yang
disebabkan oleh virus herpes simpleks (VHS)
ditandai secara klasik dengan timbulnya erupsi
papulovesikular dengan dasar eritema pada kulit, dan pada
mukosa dengan mudah menjadi ulkus dangkal. Virus Herpes
Simpleks merupakan virus DNA dari famili Herpesviridae
dan menginfeksi epitel mukokutan secara inokulasi langsung
melalui lesi abrasi. Pada saat terjadinya infeksi di mukokutan,
VHS juga menginfeksi sel saraf sensoris, menuju ganglion
sakralis (S2-S4), selanjutnya menetap sebagai infeksi laten.
Pada beberapa keadaan seperti adanya trauma lokal, menstruasi,
stres emosi, demam, dan paparan sinar ultraviolet, VHS ini
mengalami reaktivasi, secara axonal kembali ke mukokutan
dan memberikan gambaran klinis sebagai infeksi rekuren.1-8
Prevalensi HG di Amerika Serikat meningkat dari 100.000
di tahun 1970-an menjadi 200.000 di tahun 1990. Hal ini di
samping karena jumlah kasus yang memang meningkat, juga
disebabkan karena perbaikan dalam menegakkan diagnosis
dan meningkatnya kepedulian pasien.9 Pada tahun 1988-1994,
seroprevalensi VHS-2 pada penduduk Amerika Serikat yang
berusia di atas 12 tahun sebesar 21,9% dari 45 juta penduduk
yang terinfeksi. Saat ini secara nasional di Amerika Serikat
dideteksi VHS-2 positif pada 1 dari 5 orang yang berusia di atas
12 tahun.6 VHS-1 sebagai penyebab HG di Amerika Serikat
182
TINJAUAN PUSTAKA
VHS-2. Strain VHS-1 umumnya diisolasi dari labia, fasial dan
okular sedangkan strain VHS-2 dari lesi genital dan dari bayi
baru lahir yang terinfeksi lewat jalan lahir. Akan tetapi kedua
strain ini dapat dijumpai pada tempat yang sebaliknya. Kedua
strain ini sulit dibedakan dari patogenesisnya, hanya disebutkan
bahwa VHS-2 lebih sering menimbulkan infeksi rekuren pada
daerah genital daripada oral dan demikian sebaliknya.2,3
VHS mempunyai genom yang linier, double stranded DNA,
dengan ukuran 160 x 103 kDa, dikelilingi selubung protein
dan amplop lipid. Virion VHS terdiri dari inti DNA, kapsid
ikosahedral berdiameter 100 nm dengan permukaannya ditutupi
Patogenesis
VHS masuk ke dalam tubuh manusia untuk pertama kali
(infeksi inisial, infeksi primer) melalui kontak virus dengan
mukosa atau lesi abrasi. VHS-2 menginfeksi pejamu di mukosa
genital dan mengadakan replikasi dalam sel epitel. Virus
memasuki sel secara fusi dimulai dengan glikoprotein amplop
VHS mengikat reseptor spesifik sel pejamu, yaitu heparin sulfat
permukaan sel. Nukleokapsid ditransfer ke inti sel pejamu
melewati sitoplasma, terjadi uncoating (selubung VHS lepas),
dan akhirnya genom (DNA) VHS ditransfer ke inti sel pejamu.
Setelah terjadi fusi amplop virion dengan membran sel pejamu,
beberapa protein virus dilepaskan dari virion VHS. Beberapa
protein tersebut menghentikan sintesa protein pejamu dan
yang lainnya menghidupkan transkripsi early-genes untuk
replikasi VHS. Early genes atau gen alfa diperlukan untuk
sintesis kelompok polipetida, atau gen beta yang merupakan
protein regulator dan enzim yang diperlukan untuk replikasi
DNA. Kelompok gen VHS yang ketiga adalah gen gamma
yang dibutuhkan untuk replikasi DNA, yaitu untuk ekspresi
dan penggantian protein struktural virus. Setelah replikasi
genom virus dan pembentukan protein struktural virus,
nukleokapsid di susun di inti sel pejamu. Pembentukan amplop
melalui budding melewati membrana inti, ruang perinuclear
dan akhirnya virion ditransfer melalui retikulum endoplasma
dan apparatus golgi ke permukaan sel. Seluruh siklus replikasi
ini membutuhkan waktu 12-16 jam.14,15
Replikasi VHS dalam sel epidermis dan dermis menghasilkan kerusakan sel dan inflamasi. Secara klinis tampak lesi
vesikular di atas kulit eritem dan secara mikroskopis dijumpai
multinucleated giant cells, nekrosis sel setempat dan degenerasi
balon pada sel yang terinfeksi. Infeksi virus menyebabkan
degenerasi balon dengan kromatin yang padat di dalam inti sel,
diikuti degenerasi selular inti sel parabasal dan sel intermediate.
Sel yang terinfeksi kehilangan kontak dengan plasma membran
dan membentuk multinucleated giant cells. Bila sel mengalami
lisis akan terlihat sebagai vesikel pada lapisan epidermis dan
dermis. Cairan vesikel mengandung depris sel, sel-sel inflamasi,
dan multinucleated giant cell. Pada lapisan subdermis terjadi
respon inflamasi yang intens dan penyembuhan pada kulit di
mulai dengan vesikel menjadi pustul dan akhirnya menjadi
krusta. Pada mukosa tidak terbentuk krusta tetapi mudah
menjadi ulkus dangkal. Pada infeksi inisial penyebaran infeksi
virus dapat melalui sistem limfatik ke limfonodi regional.
Saat infeksi inisial, virus secara asenden mencapai neuron
sensoris perifer dan mengalami latensi pada ganglia saraf sensoris
maupun autonom serta mempunyai hubungan permanen
antara virus dengan pejamu. Saat latensi di ganglion dorsalis,
virus melakukan replikasi dalam jumlah sangat terbatas dan
transkripsi yang terjadi dikenal dengan LAT (latentcy associated
transcripts).2,8,15-17
Pada model binatang percobaan, VHS terdeteksi di neuron
ganglion 2 hari setelah infeksi. Replikasi virus dalam jaringan
saraf terbatas tetapi mempunyai kemampuan untuk migrasi
183
TINJAUAN PUSTAKA
kembali ke akson dekat tempat inokulasi awal sehingga dapat
memperjelas luasnya area permukaan yang terlibat pada infeksi
primer. Pada penderita yang imunokompeten replikasi virus ini
terkendali dan terjadi penyembuhan (reepitealisasi).3
Reaktivasi dan replikasi VHS laten (infeksi rekuren) terjadi
karena adanya stimuli multipel seperti dengan adanya pajanan
sinar ultraviolet, immunsupreisan, demam, infeksi dan trauma
pada neuron yang terinfeksi. Virus diantarkan di kulit kembali
melalui saraf sensoris tepi dan mengadakan replikasi lagi di
epidermis. Gejala yang timbul lebih ringan dibandingkan infeksi
inisial, tergantung dari jumlah virus yang mengalami replikasi,
virulensi strain VHS dan status imun penderita. Reaktivasi
dan replikasi virus dapat terjadi secara periodik pada penderita
asimtomatis dan pada fase ini virus dapat dideteksi walaupun
tanpa gejala dan tanda dari penyakit.10,15
Respon Alamiah dan Adaptif Tubuh terhadap Infeksi VHS
Virus adalah mikroorganisme obligat intraselular dan
saat masuk ke dalam sel epitel, pertama kali direspon tubuh
pejamu melalui barier mekanis, misalnya pada genitalia wanita,
dengan adanya mukus, flora normal dan glikokaliks. Sekresi
tersebut mengandung pula komplemen dan IgM alamiah
yang akan mengurangi jumlah sel yang terinfeksi akan tetapi
bila virus dapat menembus pertahanan ini tubuh berespon
dengan stimulasi respon imun alamiah lainnya. Replikasi virus
mengaktifkan komplemen, stimulasi kemokins dan interferon
(IFNab). Substansi-substansi ini mengaktifkan endotel kapiler,
menjadi bocor (leaky) dan mengekspresikan molekul adesi.
Substansi tersebut pula yang mengaktifkan sel dentritik dan
makrofag residen untuk mempresentasikan patogen. Sel
dentritik imatur memakan antigen atau partikel VHS dan
mengantarkan ke limfonodi regional untuk aktivasi sel T
sebagai permulaan respon imun adaptif. Saat sel dentritik keluar
dari mukosa yang terinfeksi, terjadi influks neutrofil, monosit
dan sel pembunuh alami, atau sel NK (natural killer). Sel-sel
ini melewati kapiler endotel yang teraktifasi dan mengikuti
kemokins di tempat yang terinfeksi. Sel- sel ini berusaha untuk
memfagositosis partikel virus dan sel-sel yang terinfeksi.13
Respon imun alamiah (innate) yang paling berperan
terhadap infeksi virus adalah interferon tipe I (IFN) dan
dimediasi oleh sel NK. Sel yang terinfeksi virus secara langsung
memproduksi IFN dan menginduksi sel yang belum terinfeksi
virus ke dalam antiviral state (keadaan di mana sel-sel pejamu
mendapatkan kekebalan terhadap infeksi virus). IFN gamma
mengaktifkan sel NK dan memfokuskan sel ini pada tempat
infeksi. Sel NK juga merupakan mediator utama dalam antibodydependent cellular cytotoxicity (ADDC), yaitu sitotoksisitas sel
yang tergantung antibodi. Sel NK melisiskan sel yang telah
terinfeksi dan berperan penting sebelum terbentuknya respon
imun yang adaptif. Sel NK aktif dapat terdeteksi 2 hari setelah
infeksi virus. Sel NK mengenali sel yang terinfeksi karena tidak
terekspresikan MHC kelas I.13,18-21
Respon imun adaptif dimulai dengan adanya sel
184
TINJAUAN PUSTAKA
disebut infeksi rekuren.22,23
Diagnosis
1. Manifestasi klinis
Gambaran klinis HG primer dan HG rekuren sangat berbeda.
Pada infeksi primer disertai dengan adanya gejala sistemik
(demam, nyeri kepala, malaise dan myalgia), durasi penyakit
lebih lama (bisa sampai 20 hari), lesi genital yang multipel
dan disertai lesi ektragenital. Gejala lokal antara lain: nyeri,
gatal, disuria, discar uretra atau vagina, dan pembengkakan
limfonodi inguinal. Lesi klasik dimulai dengan makula dan
papul yang berkembang menjadi vesikel, pustul dan ulkus.
Kulit akan menjadi krusta sedangkan pada mukosa terjadi
ulkus dangkal.10 Penderita yang mengalami infeksi primer
(baik infeksi VHS1 atau VHS2) mengalami gejala penyakit
yang lebih berat dibandingkan yang secara klinis ataupun
serologis telah terinfeksi VHS-1 sebelumnya. Hal ini
disebabkan karena pada infeksi berikutnya sudah terbentuk
antibodi spesifik dan infeksi VHS-1 dapat memberikan
proteksi parsial terhadap infeksi VHS-2.24
Gambaran klinis herpes genitalis rekuren lebih terlokalisasi
di genital area. Gejala nyeri, gatal lebih ringan dibandingkan
pada infeksi primer. Pada infeksi rekuren, 90% didahului
adanya gejala prodromal sebelum timbul erupsi. Gejala
prodromal hanya berupa rasa tingling selama 0,5 sampai 48
jam, akan tetapi dapat pula disertai nyeri menusuk pada
pantat, paha dan pinggang yang dapat berlangsung 1-5 hari
sebelum timbul erupsi.
2. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang sangat diperlukan bila secara klinis
tidak menunjukkan gejala dan tanda khas (klasik) apalagi
pada herpes genitalis dapat bersifat asimtomatis sehingga
penderita tidak menyadari menjadi sumber penularan.
Kultur viral dan viral typing masih merupakan baku emas
dalam mendiagnosis infeksi herpes dengan spesifisitas
100% akan tetapi sensitivitasnya tergantung dari episode
infeksinya. Pada infeksi primer sensitivitasnya 74% dan
50% pada infeksi rekuren. Sampel sebaiknya diambil pada
awal penyakit dan tidak melewati fase erupsi vesikuler.
Sel yang terinfeksi virus banyak didapatkan pada tepi dan
di dasar lesi. VHS adalah virus yang tumbuh cepat dan
memperlihatkan efek sitopatik pada kultur sel dalam 24
jam. Virus ini dapat diisolasi dalam berbagai sel, seperti
sel embrionik paru manusia, ginjal kelinci, HEp2 (berasal
dari karsinoma laring manusia) dan A549 (karsinoma paru
manusia).4,15,17,25
Deteksi antigen VHS dapat dilakukan dengan metode
PCR (polymerase chain reaction) walaupun penggunaannya
masih terbatas untuk penelitian. Metode ini mempunyai
spesifisitas dan sensitivitas yang lebih tinggi dari kultur.
Pemeriksaan ini berdasarkan amplifikasi DNA VHS dan
hasil dapat diketahui dalam 2 hari.18,26,27
Tes Tzanck (pemeriksaan sitologi) bertujuan untuk
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006
185
TINJAUAN PUSTAKA
Kesimpulan
Virus herpes simpleks (VHS) adalah virus double standed
DNA yang terdiri dari dua serotipe VHS1 dan VHS2. VHS
sebagai penyebab herpes genital menginfeksi tubuh melalui lesi
abrasi yang secara klinis dapat ditegakkan dengan dijumpai lesi
papul vesikel yang menjadi ulkus dangkal pada area genital.
Pemeriksaan penunjang sederhana yang dapat dikerjakan
adalah tes Tzanck dengan menemukan multinucleated giant cell
sedangkan secara serologis dengan pemeriksaan Herpes Western
Blot, Herpect Select (Elisa dan Immunublot Kit) dan POC Rapid
Test.
Herpes genital masih merupakan penyakit menular seksual
yang tidak dapat sembuh permanen. Berat ringannya penyakit
yang diakibatkan virus ini tergantung oleh respon imun tubuh
dalam usahanya mengeliminasi virus. Respon imun pada
penderita dengan infeksi VHS terdiri dari respon imun alamiah
dan adaptif, baik selular maupun humoral. Virus yang berada
di ekstraselular dihambat oleh INF dan antibodi netralisir
sedangkan yang berperan dalam menghambat virus intraselular
adalah sel NK dan sel CD8 sitotoksik. Akan tetapi infeksi VHS
tetap dapat berlangsung seumur hidup karena selalu adanya
upaya penghindaran VHS terhadap sistem imun pejamu.
Daftar Pustaka
1. Crumpacker CS. Herpes simplex. In: Freeberg IM, Eisen AZ, Wolff K,
Austen KF, et al.(eds). Dermatology in General Medicine. 4th ed. New
York:McGraw-Hill, 1999.p.2414-25
2. Pertel PE and Spear PG. Biology of herpesviruses. In: Holmes KK,
Sparling PF, Mardh PA, et al.(eds). Sexually Transmitted Diseases.
3rd ed. New York:McGraw-Hill; 1999.p.269-78
3. Corey L and Wald Ann. Genital herpes. In: Holmes KK, Sparling PF,
Mardh PA, et al.(eds). Sexually Transmitted Diseases. 3rd ed. New
York:McGraw-Hill; 1999.p.285-306
4. Oates JK. Anogenital herpes. In: Csonka and Oates (eds). Sexually
Transmitted Diseases. A Textbook of Genitourinary Medicine. London:
Bailleire Tindall; 1990.p.129-51
5. Berger TG, James WD, and Odom RB (eds). Herpes simplex. In:
Andrews Diseases of the Skin. 9th ed. Philadelphia:WB Saunders
Company; 2001.p.473-82
6. Habib TP. Genital herpes simplex. In: Clinical Dermatology. 4th ed.
Edinburgh:Mosby; 2004.p.346-55
7. Heaton CL. Herpes simplex. In: Moschella SL and Hurley HJ (eds).
Dermatology. 3rd ed. Philadelphia:WB Saunders Company; 1992.
186
p.791-6
8. Patel R. Genital Herpes. In: Medicine International. Vol 36; 1996.p.80-2
9. Patrick TB, Johnson RA, Surmond D, et al. Herpes simplex virus: Genital
infection. In: Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology, 4th ed.
International Edition; 2001.p.874-81
10. Kimberlin DW and Rouse DJ. Genital herpes. N Engl J Med 2004;
350:1970-7
11. Arvin AM. Herpes simplex virus type 2. A persistent problem. N Engl
J Med 1997; 337:1158-9
12. Roe VA. Living with genital herpes. How effective is antiviral therapy?
J Perinat Neonat Nurs 2004; 18(3):206-15
13. Ashley RL and Wald A. Genital herpes: Review of the epidemic and
potensial use of type-spesific serology. Clinical Microbiology
Review 1999; 12(1):1-8
14. Brooks GF, Butel JS, and Ornston LN. Herpes viruses. In: Jawets,
Melnick and Adelbergs. Medical Microbiology. 20th ed. London:
Prentice International Hall; 1995.p. 358-67
15. Duerst RJ and Morrison LA. Review innate immunity to herpes simples
virus type 2. Viral Immunology 2003; 16(4):475-90
16. Whitley RJ, Kimbelin DW, and Roizman B. Herpes simples virus.
Clinical Infectious Diseases 1998; 26:541-55
17. Morrison LA. Vaccine against genital herpes. Drugs 2002; 62(8):1119-29
18. Bellanti JA. Mechanisms of immunity to viral diseases. In: Immunology
III. 2nd ed. Philadelphia:Saunders Co.; 1985.p.283-305
19. Roitt I, Brostoff J, Male D. Immunity to viruses. In: Immunology. 6th ed.
London:Mosby; 2001.p.235-42
20. Abbas AK, Lichtman AH, and Pober JS. Immunity to microbes. In:
Cellular and Molecular Immunology. 4th ed. Philadelphia:WB Saunders
Company; 2000.p.343-62
21. Mary Norval. Viral infection. In: Bos JD (ed). Skin Immune System (SIS).
2nd edition. New York:CRP Press; 1997.p.555-68
22. Lemon SM and Sparling PF. Pathognesis of sexually transmitted
viral and bacterial infections. In: Holmes KK, Sparling PF, Mardh
PA, et al.(eds). Sexually Transmitted Diseases. 3rd ed. New York:
McGraw-Hill; 1999.p.205-11
23. Janeway CA, Travers P, Walport M, et al. Failure of host defence
mechanism. In: Janeway (ed), Immunobiology. 4th ed. New York:
Garland Publishining; 2001.p.425-65
24. Xu F, Schillinger JA, Stenberg MR, et al. Seroprevalence and co
infection with herpes simples virus type 1 and type 2 in the
United Status, 1988-1994. The Journal Infectious Diseases 2002;
185:1094-24
25. Barton S, Brown D, Cowan FM, et al. National guidelines for
management of genital herpes. Diakses melalui internet http://
search epnet.com
26. Davison VE and Alderson GL. Clinical virology. In: Mahon CR (eds).
Textbook of diagnostic microbiology. Philadelphia. WB Saunders,
1995.p.796-826
27. Lowy, DR. Viral diseases: General considerations. In: Freeberg IM,
Eisen AZ, Wolff K, et al.(eds) Dermatology in General Medicine. 4th
ed. New York:McGraw-Hill; 1999.p.2389-2394
28. Cusini M and Ghislanzoni M. The importance of diagnosing genital
herpes. Journal of Antimicrobial Chemotherapy 2001;47:9-16
29. Stanberry L, Cunningham A, Mertz G, et al. Mini review: New
developments in the epidemiology, natural history and
management of genital herpes. Antiviral Research 1999; 42:1-14
30. Mark HD, Hanahan AP and Stender SC. Herpes simplex virus type 2:
An update. The Nurse Practioner 2003; 28(11):34-40
31. Wald A and Asley-Morrow R. Serological testing for herpes simplex
virus (HSV)-1 and HSV-2 infection. Clinical Infectious Diseases
2002; 35:S173-82
TINJAUAN PUSTAKA
Infeksi
Cacing Tambang
Mangatas SM Manalu*, SI Biran**
* Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam
** Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi
Bagian/SMF ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah
Denpasar - Bali
Abstrak. Infeksi cacing tambang masih menjadi masalah kesehatan yang besar di Indonesia karena merupakan
salah satu penyebab utama anemia defisiensi besi. Dan juga menyebabkan kekurangan protein. Pada akhirnya
infeksi ini dapat menyebabkan gangguan pada neonatus, hambatan tumbuh kembang balita dan penurunan
kecerdasan anak usia sekolah serta produktivitas kerja orang dewasa. Pengenalan dan pemahaman akan penyakit
yang sederhana ini serta pengkajian terapinya diharapkan akan membantu para klinisi untuk dapat melakukan
pencegahan dan diagnosis, mengingat belum ditemukannya vaksinasi dan terapi imunologis yang efektif untuk
infeksi cacing tambang.
Kata kunci: Infeksi cacing tambang, anemia, diagnosis, pencegahan
Pendahuluan
nfeksi cacing tambang pada manusia terutama disebabkan
oleh Ancylostoma duodenale (A. duodenale) dan Necator
americanus (N. americanus).1,2 Kedua spesies ini termasuk
dalam famili Ancylostomidae dari filum Nematoda.3 Selain
kedua spesies tesebut, dilaporkan juga infeksi zoonosis oleh
A. braziliense dan A. caninum yang ditemukan pada berbagai
jenis karnivora dengan manifestasi klinik yang relatif lebih
ringan, yaitu creeping eruption akibat cutaneus larva migrans.
Terdapat juga infeksi A. ceylanum yang diduga menyebabkan
enteritis eosinofilik pada manusia.2
Diperkirakan terdapat 1 miliar orang di seluruh dunia
yang menderita infeksi cacing tambang dengan populasi
penderita terbanyak di daerah tropis dan subtropis, terutama
di Asia dan subsahara Afrika. Infeksi N. americanus lebih luas
penyebarannya dibandingkan A. duodenale, dan spesies ini
juga merupakan penyebab utama infeksi cacing tambang di
Indonesia.1
Infeksi A. duodenale dan N. americanus merupakan
penyebab terpenting dari anemia defisiensi besi. Selain
itu infeksi cacing tambang juga merupakan penyebab
hipoproteinemia yang terjadi akibat kehilangan albumin
karena perdarahan kronik pada saluran cerna. Anemia
defisiensi besi dan hipoproteinemia sangat merugikan proses
TINJAUAN PUSTAKA
dan kaki, meskipun dikatakan dapat juga menembus kulit
perioral dan transmamaria. Adanya paparan berulang dengan
larva filariform dapat berlanjut dengan menetapnya cacing di
bawah kulit (subdermal). Secara klinis hal ini menyebabkan
rasa gatal serta timbulnya lesi papulovesikular dan eritematus
yang disebut sebagai ground itch.2,4,6
Dalam 10 hari setelah penetrasi perkutan, terjadi migrasi
larva filariform ke paru-paru setelah melewati sirkulasi
ventrikel kanan. Larva kemudian memasuki parenkim paruparu lalu naik ke saluran nafas sampai di trakea, dibatukkan,
dan tertelan sehingga masuk ke saluran cerna lalu bersarang
terutama pada daerah 1/3 proksimal usus halus. Pematangan
larva menjadi cacing dewasa terjadi disini. Proses dari mulai
penetrasi kulit oleh larva sampai terjadinya cacing dewasa
memerlukan waktu 6-8 minggu. Cacing jantan dan betina
berkopulasi di saluran cerna selanjutnya cacing betina
memproduksi telur yang akan dikeluarkan bersama dengan
feses manusia. Pematangan telur menjadi larva terutama
terjadi pada lingkungan pedesaan dengan tanah liat dan
lembab dengan suhu antara 23-33o C. Penularan A. duodenale
selain terjadi melalui penetrasi kulit juga melalui jalur orofekal,
akibat kontaminasi feses pada makanan. Didapatkan juga
bentuk penularan melalui hewan vektor (zoonosis) seperti
pada anjing yang menularkan A. brazilienze dan A. caninum.
Hewan kucing dan anjing juga menularkan A. ceylanum. Jenis
cacing yang yang ditularkan melalui hewan vektor tersebut
tidak mengalami maturasi dalam usus manusia.2,5,6
Cacing N. americanus dewasa dapat memproduksi 5.00010.000 telur/hari dan masa hidup cacing ini mencapai 3-5
tahun, sedangkan A. duodenale menghasilkan 10.000-30.000
telur/hari, dengan masa hidup sekitar 1 tahun.4,5
Selengkapnya siklus biologis cacing tambang dapat dilihat
pada gambar 1 berikut ini:
Larva masuk/
penetrasi ke kulit,
masuk ke aliran
darah
Larva menetas
dan berkembang
didalam
Larva
Telur dikeluarkan
bersama dengan
feces
Telur
Cacing dewasa
188
TINJAUAN PUSTAKA
laktasi dan prematuritas. Infeksi cacing tambang pada wanita
hamil dapat menyebabkan bayi dengan berat badan lahir
rendah. Diduga dapat terjadi transmisi vertikal larva filariform
A. duodenale melalui air susu ibu.1,2,5
Pada daerah subsahara Afrika sering terjadi infeksi
campuran cacing tambang dan malaria falsiparum. Diduga
infeksi cacing tambang menyebabkan eksaserbasi anemia
akibat malaria falsiparum dan sebaliknya.2
Kebanyakan infeksi cacing tambang bersifat ringan bahkan
asimtomatik. Dalam 7-14 hari setelah infeksi terjadi ground
itch. Pada fase awal, yaitu fase migrasi larva, dapat terjadi
nyeri tenggorokan, demam subfebril, batuk, pneumonia dan
pneumonitis. Kelainan paru-paru biasanya ringan kecuali
pada infeksi berat, yaitu bila terdapat lebih dari 200 cacing
dewasa. Saat larva tertelan dapat terjadi gatal kerongkongan,
suara serak, mual, dan muntah. Pada fase selanjutnya, saat
cacing dewasa berkembang biak dalam saluran cerna, timbul
rasa nyeri perut yang sering tidak khas (abdominal discomfort).
Karena cacing tambang menghisap darah dan menyebabkan
perdarahan kronik, maka dapat terjadi hipoproteinemia yang
bermanifestasi sebagai edema pada wajah, ekstremitas atau
perut, bahkan edema anasarka.1,2,4,5
Anemia defisiensi besi yang terjadi akibat infeksi cacing
tambang selain memiliki gejala dan tanda umum anemia,
juga memiliki manifestasi khas seperti atrofi papil lidah,
telapak tangan berwarna jerami, serta kuku sendok. Juga
terjadi pengurangan kapasitas kerja, bahkan dapat terjadi
gagal jantung akibat penyakit jantung anemia.3
Respons Imun Terhadap Infeksi Cacing Tambang
a. Terhadap larva filariform
Saat menembus kulit, larva filariform melepaskan bagian
luar kutikula dan mensekresi berbagai enzim yang
mempermudah migrasinya. Pada proses ini banyak larva
yang mati dan mengakibatkan pelepasan berbagai molekul
imunoreaktif oleh tubuh. Saat memasuki sirkulasi,
terutama sirkulasi peparu, larva filariform menghasilkan
berbagai antigen yang bereaksi dengan sistem imun
peparu dan menyebabkan penembusan sejumlah kecil
alveoli. Pada infeksi zoonotik (melalui vektor), terjadi
creeping eruption atau ground itch akibat terperangkapnya
larva dalam lapisan kulit, yang menyebabkan reaksi
hipersensitivitas tipe I (alergi). Jumlah larva yang masuk
ke sirkulasi jauh lebih banyak dari yang berdiam di kulit.
Pada infeksi antropofilik (langsung pada manusia) tidak
terjadi kumpulan larva di kulit.3
Antibodi humoral terhadap N. americanus hanya reaktif
terhadap lapisan dalam kutikula, hal ini menjelaskan
mengenai minimnya reaksi kulit terhadap parasit ini.
Antibodi yang berperan ialah Imunoglobulin M (IgM),
IgG1 dan IgE. Yang paling spesifik ialah IgE yang bersifat
cross reactive. Diduga reaksi hipersensitivitas tipe II
(antibody dependent cell mediated cytotoxicity) juga berperan
disini.2,3
Sistem kekebalan seluler pada infeksi cacing tambang
terutama dilakukan oleh eosinofil. Hal ini dicerminkan
oleh tingginya kadar eosinofil darah tepi. Eosinofil
melepaskan superoksida yang dapat membunuh larva
filariform. Jumlah eosinofil makin meningkat saat larva
berkembang menjadi bentuk dewasa (cacing) di saluran
cerna. Sistem komplemen berperan dalam perlekatan
larva pada eosinofil.3,7
Bukti-bukti penelitian menunjukkan bahwa eosinofil
lebih berperan dalam membunuh larva filariform, bukan
terhadap bentuk dewasa. Interleukin-5 (IL-5) yang
berperan dalam pertumbuhan dan diferensiasi eosinofil
meningkat pada infeksi larva yang diinokulasikan pada
tikus percobaan. Pada manusia hal tersebut belum
terbukti.3
TINJAUAN PUSTAKA
dewasa.3
Sitokin perangsang sel T helper 2 (Th2), yaitu IL-4,
IL-5 dan IL-13 yang merangsang sintesis IgE, merupakan
sitokin yang predominan, sedangkan sitokin perangsang
sel Th1 seperti interferon yang menghambat produksi IgE,
lebih sedikit ditemukan. Para peneliti membuktikan bahwa
IgE lebih sensitif untuk menentukan adanya infeksi baik
infeksi larva maupun cacing tambang dewasa, sedangkan
IgG4 lebih spesifik sebagai marker infeksi cacing dewasa
N. americanus. Pada infeksi A. caninum, ternyata IgE lebih
spesifik dibandingkan IgG4.2,3
Peran IgG4 belum diketahui sepenuhnya. Kemungkinan IgG4 berperan menghambat respons imun dengan
inhibisi kompetitif terhadap mekanisme kekebalan tubuh
yang dimediasi oleg IgE, misalnya aktivasi sel mast.
Imunoglobulin G4 tidak mengikat komplemen dan hanya
mengikat reseptor Fc-g secara lemah. Pada infeksi cacing
tambang didapatkan fenomena pembentukan autoantibodi IgG terhadap IgE.3
Respons imun seluler terhadap infeksi cacing tambang
dewasa adalah terutama oleh adanya respons sel Th2 yang
mengatur produksi IgE dan menyebabkan eosinofilia.
Terjadinya eosinofilia dimulai segera setelah L3 menembus
kulit dengan puncak pada hari ke 38 sampai hari ke 64
setelah infeksi.
Sel mast yang terdegradasi akibat pengaruh IgE
melepaskan berbagai protease terhadap kutikula kolagen
N. americanus. Selain itu terjadi pelepasan neutralizing
antibody terhadap IL-9, yang akan menghambat perusakan sel mast oleh enzim mast cells protease I. Cacing
tambang tampaknya lebih tahan terhadap reaksi inflamasi
dibandingkan dengan famili nematoda lainnya.3,7
TINJAUAN PUSTAKA
Tabel 1. Obat yang direkomendasikan WHO untuk infeksi cacing tambang.4
Nama Obat
Dosis dewasa 11 mg/kg/hari peroral selama 3 hari, tidak lebih dari 1 gr/hari.
Dosis anak
Kehamilan
Perhatian
Nama Obat
Dosis dewasa 100 mg per oral, 2 kali sehari selama 3 hari atau 500 mg per oral sekali
Dosis anak
Kontraindikasi hipersensitif
Interaksi
Kehamilan
Perhatian
Nama Obat
Kontraindikasi Hipersensitif
Interactions
Pregnancy
Perhatian
Nama Obat
Dosis dewasa 0.25 1.5 g per oral 2 kali sehari selama 2 hari, tidak lebih dari 3 g/hari
Dosis anak
50 mg /kg/hari per oral, dibagi dalam 2 dosis selama 2 hari, tidak lebih
dari 3 g/hari
Kontraindikasi Hipersensitif
Interaksi
Pregnancy
Perhatian
Pengawasan yang ketat pada disfungsi hati atau ginjal , sebelum memulai
terapi, terapi suportif perlu dilakukan pada pasien anemia , dehidrasi , atau
mal nutrisi digunakan bila benar ada parasit cacing (bukan profilaksis),
dapat menyebabkan mual, muntah dan depresi susunan saraf pusat.
191
ARTIKEL PENELITIAN
Abstrak.Stres oksidatif dapat terjadi akibat pemberian beban maksimal dan parasetamol secara bersamaan, yang akan
menyebabkan terjadinya kerusakan sel dan organel sel, termasuk sel hati. Banyak penelitian telah dilakukan untuk
melihat kerusakan sel hati akibat beban maksimal dengan mengukur kadar bilirubin dan SGPT darah. Penelitian yang
melihat pengaruh beban maksimal dan parasetamol serta efeknya terhadap gambaran histologis hati yang diawali
pemberian glutamin yang merupakan bahan baku glutathione nampaknya belum ada. Tujuan dari penelitian ini adalah
melihat pengaruh glutamin terhadap kadar bilirubin dan gambaran histologis hati setelah pemberian parasetamol dan
beban maksimal pada mencit. Penelitian dilakukan terhadap 40 ekor mencit jantan umur 45 bulan jenis Balb/C yang
dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu kelompok glutamin dan non-glutamin masing-masing 20 ekor. Masing-masing
kelompok dibagi menjadi 2 kelompok kecil, yaitu kelompok kontrol, kelompok renang maksimal dengan parasetamol,
masing-masing terdiri dari 10 ekor, dengan rancangan randomized control group post test only design. Terhadap
semua kelompok dilakukan pengamatan kadar bilirubin dan gambaran histologis hati setelah perlakuan. Data yang
diperoleh dianalisis dengan uji T untuk bilirubin, dan data tentang gambaran histologis hati dianalisis secara nonparametrik, yaitu dengan Mann-Whitney U dengan program SPSS. Hasil yang didapat menunjukan terjadi peningkatan
kadar bilirubin yang bermakna (p<0,05) pada kelompok glutamin dan non-glutamin setelah perlakuan. Peningkatan
bilirubin lebih tinggi pada kelompok non-glutamin dibandingkan kelompok dengan glutamin (p<0,05). Sel hepatosit
menunjukkan tingkat degenerasi, nekrosis yang lebih banyak dan peningkatan sel-sel radang setelah perlakuan
dengan glutamin dan non-glutamin (p<0,05). Kelompok non-glutamin mengalami peningkatan sel nekrosis dan sel
radang yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok glutamin (p<0,05). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan
glutamin dapat melindungi fungsi hati pada pemberian parasetamol dan beban maksimal pada mencit.
Kata kunci: Renang maksimal, glutamin, parasetamol, radikal bebas, kerusakan sel hati, mencit
Pendahuluan
ati merupakan organ tubuh yang penting dalam menjaga
dan menentukan derajat kesehatan seseorang. Dalam
menjalankan fungsi tersebut hati akan dipengaruhi
oleh berbagai faktor baik dari dalam tubuh maupun dari
lingkungan. Perkembangan teknologi yang sangat pesat saat ini
menyebabkan perubahan lingkungan yang pada akhirnya akan
berpengaruh terhadap hati. Penggunaan berbagai zat kimia baik
berupa food additive maupun berupa pestisida serta obat-obatan,
akan ikut memperberat kerja hati. Di samping itu kehidupan
yang semakin susah dan selalu dituntut untuk bekerja keras
dalam mempertahankan kehidupan, sering menyebabkan lupa
untuk mengatur waktu istirahat. Kerja keras tanpa istirahat
pada akhirnya akan membebani hati. Aktivitas fisik yang berat
ternyata akan menimbulkan perubahan metabolisme dalam
192
ARTIKEL PENELITIAN
ARTIKEL PENELITIAN
Tabel 1. Rata-rata kadar bilirubin dari ke empat kelompok percobaan
Kelompok
Std Deviasi
Rata-rata
I. 0,3557
10
0,7370
II. 0,3554
10
0,7350
III. 0,4889
10
1,2450
IV. 0,2884
10
0,8200
Keterangan:
Kelompok I:
Kelompok kontrol tanpa glutamin
Kelompok II:
Kelompok kontrol dengan glutamin
Kelompok III:
Kelompok perlakuan yang diberikan
parasetamol dan aktivitas fisik maksimal
Kelompok IV: Kelompok perlakuan yang diberikan glutamin,
parasetamol dan aktivitas fisik maksimal
Keterangan:
Skala degenerasi dan nekrosis 0= tidak ada, 1=1%-25 %, =26%50%, 3=51%-75%, 4=76%-100%. (dalam lapangan pandang 10 x)
Skala PMN dan Limfosit: 0= tidak ada, 1=1 sel-25 sel, 2=26 sel-50 sel,
3=51 sel-75 sel, 4=76 sel-100 sel. (dalam lapangan pandang 10x)
A.
Grafik 1. Perbandingan gambaran PA pada kelompok tanpa glutamin
dan kelompok dengan glutamin
Keterangan:
Skala degenerasi dan nekrosis 0= tidak ada, 1=1%-25%, 2=26%50%, 3=51%-75%, 4= 76%-100%. (dalam lapangan pandang 10x)
Skala PMN dan Limfosit: 0= tidak ada, 1=1 sel-25 sel, 2= 26 sel-50 sel,
3=51 sel-75 sel, 4=76 sel-100 sel. (dalam 10 lapangan pandang)
B.
C.
ARTIKEL PENELITIAN
Seperti telah disebutkan bahwa glutathione merupakan
antioksidan yang penting dalam sel hati yang akan mengikat
radikal bebas serta metabolit toksik parasetamol.16 Glutamin
adalah salah satu asam amino yang diperlukan untuk sintesa
glutathione dalam sel. Glutamate yang merupakan salah satu
komponen dari glutathione baru bisa terpenuhi bila ada
glutamin yang cukup dalam darah.10
D.
Pembahasan
Pada penelitian ini terjadi peningkatan kadar bilirubin darah
setelah pemberian parasetamol dan aktivitas fisik maksimal.
Parasetamol dosis tinggi akan menyebabkan kerusakan jaringan
hati melalui beberapa mekanisme, yaitu akibat dari terbentuknya
metabolit toksik atau metabolit reaktif dari parasetamol, yaitu
N-acetyl-p-benzoquinon imine (NAPQI) yang terjadi akibat
dari aktivasi enzim cytochrom P450. NAPQI akan ditoksifiksi
oleh glutathion (GSH) menjadi acetaminophen-GSH. Pada
keracunan parasetamol GSH menurun hingga 90%. Akibatnya
metabolit reaktif NAPQI akan berikatan dengan cystein group
protein membentuk acetaminophen-protein adducts baik dengan
enzim maupun protein dalam sel maupun dalam mitochondria
sehingga terjadi gangguan fungsi pada akhirnya terjadi kerusakan
sel/lisis/nekrosis. Gangguan pada mitochondria menyebabkan
kekurangan ATP. Gangguan tersebut menyebabkan hilangnya
keseimbangan ion dalam sel dan mitokondria sehingga terjadi
peningkatan kalsium sitosolik pada akhirnya menyebabkan
aktivasi protease, endonuklease dan kerusakan DNA.16 Selain
mekanisme tersebut akibat pemberian parasetamol dosis tinggi
menyebabkan stres oksidatif.
Selama pembentukan NAPQI oleh Cytochrome P450 juga
terbentuk ion superoksida yang sangat reaktif. Kurangnya
glutathion akibat NAPQI akan menyebabkan ion superoksida
tidak dapat dinetralisir sehingga terjadi stres oksidatif.
Aktivitas fisik berat yang diberikan berupa renang
maksimal pada mencit akan memperberat terjadinya stres
oksidatif karena meningkatkan terbentuknya radikal bebas2
sehingga terjadi kerusakan sel-sel hati yang terlihat dari
meningkatnya SGOT, SGPT dan bilirubin.4,17 Meningkatnya
bilirubin juga disebabkan oleh karena terjadi kerusakan otot
dan hemolisis akibat aktivitas fisik berat.3,17
Pemberian glutamin sebelum pemberian parasetamol dan
beban maksimal dapat memperingan kerusakan jaringan hati
sehingga kadar bilirubin darah lebih rendah dibandingkan
dengan tanpa glutamin.
No. 4, Vol. 19, Oktober - Desember 2006
195
ARTIKEL PENELITIAN
Pendahuluan
iga juta penduduk Amerika terdiagnosis gagal jantung
kongesti dan terdapat 500.000 kasus baru tiap tahun.
Diagnosis tersebut paling sering ditemukan pada
pasien dengan usia >65 tahun.15 Gagal jantung diastolik
diperkirakan terjadi pada 40-60% dari pasien gagal jantung
kongesti, pasien ini mempunyai prognosis yang lebih baik
dibandingkan dengan gagal jantung sistolik.13
Insidensi gagal jantung diastolik meningkat sesuai
pertambahan umur. Lima puluh persen pasien yang berusia
>65 tahun dengan gagal jantung mempunyai Isolated Diastolic
Dysfunction (IDD). Dengan diagnosis dini dan penanganan
yang tepat, prognosis disfungsi diastolik lebih baik daripada
disfungsi sistolik.12 Baik disfungsi diastolik maupun sistolik
dapat menyebabkan gagal jantung kongesti. Oleh karena itu,
pasien tidak hanya mempunyai gagal jantung sistolik murni.
Meskipun penyakit kardiovaskular tertentu seperti hipertensi
dapat menyebabkan disfungsi diastolik tanpa disertai
disfungsi sistolik.17 Terapi farmakologi yang menjadi pilihan
untuk gagal jantung diastolik adalah angiotensin converting
enzyme inhibitors, angiotensin reseptor blockers, diuretik dan beta
blocker.12
Gagal jantung diastolik tidak dapat dibedakan dari
196
ARTIKEL PENELITIAN
tingkat kepastian diagnostik (tabel 1).16
Tabel 1. Kriteria diagnostik gagal jantung diastolik16
Kriteria Definitif
Kriteria Probable*
Kriteria Possible
Dan
Dan
Dan
Ejeksi fraksi ventrikel kiri 50%
tidak dalam 72 jam kejadian CHF
Dan
Kelebihan tekanan
iskemia
Relaksasi abnormal
Relaksasi abnormal
dan Kekakuan
Kekakuan
Tekanan pengisian
ventrikel kiri
Pengisian awal
abnormal
Tekanan paru-paru
selama aktivitas fisik
Fibrilasi atrium dan
curah jantung
Toleransi aktivitas
fisik normal
Toleransi
aktivitas fisik
Gagal jantung
diastolik
Disfungsi
diastolik
Abnormalitas
diastolik
Diagnosis
Gagal jantung dapat menyebabkan kelelahan, dyspnea on
exertion, paroxysmal nocturnal dyspnea, orthopnea, distensi vena
jugularis, ronki, takikardi, bunyi jantung tiga atau empat,
hepatomegali dan edema. Kardiomegali dan kongesti vena
pulmonalis sering ditemukan pada rontgen toraks. Namun
penemuan klinis ini tidak spesifik dan sering ditemukan
pada penyakit di luar jantung seperti penyakit paru, anemia,
hipotiroidisme dan obesitas. Lebih jauh lagi sulit untuk
membedakan gagal jantung diastolik dari gagal jantung
sistolik hanya berdasarkan klinis saja.12
Test serum brain natriuretic peptide (BNP) dapat
membedakan secara akurat gagal jantung dari penyakit di
luar jantung pada pasien dengan sesak nafas, namun tidak
dapat membedakan gagal jantung diastolik dari sistolik.7
Tabel 3. Keakuratan kadar BNP dalam mendiagnosis gagal jantung7
Gagal jantung kongesti vs nonkongesti
Spesifisitas
LR+
(%)
Kadar BNP
(pg per mL)
Sensitivitas
(%)
100
90
73
4.5
0.12
95
200
81
85
5.4
0.22
89
300
73
89
6.6
0.3
400
63
91
0.41
LR-
Sensitivitas Spesifisitas
(%)
(%)
LR+
LR-
14
1.1
0.36
27
1.2
0.41
83
29
1.4
0.44
74
50
1.48 0.52
197
ARTIKEL PENELITIAN
Sebagai tambahan untuk memperoleh informasi tentang
chamber size, ketebalan dinding dan pergerakan, fungsi sistolik,
katup dan perikardium, ekokardiografi dua dimensi dengan
doppler dapat digunakan untuk mengevaluasi karakteristik
transmitral diastolik dan pola aliran vena pulmonalis.10
Pada ekokardiografi, kecepatan puncak aliran darah
melewati katup mitral selama early diastolic filing dinyatakan
sebagai gelombang E dan kontraksi atrial dinyatakan sebagai
gelombang A. Oleh karena itu ratio E/A dapat dihitung. Pada
keadaan normal, E lebih besar dari A dan ratio E/A mendekati
1,5.12
Pada disfungsi diastolik awal, relaksasi terganggu dengan
kontraksi atrial kuat, ratio E/A menurun sampai <1. Selama
perjalanan penyakit, compliance ventrikel kiri berkurang,
di mana terdapat peningkatan tekanan atrial dan akhirnya
terdapat peningkatan early left ventricular filling selain
gangguan relaksasi. Keadaan ini disebut pseudonormalisasi.
Pada pasien dengan disfungsi diastolik berat, pengisian
ventrikel kiri terjadi pada awal diastol, sehingga membuat
ratio E/A>2. Kecepatan gelombang E dan A dipengaruhi
oleh volume darah, anatomi katup mitral, fungsi katup mitral
dan atrial fibrilasi, hal ini membuat standard ekokardiografi
kurang dapat dipercaya. Pada kasus ini, tissue doppler imaging
sangat berguna untuk mengukur mitral annular motion
(pengukuran aliran transmital bergantung pada faktor-faktor
yang telah disebutkan).12
Kateterisasi jantung tetap merupakan metode yang
disarankan untuk mendiagnosis disfungsi diastolik. Namun
dalam prakteknya, ekokardiografi dua dimensi dengan
doppler merupakan alat noninvasif terbaik untuk menegakkan
diagnosis. Walaupun sangat jarang, radionuclide angiography
digunakan pada pasien yang secara teknis sulit dilakukan
ekokardiografi.12
Penatalaksanaan
Pencegahan primer gagal jantung diastolik meliputi
berhenti merokok dan penanganan agresif hipertensi,
hiperkolesterolemia dan penyakit arteri koroner. Modifikasi
gaya hidup seperti penurunan berat badan, berhenti merokok,
perubahan pola makan, pembatasan asupan alkohol dan
olahraga, efektif dalam mencegah gagal jantung diastolik dan
sistolik. Disfungsi diastolik dapat muncul beberapa tahun
sebelum terdapat bukti klinis.8
Diagnosis dan pengobatan dini sangat penting dalam
mencegah perubahan struktural ireversibel dan disfungsi
sistolik. Namun tidak ada obat tunggal yang murni lusitropic
properties (selektif meningkatkan relaksasi otot jantung tanpa
menghambat fungsi atau kontraktilitas ventrikel kiri). Oleh
karena itu, terapi medis untuk disfungsi diastolik dan gagal
jantung diastolik sering empiris dan tidak sebaik terapi gagal
jantung sistolik. Pada permukaan tampaknya terapi farmako
untuk gagal jantung sistolik dan diastolik tidak berbeda jauh.12
American College of Cardiology dan American Heart
198
ARTIKEL PENELITIAN
angiotensin II, dengan cara mengurangi cadangan kolagen
interstitial dan fibrosis. Manfaat tidak langsung dari optimalisasi
hemodinamik meliputi perbaikan pengisian ventrikel kiri
dan mengurangi tekanan darah. Lebih penting lagi, terdapat
perbaikan kapasitas kerja dan kualitas hidup.12,19
Diuretik efektif dalam penanganan optimal volume
intravaskular dan mengurangi sesak nafas dan mencegah
gagal jantung akut pada pasien dengan disfungsi diastolik.
Meskipun diuretik mengontrol tekanan darah, memperbaiki
hipertropi ventrikel kiri dan mengurangi kekakuan ventrikel
kiri, beberapa pasien dengan gagal jantung diastolik sensitif
terhadap pengurangan preload dan dapat mengakibatkan
hipotensi dan azotemia prerenal berat. Diuretik intravena
seharusnya hanya digunakan untuk mengurangi gejala akut.12
Hormon aldosteron menyebabkan fibrosis jantung
dan berperan dalam kekakuan diastolik. Efek antagonis
aldosteron, spironolactone (Aldactone) pada gagal jantung
sistolik menunjukkan penurunan angka mortalitas, sedangkan
efeknya pada disfungsi diastolik tidak jelas.12 Calcium channel
blockers telah menunjukkan dapat memperbaiki fungsi
diastolik secara langsung dengan mengurangi konsentrasi
kalsium sitoplasmik dan menyebabkan relaksasi otot
jantung atau secara tidak langsung mengurangi tekanan
darah, mencegah atau mengurangi iskemik otot jantung,
mengurangi hipertropi ventrikel kiri dan memperlambat
denyut jantung. Bagaimanapun juga nondihydropyrimidine
calcium channel blockers (seperti verapamil (Calan)),
diltiazem (Cardizem) seharusnya tidak digunakan pada
pasien dengan gangguan disfungsi ventrikel kiri. Long-acting
dihydropyrimidine (seperti amlodipine (Norvasc) seharusnya
hanya digunakan untuk mengontrol irama dan angina ketika
beta bloker kontraindikasi atau tidak efektif. Akhirnya pada
penelitian random terkontrol berskala besar, calcium channel
blockers belum terbukti menurunkan angka kematian pada
pasien dengan isolated diastolic dysfunction.4,12
Vasodilator (seperti nitrat, hydralazine (Apresoline))
mungkin berguna karena menurunkan preload dan efek
antiiskemik, khususnya ketika ACE inhibitor tidak dapat
digunakan. Vasodilator digunakan secara hati-hati karena
penurunan preload dapat memperburuk cardiac output.
Tidak seperti obat lain yang digunakan untuk gagal jantung
diastolik, vasodilator tidak mempunyai efek regresi ventrikel
kiri. Penelitian gagal jantung dengan vasodilator tidak
menunjukkan manfaat harapan hidup yang signifikan pada
pasien gagal jantung diastolik.12
Peranan digoksin masih kontroversial dalam penanganan
pasien dengan gagal jantung diastolik. Pada pasien dengan
ejeksi fraksi normal, digoksin dapat merusak fungsi jantung
dengan meningkatkan kontraktilitas dan konsumsi oksigen,
dimana oksigen menghambat kalsium klirens intraselular saat
diastolik sehingga mengganggu relaksasi diastolik. Digoksin
berperan untuk mengontrol laju ventrikel pada pasien atrial
fibrilasi atau flutter.12
Kesimpulan
Terdapat perbedaan patogenesis, prognosis dan
penanganan antara gagal jantung diastolik dan gagal jantung
sistolik. Dokter perlu mengkombinasikan informasi klinis dan
ekokardiografi untuk mengkategorikan pasien gagal jantung
diastolik. Gagal jantung diastolik diperkirakan 40-60% dari
pasien gagal jantung kongesti, pasien ini mempunyai prognosis
yang lebih baik dibanding gagal jantung sistolik. Terapi
farmakologi yang merupakan pilihan untuk gagal jantung
diastolik adalah angiotensin converting enzyme inhibitors,
angiotensin reseptor blockers, diuretics dan beta blockers.
Daftar Pustaka
1. Ahmed A, Nanda NC, Weaver MT, et al. Clinical correlates of isolated
left ventricular diastolic dysfunction among hospitalized older
heart failure patient. Am J Geriatr Cardiol 2003;12:82-9
2. Braunwald E, Michael JG, Wilson SC. Clinical aspect of heart failure.
In: Heart Disease: Textbook of Cardiovascular Medicine 6th edition.
Philadelphia:Saunders; 2001.p.534-62
3. Grossman W. Defining diastolic dysfunction. Circulation 2000;101:2020-1
4. Gutierrez C, Blanchard DG. Diastolic heart failure: challenges of
diagnosis and treatment. Am Fam Physician 2004;69:2609-16
5. Hunt SA, Baker DW, Chin MH, et al. ACC/AHA guidelines for the
evaluation and management of chronic heart failure in the
adult: executive summary. A report of the american college of
cardiology/american heart association task force on practice
guidelines. J Am Coll Cardiol 2001;38:2101-13
6. Kovacs SJ, Meisner JS, Yellin EL. Modelling of distole. Cardiol Clin
2000;18:459-87
7. Maisel AS, McCord J, Nowak RM, et al. Bedside B-type natriuretic
peptide in the emergency diagnosis of heart failure with reduced
or perseved efection fraction. Results from the breathing not
properly multinational study. J Am Coll Cardiol 2003; 41:2010-7
8. Mandinov L, Eberli FR, Seiler C, et al. Diastolic heart failure.
Cardiovascular Research 2000;45:813-25
9. McCullough PA, Philbin EF, Spertus JA, et al. Confirmation of a heart failure
epidemic: findings from the resource utilization among congestive
heart failure (REACH) study. J Am Coll Cardiol 2000;39:60-9
10. Naqvi TZ. Diastolic function assessment incorporating new techniques
in doppler echocardiography. Rev Cardiovasc Med 2003;4:81-99
11. Philbin EF, Hunsberger S, Garg R, et al. Usefulness of clinical information
to distinguish patients with normal from those with low ejection
fractions in heart failure. Am J Cardiol 2002;89:1218-21
12. Satpathy C, Mishra TK, Satpathy R, et al. Diagnosis and management
of diastolic dysfunction and heart failure. Am Fam Physician 2006;
73:841-6
13. Senni M, Redfield MM. Heart failure with preserved systolic function.
A different natural history? J Am Coll Cardiol 2001;38:1277-82
14. Tecce MA, Pennington JA, Segal BL, et al. Heart failure: clinical implications
of systolic and diastolic dysfunction. Geriatrics 1999;54:24-8, 31-3
15. van Kraaij DJ, van Pol PE, Ruiters AW, et al. Diagnosing diastolic heart
failure. Eur J Heart Fail 2002;4:419-30
16. Vasan RS, Larson MG, Benjamin EJ, et al. Congestive heart failure in
subjects with normal versus reduced left ventricular efection
fraction: prevalence and mortality in a population-based cohort. J
Am Coll Cardiol 1999;33:1948-55
17. Vasan RS, Levy D. Defining diastolic heart failure: a call for standardized
diagnostic criteria. Circulation 2000;101:2118-21
18. Warner JG, Metzger DC, Kitzman DW, et al. Losartan improves exercise
tolerance in patients with diastolic dysfunction and a hypertensive
response to exercise. J Am Coll Cardiol 1999;33:1567-72
199
207
Delon Semarakkan
Peluncuran TOXILITE
Dexa Media. Komitmen Dexa Medica Group untuk terus
mengembangkan produk-produk non-konvensional semakin
nyata. Hal ini dibuktikan dengan peluncuran Toxilite di Hard
Rock Caf Jakarta, 12 September 2006.
Penyanyi Dellon dan presenter Novita Angie, menjadi
bintang tamu yang menghangatkan suasana. Toxilite
mengandung bahanbahan alami seperti ekstrak Curcuma
xanthorizza (100 mg), Lecithin(25 mg), dan Vitamin E (100
mg). Toxilite bekerja membantu memperbaiki sel-sel hati
(liver), sehingga dapat mengoptimalkan fungsi detoksifikasi
yang dilakukan oleh hati terhadap toxin (racun) yang diserap
tubuh. Toxin tersebut bisa berasal dari lingkungan disekitar kita,
seperti: asap rokok, obat serangga, zat pengawet, zat pewarna,
pestisida, alkohol, ataupun polusi kendaraan bermotor.
Grand Launching Toxilite dikemas atraktif, dihadiri perwakilan outlet wilayah Jabodetabek, rekan-rekan Dexa Medica
Group, dan sekitar 30 media cetak dan elektronik. Sebelum
grand launching digelar, diawali dengan Konferensi Pers.
Rekan-rekan media diajak berbagi wawasan mengenai
Kiat Menetralkan Racun dalam Tubuh Secara Sehat dan
Alami. Saat itu, Bapak Ferry A. Soetikno, Corporate
Managing Director Dexa Medica Group, dan Ibu Sylvia
A. Rizal, Head of Marketing and Sales OTC Dexa Medica
sebagai narasumber, dipandu Bapak Karyanto, Corporate
208
PROFIL
PENELUSURAN JURNAL
Mulai edisi ini Dexa Media melayani permintaan penelusuran jurnal hanya dengan
melalui Tim Promosi Dexa Medica Group, apabila tidak melalui Tim Promosi Dexa
Medica Group, kami tidak melayani permintaan. Di bawah ini akan diberikan daftar
isi beberapa jurnal terbaru yang dapat anda pilih. Bila anda menginginkannya, mohon
halaman ini difotokopi, artikel yang dimaksud diberi tanda p dan dikirimkan ke alamat
redaksi.
Avian influenza: Preparing for a pandemic. American Academy of Family Physicians 2006;74:783-90
Cognitive impairment in bipolar II disorder. British Journal of Psychiatry 2006;189:254-9
Effect of celecoxib on cardiovascular eventsand blood pressure in two trials for the prevention of
colorectal adenomas. Circulation 2006;114:1028-35
Hypoglycemia in type 1 and type 2 diabetes:Physiology, pathophysiology, and management.
Clinical Diabetes 2006; 24(3):115-21
Ferritin and transferrin are both predictive ofthe onset of hyperglycemia in men and women over
3 years. Diabetes Care 2006; 29:2090-4
Effect of weight loss with lifestle intervention on risk of diabetes. Diabetes Care 2006;29:2102-7
Oral anticoagulations in development. Focus on thromboprophylaxis in patients undergoing
orthopaedic surgery. Drugs 2006; 66(11):1411-29
Pharmacological approaches to the management of cognitive dysfunction in schizophrenia. Drugs
2006;66(11):1465-73
Risk for tuberculosis among children. Emerging Infectious Diseases 2006;12(9):1383-8
Clinical events in high-risk hypertensive patients randomly assigned to calcium channel blocker
versus angiotensin-converting enzyme inhibitor in the antihypertensive and lipid-lowering
treatment to prevent heart attack trial. Hypertension 2006;48:374-84
Topical ciprofloxacin/dexamethasone superior to oral amoxicillin/clavulanic acid in acute otitis
media with otorrhea through tympanostomy tubes. Pediatrics 2006;118:561-9
Mycoplasma genitalium as a sexually transmitted infection: implications for screening, testing,
and treatment. Sexually Transmitted Infections 2006;82:269-71
Role of minimally invasive surgery in gynecologic cancers. The Oncologist 2006;11:895-901
Celecoxib for the prevention of sporadic colorectal adenomas. The New England Journal of Medicine
2006;355(9):873-84
Cerebral aneurysms. The New England Journal of Medicine 2006;355(9):928-39
211
KALENDER PERISTIWA
212