PENDAHULUAN
Pengelolaan awal pada pasien trauma memerlukan penilaian yang cepat dan
pengelolaan yang tepat guna menghindari kematian pasien. Di dunia, kematian akibat
trauma pada tahun 2000 mencapai 5 juta pasien. Kematian akibat Kecelakaan Lalu
Lintas diduga berjumlah 1 juta setiap tahun dengan 20 sampai 50 juta cedera berat
setiap tahunnya, dan merupakan penyebab utama kematian akibat trauma.
Konsep The Golden Hour menekankan pada urgensi melakukan
penanggulangan yang baik untuk mencapai hasil yang maksimum. Waktu ini
merupakan kesempatan (window of opportunity) untuk para dokter dalam mengurangi
morbiditas and mortalitas yang disebabkan oleh trauma. Perdarahan merupakan
komplikasi terbesar pada trauma. Perdarahan yang yang tidak ditangani dengan benar
akan membahayakan pasien sehingga membutuhkan resusitasi secara adekuat .
Resusitasi awal pasien trauma membutuhkan survei primer (Primary Survey),
resusitasi yang dilakukan bersamaan, dan identifikasi cedera-cedera yang
membutuhkan tindakan operasi dengan segera. Tujuan dari survei primer ini adalah
untuk dapat bertindak secara sistematik dimulai dari keadaan-keadaan yang paling
mengancam nyawa pasien. Jika terdapat suatu masalah yang mengancam nyawa
sudah terdeteksi, masalah tersebut diatasi terlebih dahulu sebelum melakukan langkah
selanjutnya dalam survei primer. Pemeriksaan dari kepala hingga kaki tidak
mendesak untuk dilakukan sebelum tanda-tanda vital stabil.
Hal-hal yang dilakukan pada survei primer biasa disingkat sebagai ABCDE,
yaitu airway, breathing, circulation, disability, dan exposure yang dilakukan selama
2-5 menit saja.2Secondary survey adalah pemeriksaan yang dilakukan dari kepala
hingga kaki (head-to-toe examination). Secondary survey dilakukan setelah primary
survey selesai, resusitasi sudah dilakukan, dan ABC pasien dipastikan membaik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Trauma Muskuloskeleteal
Trauma merupakan suatu cedera atau ruda paksa yang dapat mencederai fisik
maupun psikis. Cedera dari trauma muskuloskeletal biasanya memberikan disfungsi
struktur disekitarnya dan struktur pada bagian yang dilindungi atau disangganya.
Salah satu cedera dari musculoskeletal adalah fraktur yaitu hilangnya kontinuitas
tulang, baik yang bersifat total maupun sebagian, biasanya disebabkan oleh trauma.
Terjadinya suatu fraktur lengkap atau tidak lengkap ditentukan oleh kekuatan, sudut
dan tenaga, keadaan tulang, serta jaringan lunak di sekitar tulang.
Secara umum, keadaan patah tulang secara klinis dapat diklasifikasikan
sebagai fraktur terbuka, fraktur tertutup dan fraktur dengan komplikasi. Fraktur
tertutup adalah fraktur dimana kulit tidak ditembus oleh fragmen tulang, sehingga
tempat fraktur tidak tercemar oleh lingkungan/dunia luar. Fraktur terbuka adalah
fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan
jaringan lunak, dapat terbentuk dari dalam maupun luar.
Secara umum, keadaan patah tulang secara klinis dapat diklasifikasikan
sebagai fraktur terbuka, fraktur tertutup dan fraktur dengan komplikasi. Fraktur
tertutup adalah fraktur dimana kulit tidak ditembus oleh fragmen tulang, sehingga
tempat fraktur tidak tercemar oleh lingkungan/dunia luar. Fraktur terbuka adalah
fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan
jaringan lunak, dapat terbentuk dari dalam maupun luar. Fraktur dengan komplikasi
adalah fraktur yang disertai dengan komplikasi seperti malunion, delayed union,
nounion dan infeksi tulang.
Patah tulang terbuka menurut Gustillo dibagi menjadi tiga derajat, yang
ditentukan oleh berat ringannya luka dan fraktur yang terjadi. Tipe I: luka kecil
kurang dari 1 cm, terdapat sedikit kerusakan jaringan, tidak terdapat tanda-tanda
trauma yang hebat pada jaringan lunak. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat simpel,
tranversal, oblik pendek atau komunitif. Tipe II: laserasi kulit melebihi 1 cm tetapi
tidak terdapat 4 kerusakan jaringan yang hebat atau avulsi kulit. Terdapat kerusakan
yang sedang dan jaringan. Tipe III: terdapat kerusakan yang hebat pada jaringan
lunak termasuk otot, kulit dan struktur neovaskuler dengan kontaminasi yang hebat.
Dibagi dalam 3 sub tipe lagi tipe IIIA : jaringan lunak cukup menutup tulang yang
patah, tipe IIIB : disertai kerusakan dan kehilangan janingan lunak, tulang tidak dapat
di tutup jaringan lunak dan tipe IIIC : disertai cedera arteri yang memerlukan repair
segera.
2.1.2. Penegakan Diagnostik
Hal pertama yang dilakukan saat menghadapi pasien trauma dengan sebab apapun
ialah melakukan primary survey dalam rangka menyelamatkan pasien dari ancaman jiwa
segera. Semua tindakan pemeriksaan dilakukan sesederhana mungkin dan memastikan
kondisi airway, breathing, dan circulation.Setelah primary survey selesai, baru dilakukan
secondary survey berupa anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang
lengkap.
Gejala klasik fraktur adalah adanya riwayat trauma, rasa nyeri dan bengkak di
bagian tulang yang patah, deformitas (angulasi, rotasi, diskrepansi), gangguan fungsi
muskuloskeletal
akibat
nyeri,
putusnya
kontinuitas
tulang,
dan
gangguan
neurovaskuler. Apabila gejala klasik tersebut ada, secara klinis diagnose fraktur dapat
ditegakkan walaupun jenis konfigurasinya belum dapat ditentukan.
Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera (posisi
kejadian) dan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera tersebut. riwayat
cedera atau fraktur sebelumnya, riwayat sosial ekonomi, pekerjaan, obat-obatan yang
dia konsumsi, merokok, riwayat alergi dan riwayat osteoporosis serta penyakit lain.
Pada pemeriksaan fisik dilakukan tiga hal penting, yakni inspeksi / look: deformitas
(angulasi, rotasi, pemendekan, pemanjangan), bengkak. Palpasi / feel (nyeri tekan,
krepitasi). Status neurologis dan vaskuler di bagian distalnya perlu diperiksa.
Lakukan palpasi pada daerah ekstremitas tempat fraktur tersebut, meliputi persendian
diatas dan dibawah cedera, daerah yang mengalami nyeri, efusi, dan krepitasi
Neurovaskularisasi bagian distal fraktur meliputi : pulsasi aretri, warna kulit,
pengembalian cairan kapler, sensasi. Pemeriksaan gerakan / moving dinilai apakah
adanya keterbatasan pada pergerakan sendi yang berdekatan dengan lokasi fraktur.
Pemeriksaan trauma di tempat lain meliputi kepala, toraks, abdomen, pelvis.
2.3.1
Primary Survey
Resusitasi awal pasien trauma membutuhkan survei primer (Primary Survey),
Airway (A)
Pada tahap ini, kita memastikan patensi jalan nafas dan bahwa pasien dapan
melindungi jalan nafasnya sendiri. Hal ini dicapai dengan cara:
Apakah pasien sadar atau tidak, jika pasien dapat bicara dengan lancar
menandakan bahwa jalan nafasnya bebas
Pada pasien yang tidak sadar, tonus otot jalan nafas atas dan otot genioglossus
hilang, sehingga lidah akan menyumbat hipofaring dan menyebabkan obstruksi jalan
nafas baik total atau parsial. Keadaan ini sering terjadi dan harus cepat diketahui dan
dikoreksi dengan beberapa cara, pertama-tama dengan menstabilisasi tulang servikal,
lalu dapat dilakukan manuver tripel jalan nafas (triple airway maneuver),
pemasangan alat jalan nafas faring (naso- atau oro- pharyngeal airway), pemasangan
alat jalan nafas sungkup laring (laryngeal mask airway), atau pemasangan pipa trakea
(endotracheal tube).4
Adapun tanda-tanda obstruksi jalan nafas dapat berupa:
1
Retraksi trakea
Retraksi toraks
Sianosis
Manuver tripel jalan nafas terdiri dari: kepala ekstensi pada sendi atlantooksipital (head-tilt), mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibula
(dapat dilakukan dengan chin lift atau jaw thrust), dan mulut dibuka. Dengan
manuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan nafas bebas, sehingga udara lancar
masuk trakea lewat hidung atau mulut.
Pada pasien yang tidak sadar, atau adanya perdarahan dari maxillofacialinjury,
pilihan cara untuk membebaskan jalan nafas adalah dengan memasang pipa ke dalam
trakea. Alasan lain untuk intubasi trakea pada pasien trauma adalah utuk memperbaiki
oksigenasi dan kontrol ventilasi. Terdapat banyak penelitian yang menunjukkan hasil
bahwa, jika dilakukan dengan hati-hati, intubasi trakea pada pasien dengan cedera
servikal memiliki risiko yang relatif rendah. Namun, intubasi yang tidak terkontrol
pada pasien dengan tulang servikal tidak stabil dapat mengakibatkan kerusakan serius
pada serabut spinal. Karena hal ini, dalam melakukan pembebasan jalan nafas pada
pasien trauma, adalah dengan selalu menganggap bahwa pasien memiliki cedera
servikal.
Pilihan teknik untuk melakukan intubasi trakea emergensi pada pasien yang
mungkin mengalami cedera servikal adalah dengan laringoskopi langsun dan intubasi
oral dengan manual in-linestabilization (MILS), setelah periode preoksigenasi.
Menempatkan kepala dan leher pasien pada posisi netral cenderung membuat
visualisasi laringoskopi buruk, tetapi hal ini dapat diatasi dengan penggunaan gum
bougie. Jika intubasi trakea tidak memungkinkan, maka dapat menggunakan sungkup
laring untuk memperbaiki oksigenasi dan ventilasi secara sementara sebelum
dilakukannya surgical cricothyroidotomy.
Breathing (B)
Pernafasan dinilai secara bersamaan saat menilai jalan nafas dengan cara look,
listen, and feel. Look (melihat) adalah menilai apakah adanya sianosis, menilai laju
pernafasan, kedalaman dan usaha bernafas, serta melihat apakah ada cedera pada
dada, misalnya luka terbuka atau flail segments. Penilaian pernafasan juga dilakukan
dengan mendengar (listen) suara nafas tambahan dan menilai keluar masuknya udara
pada kedua paru dengan metode auskultasi. Selain itu, kita juga dapat merasakan
(feel) udara pernapasan dengan mendekatkan pipi ke lubang hidung pasien. Palpasi
rongga dada juga dapat dilakukan untuk mendeteksi adanya cedera pada tulang rusuk,
luka pada rongga dada, dan udara subkutan pada dada serta leher.
Jika pernafasan pasien sepertinya tidak adekuat, maka pertimbangkan2:
1
2
3
4
Pasien harus diberikan ventilasi oksigen 100% sampai hasil analisa gas darah
diperoleh. Dengan menambah hanya 1 liter oksigen per menit dapat meningatkan
konsentrasi oksigen pada udara inspirasi sebanyak 35-40%. Pulse oximetry dapat
digunakan untuk mengukur saturasi, dengan saturasi yang diharapkan adalah lebih
dari 98%.
Circulation (C)
Pada sirkulasi, terdapat beberapa elemen yang memberikan informasi penting
mengenai status hemodinamik pasien dan dapat dinilai dalam hitungan detik, yaitu
tingkat kesadaran, warna kulit, dan denyut nadi:
a
Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun, maka perfusi otak akan terganggu yang akan
menyebabkan penurunan kesadaran.
Warna kulit
Denyut Nadi
Pemeriksaan denyut nadi dapat dilakukan pada sentral yaitu arteri femoral
atau arteri karotid dan dinilai kekuatan, kecepatan, dan irama nadi. Tidak
terabanya nadi sentral menunjukkan perlunya tindakan resusitasi segera.
Perdarahan eksternal harus cepat diindetifikasi dan dikontrol pada survei
primer. Dapat dilakukan penekanan langsung pada sumber perdarahan baik secara
manual maupun dengan perban elastis. Lokasi yang dapat menyebabkan perdarahan
hebat adalah dada, retroperitoneum, abdomen, pelvis, dan tulang panjang.
Pada pasien dengan trauma yang cukup berat, diperlukan setidaknya 2 jalur
akses IV. Jika pemasangan jalur akses IV pada vena perifer tidak mungkin untuk
dilakukan secara perkutaneus, maka dapat dilakukan cut down pada vena perifer,
kanulasi perkutaneous pada femoral, kanulasi vena sentral, atau intraosseus. Akses
jugular interna atau subclavia lebih banyak dipilih oleh anestetis, tetapi akses vena
sentral sulit dilakukan pada pasien denga hipovolemi dan dapat menimbulkan risiko
terjadinya pneumothoraks.
Prinsip dari manajemen cairan adalah mengembalikan volume intravaskular
secara cepat dan efisien. Cairan resusitasi terdiri dari beberapa pilihan yaitu:
kristaloid isotonik, salin hipertonik dengan atau tanpa komponen koloid, gelatin,
dextrans, dan darah.
The American College of Surgeons ATLS
merekomendasikan pemberian
kristaloid isotonik pada resusitasi awal pada pasien trauma. Jenis cairan ini dapat
mengekspansi volume intravaskular secara sementara dan menstabilisasi lebih jauh
volume vaskular dengan mengganti cairan yang hilang ke ruang intraselular dan
interstitial.
Pada resusitasi awal, bolus cairan hangat diberikan secepat mungkin. Dosis
yang biasa digunakan adalah 1-2L untuk dewasa dan 20ml/kg untuk anak-anak.
Jumlah kristaloid yang diberikan adalah sesuai dengan volume kehilangan darah yang
telah tertera pada tabel diatas, dimana setiap 1 ml darah hilang diganti dengan 3 ml
cairan kristaloid (3-for-1-rule).
Sangat penting untuk menilai respon pasien terhadap resusitasi cairan awal
yang telah diberikan dan menilai perfusi yang adekuat dan oksigenasi melalui urine
output, tingkat kesadaran, dan perfusi perifer. Pasien dengan respon yang cepat
terhadap pemberian resusitasi awal cairan akan menunjukkan status hemodinamik
yang kembali normal setelah diberikan resusitasi awal.
Disability (Neurologic Evaluation)
Evaluasi neurologis secara cepat dilakukan pada akhir survei primer. Pada
pemeriksaan neurologis, kita dapat menilai tingkat kesadaran pasien, ukuran pupil
dan refleks cahaya, tanda-tanda lateralisasi, dan tingkat spinal cord injury. 3
Pemeriksaan GCS (Glasgow Coma Scale) adalah pemeriksaan yang cepat dan
mudah untuk menentukan tingkat kesadaran pasien sebagai prediksi outcome dari
pasien.
a
tangan)
Tidak ada respon
Orientasi baik
Bingung (dijumpai disorientasi)
Dapat mengucapkan kata2 namun tidak berupa kalimat
Mengerang (mengucapkan kata yang tidak jelas artinya).
Exposure (E)
Merupakan bagian akhir dari primary survey, penderita harus dibuka
keseluruhan pakaiannya, kemudian nilai pada keseluruhan bagian tubuh. Periksa
punggung dengan memiringkan pasien dengan cara log roll. Selanjutnya selimuti
penderita dengan selimut kering dan hangat, ruangan yang cukup hangat dan
diberikan cairan intra-vena yang sudah dihangatkan untuk mencegah agar pasien
tidak hipotermi.
2.3.3 Secondary Survey
Secondary survey adalah pemeriksaan yang dilakukan dari kepala hingga kaki
(head-to-toe examination).Secondary survey dilakukan setelah primary survey
selesai, resusitasi sudah dilakukan, dan ABC pasien dipastikan membaik.
Pada pemeriksaan survei sekunder ini dilakukan pemeriksaan neurologi
lengkap, termasuk mencatat skor GCS bila belum dilakukan dalam survei
primer.Pada survey sekunder ini juga dilakukan foto ronsen, dan pemeriksaan lab.
Evaluasi lengkap dari pasien memerlukan pemeriksaan fisik berulang-ulang.
A. Anamnesis
AMPLE
(Allergy,
Medication,
Past
Illness,
Last
Meal,
pengaman
dengan
benar?
Jika
f. Apakah pasien terjatuh? Tanyakan juga tinggi lokasi pasien jatuh dan bagaimana
posisi pasien saat terjatuh.
g. Apakah pasien ditabrak oleh suatu objek? Tanyakan objek apa yang menabrak,
perkiraan berat objek, lokasi tubuh pasien yang mengalami trauma dan berapa
lama pasien ditimpa oleh objek tersebut?
h. Apakah pasien mengalami kecelakaan saat berjalan kaki di pinggir jalan?
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada secondary survey dilakukan berurutan mulai dari
kepala,
maksilo-fasial,
vertebra
servikal,
dan
leher,
dada,
abdomen,
3. Dada
Evaluasi dada/toraks dapat dilakukan dengan inspeksi, palpasi, perkusi,
auskultasi. Inspeksi dilakukan pada dada depan dan belakang, yang akan
menunjukkan ada tidaknya flail chest atau open pneumotoraks. Palpasi harus
dilakukan pada setiap iga dan klavikula.Penekanan pada sternum dapat menimbulkan
nyeri apabila ada fraktur sternum atau ada costochondral separation.Setelah
pemeriksaan fisik dilakukan evaluasi toraks disusul dengan foto toraks.Foto toraks
dapat menunjukkan adanya hemo/pneumotoraks.Faktur iga tidak selalu terlihat pada
foto. Selain itu dapat pula kita lakukan pemeriksaan EKG.
4. Abdomen
Trauma abdomen harus ditangani secara agresif.Diagnosis terlalu tepat tidak
terlalu dibutuhkan, yang penting adalah adanya indikasi untuk operasi.Pada saat
pasien baru datang, pemeriksaan abdomen yang normal tidak menyingkirkan
diagnosis
perlukaan
intraabdomen,
karena
gejala
mungkin
timbul
agak
uretra. Colok dubur harus dilakukan sebelum memasang kateter uretra. Harus diteliti
akan kemungkinan adanya darah dari lumen rectum, prostat letak tinggi, adanya
fraktur pelvis, utuh tidaknya dinding rectum dan tonus m. sphincter ani. Pada wanita
pemeriksaan colok vagina dapat menentukan adanya darah dalam vagina atau
laserasi. Juga harus dilakukan tes kehamilan pada semua usia subur.
6. Muskuloskeletal
Pemeriksaan meliputi inspeksi yaitu penilaian warna dan perfusi pada
extremitas, luka, deformitas seperi angulasi, pemendekan,fraktur, pembengkakan,
hematom dan ekimosis. Extremitas pada bagian distal yang berwarna pucat
menunjukkan perfusi jaringan yang kurang. Inspeksi secara cepat juga diperlukan
untuk menilai apakah terdapat external. Inspeksi pada seluruh tubuh pasien juga
diperlukan untuk mencari adanya laserasi, abrasi atau luka. Luka terbuka pasti akan
mudah terlihat kecuali pada tubuh bagian belakang sehingga log roll maneuver
diperlukan. Jika dijumpai adanya tulang yang menonjol maka disebut sebagai fraktur
terbuka. .
Selain pemeriksaan secara inspeksi, juga diperluka pemeriksaan dengan
palpasi utnuk menilai ada gangguan neurologis (sensorik) dan fraktur. Jika dijumpai
adanya hilang sensasi atas rasa nyeri atau raba maka menindikasikan adanya trauma
pada saraf spinal atau saraf perifer. Jika dijumpai adanya nyeri yang disertai dengan
gerakan yang abnormal maka mengindikasikan adanya fraktur. Pada saat melakukan
log roll maneuver lakukan juga palpasi pada seluruh region punggung dan tulkang
belakang. Lukakan juga palpasi pada distal ekstremitas dan penilaian capillary refill
time. Jika terjadi hipotensi maka pulsasi bisa tidak teraba, maka untuk memastikan
perfusi ke distal extremitas lukan dengan menggunkaan Doppler.
Jika dijumpai adanya fraktur atau trauma pada sendi, maka dapat dilakukan
imobilisasi dengan menggunakan pembidaian. Pasien juga harus diberikan resusitasi
secara adekuat sampai hemodinamik dinyatakan stabil. Selain itu juga harus
dilakukan debridement. Pada pasien dengan fraktur terbuka maka perlu diberikan
antibiotik
intravena
serta
profilaksis
tetanus.
Pemberian
antibiotik
harus
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1. Anamnesis
Tuan R, 13tahun, datangdengankeluhanutamalukarobekpada kaki kiri yang
dialamisejak
jam
sebelummasukrumahsakit.
Nyeridirasakanterusmenerusdansemakinmeningkatbila
kaki
digerakkan.
Hal
paling
belakang.
Riwayatpenyakitterdahulu(-).
Time Sequence
Riwayatpingsan
(-).Mual
(-)
Muntah
(-).
10 April 2016
15.55 WIB
11 April 2016
03.55 WIB
10 April 2016
22.15 WIB
MulaitindakanDebridement + Primary suture
KonsuldanAcctindakananestesi
Pasientiba di IGD RSUPHAM
Kesimpulan
Airway clear
Penanganan
Hasil
Airway clear
C-spinestabil
O2 10 l/I non
rebreathing mask
B (breathing)
Unspontaneous
Inspeksi
Thorax
simetristidakadaba
gian yang
ketinggalan
SaO2: 98-99%
Perkusi:
Sonorkedualapang
anparu
Palpasi:
Stem fremitus
kanan = kiri
Auskultasi
SP/ST: vesikuler/
(-)
SaO2: 96%
RR: 28 kali/menit
C (circulation)
Capillary Refill
Time <2 detik
Akral D/P/K
T/V: lemah
TD: 80/50mmHg
HR = 122x/i,
regular
UOP : (-)
Inadequate
perfusion
Double IV line
18G, ambil sampel
darah, cek
laboratorium
IVFD RL
IVFD HES
D (disability)
Dalambatas normal
Kesadaran:
Compos mentis
GCS : 14
Pupil isokor, D 3
mm, RC +/+
Capillary Refill
Time <2 detik
Akral H/M/K
T/V: cukup
TD:
90/60mmHg
HR = 1008x/i,
regular
UOP :
50cc/2jam
E (exposure)
Openfx (L) cruris
+ closed fx (R)
femur
cukup,
TD: 90 / 60 mmHg,
: Tidakdijumpai
M : Medications : Tidakjelas
P : Past Illness : Tidakjelas
L : Last Meal
E
: Tidakjelas
Class II
750-1500
15-30%
Class III
1500-2000
30-40%
Class IV
2000
40%
Pulse Rate
Blood Pressure
Pulse Pressure
Respiratory Rate
Urine Output
<100
Normal
N or
>100
Normal
>120
Decreased
>140
Decreased
Decreased
Decreased
Decreased
20-30
30-35
>35
>30
20-30
5-15
Negligible
Slightly
Mildly
Confused
anxious
anxious
Anxious and
confused
Increased
14-20
(mL/h)
Mental Status
: 40 kg
EBV
: 70cc x PBW
: 70cc x 40
: 2800 cc
Blood Loss
: EBL x EBV
: 30-40% x 2800
: 840 cc 1120cc
Cairan
: Kristaloid
: 25% x EBV
: 25% x 2800
: 700 cc (700 x 3 = 2100 cc = 4fls)
:Koloid
: Blood loss 700
: 1120 700
: 420 (1fls)
and lethargic
Transfusidarah(PRC)
Hasil
Rujukan
6.9 g%
11,715,5
15.460 x 103/mm3
4,511,0x103
21%
3844%
310 x103
150450x103
HEMATOLOGI
Hemoglobin (HGB)
Leukosit (WBC)
Hematokrit
Trombosit (PLT)
PT
14.2(14) detik
APTT
TT
INR
1.2
GINJAL
Ureum
24 mg/dL
<50 mg/dL
0.94 mg/dL
0,500,90 mg/dL
2.1 g/dL
3,5-5 g/dL
Natrium (Na)
136mEq/L
135155 mEq/L
Kalium (K)
3.3 mEq/L
3,65,5 mEq/L
Klorida (Cl)
105mEq/L
96106 mEq/L
Kreatinin
HATI
Albumin
ELEKTROLIT
METABOLISME KARBOHIDRAT
GlukosaDarah (Sewaktu)
3.5.2 PemeriksaanRadiologi
a. FotoThorax
124 mg/dL
<200 mg/dL
b. Foto femur
c. Fotocruris
3.6. Diagnosis
Openfx (L) cruris + Closed fx (R) femur
3.7. Rencanatindakanselanjutnya
Debridement + Primary suture
FOLLOW UP PASIEN
-/-/-/-, MLP: I
B2 : Akral: H/M/K, TD: 101/61 mmHg, HR: 128 x/i, T/V: kuat/cukup, CRT: <2 detik
B3 : Sens GCS 15 (E4M6V5), pupil isokor, diameter kiri/kanan 4mm, RC +/+
B4 : Kateter terpasang, UOP: kesan cukup, warna kuning jernih
B5 : Abdomen: soepel, peristaltik lemah, nyeri tekan (-)
B6 : Oedem (-), fraktur terbuka (+) tibia fibula kiri yang terpasang verband elastis,
fraktur tertutup (+) femur kanan yang terpasang verband elastis yang terhubung dengan
A
traksi.
: Post op Debridement dan Primary Suture a/I Opened (L) Tibua Fibula Fracture Grade
III B + Closed (R) Femur Fracture Post Skin Traction Spinal Cord Injury +
ALP/SGOT/SGPT/Albumin : 116/144/42/2,2
Albumin : 2
KGD ad random : 105
BUN/Ur/Cr/As.Urat : 21/45/0,56/4,6
Phospor/Mg : 4,6/1,74
CRP : 0,7
PCT : 0,06
Rencana :
Tranfusi PRC
Cek darah lengkap, KGD, Septic Workup, RFT, LFT, Albumin, HST, Kultur, AGDA,
elektrolit
12 April 2016
S
:O
:
B1 : Airway clear, RR : 48x/menit, SP: bronkial, ST: ronkhi basah pada lapangan paru
kiri , S/G/C:
-/-/-/-, MLP: I
B2 : Akral: H/M/K, TD: 100/55 mmHg, HR: 140 x/i, T/V: kuat/cukup, CRT: <2 detik
B3 : Sens GCS 10T (E4M6VT), pupil isokor, diameter kiri/kanan 4mm, RC +/+
B4 : Kateter terpasang, UOP: kesan cukup, warna kuning jernih
B5 : Abdomen: soepel, peristaltik lemah, nyeri tekan (-)
B6 : Oedem (-), fraktur terbuka (+) tibia fibula kiri yang terpasang verband elastis,
fraktur tertutup (+) femur kanan yang terpasang verband elastis yang terhubung dengan
A
traksi.
: Post op Debridement dan Primary Suture a/I Opened (L) Tibua Fibula Fracture Grade
III B + Closed (R) Femur Fracture Post Skin Traction Spinal Cord Injury + Decompresy
Thoracal 3-4
: Bed rest head up 300
Pemasangan ETT No.7 dengan FiO2 50 %, RR 15 x/I
IVFD D5% NaCl 0,9 % 50 cc/jam
Inj. Ceftazidine 1 gram/8jam iv
Inj. Ranitidine 40 mg /8 jam iv
Inj. Paracetamol 500 mg/6 jam iv
Inj Metronidazole 15 mg/ kgBB (600 mg)
Inj Methylprednisolone 1 gr / 8 jam/ iv dalam 30 cc NaCl 0,9 %
traksi.
: Post op Debridement dan Primary Suture a/I Opened (L) Tibua Fibula Fracture Grade
III B + Closed (R) Femur Fracture Post Skin Traction Spinal Cord Injury + Decompresy
P:
Thoracal 3-4
Bed rest head up 300
Pemasangan ETT No.7 dengan FiO2 50 %, RR 15 x/I
traksi.
A : Post op Debridement dan Primary Suture a/I Opened (L) Tibua Fibula Fracture Grade III
B + Closed (R) Femur Fracture Post Skin Traction Spinal Cord Injury + Decompresy
Thoracal 3-4
P
: Bed rest head up 300
Pemasangan ETT No.7 dengan FiO2 30 %, RR 15 x/I
IVFD NaCl 0,9 % 4 cc/jam
Inj. Ceftazidine 1 gram/8jam iv
Inj. Paracetamol 500 mg/6 jam iv
Inj Metronidazole 300 mg/ 8 jam/iv
Inj Methylprednisolone 1 gr / 24 jam/ iv dalam 100 cc NaCl 0,9 % selama 3 hari
(H2)
Inj Midazolam 45 mg dalam 50 cc NaCl 0,9 %
Diet Ensure 200 cc/3 jam/NGT
15 April 2016
S
:O
: Coma (DPO)
B1 : Airway clear, RR : 12-16x/menit, SP: bronkial, ST: - , S/G/C:
traksi.
: Post op Debridement dan Primary Suture a/I Opened (L) Tibua Fibula Fracture Grade
III B + Closed (R) Femur Fracture Post Skin Traction Spinal Cord Injury + Decompresy
Thoracal 3-4
: Bed rest head up 300
Pemasangan ETT No.7 dengan FiO2 30 %, RR 15 x/I
IVFD NaCl 0,9 % 4 cc/jam
Inj. Ceftazidine 1 gram/8jam iv
Inj. Paracetamol 500 mg/6 jam iv
Inj Metronidazole 300 mg/ 8 jam/iv
-/-/-, SM 5 L/i,
traksi.
: Post op Debridement dan Primary Suture a/I Opened (L) Tibua Fibula Fracture
Grade III B + Closed (R) Femur Fracture Post Skin Traction Spinal Cord Injury +
Decompresy Thoracal 3-4
P
: Bed rest head up 300
Pemasangan ETT No.7 dengan FiO2 30 %, RR 15 x/I
IVFD NaCl 0,9 % 4 cc/jam
Inj. Ceftazidine 1 gram/8jam iv