(termasuk sitokin) yang merangsang terjadinya proses inflamasi pada saluran nafas.
Reaksi asma segera (RAS) berupa konstriksi bronkus, peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, edema dan migrasi sel. Ternyata, disamping itu mediator inflamasi
tersebut juga akan menarik dan mengaktifkan secondary effector cells (sel inflamasi
yang berasal dari sirkulasi seperti eosinofil, netrofil, makrofag danlimfosit) dan sel-sel ini
pun akan menghasilkan mediator inflamasi yang akan memperberat inflamasi yang sudah
terjadi sebelumnya. Pelepasan mediator inflamasi akibat infiltrasi sel-sel tersebut akan
menimbulkan peningkatan kepekaan bronkus terhadap rangsangan (bronchial
hyperreactivity). Reaksi asma fase lanjut (RAL) terjadi dalam waktu dua sampai empat
jam setelah RAS. Fase lanjut ini mencapai puncaknya setelah 24 jam dan menurun secara
bertahap.
Pada reaksi asma segera (RAS) tidak terjadi hipereaktivitas bronkus. Pada reaksi asma
fase lanjut (RAL), sel eosinofil dan netrofil berinteraksi dengan mediator lain menyebabkan
kerusakan dan deskuamasi sel epitel bronkus dengan cara meningkatkan fragilitas epitel
dan melemahkan daya lekat sel epitel pada sel basal. Mekanisme migrasi sel radang ke
saluran nafas sangat kompleks, mengikutsertakan adhesion molecule substance (ICAM1,2,3, intergrin, selectin) serta peran limfosit dan lain-lain sel yang memproduksi limfokin
dan sitokin yang berperan penting terjadinya inflamasi akut maupun kronik.
1.5manifestasi klinis
Pada serangan asma ringan:
Anak tampak sesak saat berjalan.
Pada bayi: menangis keras.
Posisi anak: bisa berbaring.
Dapat berbicara dengan kalimat.
Kesadaran: mungkin irritable.
Tidak ada sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa).
Mengi sedang, sering hanya pada akhir ekspirasi.
Biasanya tidak menggunakan otot bantu pernafasan.
Retraksi interkostal dan dangkal.
Frekuensi nafas: cepat (takipnea).
Frekuensi nadi: normal.
Tidak ada pulsus paradoksus (< 10 mmHg)
SaO2 % > 95%.
PaO2 normal, biasanya tidak perlu diperiksa.
PaCO2 < 45 mmHg
Pada serangan asma sedang:
Anak tampak sesak saat berbicara.
Pada bayi: menangis pendek dan lemah, sulit menyusu/makan.
Posisi anak: lebih suka duduk.
Dapat berbicara dengan kalimat yang terpenggal/terputus.
Kesadaran: biasanya irritable.
Tidak ada sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa).
Mengi nyaring, sepanjang ekspirasi inspirasi.
Biasanya menggunakan otot bantu pernafasan.
Retraksi interkostal dan suprasternal, sifatnya sedang.
Frekuensi nafas: cepat (takipnea).
Frekuensi nadi: cepat (takikardi).
1.6diagnosis + DD
Anamnesa
Keluhan sesak nafas, mengi, dada terasa berat atau tertekan, batuk berdahak yang
tak kunjung sembuh, atau batuk malam hari. Semua keluhan biasanya
bersifat episodik dan reversible. Mungkin ada riwayat keluarga dengan
penyakit yang sama atau penyakit alergi yang lain.
Pemeriksaan fisik
Perhatian pertama adalah pada keadaan umum pasien, pasien dengan
kondisi yang sangat berat akan duduk tegak. Selain itu pada pemeriksaan
fisik didapatkan :
- penggunaan otot-otot bantu pernafasan2.
- Frekuensi nafas > 30 kali per menit3.
- Takikardia > 120 x/menit4.
- Pulsus Parokdoksus >12 mmHg5.
- wheezing ekspiratoar
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Spirometri
Cara yang sederhana adalah uji bronkodilator nebulizer golongan adrenerjek
beta. Uji inidilakukan menggunakan spirometri sebelum dan sesudah
penggunaan bronkhodilator, biladidapatkan peningkatan VEP1 atau KVP lebih
dari 20% maka didiagnosis sebagai asma,tetapi bila tidak memenuhi
kriteria ini diagnosis asma belum tentu gugur memerlukan teskonfirmasi
yang lain.
b. Uji provokasi bronkhus
Tes ini jarang dilakukan di indonesia. Tes ini untuk memprovokasi bronkus
agar efek asmabisa dibaca, tes ini menggunakan histamin, metakolin,
kegiatan jasmani, udara dingin,larutan garam hipertonik. Bila terjadi
penurunan VEP1 sebesar 20% maka dianggapbermakna. Uji jasmani
dilakukan dengan meminta penderita berlari cepat selama 6 menitsehingga
mencapai denyut jantung 80 sd 90 % kemudian dievaluasi. Jika terjadi
penurunanarus puncak ekspirasi minimal 10% maka dapat dinyatakan positif.
c. Pemeriksaan sputum
Sputum eosinofil merupakan ciri dari asma, menggunakan kristal Charcotleyden, danspiral Curschmann.
d. Pemeriksaan eosinofil total
Pada pemeriksaan darah dijumpai kadar eosinofil yang tinggi.
e. Uji kulit
Tujuannya untuk menunjukkan antibodi spesifik dalam tubuh.
f. Pemeriksaan kadar IgE total dan kadar IgE sputum
Tujuan pemeriksaan ini untuk menyokong dugaan atopi pada penderita.
g. Foto dada
Pemeriksaan foto thorak untuk menyingkirkan penyebab lain obstruksi
saluran
nafas yanglain
seperti pneumothorax,
pneumomediatinum,
atelektasis dan lainnya. PemeriksaanThorax foto umum dilakukan dengan
indikasi kecurigaan adanya pneumoni atau pasienasma yang setelah 6-12
jam dilakukan pengobatan intensif tidak membaik.
dokter,
penanganan
pertamaapabila
terjadi
serangan,
dan
sebagainya.Tatalaksana
tentang
penghindaran
terhadap
pencetus
memegang peran yang cukup. Seranganasma akan timbul apabila ada suatu
faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya rangsangan terhadapsaluran
respiratorik yang berakibat terjadi bronkokonstriksi, edema mukosa, dan
hipersekresi.Penghindaran terhadap pencetus diharapkan dapat mengurangi
rangsangan terhadap saluran respiratorik.Tatalaksana medikamentosa dibagi
dalam dua kelompok besar yaitu tatalaksana saat serangandan tatalaksana
jangka panjang. Pada saat serangan pemberian a-2 agonis pada awal
serangan dapatmengurangi gejala dengan cepat. Bila diperlukan dapat
diberikan kortikosteroid sistemik pada serangansedang dan berat.
Tatalaksana Jangka Panjang
Tatalaksana jangka panjang (aspek kronis) pada asma anak diberikan pada
asma episodik sering d a n
persisten,
sedangkanpada
asma
episodik
jarang
tidakdiperlukan.
P r o s e s i n fl a m a s i k r o n i s
y a n g terjadi pada asma bersamaan dengan proses remodelling yang ditandai
dengan disfungsi epitel. Dengandasar tersebutpenanganan asma lebih
ditujukan
pada
kedua
proses
tersebut.
Yang
masih
dalam perdebatanadalahapakah proses infl amasi itu berjalan bersam
aan denganproses remodelling (secara paralel) ataukah setelah proses
infl amasikronis
baru
terjadi
proses
remodelling (secara
sekuensial).Teori terakhir
yang
dikemukakan Holgate,menjelaskan proses
remodelling j u s t r u t e r j a d i s e c a r a p a r a l l e l
dengan proses inflamasi,
bukannya sekuensial
yang selamaini
dikenal,
tetapi
teori tersebut
masihmendapat tantangan.Dengan pengertian bahwa infl amasi
sudah terjadi pada saatditegakkan diagnosisasma, maka peran
kortikosteroid
menjadisangat
penting,
karenasampai saat
ini
kortikosteroidadalahantiinfl amasi yang palingkuat. Pemberian kortik
osteroidyang lama pada anakmerupakan perdebatany a n g
c u k u p l a m a . Pa r a a h l i s e p a k a t b a h w a p e m b e r i a n k o r t i k o s t e r o i d
s e c a r a s i s t e m i k d a l a m j a n g k a panjang dapat mengganggu
pertumbuha
nanak
sehingga
harus
berhati-hati
dan
bila
memungkinkan
dihindari. Berdasarkan hal
tersebut, pemberian
secara topikal menjadi pilihan utama. Pemberian kortikosteroid
secara topikal
(dalamhal
ini
secara
inhalasi)
dalam waktu
lama (jangka panjang) dengan d o s i s d a n c a r a y a n g t e p a t t i d a k
menyebabkan
gangguan
pertumbuhan
pada
anak.
Pe n g g u n a a n kortikosteroid inhalasi
telah dibuktikan
keuntungandan
keamanannya selama digunakan dengan carayangbenar.Pemberian yang
salah, baik dosis maupun cara pemberian,justru akan berdampak
negatif terhadap pertumbuhananak dan efek samping lainnya
seperti moonface, hipertensi,perawakan pendek, dan sebagainya.Pada
tahap awal, dosis kortikosteroid yang diberikandimulai dengan
dosisrendah (pada anak >12 tahun setaradengan budesonide 200400 mg, sedangkan pada anak < 12tahun 100-200 mg)
dandipertahankan
untuk beberapa
saat(6-8 minggu) apabila
keadaan
asmanya
stabil.
Pemberiandosistersebut
mempunyaiefektifi tas yang baik pada asmayang membutuhkan obat
pengendali. Selain ituefek sampingyang dikuatirkan yaitu gangguan
Pneumothorax
Keadaan dimana terdapat udara atau gas dalam rongga pleura, sehingga
paru paru kesulitan untuk mengembang.
Pneumodiastinum
Adanya udara atau gas bebas yang ditemukan pada mediastinum.
Emfisema
Pembesaran permanen abnormal ruang udara distal ke bronkiolus
terminal, disertai dengan kerusakan dinding alveolar dan tanpa fibrosis
yang jelas.
Atelektasis
pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paruakibat penyumbatan saluran
udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat
dangkal.
Bronchitis
Peradangan pada cabang tenggorokan/ bronkus.
Gagal nafas
Perubahan bentuk thorax
Thorax membungkuk kedepan dan memanjang. Pada foto rontgen terlihat
diafragma letaknya rendah, gambaran jantung menyempit, hilus kiri dan
kanan bertambah. Pada asma berat dapat terjadi bentuk dada burung
(pektus karinatum/ pigeon chest) dan tampak sulkus Harrison.
1.9Pencegahan
Upaya pencegahan asma dapat dibedakan menjadi 3 yaitu:
prognosis
epidemiologi
Prevalensi total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada
dewasa dan 10% pada anak). Prevalensi tersebut sangat bervariasi. Di
Indonesia, prevalensi asma pada anak berusia 6- 7 tahun sebesar 3%
dan untuk usia 13-14 tahun sebesar 5,2% (Kartasasmita, 2002)
Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics atau
NCHS (2003), prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun
adalah 57 per 1000 anak (jumlah anak 4,2 juta), dan pada dewasa >
18 tahun, 38 per 1000 (jumlah dewasa 7,8 juta). Jumlah wanita yang
mengalami serangan lebih banyak daripada lelaki.
WHO memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat
asma. Sedangkan berdasarkan laporan NCHS (2000) terdapat 4487
kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu populasi. Kematian anak
akibat asma jarang.