Anda di halaman 1dari 20

1.

Penentuan waktu kematian


Kematian

manusia berdasarkan dua dimensi yaitu kematian seluler (seluler death) akibat ketiadaan

oksigen dan kematian manusia sebagai individu (somatic death). Kematian individu dapat didefinisikan secara
sederhana sebagai terhentinya kehidupan secara permanen (permanent cessation of life) atau dapat diperjelas
lagi menjadi berhentinya secara permanen fungsi berbagai organ vital yaitu paru-paru, jantung dan otak
sebagai kesatuan yang utuh yang ditandai oleh berhentinya konsumsi oksigen. Sebagai akibat berhentinya
konsumsi oksigen ke seluruh jaringan tubuh maka sel-sel sebagai elemen terkecil pembentuk manusia akan
mengalami kematian, dimulai dari sel-sel paling rendah daya tahannya terhadap ketiadaan oksigen.
Mati suri adalah penurunan fungsi organ vital sampai taraf minimal untuk mempertahankan kehidupan,
sehingga tanda-tanda kliniknya seperti sudah mati yang sifatnya reversibel. Sedangkan mati somatik adalah
keadaan dimana ketika fungsi ketiga organ vital sistem saraf pusat, sistem kardiovaskuler, dan sistem
pernafasan berhenti secara menetap.
Mati serebral adalah kerusakan kedua hemisfer otak yang irreversible kecuali batang otak dan
serebelum, kedua sistem lain masih berfungsi dengan bantuan alat. Sedangkan mati batang otak adalah
kerusakan seluruh isi neuronal intrakranial yang ireversibel, termasuk batang otak dan serebelum.
Kriteria diagnostik penentuan kematian:
1.

Hilangnya semua respon terhadap sekitarnya (respon terhadap komando atau perintah, dan sebagainya)

2.

Tidak ada gerakan otot serta postur, dengan catatan pasien tidak sedang berada dibawah pengaruh obatobatan curare.

3.

Tidak ada reflek pupil

4.

Tidak ada reflek kornea

5.

Tidak ada respon motorik dari saraf kranial terhadap rangsangan

6.

Tidak ada reflek menelan atau batuk ketika tuba endotracheal didorong ke dalam

7.

Tidak ada reflek vestibulo-okularis terhadap rangsangan air es yang dimasukkan ke dalam lubang telinga

8.

Tidak ada napas spontan ketika respirator dilepas untuk waktu yang cukup lama walaupun pCO 2 sudah
melampaui wilayah ambang rangsangan napas (50 torr)
Tes klinik ini baru boleh dilakukan paling cepat 6 jam setelah onset koma serta apneu dan harus diulangi

lagi paling cepat sesudah 2 jam dari tes yang pertama. Sedangkan tes konfirmasi dengan EEG dan angiografi
hanya dilakukan jika tes klinik memberikan hasil yang meragukan atau jika ada kekhawatiran akan adanya
tuntutan di kemudian hari.
Tanda dan Patofisiologi
1) Tanda kematian tidak segera
a. Berhentinya sistem pernafasan dan sistem sirkulasi
Secara teoritis, diagnosis kematian sudah dapat ditegakkan jika jantung dan paru berhenti selama 10
menit, namun dalam prakteknya seringkali terjadi kesalahan diagnosis sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan dengan cara mengamati selama waktu tertentu. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan
mendengarkannya melalui stetoscope pada daerah precordial dan larynx dimana denyut jantung dan
suara nafas dapat dengan mudah terdengar.
Kadang-kadang jantung tidak segera berhenti berdenyut setelah nafas terhenti, selain disebabkan
ketahanan hidup sel tanpa oksigen yang berbeda-beda dapat juga disebabkan depresi pusat sirkulasi
darah yang tidak adekwat, denyut nadi yang menghilang merupakan indikasi bahwa pada otak terjadi
hipoksia. Sebagai contoh pada kasus judicial hanging dimana jantung masih berdenyut selama 15
menit walaupun korban sudah diturunkan dari tiang gantungan.
b. Kulit yang pucat
Kulit muka menjadi pucat ,ini terjadi sebagai akibat berhentinya sirkulasi darah sehingga darah yang
berada di kapiler dan venula dibawah kulit muka akan mengalir ke bagian yang lebih rendah sehingga
warna kulit muka tampak menjadi lebih pucat. Akan tetapi ini bukan merupakan tanda yang dapat

17

dipercaya. Kadang-kadang kematian dihubungkan dengan spasme agonal sehingga wajah tampak
kebiruan. Pada mayat yang mati akibat kekurangan oksigen atau keracunan zat-zat tertentu (misalnya
c.

karbon monoksida) warna semula dari raut muka akan bertahan lama dan tidak cepat menjadi pucat.
Relaksasi otot
Pada saat kematian sampai beberapa saat sesudah kematian, otot-otot polos akan mengalami
relaksasi sebagai akibat dari hilangnya tonus. Relaksasi pada stadium ini disebut relaksasi primer.
Akibatnya rahang turun kebawah yang menyebabkan mulut terbuka, dada menjadi kolap dan bila tidak
ada penyangga anggota gerakpun akan jatuh kebawah. Relaksasi dari otot-otot wajah menyebabkan
kulit menimbul sehingga orang mati tampak lebih muda dari umur sebenarnya, sedangkan relaksasi
pada otot polos akan mengakibatkan iris dan sfincter ani akan mengalami dilatasi. Oleh karena itu bila
menemukan anus yang mengalami dilatasi harus hati-hati menyimpulkan sebagai akibat hubungan

seksual perani/anus corong.


d. Perubahan pada mata
Perubahan pada mata meliputi hilangnya reflek kornea dan reflek cahaya yang menyebabkan kornea
menjadi tidak sensitif dan reaksi pupil yang negatif.
Knight mengatakan hilangnya reflek cahaya pada kornea ini disebabkan karena kegagalan kelenjar
lakrimal untuk membasahi bola mata. Kekeruhan pada kornea akan timbul beberapa jam setelah
kematian tergantung dari posisi kelopak mata. Akan tetapi Marshall mengatakan kornea akan tetap
menjadi keruh tanpa dipengaruhi apakah kelopak mata terbuka atau tertutup. Walaupun sering
ditemui kelopak mata tertutup secara tidak komplit, ini terjadi oleh karena kekakuan otot-otot kelopak
mata. Kekeruhan pada lapisan dalam kornea ini tidak dapat dihilangkan atau diubah kembali walaupun
digunakan air untuk membasahinya.
Bila kelopak mata tetap terbuka sclera yang ada disekitar kornea akan mengalami kekeringan dan
berubah menjadi kuning dalam beberapa jam yang kemudian berubah menjadi coklat kehitaman. Area
yang berubah warna ini berbentuk trianguler dengan basis pada perifer kornea dan puncaknya di
epikantus. Area ini disebuttaches noires de la sclerotiques yang pertama kali digambarkan oleh
Somner pada tahun 1833.
Knight mengatakan iris masih bereaksi dengan stimulasi kimia sampai 4 jam sesudah kematian
somatik, tetapi reflek cahaya segera hilang bersamaan dengan iskemik pada batang otak. Pupil
biasanya pada posisi mid midriasis yang disebabkan oleh karena relaksasi dari muskulus pupilaris
walaupun ada sebagian ahli yang menganggap ini sebagai proses rigor mortis. Diameter pupil sering
dihubungkan dengan sebab kematian seperti lesi di otak atau intoksikasi obat seperti keracunan
morphin dimana sewaktu hidup pupil menunjukan kontraksi. Akan tetapi Price (1963) memeriksa mata
dari 1000 mayat dan menyimpulkan bahwa keadaan pupil tidak berhubungan dengan sebab kematian,
dan kematian menyebabkan pupil menjadi dilatasi atau cadaveric position .
Setelah kematian tekanan intra okuler akan turun, tekanan intra okuler yang turun ini

mudah

menyebabkan kelainan bentuk pupil sehingga pupil kehilangan bentuk sirkuler setelah mati dan
ukurannya pun menjadi tidak sama ,pupil dapat berkontraksi dengan diameter 2 mm atau berdilatasi
sampai 9 mm dengan rata-rata 4-5 mm oleh karena pupil mempunyai sifat tidak tergantung dengan
pupil lainnya maka sering terdapat perbedaan sampai 3 mm.
Nicati (1894) telah melakukan pengukuran terhadap tekanan bola mata posmortem dimana tekanan
normal pada bola mata pada waktu hidup adalah 14g -25g akan tetapi begitu sirkulasi terhenti maka
penurunan tekanan bola mata menjadi sangat rendah (tidak sampai mencapai 12g) dan dalam waktu
30 menit akan berkurang menjadi 3g yang kemudian menjadi nol setelah 2 jam kematian. Penurunan
tekanan bola mata ini pernah dicoba untuk menentukan perkiraan saat kematian.
Kervokian (1961) berusaha menerangkan perubahan-perubahan yang terjadi pada retina 15 jam
pertama setelah kematian dimana kornea dapat dipertahankan dalam keadaan baik dengan
menggunakan air atau larutan garam fisiologis yang kemudian dilakukan pemeriksaan dengan
optalmoskop. Pemeriksaan ini tidaklah mudah, ternyata pemeriksaan retina pada mayat jauh lebih

17

sulit bila dibandingkan dengan orang hidup. Dan perubahan warna yang terjadi pada retina dicoba
dihubungkan dengan perkiraan saat kematian. Dengan berhentinya aliran darah maka pembuluh
darah retina akan mengalami perubahan yang disebut segmentasi atau trucking dan ini terjadi dalam
15 menit pertama setelah kematian. Pada pemeriksaan dalam 2 jam pertama setelah kematian, dapat
dilihat retina tampak pucat dan daerah sekitar fundus tampak kuning, demikian pula daerah sekitar
makula. Sekitar 6 jam batas fundus menjadi tidak jelas, dan tampak gambaran segmentasi pada
pembuluh darah, dengan latar belakang yang berwarna kelabu kekuningan. Gambaran ini mencapai
seluruh perifer retina sekitar 7-10 jam. Setelah 12 jam diskus hanya dapat dilihat sebagai titik yang
terlokalisasi dengan sisa-sisa pembuluh darah yang bersegmentasi hingga pada akhirnya diskus dan
pembuluh darah retina menghilang yang ada hanya makula yang berwarna coklat gelap. Beberapa
pengamat menggambarkan perubahan dini posmortem yang terjadi pada retina mempunyai arti yang
kecil untuk dihubungkan dengan perkiraan saat mati. Sedangkan Tomlin ( 1967) beranggapan bahwa
segmentasi pada retina lebih berindikasi pada kematian serebral daripada penghentian sirkulasi.
Wroblewski dan Ellis (1970) mempelajari perubahan mata pada 300 mayat dimana tidak hanya
perubahan yang terjadi pada retina tetapi juga perubahan yang terjadi pada kornea juga dicatat.
Mereka telah memeriksa 204 fundus dari subjek dan 115 diantaranya terdapat segmentasi atau
trucking pada satu atau kedua mata setelah satu jam posmortem dan negatif pada 89 lainnya.
Bagian yang paling sulit pada pemeriksaan ini adalah kekeruhan kornea yang terjadi dalam 75%
pasien dalam 2 jam setelah kematian. Akhirnya mereka menyimpulkan bahwa segmentasi merupakan
perubahan posmortem yang alami daripada menghubungkannya dengan perkiraan saat kematian.
2) Tanda Kematian Pasti
a. Lebam Mayat
Disebut juga Post Mortem Lividity, Post Mortem Suggilation, Hypostasis, Livor Mortis, Stainning. Lebam
mayat terbentuk bila terjadi kegagalan sirkulasi darah dalam mempertahankan tekanan hidrostatik
yang menggerakan darah mencapai capillary bed dimana pembuluhpembuluh darah kecil afferent
dan efferent saling berhubungan. Maka secara bertahap darah yang mengalami stagnasi di dalam
pembuluh vena besar dan cabang-cabangnya akan dipengaruhi gravitasi dan mengalir ke bawah, ke
tempattempat yang terendah yang dapat dicapai. Dikatakan bahwa gravitasi lebih banyak
mempengaruhi sel darah merah tetapi plasma akhirnya juga mengalir ke bagian terendah yang
memberikan kontribusi pada pembentukan gelembunggelembung di kulit pada awal proses
pembusukan.
Adanya eritrosit di daerah yang lebih rendah akan terlihat di kulit sebagai perubahan warna biru
kemerahan. Oleh karena pengumpulan darah terjadi secara pasif maka tempattempat di mana
mendapat tekanan lokal akan menyebabkan tertekannya pembuluh darah di daerah tersebut sehingga
meniadakan terjadinya lebam mayat yang mengakibatkan kulit di daerah tersebut berwarna lebih
pucat.
Lebam mayat ini biasanya timbul setengah jam sampai dua jam setelah kematian, Dimana setelah
terbentuk hypostasis yang menetap dalam waktu 1012 jam ternyata akan memberikan lebam mayat
pada sisi yang berlawanan setelah dilakukan reposisi pada tubuh dari pronasi ke supinasi
(interpostmorchange).
Lebam mayat ini biasanya berkembang secara bertahap dan dimulai dengan timbulnya bercak-bercak
yang berwarna keunguan dalam waktu kurang dari setengah jam sesudah kematian dimana bercakbercak ini intensitasnya menjadi meningkat dan kemudian bergabung menjadi satu dalam beberapa
jam kemudian, dimana fenomena ini menjadi komplet dalam waktu kurang lebih 812 jam, pada waktu
ini dapat dikatakan lebam mayat terjadi secara menetap. Menetapnya lebam mayat ini disebabkan
oleh karena terjadinya perembesan darah kedalam jaringan sekitar akibat rusaknya pembuluh darah
akibat tertimbunnya selsel darah dalam jumlah yang banyak, adanya proses hemolisa sel-sel darah
dan kekakuan otot-otot dinding pembuluh darah. Dengan demikian penekanan pada daerah lebam
yang dilakukan setelah 8-12 jam tidak akan menghilang. Hilangnya lebam pada penekanan dengan ibu
jari dapat memberi indikasi bahwa suatu lebam belum terfiksasi secara sempurna. Setelah empat jam,

17

kapiler-kapiler akan mengalami kerusakan dan butir-butir darah merah juga akan rusak. Pigmenpigmen dari pecahan darah merah akan keluar dari kapiler yang rusak dan mewarnai jaringan di
sekitarnya sehingga menyebabkan warna lebam mayat akan menetap serta tidak hilang jika ditekan
dengan ujung jari atau jika posisi mayat dibalik. Jika pembalikan posisi dilakukan setelah 12 jam dari
kematiannya maka lebam mayat baru tidak akan timbul pada posisi terendah, karena darah sudah
mengalami koagulasi.
Fenomena lebam mayat yang menetap ini sifatnya lebih bersifat relatif. Perubahan lebam ini lebih
mudah terjadi pada 6 jam pertama sesudah kematian, bila telah terbentuk lebam primer kemudian
dilakukan perubahan posisi maka akan terjadi lebam sekunder pada posisi yang berlawanan. Distribusi
dari lebam mayat yang ganda ini adalah penting untuk menunjukan telah terjadi manipulasi posisi
pada tubuh. Akan tetapi waktu yang pasti untuk terjadinya pergeseran lebam ini adalah tidak pasti,
Polson mengatakan untuk menunjukan tubuh sudah diubah dalam waktu 8 sampai 12 jam,
sedangkan Camps memberi patokan kurang lebih 10 jam.
Akan tetapi pada kematian wajar pun darah dapat menjadi permanent incoagulable oleh karena
adanya aktifitas fibrinolisin yang dilepas kedalam aliran darah selama proses kematian. Sumber dari
fibrinolisin ini tidak diketahui tetapi kemungkinan berasal dari endothelium pembuluh darah, dan
permukaan serosa dari pleura. Aktifitas fibrinolisin ini nyata sekali pada kapiler-kapiler yang berisi
darah. Darah selalu ditemukan cair dalam venule dan kapiler, dan ini yang bertanggung jawab
terhadap lebam mayat.
Akumulasi darah pada daerah yang tidak tertekan akan menyebabkan pengendapan darah pada
pembuluh darah kecil yang dapat mengakibatkan pecahnya pembuluh darah kecil tersebut dan
berkembang menjadi petechie (tardieu`s spot) dan purpura yang kadang-kadang berwarna gelap yang
mempunyai diameter dari satu sampai beberapa milimeter, biasanya memerlukan waktu 18 sampai
24 jam untuk terbentuknya dan sering diartikan bahwa pembusukan sudah mulai terjadi. Fenomena ini
sering terjadi pada asphyxia atau kematian yang terjadinya lambat.
b. Kaku Mayat (Rigor Mortis)
Kaku mayat atau rigor mortis adalah kekakuan yang terjadi pada otot yang kadang-kadang disertai
dengan sedikit pemendekan serabut otot, yang terjadi setelah periode pelemasan/ relaksasi primer.
Hal ini disebabkan karena terjadinya perubahan kimiawi pada protein yang terdapat pada serabutserabut otot. Menurut Szen-Gyorgyi di dalam pembentukan kaku mayat peranan ATP adalah sangat
penting. Seperti diketahui bahwa serabut otot dibentuk oleh dua jenis protein, yaitu aktin dan myosin,
dimana kedua jenis protein ini bersama dengan ATP membentuk suatu masa yang lentur dan dapat
berkontraksi (gambar II.3). Bila kadar ATP menurun, maka akan terjadi pada perubahan pada aktomiosin, diamana sifat lentur dan kemampuan untuk berkontraksi menghilang sehingga otot yang
bersangkutan akan menjadi kaku dan tidak dapat berkontraksi.

17

Oleh karena kadar glikogen yang terdapat pada setiap otot itu berbeda-beda, sehingga sewaktu
terjadinya pemecahan glikogen menjadi asam laktat dan energi pada saat terjadinya kematian
somatic, dimana energi tersebut digunakan untuk resintesa ATP, akan menyebabkan adanya
perbedaan kadar ATP dalam setiap otot. Keadaan tersebut dapat menerangkan mengapa kaku mayat
akan mulai nampak pada jaringan otot yang jumlah serabut ototnya sedikit. Atas dasar itulah
mengapa pada kematian karena infeksi, konvulsi kelelahan fisik serta keadaan suhu keliling yang
tinggi akan dapat mempercepat terbentuknya kaku mayat, demikian pula pada mereka yang keadaan
gizinya jelek akan lebih cepat terjadi kaku mayat bila dibandingkan dengan korban yang mempunyai
tubuh yang baik.
Secara biokimiawi saat relaksasi primer, pH protoplasma sel otot masih alkalis. Perubahan
alkalis menjadi asam terjadi 2-6 jam kemudian karena adanya perubahan biokimia, yaitu glikogen
menjadi asam sarkolaktik / fosfor. Perubahan protoplasma menjadi asam menyebabkan otot menjadi
kaku (rigor). Relaksasi sekunder terjadi setelah ada perubahan biokimia, yaitu asam berubah menjadi
alkalis kembali saat terjadi pembusukan.
Kaku mayat akan terjadi pada seluruh otot (gambar II.4), baik otot lurik maupun otot polos.
Dan bila terjadi pada otot rangka, maka akan didapatkan suatu kekakuan yang mirip atau menyerupai
papan sehingga dibutuhkan cukup tenaga untuk dapat melawan kekakuan tersebut , bila hal ini terjadi
otot dapat putus sehingga daerah tersebut tidak mungkin lagi terjadi kaku mayat.
Kaku mayat mulai terdapat sekitar 2 jam post mortem dan mencapai puncaknya setelah 10-12 jam
pos mortem, keadaan ini akan menetap selama 24 jam dan setelah 24 jam kaku mayat mulai
menghilang sesuai dengan urutan terjadinya, yaitu dimulai dari otot-otot wajah, leher, lengan, dada,
perut, dan tungkai.
Adanya kejanggalan dari postur pada mayat dimana kaku mayat telah terbentuk dengan posisi
sewaktu mayat ditemukan, dapat menjadi petunjuk bahwa pada tubuh korban telah dipindahkan
setelah mati. Ini mungkin dimaksudkan untuk menutupi sebab kematian atau cara kematian yang
sebenarnya.
Faktor-Faktor yang mempengaruhi kaku mayat:

Kondisi otot
o Persediaan glikogen
Cepat lambat kaku mayat tergantung persediaan glikogen otot. Pada kondisi tubuh sehat
sebelum meninggal, kaku mayat akan lambat dan lama, juga pada orang yang sebelum mati
o
o

lebih cepat
Usia
o Pada orangtua dan anak-anak lebih cepat dan tidak berlangsung lama
o Pada bayi premature, tidak terjadi kaku mayat, kaku mayat terjadi pada bayi cukup bulan
Keadaan lingkungan
o Keadaan kering lebih lambat daripada panas dan lembab
o Pada mayat dalam air dingin, kaku mayat akan cepat terjadi dan berlangsung lama
o Pada udara suhu tinggi, kaku mayat terjadi lebih cepat dan singkat, tetapi pada suhu rendah
o

banyak makan karbohidrat, maka kaku mayat akan lambat


Gizi
Pada mayat dengan kondisi gizi buruk, saat mati, kaku mayat akan cepat terjadi
Kegiatan otot
Pada orang yang melakukan kegiatan otot sebelum meninggal, maka kaku mayat akan terjadi

kaku mayat lebih lambat dan lama


Kaku mayat tidak terjadi pada suhu dibawah 10 C, kekakuan yang teradi pembekuan atau

cold stiffening
Cara kematian
o Pada mayat dengan penyakit kronis dan kurus, kaku mayat lebih cepat terjadi dan
o

berlangsung tidak lama


Pada mati mendadak, kaku mayat terjadi lebih lambat dan berlangsung lebih lama

17

Waktu terjadinya rigor mortis (kaku mayat)

Kurang dari 3 4 jam post mortem : belum terjadi rigor mortis

Lebih dari 3 4 jam post mortem : mulai terjadi rigor mortis

Rigor mortis maksimal terjadi 12 jam setelah kematian

Rigor mortis dipertahankan selama 12 jam

Rigor mortis menghilang 24 36 jam post mortem

Terdapat kekakuan pada pada mayat yang menyerupai kaku mayat :

Cadaveric spasme (instantaneous rigor), adalah bentuk kekakuan otot yang terjadi pada saat
kematian dan menetap. Cadaveric spasme sesungguhnya merupakan kaku mayat yang timbul
dengan intensitas sangat kuat tanpa didahului oleh relaksasi primer. Penyebabnya adalah akibat
habisnya cadangan glikogen dan ATP yang bersifat setempat pada saat mati klinis karena
kelelahan atau emosi yang hebat sesaat sebelum meninggal.
Kepentingan medikolegalnya adalah menunjukkan sikap terakhir masa hidupnya. Misalnya, tangan
yang

menggenggam

erat

benda

yang

diraihnya

pada

kasus

tenggelam,

tangan

yang

menggenggam pada kasus bunuh diri.

Heat stiffening, yaitu kekakuan otot akibat koagulasi protein otot oleh panas. Otot-otot berwarna
merah muda, kaku, tepi rapuh (mudah robek). Keadaan ini dapat dijumpai pada korban mati
terbakar. Pada saat stiffening serabut-serabut ototnya memendek sehingga menimbulkan fleksi
leher, siku, paha, dan lutut, membentuk sikap petinju (pugilistic attitude). Perubahan sikap ini tidak
memberikan arti tertentu bagi sikap semasa hidup, intravitalitas, penyebab atau cara kematian.

Cold stiffening, yaitu kekakuan tubuh akibat lingkungan dingin (dibawah 3,5 oC atau 40oF), sehingga
terjadi pembekuan cairan tubuh, termasuk cairan sendi, pemadatan jaringan lemak subkutan dan
otot, bila cairan sendi yang membeku menyebabkan sendi tidak dapat digerakan. Bila sendi di
bengkokkan secara paksa maka akan terdengar suara es pecah. Dan mayat yang kaku ini akan
menjadi lemas kembali bila diletakkan ditempat yang hangat, kemudian rigor mortis akan terjadi
dalam waktu yang sangat singkat.

c.

Pembusukan atau Decompositio


Pembusukan mayat nama lainnya dekomposisi dan putrefection. Pembusukan adalah proses degradasi
jaringan pada tubuh mayat yang terjadi sebagai akibat proses autolisis dan aktivitas mikroorganisme,
terutama Clostridium welchii.
Autolisis adalah perlunakan dan pencairan jaringan yang terjadi dalam keadaan steril melalui proses
kimia yang disebabkan oleh enzim-enzim intraseluler, sehingga organ-organ yang kaya dengan enzimenzim akan mengalami proses autolisis lebih cepat daripada organ-organ yang tidak memiliki enzim,
dengan demikian pankreas akan mengalami autolisis lebih cepat dari pada jantung. Proses autolisis ini
tidak dipengaruhi oleh mikroorganisme oleh karena itu pada mayat yang steril misalnya mayat bayi
dalam kandungan proses autolisis ini tetap terjadi. Proses auotolisis terjadi sebagai akibat dari
pengaruh enzim yang dilepaskan pasca mati. Mula-mula yang terkena adalah nukleoprotein yang
terdapat pada kromatin dan sesudah itu sitoplasmanya, kemudian dinding sel akan mengalami
kehancuran sebagai akibatnya jaringan akan menjadi lunak dan mencair.
Pada mayat yang dibekukan pelepasan enzim akan terhambat oleh pengaruh suhu yang rendah maka
proses autolisis ini akan dihambat demikian juga pada suhu tinggi enzim-enzim yang terdapat pada sel
akan mengalami kerusakan sehingga proses ini akan terhambat.
Setelah seseorang meninggal, maka semua sistem pertahanan tubuh akan hilang, bakteri yang secara
normal dihambat oleh jaringan tubuh akan segera masuk ke jaringan tubuh melalui pembuluh darah,
dimana darah merupakan media yang terbaik bagi bakteri untuk berkembang biak. Bakteri ini
menyebabkan hemolisa, pencairan bekuan darah yang terjadi sebelum dan sesudah mati, pencairan
trombus atau emboli, perusakan jaringan-jaringan dan pembentukan gas pembusukan. Bakteri yang

17

sering menyebabkan destruktif ini sebagian besar berasal dari usus dan yang paling utama adalah Cl.
welchii. Bakteri ini berkembang biak dengan cepat sekali menuju ke jaringan ikat dinding perut yang
menyebabkan perubahan warna. Perubahan warna ini terjadi oleh karena reaksi antara H2S (gas
pembusukan yang terjadi dalam usus besar) dengan Hb menjadi Sulf-Meth-Hb. Tanda pertama
pembusukan baru dapat dilihat kira-kira 24 jam - 48 jam pasca mati berupa warna kehijauan pada
dinding abdomen bagian bawah, lebih sering pada fosa iliaka kanan dimana

isinya lebih cair,

mengandung lebih banyak bakteri dan letaknya yang lebih superfisial. Perubahan warna ini secara
bertahap akan meluas keseluruh dinding abdomen sampai ke dada dan bau busukpun mulai tercium.
Perubahan warna ini juga dapat dilihat pada permukaan organ dalam seperti hepar, dimana hepar
merupakan organ yang langsung kontak dengan kolon transversum. Pada saat Cl.welchii mulai tumbuh
pada satu organ parenchim, maka sitoplasma dari organ sel itu akan mengalami disintegrasi dan
nukleusnya akan dirusak sehingga sel menjadi lisis atau rhexis. Kemudian sel-sel menjadi lepas
sehingga jaringan kehilangan strukturnya.
Bakteri ini kemudian masuk kedalam pembuluh darah dan berkembang biak didalamnya yang
menyebabkan hemolisa yang kemudian mewarnai dinding pembuluh darah dan jaringan sekitarnya.
Bakteri ini memproduksi gas-gas pembusukan yang mengisi pembuluh darah yang menyebabkan
pelebaran pembuluh darah superfisial tanpa merusak dinding pembuluh darahnya sehingga pembuluh
darah beserta cabang-cabangnya tampak lebih jelas seperti pohon gundul (arborescent pattern atau
arborescent mark) yang sering disebut marbling. Bakteri pembusukan ini banyak terdapat dalam
intestinal dan paru, maka gambaran marbling ini jelas terlihat pada bahu,dada bagian atas, abdomen
bagian bawah dan paha.
Secara mikroskopis bakteri dapat dilihat menggumpal pada rongga-rongga jaringan dimana bakteri
tersebut banyak memproduksi gelembung gas. Ukuran gelembung gas yang tadinya kecil dapat cepat
membesar menyerupai honey combed appearance. Lesi ini dapat dilihat pertama kali pada hati .
Kemudian permukaan lapisan atas epidermis dapat dengan mudah dilepaskan dengan jaringan yang
ada dibawahnya dan ini disebut skin slippage. Skin slippage ini menyebabkan identifikasi melalui
sidik jari sulit dilakukan. Pembentukan gas yang terjadi antara epidermis dan dermis mengakibatkan
timbulnya bula-bula yang bening, fragil, yang dapat berisi cairan coklat kemerahan yang berbau
busuk. Cairan ini kadang-kadang tidak mengisi secara penuh di dalam bula. Bula dapat menjadi
sedemikian besarnya menyerupai pendulum yang berukuran 5 7,5 cm dan bila pecah meninggalkan
daerah yang berminyak, berkilat dan berwarna kemerahan, ini disebabkan oleh karena pecahnya selsel lemak subkutan sehingga cairan lemak keluar ke lapisan dermis oleh karena tekanan gas
pembusukan dari dalam. Selain itu epitel kulit, kuku, rambut kepala, aksila dan pubis mudah dicabut
dan dilepaskan oleh karena adanya desintegrasi pada akar rambut.
Selama terjadi pembentukan gas-gas pembusukan, gelembung-gelembung udara mengisi hampir
seluruh jaringan subkutan. Gas yang terdapat di dalam jaringan dinding tubuh akan menyebabkan
terabanya krepitasi udara. Gas ini menyebabkan pembengkakan tubuh yang menyeluruh, dan tubuh
berada dalam sikap pugilistic attitude.
Scrotum dan penis dapat membesar dan membengkak, leher dan muka dapat menggembung, bibir
menonjol seperti frog-like-fashion, Kedua bola mata keluar, lidah terjulur diantara dua gigi, ini
menyebabkan mayat sulit dikenali kembali oleh keluarganya. Pembengkakan yang terjadi pada seluruh
tubuh mengakibatkan berat badan mayat yang tadinya 57 - 63 kg sebelum mati menjadi 95 - 114 kg
sesudah mati.
Tekanan yang meningkat didalam rongga dada oleh karena gas pembusukan yang terjadi didalam
cavum abdominal menyebabkan pengeluaran udara dan cairan pembusukan yang berasal dari trakea
dan bronkus terdorong keluar, bersama-sama dengan cairan darah yang keluar melalui mulut dan
hidung. Cairan pembusukan dapat ditemukan di dalam rongga dada, ini harus dibedakan dengan
hematotorak dan biasanya cairan pembusukan ini tidak lebih dari 200 cc.
Pengeluaran urine dan feses dapat terjadi oleh karena tekanan intra abdominal yang meningkat. Pada
wanita uterus dapat menjadi prolaps dan fetus dapat lahir dari uterus yang pregnan. Pada anak-anak

17

adanya gas pembusukan dalam tengkorak dan otak menyebabkan sutura-sutura kepala menjadi
mudah terlepas.
Organ-organ
dalam

mempunyai

kecepatan

pembusukan

yang

berbeda-beda.

Jaringan

intestinal,medula adrenal dan pancreas akan mengalami autolisis dalam beberapa jam setelah
kematian. Organ-organ dalam lain seperti hati, ginjal dan limpa merupakan organ yang cepat
mengalami pembusukan. Perubahan warna pada dinding lambung terutama di fundus dapat dilihat
dalam 24 jam pertama setelah kematian. Difusi cairan dari kandung empedu kejaringan sekitarnya
menyebabkan perubahan warna pada jaringan sekitarnya menjadi coklat kehijauan. Pada hati dapat
dilihat gambaran honey combs appearance, limpa menjadi sangat lunak dan mudah robek, dan otak
menjadi lunak.
Pembusukan lanjut dari organ dalam ini adalah pembentukan granula-granula milliary atau milliary
plaques yang berukuran kecil dengan diameter 1-3 mm yang terdapat pada permukaan serosa yang
terletak pada endotelial dari tubuh seperti pleura, peritoneum, pericardium dan endocardium.
Golongan organ berdasarkan kecepatan pembusukannya, yaitu:

Early: organ dalam yang cepat membusuk antara lain jaringan intestinal, medula adrenal,

pankreas, otak, lien, usus, uterus gravid, uterus post partum, dan darah
Moderate: organ dalam yang lambat membusuk antara lain paru-paru, jantung, ginjal, diafragma,

lambung, otot polos dan otot lurik


Late: uterus non gravid dan prostat merupakan organ yang lebih tahan terhadap pembusukan

karena memiliki struktur yang berbeda dengan jaringan yang lain yaitu jaringan fibrosa
Pada orang yang mengalami obesitas, lemak-lemak tubuh terutama perirenal, omentum dan
mesenterium dapat mencair menjadi cairan kuning yang transluscent yang mengisi rongga badan
diantara organ yang dapat menyebabkan autopsi lebih sulit dilakukan.
Disamping bakteri pembusukan insekta juga memegang peranan penting dalam proses pembusukan
sesudah mati. Beberapa jam setelah kematian lalat akan hinggap di badan dan meletakkan telurtelurnya pada lubang-lubang mata, hidung, mulut dan telinga. Biasanya jarang pada daerah
genitoanal. Bila ada luka ditubuh mayat lalat lebih sering meletakkan telur-telurnya pada luka tersebut,
sehingga bila ada telur atau larva lalat didaerah genitoanal ini maka dapat dicurigai adanya kekerasan
seksual sebelum kematian. Telur-telur lalat ini akan berubah menjadi larva dalam waktu 24 jam. Larva
ini mengeluarkan enzim proteolitik yang dapat mempercepat penghancuran jaringan pada tubuh.
Larva lalat dapat kita temukan pada mayat kira-kira 36-48 jam pasca kematian. Berguna untuk
memperkirakan saat kematian dan penyebab kematian karena keracunan. Saat kematian dapat kita
perkirakan dengan cara mengukur panjang larva lalat. Penyebab kematian karena racun dapat kita
ketahui dengan cara mengidentifikasi racun dalam larva lalat.
Insekta tidak hanya penting dalam proses pembusukan tetapi meraka juga memberi informasi penting
yang berhubungan dengan kematian. Insekta dapat dipergunakan untuk memperkirakan saat
kematian, memberi petunjuk bahwa tubuh mayat telah dipindahkan dari satu lokasi ke lokasi lainnya,
memberi tanda pada badan bagian mana yang mengalami trauma, dan dapat dipergunakan dalam
pemeriksaan toksikologi bila jaringan untuk specimen standart juga sudah mengalami pembusukan.
Aktifitas pembusukan sangat optimal pada temperatur berkisar antara 70-100F (21,1-37,8C)
aktifitas ini dihambat bila suhu berada dibawah 50F(10C) atau pada suhu diatas 100F (lebih dari
37,8C). Bila mayat diletakkan pada suhu hangat dan lembab maka proses pembusukan akan
berlangsung lebih cepat. Sebaliknya bila mayat diletakkan pada suhu dingin maka proses pembusukan
akan berlangsung lebih lambat. Pada mayat yang gemuk proses pembusukan berlangsung lebih cepat
dari pada mayat yang kurus. Pembusukan berlangsung lebih cepat karena kelebihan lemak akan
menghambat hilangnya panas tubuh dan pada mayat yang gemuk memiliki darah yang lebih banyak,
yang merupakan media yang baik untuk perkembangbiakkan organisme pembusukan.
Pada bayi yang baru lahir hilangnya panas tubuh yang cepat menghambat pertumbuhan bakteri
disamping pada tubuh bayi yang baru lahir memang terdapat sedikit bakteri sehingga proses
pembusukan berlangsung lebih lambat. Proses pembusukan juga dapat dipercepat dengan adanya

17

septikemia yang terjadi sebelum kematian seperti peritonitis fekalis, aborsi septik, dan infeksi paru.
Disini gas pembusukan dapat terjadi walaupun kulit masih terasa hangat.

17

Pembusukan dipengaruhi oleh beberapa faktor interinsik diatas, selain itu juga dipengaruhi oleh faktor
ekstrinsik antara lain kelembaban udara dan medium di mana mayat berada. Semakin lembab udara
di sekeliling mayat maka pembusukan lebih cepat berlangsung, sedangkan pembusukan pada medium
udara lebih cepat dibandingkan medium air dan pembusukan pada medium air lebih cepat
dibandingkan pada medium tanah.
Pada keadaan tertentu tanda-tanda pembusukan tersebut tidak dijumpai, namun yang
ditemui adalah modifikasi pembusukan. Jenis-jenis modifikasi pembusukan antara lain:

Mumifikasi
Mumifikasi dapat terjadi karena proses dehidrasi jaringan yang cukup cepat sehingga
terjadi pengeringan jaringan yang selanjutnya dapat menghentikan pembusukan.
Proses mumufikasi terjadi bila keadaan disekitar mayat kering, kelembaban rendah,
suhunya tinggi dan tidak ada kontaminasi dengan bakteri. Terjadinya beberapa bulan
sesudah mati dengan tanda-tanda sebagai berikut mayat menjadi kecil, kering,
mengkerut atau melisut, warna coklat kehitaman, kulit melekat erat dengan tulang di

bawahnya, tidak berbau, dan keadaan anatominya masih utuh.


Saponifikasi
Saponifikasi dapat terjadi pada mayat yang berada di dalamsuasana hangat, lembab
atau basah. Terjadi karena proses hidrolisis dari lemak menjadi asam lemak.
Selanjutnya asam lemak yang tak jenuh akan mengalami dehidrogenisasi menjadi
asam lemak jenuh dan kemudian bereaksi dengan alkali menjadi sabun yang tak larut.
Terbentuk pertama kali pada lemak superfisial bentuk bercak, di pipi, di payudara,
bokong bagian tubuh atau ekstremitas. Terjadinya saponikasi memerlukan waktu
beberapa bulan dan dapat terjadi pada setiap jaringan tubuh yang berlemak dengan
tanda-tanda berwarna keputihan dan berbau tengik seperti minyak kelapa.

d. Penurunan suhu tubuh mayat / algor mortis


Pada saat sel masih hidup ia akan selalu menghasilkan kalor dan energi. Kalor dan energi
ini terbentuk melalui proses pembakaran sumber energi seperti glukosa, lemak, dan
protein. Sumber energi utama yang digunakan adalah glukosa. Satu molekul glukosa dapat
menghasilkan energi sebanyak 36 ATP yang nantinya digunakan sebagai sumber energi
dalam berbagai hal seperti transport ion, kontraksi otot dan lain-lain. Energi sebanyak 36
ATP hanya menyusun sekitar 38% dari total energi yang dihasilkan dari satu molekul
glukosa (gambar II.1). Sisanya sebesar 62% energi yang dihasilkan inilah yang dilepaskan
sebagai kalor atau panas.
Sesudah mati, metabolisme yang menghasilkan panas akan terhenti sehingga suhu tubuh
akan turun menuju suhu udara atau medium di sekitarnya. Penurunan ini disebabkan oleh
adanya proses radiasi, konduksi, dan pancaran panas. Proses penurunan suhu pada mayat
ini biasa disebut algor mortis. Algor mortis merupakan salah satu perubahan yang dapat
kita temukan pada mayat yang sudah berada pada fase lanjut post mortem.
Pada beberapa jam pertama, penurunan suhu terjadi sangat lambat dengan bentuk
sigmoid. Hal ini disebabkan ada 2 faktor, yaitu:

Masih adanya sisa metabolisme dalam tubuh mayat, yakni karena masih adanya

proses glikogenolisis dari cadangan glikogen yang disimpan di otot dan hepar
Perbedaan koefisien hantar sehingga butuh waktu mencapai tangga suhu

Pada jam-jam pertama penurunannya sangat lambat tetapi sesudah itu penurunan
menjadi lebih cepat dan pada akhirnya menjadi lebih lambat kembali. Jika dirata-rata maka
penurunan suhu tersebut antara 0,9 sampai 1 derajat celcius atau sekitar 1,5 derajat
Fahrenheit setiap jam, dengan catatan penurunan suhu dimulai dari 37 derajat Celcius
atau

98,4

derajat

Fahrenheit

sehingga

dengan

dapat

dirumuskan

cara

untuk

memperkirakan berapa jam mayat telah mati dengan rumus (98,4 F - suhu rectal oF) :
o

1,5oF. Pengukuran dilakukan per rectal dengan menggunakan thermometer kimia (long
chemical thermometer).
Terdapat dua hal yang mempengaruhi cepatnya penurunan suhu mayat ini yakni:

Faktor internal
o Suhu tubuh saat mati
Sebab kematian, misalnya perdarahan otak dan septikemia, mati dengan suhu
tubuh tinggi. Suhu tubuh yang tinggi pada saat mati ini akan mengakibatkan
penurunan suhu tubuh menjadi lebih cepat. Sedangkan, pada hypothermia tingkat
penurunannya menjadi sebaliknya.
o

Keadaan tubuh mayat


Konstitusi tubuh pada anak dan orang tua makin mempercepat penurunan suhu
tubuh mayat. Pada mayat yang tubuhnya kurus, tingkat penurunannya menjadi

lebih cepat.
Faktor eksternal
o Suhu medium
Semakin besar selisih suhu antara medium dengan mayat maka semakin cepat
terjadinya penurunan suhu. Hal ini dikarenakan kalor yang ada di tubuh mayat
o

dilepaskan lebih cepat ke medium yang lebih dingin.


Keadaan udara di sekitarnya
Pada udara yang lembab, tingkat penurunan suhu menjadi lebih besar. Hal ini
disebabkan karena udara yang lembab merupakan konduktor yang baik. Selain itu,

Aliran udara juga makin mempercepat penurunan suhu tubuh mayat


Jenis medium
Pada medium air, tingkat penurunan suhu menjadi lebih cepat sebab air
merupakan konduktor panas yang baik sehingga mampu menyerap banyak panas

dari tubuh mayat.


Pakaian mayat
Semakin tipis pakaian yang dipakai maka penurunan suhu mayat semakin cepat.
Hal ini dikarenakan kontak antara tubuh mayat dengan suhu medium atau
lingkungan lebih mudah.

Tahap Dekomposisi
Peristiwa dekomposisi melibatkan berbagai aspek selain faktor biotik, yakni faktor abiotik
yang meliputi parameter fisik seperti temperatur, kelembaban, dan lain-lain. Menurut
Gennard (2007) dan Goff (2003), tahapan dekomposisi terdiri dari lima tahap antara lain:
Tahap1: fresh stage, tahapan dimulai pada saat kematian dan ditandai adanya tanda
penggelembungan pada tubuh. Serangga yang pertama kali datang adalah lalat dari famili
Calliphoridae dan Sarcophagidae. Lalat betina akan meletakkan telurnya di daerah yang
terbuka seperti daerah kepala (mata, hidung, mulut, dan telinga).

Tahap 2: bloated stage, merupakan tahapan pembusukan yang sedang dimulai. Gas yang
dihasilkan oleh aktivitas metabolisme bakteri anaerob menyebabkan penggelembungan
pada pada perut mayat. Selanjutnya suhu internal naik selama tahapan ini sebagai akibat
dari aktivitas bakteri pembusuk dan aktivitas metabolime dari larva lalat. Lalat dari famili
Calliphoridae sangat tertarik pada mayat selama tahapan ini. Kemudian selama
mengembang akibat adanya gas, cairan dalam tubuh terdorong keluar dari lubang-lubang
tubuh dan meresap ke dalam tanah. Cairan tersebut tersusun oleh senyawa seperti
amonia yang dihasilkan oleh aktivitas metabolisme dari larva lalat sehingga akan
menyebabkan tanah di bawah mayat itu untuk menjadi alkali (basa) dan fauna tanah
menjadi tertarik untuk menuju ke mayat.
Tahap 3: decay stage, tahapan ini ditandai adanya kerusakan kulit dan mengakibatkan
gas keluar dari tubuh. Larva lalat membentuk gerombolan yang besar pada mayat.
Meskipun beberapa serangga predator, seperti kumbang, tawon, dan semut, pada tahap
bloated stage, serangga necrophagous dan predator dapat diamati dalam jumlah besar
menjelang tahapan ini berakhir. Pada akhir tahap ini, lalat dari famili Calliphoridae dan
Sarcophagidae telah menyelesaikan perkembangan siklusnya dan meninggalkan mayat
untuk menjadi pupa. Pada akhir tahap ini, larva lalat akan menghilang dari jaringan tubuh
pada

mayat.

Tahap 4: postdecay stage, pada tahap ini sisa-sisa tubuh seperti kulit, kartilago dan usus
sudah mengalami pembusukan. Selanjutnya sisa jaringan tubuh yang masih ada akan
mengering. Indikator pada tahap ini adalah hadirnya kumbang dan berkurangnya
dominansi

lalat

di

dalam

tubuh

mayat.

Tahap 5: skeletal stage, pada tahap ini hanya tersisa tulang belulang dan rambut.
Tahapan ini tidak jelas serangga apa saja yang hadir. Pada kasus tertentu, kumbang dari
famili Nitidulidae terkadang ditemukan. Tubuh mayat sudah mengalami akhir dari
dekomposisi.
Estimasi Waktu Kematian
Ahli entomologi forensik sering memeriksa bukti serangga pada mayat manusia dan
menetukan berapa lama serangga tersebut berada di mayat. Periode waktu tersebut di
interpretasikan dalam postmortem interval (PMI) atau waktu sejak kematian. Analsis PMI
terbagi menjadi dua, yakni precolonization interval (pre-CI) dan postcolonization interval
(post-CI). Adapun penjelasan masing-masing interval tertera pada Gambar 4 (Tomberlin et
al., 2011).

Gambar 2. Fase entomologikal pada proses dekomposisi vertebrata (Tomberlin et al., 2011).

Untuk mengukur waktu kematian dapat digunakan suhu yang dibutuhkan oleh serangga
untuk hidup. Serangga merupakan hewan poikilotermik atau hewan yang suhu tubuh dan
aktivitas metabolismenya dipengaruhi oleh lingkungan. Serangga menggunakan energi
panas (thermal unit) untuk pertumbuhan dan perkembangnya. Sehingga kebutuhan
energi selama masa hidupnya dapat dikalkulasi. Thermal unit disebut juga hari derajat
(degree days D ) yang mana nilai D dapat ditambahkan bersamaan yang akan
menghasilkan nilai accumulated degree days (ADD). Jika periode thermal unit pendek
maka bisa digunakan accumulated degree hours (ADH). Dari peristiwa tersebut, maka
waktu kematian dpat dihitung dengan menggunakan rumus:

ADH = Waktu (hours) x (temperatur temperatur basal)


ADD = Waktu
(days)
Tanda-tanda yang ditemukan
pada lokasi

x (temperatur - temperatur basal)

Merupakan metode terakhir yang digunakan untuk menentukan waktu kematian. Tidak
spesifik tetapi cukup akurat.
Tanda tanda yang ditemukan pada lokasi meliputi:

2.

Surat dan Koran yang tak tersusun


Apakah lampu menyala atau tidak
Pada jam dan tanggal berapa jadwal tv terbuka
Bagaimana cara orang itu berpakaian
Makanan apa yang keluar atau mengotori piring dan temapt mencuci piring
Kwitansi penjualan dan tanggal yang terdapat pada kertas di dompet korban
Kapan terakhir tetangga melihatnya

Identifikasi kasus pembunuhan

Dalam pelayanan identifikasi forensik berbagai macam pemeriksaan dapat digunakan sebagai sarana
identifikasi. Berdasarkan penyelenggaraan penanganan pemeriksaannya, maka sarana-sarana
identifikasi dapat dikelompokkan:

1. Sarana identifikasi konvensional, yaitu berbagai macam pemeriksaan identifikasi yang biasanya
sudah dapat diselenggarakan penanganannya oleh pihak polisi penyidik antara lain:
a. Pemeriksaan secara visual dan fotografi mengenali ciri-ciri muka atau sinyalemen tubuh
lainnya
b. Pemeriksaan benda-benda milik pribadi seperti: pakaian, perhiasan, sepatu dan sebagainya
c. Pemeriksaan kartu-kart pengenal seperti KTP,SIM, Karpeg, kartu mahasiswa dan sebagainya,
surat-surat seperti surat tugas/ jalan atau dokumen-dokumen dsb
d. Pemeriksaan sidik jari dan lain-lain.
2. Sarana identifikasi medis, yaitu berbagai macam pemeriksaan identifikasi yang diselenggarakan
penanganannya oleh pihak medis, yaitu apabila pihak polisi penyidik tidak dapat menggunakan sarana
identidikasi konvensional atau kurang memperoleh hasil identifikasi yang meyakinkan, antara lain:
a. Pemeriksaan ciri-ciri tubuh yang spesifik maupun yang non-spesifik secara medis melalui
pemeriksaan luar dan dalam pada waktu otopsi. Beberpa ciri yang spesifik, misalnya cacat
bibir sumbing atau celah palatum, bekas luka ata operasi luar (sikatrik atau keloid),
hiperpigmentasi daerah kulit tertentu (toh), tahi lalat, tato, bekas fraktur atau adanya pin pada
bekas operasi tulang atau juga hilangnya bagian tubuh tertentu dan lain-lain. Bebera[a contoh
ciri non-spesifik antaralain misalnya tinggi badan, jenis kelamin, warna kulit, warna serta
bentuk rambut dan mata, bentuk-bentuk hidung, bibir dan sebagainya.
b. Pemeriksaan ciri-ciri gigi melalui pemeriksaan odontologis.
c. Pemeriksaan ciri-ciri badan atau rangka melalui pemeriksaan antropologis, antroposkopi dan
antropometri
d. Pemeriksaan golongan darah berbagai sistem: ABO, Rhesus, MN, Keel, Duffy, HLA dan
sebagainya.
e. Pemeriksaan ciri-ciri biologi molekuler sidik DNA dan lain-lain.
Kemudian yang dimaksud dengan identifikasi forensik adalah usaha untuk mengetahui identitas
seseorang yang ditujukan untuk kepentingan forensik, yaitu kepentingan untuk proses peradilan.
Identifikasi forensik mempunyai arti yang besar, khususnya untuk membantu penyidik dalam
usahanya untuk membuktikan bahwa seseorang adalah korban atau pelaku suatu tindak pidana yang
telah terjadi. Beberapa contoh kasus yang memerlukan penanganan identifikasi forensik adalah
sebagai berikut:
1. Kasus-kasus forensik kriminal atau pidana:
a. Kasus-kasus ditemukannya jenasah atau rangka tidak dikenal yang diduga sebagai korban
pembunuhan
b. Kasus-kasus penggalian jenasah atau rangka forensik tertentu yang memerlukan pembuktian
identitasnya.
Contoh:
(1) Penggalian jenasah Kasus TKI Atik yang dikirim pulang kembali dari Singapura ke
Yogyakarta dalam keadaan sudah meninggal dengan keterangan dari yang berwenang di
Singapura karena bunuh diri. Setelah dimakamkan ternyata pihak keluarganya masih belum
dapat menerima mengenai keterangan sebab-sebab dan cara kematian tersebut.
(2) Penggalian rangka pada penyidikan ulang kasus Marsinah.
c. Kasus-kasus pembunuhan bayi (infantisid), untuk mengetahui:
(1) Siapa orang tua bayi
(2) Berapa umur bayi, berkenan dengan penetapan berat ringannya sanksi dalam kasus
abortus kriminalis, seperti yang diatur dalam KUHP pasal-pasal 306, 308, 342 dan 349. Umur
bayi dalam bulan dapat diperkirakan berdasarkan ukuran panjang badan menurut Haase
(puncak kepala-tumit) atau menurut Streeter (puncak kepala-tulang ekor). Untuk mengetahui
apakah bayi lahir hidup atau mati dapat diektahui melalui tes apung paru-paru atau dapat juga
melalui pemeriksaan histologis garis-garis neonatal gigi. Mengenai garis-garis neonatal ini,
disebutkan bahwa proses mneralisasi pada gigi berlangsung kontinyu dan ritmis, fase aktif dan
istirahat silih berganti dalam keseimbangan yang halus dan peka. Ritme perkembangan ini
berpola, terlihat sebagai garis-garis sejajar disebut garis-garis pertumbuhan (incremental lines)
Retzius dalam email dan Owen dalam dentin. Pada gigi geligi yang proses kalsifikasinya
mulai prenatal, yaitu gigi-gigi susu dan geraham tetap pertama, disebutkan tampak dalam
penampang mikroskopis ada garis-garis pertumbuhan yang menyimpang polanya dan
bentuknya lain. Hal ini disebabkan karena goncangan dan perubahan dalam metabolisme
mineral pada saat lahir, karena pengaruh makanan dan perubahan lingkungan. Sejumlah garis
pertumbuhan yang menunjukkan aksentuasi sesaat lahir, dinamakan garis-garis neonatal.

2. Kasus-kasus forensik perdata:


Kasus-kasus paternitas:
a. Klamasi seorang ibu terhadap laki-laki sebagai ayah biologis anaknya pada kasus-kasus
perkosaan, hubungan gelap atau kumpul kebo dan sebagainya.
b. Kasus-kasus seperti perebutan bayi Dewi dan Cipluk, bayi X di Klaten dan sebagainya.
Di samping kasus-kasus forensik, terdapat pula kasus-kasus non-forensik yang juga
memerlukan penanganan identifikasi untuk keperluan-keperluan kemanusiaan seperti:
repatriasi, asuransi, santunan, sertifikat kematian, ahli waris, sosial lainnya dan bahkan
budaya. Beberapa contoh kasus misalnya:
1. Kasus-kasus ditemukannya jenasah orang gelandangan atau rangka tidak dikenal yang tidak
didapati adanya tanda-tanda kecurigaan sebagai korban pembunuhan.
2. Kasus-kasus repatriasi:
a. Pengembalian ke negara asal dan distribusi kepada masing-masing keluarganya atas
rangka jenasah korban Vietnam, Korea dan sebagainya
b. Musibah jemaah haji di Mina atau kecelakaan pesawat terbang jemaah haji Indonesia di
Colombo tahun 1974 bila diperlukan repatriasi
3. Kasus-kasus kecelakaan pesawat terbang dan musibah massal yang lain:
a. Kecelakaan pesawat terbang ABRI di Condet
b. Musibah kebakaran tempat hiburan diskotik di Manila
c. Musibah kecelakaan dan kebakaran bis Kramat Jati di jalan tol Jakarta
d. Musibah kebakaran pasar dan toko Robinson di Bogor
e. Tragedi musibah gedung WTC oleh teroris di Amerika Serikat
4. Penggalian antropologis dan arkeologis rangka non-forensik untuk kepentingan suatu
penelitian rekonstruksi sejarah manusia dan budayanya.
Bagaimana cara melakukan identifikasi? Dikenal ada dua metode melakukan identifikasi yaitu
secara membandingkan dan secara rekonstruksi.
Yang dimaksud dengan identifikasi membandingkan data adalah identifikasi yang dilakukan
dengan cara membandingkan antara data ciri hasil pemeriksaan hasil orang tak dikenal
dengan data ciri orang yang hilang yang diperkirakan yang pernah dibuat sebelumnya. Pada
penerapan penanganan identifikasi kasus korban jenasah tidak dikenal, maka kedua data ciri
yang dibandingkan tersebut adalah data post mortem dan data ante mortem. Data ante
mortem yang baik adalah berupa medical record dan dental record. Identifikasi dengan cara
membandingkan data ini berpeluang menentukan identitas sampai pada tingkat individual,
yaitu dapat menunjuka siapa jenasah yang tidak dikenal tersebut. Hal ini karena pada
identidikasi dengan cara membandingkan data, hasilnya hanya ada dua alternatif: identifikasi
positif atau negatif. Identifikasi positif, yaitu apabila kedua data yang dibandingkan adalah
sama, sehingga dapat disimpulkan bahwa jenasah yang tidak dikenali itu adalah sama dengan
orang yang hilang yang diperkirakan. Identifikasi negatif yaitu apabila data yang dibandingkan
tidak sama, sehingga dengan demikian belum dapat ditentukan siapa jenasah tak dienal
tersebut. Untuk itu masih harus dicarikan data pembanding ante mortem dari orang hilang lain
yang diperkirakan lagi. Untuk dapat melakukan identifikasi dengan cara membandingkan data,
diperlukan syarat yang tidak mudah, yaitu harus tersedianya data ante mortem berupa
medical atau dental record yang lengkap dan akurat serta up-to-date, memenuhi kriteria untuk
dapat dibandingkan dengan data post mortemnya. Apabila tidak dapat dipenuhi syarat
tersebut, maka identifikasi dengan cara membandingkan tidak dapat diterapkan.
Apabila identifikasi dengan cara membandingkan data tidak dapat diterapkan, bukan berarti
kita tidak dapat mengidentifikasi. Apabila demikian halnya, kita masih dapat mencoba
mengidentifikasi dengan cara merekonstruksi data hasil pemeriksaan post-mortem ke dalam
perkiraan-perkiraan mengenai jenis kelamin, umur, ras, tinggi dan bentuk serta ciri-ciri spesifik
badan.
Sebagai contoh:
1. Dengan mengamati lebar-sempitnya tulang panggul terhadap kriteria dan ukuran laki-laki
dan perempuan, dapat diperkirakan jenis kelaminnya.
2. Dengan mengamai interdigitasi dutura-sutura tengkorak dan pola waktu erupsi gigi, dapat
diperkirakan umurnya. Pada kasus infantisid dengan mengukur tinggi badan (kepala-tumit atau
kepala-tulang ekor) dapat diperkirakan umur bayi dalam bulan.

3. Dengan formula matematis, dapat diperhitungkan perkiraan tinggi badan individu dari
ukuran barang bukti tulang-tulang panjangnya.
4. Dengan perhitungan indeks-indeks dan modulus kefalometri atau kraniometri, dapat
diperhitungkan perkiraan ras dan bentuk muka individu.
5. Dengan ciri-ciri yang spesifik, dapat menuntun kepada siapa individu yang memilikinya.
Meskipun identifikasi cara rekonstruksi ini tidak sampai menghasilkan dapat menentukan
identitas sampai pada tingkat individual, namun demikian perkiraan-perkiraan identitas yang
dihasilkan dapat mempersempit dan memberikan arah penyidikan.
Terhadap pola permasalahan kasusnya, dikenal ada tiga macam sistem identifikasi, yaitu
sistem terbuka, tertutup dan semi terbuka atau semi tertutup.
Identifikasi sistem terbuka adalah identifikasi pada kasus yang terbuka kepada siapapun
dimaksudkan sebagai si korban tidak dikenal. Pola permasalahan kasusnya biasany: kriminal,
korban tunggal, sulit diperoleh data ante-mortem, identifikasinya biasanya dilakukan dengan
cara rekonstruksi, contoh: identifikasi korban pembunuhan tidak dikenal.
Identifikasi sistem tertutup adalah identifikasi pada kasus yang jumlah dan daftar korban tak
dikenalnya sudah diketahui. Pola permasalahan kasus biasanya: non-kriminal, korban massal,
dimungkinkan diperoleh data ante mortem, identifikasi dapat dilakukan dengan cara
membandingkan data, contoh: identifikasi korban kecelakaan pesawat terbang menabrak
gunung.
Identifikasi sistem semi terbuka atau semi tertutup adalah identifikasi pada suatu kasus yang
sebagian korban tidak dikenalnya sudah diketahui dan sebagian lainnya belum diketahui sama
sekali atau belum diektahui tetapi sudah tertentu, contoh: identifikasi korban kecelakaan
pesawat terbang di Malioboro (semi terbuka) atau di suatu perumahan (semi tertutup).
3.

Pandangan islam tentang pembunuhan

1) Pembunuhan sengaja (qatl al- amd)

Yaitu

menyengaja

suatu pembunuhan karena

adanya permusuhan terhadap orang lain dengan menggunakan alat yang pada umumnya mematikan,
melukai, atau benda-benda yang berat, secara langsung atau tidak langsung (sebagai akibat dari

suatu perbuatan), seperti menggunakan besi, pedang, kayu besar, suntikan pada organ tubuh yang
vital maupun tidak vital (paha dan pantat) yang jika terkena jarum menjadi bengkak dan sakit terus
menerus sampai mati, atau dengan memotong jari-jari seseorang sehingga menjadi luka dan
membawa pada kematian. Atau perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan tujuan untuk
menghilangkan

nyawa

seseorang

dengan

menggunakan

alat

yang

dipandang

layak

untuk

membunuh. Jadi matinya korban merupakan bagian yang dikehendaki si pembuat jarimah.
Al-Quran dan As-Sunnah mengharamkan pembunuhan sengaja ini secara tegas dan termasuk
perbuatan haram sebagaimana Allah berfirman dalam al-Quran :
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan
suatu (alasan) yang benar.
Adapun unsur-unsur dalam pembunuhan sengaja yaitu :
a) Korban adalah orang yang hidup.b) Perbuatan si pelaku yang mengakibatkan kematian korban.c)
Ada niat bagi si pelaku untuk menghilangkan nyawa korban.
Dan unsur yang terpenting diantara ketiganya ialah pada unsur yang ketiga, yaitu adanya niat si
pelaku.

Hal

ini

sangat

penting

karena

niat

pelaku

itu

merupakan

syarat

utama

dalampembunuhan sengaja. Dan masalah tersebut menjadi perbincangan para ulama karena niat itu
terletak dalam hati, sehingga tidak dapat diketahui. Dengan demikian akan ada kesulitan dalam
membuktikan bahwa seseorang melakukan pembunuhan itu apakah dengan sengaja atau tidak. Oleh
karena itu para fuqaha mencoba mengatasi kesulitan ini dengan cara melihat alat yang digunakan
dalam pembunuhan itu.
Sedangkan

menurut

as-Sayyid

Sabiq,

yang

dimaksud pembunuhan sengaja

adalahpembunuhan yang dilakukan oleh seseorang mukallaf kepada orang lain yang darahnya
terlindungi, dengan memakai alat yang pada umumnya dapat menyebabkan mati. Sedangkan
menurut Abdul Qodir Audah, pembunuhan sengaja adalah perbuatan menghilangkan nyawa orang
lain yang disertai dengan niat membunuh, artinya bahwa seseorang dapat dikatakan sebagai
pembunuh jika orang itu mempunyai kesempurnaan untuk melakukan pembunuhan. Jika seseorang
tidak
bermaksud

membunuh,

semata-mata

hanya

menyengaja

menyiksa,

maka

tidak

dinamakan

dengan pembunuhan sengaja, walaupun pada akhirnya orang itu mati. Hal ini sama dengan pukulan
yang menyebabkan mati (masuk dalam katagori syibh amd).
Menurut

Imam

syafii

dan

sebagai pembunuhan sengaja,

pendapat yang
selama

ia

kuat
dengan

danmenghendaki pila hilangnya nyawa si korban.


2) Pembunuhan menyerupai sengaja (qatl syibh al-amd)

dikalangan
sengaja

mazhab

Hambali,

mengadakan

dianggap

perbuatannya

Yaitu menyengaja suatu perbuatan aniaya terhadap orang lain, dengan alat yang pada umumnya tidak
mematikan, seperti memukul dengan batu kecil, tangan, pensil, atau tongkat yang ringan, dan
antara pukulan yang satu dengan yang lainnya tidak saling membantu,pukulannya bukan pada tempat
yang vital (mematikan), yang dipukul bukan anak kecil atau orang yang lemah, cuacanya tidak
terlalu panas/dingin yang dapat mempercepat kematian, sakitnya tidak berat dan menahun sehingga
membawa pada kematian, jika tidak terjadi kematian, maka tidak dinamakan qatl al-amd, karena
umumnya keadaan seperti itu dapat mematikan. Atau perbuatan yang sengaja dilakukan oleh
seseorang kepada orang lain dengan tujuan mendidik, misalnya: seorang guru memukulkan penggaris
kepada kaki seorang muridnya, tiba-tiba murid yang dipukul meninggal, maka perbuatan tersebut
dinamakan syibhu al amdi.
Dalam pembunuhan semi sengaja ini, ada 2 (dua) unsur yang berlainan, yaitu kesengajaandi satu sisi
dan kesalahan disisi

lain. Perbuatan

si

pelaku

untuk

memukul

si

korban

adalah

disengaja,

namun akibat yang dihasilkan dari perbuatan tersebut sama sekali tidak diinginkan pelaku.
Menurut Prof. H.A. Jazuli, ada 3 (tiga) dalam pembunuhan semi sengaja, yaitu ;
a. Pelaku melakukan suatu perbuatan yang mengakibatkan kematian.
b. Ada maksud penganiayaan atau permusuhan.
c. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan pelaku dengan kematian korban.
3) Pembunuhan kesalahan (qatl al-khata)
Yaitu pembunuhan yang terjadi dengan tanpa adanya maksud penganiayaan, baik dilihat dari
perbuatan maupun orangnya. Misalnya seseorang melempari pohon atau binatang tetapi mengenai
manusia (orang lain), kemudian mati. Menurut Sayid Sabiq, pembunuhantidak sengaja adalah
ketidaksengajaan

dalam

kedua

unsur,

yaitu

perbuatan

dan

akibat

yang

ditimbulkannya,

dalam pembunuhan tidak sengaja, perbuatan tersebut tidak diniati dan akibat yang terjadipun sama
sekali tidak dikehendaki.
Adapun unsur-unsur pembunuhan tidak sengaja yaitu ;
a) Adanya perbuatan yang menyebabkan kematian
b) Terjadinya perbuatan itu karena kesalahan
c) Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan kesalahan dengan kematian korban.
Dengan adanya pembunuhan, berarti ia telah melakukan pelanggaran tindak pidana, dan apabila
seseorang melakukan tindak pidana, maka ia akan menerima konsekuensi (akibat) logis atas
perbuatannya.

Dalam

mengartikan pembunuhan, macam-macam pembunuhandan

lain-lainnya,

para ulama banyak yang berselisih pendapat. Adapun macam-macampembunuhan menurut Ibnu
Hazm dan Imam Maliki itu hanya terbagi kedalam dua macam yaitu, pembunuhan sengaja (Qatl
'Amd), yaitu

suatu

perbuatan

penganiayaan

terhadap

seseorang

dengan

maksud

untuk

menghilangkan nyawanya, dan pembunuhan tidak sengaja (Qatl al-Khata'), yaitu pembunuhan yang
dilakukan karena kesalahan. Dalam jenispembunuhan ini ada tiga kemungkinan, yaitu:
1. Bila si pelaku sengaja melakukan perbuatan dengan tanpa maksud melakukan kejahatan, tetapi
mengakibatkan kematian seseorang; kesalahan seperti ini disebut salah dalam perbuatan (error
in Concrito).
2. Bila si pelaku sengaja melakukan perbuatan dan mempunyai niat membunuh seseorang yang dalam
persangkaannya boleh dibunuh, namun ternyata orang tersebut tidak boleh dibunuh, misalnya sengaja
menembak musuh yang harus ditembak dalam peperangan, tetapi ternyata kawan sendiri; kesalahan
demikian disebut salah dalam maksud (error in objecto).
Ibnu Hazm menolak pembunuhan sengaja salah (Qatl al-Khata'), seperti yang diungkapkan oleh
ulama lain, lebih lanjut Ibnu Hazm berpendapat, bahwa pembunuhan sengaja salah adalah
pendapat fasid yang menyalahi Nas al-Qur'an dan sunnah, karena dalam al-Qur'an dan sunnah sendiri
tidak menerangkan sama sekali.
Seperti

macam pembunuhan yang

dianut

oleh

Mazhab

Hanafi,

Hambali

dan

Syafi'i,

yang

menambahkan adanya pembunuhan semi sengaja) syibhu al amdi), yaitu perbuatan penganiayaan
terhadap seseorang tidak dengan maksud untuk membunuhnya tetapi mengakibatkan kematian.
Adapun dalam pembunuhan salah Ibnu Hazm mengatakan, bahwa pembunuhan tersebut bukan
suatu dosa, sebab suatu dosa itu yang dilarang Allah, sedang kesalahan itu tidak dilarang Allah Karena
kesalahan itu di luar kemampuan manusia. Oleh karena itu, segala kesalahan diampuni Allah dan tidak
berdosa bagi orang yang tersalah.
3. Bila si pelaku tidak bermaksud melakukan kejahatan, tetapi akibat kelalaiannya dapat menimbulkan
kematian, seperti seseorang terjatuh dan menimpa bayi yang berada di bawahnya hingga mati.
Pendapat Ibnu Hazm di atas berdasar atas Firman Allah SWT:
Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali Karena
tersalah (Tidak sengaja)
Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah
Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan
azab yang besar baginya.
Dalam

ayat

diatas

Allah

tidak

menempatkan pembunuhan bagian ketiga,

yang

terletak

antara pembunuhan sengaja dan pembunuhan tidak sengaja.


Macam-macam pembunuhan menurut Mahmud Syaltut, pembunuhan itu hanya terbagi kedalam
dua macam yaitu, pembunuhan sengaja (pembunuhan yang dilakukan karena unsur kesengajaan),
dan pembunuhan salah
yang mengakibatkan

(Pembunuhan yang

kematian),

adapun

dilakukan

mengenai

karena

unsur

alat pembunuhantidak

ketidaksengajaan
dapat diterapkan

dalam pembunuhan karena dalam al-Qur'an dan hadis sahih puntidak menjelaskan alat yang

digunakan dalam pembunuhan, akan tetapi hanya menjelaskanmacam-macam pembunuhan saja.


Sedangkan mengenai alat pembunuhan diserahkan kepada ketentuan yang berlaku di tengah-tengah
masyarakat itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai

  • Ahdka KD
    Ahdka KD
    Dokumen1 halaman
    Ahdka KD
    sheila_andini_1
    Belum ada peringkat
  • Referat
    Referat
    Dokumen36 halaman
    Referat
    sheila_andini_1
    Belum ada peringkat
  • Bcnamcma
    Bcnamcma
    Dokumen2 halaman
    Bcnamcma
    sheila_andini_1
    Belum ada peringkat
  • Case
    Case
    Dokumen8 halaman
    Case
    sheila_andini_1
    Belum ada peringkat
  • Penyuluhan Poli
    Penyuluhan Poli
    Dokumen6 halaman
    Penyuluhan Poli
    sheila_andini_1
    Belum ada peringkat
  • Skenario 2 Muskulo
    Skenario 2 Muskulo
    Dokumen17 halaman
    Skenario 2 Muskulo
    sheila_andini_1
    Belum ada peringkat
  • PPT
    PPT
    Dokumen25 halaman
    PPT
    sheila_andini_1
    Belum ada peringkat
  • Jurding
    Jurding
    Dokumen15 halaman
    Jurding
    sheila_andini_1
    Belum ada peringkat
  • Jurding
    Jurding
    Dokumen10 halaman
    Jurding
    sheila_andini_1
    Belum ada peringkat
  • Cover Jurding
    Cover Jurding
    Dokumen1 halaman
    Cover Jurding
    sheila_andini_1
    Belum ada peringkat
  • Cover Jurding
    Cover Jurding
    Dokumen1 halaman
    Cover Jurding
    sheila_andini_1
    Belum ada peringkat
  • Word Jurding
    Word Jurding
    Dokumen10 halaman
    Word Jurding
    sheila_andini_1
    Belum ada peringkat
  • Skenario 1
    Skenario 1
    Dokumen35 halaman
    Skenario 1
    sheila_andini_1
    Belum ada peringkat
  • Jurding
    Jurding
    Dokumen10 halaman
    Jurding
    sheila_andini_1
    Belum ada peringkat
  • PBL Skenario 2
    PBL Skenario 2
    Dokumen20 halaman
    PBL Skenario 2
    sheila_andini_1
    Belum ada peringkat
  • Skenario 2 Muskulo
    Skenario 2 Muskulo
    Dokumen17 halaman
    Skenario 2 Muskulo
    sheila_andini_1
    Belum ada peringkat
  • PBL 3
    PBL 3
    Dokumen13 halaman
    PBL 3
    sheila_andini_1
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    sheila_andini_1
    Belum ada peringkat
  • Skripsi
    Skripsi
    Dokumen20 halaman
    Skripsi
    sheila_andini_1
    Belum ada peringkat
  • Jurnal Reading
    Jurnal Reading
    Dokumen9 halaman
    Jurnal Reading
    sheila_andini_1
    Belum ada peringkat
  • Pancasila UTS
    Pancasila UTS
    Dokumen13 halaman
    Pancasila UTS
    sheila_andini_1
    Belum ada peringkat
  • Jurnal Reading
    Jurnal Reading
    Dokumen9 halaman
    Jurnal Reading
    sheila_andini_1
    Belum ada peringkat
  • Skenario 2 Muskulo
    Skenario 2 Muskulo
    Dokumen17 halaman
    Skenario 2 Muskulo
    sheila_andini_1
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    sheila_andini_1
    Belum ada peringkat
  • Skenario 2
    Skenario 2
    Dokumen14 halaman
    Skenario 2
    sheila_andini_1
    Belum ada peringkat
  • Strategi Pancasila
    Strategi Pancasila
    Dokumen2 halaman
    Strategi Pancasila
    sheila_andini_1
    Belum ada peringkat
  • Skenario 3
    Skenario 3
    Dokumen13 halaman
    Skenario 3
    sheila_andini_1
    Belum ada peringkat
  • Skenario 1
    Skenario 1
    Dokumen13 halaman
    Skenario 1
    sheila_andini_1
    Belum ada peringkat
  • Strategi Pancasila
    Strategi Pancasila
    Dokumen2 halaman
    Strategi Pancasila
    sheila_andini_1
    Belum ada peringkat