PENDAHULUAN
Fungsi fisiologik kelenjar adrenal yang penting dikenal sejak tahun 1855
ketika Addison melihat gejala klinik pasien dengan kerusakan kelenjar tersebut,
yang kemudian dikenal sebagai Addison Disease. Bagian korteks mengeluarkan
hormonn-hormon steroid yaitu glukokortikoid (kortisol dan kortikosteron oleh
zona fasikulata) dan mineralokortikoid (aldosteron oleh zona glomerulosa) yang
efeknya berlainan. Hormon kortisol dan kortikosteron terutama berpengaruh pada
metabolisme karbohidrat, sedangkan aldosteron pada keseimbangan air dan
elektrolit yaitu kemampuannya meretensi natrium. 1
Komponen terapeutik kortikosteroid pertama kali didemonstrasikan oleh
Edward Kendall dan Philip Hench pada tahun 1948. Selama tahun 1950an telah
ditemukan bahwa hidrokortison, hormon glukokortikoid alami, dapat mengurangi
inflamasi dan proliferasi pada beberapa kelainan kulit. Modifikasi kimia dari
hormon dasar ini kemudian meningkatkan sampai menggandakan kortikosteroid
dengan berbagai kekuatan, dan dengan propertinya masing-masing.2
Saat ini, banyak kegunaan klinis dari steroid yang berkaitan dengan efek
antiinflamasi dan imuno-modulasi yang poten. Kortikosteroid digunakan untuk
terapi pengganti pada insufisiensi adrenal (pada dosis fisiologis) dan pada dosis
suprafisiologis digunakan untuk manajemen berbagai kelainan dermatologi,
oftalmologi, reumatologi, pulmonary, hematologi, dan gastrointestinal. Dalam
lingkup respirologi, kortikosteroid sistemik digunakan untuk mengobati
eksaserbasi akut pada penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dan asma parah dan
tidak terkontrol, selain itu dapat juga digunakan pada penyakit inflamasi parenkim
paru seperti hypersensitivity pneumonitis dan vaskulitis termediasi imun. 3, 4
Efek samping kortikosteroid yang relevan secara klinis adalah hal biasa
dan masih menjadi masalah, mulai dari kasus minor seperti jerawat sampai
sindrom Cushing yang dapat menyebabkan diabetes mellitus dan penyakit jantung
yang membahayakan nyawa bila tidak ditangani. Efek samping dapat terjadi pada
cakupan yan luas bergantung pada rute pemberiannya. 3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sintesis
Steroid farmaseutikal biasanya disintesis dari asam kolat yang didapat
dari ternak atau steroid sapogenin yang ditemukan pada tanaman. Modifikasi
steroid ini lebih lanjut telah menyebabkan dipasarkannya sejumlah besar
steroid sintetik dengan sifat khusus yang penting secara farmakologis dan
terapi.5
B. Farmakokinetik
Kortisol dan analog sintetiknya pada pemberian oral diabsorbsi cukup
baik. Untuk mencapai kadar tinggi dengan cepat dalam cairan tubuh, ester
kortisol dan hormon sintetiknya diberikan secara intravena (IV). Untuk
mendapatkan efek yang lama kortisol dan esternya diberikan secara
intramuskular (IM).1
Glukokortikoid dapat diabsorbsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan
ruang synovial. Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas
dapat menyebabkan efek sistemik, antara lain supresi korteks adrenal.1
Pada keadaan normal, 90% kortisol terikat pada 2 jenis protein plasma
yaitu globulin pengikat kortikosteroid dan albumin. Afinitas globulin tinggi
tetapi kapasitasnya rendah, sebaliknya afinitas albumin rendah tetapi kapasitas
ikatannya hormon tinggi. Karena itu pada kadar rendah atau normal, sebagian
besar kortikosteroid terikat globulin.1
Biotransformasi steroid terjadi di dalam dan di luar hati. Metabolitnya
merupakan senyawa inaktif atau berpotensi rendah.1
Setelah penyuntikan IV steroid radioaktif sebagian besar dalam waktu
72 jam disekresi dalam urin, sedangkan di feses dan empedu hampir tidak ada.
Diperkirakan paling sedikit 70% kortisol yang disekresi mengalami
metabolisme di hepar. Masa paruh eliminasi kortisol sekitar 1,5 jam. Adanya
ikatan rangkap C 1-2 atau substitusi fluor memperlambat proses hormon dan
karenanya dapat memperpanjang masa paruh eliminasi.1
C. Farmakodinamik
Kortikosteroid mempengaruhi hormon karbohidrat, protein dan lemak;
dan mempengaruhi juga fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot lurik, sistem
saraf dan organ lain. Korteks adrenal berfungsi homeostatik, artinya penting
bagi organisme untuk dapat mempertahankan diri dalam menghadapi
perubahan lingkungan.1
Efek kortikosteroid kebanyakan berhubungan dengan besarnya dosis,
makin besar dosis makin basar efek yang didapat. Tetapi disamping itu juga
ada keterkaitan kerja kortikosteroid dengan hormon lain. Peran kortikosteroid
dalam kerjasama ini disebut permissive effects yaitu kortikosteroid diperlukan
supaya terjadi suaru efek hormon lain, diduga mekanismenya adalah melalui
pengaruh steroid terhadap pembentukan protein yang mengubah respons
jaringan terhadap hormon lain.1
Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi 2 golongan
besar yaitu glukokortikoid dan mineralkortikoid. Efek utama glukokortikoid
ialah pada penyimpanan glikogen hepar dan anti-inflamasi, sedangkan
pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil. Sebaliknya golongan
mineralkortikoid efek utamanya adalah terhadap keseimbangan air dan
elektrolit, sedangkan pengaruhnya pada penyimpanan glikogen hepar sangat
kecil. Umumnya golongan mineralkortikoid tidak memiliki efek anti-inflamasi
yang berarti, kecuali 9 -fluorokortisol. Meskipun demikian sediaan ini tidak
pernah dipakai sebagai obat anti-inflamasi karena efeknya pada keseimbangan
air dan elektrolit terlalu besar.1
Sediaan
kortikosteroid
dapat
dibedakan
menjadi
golongan
antiproliferatif
glukokortikoid
pada
fibroblast
yaitu
Pada
penggunaan
kortikosteroid,
karakteristik
kulit
yang
6, 11
strategi
telah
muncul
untuk
mengurangi
efek
Gambar 4. Telangiektasis
Sebagai tambahan dari atrofi, kortikosteroid menstimulasi sel-sel
endothelial pada mikrovaskular kulit, menyebabkan telangiektasis.
Kondisi ini ditandai dengan dilatasi abnormal pada pembuluh kapiler dan
arteriola. 14
10
11
BAB III
KESIMPULAN
Banyak kegunaan klinis dari steroid yang berkaitan dengan efek
antiinflamasi dan imuno-modulasi yang poten. Kortikosteroid digunakan untuk
terpai pengganti pada insufisiensi adrenal (pada dosis fisiologis) dan pada dosis
suprafisiologis digunakan untuk manajemen berbagai kelainan dermatologi,
oftalmologi, reumatologi, pulmonary, hematologi, dan gastrointestinal. Dalam
lingkup respirologi, kortikosteroid sistemik digunakan untuk mengobati
aksaserbasi akut pada penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dan asma parah dan
tidak terkontrol, selain itu dapat juga digunakan pada penyakit inflamasi parenkim
paru seperti hypersensitivity pneumonitis dan vaskulitis termediasi imun. 3, 4
Efek samping kortikosteroid yang relevan secara klinis adalah hal biasa
dan masih menjadi masalah, mulai dari kasus minor seperti jerawat sampai
sindrom Cushing yang dapat menyebabkan diabetes mellitus dan penyakit jantung
yang membahayakan nyawa bila tidak ditangani. Efek samping dapat terjadi pada
cakupan yan luas bergantung pada rute pemberiannya. 3
Pada umumnya, efek samping pada penggunaan kortikosteroid meningkat
sesuai dengan peningkatan dosis, lama pengobatan dan frekuensi penggunaan.
Beberapa efek samping penggunaan kortikosteroid sistemik jangka panjang pada
kulit yaitu striae atrofisme, erupsi akneformis, purpura, telangiektasis, dan
penyembuhan luka yang buruk. 4, 6
12