Anda di halaman 1dari 39

ANALISIS POLA KUMAN DAN POLA RESISTENSI ANTIBIOTIK PADA

PENYAKIT INFEKSI SALURAN KEMIH DI BANGSAL ANAK RSUD


RADEN MATTAHER JAMBI

BAB I
PENDAHULUAN
I.I Latar belakang masalah
Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan infeksi yang paling sering
ditemukan di masyarakat termasuk di negara maju. Meskipun sering dianggap
sebagai penyakit tidak membahayakan, namun penyakit ini cukup menjadi beban
bagi penderita maupun masyarakat. Selain menjadi beban sosial, ISK juga
ternyata berdampak kepada meningkatnya beban ekonomi. Di negara maju
diperkirakan biaya yang harus dihabiskan untuk penanganan ISK ini berkisar
antara 2-6 milyar dolar setiap tahunnya (Sotelo & Westney, 2003).
Sebagian besar infeksi saluran kemih (ISK) disebabkan oleh bakteri dan

hanya sebagian kecil yang disebabkan oleh jamur atau virus. Bakteri dapat masuk
ke dalam saluran kemih dari daerah rektum melalui uretra dan akan
menginflamasi daerah kandung kemih dan hal inilah yang disebut dengan ISK.
Sehingga pengobatan yang utama pada ISK adalah antibiotik (Endriani et al.,
2010).
Sejak antibiotik ditemukan pada tahun 1940-an, obat tersebut telah
digunakan secara luas untuk mengurangi angka kematian yang disebabkan oleh

penyakit infeksi. Namun, penggunaan antibiotik ini tidak selalu didasarkan pada
hasil kultur kuman penyebab infeksi terhadap antibiotik yang bersangkutan,
keadaan ini cenderung dapat meningkatkan penggunaan antibiotik secara tidak
rasional, yang pada akhirnya berdampak pada pengobatan yang tidak efektif dan
memicu terjadinya resistensi bakteri (Soewondo, 2002).
Studi yang telah dilakukan di Indonesia selama 1990-2010, diketahui
resistensi terjadi hampir pada semua bakteri-bakteri patogen penting. Hal tersebut
merupakan dampak negatif dari pemakaian antibiotik yang tidak rasional
(Febiana. T, 2012).
Pemakaian antibiotik yang tidak rasional dapat menyebabkan peningkatan
toksisitas, dan efek samping antibiotik tersebut, serta biaya rumah sakit yang
meningkat. Sehingga diperlukan penggunaan antibiotik berdasarkan diagnosis
oleh tenaga medis profesional, monitoring dan regulasi penggunaan antibiotik
untuk meningkatkan penggunaan antibiotik secara rasional (Wilianti, N.P, 2009).
Hasil survey awal, diketahui jumlah pasien penderita infeksi saluran kemih
(ISK) yang menjalani rawat inap di RSUD Raden Mattaher Jambi masih tinggi.
Dari total kunjungan pasien pada bulan Januari-Oktober 2013 diketahui jumlah
pasien yang menderita infeksi saluran kemih adalah 109 orang (laki-laki = 34,
perempuan = 75). Dari total pasien yang ada, anak-anak merupakan pasien yang
paling banyak ditemui. Pasien dicurigai telah mengalami resisensi antibiotik
sehingga perlu dilakukan uji kultur. Berdasarkan data pemeriksaan yang dilakukan
di Laboratorium Mikrobiologi RSUD Raden Mattaher Jambi diketahui jumlah

pasien yang melakukan kultur urin pada bulan Oktober-Desember 2013 berjumlah
20 orang. Dari catatan rekam medik di rumah sakit, beberapa pasien dengan
diagnosa penyakit infeksi saluran kemih menggunakan antibiotik secara tidak
rasional,

contohnya

pada

pemakaian

antibiotik

ceftriakson

pasien

menggunakannya melebihi batas waktu serta ditemukan penundaan pemakaian


pada beberapa antibiotik.
Berdasarkan uraian diatas, sangat penting untuk dilakukan identifikasi
bakteri pada pasien infeksi saluran kemih serta uji resistensinya terhadap beberapa
antibiotik yang sering digunakan di RSUD Raden Mattaher Jambi untuk
penanganan ISK yang lebih rasional.
1.2 Perumusan Masalah
1. Bakteri apa saja yang terdapat pada urin pasien penderita Infeksi Saluran
Kemih (ISK) di RSUD Raden Mattaher Jambi?
2. Bagaimana pola resistensi bakteri dari urin pasien infeksi saluran kemih
(ISK) terhadap beberapa antibiotika yang digunakan?

1.3 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bakteri apa saja yang terdapat
pada urin pasien penderita infeksi saluran kemih dan mengetahui bagaimana pola
resistensi bakteri penyebab infeksi saluran kemih terhadap beberapa antibiotik
yang digunakan pasien rawat inap di RSUD Raden Mattaher Jambi.

1.4 Manfaat Penelitian


1. Sebagai pertimbangan dalam pemilihan antibiotik dalam penatalaksanaan
penyakit infeksi saluran kemih sehingga pemberian anibiotika dapat lebih
terarah dan rasional.
2. Bagi penelitian lain, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi data
awal untuk penelitian selanjutnya mengenai bakteri dari urin infeksi
saluran kemih.

1.5 Hipotesa
1. Tidak ditemukan adanya resistensi bakteri pada sampel urin penderita
infeksi saluran kemih terhadap beberapa antibiotika yang digunakan di
RSUD Raden Mattaher Jambi.
2. Ditemukannya resistensi bakteri pada sampel urin penderita infeksi saluran
kemih terhadap antibiotika di RSUD Raden Mattaher Jambi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Saluran Kemih (ISK)


2.1.1 Definisi
Infeksi saluran kemih (ISK) adalah infeksi akibat berkembangbiaknya
mikroorganisme di dalam saluran kemih, yang dalam keadaan normal air kemih
tidak mengandung bakteri, virus atau mikroorganisme lain ( Samirah et al., 2006).
Infeksi saluran kemih dapat dibagi atas simptomatik dan asimptomatik.
Disebut asimptomatik bila dijumpai bakteriuria bermakna namun tidak disertai
gejala klinis ISK. Sedangkan simptomatik bila dijumpai bakteriuria bermakna
disertai gejala klinis ISK seperti nyeri saat buang air kecil (BAK) dan peningkatan
frekuensi BAK (Yulianto, 2009).
ISK simptomatik terbagi menjadi dua yaitu ISK bagian bawah (sistitis)
dan bagian atas (pielonefritis). Kedua bagian ini paling berperan dalam
menimbulkan morbiditas penderitanya. ISK bagian atas (pielonefritis) merupakan
infeksi bakteri pada piala ginjal, tubulus dan jaringan interstisial dari ginjal.
Pielonefritis biasanya terjadi karena kegagalan pada refluks vesikoureter yang
menyebabkan aliran balik urin ke dalam ureter dari kandung kemih. ISK bagian
bawah (sistitis) merupakan inflamasi kandung kemih yang disebabkan karena
infeksi dafluksri uretra. Hal ini dapat disebabkan karena aliran balik urin dari
ureter ke dalam kandung kemih, dapat juga disebabkan karena kontaminasi

bakteri dan karena pemakaian kateter yang tidak aseptik (Pamungkas, E.M.,
2012).

2.1.2 Patofisiologi Infeksi Saluran Kemih (ISK)


ISK dapat menyerang segala umur dan jenis kelamin. Namun perempuan
lebih sering terkena ISK kerena memiliki uretra yang lebih pendek dibanding lakilaki sehingga mamudahkan bakteri masuk ke dalam kandung kemih. Kuman yang
berasal dari feses atau dubur masuk ke dalam saluran kemih bagian bawah atau
uretra kemudian masuk ke dalam kandung kemih dan dapat sampai ke ginjal
(Samirah et al, 2006).
Patogenesis ISK sangat kompleks, karena tergantung dari banyak faktor
seperti faktor penjamu (host) dan faktor organisme. Bakteri dalam urin dapat
berasal dari ginjal, kandung kemih, dan dari uretra. Mukosa kandung kemih
dilapisi oleh glycoprotein mucin layer yang berfungsi sebagai anti bakteri.
Robeknya lapisan ini dapat menyebabkan bakteri dapat melekat, membentuk
koloni pada permukaan mukosa, masuk menembus epitel, dan selanjutnya terjadi
peradangan. Bakteri dari kandung kemih dapat naik ke ureter dan sampai ke ginjal
melalui lapisan tipis cairan (films of fluid), bakteri akan lebih mudah masuk
terlebih lagi dengan adanya kegagalan refluks vesikoureter. Bakteri dapat masuk
ke dalam saluran kemih melalui 3 jalur (Corona, 2003 ; Sawalha, 2009) :
a. Asenden
Jalur asenden merupakan jalur yang paling sering menyebabkan ISK. Jalur
asenden adalah masuknya bakteri feses ke dalam kandung kemih melalui

uretra atau ke dalam ginjal melalui ureter. Wanita sering terkena ISK
melalui jalur ini karena wanita memiliki ukuran uretra pendek. Aktivitas
seksual, kebiasaan toilet yang buruk, dan dekatnya jarak antara uretra
dengan lubang anal dapat menaikkan kerentanan wanita terhadap ISK.
b. Hematogen
Jalur hematogen merupakan jalur yang jarang terjadi bila dibandingkan
dengan jalur asenden, Jalur hematogen disebabkan karena adanya bakteri
dalam darah. Bakteremia stafilokokus merupakan bakteri yang paling
sering menyerang dari jalur ini. Stafilokokus menyebar dari korteks atau
c.

ginjal yang akan mengakibatkan pembentukan abses.


Perluasan langsung
Infeksi saluran kemih pada jalur ini disebabkan karena pembentukan abses
atau fistula seperti fistula kolovesikalis. Jalur ini yang menyebabkan
kambuhnya ISK pada penderitanya.

2.1.3 Epidemiologi
ISK terjadi pada 3-5% anak perempuan dan 1% dari anak laki-laki. Pada
anak perempuan, ISK pertama biasanya terjadi pada umur 5 tahun, setelah ISK
pertama, 60% - 80% anak perempuan akan mengembangkan ISK yang kedua
dalam 18 bulan. Pada anak laki-laki, ISK paling banyak terjadi selama tahun
pertama kehidupan. ISK jauh lebih sering terjadi pada anak laki-laki yang tidak
disunat ( Elder JS, 2007 ).
2.1.4 Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan urin merupakan salah satu pemeriksaan yang sangat penting
pada infeksi saluran kemih. Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan urinalisis dan
pemeriksaan kultur urine. Pada urinalisis dicari kemungkinan adanya sel leukosit,
eritrosit, ataupun bakteria. Pemeriksaan kultur urine dimaksudkan untuk

menentukan keberadaan kuman, jenis kuman, dan sekaligus menentukan jenis


antibiotika yang cocok untuk membunuh kuman itu (Basuki B. Purnomo, 2011).

2.2 Bakteri
2.2.1 Definisi bakteri
Bakteri merupakan salah satu golongan organisme prokariotik (tidak
mempunyai selubung inti). Bakteri sebagai makhluk hidup memiliki informasi
genetik berupa DNA, tapi tidak terlokalisasi dalam tempat khusus (nukleus) dan
tidak ada membran inti. DNA pada bakteri berbentuk sirkuler, panjang dan biasa
disebut nukleoid. DNA bakteri tidak mempunyai intron dan hanya tersusun atas
ekson saja. Bakteri juga memiliki DNA ekstrakromosomal yang tergabung
menjadi plasmid yang berbentuk kecil dan sirkuler (Mosby, 2005).

2.2.2 Bentuk bakteri


Secara umum bakteri mempunyai 4 macam bentuk yaitu (Entjang. I,
2003):
1. Bentuk Coccus

Bentuknya

bulat

seperti

peluru.

Sehubungan

dengan

cara

pembelahannya dan susunannya setelah pembelahan dibagi dalam:


a. Diplococcus
Yaitu coccus yang membelah diri ke satu arah dan setelah
pembelahannya

tetap

berkelompok

dua-dua.

Misalnya:

Diplococcus pneumonia, Neisseria gonorrhoea.


b. Streptococcus
Yaitu coccus yang membelah diri ke satu arah dimana setelah
pembelahannya tetap tidak berpencar menyerupai rantai. Misalnya:
Streptococcus pyogenes.
c. Tetracoccus (Gaffkya)
Yaitu coccus yang membelah diri ke dua arah dan setelah
pembelahannya

tetap

berkelompok

empat-empat.

Misalnya:

Gaffkya tertragena.
d. Sarcina
Yaitu coccus yang membelah diri ketiga arah yang mempunyai
sudut 90 (sembilan puluh derajat), dimana setelah pembelahannya
tetap berkelompok menyerupai kubus 8 (delapan) cocci. Misalnya:
Sarcina lutea.
e. Staphylococcus
Yaitu coccus yang membelah diri ke arah yang tidak teratur
kemudian berkelompok menyerupai buah anggur. Misalnya:
Staphylococcus pyogenes

2. Bentuk bacillus (batang)


Bentuknya seperti batang. Misalnya: Clostridium tetani
3. Bentuk vibrio (koma)
Berupa batang yang bengkok. Misalnya: Vibrio cholera
4. Bentuk spirillum (spiral)
Berupa batang yang melilit. Misalnya: Treponema pallida
2.2.3 Ukuran bakteri
Ukuran bakteri berbeda-beda, tergantung jenisnya. Bahkan dari 1 (satu)
genus tertentu pun bisa berbeda-beda tergantung pada berbagai faktor, antara
lain umur bakteri dan keadaan sekeliling bakteri. Pada umumnya bakteri
mempunyai ukuran panjang 1,0-5,0 mikron dan tebal 0,2-1,5 mikron
(Entjang. I, 2003) :

Gambar 11.1. Anatomi dan Morfologi Bakteri (Sylvia. P. T. 2008)


2.2.4 Anatomi bakteri
Anatomi bakteri terdiri dari (Entjang. I, 2003) :
1. Dinding sel
Pada bakteri jelas adanya dinding sel yang terpisah dari protoplasmanya.
Hal ini dapat dibuktikan dengan proses plasmolisis. Dinding sel yang
kaku dan kuat menyebabkan bakteri mempunyai bentuk yang tetap dan
10

terlindung dari pengaruh buruk dari luar. Karena dinding sel bersifat lebih
kaku maka dengan menempatkan bakteri dalam larutan hipertonis,
protoplasma akan mengerut dan terlepas dari dinding sel, sehingga dinding
sel akan jelas terlihat.
2. Protoplasma
Protoplasma merupakan zat hidup dari sel. Terdapat dalam lingkungan
dalam sel. Terutama terdiri atas protein.
3. Membran Sitoplasma
Membran sitoplasma merupakan bagian terluar dari sitoplasma yang
melekat pada dinding sel.
4. Nukleus (inti)
Dari penelitian ternyata setiap jenis bakteri selalu mempunyai sifat yang
tetap. Setelah ditemukan cara pewarnaan khusus untuk mewarnai inti
dan ditemukannya mikroskop elektron, telah dapat dibuktikan adanya inti
di dalam sitoplasmanya walaupun masih primitif. Inti bakteri bisa 1 (satu)
atau lebih dari 1 (satu) atau tersebar secara difusi di dalam sitoplasmanya.
5. Kapsul
Banyak sekali jenis bakteri yang mampu membentuk lendir secara tebal
dan merupakan selaput yang membungkus sel. Selaput lendir yang
membungkus seluruh permukaan bakteri dan merupakan bagian dari sel
bakteri disebut kapsul.
6. Flagel
11

Salah satu sifat bakteri adalah sifat dapat bergerak. Alat gerak bakteri
adalah flagel (bulu cambuk). Umumnya bakteri berbentuk batang
mempunyai flagel (dapat bergerak). Berdasarkan jumlah dan cara
penempatan flagel pada bakteri, maka di bedakan:
a. Bakteri Monotrich
Yaitu bakteri yang mempunyai 1 (satu) flagel yang masing-masing
menempel pada salah satu kutubnya.
b. Bakteri Amphitrich
Yaitu bakteri yang mempunyai 2 (dua) flagel yang masing-masing
menempel pada masing-masing kutub bakteri.
c. Bakteri Kopotrich
Yaitu bakteri yang mempunyai sekelompok flagel yang menempel
pada kedua kutub bakteri.
d. Bakteri Peritrich
Yaitu bakteri yang mempunyai flagel yang menempel pada seluruh
permukaan bakteri.
e. Bakteri Atrich
Yaitu bakteri yang tidak mempunyai flagel (tidak dapat bergerak)..
f. Bakteri Lopotrich
Yaitu bakteri yang mempunyai sekelompok flagel yang menempel
pada salah satu kutub bakteri.

2.3 Antibiotik
12

2.3.1 Definisi
Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi,
yang mempunyai khasiat antimikrobial yaitu dapat menghambat atau membasmi
mikroba jenis lain. Obat yang digunakan untuk membasmi mikroba, penyebab
infeksi pada manusia, ditentukan harus memiliki sifat toksisitas selektif setinggi
mungkin. Artinya, obat tersebut harus sangat toksik untuk mikroba, tetapi relatif
tidak toksik untuk hospes (Setiabudi. R, 2009).

2.3.2 Penggolongan antibiotik


Antibiotik dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa kriteria, yaitu (Setiabudy,
2009) :
1. Berdasarkan struktur kimia
a. Beta laktam, merupakan kelompok penisilin, meliputi penisilin G dan
derivatnya seperti fenoksi metil penisilin, metisilin, amino penisilin
dan karboksi penisilin, serta kelompok sefalosporin yang meliputi
sefalotin, sefaloksin dan lain-lain.
b. Aminoglikosida antara lain streptomisin, kanamisin, gentamisin dan
neomisin.
c. Kloramfenikol antara lain kloramfenikol dan tiamfenikol
d. Tetrasiklin antara lain oksitetrasiklin, dimetiltetrasiklin
e. Makrolida antara lain eritromisin, linkomisin, klindamisin
f. Rifampisin
g. Polipeptida siklik antara lain polimiksin B, polimiksin E dan basitrasin

13

h. Poliena antara lain nistatin dan amfoterisin B


i. Kuinolon antara lain siprofloksazin
j. Antibiotika lain vankomisin, novobiosin dan griseofulvin.
2. Berdasarkan mekanisme kerja
a. Antibiotik yang menghambat metabolisme sel mikroba
Yang termasuk dalam kelompok ini ialah sulfonamid, trimetoprim,
asam p-aminosalisilat (PAS) dan sulfon. Dengan mekanisme kerja ini
diperoleh efek bakteriostatik.
b. Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel
Obat yang

termasuk

sefalosporin,
mekanismenya

dalam kelompok

basitrasin,
terjadi

vankomisin
kerusakan

ini adalah
dan

dinding

penisilin,

sikloserin.
sel

kuman

Pada
yang

menyebabkan terjadinya lisis, yang merupakan dasar efek bakterisidal


pada kuman yang peka.
c. Antibiotik yang mengganggu keutuhan membaran sel mikroba
Obat yang termasuk dalam kelompok ini adalah polimiksin, golongan
polien

serta

berbagai

antimikroba

kemoterapeutik.

mekanismenya terjadi kerusakan membran sel yang

Pada

menyebabkan

keluarnya berbagai komponen penting dari dalam sel mikroba yaitu


protein, asam nukleat, nukleotida dan lain-lain.
d. Antibiotika yang menghambat sintesis protein sel mikroba
Obat yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya golongan
aminoglikosida, makrolid, linkomisin, tetrasiklin dan kloramfenikol.
Penghambatan sintesis protein terjadi dengan berbagai cara.
e. Antibiotika yang menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba
14

Obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu rifampisin, dan


golongan kuinolon. Pada mekanismenya terjadi penghambatan sintesis
RNA dan DNA oleh enzim polimerase-RNA untuk rifampisin dan
untuk golongan kuinolon terjadi penghambatan enzim DNA girase.
3. Berdasarkan spektrum kerja
a. Antibiotika yang mempunyai spektrum kerja sempit, hanya bekerja
pada salah satu kelompok bakteri atau jamur terutama terhadap kokus
dan basil gram positif. Contoh penisilin G, makrolida, linkomisin,
vankomisin, basitrasin.
b. Antibiotik yang mempunyai spektrum kerja yang relatif lebih baik
terhadap kokus gram positif maupun negatif. Contoh ampisilin dan
kloramfenikol.
c. Antibiotika yang efektif terhadap basil aerob gram negatif. Contoh
aminoglikosida dan polimiksin.
4. Berdasarkan daya kerja
a. Antibiotik bakteriostastik, yaitu zat yang menghambat pertumbuhan dan
perkembangan bakteri. Contoh tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin dan
b.

linkomisis.
Antibiotika bakterisida, yaitu zat yang bekerja mematikan bakteri.
Contoh sefalosporin dan penisilin.

2.4 Penggunaan Antibiotik


Berdasarkan indikasinya, penggunaan antibiotik dapat digolongkan
menjadi 3 yaitu antibiotik untuk terapi definitif, terapi empiris, dan terapi
profilaksis.
Terapi secara definitif hanya digunakan untuk mengobati infeksi karena
bakteri, untuk mengetahui bahwa infeksi tersebut disebabkan karena bakteri,

15

dokter dapat memastikannya dengan kultur bakteri, uji sensitivitas, tes serologi
dan tes lainnya. Berdasarkan laporan, antibiotik dengan spektrum sempit,
toksisitas rendah, harga terjangkau, dan efektivitas tertinggi harus diresepkan pada
terapi definitif.
Pada terapi secara empiris, pemberian antibiotik diberikan pada kasus
infeksi yang belum diketahui jenis kumannya seperti pada kasus gawat karena
sepsis, pasien imunokompromise dan sebagainya. Terapi antibiotik pada kasus ini
diberikan berdasarkan data epidemiologi kuman yang ada.
Terapi profilaksis adalah terapi antibiotik yang diberikan untuk
pencegahan pada pasien yang rentan terkena infeksi. Antibiotik yang diberikan
adalah antibiotik yang berspektrum sempit dan spesifik (Kakkilaya, 2011).

2.5 Mekanisme resistensi


Secara garis besar kuman dapat menjadi resisten terhadap suatu antimikroba
melalui 3 mekanisme (Setiabudi R, 2007):
1. Obat tidak mencapai tempat kerjanya di dalam sel mikroba.
Pada kuman gram negatif, molekul antimikroba yang kecil dan polar dapat
menembus dinding luar dan masuk ke dalam sel melalui lubang-lubang
kecil yang disebut porin. Bila porin menghilang atau mengalami mutasi
maka masuknya antimikroba ini akan terhambat.
2. Inaktivasi obat

16

Mekanisme ini sering mengakibatkan terjadinya resistensi terhadap


golongan aminoglikosida dan beta laktam karena mikroba mampu
membuat enzim yang merusak kedua golongan antimikroba tersebut.
3. Mikroba mengubah tempat ikatan (binding site) antimikroba
Mekanisme ini terlihat pada S.aureus yang resisten terhadap metisilin
(MRSA). Kuman ini mengubah Penicillin Binding Proteinnya (PBP)
sehingga afinitasnya menurun terhadap metisilin dan antibiotik beta
laktam yang lain.
Penyebaran resistensi antimikroba dapat terjadi secara vertikal (diturunkan ke
generasi berikutnya) atau secara horizontal dari suatu sel donor. Dilihat dari segi
bagaimana resistensi dipindahkan maka dapat dibedakan menjadi 4 cara yaitu
(Setiabudi. R, 2007):
1. Mutasi, proses ini terjadi secara spontan, acak dan tidak tergantung dari
ada atau tidaknya paparan terhadap antimikroba. Mutasi terjadi akibat
perubahan pada gen mikroba mengubah binding site antimikroba, protein
transport, protein yang mengaktifkan obat, dan lain-lain.
2. Transduksi, adalah kejadian dimana suatu mikroba menjadi resisten karena
mendapat DNA dan bakteriofag (virus yang menyerang bakteri) yang
membawa DNA dari kuman lain yang memiliki gen resisten terhadap
antibiotik tertentu. Mikroba yang sering mentransfer resisten dengan cara
ini adalah S. aureus.
3. Transformasi, transfer resisten yang terjadi karena mikroba mengambil
DNA bebas yang membawa sifat resisten dari sekitarnya. Transformasi

17

sering menjadi cara transfer resistensi terhadap penisilin pneumokokus dan


Neisseria.
4. Konjugasi, transfer yang resisten di sini terjadi langsung antara 2 mikroba
dengan suatu jembatan yang disebut pilus seks. Konjugasi adalah
mekanisme transfer resistensi yang sangat penting, dan dapat terjadi antara
kuman yang spesiesnya berbeda. Transfer resistensi dengan cara konjugasi
lazim terjadi antar kuman Gram negatif. Sifat resistensi dibawa oleh
plasmid (DNA yang bukan kromosom).
Faktor-faktor yang memudahkan berkembangnya resistensi antimikroba
adalah sebagai berikut (Setiabudi R, 2007):
1. Penggunaan antimikroba yang sering
Antibiotik yang sering digunakan biasanya akan berkurang efektivitasnya.
Karena itu penggunaan antimikroba yang irasional harus dikurangi sedapat
mungkin.
2. Penggunaan antimikroba yang irasional
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa penggunaan antimikroba yang
irasional, terutama di rumah sakit, merupakan faktor penting yang
memudahkan berkembangnya resistensi kuman.
3. Penggunaan antimikroba baru yang berlebihan
Beberapa contoh antimikroba yang relatif tepat kehilangan efektivitasnya
setelah dipasarkan karena masalah resistensi ialah siprofloksasin dan
kotrimoksazol.
4. Penggunaan antimikroba untuk jangka waktu lama

18

Pemberian antimikroba dalam jangka waktu lama memberi kesempatan


bertumbuhnya kuman yang resisten.
5. Penggunaan antimikroba untuk ternak
Kurang lebih separuh dari produksi antibiotik di dunia digunakan untuk
suplemen pakan ternak. Kadar antibiotik yamg rendah pada ternak
memudahkan tumbuhnya kuman-kuman yang resisten.
2.6 Efek samping antibiotik
Efek samping penggunaan antibiotik dapat dikelompokkan menurut reaksi
alergi, reaksi idiosinkrasi, reaksi toksik, serta perubahan biologik dan metabolik
pada hospes (Setiabudi. R, 2007).
1. Reaksi alergi
Reaksi alergi dapat ditimbulkan oleh semua antibiotik dengan melibatkan
sistem imun tubuh hospes, terjadinya tidak tergantung pada besarnya dosis
obat.
2. Reaksi idiosinkrasi
Gejala ini merupakan reaksi abnormal yang diturunkan secara genetik
terhadap pemberian antibiotik tertentu.
3. Reaksi toksik
Antibiotik pada umumnya bersifat toksik-selektif, tetapi sifat ini relatif.
Efek toksik pada proses ditimbulkan oleh semua jenis antimikroba. Dalam
menimbulkan efek toksik, masing-masing antimikroba dapat memiliki
predileksi terhadap organ atau sistem tertentu pada tubuh hospes.
Contohnya golongan tetrasiklin cukup terkenal dalam mengganggu

19

pertumbuhan jaringan tulang, termasuk gigi, akibat deposisi kompleks


tetrasiklin kalsium-ortofosfat.
4. Perubahan biologik dan metabolik
Pada tubuh hospes, baik yang sehat maupun yang menderita infeksi,
terdapat mikroflora normal. Dengan keseimbangan ekologik, populasi
mikroflora

tersebut

biasanya

tidak

menunjukkan

sifat

patogen.

Penggunaan antimikroba, terutama berspektrum luas, dapat menggganggu


keseimbangan ekologik mikroflora sehingga jenis mikroba yang
meningkat jumlah populasinya dapat menjadi patogen. Gangguan ekologik
mikroflora normal tubuh dapat terjadi di saluran cerna, napas, kelamin dan
pada kulit.

2.7 Penggunaan Antibiotik yang Rasional


WHO menyatakan bahwa lebih dari setengah peresepan obat diberikan
secara tidak rasional. Menurut WHO, kriteria pemakaian obat yang rasional,
antara lain :
a.

Sesuai dengan indikasi penyakit


Pengobatan didasarkan atas keluhan individual dan hasil pemeriksaan fisik
yang akurat.

b.

Diberikan dengan dosis yang tepat


Pemberian obat memperhitungkan umur, berat badan dan kronologis
penyakit.

c.

Cara pemberian dengan interval waktu pemberian yang tepat

20

Jarak minum obat sesuai dengan aturan pemakaian yang telah ditentukan.
d. Lama pemberian yang tepat.

BAB 3
PELAKSANAAN PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini akan dilaksanakan dari bulan Juli-Agustus 2014 di
Laboratorium STIKES HI Jambi, Bangsal Anak dan Laboratorium
Mikrobiologi RSUD Raden Mattaher Jambi.

3.2 Metode Penelitian


Penelitian ini dilakukan dengan metode eksperimental. Pengumpulan data
dilakukan secara prospektif yaitu pasien dengan diagnosa terjadinya infeksi
saluran kemih di bangsal anak dan yang melakukan kultur di Laboratorium
RSUD Raden Mattaher Jambi.

21

Pada pembuatan media dan identifikasi bakteri dilakukan di Laboratorium


STIKES HI, sedangkan untuk data pasien ISK diambil dari bangsal anak dan
uji resistensi antibiotik dengan pengamatan yang dilakukan di Laboratorium
Mikrobiologi RSUD Raden Mattaher Jambi. Hasil yang diperoleh di
Laboratorium Stikes HI dan RSUD Raden Mattaher Jambi kemudian
dianalisis secara deskriptif dengan mengacu pada standar yang ada di Rumah
Sakit.

3.3 Alat dan Bahan


3.3.1

Alat
Alat yang digunakan berupa tabung reaksi, cawan petri, erlenmeyer,

gelas ukur, batang pengaduk, penggaris milimeter, kertas perkamen, jarum


ose, spatel, pinset, kapas, lampu spiritus, timbangan digital, inkubator, lemari
pendingin, autoklaf, komputer, aluminium foil, pipet gelas atau pipetor : 0,1
ml, 1 ml, 5 ml, dan 10 ml serta alat gelas standar lainnya.
3.3.2 Bahan
Bahan yang di gunakan dalam penelitian ini adalah urin yang di ambil
dari pasien yang didiagnosa menderita infeksi saluran kemih (ISK) pada
pasien yang di rawat inap di RSUD Raden Mattaher Jambi, media Nutrient
Agar (NA),media Nutrient Broth (NB), Media uji resistensi antibiotik
(Mueller Hinton Agar), media MC (Mac Conkey Agar) , media Urea Agar,
22

media SC (Simon Citrat), media MR-VP (Voges Proskauer), Aquadest steril,


Natrium Chlorida (NaCl) steril, larutan H2O2 3 %, alkohol 70 %, disk
antibioik.
3.4 Cara kerja
3.4.1 Sterilisasi alat
Pengerjaan dilakukan secara steril, tempat pengerjaan dibersihkan dari
debu, disemprot dengan alkohol 70%, alat-alat dan bahan yang akan digunakan
disterilkan terlebih dahulu. Untuk alat-alat gelas (tabung reaksi, gelas ukur,
erlenmeyer) ditutup rapat dengan aluminium foil, kemudian disterilkan dalam
autoklaf pada suhu 1210C, tekanan 15 lbs selama 15 menit. Jarum ose dan
spatel sebelum digunakan setiap kali dibakar di atas lampu spitirus sampai
bernyala.
3.4.2 Pengambilan sampel
Sampel yang di ambil berupa urin dari pasien infeksi saluran kemih yang
di rawat inap di RSUD Raden Mattaher Jambi yang berjumlah 20 sampel. Urin
yang dikumpulkan adalah urin arus tengah (mid stream urine), di mana aliran
pertama urin dibuang dan aliran urine selanjutnya ditampung dalam wadah
yang telah disediakan dan ditutup rapat lalu sampel urin dikirim ke
laboratorium untuk diidentifikasi.
3.4.3 Penyiapan dan pembuatan media (Raihana. N, 2011)
1. Media Nutrient Agar (NA)

Diambil sebanyak 23 gr serbuk NA, larutkan dalam 1 liter aquadest steril


di dalam erlenmeyer, kemudian dipanaskan sampai homogen dan
23

disterilkan dalam autoklaf pada suhu 1210C dengan tekanan 15 lps selama
15 menit.
2. Pembuatan media Nutrient Broth (NB)
Diambil sebanyak 13 g serbuk NB, dilarutkan dalam 1 liter aquadest steril
di dalam erlenmeyer, kemudian dipanaskan sampai homogen dan
disterilkan di dalam autoklaf pada suhu 121 C dengan tekanan 15 lbs
selama 15 menit .
3. Media Mc Conkey Agar (MC)
Timbang pepton sebanyak 20 g, laktosa 10 g, NaCl 5 g, agarb 13,5 g,
merah netral 0,03 g, dan garam empedu 15 g, larutkan dalam air suling 1
L. pH media yang digunakan adalah 7,1, kemudian disterilkan di dalam
autoklaf pada suhu 1210 C selama 15 menit.
4. Media uji resistensi antibiotik
Mueller Hinton Agar
Sebanyak 38 gr Mueller Hinton dilarutkan dengan 1 liter air suling,
dipanaskan sampai homogen, sterilkan dengan autoklaf pada suhu 1210C
tekanan 115 lbs selama 15 menit, setelah steril dituang ke cawan petri
sebanyak 15 ml (Raihana. N, 2011).
5. Media Urea Agar
24, 02 serbuk media Urea Agar dilarutkan dengan 1 liter air suling,
disterilkan selama 20 menit pada 1210C tekanan 15 lbs. Pada tempat
terpisah, dilarutkan 400 gr Urea dalam 1 liter air suling, disterilkan dengan
penyaringan, setelah itu dicampurkan `5 ml larutan urea ke dalam 95 ml

24

larutan urea agar, kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebanyak


10 ml dan dibiarkan membeku dalam posisi miring.
6. Media Simon Citrat (SC)
Sebanyak 24,2 g serbuk dimasukkan dalam 1 L aquades. Media dididihkan
sampai larut sempurna. Kemiduan disterilkan dalam autoklaf pada suhu
1210 C selama 15 menit.
7. Media Voges Proskauer (VP)
Sebanyak 17 g serbuk VP dilarutkan dalam 1 liter air suling, lalu
dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 10 ml, kemudian disterilkan
dengan autoklaf selama 15 menit pada suhu 1210 C tekanan 15 lbs.
3.4.4

Isolasi bakteri

Sampel urin dari pasien infeksi saluran kemih dioleskan dengan ose ke
medium MC dan medium NA, lalu inkubasi selama 18-24 jam pada suhu
370C. Koloni yang tumbuh ditanam pada media Nutrient Broth, kemudian
dilakukan identifikasi dan uji resistensi antibiotik.

3.4.5. Identifikasi bakteri (Raihana. N, 2011)


a. Pewarnaan Gram
Pewarnaan gram digunakan untuk menentukan jenis bakteri Gram positif
dan bakteri Gram negatif. Cara : kaca objek dibersihkan dengan alkohol
sehingga bebas dari lemak, difiksasi di atas lampu spiritus sampai kering, beri
satu tetes NaCl fisiologis. Bakteri dari media NA diambil dengan jrum ose,
diletakkan pada tetesan NaCl fisiologis, campur hingga merata. Biarkan

25

mengering diudara sebentar dan fiksasi diatas api. Tetesi 2-3 tetes larutan
Kristal violet, biarkan selama 1 menit, bilas dengan air mengalir. Tetesi
larutan lugol satu tetes dan dibiarkan selama 1 menit, dibilas dengan air
mengalir dan dikeringkan, preparat dibilas dengan alkohol 96% selama 30
detik, cuci dengan air mengalir dan keringkan. Terakhir ditetesi dengan
safranin dan dibiarkan selama 1 menit lalu dibilas dengan air mengalir dan
dikeringkan. Amati di bawah mikroskop. Warna ungu untuk bakteri gram
positif dan warna merah untuk bakteri gram negatif.

b. Uji katalase
Uji katalase berguna untuk mengidentifikasi kelompok bakteri yang dapat
menghasilkan enzim katalase. Dapat membedakan Staphylococcus dan
Streptococcus. Dilakukan dengan cara : diatas kaca objek ditetesi satu tetes
H2O2 3%, ditambahkan koloni bakteri dan langsung diamati terjadinya
penguraian hidrogen peroksida. Dinyatakan positif bila menghasilkan enzim
katalase yang ditandai dengan terbentuknya gelembung udara dan negatif bila
tidak ada gelembung udara.
c. Uji hidrolisis urea
Uji hidrolisis urea digunakan untuk melihat bakteri yang mampu
menghasilkan enzim urease. Dilakukan dengan cara: digoreskan 1 ose bakteri
pada permukaan urea agar miring, lalu diinkubasi pada suhu 370C selama 24

26

jam. Timbulnya warna merah muda berarti reaksi positif dan negatif warna
tidak berubah.
d. Uji sitrat
Uji sitrat digunakan untuk melihat kemampuan bakteri menggunakan sitrat
sebagai satu-satunya sumber karbon. Uji sitrat dilakukan dengan cara : ambil 1
ose bakteri dan diinokulasikan ke dalam media Simmon Citrat, lalu inkubasi
pada suhu 350C selama 48-96 jam, warna biru menunjukkan reaksi positif,
warna hijau menunjukkan reaksi negatif.
e. Uji VP (Voges Proskauer)
Uji VP digunakan untuk menentukan kemampuan bakteri tersebut
menghasilkan produk akhir yang netral dari fermentasi glukosa. Dilakukan
dengan cara : diinokulasi 1 ose biakan ke dalam media MR-VP kemudian
diinkubasi pada suhu 370 C selama 24 jam. Setelah itu diteteskan reagen barit
A dan barit B, apabila terbentuk cincin merah menunjukkan reaksi positif.
f. Uji gula-gula (sakarosa, xylosa, mannosa, laktosa, fruktosa, glukosa)
Tujuan

uji

ini

adalah

untuk

mengetahui

jenis

bakteri

yang

memfermentasikan jenis karbohidrat tertentu. Jika terjadi fermentasi, medium


terlihat warna kuning karena perubahan pH menjadi asam yang artinya positif.
Cara kerja : koloni bakteri dari media NB diambil sedikit dengan ose steril
dan diinokulasi pada media sakarosa, xylosa, mannosa, laktosa, fruktosa dan
glukosa, kemudian diinkubasi pada suhu 370 C selama 24 jam.
Setelah didapatkan hasil dari semua uji yang dilakukan, untuk menentukan
jenis bakteri menggunakan softwere APIWEB. Dengan memasukkan hasil uji

27

(+) atau (-) ke dalam program maka dapat langsung diketahui jenis bakteri
yang diujikan.
3.5 Penentuan Resistensi Antibiotika
Penentuan resistensi antibiotik diambil dari data Laboratorium
Mikrobiologi RSUD Raden Mattaher Jambi yang dilakukan menggunakan
cakram antibiotik murni. Data hasil kultur dianalisis untuk melihat
sensitivitas

antimikroba.

Karakterisasi

dengan

mengukur

dan

membandingkan diameter daerah hambatannya terhadap tabel standar.


Sensitif (S), intermediet (i) dan resisten (R) terhadap antibiotik
disimpulkan berdasarkan diameter daerah bening hambatan disekitar disk
antibiotik.
3.6 Analisis Data
Dari data yang diperoleh, disajikan dalam bentuk deskriptif yaitu dihitung
angka resistensi masing-masing bakteri penyebab infeksi saluran kemih
yang ditemukan terhadap beberapa antibiotik uji.
3.7 Jadwal pelaksanaan
No

Kegiatan

Bulan
april

Persiapan dan Pelaksanaan


Penelitian

Pengolahan Data

Persiapan Seminar Hasil

Seminar Hasil

Penyempurnaan skripsi dan

28

mei

juni

juli Agust

persiapan ujian akhir


6

Ujian Akhir

DAFTAR PUSTAKA

Bircan, Z. 2002. Urinary Tract Infection and the Pediatricians, Internasional


Pediatrics 17(3): 143-144.
Corona, A. (2003). Urinary tract infections and urinary incontinence. 2 Januari
2001Sotelo, T. & Westney, L. 2003. Recurent urinary tract infection in
women. Curr Womens Health Rep 3: 313-318.
Elder JS. Urinary tract infections. Dalam : Kliegman RM, Behrman RE, Jenson
HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatric. Edisi Ke-18.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007 Figueroa, E. (2009). Urinary tract
infection. 26 oktober 2011.
Endriani, R. Andrini, F. & Alfina. 2010. Pola Resistensi Bakteri Penyebab Infeksi
Saluran Kemih (ISK) Terhadap Antibakteri di Pekanbaru. 12(2), 130-135.
Entjang, I, 2003. Mikrobiologi Dan Parasitologi. Bandung: PT.Citra Aditya Bakti.
Febiana, T. 2012. Kajian Rasionalitas Penggunaan Antibiotik di Bangsal Anak
RSUP Dr. Kariadi Semarang Periode Agustus-Desember 2011.Semarang:
Universitas Diponegoro.

29

Kumala,S., Raisa, N., Rahayu, L., & Kiranasari, A. 2009. Uji Kepekaan Bakteri
yang Diisolasi Dari Urin Penderita Infeksi Saluran Kemih (ISK) Terhadap
Beberapa Antibiotika Pada Periode Maret-Juni.6(2), 45-55.
Mims et al. Medical microbiology. 2nd ed. London: Mosby; 2005. P. 25-7, 411-9.
Neal, Michael J. Medical Pharmacology At a Glance. Edisi 5. Penerbit
Erlangga. 2006. h. 81.
Pamungkas, E.D. Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Infeksi Saluran
Kemih Pada Anak Usia Sekolah di SDN Pondok Cina 1 Depok. 2012.
Depok: Universitas Indonesia.
Price., & Wilson. (1995). Pathopysiology : Clinical concept of disease processes
(4th ed). (Peter Anugrah, Penerjemah). Canada : Mosby.
Raihana Nadia. 2011. Profil Kultur Uji Sensitivitas Bakteri Aerob dari Infeksi
Luka Operasi Laparatomi di Bangsal Bedah RSUP DR. M. Djamil Padang.
(Artikel). Padang: Universitas Andalas.
Samirah, Darwati, Windarwati., & Hardjoeno. (2006). Pola resistensi dan
sensitivitas kuman di penderita infeksi saluran kemih. Indonesian Jurnal of
clinical pathology and medical laboratory, 12 (3), 110-113.
Setiabudy, Rianto. 2007. Farmakologi dan Terapi, edisi V. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Setiabudy, Rianto. 2007. Farmakologi dan Terapi, edisi V 9cetakan ulang).
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Sjahrurachman, A., Mirawati, T., Ikaningsih. & Warsa, U.C. 2004. Etiologi dan
resistensi bakteri penyebab infeksi saluran kemih di RSCM dan RS MMC
Jakarta 2001-2003. Medika 9: 557-562.
Soewondo ES. Pilihan terapi dalam menghadapi infeksi nosokomial, dalam
Perkembangan Terkini Pengelolaan Beberapa Penyakit Tropis Infeksi.
Surabaya. Airlangga University Press. 2002; 130139.
Sylvia. P. T. 2008. Mikrobiologi Farmasi. Jakarta: Erlangga.
Wilianti, N.P.2009. Rasionalitas Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Infeksi
Saluran Kemih Pada Bangsal Penyakit Dalam Di RSUP DR. Kariadi
Semarang Tahun 2008. Semarang: Universitas Diponegoro.
World Health Organization. WHO global strategy for containment of
antimicrobial resistence. Switzerland: WHO; 2001.

30

Yulianto, 2009. Pola Kepekaan Bakteri Gram Negatif Dari Pasien Iinfeksi
Saluran Kemih Terhadap Antibiotika Golongan Beta Laktam di
Laboratorium
Mikrobiologi
Klinik
FKUI
Tahun
20012005.Jakarta:Universitas Indonesia.

Lampiran 1. Alur Identifikasi


Sampel urin

Tanam pada media Nutrien Agar.


Inkubasi pada suhu 35-370 C selama
18-24 jam

Makroskopis
(amati langsung dengan mata bentuk
pertumbuhan bakteri pada media)

Mikroskopis
(Pewarnaan gram amati dibawah
mikroskop dengan penambahan emersi oil)
31

Basil Gram (+),


Berbenuk coccus seperti
susunan anggur
berwarna ungu

Basil Gram (-) Negatif,


Berbentuk batang
berwarna merah

Uji lanjutan dengan alur


coccus

Uji lanjutan dengan alur


basil

Gambar 1. Alur identifikasi bakteri

Lampiran 2. Alur Uji Basil Gram Negatif


Natrium
NatriumAgar
Agar
Makroskopis

Ciri-ciri koloni
E.coli

Ciri-ciri koloni
Klebsiella :

Ciri-ciri koloni
Salmonella :

Koloni bulat,
ukuran relatif ,
cembung dan
tidak rata

Koloni bulat,
besar,
cembung,
mengkilat,
pinggiran tidak
rata

Koloni bulat,
ukuran sedang, agar
cembung, pinggiran
smoth dan gepeng
sera tidak rata,
permukaan kasar

Makroskopis
Pewarnaan Gram

32

Ciri-ciri koloni pseudomonas


Koloni putih abu-abu,
bentuk keping, ukuran
sedang, besar 6-15 mm,
permukaan kasar,
membentuk pigmen hijau,
berbau obat nyamuk

Basil Gram (-) Negatif,


Berbentuk batang merah

Uji Tes Gula-gula

Uji tes biokimia

1. Sakarosa

1. Uji katalase

2. Xylosa

2. Uji hidrolisis urea

3. Mannosa

3. Uji sitrat

4. Lakosa

4. Uji Voges Proskauer

5. Glukosa

Gambar 2. Alur Uji Basil Gram Negatif


Lampiran 3. Alur Uji Coccus Gram Positif
Natrium Agar
Makroskopis
Ciri-ciri koloni :

Ciri-ciri koloni :

Ciri-ciri koloni :

Bulat, agak cembung, pinggir


rata, kuning kepuihan, ukuran
2-5 mm.

Bula, agak cembung, pinggir


putih, ukuran 2-4 mm.

Koloni halus, agak cembung,


pinggir rata.

*Staphylococcus epidermidis

*Strepococcus pheneumoniae

*Staphylococcus aureus

Mikroskopis
Koloni coccus gram (-) Negaif

Koloni coccus gram (+) Positif

Berderet memanjang seperi rantai

Bergerombol seperti susunan anggur

Kemungkinan : Streptococcus

Kemungkinan : Staphylococcus

Tes Katalase

33

Katalase positif ada gelembung


udara/aglutinasi

Katalase negatif tidak ada gelembung


udara/ tidak ada aglutinasi

Kemungkinan : Staphylococcus Aureus,


Staphylococcus Epidermis, Staphylococcus
Saprohyticus

Kemungkinan : Streptococcus
Pheneumoniae, Streptococcus Varidans

Tes Koagulase

Tes optocin

Koagulase positif

Koagulase negatif

Terbentuk gumpalan
dalam tabung

Tidak terbentuk
gumpalan dalam tabung

Kesimpulan :
Staphylococcus Aureus

Kesimpulan :
Staphylococcus epidermis

Optocin sensiif /
terbentuk zona jernih /
zona hambat di media

Opocin resisten / tidak


terbentuk zona jernih /
zona hambat di media

Kesimpulan :
Streptococcus Pneumoniae

Kesimpulan :
Streptococcus Varidans

Gambar 3. Alur Uji Coccus Gram Positif


Lampiran 4. Skema Uji Resistensi Antibiotik

Koloni bakteri

Tanam pada media


Mueller Hinton Agar
dan diberi disk
antibiotik

Inkubasi pada suhu 370 C selama 24 jam

Ukur diameter zona


bening

Lihat tabel standar uji


disk antibiotik
34

Gambar 4. Skema uji resistensi anttibiotik

Lampiran 5. Dosis Antibiotik Parenteral (A), Oral (B).Untuk Pengobatan


Infeksi Saluran Kemih (IDAI, 2010).
Obat
(A) Parenteral
Ampisilin

Dosis mg/kg/hari
100

Frekuensi/(umur bayi)
Tiap 12 (bayi<1 minggu)
Tiap 6-8 jam (bayi <1
minggu

Sefotaksim

150

Gentamisin

Dibagi setiap 6-8 jam


Tiap 12 jam (bayi <1
minggu)
Tiap 24 jam (bayi >1
minggu)

Seftriakson

75

Sekali sehari

Seftazidin

150

Dibagi setiap 6-8 jam

Sefazolin

50

Dibagi setiap 8 jam

Tobramisin

Dibagi setiap 8 jam

35

Ticarsilin

100

Dibagi setiap 6 jam

(B) Oral
Rawat jalan, antibiotik oral ( pengobatan standar)
Amoksisilin

20-40 mg/kg/hari

q8h

Ampisilin

50-100 mg/kg/hari

q6h

Augmentin

50 mg/kg/hari

q8h

Sefaleksin

50 mg/kg/hari

q6-8h

Sefiksim

4 mg/kg

q12h

Nitrofurantoin*

6-7 mg/kg

q6h...... 1-2 mg/kg

Sulfisoksazole*

120-150

q6-8h.....50 mg/kg

Trimetoprim*

6-12 mg/kg

q6h......2 mg/kg

Sulfametoksazol

30-60 mg/kg

q6-8h....10 mg/kg

*Tidak direkomendasikan untuk neonatus dan penderita dengan insufisiensi ginjal

36

Lampiran 6. Tabel Standar Uji Disk / Cakram Antibiotik

INSTALASI LABORATORIUM RSUD


RADEN MATTAHER JAMBI
Jln. Let. Jend. Soeprapto No. 31 Telanaipura Jambi
Telp. (0741) 61692-63394

Nama

Alamat

Umur / Jenis Kelamin :


Jenis Sampel

Tanggal terima sampel:


Diagnosis

Nomor MR

Ruangan

Hasil kultur

Hitung kuman

:
37

Cakram antibiotik
murni

Dosis

Ampicillin

10 ug

13

14-16

17

Ampicillin
sulbactam

20

11

12-14

15

Amoxillin

30

13

14-17

18

Amikacin

30

14

15-16

17

Aztreonam

30

15

16-21

22

Cefotaxim

30

14

15-22

23

Ceftriaxon

30

14

14-20

21

Ceftazidine

30

14

15-17

18

Cefoperazon

75

15

16-20

21

Cefoxitin

30

14

15-17

18

Cefemin

30

14

15-17

18

Ciprofloxacine

15

16-20

21

Cepoperazon
sulbactam

75

15

16-20

21

Chloramphenicol

30

12

13-17

18

Clyndamicine

14

15-20

21

Erytromycin

15

13

14-22

23

Fosfomycin

50

12

13-15

16

Gentacimin

10

12

13-14

15

Immipenem

10

13

14-15

16

Levofloxacine

13

14-16

17

Linezolid

30

20

21-22

23

Meropenen

10

13

14-15

16

Nalidixid acid

30

13

14-18

19

(ug)

Jumlah (mm)

38

HASIL

Oxacillin

10

11-12

13

Piperacillin
tazabactam

100/10

17

18-20

21

Tetracycline

30

11

12-14

15

Teocoplanin

30

10

11-13

14

Tripetoprim
sulpametokxazol

25

10

11-15

16

Vancomycin

30

14

15-16

17

Keterangan :
R = Resisten (antibiotik tidak mempengaruhi pertumbuhan bakteri / tidak boleh
digunakan lagi)
I = Intermediet (antibiotik masih dalam rentang yang baik / boleh digunakan)
S= Sensitif (antibiotik membunuh bakteri dengan baik)

39

Anda mungkin juga menyukai