Anda di halaman 1dari 5

Perkembangan Ilmu Ushul fikih

Prolog
Setiap sesuatu yang tidak kita kenali pasti tidak pula kita sayangi,
begitu juga dalam setiap ilmu, terutama ilmu Ushul fikih, karena jika kita
tidak memahami sejarah, defenisi, faidah dan hasil dari belajar ilmu
Ushul fikih, kita pasti akan berpikir apa guna belajar Ushul fikih. Dari sini
kami berusaha sekuat tenaga agar bisa memberikan sedikit wacana
tentang sejarah dan sesuatu yang bersangkutan dengan ilmu tersebut.
Sebenarnya kalau kita mau merenungi sejenak tentang ilmu ini, pasti
kita akan mengatakan bahwa ilmu ini sangat dibutuhkan oleh seluruh
umat Islam yang belajar ilmu agama, karena tanpa adanya ilmu ini
seseorang tidak akan bisa mengetahui bagaimana pemikiran para ulama
sebelum hingga masa yang kita injak sekarang. Kita tidak bisa
mengetahui guna dan fungsi dari al-Quran, Sunnah, Ijma dan Qiyas
yang mana semuanya itu adalah dasar atas berdirinya agama kita
(Islam) dan kita tidak akan bisa membedakan kapan lafad amr
(perintah) itu menunjukkan pada sesuatu yang wajib, sunnah dan
mubah tanpa adanya ilmu yang anda pegang sekarang ini, karena
semuanya mengunakan lafad yang sama dan sangat sulit untuk
dibedakan, jika kita tidak benar-benar memahami ilmu Ushul fikih.
Pembahasan ilmu ini berupa kaidah-kaidah umum atau global yang bisa
menjadi pengantar untuk mencetuskan sebuah hukum.
Sejarah Ushul fikih
Jika kita mau menilik pada zaman yang jauh dari zaman kita, yaitu
zaman Rasulullah, mulai terutus hingga wafatnya beliau pada hari senin
tanggal 13 rabiul awwal tahun 11 H, kita akan mengetahui bahwasanya
di zaman Rasulullah tidak butuh untuk menbukukan ilmu Ushul fikih,
karena beliaulah satu-satunya rujukan semua masalah yang timbul pada
waktu itu. Setelah Rasulullah wafat, para sahabat yang menjadi
pengganti Rasulullah sebagai rujukan semua masalah. Dan di masa ini
juga tidak membutuhkan ilmu Ushul fikih, karena mayoritas sahabat
faham bahasa Arab dan mengetahui asbabun nuzul dari ayat-ayat alQuran, maka cukup bagi mereka untuk menjawab semua masalah
dengan membaca ayat suci al-Quran dan Sunnah. Seperti yang telah
kita ketahui bahwa sebagian dari sahabat Nabi ada yang pandai dalam
berfatwa, seperti keempat Khulafaurrasyidin, Abdullah bin Masud, Zaid
bin Tsabit dan masih banyak lainnya. Dasar yang mereka gunakan dalam
berfatwa adalah al-Quran, Sunnah dan jika ada permasalahan baru
yang tidak ada dalam keduanya, maka mereka berijtihad. Dalam dua
periode ini tidak ada satu dasar pun dalam pengambilan hukum yang
dibukukan.

12

Kitab Ushul fikih baru dibukukan dan sampai pada tangan kita pada
abad ke-2 H yang ditulis oleh orang yang sangat alim, yaitu Muhammad
bin Idris as-Syafii, menurut sebagian riwayat ada beberapa ulama lain
yang menulis tentang Ushul fikih sebelum Imam Syafii, akan tetapi
tulisan tersebut tidak sampai pada tangan kita dan tidak sedikit juga
dari ulama lain mendhoifkan riwayat tersebut, seperti kitab Ushul fikih
yang dikarang oleh Muhammad Baqir bin Ali Zainal Abidin dari golongan
Syiah dan lain sebagainya. Ada kitab yang menerangkan Ushul fikih
sebelum Imam Syafii dan sampai pada kita, akan tetapi tidak murni
menerangkan ilmu Ushul fikih, seperti kitab yang dikarang oleh Imam
Malik yang berjudul al-Muwattha, karena dalam kitab ini penerangan
tentang hadits lebih banyak dari pada Ushul fikihnya.
Sebab-sebab Imam Syafii Membukukan Ilmu Ushul fikih
Ada beberapa hal yang mendorong Imam syafii untuk membukukan
ilmu Ushul fikih ini, antara lain:
1. Imam syafii dilahirkan pada era yang banyak perdebatan dan
pertentangan tentang dasar-dasar dalam pengambilam hukum Fikih,
diantara mereka ada yang mengatakan bahwa Sunnah Nabi tidak bisa
dijadikan sandaran dalam pengambilan sebuah hukum, ada yang tidak
menerima atsr sahabat Nabi sebagai hujjah, ada yang menolak keduaduanya dan ada yang mengatakan bahwa selain al-Quran tidak bisa
dijadikan tendensi dalam pengambilan sebuah hukum. Oleh karena itu,
Imam Syafii berusaha untuk membangun madzhab baru yang
menerangkan cara pengambilan sebuah hukum khususnya dalam
masalah Fikih.
2. Percampuran antara orang Arab dengan non Arab yang
menyebabkan berkurangnya dzauq bahasa Arab, sehingga mereka sulit
untuk memahami bahasa Arab dengan sepenuhnya dan ini di sebabkan
oleh banyaknya negara yang ditaklukkan oleh kaum muslimin pada
masa sahabat, bani Umayyah dan bani Abbasiyyah.
3. Jauhnya era Imam Syafii dengan era Rasulullah yang
menyebabkan kaum muslimin banyak tidak mengerti tentang Sunnah
Nabi.
Dari sebagian sebab-sebab yang telah tercantum di atas, inilah yang
mendorong Imam Syafii untuk menulis sebuah kitab tentang Ushul fikih
yang menerangkan metode dalam pengambilan sebuah hukum dan
menerangkan kaidah-kaidah yang ada dalam madzhabnya dengan
harapan agar bisa membantu dalam berfatwa dan menyelesaikan
masalah-masalah yang terjadi. Ar-Rislah, itulah mana kitab Ushul fikih
yang beliau karang dan kitab Ushul fikih pertama yang muncul di dunia,
yang mana di dalamnya menerangkan tentang al-Quran dan sesuatu
yang bersangkutan dengannya, Sunnah Nabi dan posisi Sunnah jika di
bandingkan dengan al-Quran, menerangkan tentang nsikh dan
manskh, Hadits hd, Ijma, Qiyas, Istihsan dan lain sebagainya.

13

Metode Penulisan Kitab Ushul fikih


Setelah Imam Syafii menulis kitab Ushul fikih yang pertama,
kemudian diikutilah oleh generasi sesudahnya, seperti Imam Ahmad bin
Hanbal, beliau mengarang beberapa kitab diantaranya adalah kitab
Thatu ar-Rasl, kitab an-Nsikh wa al-Manskh dan kitab Ilal. Ulama
Hanafiyah juga menulis kitab tentang ilmu Ushul fikih. Dari sini bisa
diketahui bahwa setiap golongan mempunyai metode tersendiri dalam
penulisan kitab Ushul fikih. Ada tiga metode dalam penulisan kitab ini,
yaitu:
1. Metode Mutakallimin.
Ada beberapa ulama yang mengikuti metode penulisan ini,
diantaranya adalah kalangan Syafiiyah, Malikiyah, ulama Kalam dan
kalangan Hanabilah. Metode penulisan ini lebih condong untuk
mentahqiq kaidah-kaidah Fikih tanpa taashub pada madzhab tertentu.
Tujuan utamanya adalah mencari kaidah yang paling kuat dan cocok
pada sebuah hukum sekalipun berbeda dengan kitab yang dikarang
Imam Syafii (ar-Rislah), misalnya Ijma sukti. Syafiiyah mengatakan
bahwa Ijma sukti ini bisa dijadikan hujjah dalam pngambilan sebuah
hukum, berbeda dengan Imam Syafii yang mengatakan bahwa Ijma ini
tidak bisa dijadikan hujjah sebagaimana yang telah tercantum dalam
kitab yang dikarang oleh Imam Amudi, al-Ihkm fi Ushli al-Ahkm,
beliau mentarjih atas bolehnya Ijma sukti untuk dijadikan sandaran
dalam pengambilan sebuah hukum dan beliau dari madzhab Syafiiyah.
Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa metode Mutakallimin ini
mempunyai ciri khas yang tidak dimiliki oleh metode-metode yang lain,
diantara ciri-ciri itu adalah:
a. Mentahqiq masalah dan menghilangkan perbedaan.
b. Metode ini berpusat pada kajian teoritis untuk menghasilkan
kaidah-kaidah yang kuat dan mengambil jalan tengah dalam jadal atau
diskusi. Jika ada dalil yang menguatkannya dari beberapa kaidah, maka
mereka akan menetapkannya, akan tetapi jika berbeda, maka mereka
akan menolaknya tanpa ada kecondongan pada madzhab tertentu.
c. Penetapan dalam pengambilan kaidah terlepas dari pembahasan
cabang-cabang ilmu Fikih, setelah mereka menetapkan dan sepakat atas
suatu kaidah, mereka tidak melihat kembali cabang-cabang Fikih yang
berbeda dengan kaidahnya.
Sebagian kitab yang ditulis dengan mengunakan metode
mutakallimin ini adalah;
a. Al-Mutamad karya Abu Husain Muhammad bin Ali al-Bashri alMutazili As-Syafii (wafat 463 H).
b. Al-Burhn karya Abu Maali Abdul Malik bin Abdullah al-Juwaini asSyafii, yang dikenal dengan Imam al-Haramain (wafat 438/478 H).
c. Al-Mahshl karya Fakhruddin Muhammad bin Umar ar-Razy as-Syafii
(wafat 606 H).
d. Al-Ihkm fi Ushli al-Ahkm karya Abu Hasan Ali bin Abi Ali, yang
dikenal dengan Saifuddin al-Amudi as-Syafii (wafat 631 H).
14

e. Al-Mustashf karya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali


as-Syafii (wafat 505 H).
f. At-Tamhd fi Ushl al-Fiqh karya Mahfuzh bin Ahmad bin Husain Abul
Khattab al-Kalwadzani al-Hanbali murid Abu Yala (wafat 510 H).
2. Metode Hanafiyah
Metode ini ditetapkan oleh madzhab Hanafiyah dan sangat berbeda
dengan metode Mutakalimin. Adapun perbedaannya adalah sebagai
berikut:
a. Keterkaitan erat antara Ushul fikih dengan masalah cabangcabang Fikih dimana ia dijadikan dalil dan sumber utama kaidah-kaidah
Ushul yang mereka buat. Dan jika ada kaidah Ushul yang bertentangan
dengan ijtihad Fikih para imam dan ulama madzhab Hanafiyah, maka
mereka menggantikannya dengan kaidah yang sesuai.
b. Tujuan utama dari metode ini adalah mengumpulkan hukumhukum Fikih hasil ijtihad para ulama madzhab Hanafiyah dalam kaidahkaidah Ushul.
c. Metode ini terlepas dari kajian teoritis dan lebih bersifat praktis.
Metode ini muncul karena para imam madzhab Hanafiyah tidak
meninggalkan kaidah Ushul yang terkumpul dan tertulis untuk muridmurid mereka, seperti yang ditinggalkan Imam Syafii untuk muridmuridnya. Dalam kitab para imam madzhab Hanafiyah, mereka hanya
menemukan masalah-masalah Fikih dan beberapa kaidah yang tersebar
di sela-sela pembahasan Fikih tersebut. Dengan demikian, mereka
mengumpulkan masalah-masalah Fikih yang sejenis dan mengkajinya
untuk melahirkan kaidah-kaidah Ushul yang baru.
Sebagian kitab yang ditulis dengan metode Hanafiyah adalah
sebagai berikut:
a. Ushl al-Kurkhi karya Abdullah bin Hasan bin Dallal al-Kurkhi al-Hanafi
(wafat 340 H).
b. Ushl al-Jashshsh karya Ahmad bin Ali, yang mempunyai kinayah
Abu Bakar ar-Razi dan sebutannya al-Jashshash (wafat 370 H).
c. Ushl as-Sarakhsi karya Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahal, yang
dikenal dengan Syamsu al-Aimmah as-Sarakhsi (wafat 428 H).
d. Al-Manr karya Abdullah Ahmad an-Nasafi al-Hanafi (wafat 790 H).
e. At-Tamhd fi Takhrj Al-Fur al al-Ushl karya Jamaluddin al-Asnawi
as-Syafii (wafat 772 H).
f. Kanzu al-Wushl Ila marifat al-Ushl karya Ali bin Muhammad bin
Husain al-Badzawi al-Hanafi (wafat 482 H).
3. Metode Mutaakhirin.
Metode terakhir ini muncul pada abad ke-7 H melalui orang Irak yang
bernama Ahmad bin Ali bin Taghlib yang dikenal dengan Muzhfaruddin
Ibnu Saati (wafat 694 H) dengan bukunya Bad an-Nizhm al-Jmi
baina al-Ushl al-Bardawi wa al-Ahkm. Banyak yang mengikuti metode
ini, baik dari golongan Mutakalimin atau Hanafiyyah. Keistimewaan yang
15

dimiliki metode ini adalah penggabungan antara kekuatan teori dan


praktek yaitu dengan mengokohkan kaidah-kaidah Ushul dengan
argumentasi ilmiah yang disertai aplikasi kaidah Ushul tersebut dalam
kasus-kasus Fikih. Metode ini dikenal dengan metode penggumpulan,
karena menggumpulkan dua metode penulisan, yaitu Mutakalimin dan
Hanafiyyah.
Sebagian kitab yang ditulis dengan menggunakan metode ini adalah
sebagai berikut:
a. Tanqh al-Ushl karya Shadru as-Syariah Ubaidillah bin Masud alBukhari al-Hanafi (wafat 747 H).
b. Jamu al-Jawmi karya Tajuddin Abdul Wahab bin Ali as-Subki asSyafii (wafat 771 H).
c. At-tahrr fi Ushl al-Fiqh al-Jmi baina Ishthilhai al-Hanafiyyah wa
as-Syafiyyah karya Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid, yang
masyhur dengan sebutan Ibnu Himamuddin as-Sakandari (wafat 861 H).
d. Bad an-Nizhm, karya Mudzfaruddin Ahmad bin Ali al-Hanafi (wafat
614 H)
e. Muslim ats-Tsubt karya Muhibbullah bin Abdus syukur (wafat 1119
H), kitab inilah yang dianggap paling bagus dalam metode Mutaakhirin.
Kelima kitab di atas adalah kitab pengumpul dua metode Mutakalimin
dan Hanafiyyah, akan tetapi masih singkat penjelasannya dan tidak bisa
difahami, kecuali dengan membacanya berulang kali. Setelah berangsur
lama dari pembuatan kitab-kitab di atas, muncullah ulama yang
memperjelas isi kitab itu tanpa menambahinya.
Sebagian kitab yang memperjelas metode Mutaakhirin adalah:
a. Irsyd al-Fuhl Il Tahqq Ilmi al-Ushl karya Muhammad bin Ali bin
Muhammad bin Abdullah As-Syaukani As-Syafii (wafat 1255 H).
b. Tashl al-Wushl Il Ilmi al-Ushl karya Muhammad Abdur Rahman AlMahlawi Al-Hanafi (wafat 1920 M).
c. Ushl al-Fiqh karya Abdul Wahab Khallaf (wafat 1955 M).
d. Ushl al-Fiqh karya Muhammad al-Khudhari (wafat 1927 M).
Setelah generasi ini, muncullah generasi baru yang mengarang kitab
tentang Ushul fikih dengan menggunakan bahasa kontemporer dan
mudah difahami oleh semua pembaca, seperti kitab al-Wajz f Ushl alFiqh karya Dr. Wahbah Zuhaily dan lain sebagainya.

16

Anda mungkin juga menyukai