Anda di halaman 1dari 45

1

PENDAHULUAN

Modul ini merupakan modul kedua dari tiga modul yang disusun untuk
mempelajari Sisiologi/Antropologi Kesehatan. Untuk memahami isi modul kedua ini, anda
harus membaca modul pertama dahulu, karena modul pertama merupakan dasar
pengertian, definisi dari teori-teori SosiologiAntropologi. Sehingga ketika membaca
Modul Kedua ini, anda sudah dapat memahaminya dengan mudah. Seperti pada modul
pertama, untuk memahami modul kedua ini, anda harus memahaminya melalui setiap
kegiatan belajar, kemudian membahasnya dengan teman/kelompok, dan menyelesaikan
tugas-tugas yang diberikan pada setiap kegiatan belajar, baru melanjutkan ke kegiatan
belajar berikutnya.
Setelah mempelajari modul ini anda diharapkan mampu memahami konsep nilai-nilai
budaya, norma budaya, stigma sosial dan kesehatan, pengaruh lingkungan sosial, masalahmasalah sosial di masyarakat, kaitannya dengan satus kesehatan masyarakat. Modul dua ini
dibagai atas 3 kegiatan belajar yaitu: pada Kegiatan Belajar 1 berisi tentang: Nilai-nilai
Sosial, Norma-Norma Budaya, serta Nilai-Nilai Budaya. Pada Kegiatan Belajar 2 berisi
tentang: Pengaruh Lingkungan Sosial Budaya terhadap Perilaku individu/masyarakat, dan
Faktor-faktor Sosial-Budaya yang mempengaruhi Status Kesehatan Individu/Masyarakat.
Pada Kegiatan Belajar 3 membahas tentang: Masalah Sosial dan Kesehatan Wanita, Gender
dan Kesehatan Reproduksi.
Anda pasti dapat menyelesaikannya dengan baik bila anda membacanya dan
mendiskusikannya dengan teman/kelompok, kemudian mengerjakan tugas-tugas, dan
menjawab soal-soal dengan baik dan benar.
Selamat belajar, semoga sukses.

KEGIATAN BELAJAR I
NORMA-NORMA DAN NILAI BUDAYA

A.

Tujuan Pembelajaran: Setelah menyelesaikan kegiatan belajar 1 anda


diharapkan dapat:
1. Menjelaskan nilai-nilai sosial.
2. Menjelaskan norma-norma sosial.
3. Menjelaskan nilai-nilai budaya

B.

Pokok-Pokok Materi:
1. Nilai-nilai sosial
2. Norma-norma sosial.
3. Nilai-nilai budaya

C.
1.

Uraian Materi:
Nilai-Nilai Sosial.
Menurut Munandar Soelaeman, nilai adalah sesuatu yang dipentingkan
manusia sebagai subyek, menyangkut sebagai sesuatu yang baik, atau
yang buruk, sebagai abstraksi, pandangan, atau maksud dari berbagai

pengalaman dengan seleksi perilaku yang ketat. Atau menurut Alo Liliweri,
nilai adalah sebuah kepercayaan yang didasarkan pada sebuah kode etik di
dalam masyarakat. Nilai menunjukkan kepada kita tentang apa yang benar dan
salah, baik dan buruk, ia juga menunjukkan tentang bagaimana pengalaman
hidup dimasa lalu.
Nilai merupakan unsur penting dalam budaya, karena ia dapat menentukan
seseorang boleh atau tidak boleh melakukan sesuatu.
Dengan kata lain nilai merupakan patokan/standart perilaku sosial yang
melambangkan baik-buruk, benar salahnya suatu obyek dalam hidup
bermasyarakat, sehingga nilai dapat mempengaruhi perilaku seseorang.
Menurut Abdulsani, nilai dapat dikatakan sebagai kumpulan perasaan
mengenai apa yang diinginkan atau yang tidak diharapkan; mengenai apa
yang boleh dilakukan atau yang tabu dilakukan.
Contohnya:
Seorang ibu memutuskan untuk tidak bekerja (di luar rumah) selama anakanaknya berumur balita, dia ingin mengasuh anaknya sendiri tanpa pengasuh,
karena dia menilai pendidikan anak balitanya adalah segala-galanya.
Atau seorang ibu akan menyusui bayinya hingga berumur 2 tahun, karena dia
menilai ASI nya sangat berharga bagi pertumbuhan dan perkembangan
bayinya.
Dalam kedua kasus diatas, nampak bahwa pendidikan anak balita dan
pemberian ASI bagi kedua ibu tadi merupakan nilai-nilai yang dipegang teguh
bagi ibu-ibu yang mengetahui arti pendidikan balita dan arti asi bagi bayinya.
Kedua ibu tadi bila tidak melakukan hal tersebut akan merasa bersalah,
terutama bila dikemudian hari terjadi sesuatu yang merugikan kedua anaknya.
Dan nilai ini bagi orang lain dapat berbeda karena nilai bisa berlaku bagi
individu juga berlaku untuk sekelompok orang, atau satu suku bangsa. Nilai
yang berlaku untuk satu suku atau ras misalnya pada daerah tertentu, bahwa

anak lelaki lebih tinggi dari nilai anak perempuan, karena laki-laki dapat
sebagai penerus keturunan, sedangkan perempuan tidak.
Tidak semua ras/daerah mempunyai pandangan lebih terhadap anak lelaki,
dibanding anak perempuan. Pada daerah lain justru sebaliknya, karena anak
perempuan dapat dijadikan invest bila dapat dikawinkan dengan lelaki kaya
atau berpangkat, atau dipekerjakan sehingga cepat mendatangkan uang.
Atau contoh yang lain misalnya, pada era sebelum tahun enampuluhan wanita
yang baik adalah yang pandai masak, menjahit, menyulam, mengurus rumah
tangga, sedangkan pada zaman sekarang nilai seorang wanita tidak lagi diukur
dari kepandaiannya dalam mengurus rumah tangga, tetapi lebih utama
terpelajar, atau berpengetahuan luas.
Untuk memperoleh gambaran yang lebih rinci tentang nilai, dapat dilihat
pendapat D.A.Wila Huky dalam Abdulsani, bahwa nilai-nilai mempunyai ciri-ciri
yaitu:
a. Nilai tercipta secara sosial, bukan secara biologis atau bawaan sejak lahir,
artinya nilai tercipta melalui interaksi dari para anggota masyarakat. Karena
nilai merupakan hasil interaksi yang dipelajari berdasarkan pengalaman,
maka nilai merupakan sesuatu yang timbul setelah ada proses sosial
diantara anggotanya.
b. Nilai-nilai ditularkan dari individu ke individu lain atau dari sekelompok
masyarakat kepada sekelompok masyarakat lain. Hal ini memungkinkan
bagi setiap individu/kelompok mempelajari dan menyetujuinya untuk di
gunakan secara bersama, atau individu.
c. Nilai dipelajari dan dicapai, bukan bawaan sejak lahir. Proses belajar dan
pencapaian nilai-nilai dimulai sejak kanak-kanak dalam keluarga melalui
sosialisasi.
d. Nilai

memuaskan

manusia

dan

mengambil

bagian

dalam

usaha

pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sosial. Nilai yang disetujui dan yang


telah diterima secara sosial menjadi dasar bagi tindakan dan tingkah laku,

baik secara pribadi atau grup dan masyarakat secara keseluruhan. Nilai
juga dapat membantu masyarakat agar dapat berfungsi dengan baik.
e. Nilai merupakan asumsi-asumsi abstrak dimana terdapat konsensus sosial
tentang harga relatif dari obyek dalam masyarakat. Seperti dalam contohcontoh di atas, nilai merupakan konsensus yang abstrak dan sangat
tergantung dari setiap individu/kelompok.
f. Nilai cenderung berkaitan satu dengan yang lain secara komunal untuk
membentuk pola-pola dan sistem nilai dalam masyarakat, sehingga tidak
menimbulkan problem sosial. Nilai memang di buat untuk mencegah
timbulnya masalah sosial dikemudian hari. Sehingga individu/masyarakat
cenderung mengikutinya menjadi pola dan sistem.
g. Sistem nilai bervariasi antara kebudayaan satu dengan yang lain, sesuai
dengan harga relatif yang diperlihatkan oleh setiap kebudayaan terhadap
pola-pola aktivitas dan tujuan serta sasarannya.
h. Nilai selalu menggambarkan alternatif dan sistem-sistem nilai yang terdiri
dari struktur rangking alternatif-alternatif itu sendiri, sehingga saling
menyempurnakan dan mengisi.
i. Masing-masing nilai dapat mempunyai efek yang berbeda terhadap orangperorangan dan masyarakat sebagai keseluruhan.
j. Nilai juga melibatkan emosi, karena biasanya diciptakan berdasarkan
kebutuhan rasa aman, sehingga bila tidak sesuai dengan nilai-nilai yang
diyakininya akan mengakibatkan rasa bersalah. Sehingga nilai-nilai sering
bersumber juga dari keyakinan beragama individu/ masyarakat yang
bersangkutan.
k.

Nilai-nilai dapat mempengaruhi pengembangan pribadi dalam masyarakat


secara positif maupun secara negatif. Sehingga orang semakin tidak mau
mengambil resiko dan mematuhinya untuk menjadikan rasa aman.

2.

Norma-norma Sosial.
Apa yang membedakan nilai dan norma sosial?

Nilai dan norma tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, karena keduanya
saling berkaitan. Secara umum norma merupakan nilai yang mengandung
sanksi yang relatif tegas terhadap pelanggarnya. Sehingga norma
merupakan foktor pendorong bagi individu/masyarakat untuk mematuhinya.
Menurut pandangan sosiologis, norma merupakan kekuatan dari serangkaian
peraturan umum, baik tertulis maupun tidak tertulis, mengenai tingkah laku
manusia yang menurut kelompoknya baik atau buruk, pantas atau tidak
pantas.
Sehingga norma dapat mengendalikan anggota kelompok untuk berbuat baik
atau tidak baik menurut kelompok itu, membuat perasaan bersalah atau tidak
bagi anggotanya. Norma dapat berbentuk perintah maupun larangan, bagi
anggota

masyarakat

tersebut.

Norma

dapat

bersumber

dari

agama/kepercayaan suatu masyarakat.


Kekuatan norma-norma dikenal secara sosiologis ada beberapa tingkatan
yaitu:
a. Usage/ Cara berbuat.
Pada tingkat norma yang disebut cara, bila terjadi pelanggaran,
hukumannya sangat lemah, misalnya makan sambil berdiri, berdecak. Pada
tingkat ini, lebih banyak menilai pelanggaran antar individu saja, tidak
terkait dengan orang lain.
b. Folkways/ Kebiasaan atau perbuatan yang berulang-ulang dalam
bentuk yang sama.
Karena orang-orang setuju, maka perbuatan yang anggap baik dapat
menjadi kebiasaan. Misalnya berkata sopan, santun kepada semua orang,
mengucapkan salam setiap bertemu orang, dan sebagainya.
c. Mores/ Tata Kelakuan.
Adalah bentuk norma yang telah diakui oleh masyarakat sebagai pengatur
dalam setiap perilaku. Tata kelakuan mempunyai kekuatan memaksa untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu, sehingga sanksinya adalah dikucilkan

oleh masyarakat dari pergaulan, atau pengusiran dari lingkungannya,


biasanya untuk daerah-daerah yang masaih sangat kental hukum adatnya
seperti di Bali, Sumatera Barat, Aceh, dan lain sebagainya.
d. Custom/ Adat Istiadat.
Adalah tata kelakuan yang berupa aturan-aturan yang mempunyai
sanksi/hukuman yang lebih keras lagi, baik formal maupun non formal.
Misalnya kasus pemerkosaan, mencuri, selain mendapat hukuman dari
penegak hukum (formal), karena ada undang-undang tertulisnya, juga
mendapat hukuman masyarakat (non formal), bahkan bisa lebih berat
misalnya di pukuli atau diadili secara massa, dan dikucilkan.

3.

Nilai-Nilai Budaya.

Adalah merupakan suatu idealisme bangsa, lalu apakah Pancasila juga


merupakan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia? Ya, karena Pancasila digali dari
nilai-nilai yang ada sejak zaman dahulu kala/nenek moyang bangsa Indonesia,
dan merupakan cita-cita luhur penduduk di kepulauan Nusantara ini. Nilai-nilai
budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dari adat
istiadat suatu bangsa.
Nilai merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam pikiran
sebagian besar dari warga suatu masyarakat, mengenai apa yang mereka anggap
bernilai, berharga, dan penting dalam hidup, berfungsi sebagai pedoman
kehidupan warganya.(Koentjaraningrat, 1990).
Sifatnya konsep, umum, luas, sulit diterapkan secara nyata.
D.

Rangkuman.

1. Dengan demikian, nilai sebenarnya mempunyai fungsi untuk memberikan


petunjuk-petunjuk penting agar dapat memuaskan keinginan manusia
dan

memberikan

arah

demi

tercapainya

tujuan

sosial

kemasyarakatannya. Perilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai

yag

dimilikinya,

bila

nilai

itu

baik,

maka

masyarakat/individu

akan

mengulanginya, dan bila buruk maka akan dihindari.


Setiap individu dapat mempunyai nilai yang berbeda, demikian pula antara
ras/suku bangsa atau kelompok masyarakat.
2. Norma-norma merupakan hasil interaksi dan sosialisasi dalam masyarakat,
kemudian menjadi suatu aturan-aturan dalam bermasyarakat yang disepakati
bersama baik secara lisan maupun tulisan, dan mempunyai sanksi yang jelas
bagi pelanggarnya. Sanksi dapat berupa hukuman formal seperti lembaga
kepolisian, atau lembaga hukum lainnya. Sedangkan sanksi yang non formal
berasal dari ketua adat setempat. Tetapi norma yang bersifat non formal suatu
ketika dapat menjadi formal, atau dijadikan acuan sebagai hukum negara.
3. Nilai-nilai budaya adalah sebagai pandangan hidup masyarakat tersebut, atau
suatu sistem pedoman hidup/cita-cita yang ingin dicapai suatu masyarakat,
golongan, negara, serta merupakan tingkatan yang paling tinggi dan luhur dari
nilai-nilai dan norma-norma sosial suatu budaya bangsa.

E. Tugas 1.
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut dan cobalah untuk tidak melihat
buku dahulu, bila belum dapat lebih baik diskusikan dahulu dengan teman
atau kelompok, barulah anda melihar jawabannya di dalam buku.
1. Jelaskan apa yang disebut dengan nilai-nilai sosial?
2. Apa bedanya dengan norma-norma sosial?
3. Berilah contoh lain nilai-nilai sosial yang ada di dalam
masyarakat

di

sekitarmu

yang

terkait

dengan

masalah

kesehatan, baik bersifat positif, maupun negatif!


Cocokkan jawaban anda dengan kunci jawaban pada akhir modul.
Jika anda berhasil menjawab pertanyaan-pertanyaan nomor 1 dan 2
dengan betul, dan menjawab soal nomor 3 masing-masing 1 contoh untuk positif
dan negatifnya, maka anda dapat meneruskan untuk kegiatan belajar berikutnya.

KEGIATAN BELAJAR 2

PENGARUH LINGKUNGAN SOSIAL BUDAYA TERHADAP


PENYAKIT.

A. Tujuan Pembelajaran: Setelah mempelajari kegiatan belajar 2 ini mahasiswa


diharapkan mampu menjelaskan:
1. Pengaruh

lingkungan

sosial

budaya

terhadap

perilaku

individu/masyarakat.
2. Faktor-faktor sosial-budaya yang mempengaruhi Status Kesehatan
individu/masyarakat.
B.

Pokok-pokok Materi:

1.

Pengaruh

lingkungan

sosial

budaya

terhadap

perilaku

individu/masyarakat.
2.

Faktor-faktor sosial budaya yang mempengaruhi Status Kesehatan


individu/masyarakat:
a.

Stigma Sosial dan Kesehatan individu.

b.

Pandangan kultur tertentu terhadap konsep sehat,sakit.

c.

Aspek Sosial Budaya terhadap Status Kesehatan

d.

Aspek Sosial Budaya terhadap Status Gizi.

10

e.

Aspek Sosial Budaya terhadap Program KB

f.

Macam-macam masalah sosial dan penyakit.

g.

Modernisasi, Urbansisasi, dan Penyakit.

h.

Profesi

Tenaga

Kesehatan

dan

status

kesehatan

masyarakat.
C.

Uraian Materi:
1.

Pengaruh Lingkungan Sosial Budaya terhadap Penyakit.


Perilaku manusia merupakan hasil dari segala pengalaman serta interaksi
manusia dengan lingkungannya. Lingkungan yang dimaksud disini adalah
non biologis atau yang dimasukkan dalam lingkungan sosial budaya.
Perilaku merupakan respons/reaksi seorang terhadap stimulus yang
berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respons dapat bersifat
pasif, yaitu berfikir, berpendapat, bersikap, maupun bersifat aktif yaitu
melakukan tindakan.
Respons individu/masyarakat ada kaitannya dengan lingkungan sosial
budaya yang ada disekitarnya, dan akan mempengaruhi sikap dan
perilaku individu/masyarakat dalam bertindak selanjutnya.
Menurut T Parsons, perilaku individu sangat dipengaruhi oleh sistem
sosial, sistem budaya, serta sistem kepribadian dari individu itu
sendiri.
Sedangkan menurut T.Weber, perilaku merupakan hasil dari pengalaman,
persepsi, pemahaman, dan penafsiran individu, yang mendapat stimulus
internal berupa persepsi, motivasi, dan emosi individu yang bersangkutan.

-pengalaman
-persepsi
-pemahaman
-penafsiran

Stimulus internal

Persepsi
Motivas
i
Emosi

Perilak
u

11

Sedangkan menurut Hendrik L. Blum, status kesehatan individu/ masyarakat


sangat dipengaruhi oleh; lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan
herediter/ keturunan.
Keturunan/herediter

Perilaku

Status
Kesehatan

yan.kes.

Lingkungan
Dalam teori Blum ini pengaruh perilaku merupakan pengaruh terbesar kedua
setelah lingkungan dalam status kesehatan individu maupun masyarakat.
Untuk memudahkan dalam mempelajari perilaku terhadap sakit dan penyakit,
menurut Soekidjo Notoatmodjo,1993 dikelompokkan menjadi beberapa unsur
pokok yaitu:
a.

Perilaku terhadap upaya pemeliharaan kesehatan (health


promotion behavior), misalnya makan makanan yang bergizi, olah raga,
dan sebagainya. Pada masyarakat dengan pendidikan dan sosial ekonomi
rendah perilaku terhadap upaya pemeliharaan kesehatan biasanya
merupakan kebutuhan yang terakhir. Sehingga perlu diberikan cara
pendidikan kesehatan yang lebih menarik dan mengena, yaitu disesuaikan
dengan kemampuan dan keadaan lingkungan mereka.

12

b. Perilaku dalam rangka pencegahan penyakit (health prevention behavior),


misalnya

menjaga

kebersihan

lingkungan,

tidur

dengan

kelambu,

melakukan imunisasi, menjaga agar tidak menularkan penyakit menular


kepada orang lain. Perilaku masyarakat yang berasal dari sosial ekonomi
dan pendidikan yang relatif rendah, biasanya (perilaku ini) belum menjadi
prioritas dan budaya masyarakat.
c. Perilaku sehubungan dengan pencarian pengobatan (health seeking
behavior), misalnya pengobatan sendiri, ke dukun, dokter, puskesmas dan
lainnya. Hal ini sangat berkaitan dengan sosial ekonomi, dan tingkat
pengetahuan/pengalaman seseorang. Sedangkan tingkat pendidikan tidak
menjamin seseorang untuk selalu berobat ke pelayanan kesehatan medis.
Pada situsi tertentu, orang lebih percaya kepada pengobat alternatif.
Misalnya pada kasus-kasus penyakit kronis, atau penderita mengalami
putus asa yang antara lain disebabkan karena kurangnya informasi dari
petugas kesehatan tentang penyakitnya, ataupun pengalaman yang kurang
menyenangkan dari pelayanan kesehatan.
Contoh lain adalah seseorang ibu yang akan melahirkan lebih memilih
dukun bayi daripada pelayanan kesehatan, karena pada pelayanan dukun
bayi selain relatif murah, dibayar apa saja dan berapa saja mau, juga dukun
bayi dapat memberikan pelayanan tambahan yaitu berupa pijat, dan
upacara-upacara ritual, yang tidak diberikan oleh tenaga kesehatan.
d.

Perilaku sehubungan dengan pemulihan kesehatan (health


rehabilitation behavior), atau upaya-upaya dalam rangka penyembuhan
suatu penyakit, misalnya patuh terhadap nasehat dokter, melakukan diet,
minum obat sesuai aturan, dan sebagainya. Bila informasi yang
disampaikan kepada pasien dan akses untuk mendapatkan pelayanan
mudah, masyarakat akan melakukan pemulihan kesehatan dengan baik,
disamping faktor individunya sendiri.

13

2. Faktor

Sosial

Budaya

yang

Mempengaruhi

Status

Kesehatan

Individu/Masyarakat.
Berdasarkan

teori-teori

tersebut

diatas,

lingkungan

sosial

budaya

seseorang/masyarakat sangat berpengaruh terhadap perilaku dan status


kesehatan seseorang/ masyarakat.
Beberapa fenomena sosial budaya yang dapat diketahui hubungannya dengan
status kesehatan baik individu maupun masyarakat dapat kita lihat dari tulisan
berikut:
a. Stigma Sosial dan Kesehatan Individu.
Menurut terjemahan Kamus Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan
Nasional, 2001), Stigma adalah ciri negatif yang menempel pada pribadi
seseorang karena pengaruh lingkungannya, misalnya karena disebut anak
nakal, maka anak itu menjadi benar-benar anak nakal.
Stigma sosial dan kesehatan adalah ciri negatif yang menempel pada
pribadi

seseorang

karena

pengaruh

lingkungannya,

dan

akan

mempengaruhi kesembuhan seseorang dari penyakitnya.


Misalnya stigma masyarakat tentang seorang pecandu narkoba, Stigma
sosialnya: sekali pecandu selamanya pecandu. Sesungguhnya setiap
orang bisa berubah, jika dibantu, didukung, dan didorong untuk berubah.
Pada hakekatnya seorang pecandu sekalipun dapat berubah jika diberi
kesempatan dan dukungan untuk berubah, termasuk dukungan lingkungan
yang

positif.

Dengan

terapi

membuat

mereka

dicintai,

dihargai,

diberdayakan sesuai dengan bakat dan minatnya, sehingga menjadi mulia


dan terpuji.
Demikian pula pada penderita gangguan jiwa yang telah dinyatakan
sembuh dan dikembalikan ke keluarganya, sering menjadi kambuh lagi
karena stigma masyarakat mereka tidak bisa sembuh, kemudian mereka
dikucilkan dari pergaulan di lingkungannya, tidak diberi peran dan

14

dukungan sosial, serta di ejek. Hal inilah yang membuat mereka kambuh
kembali.
b.

Pandangan

kultur

tertentu

terhadap

konsep

sehat,sakit.
Dalam menentukan sehat atau sakit, individu satu dengan yang lain sering
tidak sama, artinya sangat subyektif. Misalnya ketika seseorang sedang
mengalami diare, dia tetap pergi kekantor/bekerja, karena merasa tidak
mengganggu, meskipun berkali-kali harus pergi kebelakang, dan tidak merasa
perlu pergi berobat. Apalagi bila diare itu menimpa balitanya, sering dikatakan
tidak apa-apa, karena diare berarti ngenteng-ngentengi badan dan dengan
demikian balita akan bertambah pintar.
Sementara seorang yang lain akan mempunyai reaksi yang lain, mungkin
langsung minum jamu/obat tradisional, atau bahkan langsung minum oralit,
dan istirahat.
Demikian pula bila sakit yang menimpanya diyakini karena adanya mahluk
halus yang merasuk ke tubuhnya, sehingga dia akan mencari pengobat
alternatif yang diyakininya dapat menyembuhkan sakitnya.
Secara ilmiah penyakit (disease), adalah merupakan gangguan fisiologis
sebagai akibat dari adanya infeksi atau gangguan fungsi tubuh, yaitu ilmu
kedokteran.
Sedangkan (illnes), adalah penilaian individu terhadap pengalaman menderita
suatu penyakit, dengan ditandai rasa tidak enak, dan dalam pemeriksaan
medis biasanya dinyatakan sehat.
Untuk individu yang mengalami gangguan sakit dalam katagori illnes, sering
mendapat kesembuhan dengan menggunakan jasa pengobat alternatif.
Menurut Kusumanto, illness dapat meliputi gangguan atau masalah yang
walaupun ada sangkut pautnya dengan penyakit, menjangkau di luar penyakit.
Pengaruh lingkungan maupun peranan masyarakat ikut diperhitungkan apabila
ada suatu pembahasan tentang illness. Illness tidak selalu bersifat disease,
tetapi selalu mempunyai hubungan dengan sosial dan budaya. Sosial budaya
di sini termasuk sistem ekonomi dan pendidikan.

15

Pada masyarakat tertentu lebih mepercayakan penyembuhannya dengan


pengobat (healer) yang sering melakukan penyembuhan dengan cara
menyentuh spiritual dan rohani, yang tidak dapat diberikan oleh pengobat
modern. Misalnya pecandu narkoba yang diobati di pondok pesantren
Suralaya, yaitu dengan penyembuhan dzikir dan ibadah secara teratur.
Menurut Solita, dalam menganalisa kondisi tubuhnya, biasanya ada dua
tingkat yaitu:
1.

Sakit menurut orang lain, termasuk petugas medis.

2.

Sakit menurut diri sendiri, termasuk keputusan untuk mencari


pengobatan.

Misalnya, pada penduduk desa dan golongan ekonomi kurang, perasaan


sakit/disease sering tidak dirasakan, karena mereka memang harus bekerja,
bila tidak bekerja maka dia tidak dapat makan, disamping faktor ketidak
tahuan, meskipun kenyataannya mereka memang benar-benar sakit menurut
ilmu medis.
Contoh yang lain adalah penderita penyakit gondok, mereka merasa tidak
sakit/kelainan pada tubuhnya karena dia masih dapat mengikuti kegiatan apa
saja dan tidak merasa terganggu, meskipun secara medis mereka harus
diobati.
Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, respons/ perilaku individu
terhadap sakit ini sering menjadikan kondisi pasien semakin parah ketika dia
memutuskan untuk berobat ke pelayanan kesehatan, karena keterlambatan
penanganan.
Misalnya ketika akan melahirkan bagi ibu-ibu muda/kelahiran pertama atau
perdarahan saat kehamilan sering dianggap biasa, tidak segera mencari
pertolongan kepada petugas kesehatan dan masih melakukan aktivitas,
sehingga ketika datang di tempat pelayanan kesehatan, keadaan sudah
terlambat.

c. Aspek Sosial Budaya terhadap Status Kesehatan.

16

Menurut Hendrik L. Blum Status Kesehatan individu atau masyarakat


ditentukan oleh beberapa faktor antara lain adalah lingkungan dan perilaku.
Lingkungan adalah termasuk lingkungan sosial budaya, sementara perilaku
adalah yang berasal dari dalam individu itu sendiri. Sosial budaya di sini
adalah; termasuk bagaimana sistem pendidikan (formal maupun non formal),
sistem relegius, sistem pemerintahan, sistem norma, sistem ekonomi/mata
pencarian, dan lain-lain. Sedangkan perilaku sendiri sebenarnya juga sangat
dipengaruhi oleh sosial budaya dimana dia dibesarkan. Sehingga perilaku dan
lingkungan sosial bidaya adalah satu hal yang erat berkaitan dan saling
mempengaruhi. Dari berbagai aspek sosial budaya tersebut tentunya akan
berdampak kepada status kesehatan, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Coba anda perhatikan beberapa contoh berikut:
Pada daerah tertentu seorang ibu menyusui dilarang makan ikan, atau daging,
karena dikhawatirkan asinya berbau amis, sehingga bayi tidak mau minum
asi/atau dapat menyebabkan bayi muntah. Mereka sangat percaya akan hal
itu, dan pengetahuan serta sikap ini didapat secara turun menurun, sehingga
mereka tidak berani melanggarnya.
Bagaimana mutu asi dan kesehatan ibu menyusui baik,

sementara mutu

makanan yang dimakan ibu tadi sangat terbatas, atau kurang asupan
nutrisinya?
Contoh yang lain adalah mencuci tangan sebelum makan, adalah hal yang
belum membudaya, karena belum tentu setiap tidak cuci tangan akan
mengakibatkan diare, sementara diare sendiri masih dianggap bukan penyakit.
Bahkan dipercaya dengan diare anak akan lebih ringan dan dapat
meningkatkan ketrampilan-ketrampilan yang lain. Sehingga ketika mereka
sadar diarenya tidak sembuh-sembuh, bahkan cenderung kondisi anak sangat
lemah, sudah dehidrasi, dan mungkin terlambat.

17

Bahkan penderita busung lapar pun dapat diduga/dipercaya (mereka) karena


ada yang menggunakan guna-guna.
Contoh diatas berkaitan langsung dengan status kesehatan, sedangkan yang
berkaitan secara tidak langsung, misalnya sistem pendidikan yang tidak
merata sampai ke desa-desa, atau perempuan bukan prioritas pendidikan,
sehingga

sulit

mengadakan

pendidikan

kesehatan

bagi

warga

yang

pendidikannya rendah.
Masih banyak yang dapat dijadikan contoh, cobalah anda lihat kemungkinan
contoh-contoh yang lain!

d.

Aspek Sosial Budaya terhadap Status Gizi.

Status gizi (buruk) merupakan pintu gerbang masuknya penyakit menular,


serta terganggunya perkembangan pada bayi maupun balita.
Beberapa penyakit kurang gizi yang banyak dijumpai di masyarakat adalah:
Gizi buruk pada bayi dan balita, anaemi zat besi pada ibu hamil, gangguan
akibat kurang yodium pada masyarakat di daerah tertentu, kurang vitamin A,
serta pada daerah perkotaan sudah munculnya status gizi berlebih, atau
yang disebut obesitas karena kelebihan gizi.
Pada kasus penyakit menular yang sudah dinyatakan sembuh, serangan
berulang biasanya disebabkan karena status gizi buruk, selain faktor
lingkungan/ sanitasi yang jelek pula, misalnya penyakit TBC.

18

Faktor sosial budaya yang mempengaruhi status gizi buruk selain sosial
ekonomi/ ketidak mampuan secara ekonomi, pada daerah tertentu banyak
dipengaruhi oleh ketidak mauan dan ketidak tahuan.
Kebiasaan tidak mau makan ikan pada daerah tertentu di sebabkan karena
selain mahal harganya juga karena rasa amis yang dirasa mengganggu
nafsu makan, bahkan mereka percaya bila balita makan daging atau ikan
akan menyebabkan cacingan.
Pada daerah lain sayuran segar juga menjadi kendala karena selain sulit
didapat, juga mempunyai kesenangan /lebih menyukai sayuran yang
dimasak sampai matang sekali, sehingga bila sayuran yang dimasak belum
empuk, mereka mengatakan belum matang, dan tidak mau makan.
Pada ibu-ibu di pedesaan yang tidak bekerja, kebiasaan lebih mendahulukan
suaminya makan dengan lauk pauk yang lengkap merupakan salah satu cara
kaum wanita menghormati suaminya. Mereka beranggapan bahwa karena
suami mencari nafkah maka dibutuhkan gizi yang baik, supaya kuat dan tidak
sakit.
Masalah gizi buruk juga disebabkan karena: kepercayaan, pantangan dan
upacara-upacara tertentu yang menyebabkan orang tidak makan makanan
yang tersedia, kebiasaan makan makanan yang disuka saja karena sulit
beradaptasi dengan ketersediaan makanan di lingkungan seseorang berada,
(karena kurangnya sosialisasi orang tua terhadap makanan tersebut); adanya
peran gender, dimana lelaki adalah pencari nafkah harus mendapatkan
makanan yang lebih baik dari anggota keluarga yang lain; ketidak mampuan
pemerintah untuk menyediakan pangan yang cukup bagi rakyatnya, karena
kurang berhasilnya pertanian; serta pemahaman yang keliru terhadap
makanan yang berasal dari negara-negara modern, (trend) seperti makanan
cepat saji/ fast food.
Pada kasus-kasus penyakit gondok, dijumpai sebagian besar pada wanita
dan berada di daerah pegunungan, karena kurang mengkonsumsi garam
beryodium dan ikan. Laki-laki lebih sedikit ditemukan karena mereka lebih

19

banyak bepergian dan makan makanan yang lebih bervariasi dari perempuan
yang hanya tinggal di rumah, dengan pola makan seadanya.

Dengan adanya globalisasi, dan modernisasi, semakin


banyaknya (terbukanya peluang) ibu-ibu bekerja di luar rumah, telah
mengubah pola makan penduduk perkotaan, dengan makanan cepat saji,
yaitu praktis, enak dan relatif murah, kelemahannya makanan jenis ini
banyak lemak, dan sedikit serat. Sementara gerak tubuh semakin berkurang
karena adanya kemajuan/peningkatan di bidang teknologi, dan transportasi
mengakibatkan semakin banyaknya penduduk dengan gizi berlebih dan
akibatnya, penyakit akibat kegemukanpun menjadi meningkat. Pendidikan
tentang gizi seimbang telah terkalahkan dengan pendidikan tentang hidup
modern yang praktis dan bergengsi.
e. Aspek Sosial Budaya terhadap Program KB.

Di Indonesia pada

era tahun 1980-1995 pemerintah meng-gratiskan

penggunaan alat kontrasepsi kepada seluruh masyarakat Indonesia, tetapi


tidak semua penduduk Indonesia dapat menikmati pelayanan gratis tersebut.
Terutama masyarakat pedesaan yang lokasinya sulit dijangkau, maupun

20

beberapa lapisan masyarakat tertentu. Hal ini antara lain dikarenakan adanya
nilai dan norma di masyarakat yang belum dapat menerima program
pengaturan kelahiran, yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai yang
diyakini oleh lapisan masyarakat tersebut.
Hal lain adalah nilai-nilai yang diyakini masyarakat tentang Alat Kontrasepsi
nya sendiri belum menjadi hal yang biasa baik berupa AKDR (Alat Kontrasepsi
dalam Rahim) atau lainnya, seperti alat kontrasepsi untuk pria.
Tindakan-tidakan medis di rumah sakit masih merupakan hal (pengalaman)
yang menakutkan bagi sebagian masyarakat pedesaan. Kemudian perilaku
petugas KB/Kesehatan yang kurang informatif tentang prosedur, jenis alat-alat
KB, serta efek sampingnya menjadikan program tersebut belum dapat diterima
secara baik di masyarakat.
Dilain pihak banyak para perempuan yang mengikuti program KB karena
adanya paksaan dari aparat terutama untuk alat kontrasepsi tertentu, dan
pelaksanaannya

pun

dilaksanakan

secara

massal,

sehingga

kurang

memperhatikan faktor-faktor psikologis, dan quality of care.


Permasalahan yang lain adalah sebagian besar alat kontrasepsi masih
diperuntukkan wanita, sementara yang diperuntukkan pria hanya sedikit
pilihannya, hal ini dikarenakan pilihan ber KB adalah untuk wanita, bukan untuk
pria, karena yang melahirkan adalah wanita bukan pria, sehingga semua orang
menganggap yang paling pas ber KB adalah wanita, bukan pria.
Secara konkrit, pihak yang paling menderita oleh pelaksanaan program KB
adalah perempuan, hal ini didasarkan kenyataan bahwa memang perempuan
dijadikan tumpuan program KB. (Singarimbun dalam Dadang Yulianto,2000).
Sementara dalam buku yang sama juga disebutkan bahwa; dibawah sistem
patriarki, dimana posisi perempuan tersubordinasi, perempuan memang lebih
mudah dikendalikan. Program KB sesungguhnya hanya menambah salah satu
lapis penindasan terhadap perempuan.
Tetapi dilain pihak para wanita bila ingin ber KB, termasuk jenis alat
kontrasepsi yang dipakai harus seijin suami, bila tidak mendapat ijin dari

21

suami, sang istri tidak akan melakukannya. Jadi meskipun istri merasa sudah
tidak sanggup hamil dan melahirkan lagi, tetapi bila suami tidak mengijinkan
ber KB, maka istri tidak dapat menentukan pilihan apapun.
f. Macam-macam masalah sosial dan penyakit.

Masalah sosial atau suatu kondisi ketidak seimbangan perilaku, moral, dan
nilai-nilai sosial. Artinya suatu kondisi/kehidupan masyarakat yang
sebelumnya normal menjadi terganggu, sebagai akibat dari perubahan
pada

unsur-unsur

dan

kepentingan

manusia

dalam

masyarakat

(Abdulsani,1994)
Masalah sosial dapat disebabkan oleh ketidak seimbangan pergaulan dalam
masyarakat, ataupun tidak terpenuhinya kebutuhan biologis.
Masalah

sosial

dapat

pula

identik

dengan

masalah

kemiskinan,

perceraian, pelanggaran hukum, dan kriminal.


Menurut pendapat Horald A. Phelps dalam tulisan Abdulsyani (1994), ada 4
sumber timbulnya masalah sosial, yaitu:
a.

Yang

berasal

dari

faktor-faktor

ekonomis,

antara

lain

termasuk kemiskinan, pengangguran.


b. Yang berasal dari faktor-faktor biologis, antara lain meliputi penyakit-penyakit
jasmani dan cacat.
c. Yang disebabkan oleh faktor-faktor psikologis, antara lain meliputi sakit jiwa,
lemah ingatan, mabuk, sukar menyesuaikan diri, bunuh diri, dan lain-lain.

22

d. Yang berasal dari faktor-faktor kebudayaan, seperti masalah umur tua, tidak
punya tempat kediaman, janda, perceraian, kejahatan, kenakalan, perselisihan
agama, suku, dan ras.
Bagaimana ciri-ciri/ gejala sosial yang dapat menjadi masalah sosial ?
A. Terjadinya dis-organisasi dalam masyarakat, misalnya keresahan sosial
atau pertentangan antar kelompok dalam masyarakat, diawali pertengkaran
kecil, atau sekelompok kecil dari anggota masyarakat.
B. Ketidak mampuan dalam berhadapan dengan inovasi atau ketidak
mampuan dalam menguasai perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Dapat menyebabkan kecemburuan sosial dan frustrasi diantara
lapisan masyarakat.
Masalah sosial biasanya menjadi meluas, karena menyangkut masalah
ekonomi, interaksi sosial, kesehatan, dan lainnya.
Menurut Daldjuni, dalam tulisan Abdulsyani (1994), sumber penyebab
masalah sosial antara lain:
a. Faktor alam (ekologis-geografis) yaitu gejala menipisnya sumber daya
alam, yang disebabkan over-eksploitasi oleh manusia dengan teknologi
tinggi, karena kurang memperhatikan kelestarian lingkungan, atau
semakin banyaknya jumlah penduduk.
b. Faktor biologis/kependudukan, yaitu semakin bertambah pesatnya
pertumbuhan penduduk.
Secara umum, masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat
tentu berdampak kepada status kesehatan, terutama di negara-negara
berkembang seperti Indonesia, karena belum adanya jaminan
kesehatan bagi penduduknya yang miskin dan mempunyai masalah
sosial.
Baik di kota maupun di desa terdapat individu/kelompok yang
mempunyai masalah sosial, maka dapat dipastikan individu/kelompok
tersebut juga mempunyai masalah dalam kesehatannya, misalnya gizi
buruk, higiene sanitasi yang buruk, tinggal di lingkungan yang kumuh,

23

serta perilaku hidup kurang memperhatikan kesehatan (perilaku


seksual, bahkan prostitusi, minum alkohol dan merokok, juga narkoba,
baik sebagai pemenuhan kebutuhan ekonomi maupun sebagai
pelampiasan rasa putus asa).

g. Modernisasi, Urbanisasi, dan Penyakit.

Modernisasi adalah suatu proses transformasi dan perubahan masyarakat dalam


segala aspek kehidupan, yaitu proses perubahan yang menyeluruh dari
masyarakat tradisional atau pra modern yang diarahkan kepada masyarakat yang
makmur dengan menggunakan perencaraan yang matang.(Darsono, 2005).
Teori

Modernisasi

menganggap

bahwa

negara-negara

terbelakang

akan

menempuh jalan sama dengan negara industri maju di Barat. Sehingga kemudian
akan menjadi negara berkembang pula melalui proses modernisasi (Kamanto
Sunarto,2000).

Teori

ini

berpandangan

bahwa

masyarakat

yang

belum

berkembang perlu mengatasi berbagai kekurangan dan masalahnya sehingga


dapat mencapai tahap tinggal landas (take off) ke arah perkembangan ekonomi.

24

Dalam masa transisi menuju masyarakat modern, menurut Etzioni-Halevy dalam


Kamanto Sunarto, antara lain ditandai dengan masa transisi demografi yaitu
menurunnya angka kematian, dan angka kelahiran, menurunnya ukuran dan
pengaruh keluarga, terbukanya sistem stratifikasi, peralihan dari struktur feodal
atau kesukuan ke suatu birokrasi, menurunnya pengaruh agama, beralihnya
fungsi pendidikan dari keluarga dan komunitas ke sistem pendidikan formal,
munculnya kebudayaan massa, dan munculnya perekonomian pasar dan
industrialisasi.
Menurut teori sistem dunia, perekonomian kapitalis dunia kini tersusun atas 3
jenjang, yaitu negara-negara inti, negara-negara semi periferi, dan negara-negara
periferi.
Kini negara-negara inti semakin mendominasi dunia, dengan menguasai
pemanfaatan sumber daya negara lain untuk kepentingan mereka sendiri,
sehingga kesenjangan negara-negara perifer semakin jauh dan tidak akan
mungkin tersusul. Indonesia telah berada dalam masa transisi dimana penurunan
angka kematian dan kelahiran telah di mulai sejak tahun 1980 an.
Sementara negara-negara inti semakin menguasai negara-negara periferi secara
teknologi, maupun ekonomi. Evolusi besar-besaran yang terjadi dalam dekade
terakhir, menyebabkan individu dan masyarakat menjadi lebih mementingkan nilainilai ekonomis/menguntungkan atau lebih dikenal dengan peradaban kapitalis
yang dikomersialisasikan.
Pola hidup konsumtif membawa masyarakat di kota maupun di desa melakukan
hal-hal yang berorientasi kepada prestige/harga diri untuk berperilaku seperti gaya
hidup masyarakat modern (yang mereka lihat dari media massa), dan mencontoh
dengan cepat apa yang dilihat. Urbanisasi besar-besaran dari desa ke kota terjadi
karena kota menjanjikan pekerjaan, sementara pekerjaan di desa sudah tidak
menarik lagi karena tidak mendatangkan keuntungan dan memerlukan energi
yang lebih dibanding pekerjaan di kota.

25

h. Profesi Tenaga Kesehatan dan status kesehatan masyarakat.

Rosalia Sciortino (1999), mengatakan bahwa berdasarkan penelitiannya di Jawa


Tengah dan DIY, peran perawat di dalam meningkatkan satus kesehatan
masyarakat sangatlah signifikan, terutama karena perawat bisa dipanggil kapan
saja, serta dibayar berapa saja. Selain itu sistem pelayanan kesehatan di
Puskesmas telah membuka peluang perawat lebih banyak berinteraksi dengan
pasien dibanding dokter.
Sehingga peran perawat telah menggantikan peran medis di masyarakat.
Sementara dalam penelitiannya yang lain di Magelang, Jawa Tengah; mengatakan
bahwa para dokter, perawat dan tenaga kesehatan lainnya menyadari bahwa
pelayanan mereka hanyalah salah satu dari sekian banyak pilihan yang tersedia.
Disamping fasilitas biomedis, pasien juga memiliki akses pada berbagai macam
dukun dan terapi yang berasal dari tradisi pengobatan Jawa.
Namun demikian secara resmi menurut penelitian tersebut bahwa para tenaga
kesehatan tidak mengakui keberadaan para pengobat tradisional tersebut.
Bahkan

mereka

berharap

pengobat

tradisional

dilarang,

karena

sering

membahayakan pasien, karena pasien datang ke pelayanan kesehatan dalam


kondisi sudah terlambat. Meskipun pada kenyataannya petugas kesehatan juga
menggunakan cara-cara pengobatan tradisional ketika mereka juga mengalami
sakit, misalnya kerokan, pijet, minum jamu pegal linu, bahkan terhadap penyakit
kronis lainnya yaitu penyakit diabetes militus, termasuk kanker.

26

D. Rangkuman.
1. Perilaku individu/masyarakat terhadap kesehatan sangat dipengaruhi
oleh lingkungan (sosial/budaya) dari mana individu tersebut berada.
Sementara perilaku itu sendiri sangat mempengaruhi status kesehatan
individu/ masyarakat, dengan demikian, sesungguhnya status derajat
kesehatan individu/masyarakat dapat dilihat dari bagaimana sosial budaya
masyarakat setempat, termasuk adalah bagaimana tingkat pendidikannya.
2. Bahwa pada penderita penyakit tertentu sering dipengaruhi stigma
masyarakat

tentang

penyakit

tersebut,

yang

dapat

mempengaruhi

kesembuhannya. Untuk menyembuhkannya dukungan dan kepercayaan


masyarakat (lingkungannya) perlu diberikan, dengan cara memberi
perhatian, kasih sayang, kesempatan dan kepercayaan untuk berperan.
3. Pandangan masyarakat tentang sehat atau sakit sangat dipengaruhi oleh
latar belakang sosial budaya termasuk pendidikan, sistem kepercayaan,
sistem pelayanan kesehatan dan ekonomi. Sehingga respons individu/
masyarakat terhadap rasa sehat atau sakit sangat bervariasi. Konsep sakit
(illness), atau rasa sakit bagi setiap individu dapat berbeda, sehingga
upaya penyembuhannyapun akan sangat tergantung dari pemahaman
individu terhadap penyakitnya.
Sedangkan penyakit/disease adalah kelainan pada tubuh manusia
berdasarkan ilmu medis, dan pemberian pengobatannyapun berbeda
dengan pengobat tradisional yang menggunakan konsep spiritual dan
rohani.
Namun pada masyarakat tertentu kedua masalah ini sering tidak dapat
dibedakan.
4. Status gizi masyarakat, sangat dipengaruhi oleh kemampuan sosial
ekonomi, dan ketidak tahuan serta ketidak mauan dari individu /
masyarakat

itu

sendiri,

selain

faktor

budaya

patriarkhal.

Adanya

modernisasi, yaitu peningkatan dengan cepat teknologi dan transportasi,


menyebabkan terjadinya ketidak seimbangan kemajuan teknologi dan

27

transportasi dengan kemampuan dan pengetahuan masyarakat, terutama


di negara berkembang.
5. Keberhasilan program KB sangat berkaitan dengan suatu kepercayaan/
agama, budaya keluarga besar, norma banyak anak banyak rejeki, dan
budaya patriarkhal, yaitu segala keputusan berada pada pihak bapak.
Saat ini dimana program KB bukan lagi menjadi prioritas pemerintah,
(penduduk harus membayar), maka diperlukan strategi yang lebih inovatif
lagi

dalam

program

keluarga

berencana,

terutama

yang

lebih

memperhatikan kualitas pelayanan dan faktor psikologis wanita. Salah satu


cara yang penting dikerjakan adalah meningkatkan pendidikan kaum
perempuan, sehingga perempuan dapat melakukan pilihan secara rasional
dan bergaining kepada para suami terhadap keputusannya.
6. Berbagai kondisi dimana terjadi permasalahan sosial, biasanya diawali oleh
adanya ketidak seimbangan dirinya dengan lingkungannya terutama pada
sosial ekonomi dan pendidikan. Hal ini mengakibatkan seseorang
berperilaku tidak memperhatikan masalah kesehatan, misalnya buruknya
sanitasi (lingkungan, air bersih, dan personal), merokok, minum minuman
keras, prostitusi, serta persaingan dalam kekerasan, yaitu perkelahian, dan
pembunuhan.
Sehingga sebenarnya mereka sangat rentan terhadap penyakit menular,
dari diare sampai penyakit kelamin dan HIV-AIDS, gizi buruk, anaemi zat
besi pada ibu hamil, aborsi ilegal (beserta komplikasinya), serta penyakitpenyakit yang diakibatkan asap rokok dan minuman keras, seperti penyakit
saluran pernafasan, ca paru, dan lever, serta cidera atau trauma fisik dan
psikologis.
7. Pengaruh modernisasi terhadap negara-negara yang sedang berkembang
semakin terasa ditambah adanya globalisasi, karena negara-negara
perifer/berkembang belum siap untuk menghadapi permasalahannya
sendiri, sudah masuk pengaruh modernisasi dan globalisasi yang
berdampak kepada perubahan perilaku yang belum matang.
Pola penyakit yang ada menjadi semakin bervariasi, yaitu penyakit
infeksi/menular masih tinggi (misalnya ISPA,diare)

sementara penyakit

degeneratif/karena usia lanjut, seperti Hipertensi meningkat, dan penyakit

28

karena perilaku hidup kurang sehat, (seperti penyakit jantung, hipertensi,


diabetes

melitus,

Stress,

obesitas,

HIV-AIDS)

mulai

menunjukkan

peningkatan.
Dengan bertambah baiknya sistem transportasi, mobilitas penduduk
meningkat, akibatnya beberapa penyakit menular dapat menyebar dengan
cepat dan meluas ke daerah lain (endemi, dan pandemi), serta cidera
akibat kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan kerja para pekerja non
formal/buruh semakin meningkat, karena kurang siapnya peraturan tentang
perlindungan perburuhan, adanya keinginan mendapatkan buruh dengan
upah relatif murah, serta meningkatnya angka pengangguran. Penyakit
akibat polusi pabrik yang tidak di Amdal, dan polusi kendaraan di jalan raya.
Keracunan akibat penggunaan pestisida yang tidak terkendali (akibat
promosi yang berlebihan dan tidak diimbangi pendidikan tentang dampak
negatifnya, termasuk terhadap kesehatan petani dan pengkonsumsi hasil
pertanian) juga menunjukkan peningkatan.
8. Berdasarkan penelitian Rosalia, perawat lebih diterima di pedesaan karena
lebih mudah untuk dihubungi, biaya lebih murah, serta sistem pelayanan di
puskesmas lebih memungkinkan perawat lebih sering berkomunikasi
dengan masyarakat. Sehingga peran medis digantikan oleh peran perawat,
di wilayah tersebut.
Penelitiannya yang lain mengatakan; petugas kesehatan sebenarnya sering
kurang konsisten dengan profesinya, dan berada dalam sikap dualisme
terhadap pengobatan tradisional.
E. Tugas 2:
Petunjuk:
Apabila anda dapat mengerjakan tugas no 1 dengan lengkap sesuai instruksi,
maka anda dapat meneruskan ke pertanyaan berikutnya.
Dari pertanyaan no2 sampai dengan no8, minimal 6 jawaban adalah benar,
setelah itu barulah mengikuti kegiatan belajar tiga.
1. Coba saudara wawancarai 5 kk (kepala keluarga) di sekitar anda tinggal,
berapa kali keluarga tersebut sakit dalam 6 bulan terakhir, kemudian
kemana sajakah mereka mencari pengobatan? Buat catatan kecil

29

tentang ini, misalnya berapa kali ke dokter, atau ke dukun, atau lainnya!
Buatlah prosentase dari frekuensi sakit dengan mencari pengobatan
ke pengobat alternatif, sehingga diketahui berapa prosen pencarian
pengobatan

ke

alternatif,

bagaimana

sikap

dan

mereka

pelayanan

terhadap

kesehatan

pengobat

medik.!

Dan

tradisional

dan

pelayanan kesehatan yang mereka ketahui!


2. Coba saudara buatkan satu contoh pengaruh aspek sosial budaya
terhadap status kesehatan individu/masyarakat yang pernah anda lihat
disekeliling anda, dapat berupa status kesehatan yang baik ataupun tidak
baik!
3. Mengapa penderita gangguan jiwa sering mengalami kambuh lagi?
4. Coba ceritakan secara singkat pola makan bayi di daerah saudara sesuai
dengan kebiasaan yang ada di daerah saudara!
5. Sebutkan kemungkinan penyakit yang timbul yang disebabkan perilaku
masyarakat yang mengkonsumsi rendah serat!
6. Sebutkan ciri-ciri masyarakat pedesaan dalam mensikapi KB!
7. Sebutkan penyakit-penyakit yang biasa terjadi pada negara-negara yang
sedang mengalami masa transisi demografi seperti Indonesia!
8. Bagaimana tanggapan/sikap para tenaga kesehatan tentang pengobat
tradisional?

30

KEGIATAN BELAJAR 3.
MASALAH SOSIAL DAN KESEHATAN WANITA.

A.

Tujuan Pembelajaran: Setelah mengikuti kegiatan pembelajaran 3 anda


mampu menjelaskan:

B.

1.

Masalah Sosial Kesehatan Wanita.

2.

Gender dan Kesehatan Reproduksi

Pokok-Pokok Materi:
1. Masalah Sosial dan Kesehatan Wanita:
a.

Kemiskinan,

Pengangguran,

dan

kesehatan wanita.
b.

Napza,

kekerasan,

dan

Kesehatan

Wanita.
c.

Kesehatan Jiwa Wanita.

2. Gender dan Kesehatan Reproduksi:


a. Ketimpangan Gender.
b. Macam-macam Gangguan Kesehatan Reproduksi Wanita.

31

C.

Uraian Materi:

1.

Masalah Sosial dan Kesehatan Wanita.


Beberapa masalah sosial yang terjadi di masyarakat ternyata berdampak
kepada kesehatan wanita, baik secara langsung maupun tidak langsung. Bila
diperhatikan kesempatan perempuan sejak bayi hingga menjadi tua/lansia
selalu terkalahkan dengan pria. Permasalahan bertampah berat karena
sosial budaya masyarakat Indonesia belum mendukung sepenuhnya
kesempatan wanita dibanding pria dalam berperan di segala bidang,
sehingga

perbaikan

taraf hidup dan status kesehatannya menjadi agak

terhambat secara tidak sadar.


a.

Kemiskinan,

Pengangguan,

dan

Kesehatan Wanita.
Anak-anak perempuan yang dilahirkan dari keluarga miskin, dan
mengalami kekurangan gizi di keluarganya, akan mengalami kekurangan
gizi pula hingga dia menjadi ibu hamil, dan kemudian akan melahirkan
bayi (perempuan) yang kekurangan gizi pula, demikian seterusnya.
Banyak wanita yang dilahirkan dari keluarga miskin, lebih memilih untuk
mencari kerja pada usia remaja dini yaitu sekitar 14-15 tahun, baik
sebagai pembantu rumah tangga maupun sebagai buruh di pasar, dan
pabrik, untuk memperbaiki ekonomi keluarganya. Di daerah pabrik rokok,
Kudus misalnya buruh mereka terbanyak adalah perempuan berusia
sekitar 13-15 tahun.
Dan pada tingkat usia tersebut, atau diatasnya sedikit, mereka telah
melakukan perkawinan, karena telah mempunyai penghasilan sendiri, dan

32

diharapkan dapat mengurangi beban ekonomi orang tuanya. Pada masa


menjadi buruhpun tak jarang uang penghasilannya diserahkan untuk
membantu menghidupi keluarganya, minimal adik-adiknya. Sehingga para
buruh wanita tadi tidak sempat memperbaiki gizinya sendiri, hal ini akan
terus berlangsung ketika mereka sudah berkeluarga dan tetap bekerja
untuk membantu ekonomi keluarganya sendiri, bersama suaminya.
Dalam keluarga miskin, wanita di nomor duakan tidak hanya nutrisinya,
tetapi juga dalam hal pendidikannya, sehingga para wanita semakin jauh
dari informasi kesehatan dan jangkauan pelayanan kesehatan. Wanita
yang kurang gizi sejak remaja dapat menjadi anemis pula hingga dia
hamil dan melahirkan.
Bila wanita berpendidikan (formal ataupun non formal), sesungguhnya dia
akan mendidik anak-anaknya dengan baik, dan dapat bekerja di tingkat
yang lebih baik pula. Tetapi masyarakat menganggap kepandaian wanita
akan mengakibatkan urusan domestik menjadi tanggung jawab siapa,
kemudian dengan dana yang tersedia sedikit, prioritas utama adalah pada
laki-laki, atau kebutuhan biologis lainnya.
Bila penghasilan yang didapat dari suami sering tidak mencukupi,
memaksa wanita bekerja mencari tambahan bagi ekonomi keluarganya.
Jadi ada peran ganda bagi wanita yang bekerja

mencari nafkah

tambahan untuk menopang ekonomi keluarga, dan peran domestik tetap


menjadi tanggung jawab wanita, sementara kesehatannya tidak menjadi
prioritas seperti halnya lelaki.
b. Napza, kekerasan, dan Kesehatan Wanita.

33

NAPZA adalah singkatan dari Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif
lainnya atau yang disebut juga Narkoba. NAPZA

erat kaitannya dengan

masalah sosial yang terjadi di setiap negara. Bahan-bahan napza tidak


diperbolehkan digunakan secara bebas, karena dapat mengakibatkan
adiktif/kecanduan, yang ditandai dengan melemahnya kemampuan individu
untuk beraktifitas dengan normal dan berfikir sehat, karena individu tersebut
hanya ingin menggunakan napza, dan tidak produktif lagi. Seseorang yang
telah adiktif sangat kuat kemungkinan melakukan kekerasan terhadap keluarga
maupun lingkungannya untuk mendapatkan apa yang menjadi keinginannya.
Para pengguna napza biasanya adalah mereka yang mempunyai masalah
sosial, sebagian besar adalah lelaki, sementara wanita biasanya hanya
peminum alkohol/bir saja.
Meskipun pengguna napza adalah lelaki, justru dampaknya terhadap
perempuan adalah kekerasan dari para pecandu itu sendiri. Karena efek dari
zat-zat tersebut dapat menjadikan seseorang adiktif/kecanduan, ketika
seseorang tadi sudah mencapai taraf adiktif, dia akan melakukan apa saja
untuk mendapatkan zat-zat yang membuatnya kecanduan tadi.
Kekerasan yang lazim terjadi bagi wanita yang berada di lingkungan pengguna
napza (sebagai istri, anak, ibu, kerabat, tetangga) adalah pemerkosaan,
kekerasan fisik, maupun psikhis. Kekerasan dapat diartikan fisik, yaitu pukulan,
tendangan dan lainnya, serta tekanan psikologis, misalnya ucapan-ucapan
kasar, memecahkan kaca jendela, dan lainnya.
70% lebih pengguna napza menggunakan jarum suntik secara bergantian,
sehingga kemungkinan tertular penyakit HIV-AIDS sangat tinggi, termasuk
kepada pasangannya.

34

Dalam tulisan-tulisan LSM perempuan yang dikutip Suadah, menyebutkan


beberapa kekerasan terhadap perempuan antara lain:
1. Kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya terjadi pada keluarga miskin,
berpendidikan rendah, tetapi juga pada keluarga kaya dan berpendidikan
tinggi.
2. Rumah tangga adalah urusan pribadi, dan yang terjadi didalamnya bukan
urusan orang lain. Sehingga orang lain yang melihat tidak berani ikut
campur, sementara orang dalam rumah tangga tidak berani melapor,
karena merupakan aib keluarganya sendiri.
3. Pemukulan boleh dilakukan karena tugas suami adalah memberi
pelajaran kepada istrinya, hal ini menjadi dalih bagi para suami yang
merasa istrinya telah melakukan kesalahan besar, meskipun ternyata
hanya terlambat menyediakan makanan untuknya.
4. Perempuan korban kekerasan tidak berani meninggalkan suaminya
karena ketergantungan ekonomi, takut pembalasan suami, khawatir akan
masa depan anak-anak, kepercayaan diri rendah, kurangnya dukungan
keluarga.
5. Pemukulan terjadi karena suami kurang control, biasanya akibat
permasalah di luar rumah tidak terselesaikan, maka istri dan anak-anak
menjadi tumpuan kekesalan.
6. Perempuan mengalami kekerasan dari pasangannya dari hal-hal yang
sepele seperti masakan kurang enak, terlambat melayani suami, rumah
kurang bersih, dan lain-lainnya.
7. Perempuan yang berpenghasilan lebih tinggi, memiliki posisi tawar yang
lebih kuat.
8. Alkohol (pada suami) merupakan penyebab terbesar kekerasan dalam
rumah tangga.
9. Alasan cemburu tidak membuktikan perasaan cinta, karena kekerasan
terus saja berlangsung.
Dengan demikian kekerasan dalam tumah tangga (KDRT), akan
menambah wanita korban kekerasan bagi perempuan dan akan-anak,

35

dan dapat mengakibatkan / mengalami gangguan kesehatan jiwa maupun


fisiknya.
Laporan Menteri Pemberdayaan Perempuan mengatakan bahwa 11,4%
atau sekitar 24 juta penduduk perempuan, terutama dipedesaan,
mengaku

pernah

mengalami

tindak

kekerasan.

Sebagian

besar

kekerasan domestic, seperti penganiayaan, perkosaan, pelecehan, atau


suami berselingkuh.

c. Kesehatan Jiwa Wanita.

Seorang wanita yang secara psikologis/emosional sehat, maka dia mempunyai


kekuatan untuk merawat keluarganya dengan baik. Sejak kecil anak perempuan
kurang mendapatkan kesempatan terhadap apa yang seharusnya dia dapat,
seperti pendidikan, kesempatan untuk tampil di masyarakat, dibanding anak lakilaki. Sehingga ketika dewasa, dia merasa tidak mampu, atau tidak perlu
mendapatkan sesuatu yang seharusnya dia dapatkan.
Seorang wanita dengan harga diri yang baik, akan merasa bisa mengatasi
masalah hidup sehari-hari dan lebih mampu untuk mengusahakan perubahan
untuk meningkatkan hidupnya dan masyarakat. (A.August Burns, dkk,2000)
Seorang wanita sangat rentan dengan gangguan jiwa, selain faktor lingkungan
sejak kecil seperti tersebut diatas, faktor hormonal yang ada dalam siklus bulanan,

36

menyebabkan wanita mempunyai emosi yang tidak stabil, serta tidak tersalurkan.
Ia tidak dapat mengemukakan perasaannya, dia tidak dapat melakukan hal-hal
yang mereka inginkan, karena secara kodrati (menurut peran mereka dalam sosial
budayanya), adalah mengharuskan mereka selalu memberikan pelayanan bagi
semua

anggota

keluarganya,

mereka

harus

dapat

menyimpan

rahasia

keluarganya.
Hal-hal yang sering tidak bisa mereka lakukan misalnya sesekali menghabiskan
waktu sendiri melakukan hobinya seperti berkebun, memasak makanan yang dia
sukai, berbelanja, membuat puisi, lagu-lagu, atau bercerita kepada orang
lain/teman, latihan olah raga, relaks, dan memanjakan diri sendiri/istirahat ketika
dia membutuhkan.
Bagi wanita yang bekerja di rumah saja mengasuh anak, dan melayani
keluarganya, kurang dapat menyalurkan waktu dan emosinya kepada orang lain,
daripada para wanita yang bekerja di luar rumah karena dia berkesempatan untuk
saling bertukar fikiran dengan temannya.

a. Gender dan Kesehatan ReproduksiKetimpangan Gender.


Gender adalah batasan peran berdasarkan kelamin laki-laki dan perempuan.
Berdasarkan definisi dari WHO, gender adalah perbedaan status dan peran
antara perempuan dan laki-laki yang dibentuk oleh masyarakat sesuai
dengan nilai budaya yang berlaku.
Masyarakat membatasi peran wanita berbeda dengan peran laki-laki, karena
perbedan fisik yang dibawa sejak lahir. Peran gender diajarkan secara turun
temurun oleh orang tua kepada anak-anaknya (androgini), secara umum
karena bentuk fisik wanita. Sehingga ada kesamaan dihampir semua daerah,
misalnya anak perempuan melakukan pekerjaan dapur, rumah tangga
(domestik), sementara anak laki-laki mengerjakan pekerjaan di luar rumah
yang berhubungan dengan interaksi dengan dunia luar. Sehingga ketika anak
perempuan menjadi dewasa, mereka tidak terbiasa dengan pekerjaanpekerjaan yang selama ini diberikan kepada kaum lelaki, demikian pula
sebaliknya.

37

Dan dunia menganggap selamanya perempuan adalah perempuan, lelaki


adalah lelaki, artinya bila ada pekerjaan perempuan dikerjakan lelaki,
lingkungan akan merespons tidak suka. Atau respons yang lain adalah, bila
lelaki pulang bekerja dia dianggap telah bekerja dengan keras, sementara
pekerjaan perempuan di rumah (masak, mengasuh anak, membersihkan
rumah) dianggap tidak bekerja keras, (meskipun kadang wanita juga bekerja di
luar rumah), dan perempuan tidak berhak untuk istirahat, atau makan makanan
yang bergizi seperti lelaki. Dan bahkan lelaki boleh marah ketika dia tidak bisa
istirahat karena diganggu anaknya yang menghendaki bermain dengannya,
sementara perempuan tidak boleh protes bila ingin istrirahat karena
lelah/kurang

sehat,

di

saat

anaknya

atau

suaminya

menghendaki

perhatiannya.
Dampak dari ketimpangan peran yang ditanamkan sejak kecil ini, perempuan
lebih mudah di intervensi baik yang berdampak negatif maupun yang
berdampak positif bagi kesehatan kaum perempuan.
Yang berdampak positif misalnya program-program kesehatan lebih tepat
diberikan

kepada

wanita,

karena

wanita

lebih

memikirkan

keadaan

domestik/rumah tangga dibanding pria, sehingga perempuan yang mengerti


tentang kesehatan akan mendidik anak-anaknya seperti apa yang dia ketahui.
Sedangkan dampak negatifnya perempuan tidak mempunyai posisi tawar
dengan pria, misalnya ketika alat kontrasepsi yang diciptakan hampir
seluruhnya diperuntukkan bagi perempuan.
Bahkan yang terjadi bagi pengungsi korban Tsunami misalnya, karena sangat
hormatnya perempuan kepada laki-kaki, di pengungsian itupun perempuan
rela para laki-laki mandi dan beraktivitas pribadi yang menggunakan air
terlebih dahulu, padahal air yang ada di pengungsian itu terbatas. Sehingga
perempuan lebih sering tidak mandi, karena air tidak cukup, bagaimana bila
mereka sedang haid? Sehari mandi sekali sudah menjadi sebuah kemewahan
bagi perempuan pengungsi di Aceh.(KR, 19 Juni 2005).

b. Macam-macam Gangguan Kesehatan Reproduksi Wanita.

38

Yang disebut kesehatan reproduksi wanita adalah keadaan sejahtera fisik,


mental, dan sosial yang utuh dan bukan hanya tidak adanya penyakit
atau kelemahan, dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem
reproduksi dan fungsi-fungsi serta prosesnya.
Kesehatan reproduksi wanita adalah sejak konsepsi, menjadi bayi, balita, anak
pra sekolah, anak usia sekolah, remaja, usia subur, hingga menjadi ibu,
kemudian menjadi lansia, yang masing-masing mempunyai kekhususan
sendiri-sendiri.
Pada masa bayi hingga anak pra sekolah perlunya sosialisasi secara bertahap
tentang kebersihan diri terutama pada daerah alat kelamin bagian luar, untuk
mencegah terjadinya infeksi dan jamur.
Pada anak usia sekolah perlu dipersiapkan pengetahuan tentang fungsi alat
reproduksi, perubahan-perubahan yang terjadi pada masa ini, dan kebersihan
diri ketika mendapatkan menstruasi, serta pengetahuan tentang proses
kehamilan,

secara

sederhana,

serta

masalah

reproduksi

remaja.

Permasalahan sosial yang sering terjadi pada masa ini adalah masuknya
informasi tentang alat reproduksi dari sumber yang kurang tepat, misalnya
teman sebaya, media elektronik illegal, sampai kepada percobaan-percobaan
yang keliru tentang pengetahuan yang dimilikinya. Keadaan yang lebih parah
adalah adanya tindakan pemerkosaan, seks bebas, kehamilan dan aborsi
illegal, yang dapat mengancam jiwa dan menambah permasalahan sosial bagi
wanita dan keluarganya.
Pada perempuan yang berada di lingkungan sosial ekonomi rendah, anak
perempuan (dapat) dijadikan komoditi untuk mencari nafkah, misalnya
dikawinkan lebih awal kepada orang dewasa, atau menjadi pekerja seks
komersial. Sehingga kemungkinan tertularnya penyakit kelamin merupakan
ancaman yang tidak bisa dihindari.
Selama ini perempuan diarahkan untuk melahirkan anak yang sehat, ketika dia
sudah mulai kawin dan hamil saja, kemudian bagaimana merawat bayi dan
anak agar sehat. Bahkan ketika suaminya menginginkan dia hamilpun tidak
ada pertanyaan apakah istrinya sudah siap untuk hamil dan melahirkan?

39

Sehingga terkesan perempuan seperti mesin reproduksi, yang selalu siap


untuk melahirkan kapan saja, bila tidak mau hamil, suami akan kawin lagi.
(Kartono Muhamad, dalam Agus Dwiyanto,1996).
Pendidikan reproduksi penting bagi perempuan, untuk meningkatkan aspek
kognitifnya, sehingga dia tahu kapan dia sehat, kapan dia tidak sehat dari
aspek reproduksinya.
Pendidikan

kesehatan

reproduksi

dimaksudkan

agar

wanita

mampu

mengambil keputusan tentang dirinya, tentang fungsi reproduksinya, dan bisa


mempengaruhi lingkungannya yaitu suami, orang tua, dan tetangganya agar
berperilaku sehat dan dapat mencari pertolongan bila sudah sakit.
Tingginya angka kematian ibu melahirkan (Indonesia: 450 per 100.000
kelahiran), dan rendahnya persalinan yang dibantu oleh tenaga kesehatan
yaitu sekitar 46%, menggambarkan bahwa kematian ibu melahirkan sebagian
besar disebabkan oleh keterlambatan dalam mengambil keputusan untuk pergi
ketempat pelayanan. (Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, 2001).
Untuk mengambil keputusan pergi ke pelayanan kesehatan mana, seorang ibu
akan menunggu suami, bila suami tidak ada di tempat, maka dapat dipastikan
keterlambatan pertolongan yang akan terjadi.
Pada daerah tertentu, perkawinan wanita dibawah umur masih terjadi, yaitu
sekitar usia 12-13 tahun, bahkan kadang mereka belum selesai pendidikan
dasarnya. Akibatnya alat reproduksi yang belum siap untuk dibuahi, terpaksa
harus mengalaminya ketika mereka hamil. Dengan kawin muda, biasanya
mereka juga mengalami perceraian pada usia muda, dan mengalami
perkawinan yang keberapa kalinya, serta mempunyai anak-anak yang tidak
terawat dengan baik.
Karena anatomi organ reproduksi perempuan yang sebagian besar berada di
dalam, dan budaya tertentu yang menggariskan bahwa penyakit kelamin pada
perempuan adalah urusan perempuan, maka perempuan sering tidak tahu bila
ia sudah tertular penyakit kelamin yang ditularkan oleh suaminya.
Ketika memasuki masa premenopause para perempuan akan mengalami
perubahan emosi dan organ reproduksinya, yang mengakibatkan kurang

40

nyamannya pola interaksi dalam rumah tangga, termasuk dalam hubungan


seks. Para suami jarang mengetahui dan memahaminya, sehingga banyak
terjadi para suami yang mencari perempuan lain sebagai istri kedua/
simpanan, sebagai jalan keluar yang diputuskan sepihak.

D.

Rangkuman:
1. Wanita dituntut untuk melaksanakan kegiatan domestik, meskipun akibat
dari kemiskinan keluarganya dia telah bekerja untuk membantu ekonomi
keluarga. Sehingga wanita sejak dari kecil di takdirkan mempunyai tugas
untuk melayani keluarga dan suami, meskipun dia telah melakukan
pekerjaan yang berat dan berhasil dengan baik, namun tetap harus
melaksanakan tugas pelayanan tadi, dan tidak ada kesempatan baginya
untuk dilayani, meskipun dirinya sedang sakit.
Wanita-wanita yang mendapatkan pendidikan lebih baik sesungguhnya dia
dapat mendidik keluarganya dengan baik pula dan dapat membantu
ekonomi keluarga dengan penghasilan yang lebih baik dari apabila
tenaganya dimanfaatkan dengan bekal pendidikan lebih rendah.
2. Para pengguna napza pada tingkat adiktif/kecanduan, akan sangat
membahayakan wanita dan anak-anak yang berada disekitarnya, karena
dapat menyebabkan kekerasan fisik maupun psikologis bagi orang-orang
yang berada di sekitarnya guna mendapatkan napza.
Tidak hanya pengguna napza tetapi kekerasan dalam rumah tangga juga
terjadi pada keluarga dengan suami yang sangat dominan, serta tidak
seimbangnya peran suami istri dalam rumah tangga, menjadi bertambah
jumlah terganggunya kesehatan wanita baik secara fisik maupun psikisnya.
3. Kesehatan Reproduksi wanita adalah keadaan sejahtera fisik, mental, dan
sosial yang utuh dan bukan hanya tidak adanya penyakit atau kelemahan,
dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem reproduksi dan fungsifungsi serta prosesnya.

41

Permasalahan kesehatan yang terjadi pada reproduksi wanita adalah di


awali dari kurangnya sosialisasi tentang alat reproduksi serta fungsinya,
sehingga perempuan tidak tahu bahwa alat reproduksinya adalah hak dan
tanggung jawabnya untuk memelihara dan melindungi dari terjadinya
penyakit.
Pendidikan kesehatan reproduksi wanita perlu di berikan sejak dini,
sehingga wanita dapat memelihara dan melindunginya dari berbagai
penyakit.
E. Tugas 3:
Buatlah kelompok belajar dengan anggota 5 sampai dengan 7 orang,
kemudian masing-masing anggota membuat sebuah resume dari pemberitaan
di surat kabar tentang salah satu dari topik diatas, berikan komentar anda!
Usahakan setiap anggota kelompok mengambil 1 topik yang berbeda!
Kemudian diskusikan, dan buatlah kesimpulan dari kelompok tentang topiktopik yang telah didiskusikan tadi.
Bila anda dapat mengumpulkan minimal 5 topik yang berbeda, dan
mendiskusikannya dengan teman kelompok dengan baik, maka anda dapat
mengikuti tes akhir dari modul ini.

42

KATA-KATA SULIT

Androgini: sistem pembelajaran yang diajarkan secara turun temurun kepada


anaknya tentang laki-laki dan perempuan.
Diabetes melitus: Penyakit yang di sebabkan tidak berfungsinya produksi insulin
dalam tubuh sehingga menyebabkan gula darah dalam tubuh keluar
bersama urine.
Endemi : Menyebarnya penyakit keseluruh daerah dalam satu wilayah, misalnya
propinsi, kabupaten
Hipertensi: Adalah penyakit yang ditandai oleh naiknya tekanan darah menjadi
diatas 140/90.
HIV-AIDS:

Human Immunodeficiency Virus-Acquired Immune Deficiency


Syndrom

Pandemi: Menyebarnya suatu penyakit secara cepat sampai keseluruh benua.


Obesitas: Seseorang yang mempunyai berat badan melebihi normal.
Amdal

: Analisis mengenai dampak lingkungan.

43

Rujukan:
Abdulsyani, 1994, Sosiologi Skematika, Teori, dan Terapan, Bumi Aksara, Jakarta.
A.August Burns., dan kawan-kawan, 2000, Pemberdayaan Wanita dalam Bidang
Kesehatan,Yayasan Essentia Medica, Andi,Yogyakarta.
Agus Dwiyanto, Muhajir Darwin, 1996.,Seksualitas, Kesehatan Reproduksi, dan
Ketimpangan Jender., Seri Kesehatan Reproduksi, Kebudayaan, dan
Masyarakat, Pustaka Sinar Harapan,Jakarta.
Alo Liliweri, 2002, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, LkiS,
Yogyakarta.
Azwar Agoes; T.Jacob,1996., Antropologi Kesehatan Indonesia, Jilid 1, Kesehatan
Tradional., EGC, Jakarta.
Fadmi Sustiwi,2005.,Sensitivitas Perempuan dalam Keseharian, Kedaulatan
Rakyat, Minggu Pahing,19 Juni 2005, hal.8.
Dadang Juliantoro,2000.,30 Tahun Cukup, Keluarga Berencana Dan Hak
Konsumen, Pustaka Sinar Harapan bekerjasama dengan PKBI
Yogyakarta dan Ford Foundation, Jakarta.
Darsono Wisadirana, 2005, Sosiologi Pedesaan, UMM Press, Malang.
Departemen Kesehatan RI, 2004, Pedoman Surveilans Sentinal HIV.,Jakarta.
Kamanto Sunarto, 1993, Pengantar Sosiologi, LPFEUI, Jakarta.
Koentjaraningrat, 1990, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka Cipta, Jakarta.
Meiwita Budiharsana., Herna Lestari.,2002, Kesehatan Reproduksi Remaja, The
Ford Foundation, Jakarta.
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI, 2001,Sambutan pada Seminar
Nasional Meningkatkan Potensi Bangsa Melalui Pemberdayaan
Perempuan,UGM Yogyakarta, 23 Maret 2001.
Munandar Soelaeman, Ilmu Budaya Dasar,Suatu Pengantar. PT.Eresco, Bandung.

44

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2001,Kamus Besar Bahasa


Indonesia, edisi ketiga.Balai Pustaka,Jakarta.
Rosalia Sciortino, 1999, Menuju Kesehatan Madani, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Suadah, 2005., Sosiologi Keluarga, UMM Press, Malang.
Soekidjo Notoatmodjo, 1993, Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku
Kesehatan, Andi Offset, Yogyakarta,
-------------------, Solita Sarwono, Pengantar Ilmu Perilaku Kesehatan, Badan
Penerbit Kesehatan Masyarakat,FKMUI,Jakarta.
Soerjono Soekanto. 1990., Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Pers,Jakarta.
Solita

Sarwono, 1997.,Sosiologi Kesehatan, Beberapa Konsep


Aplikasinya, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Beserta

45

Anda mungkin juga menyukai