Anda di halaman 1dari 24

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Istilah anestesia dikemukakan pertama kali oleh O.W. Holmes berasal dari bahasa
Yunani anaisthsia (dari an- tanpa + aisthsis sensasi) yang berarti tidak ada rasa sakit.
Anestesi dibagi menjadi 2 kelompok yaitu: (1) anestesia lokal: hilangnya rasa sakit tanpa
disertai kehilangan kesadaran; (2) anestesia umum: hilangnya rasa sakit disertai hilang
kesadaran.1
Sejak zaman dahulu, anestesia dilakukan untuk mempermudah tindakan operasi,
misalnya pada orang Mesir menggunakan narkotika, orang China menggunakan Cannabis
indica, orang primitif menggunakan pemukulan kepala dengan kayu untuk menghilangkan
kesadaran. Pada tahun 1776 ditemukan anestesia gas pertama, yaitu N 2O, namun kurang
efektif sehingga ada penelitian lebih lanjut pada tahun 1795 menghasilkan eter sebagai
anestesia inhalasi prototipe, yang kemudian berkembang hingga berbagai macam yang kita
kenal saat ini.1
Saat ini terdapat berbagai macam teknik pemberian anestesi, mulai dari inhalasi,
intravena, intramuskular, per-oral, per-rektal, hingga epidural. Salah satu obat induksi
anestesi yang terkenal adalah ketamin. Ketamin merupakan suatu anestetik umum yang
bekerja cepat, dan dapat menjadi obat monoanesthetic, yaitu dapat menimbulkan analgesia,
amnesia, hilangnya kesadaran serta imobilisasi. Saat ini ketamin digunakan secara luas,
khususnya pada anestesi intravena karena dianggap cukup aman, mudah pemberiannya, dan
cukup banyak variasi indikasinya.1
Ketamin apabila digunakan dengan tepat akan sangat berguna khususnya ditempat
dengan sarana dan tenaga ahli anestesi yang terbatas. Ketamin tidak menimbulkan nyeri dan
tidak menimbulkan iritasi, obat ini dapat merangsang kardiovaskuler yaitu dipertahankannya
tekanan darah pada penderita dengan risiko buruk dan sebagai bronkodilator.2
Ketamin mempunyai efek pada rasa dan menghasilkan anestesi disosiatif (katatonia,
amnesia dan analgesia), yang memungkinkan pasien sadar dan bangun serta reaktif tetapi
tidak memberi respons terhadap rangsang sensorik. Kondisi inilah yang mengakibatkan
penggunaan khusus untuk negara yang sedang berkembang dan tindakan medik selama
peperangan.3
Ketamin juga sering digunakan untuk pasien anak karena efek anestesia dan analgesia
dapat dicapai dengan pemberian injeksi intramuskular. Ketamin juga dapat digunakan pada

pasien geriatri dengan risiko tinggi untuk mengalami syok, karena dapat memberikan
stimulasi jantung.4

BAB II
ISI
2.1. Anestesi Umum
Istilah anestesi dimunculkan pertama kali oleh dokter Oliver Wendell Holmes (18091894) berkebangsaan Amerika, diturunkan dari dua kata Yunani : An berarti tidak, dan
Aesthesis berarti rasa atau sensasi nyeri. Secara harfiah berarti ketiadaan rasa atau sensasi
nyeri. Dalam arti yang lebih luas, anestesi berarti suatu keadaan hilangnya rasa terhadap
suatu rangsangan. Pemberian anestetikum dilakukan untuk mengurangi dan menghilangkan
rasa nyeri baik disertai atau tanpa disertai hilangnya kesadaran.
Anestesi umum meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan
bersifat pulih kembali (reversibel). Komponen anestesi yang ideal terdiri dari : (1) hipnotik
(2) analgesia (3) relaksasi otot. Obat anestesi yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi
kemudian menyebar ke jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat anestesi ialah jaringan
2

kaya akan pembuluh darah seperti otak, sehingga kesadaran menurun atau hilang, hilangnya
rasa sakit, dan sebagainya. Seseorang yang memberikan anestesi perlu mengetahui stadium
anestesi untuk menentukan stadium terbaik pembedahan itu dan mencegah terjadinya
kelebihan dosis.
Semua zat anestetik menghambat SSP secara bertahap, yang mula-mula dihambat
adalah fungsi yang kompleks, dan yang paling akhir dihambat ialah medulla oblongata
tempat pusat vasomotor dan pernapasan. Guedel (1920) membagi anestesi umum dalam 4
stadium, sedangkan stadium ke-3 dibedakan lagi atas 4 tingkat:
1. Stadium I (Analgesia)
Stadium analgesia dimulai sejak saat pemberian anestetik sampai hilangnya
kesadaran. Pada stadium ini pasien tidak lagi merasakan nyeri (analgesia), tetapi masih tetap
sadar dan dapat mengikuti perintah. Pada stadium ini dapat dilakukan tindakan pembedahan
ringan seperti mencabut gigi dan biopsi kelenjar.
2. Stadium II (Eksitasi)
Stadium ini dimulai sejak hilangnya kesadaran sampai munculnya pernapasan yang
teratur yang merupakan tanda dimulainya stadium pembedahan. Pada stadium ini pasien
tampak mengalami delirium dan eksitasi dengan gerakan-gerakan di luar kehendak.
Pernapasan tidak teratur, kadang kadang apnea, dan hiperpnea, tonus otot rangka meninggi,
pasiennya meronta-ronta, kadang sampai mengalami inkontinensia, dan muntah. Ini terjadi
karena hambatan pada pusat inhibisi. Pada stadium ini dapat terjadi kematian, maka stadium
ini harus diusahakan cepat dilalui.
3. Stadium III (Pembedahan)
Stadium III dimulai dengan timbulnya kembali pernapasan yang teratur dan
berlangsung sampai pernapasan spontan hilang. Keempat tingkat dalam stadium pembedahan
ini dibedakan dari perubahan pada gerakan bola mata, refleks bulu mata dan konjungtiva,
tonus otot dan lebar pupil yang menggambarkan semakin dalamnya pembiusan.
Tingkat I: pernapasan teratur, spontan, dan seimbang antara pernapasan dada dan perut,
gerakan bola mata terjadi di luar kehendak, miosis, sedangkan tonus otot rangka masih ada.
Tingkat 2: pernapasan teratur tetapi frekuensinya lebih kecil, bola mata tidak bergerak, pupil
mata melebar, otot rangka mulai melemas, dan refleks laring hilang sehingga pada tingkat ini
dapat dilakukan intubasi.
Tingkat 3: pernapasan perut lebih nyata daripada pernapasan dada karena otot interkostal
mulai lumpuh, relaksasi otot rangka sempurna, pupil lebih lebar tetapi belum maksimal.
Tingkat 4: pernapasan perut sempurna karena otot interkostal lumpuh total, tekanan darah
mulai menurun, pupil sangat lebar dan refleks cahaya hilang. Pembiusan hendaknya jangan
sampai ke tingkat 4 ini sebab pasien akan mudah sekali masuk dalam stadium IV yaitu ketika
3

pernapasan spontan melemah. Untuk mencegah ini, harus dihentikan benar sifat dan
dalamnya pernapasan, lebar pupil dibandingkan dengan keadaan normal, dan turunnya
tekanan darah.
4. Stadium IV (Depresi Medulla Oblongata)
Stadium IV ini dimulai dengan melemahnya pernapasan perut dibandingkan stadium
III tingkat 4, tekanan darah tidak dapat diukur karena pembuluh darah kolaps, dan jantung
berhenti berdenyut. Keadaaan ini dapat segera disusul kematian, kelumpuhan napas disini
tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan, bila tidak didukung oleh alat bantu napas dan
sirkulasi.

Gambar 1. Skema Guedel Untuk Depresi SSP Progresif Oleh Anestesi Eter.
Selain dari derajat kesadaran, relaksasi otot, dan tanda-tanda di atas, ahli anesthesia
menilai dalamnya anesthesia dari respon terhadap rangsangan nyeri yang ringan sampai yang
kuat. Rangsangan yang kuat terjadi sewaktu pemotongan kulit, manipulasi peritoneum,
kornea, mukosa uretra terutama bila ada peradangan. Nyeri sedang terasa ketika terjadi
manipulasi pada fasia, otot, dan jaringan lemak, sedangkan nyeri ringan terasa ketika terjadi
pemotongan dan penjahitan usus, atau pemotongan jaringan otak.
4

2.2. Induksi
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga
memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi dapat dikerjakan secara
intravena, inhalasi, intramuskular atau rektal. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesia
langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesia sampai tindakan pembedahan selesai.
Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan STATICS:
S : Scope
Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringoskop,
pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus
T : Tube

cukup terang.
Pipa trakea.pilih sesuai usia. Usia <5 tahun tanpa balon (cuffed) dan >5

A : Airway

tahun dengan balon (cuffed).


Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring
(naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar

untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.


T : Tape
Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
I : Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang mudah
C : Connector
S : Suction

dibengkokan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.


Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia
penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari. Induksi intravena


dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali. Obat induksi bolus
disuntikan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien,
nadi dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Dikerjakan pada pasien
yang kooperatif.
2.3. Obat-Obat Induksi
2.3.1. Obat-Obat Induksi Intravena
1. Etomidate
Etomidate merupakan suatu derivate imidazole dengan struktur yang berbeda
daripada obat anestetik lain. Inti dari imidazol mampu berikatan dan menghambat beberapa
isoenzim dari sitokrom P450. Etomidate larut dalam air pada pH asam dan larut dalam lemak
pada pH fisiologis dengan sediaan solusio 0.2% dalam 35% propylene glycol. Dosis induksi:
0,3 mg/kgBB biasanya di dalam sediaan 10 cc dengan 2 mg/cc.
Etomidate bekerja melalui reseptor GABAA dengan onset yang cepat. Durasi kerjanya
berlangsung cepat, hampir sama dengan thiopental dan propofol. Obat ini sebaiknya
dikombinasikan dengan obat-obatan lain yang menekan respon otonom atau somatik.
Etomidate dikenal sebagai salah satu obat yang memiliki efek lemah terhadap
kardiovaskular. Pada dosis induksi, pengaruhnya terhadap tonus pembuluh darah arteri atau
5

vena hanya sedikit dan tidak mengganggu kontraktilitas dari jantung. Selain itu etomidate
tidak melepaskan histamine.
Efek penekanan etomidate terhadap sistem respirasi lebih minimal dibandingkan
dengan thiopental atau propofol, tetapi dengan dosis induksi masih dapat timbul transient
apnoe. Orang dengan PPOK tidak akan mengalami depresi pernafasan yang lebih berat.
Etomidate membuat perubahan pada CMRO2, CBF, and TIK seperti yang terlihat
pada penggunaan thiopental dan propofol. Etomidate mungkin berguna pada penggunaan
singkat dalam operasi bedah saraf yang membutuhkan kestabilan kardiovaskular. Etomidate
berhubungan erat dengan mual muntah setelah anestesi intravena (sekitar 30-40% kasus).
Pelarut Propylene glycol dapat menyebabkan nyeri saat penyuntikan dan flebitis superficial.
Fenomena eksitasi, seperti cegukan dan gerakan mioklonik adalah hal yang biasa
selama proses induksi. Keamanan etomidate pada pasien dengan porfiiria masih dipertanyan.
Etomidate aman diberikan pada pasien dengan hipertermia.
Setelah diberikan dosis untuk induksi sebanyak 0.3 mg/kg, kehilangan kesadaran dan
proses pengembalian kesadaran akan sama seperti penggunaan thiopental dan propofol. 75%
dari etomidate berikatan pada protein plasma.
Etomidate adalah obat anestesi pilihan yang sering digunakan pada pasien dengan
disfungsi jantung atau hipovolemi. Stabilitas hemodinamik pada induksi dengan etomidate
lebih baik dibandingkan metode induksi lain. Secara teori, farmakokinetik dari etomidate
merupakan obat yang paling baik digunakan pada operasi yang berlangsung singkat, tetapi
insidensi dari mual dan muntah merupakan satu kekurangan yang cukup besar bagi pasien
yang melakukan operasi pada hari yang sama. Timbulnya mioklonus dan cegukan cukup
mengganggu tetapi angka kejadiannya sama dengan penggunaan methohexital. Penggunaan
etomidate sebagai obat induksi dan pemeliharaan jangka pendek dan penurunan kadar
kortisol tidak akan menimbulkan masalah. Intinya, keputusan untuk menggunakan etomidate
diambil berdasarkan stabilitasnya terhadap sistem kardiovaskular dan sistem respirasi.
Etomidate menekan sistem mengaktifkan retikuler dan meniru efek inhibisi dari
GABA. Efek disinhibitory dari etomidate pada bagian-bagian dari sistem saraf yang
mengendalikan aktivitas motorik ekstrapiramidal berkontribusi pada tingginya insiden
myoclonus.
2. Benzodiazepine
Benzodiazepine berikatan

dengan dan

subunit dari GABAA receptor.

Benzodiazepine memiliki efek yang mirip dengan thiopental pada CMRO2 dan TIK, tetapi
efeknya lebih rendah dibandingkan dengan thiopental. Efek dari benzodiazepine pada
CBF(Cerebral Blood Flow) bervariasi dan fungsinya lebih Nampak pada tekanan darah.
6

Benzodiazepin

merupakan

antikonvulsan

yang

sangat

baik,

meskipun

demikian

benzodiazepine bersifat cross tolerance terhadap alkohol dan barbiturate sehingga orang yang
sudah menggunakan alkohol dan barbiturat sebelumnya, apalagi penggunaan yang kronik,
akan membutuhkan benzodiazepine lebih untuk dosis sedatif. Pada dosis yang tinggi,
benzodiazepine tidak menyebabkan penekanan dari EEG. Pada dosis subhipnotik
benzodiazepine menyebabkan amnesia anterograde. Efek kardiovaskular oleh benzodiazepine
lebih kecil dibandingkan dengan thiopental ataupun propofol. Beberapa pembuluh darah
mengalami vasodilatasi sehingga terjadi penurunan venous return ke jantung, meskipun
demikian efek terhadap kontraktilitas miokardium kecil. Benzodiazepine berpengaruh sedikit
dalam menimbulkan mual muntah dan aman digunakan pada pasien dengan hipertermia
maligna. Hipersensitivitas terhadap benzodiazepine jarang terjadi.
Setelah diberikan obat golongan benzodiazepine (misalnya :midazolam), penurunan
kesadaran akan berlangsung dengan cepat, tetapi proses pengembalian kesadaran akan lebih
pelan dan perasaan pusing (hangover) biasanya lebih panjang dibandingkan penggunaan
tiopenthal atau propofol.
3.Diazepam (Valium)
Termasuk golongan benzodiazepine yang berkhasiat sebagai tranquilizer (obat
penenang). Benzodiazepine yang lain, chlordiazepoxid (Librium), nitrazepam (mogadon),
oxazepam (serenid D) dll.
Pada dosis rendah timbul sedasi, sedang dosis besar akan bersifat hipnotik. Efek
terhadap SSP bervariasi dari orang ke orang lain. Pada satu pasien mungkin akan kehilangan
kesadaran setelah dosis kecil. Pada pasien lain, dengan dosis 1 mg/kg baru tertidur. Obat ini
juga mempunyai efek sebagai pelemas otot (ringan) agaknya bekerja ditingkat supra spinal.
Menimbulkan amnesia anterograd. Pengaruhnya minimal sekali baik terhadap kontraksi
maupun denyut jantung, kecuali pada dosis terlalu besar. Hipotensi kadang-kadang terjadi
disebabkan oleh reflek relaksasi pembuluh darah perifer, bukan karena depresi terhadap
miokard. Obat ini juga menimbulkan depresi ringan terhadap pernafasan yang biasanya tidak
serius.Pada premedikasi digunakan IM. (10 mg) atau oral (5-10 mg ), untuk induksi 0,2-0,6
mg/kg BB terutama untuk poor risk. Obat ini juga dapat digunakan untuk penggunaan lain
seperti sedasi pada analgesia regional (5-10mg), endoskopi, kebidanan, sedasi pasca bedah,
dan untuk mengendalikan kejang pada epilepsy, tetanus, eklampsia.
4. Midazolam

Midazolam adalah obat yang paling sering digunakan sebagai sedatif preoperatif.
Penggunaan obat ini menggantikan diazepam karena tidak menimbulkan rasa sakit pada
proses penyuntikan. Midazolam diberikan secara bolus intravena. Biasanya setelah
diadministrasikan sebanyak 1-2 mg pasien akan mengantuk, lebih tenang, dan mengalami
anterograde amnesia yang berlangsung secara singkat. Efek sedatif midazolam dapat
dipelihara dengan bolus 0.5-1 mg. Dosis penggunaan midazolam dan diazepam pada orang
tua harus dikurangi karena peningkatan sensitivitas dan penurunan clearance pada orang tua.
Penyakit pada hepar yang menghambat metabolisme oksidatif diazepam dapat meningkatkan
intensitas dan durasi dari sedative. Pada orang dengan penyakit ginjal, dapat terjadi
keterlambatan ekskresi dari hydroxymidazolam dan mengakibatkan peningkatan efek obat
tersebut terhadap tubuh.
5. Propofol
Propofol adalah 2,6-diisopropylphenol, merupakan derivat fenol. Propofol berbentuk
minyak pada suhu kamar dan tidak larut dalam air. Propofol kemudian dibentuk dalam
sediaan emulsi 1% intralipid, merupakan sumber nutrisi lemak pada pasien yang menerima
nutrisi parenteral total. Emulsi propofol biasanya dapat menjadi media untuk pertumbuhan
bakteri, dimana sediaan propofol yang terdahulu berhubungan erat dengan kejadian sepsis
iatrogenik. Sediaan propofol sekarang memiliki agen bakteriostatik dalam konsentrasi yang
rendah untuk memperlambat pertumbuhan bakteri.
Efek propofol ke sistem saraf pusat mirip dengan efek tiopental. Propofol merupakan
obat hipnotik bereaksi cepat dan juga menurunkan aliran darah otak dan Tekanan Intrakranial.
Seperti tiopenthal, propofol bereaksi terhadap CNS melalui peningkatan penghambatan
neurotransmitter melalui reseptor GABAA. Studi in vitro mengatakan bahwa propofol juga
menghambat glutamat melalui reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA). Propofol juga
mengurangi aliran darah ke otak dan tekanan intra kranial. Meskipun propofol belum
dipelajari mengenai aktivitas neuropotektifnya, propofol diduga memiliki efek neuroprotektif
sama seperti tiopental. Propofol harus digunakan secara hati-hati karena efeknya
menyebabkan hipotensi lebih tinggi daripada tiopenthal. Propofol juga merupakan
antikonvulsan dan telah digunakan sebagai obat untuk menangani status epileptikus, namun
efek demikian tidak dihasilkan pada dosis sedatif. Konsentrasi subhipnotik propofol memiliki
efek antiemetik, tidak seperti obat anestesi intravena yang lain.
Efek propofol pada sistem pernapasan mirip dengan tiopental dimana terjadi
penurunan tidal volume dan peningkatan PaCO2. Setelah diberikan dosis induksi 1-3 mg/kg
biasanya pasien akan menjadi apnoe untuk beberapa menit dan mengalami penurunan refleks
8

airway yang lebih besar dari tiopental. Depresi pernapasan semakin meningkat pada pasien
dengan riwayat PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik), dan terjadi efek sinergis antara
propofol dan opioid dalam menyebabkan penekanan sistem pernapasan. Tidak seperti
tiopental, propofol tidak menyebabkan pelepasan histamin.
Propofol menyebabkan penurunan tekanan darah sistemik daripada tiopental.
Propofol menyebabkan penurunan venous return dalam jumlah yang besar dan menyebabkan
resistensi vaskular arteri sistemik sehingga terjadi penurunan baik itu preload ataupun
afterload. Hipotensi yang disebabkan propofol semakin parah pada orang tua, orang dengan
disfungsi jantung atau hipovolemia, orang yang mendapat opioid atau benzodiazepin sebagai
premedikasi, atau orang yang mendapat terapi dengan blocker atau vasodilator.
Propofol sangat larut dalam lemak. Waktu paruh yang singkat (2-8 menit)
Mengakibatkan durasi kerja yang singkat. Eliminasi terjadi secara primer lewat metabolisme
di hati. Pemulihan dari propofol lebih cepat dan diiring dengan sakit kepala yang lebih ringan
dibanding obat-obat induksi yang lain.
6. Ketamin
Ketamin adalah suatu rapid acting non barbiturat general anesthethic termasuk
golongan fenyl cyclohexylamine dengan rumus kimia 2-(0-chlorophenil) 2(methylamino)
cyclohexanone hydrochloride. Pertama kali diperkenalkan oleh Domino dan Carsen pada
tahun 1965. Ketamin tersedia dalam tiga jumlah konsentrasi diantaranya 10 mg/ml, 50mg/ml,
100 mg/ml yang biasanya digunakan untuk perawatan anesthesia, intravena anesthesia, dan
injeksi intramuskular. Ketamin digunakan sebagai induksi anestesi dengan dosis, 12
mg/kgBB IV.
2.3.2. Obat-Obat Induksi Intramuskular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara intramuskular
dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.
2.3.3. Obat-Obat Induksi Inhalasi
1. N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida)
Berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali
berat udara. Pemberian harus disertai O2 minimal 25%. Bersifat anastetik lemah, analgesinya
kuat, sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi
inhalasi jarang digunakan sendirian, tapi dikombinasi dengan salah satu cairan anastetik lain
seperti halotan.
2. Halotan (fluotan)
9

Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan anestesinya cukup dalam,
stabil dan sebelum tindakan diberikan analgesi semprot lidokain 4% atau 10% sekitar faring
laring. Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis, terjadi
hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi miokard, dan inhibisi
refleks baroreseptor. Merupakan analgesi lemah, anestesi kuat. Halotan menghambat
pelepasan insulin sehingga mininggikan kadar gula darah.
3. Enfluran (etran, aliran)
Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran lebih iritatif dibanding
halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat dibanding halotan, tetapi lebih jarang
menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik disbanding halotan.
4. Isofluran (foran, aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial. Peninggian aliran darah otak
dan tekanan intracranial dapat dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga
isofluran banyak digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap depresi jantung dan curah
jantung minimal, sehingga digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan
pada pasien dengan gangguan koroner.
5. Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%), bersifat simpatomimetik
menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek depresi napasnya seperti isofluran dan etran.
Merangsang jalan napas atas sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi.

6. Sevofluran (ultane)
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran. Baunya tidak
menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi
inhalasi disamping halotan.
2.3.4. Induksi Per-Rektal
`
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau midazolam.
2.3.5. Induksi Mencuri (Steal Induction)
Dilakukan pada anak atau bayi yang sedang tidur. Induksi inhalasi biasa hanya
sungkup muka tidak kita tempelkan pada muka pasien, tetapi kita berikan jarak beberapa
sentimeter, sampai pasien tertidur baru sungkup muka kita tempelkan.
2.4. Ketamin
10

2.4.1. Sejarah
Ketamin pertama kali disintesis oleh Parke-Davis di tahun 1962 sebagai usaha untuk
mencari anestesia alternatif pengganti phencyclidine (PCP), yang biasanya menyebabkan
halusinasi, neurotoksik, dan kejang. Pertama kali obat ini diberikan kepada tentara Amerika
dalam perang Vietnam. Stevens melakukan penelitian tentang ketamin lebih lanjut di
laboratorium Parke, pada tahun 1962 ketamin diciptakan sebagai CL369 dan disebut sebagai
CI-581 yang berubah nama menjadi ketamin dan ini adalah obat yang umum digunakan
sebagai anestesi dalam manajemen mengurangi rasa sakit . Pertama kali diperkenalkan oleh
Domino dan Carsen, tahun 1965, yang digunakan sebagai obat anestesia umum.5
2.4.2. Struktur Ketamin
[2-(2-chlorophenyl) -2-(methylamino)-cyclohexanone] adalah derivat phencyclidine.

Gambar 2. Rumus Bangun Ketamin

Gambar 3. Isomer Ketamin


Tabel 1. Struktur Ketamin

11

Ketamin adalah suatu molekul dapat larut dalam air yang dari sudut bangunannya
menyerupai phencyclidine. Adanya suatu atom karbon yang tidak simetris mengakibatkan
keberadaan dua isomer optis ketamin, yaitu isomer S (+) dan R(-) .
Hanya campuran yang racemic berisi sejumlah sama dua ketamin isometri yang
tersedia untuk penggunaan secara klinis. Ketika dipelajari secara terpisah S(+)-ketamine
menghasilkan7:
Analgesia yang lebih baik
Lebih cepat di metabolisme dan kesadaran lebih cepat
Salivasi lebih kurang
Kejadian emergence reaction lebih rendah dari R(-)ketamin.
Adanya asimetrik karbon atom menghasilkan kehadiran 2 optical isomer dari ketamin.
Kedua isomer ini menghalangi uptake atau pengambilan kembali dari katekolamine ke saraf
simpatis post ganglioner (seperti efek kokain)7. Pada percobaan secara in vivo ditunjukan
bahwa isomer S(+)ketamin 2-3 kali lebih poten dari pada isomer R(-)ketamin dalam
analgesia. Faktanya bahwa isomer optis ketamin oleh para ahli farmakologi dinyatakan saling
berhubungan dengan rangsangan yang spesifik1,9.
Ketamin ialah larutan yang tidak berwarna, bersifat agak asam (pH 3,55,5), stabil
pada suhu kamar, namun sensitif terhadap cahaya dan udara. Karena sangat sensitif terhadap
cahaya, obat ini disimpan dalam botol (vial) berwarna coklat. 8 Terdapat tiga kemasan vial
dengan konsentrasi 100mg/ml, 50 mg/ml, 25 mg/ml yang masing masing kemasan vial berisi
10 ml. sebelum digunakan dibuat larutan yang mengandung 10 mg/ml dengan akuades
sebagai bahan pengencernya. Nama dagang ketamine meliputi Ketalar, Ketaset, Ketmex,
Ketotal, Ketamine-500(astrapin) dan Imalgen.9

Gambar 4. Kemasan Ketamin


2.4.3. Mekanisme Kerja
Ketamine memblok reflek polysinaps di corda spinalis, menghambat eksitasi
neurotransmitter. Ketamine juga memiliki efek inotropik negatif dimana ia dapat
12

meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium sehingga pada pasien dengan keadaan darurat
atau memiliki penyakit jantung dapat menimbulkan iskemia jaringan.
Ketamin menimbulkan efek inhibisi dengan menutup reseptor NMDA. Reseptor
NMDA sama seperti GABA, sebuah ion channel, tetapi NMDA digerbangi oleh eksitatori
neurotransmitter glutamat.yang ketika terbuka , akan melewati arus dibawa oleh ion kalsium.
Peran sel glia dan glutamate pada patologi nyeri kronik neuropatik telah terbukti. Sel
glia disamping sel pendukung neuron juga berperan sebagai sel yang menyekresi
neurotransmiter asam amino eksitatorik misalnya glutamat.7 Glutamat ini akan berpasangan
dengan

reseptor

N-metil-D-aspartat

(NMDA)

dan

-amino-3-hidroksi-5-metil-4-

isoksasolproprionat (AMPA) pada postsynaptic yang mengakibatkan tanda-tanda patologi


spesifik dari nyeri neuropatik. Selain itu sel glia merupakan komponen sel imun di otak yang
memproduksi mediator inflamasi sebagai reaksi terhadap adanya antigen baik yang berasal
dari eksternal maupun internal otak sebagai akibat kerusakan jaringan saraf.8-10 Di daerah
dimana terjadinya kerusakan jaringan sistem imun disekitarnya akan menjadi aktif dan
terjadinya proses regenerasi non-neuronal element seperti sel Schwann, histamin neutrofil
dan makrofag serta sel T yang sekaligus menyekresi mediator proinflamasi (TNF-{alpha},
IL-1{beta}, IL-6, CCL2, histamin, PGE2, dan NGF).11
Nyeri patologik merupakan reaksi tubuh terhadap kerusakan jaringan tubuh atau
jaringan saraf baik di perifer maupun di sentral yang bisa dimediasi oleh sistem imun. Reaksi
imun akan muncul jika jaringan secara langsung kontak atau terpapar dengan antigen berupa
mikroorganisme, toksin, bahan kimia, termal yang mengakibatkan terjadinya inflamasi.12
Kejadian ini memberikan reaksi berupa peningkatan suhu tubuh, perubahan kadar ion-ion di
plasma, perubahan komposisi darah seperti peningkatan jumlah leukosit, menjadi sakit atau
merasa nyeri. Reaksi selanjutnya bisa terjadi perubahan perilaku, perubahan reaksi hormonal
misalnya meningkatnya aktivitas aksis HPA serta hormon-hormon simpatetik.13,14 Reaksi
nyeri terhadap aksis sistem imunotak akan menginisiasi mediator proinflamasi melalui selsel imun yang teraktivasi.15 Pada proses inflamasi, akibat kerusakan jaringan maka leukosit
akan bermigrasi ke jaringan tersebut. Leukosit ini bisa menyekresi peptida opioid yang
selanjutnya berikatan dengan reseptor opioid pada ujung saraf terminal di daerah yang
terinflamasi tersebut. Tujuannya adalah untuk menghilangkan nyeri inflamasi. Migrasi
leukosit ini dikontrol oleh kemokin dan molekul adesi. Kelompok neurokin seperti substansi
P (SP) juga berperan dalam distribusi nyeri karena sinyal nyeri akan menyebabkan sekresi SP
serta asam amino eksitatorik. Aktivitas reseptor natural killer-1 (NK-1) oleh SP dan reseptor
AMPA oleh asam amino eksitatorik menyebabkan terjadinya depolarisasi pada elektrik
potensial.9,10 Timbulnya rasa sakit merupakan respons dari komunikasi antara sistem imun
13

dengan otak ditandai oleh sekresi mediator proinflamasi sitokin akibat sel imun yang
teraktivasi. Beberapa diantara mediator proinflamasi antara lain NGF, NO, prostanoid,
bradikinin, IL-1, IL-6 dan TNF dan histamin. Neutrofil adalah sel inflamasi yang paling cepat
memasuki jaringan yang mengalami cedera.16 Kerusakan jaringan saraf perifer ataupun
kerusakan jaringan lainnya mengakibatkan makrofag teraktivasi dengan demikian akan
menyekresi sitokin proinflamasi (lihat gambar). Inilah yang terjadi sepanjang proses
degenerasi Walerian oleh sel Schwann.17 Selain itu sel T dan sel B juga menyekresi mediator
inflamasi sitokin yang berkontribusi untuk innate imunity.15

Gambar 5. Reaksi sel glia terhadap patogen (diambil dari Clifford J. Woolf, MD Pain:
Moving

from

Symptom

Control

toward

Mechanism-Specific

Pharmacologic

Management. Ann Intern Med. 2004;140:441-451)


Susunan saraf pusat dan saraf perifer termodulasi akibat kerusakan jaringan atau
cedera, inflamasi, yang bisa mengakibatkan nyeri neuropatik. Mekanisme nyeri neuropatik di
perifer muncul berupa a) ectopic discharges dan ephatic condition, b) pertumbuhan
sprouting kolateral, c) coupling antara sistem saraf sensorik dengan saraf simpatetik.
Coupling ke saraf simpatetik diakibatkan oleh kerusakan jaringan saraf di mana dalam proses
regenerasi bertumbuh menyimpang dari jalur anatomik aslinya. Pada bagian sentral
ditemukan beberapa perubahan antara lain a) terjadinya reorganisasi secara anatomik dari
sumsum tulang belakang, b) hipereksitabilitas dari sumsum tulang serta c) perubahan pada
sistem opioid endogen.2

14

2.4.4. Sistem Imun dengan Susunan Saraf Pusat


Imunosit akan bermigrasi dari sistem sirkulasi ke jaringan yang mengalami inflamasi
melalui beberapa tahapan seperti rolling, adhesion, dan transmigrasi lewat dinding pembuluh
darah. Proses ini berjalan atas keberadaan intracellular adhesion molecule1 (ICAM-1) pada
leukosit dan lapisan endotelium pembuluh darah. ICAM-1 merupakan perantara atau
stimulasi produksi opioid yang seterusnya mengakibatkan analgesia terhadap nyeri yang
diakibatkan oleh inflamasi.19 Ada beberapa mekanisme masuknya sitokin ke jaringan otak
untuk mencapai reseptornya di otak antara lain 1) transport secara aktif, 2) masuk ke dalam
otak di mana tidak ditemukan sawar darah otak, 3) melalui ikatan dengan reseptor di dinding
pembuluh darah yang kesemuanya ini akan mengubah aktivitas neuron.19
2.4.5. Sistem Imun sebagai Induksi Nyeri
Beberapa penelitian yang berkembang terakhir ini terutama mengenai hubungan nyeri
dan sistem imun yakni dengan ditemukannya mediator inflamasi seperti TNF, IL-1, IL-6,
NGF dan prostaglandin E2 pada eksudat inflamasi.20 Mediator ini bisa mengakibatkan nyeri
berupa hiperalgesia. Pada hewan percobaan, hiperalgesia dapat dipicu dengan penyuntikan
lipopolisakarida ke peritoneum yang selanjutnya diketahui bahwa lipopolisakarida ini akan
menstimulasi makrofag untuk menyekresi proinflamasi sitokin.15, 21
Seperti telah disebutkan di atas beberapa mediator proinflamasi seperti NGF, NO, IL1, IL-6 dan TNF akan disekresi oleh sistem imun sebagai reaksi akibat kerusakan atau cedera
sel.6,8,22 Mediasi proinflamasi ini akan menimbulkan nyeri. Pada hewan percobaan dengan
pemberian NGF secara sistemik akan mengakibatkan hiperalgesia dan sebaliknya dengan
memberikan antagonist akan menghilangkan hipe-ralgesia tersebut. 6,23 Ditemukan juga bahwa
sekitar 50% afinitas reseptor NGF (reseptor tirosin kinase A, TrkA) merupakan gen ekspresi
nosiseptor seperti brain-derived neurotrophic factor (BDNF) dan substansi P yang
kesemuanya akan berperan dalam terjadinya nyeri.24 NO merupakan mediator penting atas
terjadinya hiperalgesia yang diinduksi oleh jaringan yang terinflamasi. 25,26 Hal ini dibuktikan
dengan memberikan antagonis NO akan menghilangkan hiperalgesia. 27 Demikian juga IL-1
berpotensi sebagai mediator proinflamasi pada nyeri neuropatik. Pemberian antagonist IL-1
akan menurunkan perilakun nyeri neuropatik pada hewan percobaan tersebut.20 Walaupun
demikian mekanisme aksi dari IL-1 di perifer masih belum jelas. Kemungkinan mekanismenya adalah adanya sinyal kaskade yang kompleks yang akan mengarah pada produksi
komponen pronosiseptif atau sel Schwann.21, 22 TNF juga merupakan mediator proinflamasi
yang diduga berperan dalam terjadinya nyeri neuropatik. Hal ini dibuktikan adanya korelasi
antara ekspresi TNF dengan alodinia atau hiperalgesia pada nyeri neuropatik.11,12 Terjadinya
15

alodinia atau hiperalgesia bisa diperberat dengan menambahkan TNF sementara dengan
memberikan antagonis TNF akan memperingan alodinia dan hiperalgesia.27-29

2.4.6. Farmakokinetik
Ketamin bekerja dalam onset yang cepat, durasi yang singkat, dan daya larut tinggi
dalam lemak. Ketamin mempunyai suatu pKa 7,5 pada pH fisiologis. Konsentrasi plasma
puncak ketamin terjadi dalam 1 menit pada pemberian IV dan dalam 5 menit pada suntikan
IM. Ketamin tidaklah harus signifikan menempel ke protein plasma dan meninggalkan darah
dengan cepat dan didistribusikan ke dalam jaringan.
Pada awalnya, ketamin didistribusikan ke jaringan yang perfusinya tinggi seperti otak,
di mana puncak konsentrasi mungkin empat sampai lima kali di dalam plasma. Daya larut
ketamin dalam lemak (5 10 kali dari tiopental) memastikan perpindahan yang cepat dalam
sawar darah otak. Lagipula, induksi ketamin dapat meningkatkan tekanan darah cerebral bisa
memudahkan penyerapan obat dan dengan demikian meningkatkan kecepatan tercapainya
konsentrasi yang tinggi dalam otak. Sesudah itu, ketamin didistribusikan lagi dari otak dan
jaringan lain yang perfusinya tinggi ke lebih sedikit jaringan yang perfusinya baik. Waktu
paruh ketamin adalah 1 2 jam.
Tabel 2. Perbandingan Obat-Obat Induksi dengan Ketamin

Kegagalan fungsi ginjal atau enzim tidak mengubah durasi dari dosis tunggal ketamin
yang mempengaruhi distribusi kembali obat dari otak ke lokasi jaringan non aktif.
Metabolisme hepar, seperti halnya dengan tiopental, adalah penting untuk bersihan ketamin
dari tubuh. Ketamin tersimpan dalam jaringan dimana dapat berperan pada efek kumulatif
obat dengan pengulangan atau pemakaian yang kontinyu. Sebagian besar ketamin mengalami
dealkilasi dan hidrolisis dalam hati, kemudian dieksresi terutama dalam bentuk metabolik dan
sedikit dalam bentuk utuh.7
2.4.6.1. Metabolisme

16

Metabolisme ketamin secara ekstensif oleh microsomal enzim hepatik. Suatu jalur
metabolisme yang penting adalah demethylation ketamin oleh sitokrom P-450. Enzim dapat
membentuk norketamin .Pada binatang percobaan, norketamin adalah seperlima sampai
sepertiga sama kuat seperti ketamin. Metabolit yang aktif ini dapat berperan untuk ketamin
yang diperpanjang. Norketamin adalah hydroxylated dan kemudian menghubungkan ke
glucuronide metabolit yang non-aktif dan dapat larut dalam air. Pada pemberian secara
intravena (IV), kurang dari 4% dosis ketamin dapat ditemukan dalam air seni tanpa
perubahan. Fecal kotoran badan meliputi kurang dari 5% dari dosis ketamin injeksi. Halotan
atau diazepam memperlambat metabolisme dari ketamin dan memperpanjang efek obat
tersebut.8

Gambar 4. Metabolisme Ketamin


Penggunaan ketamin secara kronis merangsang aktivitas enzim yang bertanggung
jawab untuk metabolismenya. Metabolisme ketamin yang dipercepat sebagai hasil enzim
induksi bisa menjelaskan, pada sebagian, pengamatan atas toleransi efek obat analgesia
ketamin terjadi pada pasien yang menerima dosis pengulangan obat ini. Tentu saja, toleransi
ini terjadi pada pasien yang menerima lebih dari dua kali interval pemberian ketamin.
Pengembangan toleransi adalah juga konsisten dengan laporan ketergantungan ketamin.1,5
2.4.7. Farmakodinamik
Sistem Saraf Pusat
Ketamin menimbulkan efek inhibisi dengan menutup reseptor NMDA. Reseptor
NMDA sama seperti GABA, sebuah ion channel, tetapi NMDA digerbangi oleh eksitatori
neurotransmitter glutamat.yang ketika terbuka , akan melewati arus dibawa oleh ion kalsium.
Keadaan anestesi yang disebabkan oleh ketamin disebut dissociative anesthesia. Keadaan
tersebut tidak menyerupai tidur normal. Pasien menjadi terdisosiasi dari lingkungannya. Di
bawah anestesi ketamin, pasien dapat bergerak, bersuara, membuka dan menggerakan
matanya. Walaupun begitu, pasien teranestesi dan tidak berespon terhadap rangsangan yang
berbahaya atau mempunyai suatu ingatan dari peristiwa yang terjadi selama anesthesi.
Ketamin menyebabkan analgesik yang dalam dan tetap sampai periode post operasi.
Halusinasi dapat dirasakan sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan, dan halusinasi atau
17

disforia dapat timbul dalam periode post operasi. Berbeda dengan anestesi intravena yang
lain, ketamin menyebabkan peningkatan dari CMR O2, aliran darah ke otak, dan tekanan
intrakranial. Oleh sebab itu, penggunaan ketamin merupakan kontraindikasi pada pasien
dengan masa intrakranial, atau pasien yang baru saja mengalami trauma kepala.

Gambar 4. Efek Ketamin di Sistem Saraf Pusat


Sistem Kardiovaskular
Berbeda dengan obat anestesi intravena yang lain, ketamin biasanya menyebabkan
peningkatan tekanan darah karena efek inotropik positif dan vasokonstriksi pembuluh darah
perifer, frekuensi nadi, kontraktilitas jantung, dan tahanan vaskular sistemik. Hal tersebut
merupakan efek tidak langsung dari peningkatan tonus simpatis dan peningkatan katekolamin
yang dimediasi oleh medula adrenal. Tekanan darah akan naik baik sistol maupun diastol.
Kenaikan rata-rata antara 20-25 % dari tekanan darah semula, mencapai maksimal beberapa
menit setelah suntikan dan akan turun kembali dalam 15 menit kemudian.(1, 3-5)
Sistem Respirasi
Pada dosis biasa, tidak mempunyai pengaruh terhadap sistem respirasi. Sifat
bronkodilator yang cukup kuat ada pada ketamin karena sifat simpatomimetiknya. Ketamin

18

baik untuk penderita asma dan untuk mengurangi spasme bronkus pada anestesi umum yang
ringan.(1, 2, 4-6)
Mata
Menimbulkan lakrimasi, nistagmus, dan kelopak mata terbuka secara spontan. Terjadi
peningkatan tekanan intraokuler akibat peningkatan aliran darah pada pleksus koroidalis.2
Sistem Muskular
Tonus otot bergaris meningkat, bahkan bisa terjadi rigiditas sampai kejang-kejang.
Keadaan ini bisa dikurangi dengan pemberian diazepam terlebih dahulu, karena diazepam
menurunkan tonus otot, sehingga ketamin tidak begitu baik bila digunakan sebagai obat
tunggal, seperti pada operasi intra abdominal dan operasi lain yang membutuhkan penderita
diam. Kontraksi spontan otot kelompok mata menyebabkan mata terbuka spontan dan
kontraksi ritmis otot bola mata menyebabkan timbulnya nistagmus. Juga terjadi peningkatan
tonus otot uterus, yang sesuai dengan dosis yang diberikan.2
Terhadap Reflek-Reflek Proteksi
Reflek proteksi jalan nafas masih utuh, oleh karena itu hendaknya hati-hati melakukan
isapan-isapan pada daerah jalan nafas atas, karena tindakan ini bisa menimbulkan spasme
laring.2
Terhadap Metabolisme
Ketamin merangsang sekresi hormon-hormon katabolik seperti: katekolamin, kortisol,
glucagon, tiroksin, dan lain-lainnya, sehingga laju katabolisme tubuh meningkat.2
Terhadap Sirkulasi
Ketamin akan merangsang pelepasan katekolamin andogen dengan akibat terjadi
peningkatan denyut nadi, tekanan darah dan curah jantung. Karena itu efeknya
menguntungkan untuk anestesi pada pasien syok/renjatan.2
Efek Lainnya
Ketamin dapat meningkatkan gula darah 15% dari keadaan normal, walaupun
demikian bukan merupakan kontraindikasi mutlak untuk penderita dengan DM. Ketamin juga
dapat menyebabkan hipersalivasi, tapi efek ini dapat dikurangi dengan pemberian
premedikasi antikolinergik.
Aliran darah ke otak, tekanan intrakaranial dan tekanan intra okuler meningkat pada
pemberian ketamin. Karena itu sebaiknya jangan digunakan pada pembedahan pasien dengan
tekanan intrakranial yang meningkat (edema serebri, tumor intracranial) dan pasien pada
pembedahan mata.1
19

2.4.8. Implikasi Ketamin untuk Anestesi


Ketamin sangat popular digunakan dalam praktek anestesia, terutama untuk pelayanan
anestesia di Rumah Sakit dengan sarana terbatas. Dalam penggunaanya sering
dikombinasikan dengan diazepam, oleh karena diazepam berkhasiat menekan efek buruk
ketamin.
Pada umumnya ketamin digunakan untuk :
1. Induksi anestesia pada :
Analgesia dapat dilakukan selama kehamilan tanpa berhubungan dengan depresi Neonatal.
Neonatal neurobehavioral score bayi yang dilahirkan lewat pervaginal dengan ketamin
analgesia adalah lebih rendah dari pada bayi mereka yang lahir dengan epidural atau spinal
anesthesia, tetapi lebih tinggi dibanding skor bayi dengan

tiopental-nitrous

oksida.

Bisa

dilakukan pada bedah Sesar karena efek depresinya minimal.


Anak-anak balita yang tidak kooperatif, diberikan secara intramuskular.
Pasien penderita asma merupakan obat pilihan untuk induksinya.
Pasien penderita hipotensi.
Penderita dengan resiko tinggi gangguan respirasi dan hemodinamik merupakan indikasi
penggunaan ketamin. Hal ini oleh karena beberapa sifat ketamin seperti
yang tinggi, mempertahankan fungsi kardiovaskuler, kecukupan

indeks

ventilasi

terapeutik

spontan

dan

tetap utuhnya reflek-reflek laryngeal dan faringeal, sehingga ketamin dapat dipakai untuk
induksi pada shock.
2. Postoperasi
Dosis subanestesi ketamin menunjukan lebih poten untuk analgesia dan efektif untuk periode
postoperasi. Arendt Neilsen dan kawan kawan melaporkan bolus dengan ketamin 0,51mg/kg iv dikuti dengan infus 9 g/kg/ min cukup efektif untuk analgesia.9
3.
Pada Septik shock
Ketamin mereduksi kebutuhan untuk inotropic support, dimana efek ini mungkin dari
penghambatan uptake katekolamin.Pada percobaan Schimdt dan kawan kawan menunjukan
ketamin mereduksi endotoxin-mediasi dari adhesi leukosit pada badan vessel.
4. Obat anestesia pokok :
Digunakan untuk operasi-operasi didaerah superficial, berlangsung singkat dan tidak
memerlukan relaksasi otot , misalnya pada bidang bedah mulut, untuk:
Beberapa jenis ekstirpasi tumor kecil pada bibir
Beberapa prosedur diagnostik untuk anak-anak
5. Analgetik pasca trauma atau pascabedah
Untuk menanggulangi nyeri akut pasca trauma atau bedah, dikombinasikan dengan obat
sedatif.
6. Penggunaan intrathecal
Ketamin dapat digunakan secara intrathecal ( 550 mg dalam 3 ml, larutan 0,22% )dengan
atau tanpa adrenalin. Ketamin 50mg dengan adrenalin dapat menghambat blok sensory dan
motorik tanpa depresi respirasi dan hipotensi sampai 4590 menit.(1,9,10)
20

Ketamin bekerja sebagai antagonis nonkompetitif pada reseptor NMDA dimedula spinalis.
Pemberian ketamin intratekal dapat ditoleransi dengan baik bila diberikan dalam dosis kecil
tanpa pengawet. Akan tetapi preparat ketamin yang beredar dipasaran, biasanya mengandung
pengawet benzethonium chloride, yang tidak dianjurkan digunakan secara rutin intratekal
pada manusia
2.4.8.1. Dosis dan Cara Pemberian
Induksi :
a. Intravena
: 0,5 2 mg/kgBB
b. Intra Muskuler
: 5 10 mg/kgBB
c. Rumatan Anestesi : 75 150 g/kgBB. lewat infus atau 0,5mg/kgBB/30Menit/Intravena
- Sedasi/Analgesi : 12,5 50 g/Kg.BB/Menit

21

2.4.9. Efek Samping


1. Susunan saraf pusat
Ketamin dapat meningkatkan aliran darah cerebral serta tekanan intrakranial. Ketamin juga
menyebabkan efek disosiasinya menimbulkan halusinasi, mimpi buruk dan kadang-kadang
terjadi gaduh gelisah yang disebut Emergence Delirium (Psychelic Effects).
2. Pada respirasi, sering timbul spasme laring akibat rangsangan pada jalan nafas atas.
3. Pada kardiovaskuler, terjadi hipertensi dan takikardi.
4. Pada endokrin, terjadi peningkatan kadar gula darah.
5. Pada otot rangka terjadi rigiditas.
6. Meningkatkan konsumsi oksigen jaringan.
7. Menyebabkan lakrimasi, nistagmus, dan peningkatan TIO pada mata.
8. Menyebabkan hipersalivasi dan peningkatan laju katabolisme tubuh.
9. Meningkatkan jumlah perdarahan pada luka operasi karena ketamin menghambat agregasi
dari tombosit.
2.4.10. Kontraindikasi
Mengingat efek farmakodinamikanya yang relative kompleks seperti yang telah
disebutkan diatas, maka penggunaannya terbatas pada pasien normal saja. Pada pasien yang
menderita penyakit sistemik, penggunannya harus dipertimbangkan untung rugi.
Kontra indikasi penggunaan ketamin adalah:
22

1. Tekanan intrakranial meningkat, misalnya pada trauma kepala, tumor otak dan operasioperasi intrakranial.
2. Tekanan intraokuler meningkat, misalnya pada penyakit glaukoma dan pada operasi intra
okuler.
3. Pasien yang menderita penyakit sistemik yang sensitive terhadap obat-obat
simpatomimetik, seperti :
a. hipertensi dengan sistolik 160 mmHg pada istirahat dan diastolik 100 mmHg.,
b. tirotoksikosis
c. diabetes mellitus,
d. paeokromositoma,
e. penyakit jantung koroner
Harus hati-hati pada:
1. Riwayat kelainan jiwa
2. Operasi-operasi daerah faring karena reflek masih baik

BAB III
KESIMPULAN
Ketamin merupakan reseptor NMDA yang paling poten, pernyataan ini sekaligus
menjelaskan efek kerjanya yang sangat kuat memblokade nyeri karena penghambatan pada
kanal kalsium. Letak kerja di kortex serebri dan area hippocampus juga memegang peranan
penting terhadap kerja ketamin. Farmakokinetik ketamin menyerupai tiopental dalam onset
yang cepat, durasi yang singkat, dan daya larut tinggi dalam lemak. Sebagian besar ketamin
mengalami dealkilasi dan hidrolisis dalam hati, kemudian dieksresi terutama dalam bentuk
metabolik dan sedikit dalam bentuk utuh.
Efek farmakologi ketamin berpengaruh terhadap bermacam-macam sistem, misalnya
pada susunan saraf pusat berupa efek disosiasi, terhadap mata, jantung, respirasi, otot,
sirkulasi dan efek lainnya. Berdasarkan efek ketamin maka indikasi ketamin ialah induksi
anestesia untuk pasien asma, hipotensi, penderita dengan resiko tinggi gangguan respirasi dan
hemodinamik.
Dalam penggunaannya pun harus melihat kontraindikasinya yang telah dijabarkan
misalnya tekanan intrakranial meningkat,tekanan intraokuler meningkat, pasien yang
menderita penyakit sistemik yang sensitif terhadap obat-obat simpatomimetik, seperti
:hipertensi dengan sistolik 160 mmHg pada istirahat dan diastolik 100 mmHg, tirotoksikosis,
diabetes mellitus, dan lain lain. Mengingat efek farmakodinamikanya yang relatif kompleks
seperti yang telah disebutkan diatas, maka penggunaannya ketamin harus mempertimbangkan
keadaan pasien dan berbagai efek yang akan ditimbulkan oleh ketamin.

23

DAFTAR PUSTAKA
1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Anestesi Regional. Petunjuk Praktis Anestesiologi.
Edisi Kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 2007; 3 ; 29-47.
2. Mangku Gde, Wiryana Made. Buku ajar ilmu anestesia dan reanimasi. Indeks. Jakarta;
2010, hal. 42-6.
3. Staf Pengajar Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI Jakarta, Anestesiologi,
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, FK UI, Jakarta, 1989, hal. 67-69.
4. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Analgesia Regional. Petunjuk Praktis Anestesiologi.
Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2007; 5:105-20
5. Gan, S, Farmakologi dan Terapi, edisi 3, Bagian Farmakologi FK UI, Jakarta, 1987, hal
134-8.
6. Morgan Edward, Mikhail Maged, Murray Michael. Lange Clinical anesthesiology, edisi ke
Empat . McGraw-Hill. United States; 2006;hal.197-200.
7. Stoelting Robert, Hillier Simon. Handbook of Pharmacology & Phusiology inAnesthetic
Practice. Edisi ke 2. Lippincott William & Wilkins. Philadelphia;2006; hal.165-77.
8. Lunn JN, Chandrata L, Suyono J. Catatan Kuliah Anestesi. Jakarta: EGC;
2004: 56-57.
9. Ketamin; diunduh dari : http://en.wikipedia.org/wiki/Ketamine pada tanggal 25 Februari
2011
11. Stoelting RK. Nonbarbiturate induction drugs. In : Pharmacology and Physiology in
anesthetic practice. 2nd ed. Philadelphia : Lippincott Raven, 1991 : 27054 126
12. Collin VJ. Theoretic mechanisms of general anesthesia. In : Physiolologic and
parmacologic bases of anesthesia. Philadelpia : Williams & Wilkins, 1996 : 457

24

Anda mungkin juga menyukai