Anda di halaman 1dari 23

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Sirosis hati merupakan perjalanan patologi akhir berbagai macam penyakit
hati. Istilah sirosis diperkenalkan pertama kali oleh Laennec pada tahun 1826.
Diambil dari bahasa Yunani scirrhus atau kirrhos yang artinya warna oranye dan
dipakai untuk menunjukkan warna oranye atau kuning kecoklatan permukaan hati
yang tampak saat otopsi.
1

Batasan fibrosis sendiri adalah penumpukan berlebihan matriks
ekstraseluler (seperti kolagen, glikoprotein, proteoglikan) dalam hati. Respons
fibrosis terhadap kerusakan hati bersifat reversibel. Namun pada sebagian besar
pasien sirosis, proses fibrosis biasanya tidak reversibel.
1,2

Penyakit hati menahun dan sirosis dapat menimbulkan sekitar 35.000
kematian per tahun di Amerika Serikat. Sirosis merupakan penyebab kematian
utama yang kesembilan di AS, dan bertanggung jawab terhadap 1.2% seluruh
kematian di AS. Banyak pasien yang meninggal pada dekade keempat atau
kelima. Setiap tahun ada tambahan 2000 kematian yang disebabkan karena gagal
hati fulminan (fulminant hepatic failure).
3,4,5
FHF dapat disebabkan hepatitis virus
(virus hepatitis A dan B), obat (asetaminofen), toksin (jamur Amanita phalloides
atau jamur yellow death-cap), hepatitis autoimun, penyakit Wilson dan berbagai
macam penyebab lain yang jarang ditemukan.
5

Belum ada data resmi nasional tentang sirosis hati di Indonesia. Namun
dari beberapa laporan rumah sakit umum pemerintah di Indonesia, berdasarkan
diagnosis klinis saja dapat dilihat bahwa prevalensi sirosis hati yang dirawat di
bangsal penyakit dalam umumnya berkisar antara 3.6-8.4% di Jawa dan Sumatra,
sedang di Sulawesi dan Kalimantan di bawah 1%. Secara keseluruhan rata-rata
prevalensi sirosis adalah 3.5% seluruh pasien yang dirawat di bangsal penyakit
dalam, atau rata-rata 47.4% dari seluruh pasien penyakit hati yang dirawat.
6

Dengan data seperti ini dapat disimpulkan bahwa sirosis hati merupakan
penyakit kronik progressif yang dapat meningkatkan angka morbiditas dan

2

mortalitas jika tidak di tindaklanjuti secara profesional. Tindakan yang tepat dapat
dilakukan jika para praktisi medis mengenal dengan baik faktor-faktor risiko,
etiologi, pathogenesis, serta tanda dan gejala klinis dari sirosis hati. Oleh karena
itu, penulis mengangkat sirosis sebagai tema prensentasi kasus agar mampu
mengenal lebih dalam mengenai penyakit ini sehingga mampu menerapkan
penatalaksanaan dan terapi yang rasional terhadap pasien.

1.2 Tujuan Penulisan
1.2.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui patofisiologi komplikasi asites pada Sirosis Hepatis dan
penatalaksanaannya.
1.2.2. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui penatalaksanaan Asites.

1.3. Batasan Masalah
Pembahasan referat ini dibatasi pada komplikasi asites pada sirosis hepatis
beserta penatalaksanaan dari komplikasi tersebut.

1.4. Metode Penulisan
Referat ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang
merujuk dari berbagai literatur.











3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir
fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari
arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif.
7
Gambaran ini terjadi
akibat nekrosis hepatoseluler.
7
Menurut Sherlock, secara anatomis sirosis hati
ialah terjadinya fibrosis yang sudah meluas dengan terbentukya nodul-nodul pada
semua bagian hati, dan terjadinya fibrosis tidak hanya pada satu lobulus saja.
8
Menurut Gall, sirosis ialah penyakit hati kronis, dimana terjadi kerusakan sel hati
yang terus-menerus, dan terjadi regenerasi noduler serta proliferasi jaringan ikat
yang difus untuk menahan terjadinya nekrosis parenkim atau timbulnya
inflamasi.
8

Sirosis hepatis secara klinis dibagi menjadi sirosis hepatis kompensata yang
berarti belum adanya gejala klinis yang nyata dan sirosis hati dekompensata yang
ditandai gejala-gejala dan tanda klinis yang jelas.
7,8
Sirosis hati kompensata
merupakan kelanjutan dari proses hepatitis kronik dan pada satu tingkat tidak
terlihat perbedaannya secara klinis.
7,8
Hal ini hanya dapat dibedakan melalui
pemeriksaan biopsi hati.
7

2.2 ETIOLOGI
7-10

Sirosis hepatis dapat disebabkan oleh penyakit infeksi, seperti hepatitis
virus (hepatitis B, hepatitis C, hepatitis D, dan sitomegalovirus), bruselosis,
ekinokosus, skistosomiasis, toksoplasmosis; penyakit keturunan dan metabolik,
seperti defisiensi -antitripsin, Sindrom Fanconi, galaktosemia, Penyakit Gaucher,
penyakit simpanan glikogen, hemokromatosis, intoleransi fluktosa herediter,
tirosinemia herediter, Penyakit Wilson; obat dan toksin, seperti alkohol,
amiodaron, arsenik, obstruksi bilier, penyakit perlemakan hati non-alkoholik,
sirosis bilier primer, kolangitis sklerosis primer; penyebab lain atau tidak terbukti,
penyakit usus inflamasi kronik, fibrosis kistik, pintas jejunoileal, dan sarkoidisis.


4

2.3 EPIDEMIOLOGI
Di negara maju, sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga
pada pasien yang berusia 45 46 tahun (setelah penyakit kardiovaskuler dan
kanker). Diseluruh dunia sirosis menempati urutan ke tujuh penyebab kematian.
Sekitar 25.000 orang meninggal setiap tahun akibat penyakit ini lebih dari 40%
pasien sirosis asimptomatis. Pada keadaan ini, sirosis ditemukan waktu
pemeriksaan rutin kesehatan atau pada waktu otopsi. Keseluruhan insidensi sirosis
di Amerika diperkirakan 360 per 100.000 penduduk.
6,7

Di Indonesia data prevalensi sirosis hepatis belum ada, hanya laporan dari
rumah sakit, seperti RS. Dr. Sardjito Yogyakarta yang melaporkan jumlah pasien
sirosis hati berkisar 4,1% dari pasien yang dirawt di bagian penyakit dalam dalam
kurun waktu1 tahun (2004). Di Medan dalam kurun waktu 4 tahun ditemukan 819
(4%) pasien sirosis hepatis.
6,7

Penderita sirosis hati lebih banyak dijumpai pada kaum laki-laki jika
dibandingkan dengan kaum wanita sekita 1,6 : 1 dengan umur rata-rata terbanyak
antara golongan umur 30 59 tahun dengan puncaknya sekitar 40 49 tahun.
7


2.4 KLASIFIKASI
7,8

Berdasarkan etiologi, sirosis hepatis dibagi menjadi :
1. Sirosis Laennec.
Sirosis yang terjadi akibat mengkonsumsi minuman beralkohol secara
kronis dan berlebihan. Sirosis Portal Laenec (alkoholik, nutrisional),
dimana jaringan parut secara khas mengelilingi daerah portal,
kehilangan sel-sel hati yang uniform, dan sedikit nodul regeneratif..
Sirosis ini paling sering disebabkan oleh alkoholisme kronis. Fibrosis
perivenular berlanjut menjadi sirosis panlobular akibat masukan
alkohol dan destruksi hepatosit yang berkepanjangan. Fibrosis yang
terjadi dapat berkontraksi di tempat cedera dan merangsang
pembentukan kolagen. Di daerah periportal dan perisentral timbul
septa jaringan ikat seperti jaring yang akhirnya menghubungkan triad
portal dengan vena sentralis. Jalinan jaringan ikat mengelilingi massa

5

kecil hati yang masih ada yang kemudian mengalami regenerasi dan
membentuk nodulus, Namun demikian kerusakan sel yang terjadi
melebihi perbaikannya. Penimbunan kolagen terus berlanjut, ukuran
hati mengecil, berbenjol-benjol (nodular) menjadi keras, terbentuk
sirosis alkoholik.
2. Sirosis pascanekrotik
Sirosis yang terjadi akibat nekrosis massif pada sel hati oleh toksin.
Pada beberapa kasus sirosis ini diakibatkan oleh intoksikasi bahan
kimia industry, racun, arsenik, karbon tetraklorida atau obat-obatan
seperti INH dan metildopa. Sirosis pascanekrotik, terdapat pita
jaringan parut yang lebar sebagai akibat lanjut hepatitis virus akut yang
terjadi sebelumnya. Patogenesis sirosis hati menurut penelitian
terakhir, memperlihatkan adanya peranan sel stelata. Dalam keadaan
normal sel stelata mempunyai peran dalam keseimbangan
pembentukan matriks ekstraseluler dan proses degradasi. Pembentukan
fibrosis menunjukkan perubahan proses keseimbangan. Jika terpapar
faktor tertentu yang berlangsung secara terus-menerus (misal: hepatitis
virus, bahan-bahan hepatotoksik), maka sel stelata akan membentuk
kolagen. Jika proses berjalan terus maka fibrosis akan berjalan terus di
dalam sel stelata dan jaringan hati yang normal akan diganti oleh
jaringan ikat. Sekitar 25 hingga 75% kasus memiliki riwayat hepatitis
virus sebelumnya. Banyak pasien yang memiliki hasil uji HbsAg-
positif sehingga menunjukkan bahwa hepatitis kronis aktif agaknya
merupakan peristiwa penting. Kasus HCV merupakan sekitar 25% dari
kasus sirosis.
3. Sirosis biliaris
Sirosis ini terjadi akibat sumbatan saluran empedu (obstruksi biliaris)
pascahepatik yang menyebabkan statisnya empedu pada sel hati.
Statisnya aliran empedu menyebabkan penumpukan empedu di dalam
masa hati dan pada akhirnya menyebabkan kerusakan sel-sel hati. Pada
sirosis bilier, pembentukan jaringan parut biasanya terjadi dalam hati

6

sekitar saluran empedu. Tipe ini biasanya terjadi akibat obstruksi bilier
yang kronis dan infeksi (kolangitis).
4. Sirosis kardiak
Sirosis ini merupakan sirosis sekunder yang muncul akibat gagal
jantung dengan kongesti vena hepar yang kronis.
Berdasarkan morfologi Sherlock membagi Sirosis hati atas 3 jenis, yaitu
8
:
1. Mikronodular
Ditandai dengan terbentuknya septa tebal teratur, di dalam septa
parenkim hati mengandung nodul halus dan kecil merata tersebut
seluruh lobul. Sirosis mikronodular besar nodulnya sampai 3 mm,
sedangkan sirosis makronodular ada yang berubah menjadi
makronodular sehingga dijumpai campuran mikro dan makronodular.
2. Makronodular
Sirosis makronodular ditandai dengan terbentuknya septa dengan
ketebalan bervariasi, mengandung nodul (> 3 mm) yang besarnya juga
bervariasi ada nodul besar didalamnya ada daerah luas dengan
parenkim yang masih baik atau terjadi regenerasi parenkim.
3. Campuran (yang memperlihatkan gambaran mikro-dan makronodular)
Secara Fungsional Sirosis terbagi atas
7,8,9
:
1. Sirosis hepatis kompensata
Sering disebut dengan sirosis hepatis laten. Pada stadium kompensata
ini belum terlihat gejala-gejala yang nyata. Biasanya stadium ini
ditemukan pada saat pemeriksaan screening.
2. Sirosis hepatis dekompensata
Dikenal dengan sirosis hati aktif, dan stadium ini biasanya gejala-gejala
sudah jelas, misalnya ; ascites, edema dan ikterus.

2.5. MANIFESTASI KLINIS
7,8,9

Keluhan pasien sirosis hati tergantung pada fase penyakitnya. Gejala
kegagalan hati ditimbulkan oleh keaktifan proses hepatitis kronik yang masih
berjalan bersamaan dengan sirosis hati yang telah terjadi dalam proses penyakit

7

hati yang berlanjut sulit dibedakan hepatitis kronik aktif yang berat dengan
permulaan sirosis yang terjadi (sirosis dini).
7,8,9

Sesuai dengan Konsensus Braveno IV sirosis hati dapat diklasifikasikan
menjadi empat stadium klinis berdasarkan ada tidaknya varises, ascites, dan
perdarahan varises
5
: Stadium 1: tidak ada varises, tidak ada asites, Stadium 2:
varises, tanpa ascites, Stadium 3: ascites dengan atau tanpa varises dan
Stadium 4: perdarahan dengan atau tanpa ascites. Stadium 1 dan 2 dimasukkan
dalam kelompok sirosis kompensata, semetara stadium 3 dan 4 dimasukkan
dalam kelompok sirosis dekompensata.
7,8,9

Fase kompensasi sempurna pada fase ini tidak mengeluh sama sekali atau
bisa juga keluhan samar tidak khas seperti pasien merasa tidak bugar merasa
kurang kemampuan kerja selera makan berkurang, perasaan perut kembung,
mual, kadang diare atau konstipasi berat badan menurun, pengurangan massa
otot terutama pengurangannya masa daerah pektoralis mayor.
Pada sirosis hati dalam fase ini sudah dapat ditegakkan diagnosisnya
dengan bantuan pemeriksaan klinis, laboratorium, dan pemeriksaan penunjang
lainnya. Terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi portal
dengan manifestasi seperti: eritema palmaris, spider nevi, vena kolateral pada
dinding perut, ikterus, edema pretibial dan asites.
7,8
Ikterus dengan air kemih
berwarna seperti air kemih yang pekat mungkin disebabkan oleh penyakit yang
berlanjut atau transformasi ke arah keganasan hati, dimana tumor akan
menekan saluran empedu atau terbentuknya trombus saluran empedu intra
hepatik. Bisa juga pasien datang dengan gangguan pembentukan darah seperti
perdarahan gusi, epistaksis, gangguan siklus haid, haid berhenti. Sebagian
pasien datang dengan gejala hematemesis dan melena, atau melena saja akibat
perdarahan varises esofagus. Perdarahan bisa masif dan menyebabkan pasien
jatuh ke dalam renjatan. Pada kasus lain, sirosis datang dengan gangguan
kesadaran berupa ensefalopati, bisa akibat kegagalan hati pada sirosis hati fase
lanjut atau akibat perdarahan varises esofagus.
Bila sudah lanjut (sirosis dekompensata), gejala yang lebih menonjol
terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi

8

hilangnya rambut badan, gangguan tidur, dan demam tidak begitu tinggi.
Mungkin disertai adanya gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi,
epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus dengan warna air kemih seperti teh
pekat, muntah darah dan atau melena, serta perubahan mental seperti lupa,
sukar konsentrasi, bingung, agitasi sampai koma.
7,8

Berikut manifestasi klinis asites beserta patofisiologinya
11,12,13
:
Asites adalah penimbunan cairan serosa dalam rongga peritoneum. Asites
adalah manifestasi kardial sirosis dan bentuk berat lain dari penyakit
hati.Tertimbunnya cairan dalam rongga peritoneum merupakan manifestasi
dari kelebihan garam/ natrium dan air secara total dal tubuh tetapi tidak
diketahui secara jelas faktor pencetusnya. Terbentukknya asites merupakan
suatu proses patofiologis yang kompleks dengan melibatkan berbagai faktor
dan mekanisme pembentukkannya diterangkan dalam 3 hipotesis berdasarkan
temuan eksperimental dan klinis sebagai berikut:
1. Teori underfilling
9,11,12

Pada teori ini mengemukakan bahwa kelainan primer terbentuknya
asites adalah terjadinya sekuestrasi cairan yang berlebihan dalam
splanknik vascular bed disebabkan oleh hipertensi portal yang
meningkatkan tekanan hidrostatik dalam kapiler kapiler splanknik
dengan akibat menurunnya volume darah efektif dalam sirkulasi.
Menurut teori ini penurunan volume efektif intravaskular (underfilling)
direspon oleh ginjal untuk melakukan kompensasi dengan menahan air
dan garam lebih banyak melalui peningkatan aktifasi renin
aldosteron simpatis dan melepaskan anti diuretik hormon yang lebih
banyak.
2. Teori overflow
9,11,12

Teori ini mengemukakan bahwa pada pembentukkan asites, kelainan
primer yang terjadi adalah retensi garam air yang berlebihan tanpa
disertai penurunan volume darah yang efektif . Oleh karena itu, pada
pasien sirosis hepatis terjadi hipervolemia bukan hipovolemia.


9

3. Teori vasodilatasi arteri perifer
9,11,12

Teori ini dapat menyatukan kedua teori diatas. Dikatakan bahwa
hipertensi portal pada sirosis hepatis menyebabkan terjadinya
vasodilatasi pada pembuluh darah spanknik dan perifer akibat
peningkatan kadar nitric oxide (NO) yang merupakan salah satu
vasodilator yang kuat sehingga terjadi pooling darah dengan akibat
penurunan volume darah yang efektif.
Gambar 1. Skema teori vasodilatasi arteri perifer


NO, CGRP, SP, adrenomedulline*








Sumber : Schiffs Diseases of the Liver. 10
th
, 2007
* NO : Nitric Oxide, CGRP : Calcitonin Gene Related Peptide, SP : Substance P
Pada sirosis hepatis yang makin lanjut aktivitas neurohumoral meningkat,
sistem renin angiotensin lebih meningkat, sensitivitas terhadap atrial peptide
natriuretik menurun sehingga lebih banyak air dan natrium yang di retensi.
Terjadi ekspansi volume darah yang menyebabkan overflow cairan ke dalam
sirosis
Hipertensi portal
Vasodilatasi arteri splangnik
Venous return &
cardiac output
tekanan dan
permeabilitas
kapiler splangnik
Hipovolemia arteri
Hepatopulmoner
sindrom
asites
Aktivasi renin
angiotensin
simpatis sistem
Vasokonstriksi
renin dan retensi
natrium
Disfungsi renal

10

rongga peritoneum dan terbentuk asites lebih banyak. Pada pasien sirosis
hepatis dengan asites terjadi aktivitas sintesis NO lebih tinggi dibanding sirosis
hepatis tanpa asites. Menurut teori vasodilatasi, bahwa teori underfilling
prosesnya terjadi lebih awal, sedangkan teori overflow bekerja belakangan
setelah proses penyakit lebih progresif.
9,12,13
Gambar 2. Skema teori pembentukkan asites









Sumber : Harrisons 17
th
, 2008

Bebepara faktor yang turut terlibat dalam patogenesis asites pada sirosis
hepatis : (1) hipertensi porta, (2) hipoalbuminemia, (3) meningkatnya
pembentukan dan aliran limfe, (4) retensi natrium, (5) gangguan ekskresi air.
1. Hipertensi portal
9,12,14

Hipertensi portal didefinisikan sebagai peningkatan tekanan vena
porta yang menetap diatas nilai normal yaitu 6 12 cmH
2
O. Tanpa
memandang penyakit dasarnya mekanisme primer penyebab
hipertensi portal adalah peningkatan resistensi terhadap aliran darah
melalui hati, selain itu biasanya terjadi peningkatan aliran arteri
splangnikus. Kombinasi kedua faktor, yaitu menurunnya aliran keluar
sirosis
Hipertensi portal
Vasodilatasi arteri splangnik

Tekanan splangnik

Underfilling arteri

Pembentukkan asites
splangnik

Aktivasi vasokonstriktor &
faktor antinatriuretik

Retensi natrium

Ekspansi volume plasma

Pembentukan
limfe


11

vena melalui vena hepatika dan meningkatnya aliran masuk bersama
sama menghasilkan beban berlebihan pada system portal. Pembebanan
berlebihan sistem portal ini merangsang timbulnya aliran kolateral
guna menghindari obstruksi hepatik (varises). Fungsi hati biasanya
tidak terganggu pada obstruksi aliran prehepatik dan presinusoid
karena suplai darah terjamin oleh adanya mekanisme kompensasi
meningkatnya aliran darah arteri pada hati. Bila terjadi kerusakkan
berupa obstruksi hati di sinusoidal, postsinusoidal dan post hepatik
bisa menyebabkan penyumbatan aliran darah di hati. Sebagai
konsekuensi terjadinya penyumbatan tersebut maka aliran limfe pada
hepar yang kaya akan protein terganggu dan menyebabkan
peningkatan tekanan portal, terkadang hal ini bersinergi dengan
penurunan tekanan onkotik plasma yang disebabkan oleh kerusakkan
hati (hipoalbuminemia), mendorong cairan yang kaya protein masuk
ke dalam rongga abdomen yang menyebabkan terjadinya asites.

















12

Gambar 3. Skema penyebab dan akibat dari hipertensi portal

Sumber : Color Atlas of Pathophysiology, 2000

2. Hipoalbuminemia
9,12,14

Hipoalbuminemia terjadi karena menurunnya sintesis yang dihasilkan
oleh sel sel hati yang terganggu. Hipoalbuminemia menyebabkan
turunnya tekanan osmotik koloid. Kombinasi antara meningkatnya
tekanan hidrostatik dengan menurunnya tekanan osmotik dalam
jaringan pembuluh darah intestinal menyebabkan transudasi cairan dari
ruang intravaskular ke ruang interstisial sesuai dengan gaya Starling
(ruang peritoneum pada kasus asites).

13

3. Meningkatnya pembentukkan dan aliran limfe
7,8,9

Hipertensi portal meningkatkan pembentukan limfe hepatik yang
menyeka dari hati ke dalam rongga peritoneum. Mekanisme ini
dapat turut menyebabkan tingginya kandungan protein dalam cairan
asites, sehingga meningkatkan tekanan osmotik koloid dalam cairan
rongga peritoneum dan memicu terjadinya transudasi cairan dari
rongga intravaskular ke ruang peritoneum.
4. Retensi natrium dan gangguan ekskresi air
9,13,14

Retensi natrium dan gangguan ekskresi air merupakan faktor penting
dalam berlanjutnya asites retensi air dan natrium disebabkan oleh
hiperaldosteronisme sekunder (penurunan volume efektif dalam
sirkulasi mengaktifkan mekanisme renin-angiotensin-aldosteron).
Penurunan inaktivasi aldosteron sirkulasi oleh hati juga dapat terjadi
akibat kegagalan hepatoseluler.
Suatu tanda asites adalah meningkatnya lingkar abdomen. Penimbunan
cairan yang sangat nyata dapat menyebabkan nafas pendek karena diafragma
meningkat. Dengan semakin banyaknya penimbunan cairan peritoneum, dapat
dijumpai cairan lebih dari 500 ml pada saat pemeriksaan fisik dengan pekak
alih, gelombang cairan, dan perut yang membengkak.
Kadar albumin rendah terjadi bila kemampuan sel hati menurun. Globulin,
konsentrasinya meningkat pada sirosis, akibat sekunder dari pintasan, antigen
bakteri dari sistem pora ke jaringan limpoid, selanjutnya menginduksi produksi
imonoglobulin. Kadar kolinesterase (CHE) yang menurun kalau terjadi
kerusakan sel hati. Masa protrombin yang memanjang menandakan penurunan
fungsi hati. Pada sirosis fase lanjut, glukosa darah yang tinggi menandakan
ketidakmampuan sel hati membentuk glikogen. Natrium serum menurun
terutama pada sirosis dengan asites, dikaitkan dengan ketidakmampuan
ekskresi air bebas.




14

Gambar 4. Skema patofisiologi dampak kerusakkan hati

Sumber : Color Atlas of Pathophysiology, 2000

2.6. PENATALAKSANAAN ASITES
12,13,14

a. Terapi non farmakologis
Tirah baring dan diawali dengan diet rendah garam, konsumsi garam
sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol perhari. Diet rendah garam dikombinasikan
dengan obat antidiuretik. Rata-rata diet di Amerika Serikat mengandung 6
sampai 8 g natrium per hari dan jika pasien makan di restoran atau tempat
makan cepat saji, jumlah natrium dalam diet mereka dapat melebihi jumlah
ini. Dengan demikian, seringkali sangat sulit untuk mendapatkan pasien
untuk mengubah kebiasaan makan mereka untuk mengonsumsi < 2g natrium/
hari yang merupakan jumlah yang dianjurkan. Seringkali rekomendasi
sederhana adalah mengonsumsi makanan segar atau beku, menghindari
kaleng atau makanan olahan yang biasanya diawetkan dengan natrium.


15

b. Terapi farmakologis
Pada asites sedang terapi diuretik biasanya diperlukan. Spironolakton
dengan dosis 100-200 mg / hari sebagai dosis tunggal. Respons diuretik
dapat dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5 kg/hari tanpa adanya
edema kaki atau 1 kg/ hari bila ada edema kaki. Bila pemberian
spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasi dengan furosemid 40-80 mg
/hari terutama pada pasien yang mengalami edema perifer. Pada pasien yang
belum pernah menerima diuretik sebelumnya, kegagalan dosis yang
disebutkan di atas menunjukkan bahwa mereka tidak mematuhi diet rendah
natrium. Jika pengobatan telah sesuai dosis di atas tetapi masih tidak ada
perubahan spironolaton dapat ditingkatkan sampai 400-600 mg / hari dan
furosemid meningkat menjadi 120-160 mg / hari.
c. Terapi intervensi
Jika pengobatan asites belum adekuat dengan dosis diuretik di atas pada
pasien dengan diet rendah natrium maka mereka disebut asites refrakter dan
modalitas pengobatan alternatif lainnya adalah paracentesis atau prosedur
Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt (TIPS) harus
dipertimbangkan. Studi terbaru menunjukkan bahwa TIPS sambil mengelola
ascites tidak meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien ini. Sayangnya
TIPS sering dikaitkan dengan peningkatan frekuensi ensefalopati dan harus
dipertimbangkan secara hati-hati atas dasar kasus per kasus. Prognosis untuk
pasien sirosis dengan asites sangat buruk dan beberapa studi telah
menunjukkan bahwa <50% pasien bertahan hidup 2 tahun setelah terjadinya
ascites. Dengan demikian harus ada pertimbangan untuk transplantasi hati
pada pasien dengan timbulnya asites.
TIPS adalah pengobatan yang efektif perdarahan varises refrakter terhadap
terapi standar (misalnya, endoskopi ligasi pita atau sclerotherapy) dan telah
menunjukkan manfaat dalam pengobatan asites refrakter yang berat. Teknik
ini melibatkan penyisipan sebuah stent logam diperluas antara cabang dari
vena hepatika dan vena portal atas kateter dimasukkan melalui vena jugularis
internal. Peningkatan ekskresi natrium ginjal dan kontrol asites refrakter

16

terhadap diuretik dapat dicapai dalam waktu sekitar 75% dari kasus-kasus
tertentu. Tingkat keberhasilan lebih rendah pada pasien dengan insufisiensi
ginjal yang mendasarinya. TIPS tampaknya menjadi pilihan perawatan untuk
refraktori hati hidrotoraks (translokasi asites seluruh diafragma ke ruang
pleura), dibantu video torakoskopy dengan pleurodesis menggunakan bedak
mungkin efektif bila TIPS merupakan kontraindikasi. Komplikasi TIPS
meliputi ensefalopati pada 20-30% dari kasus, infeksi, shunt stenosis pada
sampai dengan 60% kasus, dan shunt oklusi pada 30% kasus. Patensi jangka
panjang biasanya membutuhkan revisi shunt periodik. Dalam kebanyakan
kasus, patensi dapat dipertahankan oleh pelebaran balon, trombolisis lokal,
atau penempatan stent tambahan. Karena komplikasi yang terkait dengan
TIPS dan ketidakpastian tentang kemanjuran jangka panjang (dikurangi hati
perfusi akibat TIPS dibayangkan dapat mempersingkat hidup pasien) saat ini
lebih disukai pada pasien yang memerlukan kontrol jangka pendek
perdarahan varises atau asites sampai transplantasi hati dapat dilakukan
sebagai lawan untuk pasien yang membutuhkan kontrol definitif perdarahan
atau asites untuk pasien transplantasi hati tidak menjadi pertimbangan. Pada
pasien dengan asites refrakter hasil TIPS di tingkat yang lebih rendah
kekambuhan asites dan sindrom hepatorenal tetapi tingkat yang lebih tinggi
daripada ensefalopati terjadi dengan berulang besar volume paracentesis,
manfaat dalam kelangsungan hidup telah dibuktikan dalam sebuah penelitian,
tetapi tidak pada orang lain atau meta -analisis. Insufisiensi ginjal,
ensefalopati refrakter, dan hiperbilirubinemia yang berhubungan dengan
kematian setelah TIPS.
Peritoneovenous shunt terkadang dilakukan pada pasien dengan asites
berat, tetapi tidak lagi digunakan untuk asites refraktori karena tingkat
komplikasi yang cukup besar seperti Disseminated Intravascular
Coagulation (DIC) 65% pasien (25% gejala, 5% berat), infeksi bakteri pada
4-8 %, gagal jantung kongestif 2-4%, dan perdarahan varises dari perluasan
tiba-tiba volume intravaskular.
13


17

Parasentesis cairan asites sebagai tindakan diagnostik maupun terapeutik
sering dilakukan pada pasien sirosis hati. Parasentesis terapeutik
diindikasikan pada asites yang tidak memperlihatkan respons terhadap terapi
obat diuretika, mempercepat pengeluaran cairan pada keadaan asites masif,
mempermudah pemeriksaan ultrasonografi atau tindakan lain seperti aspirasi
hati dan radiofrequency ablation. Prosedur parasentesis dapat dilakukan pada
saat tertentu sesuai indikasi dapat pula secara berkala seperti pada kasus
asites refrakter. Parasintesis cairan asites dapat dilakukan 5 10 liter / hari
dengan catatan harus dilakukan infus albumin sebanyak 6 8 gr/l cairan
asites yang dikeluarkan. Ternyata parasintesa dapat menurunkan lama
perawatan pasien di rumah sakit. Prosedur ini tidak dianjurkan pada Childs
C, Protrombin < 40%, serum bilirubin > dari 10 mg/dl, trombosit <
40.000/mm3, creatinin > 3 mg/dl dan natrium urin < 10 mmol/24 jam.
Dikatakan sebagai parasentesis cairan asites volume besar (large volume
paracentesis) jika satu kali tindakan mengeluarkan lebih dari 5 liter cairan.
Parasentesis volume besar telah menjadi prosedur rutin dan tercantum dalam
konsensus penatalaksanaan asites pada sirosis bahkan merupakan terapi lini
pertama bagi asites refrakter.
Walaupun dianggap cukup aman parasentesis volume besar bukanlah
tindakan tanpa risiko sama sekali. Pengeluaran cairan dalam jumlah besar
tanpa pemberian pengembang plasma akan berdampak pada gangguan
sirkulasi yang ditandai dengan penurunan volume darah arteri efektif.
Kondisi ini selanjutnya diikuti dengan aktivasi vasokonstriktor dan faktor
antinatriuretik. Dampak klinis yang terlihat adalah berupa rekurensi asites
yang cepat, komplikasi sindroma hepatorenal atau hiponatremia dilusional
sampai pemendekan kesintasan (survival). Pemberian pengembang plasma
seperti koloid atau albumin dianjurkan untuk mencegah komplikasi pada
parasentesis volume besar. Uji klinis mengenai penggunaan albumin pada
tindakan ini telah dipublikasikan sejak sekitar 20 tahun yang lalu. Penelitian
yang dilakukan Lucia Tito dan kawan-kawan terhadap 38 pasien sirosis dan
dipublikasikan pada tahun 1990 merupakan salah satu publikasi yang

18

menjadi acuan prosedur parasentesis volume besar. Dalam penelitiannya Tito
mengeluarkan cairan asites sampai habis sehingga disebut parasentesis total.
Rata-rata cairan yang dikeluarkan sebanyak 10,7 liter dalam waktu 60 menit.
Evaluasi terhadap beberapa parameter yang sering terganggu akibat
parasentesis dilakukan 48 jam dan 6 hari pasca tindakan. Terbukti tidak
didapatkan perubahan bermakna pada parameter penting yang diperiksa
seperti kadar kreatinin serum, kadar natrium dan kalium serum begitu juga
pada tes fungsi hati seperti bilirubin dan masa protrombin.
Gambar 5. Skema pengobatan asites refrakter







Sumber : Harrisons 17
th
, 2008

Albumin dan Terapi Diuretik
12,13,14

Albumin juga seringkali dipakai untuk meningkatkan respons terhadap
diuretik pada pasien sirosis dengan komplikasi asites. Latar belakang teorinya
adalah kekurangan albumin untuk mengikat furosemid sehingga obat hanya
beredar di plasma dan tidak berhasil mencapai nefron proksimal. Akibatnya terapi
diuretika tidak akan memberikan respons yang baik. Ketika ditambahkan albumin
volume distribusi akan menurun, obat akan diikat dan dibawa ke ginjal untuk
kemudian keluar bersama urin sehingga diuresis pun membaik. Penelitian pertama
pada pasien sirosis hati dilakukan oleh Wilkinson dan Sherlock dan dilaporkan
Asites refraktori

Parasintesis volume besar + albumin

Diet rendah natrium + diuretik

Reakumulasi Asites

Pertimbangkan TIPS

Teruskan parasintesis volume
besar + albumin

Pertimbangan
transplantasi hati


19

dalam jurnal Lancet tahun 1962. Disebutkan bahwa kombinasi albumin dan
diuretika memberikan perbaikan keluhan subyektif. Setelah itu tercatat enam
penelitian lain berkaitan dengan manfaat pemberian albumin bersamaan dengan
diuretika. Penelitian Romanelli, et al membuktikan bahwa pemberiaan albumin
jangka panjang menurunkan angka rekurensi terjadinya asites dan meningkatkan
angka survival pasien. Akibat harga albumin yang mahal dipikirkan pemakaian
koloid sebagai alternatif pengembang plasma. Secara teori alternatif ini cukup
menjanjikan, tetapi pada prakteknya koloid tidak memberikan hasil sama baiknya
dengan albumin. Terapi kombinasi meggunakan albumin tidak menjadi protokol
rutin dalam penatalaksanaan asites akibat harganya yang mahal, kecuali pada
kasus tertentu seperti asites masif, komplikasi hernia atau gangguan pernafasan.















20

BAB III
KESIMPULAN

Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium
akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi
dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi
akibat nekrosis hepatoseluler. Sirosis hepatis secara klinis dibagi menjadi sirosis
hepatis kompensata yang berarti belum adanya gejala klinis yang nyata dan sirosis
hati dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan tanda klinis yang jelas
misalnya ; asites, edema dan ikterus.
Asites adalah penimbunan cairan serosa dalam rongga peritoneum.
Terbentukknya asites merupakan suatu proses patofiologis yang kompleks dengan
melibatkan berbagai faktor dan mekanisme pembentukkannya diterangkan dalam
tiga hipotesis berdasarkan temuan eksperimental dan klinis sebagai berikut : teori
underfilling, teori overflow, dan teori vasodilatasi arteri perifer. Selain ketiga teori
tersebut terdapat juga beberapa faktor yang turut terlibat dalam patogenesis asites
pada sirosis hepatis antara lain; hipertensi porta, hipoalbuminemia, meningkatnya
pembentukan dan aliran limfe, retensi natrium, dan gangguan ekskresi air.
Penatalaksanaan asites berupa terapi non farmakologis dan farmakologis
serta terapi intervensi. Terapi non farmakologis berupa tirah baring dan diawali
dengan diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol
perhari. Terapi farmakologis berupa pemakaian Spironolakton dengan dosis 100-
200 mg / hari sebagai dosis tunggal. Respons diuretik dapat dimonitor dengan
penurunan berat badan 0,5 kg/hari tanpa adanya edema kaki atau 1 kg/ hari bila
ada edema kaki. Bila pemberian spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasi
dengan furosemid 40-80 mg /hari terutama pada pasien yang mengalami edema
perifer. Pada pasien yang belum pernah menerima diuretik sebelumnya, kegagalan
dosis yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa mereka tidak mematuhi diet
rendah natrium. Jika pengobatan telah sesuai dosis di atas tetapi masih tidak ada
perubahan spironolaton dapat ditingkatkan sampai 400-600 mg / hari dan
furosemid meningkat menjadi 120-160 mg / hari. Terapi intervensi berupa

21

parasentesis terapeutik diindikasikan pada asites yang tidak memperlihatkan
respons terhadap terapi obat diuretika, mempercepat pengeluaran cairan pada
keadaan asites masif mempermudah pemeriksaan ultrasonografi atau tindakan lain
seperti aspirasi hati dan radiofrequency ablation. Prosedur parasentesis dapat
dilakukan pada saat tertentu sesuai indikasi dapat pula secara berkala seperti pada
kasus asites refrakter. Parasintesis cairan asites dapat dilakukan 5 10 liter / hari
dengan catatan harus dilakukan infus albumin sebanyak 6 8 gr/l cairan asites
yang dikeluarkan. Albumin dipakai untuk meningkatkan respons terhadap
diuretik pada pasien sirosis dengan komplikasi asites. Selain parasintesis terapi
intervensi lainnya adalah Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt (TIPS)
merupakan pengobatan yang efektif perdarahan varises refrakter terhadap terapi
standar (misalnya, endoskopi ligasi pita atau sclerotherapy) dan telah
menunjukkan manfaat dalam pengobatan asites refrakter yang berat. Teknik ini
melibatkan penyisipan sebuah stent logam diperluas antara cabang dari vena
hepatika dan vena portal atas kateter dimasukkan melalui vena jugularis internal.
Peningkatan ekskresi natrium ginjal dan kontrol asites refrakter terhadap diuretik
dapat dicapai dalam waktu sekitar 75% dari kasus-kasus tertentu. Tingkat
keberhasilan lebih rendah pada pasien dengan insufisiensi ginjal yang
mendasarinya. TIPS tampaknya menjadi pilihan perawatan untuk refraktori hati
hidrotoraks (translokasi asites seluruh diafragma ke ruang pleura), dibantu video
torakoskopy dengan pleurodesis menggunakan bedak mungkin efektif bila TIPS
merupakan kontraindikasi.







22

DAFTAR PUSTAKA
1. Cheney CP, Goldberg EM and Chopra S. Cirrhosis and portal
hypertension: an overview. In: Friedman LS and Keeffe EB, eds.
Handbook of Liver Disease. 2
nd
ed. China, Pa: Churchill Livingstone;
2004:125-138
2. Friedman SL: Hepatic Fibrosis, In: Schiff ER, Sorrell MF, Maddrey WC,
eds. Schiffs Diseases of the Liver. 9
th
ed. Philadelphia, Pa: Lippincott-
Raven; 2003:409-28
3. Garcia-Tsao D and . Wongcharatrawee S. (VA Hepatitis C resource center
Program). Treatment of patients With Cirrhosis and Portal Hypertension
Literature Review and Summary of Recommended Interventions. Version
1 (October 2003). Available from URL: www.va.gov/hepatitisc
4. Wolf DC. Cirrhosis.eMedicine Specialities. 1 Juli 2013. Available from
URL: http://www.emedicine.com/med/topic3183.htm
5. Lee D. Cirrhosis of the Live. MedicineNet.com, 1 Juli 2013. Available
from URL: http://www.medicinenet.com/cirrhosis/article.htm
6. Hernomo K. Pengelolaan perdarahan massif varises esophagus pada
sirosis hati. Thesis. Airlangga University Press, Surabaya,1983.
7. Nurdjanah K. Sirosis Hepatis. Dalam: Sudoyo S dkk, eds. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, Jilid I, edisi 4, Jakarta, Pa: Balai Penerbit FKUI, 2007:
443-46.
8. Lorraine MW. Sirosis Hati. Dalam: Sylvia AP, Lorraine MW. Sirosis.
Edisi keenam, Volume I. EGC, Jakarta: 2005;1:493-501.
9. Akil HAM. Asites. Dalam : Rasyad SB. Kumpulan Kuliah Hepatologi,
Palembang. 2008. 365-70.
10. Guadalupe Garsia-Tsao et al. Prevention and Management of
Gastroesophagal Varices and Variceal Hemorrhage in Cirrhosis. American
Journal of Gastroenterology. United States of America. 2007.
11. Pere Gines et al. Management of Cirrhosis and Ascites. The New England
Journal of Medicine. Massachusetts Medical Society. 2004;350:1646-54.

23

12. Silbernagl S, Lang F. Color Atlas of Pathophysiology. Stuttgart. New
York: Thieme; 2000. 170-5.
13. Mcphee SJ, Papadakis MA. Hepatology. In Thierney LM, editor. Current
Medical Diagnosis & Treatment. San Francisco, California: McGraw
Hill ; 2008.
14. Chung RT, Podolsky DK. Cirrhosis and its complications. In Harrisons
Principles of Internal Medicine, ed by Fauci AS, Braunwald E et al., 17
th

edition, McGraw Hill Inc, New York, 2008: 1858-67.
15. Friedman SL: Hepatic Fibrosis. In: Schiff ER, Sorrell MF, Maddrey WC,
eds. Schiffs Diseases of the Liver. 10
th
ed. Philadelphia, Pa: Lippincott
Raven; 2007: 528 64.

Anda mungkin juga menyukai