(MoU) ataupun UU No. 11/2006 adalah bagian dari kebijakan politik nasional, sekalipun
dorongan dan masukan dari unsur-unsur masyarakat Aceh juga tidak bisa diabaikan dan
signifikan. Aceh yang terlahir sebagai indentitas plural dan jamak telah melalui sejarahnya
dengan panjang dan unik.Aceh tidak tunggal dalam memaknai perjalanan dirinya, karena Aceh
adalah kumpulan keberagaman.Baik itu etnis, ras, suku, agama, sejarah bangsa bahkan juga
pandangan politik.Dimasa-masa awal Aceh, keberagaman ini dapat dimaknai dan diapresiasi
secara positif, sehingga Aceh lahir menjadi titik tolak peradaban bagi wilayah sekitarnya.
Kini kedewasaan tersebut mendapat tantangan, karena Aceh sudah berada pada fase yang
manentukan, pasca konflik dan tsunami.Bahwa kini di Aceh dituntut kembali untuk menmgelola
keberagamannya, seperti masa-masa awal.Pengelolaan secara positif ini dinamai dengan
multikulturalisme. Paham yang menerangkan akan pentingnya apresiasi positif terhadap
perbedaan, dengan kacamata kesetaraan. menjelang Pemilu 2009 semua pihak ramai-ramai
membicarakan dinamika perpolitikan di Aceh. Pertemuan Helsinki memberikan afirmasi bahwa
tujuan dialog tidak lain adalah peletakan prioritas dasar terciptanya kondisi perdamaian secara
komprehensif di Aceh dengan mengimplementasikan solusi-solusi yang berkelanjutan
(sustainable). Hasil ini diharapkan menunjang proyek rekonstruksi Aceh pasca-tsunami agar
dapat berhasil.
Korban konflik mampu memaksimalkan ruang publik (public sphere) yang dimilikinya.
Belum semua mampu mengakses proses komunikasi, informasi dan kebijakan dari Badan
Reintegrasi Aceh (BRA) atau Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRDA), di tingkat pusat/propinsi
maupun local/kabupaten-kota. Pola partisipatif, sosialiasi lembaga, peran, transparansi,
keihklasan pada tingkat penguasa dan lain lain belum berjalan sebagaimana mestinya. Mungkin,
di Aceh, terutama di daerah konflik, sepertinya ada kondisi pseudo-neurotik yang menyebabkan
mereka terpasung dan tertekan secara psikologis. Mereka masih merasa tak memiliki siapapun
dan apapun yang bisa mengangkat keresahan, harga diri, kepercayaan diri dan
keinginannya.Ilustrasi di bawah ini memperlihatkan makin jelas tentang ironisme ruang publik
untuk mengakses pemberdayaan korban konflik termasuk mantan combatan yang tersangkut di
hangar kekerasan dan dominasi kekuasaan.Karenanya, pengabaian peristiwa kekerasan yang
membawa Aceh pada situasi sulit beberapa tahun lalu, harus dialami dengan penuh getir.
Terkait dengan itu, yang mendesak kita lakukan sebagai langkah preventif adalah
penyadaran publik.Penyadaran ini kita tujukan kepada masyarakat umum agar tidak terpancing
dengan keadaan yang provokatif itu, secara sadar atau tidak sadar memiliki potensi untuk
menciptakan suasana chaos, baik karena motivasi psikologis, ekonomis ataupun
politis.Harapannya agar semua menyadari betapa mahalnya harga perdamaian yang telah kita
capai ini, dan cita-cita mempermanenkan kedamaian.Catatan ini hendak menyegarkan ulang
memori kita tentang satu alternatif pemikiran agar Aceh bisa meninggalkan masa transisi ini sesegera mungkin.Intervensinya diarahkan pada usaha menemukan domain yang lebih
efektif.Renungan/merefleksikan bersama untuk memperingati tiga tahun damai Aceh adalah
salah satu bentuk kegiatan untuk mengkomunikasi pentingnya menjaga perdamaian Aceh sebagai
contoh keberhasilan negosiasi diplomatik dan resolusi konflik di Indonesia. Di sisi lain,
pentingnya menjaga keterbukaan informasi dalam mencari jalan keluar dari kebuntuan politik.
Perdamaian di Aceh dan di seluruh Indonesia harus selalu digaungkan agar kita bisa
mewaspadai riak-riak penghancur damai sendiri.
Rangkuman
Boleh disimpulkan secara pragmatis, dialog Helsinki berdiri di atas faktor ekonomi
yang kemudian menentukan proses-proses politik seperti penghentian kekerasan hingga
rekonsiliasi. Sejak awal pihak donor membuat pernyataan bersama bahwa bantuan rehabilitasi
dan rekonstruksi di Aceh akan dihambat jika pemerintah tidak mampu menjamin keamanan di
daerah ini. Mungkin salah satu tonggak bersejarah penting untuk membangun kembali Aceh
lebih baik merupakan pasca-penandatanganan kesepakatan perdamaian di Helsinki antara
Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 15 Agustus lalu adalah
mempertahankannya sehingga menjadi sesuatu yang bersejarah bagi masyarakat Aceh.
Kesepakatan-kesepakatan yang lampau tidak bertahan dan harus dikoreksi dan dipelajari
pada perjanjian sekarang. Karena kita membutuhkan redefinisi ulang beberapa hal seperti, istilah
nasionalisme Aceh (Bentuk kegagalan Negara dan alkuturasi kekerasan masyarakat terhadap
tuntutan yang tidak pernah didengar) dalam kontek NKRI sepertinya kurang enak
didengarkan.Menyebut nasionalisme Aceh seperti menangkap sesuatu yang ganjil, tabu, sok
subjektif, dan tentu saja bermasalah bila dihadapkan dengan wacana pedoman, penghayatan dan
pengalaman Pancasila, apalagi pada sila ketiga Persatuan Indonesia. Di sini maknanya
seringkali hanya pembenaran bagi seluruh ethnic, bahasa, subculture, dari kontinen Sabang
hingga Merauke. Mereka seluruhnya seperti harus menyifatkan Indonesia.Tidak ada
nasionalisme bagi etnis-etnis, yang ada hanya nasionalisme Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
https://znain.wordpress.com/2008/08/18/jadikan-perdamaian-aceh-sebagai-iconkeberhasilan-negosiasi-diplomatik-dan-resolusi-konflik-di-indonesia/
https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Aceh
http://acehsky.blogspot.co.id/2012/08/diplomasi-aceh-tempo-dulu.html