Anda di halaman 1dari 6

Dr.

Saiful Mujani: Ideologi Politik Islam


Sudah Pudar
Oleh Redaksi

Survei membuktikan, dalam berpolitik, umat Islam Indonesia sekarang ini tidak mau dibuat
rumit oleh persoalan agama. Nalar pragmatisme politik betul-betul berlangsung. Misalnya
saja dalam bentuk persekutuan antar elite santri dan bukan santri. Pada level pemilih,
sentimen-sentimen agama tidak lagi menjadi faktor penting yang menentukan pilihan mereka.
Ini bisa terlihat jelas dalam pilpres putaran pertama kemarin.
Survei membuktikan, dalam berpolitik, umat Islam Indonesia sekarang ini tidak mau dibuat
rumit oleh persoalan agama. Nalar pragmatisme politik betul-betul berlangsung. Misalnya
saja dalam bentuk persekutuan antar elite santri dan bukan santri. Pada level pemilih,
sentimen-sentimen agama tidak lagi menjadi faktor penting yang menentukan pilihan
mereka. Ini bisa terlihat jelas dalam pilpres putaran pertama kemarin.
Berikut bincang-bincang Ulil Abshar-Abdalla dari Jaringan Islam Liberal dengan Dr. Saiful
Mujani, Direktur Riset Freedom Institute dan juga peneliti senior di Lembaga Survei
Indonesia (LSI). Perbincangan dengan pengamat politik jebolan Ohio State University ini
berlangsung Kamis (29/7). Berikut petikannya.
ULIL ABSHAR-ABDALLA (UAA): Bung Saiful, Anda sudah banyak melakukan riset
dan survey tentang pemilu di Indonesia. Nah, apa kesimpulan Anda tentang perilaku
pemilih muslim dalam pemilu kemarin?
SYAIFUL MUJANI (SM): Kalau mau disederhanakan, bagi pemilih muslim
ternyata faktor agama tidak begitu penting dalam menentukan pilihan politik,
baik dalam pemilu legislatif maupun pemilu presiden lalu. Dengan perkataan
lain, faktor agama setidaknya tidak sepenting yang diharapkan oleh
kelompok-kelompok tertentu. Kalau dilihat dari perspektif politik modern,
masyarakat muslim Indonesia saat ini sudah semakin modern, karena tidak
membuat politik diperumit oleh persoalan agama. Soal politik berjalan sangat dinamis, tidak
harus dicampuradukkan dengan hal-hal yang sifatnya permanen dan abadi; dan harusnya
memang begitu dalam politik modern.
UAA: Menurut Anda, ini gejala yang positif?
SM: Tergantung bagaimana kita melihatnya. Kalau dilihat dari sudut pandang orang yang
modern, ini adalah sebuah evolusi budaya politik umat Islam yang semakin maju dan dewasa.
Tapi kalau dilihat dari sudut pandang kelompok yang tidak mau memisahkan antara agama
dan politik, gejala ini adalah gejala kemunduran bagi umat Islam.
Dalam pemilu presiden yang lalu, yang menarik adalah lolosnya Megawati dan Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) yang notabene tidak diidentikkan atau tidak punya latar
belakang historis yang kental dengan masyarakat atau organisasi Islam tertentu.
UAA: Mereka juga tidak dikenal sebagai tokoh Islam!

SM: Ya, bukan tokoh Islam. Tapi anehnya, ternyata yang terbanyak dipilih oleh umat Islam
adalah kedua tokoh itu. Dengan demikian, dalam pemilu presiden putaran kedua nanti, agama
semakin menjadi bukan faktor untuk menentukan pilihan politik. Saya kira pilihan itu
semakin dewasa, karena orang berpikir tentang aspek lain dalam menetukan pilihan kepada
Megawati atau SBY; bukan semata karena faktor agama.
UAA: Kemarin sejumlah ormas Islam membuat pernyataan bahwa kedua kandidat
yang lolos ke putaran kedua ini tidak memenuhi kriteria Islam, sehingga mereka akan
memilih golput. Akankah pernyataan seperti ini berpengaruh terhadap pola pilih
pemilih muslim nantinya?
SM: Kalau itu benar dan terjadi dalam jumlah yang besar dan signifikan, itu akan
membenarkan tesis orang-orang seperti Samuel Huntington yang selama ini berasumsi bahwa
kalau ada demokrasi di Indonesia, dengan sistem demokrasi yang pluralistik, maka orang
Islam akan teralienasi. Bentuk alienasi politik itu bisa seperti memilih golput, atau tidak
masuk dalam sistem yang sedang berlangsung. Mungkin, mereka menganggap itu bukan
bagian dari Islam. Jadi, itulah yang membuat orang seperti Huntington percaya betul bahwa
demokrasi tidak mungkin terjadi di negara-negara muslim. Itu kalau pilihan golput itu betulbetul terjadi. Tapi kalau tidak terjadi, dengan sendirinya itu turut membantah tesis
Huntington, dan menunjukkan bahwa kita betul-betul menjadi shining example (contoh yang
berkilau-kilau) dari demokrasi di dunia Islam.
UAA: Sebagaimana judul liputan The Economist ya?
SM: Ya. Di sini perlu saya katakan bahwa orang-orang di luar Indonesia pada umumnya
bangga betul dengan proses pemilu yang demokratis di Indonesia. Jimmy Carter, bekas
Presiden Amerika itu, sampai menyempatkan diri untuk menulis kolom khusus tentang
pemilu di Indonesia. Majalah The Economist lalu menjadikan pemilu Indonesia sebagai cover
story. Ini tak lain menunjukkan bahwa apresiasi dunia luar, dan menunjukkan adanya suatu
perkembangan yang baru di dunia Islam, dan itu ditemukan di Indonesia. Makanya,
perkembangan itu disebut sebagai shining example. Anehnya, kita yang di sini sepertinya
kurang menyukuri apa yang sudah kita capai. Kita kurang menghargai apa yang sudah kita
lakukanyang oleh orang luar sangat dihargai.
UAA: Lantas, mengapa orang Indonesia sendiri sepertinya kurang menyadari hal itu
sebagai sebuah prestasi?
SM: Mungkin karena perumpamaan katak dalam tempurung. Untuk bisa menyukuri sebuah
prestasi itu, biasanya baru bisa dilakukan kalau kita tahu yang lain dan lalu
membandingkannya dengan kita. Sementara yang kita tahu hanya diri sendiri. Buruk atau
baiknya diri sendiri tidak dibandingkan dengan yang lain. Padahal, pengalaman orang untuk
menyelenggarakan pemilu yang damai seperti yang sudah kita alamidan mudah-mudahan
ke depan tetap begitubukan pekerjaan yang gampang. Oleh karena itu, prestasi yang sudah
dicatat oleh rakyat Indonesia ini merupakan prestasi yang luar biasa kalau diletakkan dalam
kerangka global. Artinya, ini luar biasa kalau tidak dilihat seperti katak dalam tempurung.
Hal lain yang menarik dan membanggakan dalam hubungannya dengan demokrasi kita
adalah kenyataan bahwa masyarakat kita sekarangdibandingkan dengan tahun-tahun
sebelumnyamenurut studi saya, secara normatif semakin yakin dengan demokrasi. Mereka

yakin, bahwa demokrasi memang sistem politik yang terbaik untuk negara seperti Indonesia.
Angka orang yang percaya seperti itu mencapai 85 % dari responden survei.
UAA: Kapan riset itu Anda lakukan?
SM: Minggu yang lalu di pertengahan Juli. Jadi masih baru. Sebelum itu, tingkat keyakinan
akan demokrasi sebagai sistem politik terbaik berkisar antara 65-70 %. Yang dimaksud
demokrasi dalam persepsi mereka, terdapat dalam bentuk pemilu, kebebasan berbicara,
kebebasan unutk mengkritik pemerintah, misalnya. Dalam survei itu, kita menanyakan apa
saja yang mereka anggap penting dalam demokrasi. Jawabannya antara lain, pentingnya
mengkritik pemerintah, pemilu yang bebas, kebebasan berorganisasi, kebebasan dalam
menjalankan ajaran agama, dan lain-lain. Nah, hasil survei ini sangat posistif, dan secara
normatif serta kultural mengindikasikan bahwa masyarakat muslim Indonesia sudah merasa
bahwa demokrasi itu merupakan bagian dari kehidupan mereka. Biasanya, ancaman dari
optimisme ini datang dari sejauh mana pemerintahan demokrasi itu bisa
mengimplementasikan norma atau prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri. Bila pemerintahan
gagal, orang biasanya akan bersikap apatis.
UAA: Bung Saiful, dalam pemilu presiden kemarin, pasangan Hamzah Haz-Agum
Gumelar hanya memperolah suara sekitar 3 %. Sementara dalam pemilu legislatif,
partainya menangguk sekitar 8 % suara. Pertanda apakah ini?
SM: Saya kira, inilah manifestasi atau refleksi dari terjadinya perubahan orientasi politik
dalam diri umat Islam. Bapak Hamzah Haz yang mengklaim diri sebagai pemimpin partai
Islam, ternyata tidak terlalu dilirik oleh umat Islam sendiri. Siapapun boleh mengklaim
begitu, tapi ternyata masyarakat tidak membeli jualan semacam itu. Mungkin saja aspek
Islam itu penting, tapi tidak cukup kalau hanya menekankan kesan bahwa dia pemimpin
partai Islam; bahwa dia jagoan partai Islam yang cukup signifikan.
Fenomena kemerosotan perolehan suara Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dari sekitar 1011 % pada Pemilu 1999, menjadi hanya sekitar 8 % pada Pemilu Legislatif 2004 kemarin
juga mengindikasikan bahwa bagi masyarakat muslim Indonesia, dalam hal politik, tidak
cukup agama diterjemahkan dalam bentuk simbol-simbol yang lama semacam itu. PPP itu
kan bagian dari masa lalu yang di dalamnya tidak banyak berubah, baik dari sudut platform,
program, dan seterusnya. Jadi menurut saya, kenyataan bahwa PPP masih mampu
menangguk suara yang siginifikan (sekitar 8 %), betul-betul karena faktor pemilih loyal. Bagi
pemilih loyal, soal pilihan politik itu baginya sudah persoalan hidup-mati dan bagian dari
identitas politiknya. Jadi menurut saya, itu adalah bukti lain lagi, bahwa umat Islam Indonesia
tidak melihat persoalan politik melulu dari kacamata agama.
UAA: Sebagian tokoh Islam mengklaim bahwa itu pertanda masyarakat kita belum
mendalami Islam, sehingga tidak memilih tokoh Islam dalam politik?
SM: Saya kira, sah saja kalau ada yang berpendapat seperti itu. Mungkin akan dikatakan,
bahwa orang Islam Indonesia itu Islam-KTP atau abangan. Tapi bagi saya, melihat
persoalannya tidak dengan cara men-judgement seperti itu. Coba tanya saja mereka. Selama
ini, ukuran-ukuran Islam itu kan ada pada kriteria ortodoksi Islam yang basic saja. Jadi
ukurannya arknul Islm ataurukun Islam yang lima itu. Kalau mereka sudah bersyahadat,
menunaikan salat, berpuasa, dan kalau mampu membayar zakat dan naik haji, thats Islam. Itu
kan definisnya di dalam Alquran. Makanya, kalau itu yang ditanyakan kepada mereka,

mereka menjawab telah melakukannya. Tapi kalau ditanya soal pilihan politik, jawabannya
akan lain lagi.
UAA: Dalam riset yang Anda lakukan, apakah orang-orang yang dalam kategori
ortodoksi Islam itu banyak yang memilih tokoh-tokoh seperti Megawati dan SBY?
SM: Menarik juga hasilnya di situ. Nampaknya tidak ada pembedaan antara pemilih yang
rajin salat dan tidak rajin salat dalam pilihan partai. Pemilih Megawati terdiri dari mereka
yang rajin dan tidak rajin salat. Porsinya kurang lebih sama. Ini sama halnya dengan pemilih
PKB atau PAN. Jadi, kurang lebih sama saja. Memang ada letak perbedaannya, tapi tidak
signifikan dalam analisis kita. Jadi di situ betul-betul sudah terjadi semacam polarisasi
politik, di mana dasarnya bukan lagi agama tapi lebih pada faktor-faktor lain. Faktor lain itu
misalnya, bagaimana persepsi mereka tentang kemampuan memerintah seorang calon
presiden. Kondisi ekonomi yang dialami masyarakat itu seperti apa? Ekonomi kantidak
peduli apakah seseorang itu salat atau tidak. Jadi, orientasi masyarakat dalam menentukan
pilihan sudah ke sana.
Menurut saya itu sehat, mungkin karena saya merasa modern. Lantas kenapa itu saya anggap
sehat? Sebab, masalah ekonomi merupakan masalah sehari-hari yang bisa dipertukarkan
lintasagama. Artinya, kalau memang faktor agama penting dalam perilaku pemilih, maka
tidak mungkin seorang muslim memilih capres yang agamanya tidak jelas. Demikian juga
sebaliknya; orang yang kurang muslim, mungkin tidak akan mau memilih partai yang
identitas Islamnya terlalu kuat.
UAA: Jadi tidak betul juga kalau dikatakan kedua kandidat presiden yang lolos
putaran kedua nanti tidak mencerminkan kepentingan Islam. Buktinya, Megawati
didukung unsur Islam dari kiai-kiai, sementara SBY didukung oleh partai yang
memperjuangkan syariat Islam misalnya PBB?
SM: Betul! Yang menarik lagi, kenapa itu bisa terjadi dan mengapa mereka mudah saja mau
bekerjasama. Andai ideologi Islam begitu kuat memengaruhi perilaku orang dalam berpolitik,
kenyataan itu tidak akan mungkin terjadi. Tapi kanfakta riilnya itu terjadi. Itu artinya, Islam
sebagai sebuah ideologi politik sudah memudar dan tidak terlalu penting lagi. Nah, lagi-lagi
saya ingin mengatakan bahwa ini adalah sebuah perkembangan dan kemajuan dalam sejarah
politik umat Islam dari zaman Nabi Muhammad sampai sekarang ini.[]
01/08/2004 | Wawancara, | #

Komentar Masuk (2)


(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)
Membaca wawancara di atas sepertinya memang kita digiring ke dalam suatu gang dimana
kita tidak boleh membedakan antara penjahat dan polisi, antara yang jahat dan yang baik.
Muslim seperti apa yang menjadi perhatian bung SM? Muslim yang beriman atau muslim
yang lain? Rukun Islam adalah ibadah fisik. Tapi ada rukun Iman yang menjadi tahapan
selanjutnya bagi muslimin/ah. Tidakkah itu dipikirkan dalam bung SM menjabarkan angkaangka itu. Saya tidak akan percaya dengan angka-angka itu. Semua orang bisa bikin, metode
ada banyak dan tak perlu didiskusikan.
-

Posted by Inez Miranda on 08/05 at 07:08 AM


Saya tidak setuju dengan pendapat Saiful Mujani Bagaimana mungkin dia mengatakan bahwa
pada pemilu legislatif ideologi politik sudah pudar padahal pemilih PKS mengalami lonjakan
berarti (5 point lebih banyak dari empat tahun yl., bandingkan dengan PAN yang mandeg ?).
Lihat juga bagaimana perolehan Amien Rais yang dapat sekitar 15% yang berhubungan
dengan suara PAN + PKS + partai2 kecil. Jadi, saya pikir peran PKS sangat besar dalam
suara Amien Rais kemarin.
Andaikata PKS maju dengan calon presidennya, saya yakin di pemilihan presiden kemarin,
kecendrungan ini bakal dikonfirmasi. Belum lagi perolehan suara PPP yang juga signifikan.
Ditambah lagi banyaknya propaganda anti PDS yang beredar di masyarakat.
Pemilih PKS + PPP saya yakin adalah pemilih yang memilih berdasarkan sentimen
keislaman. Kenyataan bahwa Hamzah Haz tidak berhasil bukan membuktikan bahwa orang
memilih presiden tanpa sentimen keagamaan, tapi lebih karena memang Hamzah Haz bukan
pimpinan partai yang sukses.
Yang memilih berdasarkan sentimen keislaman memang tidak menang, tapi mereka
menunjukkan kemajuan dan yang berarti.
Posted by Anwar Rizal on 08/02 at 07:08 AM

Lihat/Tulis Komentar

Rubrik

Agenda
Buku

Reportase

Editorial

Gagasan

Klipping

Kolom

Pernyataan Pers

Suara Mahasiswa

Tokoh

Wawancara

Copyright 2001-2011 Jaringan Islam Liberal, All rights reserved.


This website conform with XHTML, CSS, RSS, Section 508.
Powered by ExpressionEngine. Design and development by Digdaya.
http://islamlib.com/id/artikel/ideologi-politik-islam-sudah-pudar/

Anda mungkin juga menyukai