Anda di halaman 1dari 35

BAB II

LAPORAN KASUS

IDENTITAS
Data
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Alamat
Agama
Suku bangsa
Pendidikan
Pekerjaan
Penghasilan
Keterangan

Pasien

Ayah

An. A
Tn. H
7 tahun
35 tahun
Laki-laki
Laki-laki
Mutiara Gading Rivera Blok B1/69
Islam
Islam
Jawa
SMA
Wiraswasta
Hubungan dengan

Ibu
Ny. N
30 tahun
Perempuan
Islam
SMA
IRT
-

orang tua : Anak


Tanggal Masuk

Kandung
13 Juni 2016

RS
II

ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis pada Ayah pasien, pada Senin, 20 Juni 2016
pukul 09.00 WIB di ruang Melati, RSUD Kota Bekasi.
a

Keluhan Utama :

Pasien terjatuh saat mengejar odong-odong dan tidak sadarkan diri dua jam sebelim masuk
Rumah Sakit.
b Keluhan Tambahan :
Terdapat benjolan pada kepala bagian kanan atas.
c

Riwayat Penyakit Sekarang :


Seorang anak datang Ke IGD diantar orang tuanya dengan keluhan terjatuh saat

mengejar odong-odong. Menurut pengakuan dari orangtua pasien, pasien mengejar odongodong saat berkecepatan tinggi. Lalu pasien langsung menaiki odong-odong tersebut tanpa
menunggu sampai odong-odong tersebut berhenti terlebih dahulu. Pada saat kakinya ingin

naik, pasien terjatuh dan terlempar ke aspal dan kepala bagian kanan pasien terbentur dengan
trotoar. Sesaat setelah itu pasien tidak sadarkan diri. Lalu pasien dibawa ke klinik terdekat,
pasien sempat tersadar dan muntah. Kemudian pasien tak sadarkan kembali. Setelah itu
pasien dirujuk ke RSUD Bekasi. Pasien sadar namun masih dalam keadaan gelisah.
Keluhan lainnya yang dikeluhkan pasien adalah nyeri kepala terutama didaerah kepala
bagian kanan atas. Terdapat benjolan sebesar biji kelereng di kepala bagian kanan. Selain itu
pasien mengeluh nyeri pada ekstremitas atas dan bawah. Terdapat adanya luka lecet pada
pergelangan tangan kanan pasien. Keluhan lainnya seperti kejang,sesak nafas, gangguan pada
buang air kecil dan besar disangkal oleh pasien
d Riwayat Penyakit Dahulu
Penyakit
Alergi
Cacinga

Umur
-

Penyakit
Difteria
Diare

Umur
-

Penyakit
Jantung
Ginjal

Umur
-

n
DBD
Thypoid
Otitis
Parotis

Kejang
Maag
Varicela
Asma

Darah
Radang paru
Tuberkulosis
Morbili

Riwayat Penyakit Keluarga :


Di dalam keluarga pasien belum pernah mengalami hal yang sama. Riwayat hipertensi

dan diabetes mellitus disangkal.


f

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran :


KEHAMILAN
KELAHIRAN

Morbiditas kehamilan
Perawatan antenatal
Tempat kelahiran
Penolong persalinan
Cara persalinan
Masa gestasi

Tidak ada
Periksa ke bidan 1 kali tiap bulan
Bidan
Bidan
Spontan
38 minggu
BBL : 2500 gram

Keadaan bayi

PB : 49 cm
Langsung menangis, merah
Apgar score tidak tahu

Tidak ada kelainan bawaan


Kesan : Riwayat kehamilan dan riwayat Kelahiran pasien baik

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan :

Pertumbuhan gigi I

: Usia 9 bulan (normal: 5-9 bulan)

Psikomotor
Tengkurap

: Usia 4 bulan

(normal: 3-4 bulan)

Duduk

: Usia 6 bulan

(normal: 6 bulan)

Berdiri

: Usia 10 bulan

(normal: 9-12 bulan)

Bicara

: Usia 11 bulan

(normal: 9-12 bulan)

Berjalan

: usia 12 bulan

(normal: 13 bulan)

Kesan : Riwayat pertumbuhan dan perkembangan pasien baik


h Riwayat Makanan
Umur (bulan)
ASI/PASI
Buah/biscuit Bubur susu Nasi tim
0-2
+/2-4
+/4-6
+/6-7
+/+
+
+
8-10
+/10-12
+/Kesan : Pasien selalu minum ASI sampai umur 1 tahun, tidak pernah minum susu
formula, pasien mulai makan makanan buah atau biskuit sejak berumur 6 bulan.
i

Riwayat Imunisasi :

Vaksin
BCG
DPT
POLIO
CAMPAK
HEPATITIS B

Dasar (umur)
1 bln
2 bln
Lahir
9 bln
Lahir

Hib

2 bln

4 bln
2 bln

6 bln
4 bln

1 bln

6 bln

4 bln

6 bln

Ulangan (umur)
6 bln

Kesan : Riwayat imunisasi pasien menurut PPI lengkap, ibu pasien tidak ingat jadwal
imunisasi ulangan pasien.
J

Riwayat Keluarga

Nama

Ayah
Tn. M

Ibu
Ny. N

Perkawinan ke
1
1
Umur
47
39
Keadaan kesehatan
Sehat
Sehat
Kesan : Keadaan kesehatan kedua orang tua dalam keadaan baik
k Riwayat Perumahan dan Sanitasi :
Pasien tinggal di rumah sendiri. Dinding terbuat dari tembok. atap terbuat dari genteng,
ventilasi cukup. Menurut pengakuan ibu pasien, keadaan lingkungan rumah padat, ventilasi
dan pencahayaan kurang baik serta pada malam hari banyak nyamuk. sumber air bersih
berasal dari air PAM.
III

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada hari Jumat, tanggal 10 Juni 2016, pukul 12.00 WIB, di

Ruang Melati
a

Keadaan umum :
Kesadaran compos mentis , tampak sakit ringan

b PAT
- A : Interactivity (+) look (+), speech (+), tonus (+), consolability (+)
- B : nafas spontan, napas cuping hidung (-), retraksi (-)
- C : pucat (-), mottled (-), sianosis (-)
c Tanda Vital
- Kesadaran
: compos mentis
- Tekanan darah
: 110/80 mmHg
- Frekuensi nadi
: 90x/menit
- Frekuensi pernapasan
: 20x/menit
- Suhu tubuh
: 37 o C
d. Data Antropometri
-

Berat badan

: 19 kg

Tinggi badan

: 73 cm

Status gizi berdasarkan Waterlow:


-

BB/TB % = BB akurat x 100%


BB baku untuk TB aktual
= 6.5 x 100% = 69 % (gizi kurang)
9.4

d Kepala
Bentuk

: Normocephali

Rambut

: Rambut hitam, tidak mudah dicabut, distribusi merata

Mata

: Conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil bulat isokor, RCL+/+, RCTL +/
+

Telinga

: Normotia, serumen -/-

Hidung

: Bentuk normal, sekret -/-, nafas cuping hidung -/-, bekas mimisan (-)

Mulut

: bibir kering (+) , lidah kotor (-), tonsil T1/T1, faring hiperemis (-)

Leher

: KGB tidak membesar, kelenjar tiroid tidak membesar

e Thorax
Paru-paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

: Gerak napas kedua hemithoraks simetris, retraksi sela iga (-)


: Vocal fremitus simetris
: sonor
:vesikuler (+/+), ronchi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung
Inspeks
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

: Ictus cordis tidak terlihat, tidak ada pulsasi abnormal


: Tidak teraba pulsasi abnormal
: batas jantung dan paru paru dalam batas normal
: S1-S2 regular, murmur (-), gallop (-).

f
-

: Bentuk normal
: Bising usus (+)

Abdomen
Inspeksi
Auskultasi

Palpasi
Perkusi

: supel, hepar dan lien tidak teraba


: timpani, ballotement (-), undulasi (-)

Kulit

: ikterik (-), petechie (-)

h Ekstremitas

:
Superior
+/+
-/>2
-/Normotonus
Normotrofi

Akral Dingin
Akral Sianosis
CRT
Oedem
Tonus Otot
Trofi Otot
IV

Inferior
+/+
-/>2
-/Normotonus
Normotrofi

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium (12 Juni 2016, 01.15 WIB)


Pemeriksaan
Leukosit
Hb
Ht
Trombosit
KIMIA KLINIK
Glukosa Darah
Sewaktu
ELEKTROLIT
Natrium
Kalium
Chloride

Hasil
35.2
12.4
35.8
408

Nilai normal
5-10
11-14,5
40-54
150-400

Satuan
ribu/Ul
g/dL
%
ribu/uL

205

60-110

Mg/dL

139
3.1
101

135-145
3.5-5.0
94-111

mmol/L
mmol/L
mmol/L

Laboratorium (14 Juni 2016, 13.57 WIB)


Pemeriksaan
Leukosit
Hb
Ht
Trombosit

Hasil
13.1
11.8
35
410

Nilai normal
5-10
11-14,5
40-54
150-400

Satuan
ribu/Ul
g/dL
%
ribu/uL

Nilai normal
5-10
11-14,5
40-54
150-400

Satuan
ribu/Ul
g/dL
%
ribu/uL

Laboratorium (19 Juni 2016, 07.37 WIB)


Pemeriksaan
Leukosit
Hb
Ht
Trombosit

Hasil
12.1
13.2
37.6
259

FOTO CT SCAN

KETERANGAN: \
Lesi hiperdens HU perdarahan berbentuk bikonveks cresent di regio parietotemporal kanan
Sub galael hematom regio parietotemporal kanan
Tak tampak pergeseran stryktur garis tengah
Pons cerebellum dan sudut cerebelloporsion tak ampak lesi

Paracella dan supracella tak tampak formasi tumor


Mastoid dan sinus paranasalis baik

V. DIAGNOSIS KERJA
Cedera kepala sedang
VI

PENATALAKSANAAN
a Medikamentosa

RL 20 tpm

Inj ceftriaxon 2x1

Omeprazol 1x20 mg

Piracetam 3x500

Sanmol Infus 3x210

Manitol 3x50

b Nonmedikamentosa

VI.

Tirah baring
Observasi tanda Vital
Asupan cairan yang cukup

PROGNOSIS
- Ad vitam
- Ad fungsionam
- Ad sanationam

VII.

: Ad Bonam
: Dubia Ad Bonam
: Dubia Ad Bonam

FOLLOW UP
9 Juni 2016

10 Juni 2016

Perut membesar sejak 3 hari yang S

Demam (-), perut kembung (+), sesak

lalu, tidak bisa kentut sejak 2 hari

(+), BAB 2X

yang lalu, batuk berdahak, sesak


O

(+)
KU: lemah
Kesadaran: somnolen

KU: lemah
Kesadaran: somnolen

PAT: TICLS +/-/+/+/+

PAT: TICLS +/-/+/+/+

Nafas cuping hidung (-/-), retraksi

Nafas cuping hidung (-/-), retraksi (+/

(+/+)

+)

Mottling (-), pallor (-), sianosis (-)

Mottling (-), pallor (-), sianosis (-)

HR 148x/m, RR 30x/m, S 360 C

HR 148x/m, RR 30x/m, S 360 C

Kepala:

Kepala:

Normocephali,

UUB

Normocephali,

UUB

menutup

menutup

Mata: CA (-/-), SI (-/-),

Mata: CA (-/-), SI (-/-),

Toraks: Suara Nafas Vesikular,

Toraks: Suara Nafas Vesikular, vocal

vocal fremitus melemah pada

fremitus melemah pada kedua lapang

kedua lapang paru, rh (+/+), wh

paru, rh (+/+), wh (-/-), BJ 1-2

(-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-)

reguler, m (-), g (-)

Abdomen:cembung,

Abdomen: cembung, tegang,Distensi

tegang,

Distensi abdomen, BU (-).

abdomen, BU (-).

Ekstremitas atas:AD (+/+),OE(-/-)

Ekstremitas atas:AD (+/+),OE(-/-)

Ekstremitas bawah: AD (+/+), OE

Ekstremitas bawah: AD (+/+), OE

(-/-)
Peritonitis TB

- pasang O2 2 liter/m

(-/-)
Peritonitis TB
- IVFD N5+KCL 10 cc 40 cc/jam

- loading D10% 15 cc lalu

- Ceftriaxone 1x650 mg

N5 + KCL 10 cc 40 cc/jam

- Metronidazol 3x60 mg

- inj. Ceftriaxone 1x 650 mg

- Paracetamol 6x65 mg

- inj. Metronidazole 3 x 60 mg

- Transfusi albumin 20% 25 cc/12

- Paracetamol 6 x 65 mg k/p

jam

- Transfusi PRC

- BE 125 cc/ hari

- konsul bedah anak

- puasa

BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

CEDERA KEPALA ANAK


II.1 Anatomi(1)
A.Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan (SCALP)
1.Skin
2.Connective Tissue
3.Aponeurosis
4.Loose Areolar Tissue
5.Perikranium
Loose areolar tissue yang memisahkan antara galea dengan pericranium adalah tempat :
a.Untuk terjadinya hematom subgaleal
b.Flap luas dan scalping injury
Kulit kepala ini bisa mengalami perdarahan banyak, tetapi mudah diatasi hanya dengan
menekan sebentar saja daerah yang berdarah dan perdarahan akan berhenti. Pada anak,
laserasi kulit kepala berakibat kehilangan darah masif.
B.Tulang Tengkorak (Kranium)
Terdiri dari :
a.Calvarium, tipis pada regio temporalis namun dilapisi oleh otot temporal.
b.Basis Kranii, berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak
akibat proses akselerasi dan deselerasi.
Rongga tengkorak dasar di bagi 3 fosa :
1.Fosa anterior, tempat lobus frontalis
2.Fosa Media, tempat lobus temporalis
3.Fosa posterior, ruang bagian bawah batang otak dan cerebelum
C.Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :
1.Duramater
Duramater adalah selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada
permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput araknoid di bawahnya,
maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdural) yang terletak antara duramater dan

araknoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluhpembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis
tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan
subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus
sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri-arteri
meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural).
Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan dapat
menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri
meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
2.

Arachnoid

Terdapat dibawah duramater terdapat lapisan kedua dari meningen, yang tipis dan tembus
pandang disebut lapisan araknoid. Selaput arachnoid terletak antara piamater sebelah dalam
dan duramater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari duramater oleh
ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari piamater oleh spatium subarachnoid yang
terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarah subarachnoid umumnya disebabkan akibat cedera
kepala.
3.

Piamater

Piamater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Piamater adalah membrana vascular
yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk ke dalam sulci yang paling
dalam. Bila terjadi perdarahan subarachnoid maka darah bebas akan berada dalam ruang ini.
D.

Otak

Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak. Serebrum terdiri atas
hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri yaitu lipatan duramater dari sisi
inferior sinus sagitalis superior. Pada hemisfer serebri kiri terdapat pusat bicara manusia.
Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer dominan.
Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fiungsi motorik, dan pada sisi dominan
mengandung pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan
orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori. Lobus oksipital bertanggung jawab
dalam proses penglihatan. Batang otak terdiri dari mesensefalon (mid brain), pons, dan
medula oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang
berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat
kardiorespiratorik, yang terus memanjang sampai medulla spinalis dibawahnya. Lesi yang
kecil saja pada batang otak sudah dapat menyebabkan defisit neurologis yang berat.

Serebelum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan, terletak dalam
fosa posterior, berhubungan dengan medula spinalis, batang otak, dan juga kedua hemisfer
serebri.
E.Cairan Serebrospinal
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan kecepatan produksi
sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju
ventrikel III kemudian melalui aquaductus sylvii menuju ventrikel IV. Selanjutnya CSS
keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke dalam ruang subaraknoid yang berada di seluruh
permukaan otak dan medula spinalis. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui
vili araknoid.
F.Tentorium
Tentorium serebelli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supra tentorial (terdiri atas
fossa kranii anterior dan fossa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii
posterior).
II.2 Definisi
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau
tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi
neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanent.1 Menurut
Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala,
bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik
dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan
kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.2
II.3 Epidemiologi(1,2)
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000
kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Yang sampai di
rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera
kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB). Insiden cedera
kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu
lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena
jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi. (1,2)

Di Amerika Serikat, kejadian tahunan diperkirakan cedera kepala pediatrik adalah sekitar 200
per 100.000 penduduk. Jumlah ini mencakup semua cedera kepala yang mengakibatkan rawat
inap, kematian, atau keduanya pada orang berusia 0-19 tahun. Distribusi trauma kepala relatif
stabil sepanjang masa. Peningkatan kejadian trauma kepala diidentifikasi dalam 2 kelompok
usia. Pada sekitar usia 15 tahun, peningkatan dramatis terjadi, terutama pada laki-laki,
berkaitan dengan keterlibatan mereka dalam olahraga dan kegiatan mengemudi. Bayi berusia
kurang dari 1 tahun juga memiliki insiden tinggi trauma kepala, yang disebabkan jatuh dan
pelecehan anak.
Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit di Jakarta,
RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70% dengan CKR,
15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-50%
akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal.
Laki-laki dua kali lebih mungkin untuk mempertahankan cedera kepala sebagai perempuan
dan memiliki 4 kali resiko trauma fatal. Remaja laki-laki hitam account untuk sebagian besar
senjata api terkait cedera SSP dalam populasi anak.
II.4 Etiologi(1,3)
Data Centers for Disease Control and Prevention pada tahun 2011 didapatkan penyebab
cedera kepala antara lain:
a. Jatuh 35,2%
b. Penyebab yang tidak diketahui atau penyebab lain 21%
c. Kecelakaan lalu lintas 17,3%
d. Kecelakaan kerja, rumah tangga atau olahraga 16,5%
e. Kekerasan benda tumpul atau tajam 10%
Kebanyakan cedera kepala terjadi sekunder terhadap kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh,
penyerangan, kegiatan rekreasi, dan pelecehan anak. Persentase masing-masing faktor
berbeda antara studi, dan distribusi bervariasi sesuai dengan usia, kelompok, dan jenis
kelamin. Beberapa faktor (misalnya, gangguan kejang, gangguan perhatian defisit, dan
penggunaan alkohol dan narkoba) dikenal untuk meningkatkan kerentanan anak atau remaja
untuk jenis trauma. Bayi dan anak-anak lebih rentan terhadap penyalahgunaan karena
ketergantungan mereka pada orang dewasa dan ketidakmampuan untuk membela diri. (1,3)
Kecelakaan kendaraan bermotor mencapai 27-37% dari semua cedera kepala pediatrik.
Dalam kebanyakan kasus yang melibatkan anak-anak muda dari 15 tahun, korban adalah
pejalan kaki atau pengendara sepeda, pejalan kaki kecelakaan pada anak usia 5-9 tahun

adalah penyebab paling sering kedua kematian. Dewasa muda berusia 15-19 tahun cenderung
penumpang di kecelakaan, dan alkohol sering merupakan faktor penyebabnya.
Jatuh adalah penyebab paling umum dari cedera pada anak-anak muda dari 4 tahun,
berkontribusi 24% dari semua kasus trauma kepala. Kegiatan rekreasi memiliki distribusi
musiman, dengan puncak selama musim semi dan musim panas bulan. Mereka mewakili 21%
dari semua cedera otak anak, dengan kelompok rentan terbesar usia 10-14 tahun. (1,3)
II.5 Patofisiologi(1,3)
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan
cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari
suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan suatu benda keras
maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala. Pada trauma kapitis, dapat timbul
suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar
dan kecil, tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di
bawah area benturan disebut lesi kontusio coup, di seberang area benturan tidak terdapat
gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan
lesi kontusio countercoup.
Kepala tidak selalu mengalami akselerasi linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh
kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada
akselerasi rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa
akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup dan
intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi
kontusio coup dan countrecoup.
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar
saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak
(substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra
kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam
tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup).
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia otak
yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera sekunder
terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali jaringan
saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan,
menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel.
Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan aliran
kalsium, produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang berperan

dalam terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak. Neuron atau sel-sel
fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada suplai nutrien yang konstan
dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera metabolik bila suplai
terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume
darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam
otak.
II.6 Klasifikasi
Cedera kepala bisa diklasifikasikan atas berbagai hal. Untuk kegunaan praktis, tiga jenis
klasifikasi akan sangat berguna, yaitu berdasar mekanisme, usia, tingkat beratnya cedera
kepala serta berdasar morfologi.1
Klasifikasi cedera kepala:
A. Berdasarkan mekanisme
1. Cedera kepala tumpul, dapat disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau
pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan deselerasi yang
menyebabkan otak bergerak di dalam rongga cranial dan melakukan kontak pada protuberas
tulang tengkorak.
2. Cedera kepala tembus (penetrasi), disebabkan luka tembak atau pukulan benda tajam.
Dapat menyebabkan perdarahan dan kerusakan jaringan otak apabila tulang tengkorak
menusuk otak. Trauma kepala ini menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan lasersai
duramater. Setelah 2-3 hari akan tampak battle sign dan otorrhoe. Perdarahan dari telinga
dengan trauma kepala hampir selalu disebabkan oleh retak tulang dasar tengkorak. Fraktur
basis tengkorak tidak selalu dapat dideteksi oleh foto roentgen, sehingga harus diperhatikan
gejala dan tanda. Tanda-tanda klinik yang dapat membantu mendiagnosa adalah :
a. Battle sign (akibat fraktur yang meluas sampai ke belakang dan merusak sinus sigmoideus,
jaringan dibelakang telinga dan processus mastoideus mengakibatkan warna biru / ekhimosis
di belakang telinga di atas os mastoid)
b. Hemotimpanum (perdarahan di daerah gendang telinga)
c. Rhinorrhoe ( keluar cairan dari hidung)
d. Otorrhoe ( akibat fraktur yang merobek membran timpani atau merusak canalis auditori
externus)
e. Racoon eyes ( akibat fraktur di daerah anterior basis cranii yang mengakibatkan darah
masuk ke jaringan periorbita)

B. Berdasarkan Usia anak-anak


Trauma kepala merupakan kejadian yang sering dijumpai pada anak. Trauma kepala pada
anak berbeda dengan orang dewasa. Trauma kepala pada anak berdasarkan umur dibagi atas 2
:
1. anak usia di bawah 2 tahun
2. anak di atas 2 tahun.
Pembagian ini dilakukan oleh karena trauma kepala pada anak di bawah 2 tahun mempunyai
karakteristik pemeriksaan klinis yang lebih sulit, kerusakan intracranial umumnya
asimtomatik, sering terjadi keretakan tulang kepala akibat trauma ringan dan sering terjadi
kerusakan jaringan otak.
C. Berdasarkan Morfologi
a. Fraktur Kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat berbentuk garis/linear
atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun tertutup. Fraktur dasar tengkorak
biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan dengan teknik bonewindow untuk
memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan
petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.
Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit kepala
dengan permukaan otak karena robeknya selaput dura. Adanya fraktur tengkorak tidak dapat
diremehkan, karena menunjukkan bahwa benturan yang terjadi cukup berat. Menurut Japardi
(2004), klasifikasi fraktur tulang tengkorak sebagai berikut;
1. Gambaran fraktur, dibedakan atas :
a. Linier
b. Diastase
c. Comminuted
d. Depressed
2. Lokasi Anatomis, dibedakan atas :
a. Calvarium / Konveksitas ( kubah / atap tengkorak )
b. Basis cranii ( dasar tengkorak )
3. Keadaan luka, dibedakan atas :
a. Terbuka
b. Tertutup
b. Lesi Intra Kranial

1. Cedera otak difus


Mulai dari konkusi ringan, dimana gambaran CT scan normal sampai kondisi yang sangat
buruk. Pada konkusi, penderita biasanya kehilangan kesadaran dan mungkin mengalami
amnesia retro/anterograd. Cedera otak difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi
dari otak karena syok yang berkepanjangan atau periode apnoe yang terjadi segera setelah
trauma. Pada beberapa kasus, CT scan sering menunjukkan gambaran normal, atau gambaran
edema dengan batas area putih dan abu-abu yang kabur. Selama ini dikenal istilah Cedera
Aksonal Difus (CAD) untuk mendefinisikan trauma otak berat dengan prognosis yang buruk.
Penelitian secara mikroskopis menunjukkan adanya kerusakan pada akson dan terlihat pada
manifestasi klinisnya.
2. Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan gambarannya
berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering terletak di area temporal atau
temporo parietal yang biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea media akibat
fraktur tulang tengkorak.
3. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural. Perdarahan ini terjadi
akibat robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks serebri. Perdarahan subdural biasanya
menutupi seluruh permukaan hemisfer otak. Biasanya kerusakan otak lebih berat dan
prognosisnya jauh lebih buruk dibandingkan perdarahan epidural.
4. Kontusio dan perdarahan intraserebral
Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian besar terjadi di lobus frontal dan lobus temporal,
walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio serebri dapat, dalam
waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi perdarahan intra serebral yang membutuhkan
tindakan operasi.

D. Berdasarkan Beratnya
1. Cedera Kepala Ringan
Skor PGCS 13-15
Tidak ada kehilangan kesadaran atau kehilangan kesadaran kurang dari 30
menit, tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan neurologis

Amnesia post trauma kurang dari 24 jam


Gejala: mual, muntah, sakit kepala
2. Cedera Kepala Sedang
Skor PGCS 9-12
Penurunan kesadaran 30 menit sampai 1 minggu
Amnesia post trauma 24 jam 1 minggu
Terdapat kelainan neurologis seperti kelumpuhan saraf dan anggota gerak
3. Cedera Kepala Berat
Skor PGCS 3-8
Penurunan kesadaran lebih dari 1 minggu
Amnesia post trauma lebih dari 1 minggu

II.7 Pemeriksaan Fisik dan Neurologis(1,4)


Pasien trauma kepala sering memiliki beberapa cedera organ. Penilaian pasien dengan cedera
kepala berat meliputi survei primer dan survei sekunder. Survei primer adalah pemeriksaan
fisik terfokus ditujukan untuk mengidentifikasi dan mengobati kondisi yang mengancam jiwa
yang ada dalam pasien trauma dan dengan demikian mencegah cedera otak sekunder. Survei
sekunder pasien dengan trauma kepala adalah pemeriksaan rinci dan penilaian sistem
individu dengan tujuan mengidentifikasi semua luka traumatis dan mengarahkan perawatan
lebih lanjut.
I.Survei Primer
Airway
Pemeriksaan Airway harus diarahkan untuk mengidentifikasi keberadaan benda asing, gigi
lepas, luka wajah dan ketidakstabilan tulang, deviasi trakea, dan sianosis circumoral indikasi
hipoksia. Auskultasi jalan napas dapat menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas atas,
terutama ketika pola aliran turbulen dicatat.
Pernafasan
Apnea dan hipoventilasi sekunder untuk penyebab paru atau neurologis adalah temuan umum
pada pasien dengan trauma kepala. Saat ini, mereka menjamin intervensi langsung dan
intubasi endotrakeal, merawat untuk menjaga tulang belakang stabilisasi serviks pada pasien
dengan cedera tulang belakang leher yang diketahui atau dicurigai.
Sirkulasi

Triad Cushing (yaitu, bradikardia, hipertensi, dan perubahan respirasi), jika ada, adalah
manifestasi akhir menunjukkan herniasi.
Bila terdapat hipotensi, tidak boleh dianggap semata-mata untuk ICH. Beberapa penyebab
lain dapat menyebabkan temuan ini, termasuk namun tidak terbatas pada perdarahan internal
cedera tulang belakang, memar jantung, trauma dada dengan pneumotoraks dan / atau efek
hemothorax, obat atau alkohol, dan disritmia dengan gangguan curah jantung sekunder.
Hipotensi terkait dengan bradikardia pada pasien trauma harus dianggap sangat sugestif
cedera tulang belakang.
Neurologis
Responsiveness dinilai dengan waspada, verbal, nyeri, tidak responsif (AVPU) sistem dan
dengan Glasgow Coma Scale (GCS) dan modifikasi anak nya, Pediatric Glasgow Coma Scale
(PGCs). Para PGCs dikembangkan untuk anak-anak muda dari 5 tahun sebagai alat yang
lebih akurat yang akan menghindari kesalahan yang terjadi ketika GCS ini diterapkan kepada
anak-anak dan bayi dengan kemampuan verbal yang terbatas. Sebuah PGCs total skor 13-15
merupakan cedera ringan, skor 8-12 merupakan cedera sedang, dan skor yang lebih rendah
dari 8 merupakan cedera parah. (1,4)
SCORE

1 Year

Membuka

0-1 Year
mata

spontan

Membuka mata spontan


3

Membuka

mata

sesuai

perintah

Membuka

mata

karena

teriakan
2Membuka mata dengan respon nyeriMembuka mata dengan respon nyeri
1

Tidak ada respon Tidak ada

respon
Pediatric

Glasgow

Coma

> 5 Years 2-5 Years

0-2

Scale
SCORE
Years
5

Orientasi

dan

mampu

berbincang

Menggunakan kata-kata yang

tepat

Menangis dengan keras

Disorientasi

tidak tepat

Menangis

Kata-kata

Kata-kata
tidak

Mengangis

tepat
berteriak

Menangis / berteriak
2

mengerang mengerang
Mengerang

Tidak ada jawabanTidak ada

jawaban

Tidak ada jawaban

SCORE

1 Year

Mengikuti

0-1 Year
perintah

N/A
5

Mengetahui

lokasi

nyeri

Mengetahui lokasi nyeri


4

Reaksi

menghindar

Reaksi menghindar
3

Reaksi

flexi

(dekortikasi)

Reaksi flexi (dekortikasi)


2

Reaksi ekstensi (deserebrasi)


Reaksi ekstensi (deserebrasi)

Tidak ada respon Tidak ada

respon
Menurut North B and Reilly P., jumlah score yang normal :
Bayi baru lahir sampai umur
6 bulan, jumlah score 9
Umur 6 bulan sampai 12
bulan, jumlah score 11
Umur 12 bulan sampai umur
2 tahun, jumlah score 12
Umur 2 tahun sampai umur
5 tahun, jumlah score 13

Umur 5 tahun atau lebih,


jumlah score 14
II.

Survei Sekunder(1,4)

Kepala
Deformitas leher rahim, pembengkakan, nyeri dengan palpasi, langkah-off, atau
malalignment bisa menyarankan cedera stabil dari tulang belakang leher dan harus meminta
imobilisasi tulang belakang leher sampai tes diagnostik lebih lanjut diperoleh. Laserasi dan
depresi, jika ada, menjamin eksplorasi lebih lanjut untuk benda asing dan tulang yang
mendasari dan gangguan dural.
Battle Sign atau ekimosis di daerah retroauricular dan mastoid adalah patognomonik untuk
basilar patah tulang tengkorak. Ini adalah hasil dari darah bedah di daerah oksipital dan
mastoid dari tengkorak terganggu korteks. Mata rakun atau ekimosis periorbital merupakan
indikasi dari basilar patah tulang tengkorak. Itu juga merupakan hasil darah membedah dari
tengkorak terganggu korteks ke dalam jaringan lunak daerah periorbital.
Hemotympanum (darah di belakang membran timpani) menunjukkan fraktur tulang temporal
petrosa dan mungkin terkait dengan gangguan saraf kranial VII dan VIII.
CSF otorrhea dan rhinorrhea dapat hadir dengan basilar patah tulang tengkorak dan
merupakan hasil dari gangguan leptomeninges dan lempeng berkisi. Sebuah rekaman
oksidase glukosa dapat digunakan untuk membedakan antara rhinorrhea dan kebocoran CSF.
Pola Pernapasan
Apnea sekunder untuk kelumpuhan diafragma menunjukkan cedera tulang belakang yang
tinggi. Respirasi Cheyne-Stokes atau periode bolak hiperpnea dengan apnea menunjukkan
cedera pada belahan otak atau diencephalon. Hiperventilasi merupakan indikasi kerusakan
pada batang otak rostral atau tegmentum. Respirasi Apneustic, digambarkan sebagai
berkepanjangan akhir ekspirasi jeda, sekunder terhadap kerusakan dari tingkat pontine
midpontine atau ekor.
Pemeriksaan neurologis
GCS dan PGCs tidak termasuk pemeriksaan pupil. Untuk alasan ini, penilaian pupil harus
dilakukan setiap kali penilaian neurologis dilakukan. Penilaian ukuran pupil dan respon
terhadap cahaya dapat menghasilkan temuan yang signifikan berikut:
Dilatasi pupil ipsilateral dengan tidak ada respon terhadap rangsangan
langsung maupun konsensual terhadap cahaya - Hal ini disebabkan oleh
herniasi transtentorial dan kompresi dari serat parasimpatis dari saraf

kranial III
Bilateral, melebar, dan tidak responsif - Temuan ini merupakan
suatu pertanda buruk indikasi baik secara bilateral dikompresi saraf kranial
III atau anoksia serebral global dan iskemia.
Pupil melebar sepihak karena kompresi saraf kranial III dan biasanya menunjukkan herniasi
ipsilateral. Awalnya, refleks cahaya yang diawetkan, tetapi sebagai herniasi berlangsung dan
saraf kranial III dikompresi oleh lobus temporal, pupil menjadi tidak responsif terhadap
cahaya stimulus.
Ukuran pupil mungkin menyarankan tingkat cedera. Pinpoint pupil yang hadir dalam lesi
pontine. Pupil yang ada di midposition dan reaktif terhadap cahaya, tetapi mempertahankan
hippus dan respon terhadap akomodasi mengindikasikan otak tengah cedera tectum.
Sindrom Horner atau penyempitan pupil ipsilateral, ptosis, dan anhydrosis menemani
kerusakan hipotalamus dan gangguan jalur simpatik. Ini juga dapat menjadi tanda awal
herniasi transtentorial. Nystagmus, ketika hadir, menunjukkan cedera serebelum atau
vestibular. Menonjol dari ubun-ubun merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial
(ICP).
Deviasi mata tonik adalah sekunder untuk lesi kortikal, disfungsi saraf kranial, atau aktivitas
kejang. Perdarahan retina menunjukkan trauma kepala nonaccidental atau diderita
peningkatan ICP. Papilledema, hilangnya pulsasi vena, diamati dengan peningkatan ICP.
Refleks (misalnya, kornea, muntah, dan oculovestibular) dan adanya upaya pernapasan
spontan dapat membantu dalam menemukan tingkat cedera. Motor dan fungsi sensorik harus
dinilai untuk menentukan integritas dari sumsum tulang belakang. Refleks tendon dalam yang
simetris dan hiperaktif menunjukkan kepala atau cedera tulang belakang, sebagai lawan
refleks asimetris, yang menunjukkan lesi unilateral. Babinski refleks, dorsofleksi dari kaki
besar di stimulasi plantar, menunjukkan keterlibatan saluran piramida. Bayi mungkin
memiliki tanda positif biasanya, dan nilai dari tanda ini dalam kelompok usia ini terbatas.
Kemampuan motorik dinilai melalui pengamatan langsung gerakan spontan dan simetris,
melalui aplikasi tekanan ke kuku, atau melalui aplikasi pusat stimulus yang menyakitkan
(misalnya menggosok sternum). Temuan mungkin termasuk yang berikut:
Penurunan gerakan spontan atau keadaan normal, menunjukkan cedera
tulang lokal atau tulang belakang potensial
Posisi deserebrasi, menunjukkan kerusakan otak tengah
Posisi dekortikasi, menunjukkan kerusakan pada korteks serebral, materi

putih, atau ganglia basal


II.8 Pemeriksaan Penunjang(1,5)
Pemeriksaan Laboratorium
Hitung darah lengkap (CBC) harus dipantau serial, terutama ketika perdarahan dicurigai pada
pasien dengan trauma kepala. Studi kimia darah, termasuk tingkat amilase dan lipase,
memberikan informasi mengenai cedera organ lainnya.
Pemeriksaan profil koagulasi, waktu protrombin (PT), dengan rasio normalisasi internasional
(INR); diaktifkan parsial thromboplastin time (aPTT), dan tingkat fibrinogen harus diperoleh
pada pasien dengan trauma kepala karena pasien ini mungkin memiliki dasar atau traumadipicu koagulopati. Nilai gas darah arteri memberikan informasi mengenai oksigenasi,
ventilasi, dan status asam-basa dan dapat digunakan untuk membantu perawatan langsung
lebih lanjut.
Pemeriksaan toksikologi darah atau urin harus diperoleh di samping panel rutin, terutama
pada pasien yang telah terjadi perubahan status mental, kejang, dan sejarah yang tidak jelas.
CT-Scan(5)
Computed tomography (CT) dari kepala tetap studi pencitraan yang paling berguna untuk
pasien dengan trauma kepala berat atau tidak stabil beberapa cedera organ.
Indikasi untuk CT scan pada pasien dengan cedera kepala meliputi anisocoria, GCS skor
kurang dari 12 (beberapa studi menunjukkan CT scan dalam setiap pasien pediatrik dengan
skor GCS <15), kejang pasca trauma, amnesia, sakit kepala progresif, sejarah tidak dapat
diandalkan atau pemeriksaan karena kemungkinan alkohol atau konsumsi obat, kehilangan
kesadaran selama lebih dari 5 menit, tanda-tanda fisik dari basilar patah tulang tengkorak,
muntah berulang atau muntah selama lebih dari 8 jam setelah cedera, dan ketidakstabilan
setelah beberapa trauma.
Satu studi mencatat bahwa CT scan mungkin tidak diperlukan bagi anak-anak yang beresiko
sangat rendah untuk cedera otak traumatis klinis penting (TBI) setelah trauma kepala
tertutup. Dalam studi ini, aturan prediksi untuk anak-anak muda dari 2 tahun yang status
normal mental, tidak ada kulit kepala hematoma kecuali frontal, tanpa kehilangan kesadaran
atau kehilangan kesadaran kurang dari 5 detik, mekanisme cedera nonsevere, tidak ada patah
tulang tengkorak teraba, dan perilaku normal yang dianggap oleh orang tua. Aturan prediksi

untuk anak-anak dari 2 tahun yang status normal mental, tidak ada kehilangan kesadaran,
tidak muntah, mekanisme cedera nonsevere, tidak ada tanda-tanda patah tulang tengkorak
basilar, dan tidak ada sakit kepala berat.
Sebuah studi non-kontras berguna dalam periode posttrauma langsung untuk diagnosis cepat
patologi intrakranial yang membutuhkan intervensi operasi.
CT scan menyediakan informasi mengenai hal-hal berikut:
Integritas jaringan lunak dan tulang, ukuran ubun-ubun dan garis jahitan, dan adanya benda
asing
Munculnya struktur normal, ada atau tidak adanya perdarahan, dan tanda-tanda edema,
infark, atau memar
Efek massa seperti ditunjukkan oleh pergeseran garis tengah
Munculnya ventrikel dan tangki - Kompresi ventrikel adalah sugestif dari efek massa,
pembesaran ventrikel mungkin menyarankan pengembangan hidrosefalus dari perdarahan
intraventrikular atau penyumbatan oleh efek massa
Kehadiran edema serebral seperti yang ditunjukkan oleh hilangnya demarkasi materi abuabu-putih
Dengan tidak adanya kerusakan neurologis atau peningkatan tekanan intracranial (ICP),
pemeriksaan rutin CT scan ulang lebih dari 24 jam setelah masuk dan follow-up awal tidak
dapat diindikasikan untuk keputusan tentang intervensi bedah saraf.
MRI(5)
MRI adalah studi pencitraan lebih sensitif dibandingkan CT dalam pengaturan ini,
memberikan informasi lebih detil mengenai struktur anatomi dan pembuluh darah dan proses
mielinasi dan memungkinkan deteksi perdarahan kecil di daerah yang mungkin melarikan
diri CT scan.
MRI berguna untuk memperkirakan mekanisme awal dan luasnya cedera dan memprediksi
hasilnya pada pasien neurologis stabil. Hal ini tidak praktis dalam situasi darurat, karena
medan magnet menghalangi penggunaan monitor dan peralatan pendukung kehidupan yang
dibutuhkan oleh pasien yang tidak stabil. Selain itu, waktu yang dibutuhkan untuk
mendapatkan studi MRI yang tepat dapat menyebabkan keterlambatan tidak dapat diterima
dalam pengelolaan pasien dengan cedera otak traumatik yang parah.
Meskipun sensitivitas MRI dipahami lebih unggul CT untuk evaluasi intrakranial, itu tidak
mudah diperoleh akut setelah cedera dan belum secara luas divalidasi dalam studi besar,
khususnya mengenai pengaruh pada keputusan manajemen. Dalam prakteknya saat ini,

sedikit bukti mendukung penggunaan MRI dalam mempengaruhi manajemen pasien dengan
TBI parah.
Ultrasonografi
Ultrasonografi dapat dilakukan pada neonatus dan bayi kecil dengan ubun-ubun terbuka dan
dapat memberikan informasi mengenai perdarahan intrakranial atau obstruksi dari sistem
ventrikel.
II.9 Penatalaksanaan(1,6)
Terapi medis diarahkan untuk mengendalikan tekanan intrakranial (ICP) melalui pemberian
obat penenang dan neuromuskuler blocker, diuretik, dan antikonvulsan. Selain itu
mempertahankan cairan secukupnya juga tidak kalah pentingnya.
1. Cairan Intravena
Pertahankan cairan secukupnya agar tetap normovolemik untuk emnghindari dehidrasi dan
terjadinya syo akibat perdarahan. Jangan menggunakan cairan glukosa karena dapat
menyebabkan hiperglikemia yang berakibat memperberat dan memperburuk keadaan otak.
Beriksan cairan NaCl 0,9%.

2. Neuromuscular Blockers, Nondepolarizing


Nondepolarisasi neuromuscular blockers yang digunakan dalam kombinasi dengan obat
penenang sebagai bagian dari proses intubasi cepat-urutan atau sebagai sarana mengendalikan
ICP.
Vecuronium
Vecuronium digunakan untuk memfasilitasi intubasi endotrakeal dan memberikan relaksasi
neuromuscular selama intubasi dan ventilasi mekanik. Hal ini diberikan sebagai tambahan
untuk agen obat penenang atau hipnotis.
3. Anticonvulsants, Barbiturates
Barbiturat digunakan sebagai tambahan untuk intubasi pada pasien dengan trauma kepala dan
dalam pengelolaan ICP. Mereka juga dapat digunakan sebagai antikonvulsan. Penggunaannya
harus disertai dengan pemantauan hemodinamik yang tepat, karena dapat menyebabkan
hipotensi dan apnea / Hypopnea.
Thiopental

Thiopental is the drug of choice for endotracheal intubation of patients with head injury. It
also decreases the ICP. Thiopental facilitates transmission of impulses from the thalamus to
the cortex, resulting in an imbalance in central inhibitory and facilitative mechanisms.
Pentobarbital (Nembutal)
Pentobarbital adalah barbiturat short-acting dengan obat penenang, hipnotis, dan
antikonvulsan properti. Ini dapat digunakan dalam dosis tinggi untuk menginduksi koma
barbiturat untuk pengobatan refraktori peningkatan ICP.
Fenobarbital
Fenobarbital digunakan untuk kontrol kejang pada pasien dengan trauma kepala.
4. Anxiolytics, Benzodiazepines
Benzodiazepin dapat digunakan untuk mendapatkan kontrol langsung dari aktivitas kejang
atau sebagai tambahan untuk narkotika dan neuromuskuler blocker untuk mengontrol ICP.
Penggunaan jangka panjang obat ini dapat mengubah temuan pemeriksaan neurologis.
Midazolam
Midazolam adalah benzodiazepin short-acting dengan onset cepat tindakan. Hal ini berguna
dalam mengobati peningkatan ICP.
Lorazepam (Ativan)
Lorazepam adalah benzodiazepin long-acting digunakan sebagai antikonvulsan untuk kontrol
langsung dari aktivitas kejang.
5. Diuretics
Diuretik mungkin memiliki efek yang menguntungkan dalam menurunkan ICP dengan
menurunkan cairan cerebrospinal (CSF) produksi, istimewa buang air di atas zat terlarut, dan
mengurangi kekentalan darah, dengan perbaikan selanjutnya aliran darah otak (CBF).
Furosemide (lasix)
Furosemide adalah loop diuretik yang membantu menurunkan ICP melalui 2 mekanisme
terpisah. Salah satu mekanisme mempengaruhi pembentukan CSF dengan mempengaruhi
pergerakan natrium air melintasi penghalang darah-otak, mekanisme lain adalah ekskresi
preferensial air di atas zat terlarut dalam tubulus distal.
Mannitol (Osmitrol)
Manitol merupakan diuretik osmotik yang menurunkan kekentalan darah dan menghasilkan
vasokonstriksi serebral dengan CBF normal. Penurunan ICP terjadi setelah penurunan
volume darah otak (CBV).

6. Anticonvulsants
Antikonvulsan dianjurkan sebagai tindakan pencegahan untuk pasien pada peningkatan risiko
untuk aktivitas kejang setelah trauma kepala. Tidak terbukti adanya unsur efek yang
menguntungkan dalam pencegahan kejang lebih dari 1 minggu setelah trauma kepala. Obat
ini juga digunakan untuk kontrol langsung dari kejang.
Phenytoin (Dilantin, Phenytek)
Fenitoin dapat bertindak di korteks motorik, di mana hal itu mungkin menghambat
penyebaran aktivitas kejang. Hal ini juga dapat menghambat aktivitas dari pusat-pusat batang
otak bertanggung jawab untuk fase tonik dari grand mal kejang. Fenitoin lebih disukai untuk
fenobarbital untuk mengendalikan kejang karena tidak menyebabkan sebagai sistem saraf
banyak tengah (CNS) depresi.
Fosphenytoin
Fosphenytoin adalah garam ester difosfat fenitoin yang bertindak sebagai larut dalam air proobat fenitoin. Setelah pemberian, esterase plasma mengkonversi fosphenytoin untuk fosfat,
formaldehida, dan fenitoin. Fenitoin, pada gilirannya, menstabilkan membran saraf dan
menurunkan aktivitas kejang. Untuk menghindari kebutuhan untuk melakukan penyesuaian
berbasis berat molekul ketika mengkonversi antara fosphenytoin dan natrium dosis fenitoin,
mengungkapkan dosis seperti fenitoin setara natrium (PE). Meskipun fosphenytoin dapat
diberikan IV dan IM, rute IV merupakan rute pilihan dan harus digunakan dalam situasi
darurat.
Terapi non-medikamentosa seperti pembedahan diarahkan untuk mengembalikan tekanan
intrakranial (ICP) ke dalam batas normal, mengembalikan pergeseran midline, kontrol
perdarahan dan mencegah perdarahan ulang. Indikasi operasi pada cedera kepala harus
mempertimbangkan hal dibawah ini :
Status Neurologis
Status Radiologis
Ukuran Tekanan Intrakranial
Secara umum indikasi operasi pada hematoma intracranial :
Massa hematoma kira-kira mencapai 40 cc
Massa dengan pergeseran midline lebih dari 5 mm
EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran midline dengan GCS 8 atau
kurang

Kontusio Cerebri dengan diameter 2 cm dengan efek massa yang jelas atau pergeseran
midline lebih dari 5 mm
Pasien-pasien dengan penurunan kesadaran yang diikuti dengan peningkatan tekanan
intracranial lebih dari 25 mmHg.
II.10 Komplikasi(4)
Komplikasi jangka panjang dari cedera kepala yang umum pada anak-anak, dan mereka
terkait dengan cedera primer maupun sekunder. Kejang lebih sering diamati dengan kontusio
(lebih dengan hematoma subdural hematoma epidural dibandingkan dengan), depresi patah
tulang tengkorak, dan cedera kepala berat (skor PGCs, 3-5).
Cedera saraf kranial dapat mengembangkan sekunder untuk fraktur tengkorak basilar, efek
massa, atau herniasi. Cerebral oculomotor karena cedera tengkorak saraf VI, III, atau IV.
Trauma saraf VII menyebabkan kelumpuhan saraf wajah. Gangguan pendengaran dapat
terjadi karena cedera saraf kranial VIII.
Sindrom pasca trauma dapat berkembang setelah trauma kepala ringan sampai sedang dan
terdiri dari lekas marah, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi, gugup, dan kadang-kadang
perilaku atau gangguan kognitif. Gejala gegar otak mungkin lebih umum yang dilaporkan
sebelumnya, melibatkan komponen neurologis dan nonneurologic, dan membutuhkan
perhatian fisik, kognitif, dan gejala emosional (terutama untuk pasien dengan gejala
persisten).
Kebutaan kortikal, digambarkan sebagai kehilangan akut penglihatan setelah trauma kepala,
biasanya sembuh secara spontan dalam waktu 24 jam. Beberapa mekanisme telah terlibat,
termasuk edema serebral akut dan vasospasme sementara. Kebutaan kortikal sekarang
dianggap hasil dari perubahan transien kecil dalam fungsi otak yang dipicu oleh peristiwa
traumatis.
Trauma yang disebabkan migrain mungkin mulai dari menit sampai jam setelah cedera dan
dapat berlangsung dari jam ke hari. Beta-blocker merupakan obat pilihan untuk komplikasi
ini. Hasil Hidrosefalus baik dari obstruksi yang disebabkan oleh perdarahan intraventrikular
atau penurunan reabsorpsi CSF karena obstruksi protein dari vili arachnoid.
Edema paru neurogenik dianggap akibat iskemia medula yang mengarah ke peningkatan
tonus simpatik dengan peningkatan berikutnya dalam tekanan pembuluh darah paru dan
pergeseran dalam distribusi darah dari sistemik ke sirkulasi paru-paru. Infeksi paru sering
hadir pada pasien dengan trauma kepala karena baik proses aspirasi awal atau ventilasi
mekanis berkepanjangan.

Keseluruhan hasil bagi anak-anak dengan cedera kepala lebih baik daripada untuk orang
dewasa dengan skor cedera yang sama. Waktu untuk pemulihan maksimum setelah cedera
lebih panjang pada anak-anak (bulan ke tahun) dibandingkan pada orang dewasa (biasanya
sekitar 6 bulan ). Pasien dengan beberapa luka-luka organ, termasuk trauma kepala,
umumnya memiliki hasil yang jauh lebih buruk dibandingkan dengan cedera kepala saja.
Penilaian hasil didasarkan pada Pediatric Glasgow Coma Scale (PGCs) dapat digunakan
sebagai prediktor awal, tapi skala ini memiliki keterbatasan mengenai hasil jangka panjang.
Mekanisme cedera tampaknya menjadi prediktor signifikan dari hasil klinis dan fungsional di
debit untuk pasien cedera ekuivalen.
Menurut Pusat Nasional untuk Statistik Kesehatan, angka kematian dari trauma kepala adalah
29% pada populasi anak. Data ini didasarkan pada informasi kematian sertifikat, dan 29%
bisa menjadi meremehkan tingkat sebenarnya. Data yang dilaporkan oleh penelitian di pusatpusat trauma menunjukkan bahwa cedera kepala merupakan 75-97% kematian trauma
pediatrik.
Pasien dengan trauma kepala berat dan skor 3-5 PGCs memiliki kematian 6-35%, angka ini
meningkat menjadi 50-60% bagi mereka dengan skor PGCs dari 3. Dari mereka dengan skor
PGCs 3-5 yang bertahan hidup, 90% membutuhkan rehabilitasi setelah keluar rumah sakit,
dan sebagian besar dari mereka akhirnya kembali ke sekolah.
Faktor risiko yang terkait dengan peningkatan mortalitas anak-anak menderita pelecehan,
trauma kepala non-disengaja meliputi, tidak mengherankan, GCS rendah (3 atau 4-5),
perdarahan retina, perdarahan intraparenchymal dan edema serebral. Anehnya, kehadiran
subdural hematoma kronis dikaitkan dengan kelangsungan hidup.
Masalah memori jangka pendek dan waktu respon tertunda dilaporkan pada 10-20% anak
dengan cedera kepala sedang sampai berat (skor PGCs, 6-8), terutama jika koma berlangsung
lebih dari 3 minggu. Pasien dengan skor 6-8 PGCs yang paling mungkin untuk sadar kembali
dalam waktu 3 minggu, tetapi sepertiga yang tersisa dengan defisit neurologis fokal dan
kesulitan belajar, terutama ketika koma berlangsung di luar 3 minggu.
Lebih dari separuh anak-anak dengan skor 3-5 PGCs memiliki defisit neurologis permanen.
Pasien dengan skor PGCs dari 3 memiliki hasil neurologis sangat miskin. Sebuah studi yang
terutama diselidiki pasien TBI dewasa mengungkapkan bahwa korban TBI diabetes memiliki
rasio odds kematian yang tidak menguntungkan (1,5), dengan tren yang buruk bagi pasien
insulin-dependent diabetes daripada yang noninsulin-dependent. Penelitian ini menimbulkan
pertanyaan apakah defisiensi insulin dapat menyebabkan kematian TBI, baik bersama atau
bebas dari perubahan glukosa setelah TBI.

Setidaknya, poin penelitian ini bahwa insulin teliti dan manajemen glukosa pasien TBI
diabetes, insulin yang cocok untuk karbohidrat administrasi yang diperlukan, dapat
membantu mengurangi angka kematian TBI pada populasi ini. Perawatan masih harus
diambil untuk tidak menginduksi kejadian hipoglikemik pada pasien sakit kritis ketika
mencoba untuk menghindari kekurangan insulin yang berpotensi membahayakan.
II.11 Prognosis(1,2)
Keseluruhan hasil bagi anak-anak dengan cedera kepala lebih baik daripada untuk orang
dewasa dengan skor cedera yang sama. Waktu untuk pemulihan maksimum setelah cedera
lebih panjang pada anak-anak (bulan ke tahun) dibandingkan pada orang dewasa (biasanya
sekitar 6 bulan ). Pasien dengan beberapa luka-luka organ, termasuk trauma kepala,
umumnya memiliki hasil yang jauh lebih buruk dibandingkan dengan cedera kepala saja.
(1,2)
Penilaian hasil didasarkan pada Pediatric Glasgow Coma Scale (PGCs) dapat digunakan
sebagai prediktor awal, tapi skala ini memiliki keterbatasan mengenai hasil jangka panjang.
Mekanisme cedera tampaknya menjadi prediktor signifikan dari hasil klinis dan fungsional di
debit untuk pasien cedera ekuivalen.
Menurut Pusat Nasional untuk Statistik Kesehatan, angka kematian dari trauma kepala adalah
29% pada populasi anak. Data ini didasarkan pada informasi kematian sertifikat, dan 29%
bisa menjadi meremehkan tingkat sebenarnya. Data yang dilaporkan oleh penelitian di pusatpusat trauma menunjukkan bahwa cedera kepala merupakan 75-97% kematian trauma
pediatrik.
Pasien dengan trauma kepala berat dan skor 3-5 PGCs memiliki kematian 6-35%, angka ini
meningkat menjadi 50-60% bagi mereka dengan skor PGCs dari 3. Dari mereka dengan skor
PGCs 3-5 yang bertahan hidup, 90% membutuhkan rehabilitasi setelah keluar rumah sakit,
dan sebagian besar dari mereka akhirnya kembali ke sekolah. (1,2)
Masalah memori jangka pendek dan waktu respon tertunda dilaporkan dalam 10-20% dari
anak-anak dengan cedera kepala sedang sampai berat (skor PGCs, 6-8), terutama jika koma
berlangsung lebih dari 3 minggu. Pasien dengan skor 6-8 PGCs yang paling mungkin untuk
sadar kembali dalam waktu 3 minggu, tetapi sepertiga yang tersisa dengan defisit neurologis
fokal dan kesulitan belajar, terutama ketika koma berlangsung di luar 3 minggu. Lebih dari
separuh anak-anak dengan skor 3-5 PGCs memiliki defisit neurologis permanen. Pasien
dengan skor PGCs dari 3 memiliki hasil neurologis sangat miskin. (1,2)

BAB V
DAFTAR PUSTAKA
1.Verire MJ. Pediatric Head Trauma. Available at :
Http://emedicine.medscape.com/article/907273. Accessed on May 29, 2013.
2.Chelly H, Chaari A, Daoud E, et al. Diffuse axonal injury in patients with head injuries: an
epidemiologic and prognosis study of 124 cases. J Trauma. Oct 2011;71(4):838-46.
3.Hymel KP, Stoiko MA, Herman BE, et al. Head injury depth as an indicator of causes and
mechanisms. Pediatrics. p. 712-20.
4.Pinto PS, Poretti A, Meoded A, Tekes A, Huisman TA. The unique features of traumatic
brain injury in children. Review of the characteristics of the pediatric skull and brain,
mechanisms of trauma, patterns of injury, complications and their imaging findings--part 1. J
Neuroimaging. p. 1-17.
5.Cakmakci H. Essentials of trauma: head and spine. Pediaticr Radiology. 39 Suppl 3: p. 391405.
6.Kochanek PM, Carney N, Adelson PD, et al. Guidelines for the acute medical management
of severe traumatic brain injury in infants, children, and adolescents--second edition. Pediatr
Crit Care Med. p. 1-82.

Anda mungkin juga menyukai