LAPORAN KASUS
IDENTITAS
Data
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Alamat
Agama
Suku bangsa
Pendidikan
Pekerjaan
Penghasilan
Keterangan
Pasien
Ayah
An. A
Tn. H
6 tahun
50 tahun
Perempuan
Laki-laki
Kampung pintu air RT 004 RW 07
Islam
Islam
Jawa
SMA
wiraswasta
Hubungan dengan
Ibu
Ny. M
45 tahun
Perempuan
Islam
SMA
IRT
-
Kandung
5 Juni 2016
RS
II
ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis pada Ibu pasien, pada , 5 Juni 2016 pukul
15.00 WIB di ruang Melati, RSUD Kota Bekasi.
a
Keluhan Utama :
Demam naik turun sejak 6 hari yang lalu sebelum masuk Rumah Sakit.
b Keluhan Tambahan :
Batuk berdahak, pilek
c
sejak enam hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga mengeluh batuk berdahak
dan pilek sejak 3 hari yang lalu. Keluhan seperti mual,muntah dan diare disangkal.. Buang air
kecil (BAK) lancar, berwarna kuning jernih dan tidak nyeri.
Pasien sudah berobat ke dokter dan di beri paracetamol, setelah minum obat panas
menjadi berkurang namun tidak beberapa lama panas muncul kembali. Selama sakit nafsu
makan pasien berkurang dan tampak lemas. Tidak ada riwayat bepergian keluar kota, alergi
makanan maupun alergi obat.
d Riwayat Penyakit Dahulu
Penyakit
Alergi
Cacinga
Umur
-
Penyakit
Difteria
Diare
Umur
-
Penyakit
Jantung
Ginjal
Umur
-
n
DBD
Kejang
Darah
Thalassemi
Thypoid
Otitis
Parotis
Maag
Varicela
Asma
Radang paru
Tuberkulosis
Morbili
a
-
Morbiditas kehamilan
Perawatan antenatal
Tempat kelahiran
Penolong persalinan
Cara persalinan
Masa gestasi
Tidak ada
Periksa ke bidan 1 kali tiap bulan
Rumah Sakit
Bidan
Spontan
40 minggu
BBL : 2800 gram
Keadaan bayi
PB : 50 cm
Langsung menangis, merah
Apgar score tidak tahu
Pertumbuhan gigi I
Psikomotor
Tengkurap
: Usia 4 bulan
Duduk
: Usia 7 bulan
(normal: 6 bulan)
Berdiri
: Usia 12 bulan
Bicara
: Usia 11 bulan
Berjalan
: usia 12 bulan
(normal: 13 bulan)
Riwayat Imunisasi :
Vaksin
BCG
DPT
POLIO
CAMPAK
HEPATITIS B
1 bln
2 bln
Lahir
9 bln
Lahir
Dasar (umur)
Hib
2 bln
4 bln
2 bln
6 bln
4 bln
1 bln
6 bln
4 bln
6 bln
Ulangan (umur)
6 bln
Kesan : Riwayat imunisasi pasien menurut PPI lengkap, ibu pasien tidak ingat jadwal
imunisasi ulangan pasien.
J
Riwayat Keluarga
Ayah
Ibu
Nama
Tn. H
Ny. M
Perkawinan ke
1
1
Umur
50
45
Keadaan kesehatan
Sehat
Sehat
Kesan : Keadaan kesehatan kedua orang tua dalam keadaan baik
k Riwayat Perumahan dan Sanitasi :
Pasien tinggal di rumah sendiri. Dinding terbuat dari tembok. atap terbuat dari genteng,
ventilasi cukup. Menurut pengakuan ibu pasien, keadaan lingkungan rumah padat, ventilasi
dan pencahayaan baik. sumber air bersih berasal dari air PAM.
III
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada hari Jumat, tanggal 7 Juni 2016, pukul 12.00 WIB, di
Ruang Melati
a
Keadaan umum :
Kesadaran compos mentis , tampak sakit sedang, pucat dan tampak lemas.
b PAT
- A : Interactivity (+) look (+), speech (+), tonus (+), consolability (-)
- B : nafas spontan, napas cuping hidung (-), retraksi (-)
- C : pucat (+), mottled (-), sianosis (-)
c Tanda Vital
- Kesadaran
: Compos mentis
- Tekanan darah
: 100/80 mmHg
- Frekuensi nadi
: 90x/menit
- Frekuensi pernapasan
: 30x/menit
- Suhu tubuh
: 37,3 o C
d. Data Antropometri
-
Berat badan
: 15 kg
Tinggi badan
: 100 cm
d Kepala
Bentuk
: Normocephali
Rambut
Wajah
: Dismorfik
Mata
: Conjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-, pupil bulat isokor, RCL+/+, RCTL
+/+
Telinga
Hidung
: Bentuk normal, sekret -/-, nafas cuping hidung -/-, bekas mimisan (-)
Mulut
: bibir kering (+) , lidah kotor (-), tonsil T1/T1, faring hiperemis (-)
Leher
e Thorax
Paru-paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Jantung
Inspeks
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
f
-
: Bentuk normal
Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Palpasi
Perkusi
Kulit
h Ekstremitas
:
Superior
-/-/>2
-/Normotonus
Normotrofi
Akral Dingin
Akral Sianosis
CRT
Oedem
Tonus Otot
Trofi Otot
IV
Inferior
-/-/>2
-/Normotonus
Normotrofi
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil
4.7
7.6
22.4
32
131
3.9
96
Nilai normal
5-10
11-14,5
40-54
150-400
135-145
3.5-5.0
94-111
Satuan
ribu/Ul
g/dL
%
ribu/uL
mmol/L
mmol/L
mmol/L
Hasil
5.8
3.59
8.8
26
118
20
Nilai normal
5-10
4-5
11-14,5
37-47
150-400
0-10
Satuan
ribu/Ul
Juta/Ul
g/dL
%
ribu/uL
mm
72.5
24.6
34.0
75-87
24-30
31-37
fL
pg
%
0
2
2
37
54
<1
1-3
2-6
52-70
20-40
%
%
%
%
%
Monosit
2-8
PENATALAKSANAAN
a Medikamentosa
IVFD RL 20 tpm
Cefotaxime 2x 500 mg
Ondancentron 3x2 mg
b Nonmedikamentosa
VI.
Pro PICU
Tirah baring
Asupan cairan yang cukup
Pengawasan tanda vital dan tanda-tanda syok
Pemeriksaan lab H2TL /8jam
PROGNOSIS
Ad vitam
Ad fungsionam
Ad sanationam
VII.
FOLLOW UP
: Ad bonam
: Dubia Ad Bonam
: Dubia Ad Bonam
6 Juni 2016
S
O
IVFD RL 20 tpm
Cefotaxime 2x 500 mg
Ondancentron 3x2 mg
BAB III
ANALISA KASUS
Seorang anak datang Ke IGD diantar orang tuanya dengan keluhan demam naik turun
sejak enam hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga mengeluh batuk berdahak
dan pilek sejak 3 hari yang lalu. Keluhan seperti mual,muntah dan diare disangkal.. Buang air
kecil (BAK) lancar, berwarna kuning jernih dan tidak nyeri.
Pasien sudah berobat ke dokter dan di beri paracetamol, setelah minum obat panas
menjadi berkurang namun tidak beberapa lama panas muncul kembali. Selama sakit nafsu
makan pasien berkurang dan tampak lemas. Tidak ada riwayat bepergian keluar kota, alergi
makanan maupun alergi obat.
Didapatkan dari pemeriksaan fisik yaitu dari keadaan umum yaitu Kesadaran compos
mentis , tampak sakit sedang, pucat dan tampak lemas.tanda vital didpatkan tekanan darah
tekanan darah 100/80 mmHg, Frekuensi nadi : 90x/menit, Frekuensi pernapasan 30x/menit,
Suhu tubuh 37,3 o C. Pada status generalis didapatkan conjungtiva anemis (+/+), wajah
dismorfik (fascies cooley). Pada pemeriksaan laboratorium darah didapatkan adanya
leukopenia, trombositopenia dan anemia. Dan pada pemeriksaan gambaran darah tepi
didapatkan kesan anemia mikrositik hipokrom dengan leukopenia.
Adapun gejala tersebut mengarahkan pasien ke arah suspek thalasemia. Gambaran
klinis pada pasien ini yang mengarah ke thalasemia yaitu:
Facies cooley
Terjadi keaktifan sumsum tulang yang luar biasa pada tulang muka dan tulang
tengkorak hingga nengakibatkan perubahan perkembangan tulang tersebut dan
umumnya terjadi pada anak usia lebih dari 2 tahun.
Pucat merupakan gejala umum pada penderita thalassemia, yang berkaitan dengan
anemia berat. Penyebab anemia pada thalassemia bersifat primer dan sekunder.
Primer adalah berkurangnya sintesis Hb A dan eritropoesis yang tidak efektif disertai
penghancuran sel-sel eritrosit intramedular. Sedangkan yang sekunder mengakibatkan
hemodilusi, dan destruksi eritrosit oleh sistem retikuloendotelial dalam limpa dan hati
pemeriksaan
penunjang
didapatkan
adanya
anemia,
leukopenia
dan
trombositopenia. Lalu pada pemeriksaan gambaran darah tepi didapatkan anemia mikrositik
hipokrom. Secara teori thalasemia sering terjadi gangguan perdarahan akibat rombositopenia
maupun kegagalan hati akibat penimbunan besi, infeksi dan hemapoiesis ekstramedular. Pada
thalasemia homozigot, sintesis rantai tidak mengalami perubahan dan tidak mampu
membentuk Hb tetramer. Ketidak-seimbangan sintesis dari rantai polipeptida ini
mengakibatkan kelebihan adanya rantai bebas di dalam sel darah merah yang berinti dan
retikulosit. Rantai bebas ini mudah teroksidasi. Mereka dapat beragregasi menjadi suatu
inklusi protein (haeinz bodys), menyebabkan kerusakan membran pada sel darah merah dan
destruksi dari sel darah merah imatur dalam sumsum tulang sehingga jumlah sel darah merah
matur yang diproduksi menjadi berkurang sehingga sel darah merah yang beredar menjadi
kecil, terdistorsi, dipenuhi oleh inklusi globin, dan mengandung komplemen hemoglobin
yang menurun dan memberikan gambaran dari Anemia Cooley/anemia mikrositik hipokrom
yaitu hipokromik, mikrosisitk dan poikilositik.
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
Thalasemia adalah salah satu dari penyakit genetik yang diwariskan dari orang tua
kepada anaknya dimana terjadi kelainan sintesis hemoglobin yang heterogen akibat
pengurangan produksi satu atau lebih rantai gloin yang menyebabkan ketidakseimbangan
produksi rantai globin.
A. SEJARAH
Sejarah thalasemia dimulai di eropa, dimana seorang peneliti bernama Riettedan
Wintrobe mendeskripsikan mengenai adanya anemia mikrositik hipokrom yang tak
terjelaskan pada anak-anak keturunan itali dan dilaporkan adanya anemia ringan pada kedua
orangtua dari anak-anak yang mengidap anemia tersebut. Pada saat yang bersamaan, seorang
dokter spesialis anak, Thomas Cooley juga mendeskripsikan suatu tipe anemia berat pada
anak-anak yang berasal dari italia dimana beliau menemukan adanya nukleasi sel darah
merah yang masif pada sapuan apus darah tepi yang semula diduga anemia eritroblastik.
Namun tak lama, Cooley menyadari bahwa eritoblastik tidak spesifik pada temuan ini dan
temuan ini sangat mirip dengan kelainan darah yang ditemukan oleh Riettedan. Sehingga
kelainan darah ini dinyatakan sebagai bentuk homozigot dari anemia hipokrom mikrositik
yang kemudian diberi labelisasi sebagai thalassemia mayor sedangkan bentuk ringannya
dinamakan thalassemia minor. Kata thalassemia berasal dari bahasa yunani yaitu thalassa
yang berarti laut dan emia yang berarti berhubungan dengan darah.
B. EPIDEMIOLOGI
WHO (2006) meneliti kira-kira 5% penduduk dunia adalah carrier dari 300-400 ribu
bayi thalassemia yang baru lahir pertahunnya. Frekuensi gen thalassemia di Indonesia
berkisar 3-10%. Berdasarkan angka ini, diperkirakan lebih 2000 penderita baru dilahirkan
setiap tahunnya di Indonesia. Salah satu RS di Jakarta, sampai dengan akhir tahun 2003
terdapat 1060 pasien thalassemia mayor yang berobat jalan di Pusat Thalassemia Departemen
Anak FKUI-RSCM yang terdiri dari 52,5 % pasien thalassemia homozigot, 46,2 % pasien
thalassemia HbE, serta thalassemia 1,3%. Sekitar 70-80 pasien baru, datang tiap tahunnya.
Fakta ini mendukung thalasemia sebagai salah satu penyakit turunan yang terbanyak dan
menyerang hampir semua golongan etnik dan terdapat di seluruh negara di dunia termasuk
Indonesia.
C. PATOFISIOLOGI
Talasemia merupakan salah satu bentuk kelainan genetik hemoglobin yang ditandai
dengan kurangnya atau tidak adanya sintesis satu rantai globin atau lebih, sehingga terjadi
ketidak seimbangan jumlah rantai globin yang terbentuk. Mutasi gen pada globin alfa akan
menyebabkan penyakit alfa- thalassemia dan jika itu terjadi pada globin beta maka akan
menyebabkan penyakit beta-thalassemia
Secara genetik, gangguan pembentukan protein globin dapat disebabkan karena
kerusakan gen yang terdapat pada kromosom 11 atau 16 yang ditempati lokus gen globin.
Kerusakan pada salah satu kromosom homolog menimbulkan terjadinya keadaan heterozigot,
sedangkan kerusakan pada kedua kromosom homolog menimbulkan keadaan homozigot (-/-).
Pada thalassemia homozigot, sintesis rantai menurun atau tidak ada sintesis sama sekali.
Ketidakseimbangan sintesis rantai alpha atau rantai non alpha, khususnya kekurangan sintesis
rantai akan menyebabkan kurangnya pembentukan Hb.
Ketidakseimbangan dalam rantai protein globin alfa dan beta disebabkan oleh sebuah gen
cacat yang diturunkan. Untuk menderita penyakit ini, seseorang harus memiliki 2 gen dari
kedua orang tuanya. Jika hanya 1 gen yang diturunkan, maka orang tersebut hanya menjadi
pembawa/carier.
Thalasemia beta
Secara biokimia kelainan yang paling mendasar adalah menurunnya biosintesis dari unit
globin pada Hb A. Pada thalasemia heterozigot, sintesis globin kurang lebih separuh
dari nilai normalnya. Pada thalasemia homozigot, sintesis globin dapat mencapai nol.
Karena adanya defisiensi yang berat pada rantai , sintesis Hb A total menurun dengan
sangat jelas atau bahkan tidak ada, sehingga pasien dengan thalasemia homozigot
mengalami anemia berat. Sebagai respon kompensasi, maka sintesis rantai menjadi
teraktifasi sehingga hemoglobin pasien mengandung proporsi Hb F yang meningkat. Namun
sintesis rantai ini tidak efektif dan secara kuantitas tidak mencukupi.
Pada thalasemia homozigot, sintesis rantai tidak mengalami perubahan dan tidak
mampu membentuk Hb tetramer. Ketidak-seimbangan sintesis dari rantai polipeptida ini
mengakibatkan kelebihan adanya rantai bebas di dalam sel darah merah yang berinti dan
retikulosit. Rantai bebas ini mudah teroksidasi. Mereka dapat beragregasi menjadi suatu
inklusi protein (haeinz bodys), menyebabkan kerusakan membran pada sel darah merah dan
destruksi dari sel darah merah imatur dalam sumsum tulang sehingga jumlah sel darah merah
matur yang diproduksi menjadi berkurang sehingga sel darah merah yang beredar menjadi
kecil, terdistorsi, dipenuhi oleh inklusi globin, dan mengandung komplemen hemoglobin
yang menurun dan memberikan gambaran dari Anemia Cooley/anemia mikrositik hipokrom
yaitu hipokromik, mikrosisitk dan poikilositik.
Sel darah merah yang sudah rusak tersebut akan dihancurkan oleh limpa, hepar, dan
sumsum tulang, menggambarkan komponen hemolitik dari penyakit ini. Sel darah merah
yang mengandung jumlah Hb F yang lebih tinggi mempunyai umur yang lebih panjang.
Anemia yang berat terjadi akibat adanya penurunan oksigen carrying capacity dari
setiap eritrosit dan tendensi dari sel darah merah matur (yang jumlahnya sedikit) mengalami
hemolisa secara prematur.
Eritropoetin meningkat sebagai respon adanya anemia, sehingga sumsum-sumsum
tulang dipacu untuk memproduksi eritroid prekusor yang lebih banyak. Namun mekanisme
kompensasi ini tidak efektif karena adanya kematian yang prematur dari eritroblas. Hasilnya
adalah suatu ekspansi sumsum tulang yang masif yang memproduksi sel darah merah baru.
Sumsum tulang mengalami ekspansi secara masif, menginvasi bagian kortikal dari
tulang, menghabiskan sumber kalori yang sangat besar pada umur-umur yang kritis pada
pertumbuhan dan perkembangan, mengalihkan sumber-sumber biokimia yang vital dari
tempat-tempat yang membutuhkannya dan menempatkan suatu stress yang sangat besar pada
jantung. Secara klinis terlihat sebagai kegalan dari pertumbuhan dan perkembangan,
kegagalan jantung high output, kerentanan terhadap infeksi, deformitas dari tulang, fraktur
patologis, dan kematian di usia muda tanpa adanya terapi transfusi.
Jika seseorang memiliki 1 gen beta globin normal, dan satu lagi gen yang sudah
termutasi, maka orang itu disebut carier/trait.
II.D.I. Thalasemia
II.D.I.1. Thalasemia homozigot (0)
Sindrom hidrops Hb Barts biasanya terjadi dalam rahim. Bila hidup hanya dalam
waktu pendek. Gambaran klinisnya adalah hidrops fetalis dengan edema permagna dan
hepatosplenomegali. Kadar Hb 6-8 g/dl dengan eritrosit hipokromik dan beberapa berinti.
Kadar Hb Barts 80% dan sisanya Hb portland. Biasanya keadaan ini disertai toksemia
gravidarum, perdarahan post partum dan masalah karena hipertrofi plasenta. Pada
pemeriksaan otopsi memperlihatkan adanya peningkatan kelainan bawaan. Beberapa bayi
berhasil diselamatkan dengan transfusi tukar dan berulang serta pertumbuhannya bisa
mencapai normal.
Gambar Hidrops fetalis :
beberapa kasus, penderita bisa tergantung transfusi sedangkan sebagian besar kasus
umumnya penderita bisa tumbuh normal tanpa transfusi.
II.D.I.3. Karier thalasemia
Bisa berasal dari thalasemia 0 (-/) atau thalasemia (-/-). Biasanya asimptomatis,
didapatkan anemia mikrositik hipokrom ringan dengan penurunan MCH dan MCV yang
bermakna. Hb elektroforesisn normal dan pasien hanya bisa didiagnosis dengan analisa DNA.
Pada masa neonatus, Hb Barts 5-10 % tapi tidak didapatkan HbH pada masa dewasa dan
kadang bisa didapatkan inklusi pada eritrosit karier thalasemia .
II.D.I.4. Karier thalasemia silent
Bentuk heterozigot karier thalasemia + (/). Memiliki gambaran darah yang
abnormal tetapi dengan elektroforesis normal. Saat lahir 50% kasus memiliki Hb Barts 1-3%
tapi tidak adanya Hb Barts tidak menyingkirkan diagnosa kasus ini.
II.D.II. Thalasemia
Hampir semua anak dengan thalasemia homozigot dan heterozigot memperlihatkan
gejala klinis sejal lahir yaitu gagal tumbuh, infeksi berulang, kesulitan makan, kelemahan
umum. Bayi tampak pucat dan terdapat splenomegali. Bila menerima transfusi berulang,
pertumbuhannya bisa normal hingga pubertas.
Pada anak yang mendapat transfusi dan terapi chelasi (pengikat besi), anak bisa
mencapai pubertas dan terus mencapai usia dewasa dengan normal. Bila terapi chelasi tidak
adekuat, secara bertahap akan terjadi penumpukkan besi yang efeknya mulai nampak pada
dekade pertama. Adolscent growth spurt tidak akan tercapai, komplikasi ke hati, endokrin,
dan jantung.
Gambaran klinis pada pasien yang tidak mendapat terapi adekuat yaitu :
Facies cooley
Terjadi keaktifan sumsum tulang yang luar biasa pada tulang muka dan tulang
tengkorak hingga nengakibatkan perubahan perkembangan tulang tersebut dan
umumnya terjadi pada anak usia lebih dari 2 tahun
Perut membuncit
Pada anak yang besar tampak perut yang membuncit akibat pembesaran hati dan
limpa. Hati dan limpa membesar akibat dari hemopoisis ekstrameduler dan
hemosiderosis. Dan akibat dari penghancuran eritrosit yang berlebihan itu dapat
menyebabkan terjadinya peningkatan biliribin indirek, sehingga menimbulkan kuning
pada penderita thalassemia dan kadang ditemui trombositopenia.
Bila pasien ini mencapai pubertas, akan timbul komplikasi akibat penimbunan besi
yaitu Keterlambatan menarke (pada anak perempuan) dan gangguan perkembangan
sifat seks sekunder akibat dari hemosiderosis yang terjadi pada kelenjar endokrin.
Darah rutin
Hitung retikulosit
Hitung retikulosit meningkat antara 2-8 %.
LFT
Kadar unconjugated bilirubin akan meningkat sampai 2-4 mg%. bila angka
tersebut sudah terlampaui maka harus dipikir adanya kemungkinan hepatitis,
obstruksi batu empedu dan cholangitis. Serum SGOT dan SGPT akan meningkat
dan menandakan adanya kerusakan hepar. Akibat dari kerusakan ini akan
berakibat juga terjadi kelainan dalam faktor pembekuan darah.
2. Elektroforesis Hb
4. Pemeriksaan roentgen
Ada hubungan erat antara metabolisme tulang dan eritropoesis. Bila tidak mendapat
tranfusi dijumpai osteopeni, resorbsi tulang meningkat, mineralisasi berkurang, dan dapat
diperbaiki dengan pemberian tranfusi darah secara berkala. Apabila tranfusi tidak optimal
terjadi ekspansi rongga sumsum dan penipisan dari korteknya. Trabekulasi memberi
gambaran mozaik pada tulang. Tulang terngkorak memberikan gambaran yang khas, disebut
dengan hair on end yaitu menyerupai rambut berdiri potongan pendek pada anak besar.
Hair on end
II.G. PENGOBATAN
Prinsip pengobatan pada pasien talasemia adalah :
penatalaksanaan splenomegali
Pada anak dengan thalassemia mayor beta membutuhkan pelayanan kesehatan yang
terus menerus seumur hidupnya.
A. Tranfusi darah
Pemberian tranfusi darah ditujukan untuk mempertahankan dan memperpanjang umur
atau masa hidup pasien dengan cara mengatasi komplikasi anemia, memberi kesempatan
pada anak untuk proses tumbuh kembang, memperpanjang umur pasien. Terapi tranfusi darah
dimulai pada usia dini ketika ia mulai menunjukkan gejala simtomatik. Transfusi darah
dilakukan melalui pembuluh vena dan memberikan sel darah merah dengan hemoglobin
normal. Untuk mempertahankan keadaan tersebut, transfusi darah harus dilakukan secara
rutin karena dalam waktu 120 hari sel darah merah akan mati. Khusus untuk penderita beta
thalassemia intermedia, transfuse darah hanya dilakukan sesekali saja, tidak secara rutin.
Sedangkan untuk beta thalssemia mayor (Cooleys Anemia) harus dilakukan secara teratur
Tranfusi darah diberikan bila Hb anak < 7 gr/dl dyang diperiksa 2x berturut dengan
jarak 2 mingg dan bila kadar Hb > 7 gr/dl tetapi disertai gejala klinis seperti Facies Cooley,
gangguan tumbuh kembang, fraktur tulang curiga adanya hemopoisis ekstrameduler. Pada
penanganan selanjutnya, transfusi darah diberikan Hb 8 gr/dl sampai kadar Hb 11-12 gr/dl.
Darah diberikan dalam bentuk PRC, 3 ml/kgBB untuk setiap kenaikan Hb 1 g/dL.
B. Kelasi Besi
Pasien thalasemia dengan terapi tranfusi biasanya meninggal bukan karena penyakitnya
tapi karena komplikasi dari tranfusi darah tersebut. Komplikasi tersebut adalah penumpukan
besi diberbagai organ.
Desferoxamine diberikan setelah kadar feritin serum sudah mencapai 1000 mg/L atau
saturasi transferin sudah mencapai 50 %, atau sekitar setelah 10 -20 kali transfusi. Pemberian
dilakukan secara subkutan melalui pompa infus dalam waktu 8-12 jam dengan dosis 25-35
mg/kg BB/hari, minimal selama 5 hari berturut-turut setiap selesai transfusi darah. Dosis
desferoxamine tidak boleh melebihi 50 mg/kg/hari. Evaluasi teratur terhadap toksisitas
desferoxamin direkomendasikan pada semua pasien yang mendapat terapi ini.
Saat ini sudah tersedia kelasi besi oral, namun penggunaannya di Indonesia belum
dilakukan.
C. Suplemen Asam Folat
Asam folat adalah vitamin B yang dapat membantu pembangunan sel-sel darah merah
yang sehat. Suplemen ini harus tetap diminum di samping melakukan transfusi darah ataupun
terapi khelasi besi.. Asam Folat 2x1 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.
D. Splenektomi
Indikasi :
Alternatif lain, memeriksakan setiap wanita hamil muda berdasarkan ras. Skrining
yang efektif adalah melalui eritrosit. Bila MCV dan MCH sesuai gambaran thalasemia,
perkiraan kadar HbA harus diukur. Bila kadarnya normal, pasien dikirim ke pusat yang
menganalisis gen. Penting untuk memeriksa Hb elektroforesa pada kasus-kasus ini untuk
mencari kemungkinan variasi struktural Hb.
II.H.2 PENCEGAHAN
Ada 2 pendekatan untuk menghindari thalasemia, yaitu :
Karena karier thalasemia bisa diketahui dengan mudah, skrining populasi dan
konseling tentang pasangan bisa dilakukan. Bila heterozigot menikah, 1 dari 4 anak
mereka bisa menjadi homozigot atau gabungan heterozigot
Bila ibu heterozigot sudah diketahui sebelum lahir, pasangan bisa diperiksa dan bila
termasuk karier, pasangan tersebut ditawari diagnosis prenatal dan terminasi
kehamilan pada fetus dengan thalasemia berat
DAFTAR PUSTAKA
1. Berhman, RE; Kliegman, RM ; Arvin: Nelson Ilmu Kesehatan Anak, volume 2, edisi
15. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta : 2005, hal1708-1712
2. Berhman, RE; Kliegman, RM and Jensen, HB: Nelson Text Book of Pediatrics, 16th
edition. WB Saunders company, Philadelphia: 2000, page 1630-1634
3. Permono, H. BAmbang; Sutaryo; Windiastuti, Endang; Abdulsalam, Maria; IDG
Ugrasena: Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak, Cetakan ketiga. Penerbit Badan
Penerbit IDAI, Jakarta : 2010, hlm 64-84
4. A.V. Hoffbrand and J.E. Pettit; alih bahasa oleh Iyan Darmawan : Kapita Selekta
Haematologi, edisi ke 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta : 1996, hal 66-85
5. Children's Hospital & Research Center Oakland. 2005. What is Thalassemia and
Treating Thalassemia.
6. Markum : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak jilid 1. FKUI, Jakarta : 1991, hal 331
7. Paediatrica Indonesiana, The Indonesian Journal of pediatrics and Perinatal Medicine,
volume 46, No.5-6. Indonesian Pediatric Society, Jakarta: 2006, page 134-138