Anda di halaman 1dari 3

USWATUN HASANAH (A.2014.5.

32942)
1.Perbedaan Sistem Keuangan dan Ekonomi Syariah & Konvensional ?
Secara singkat, perbedaan antara sistem konvensional dengan sistem syariah pada lembaga
keuangan dapat digambarkan sebagai berikut:
Bank
Bank konvensional menerapkan sistem pinjam-meminjam dengan menggunakan sistem bunga yang
merupakan tambahan atas pinjaman, di mana tambahan ini atau bunga diharamkan dalam syariah
Islam. Dalam hal ini, apapun yang terjadi dengan yang meminjam uang, baik untung maupun rugi,
maka yang meminjam harus membayar bunga sesuai dengan yang ditetapkan oleh Bank.
Sementara Bank syariah tidak menerapkan sistem pinjam-meminjam, melainkan sistem kerjasama
atau jual beli. Misalnya kerjasama antara pemilik modal dengan pengusaha (mudharobah), yang
disepakati adalah jika untung, maka dilakukan pembagian keuntungan dengan proporsi yang
ditetapkan atau disepakati. Bisa juga jual beli (murabahah), di mana bank menjual suatu barang
dengan mengambil marjin keuntungan, kemudian dicicil dengan cicilan tetap. Dan bentuk-bentuk
transaksi lain yang disediakan oleh Bank.
Ada sebagian orang mengatakan tidak ada bedanya antara konvensiaonal dengan syariah. Ini
adalah salah mutlak. Pada konvensional, murni menggunakan sistem bunga, sedangkan syariah
tidak menggunakan sistem bunga. Dalam hal margin yang digunakan hampir sama dengan bunga,
tidaklah menjadi alasan untuk membenarkan pendapat sebagian orang tersebut. Untuk menentukan
marjin keuntungan, bank boleh saja menghitung dengan benchmark pada perhitungan yang ada,
namun transaksi yang dilakukan harus sesuai dengan kaidah-kaidah syariah, di mana ada transaksi
dengan underlying assetnya, dan ada akad yang menyertainya.
Perusahaan Kredit
Kredit konvensional prinsipnya meminjamkan uang kepada nasabah untuk membeli suatu barang,
di mana uang tersebut dikenakan bunga kemudian pengembaliannya dicicil sampai lunas.
Sementara kredit syariah, perusahaan kredit membeli barang kemudian menambahkan marjin
keuntungannya, setelah itu dihitiung cicilannya tetap sampai lunas (murabahah) . Seperti halnya
pada transaksi murabahah di bank, marjin keuntungan boleh saja dihitung dengan benchmark

pada perhitungan yang ada, namun transaksi yang dilakukan harus sesuai dengan kaidah-kaidah
syariah, di mana ada transaksi dengan underlying assetnya, dan ada akad yang menyertainya.
Asuransi
Pada asuransi konvensional, terjadi transfer resiko dari nasabah ke perusahaan asuransi, dalam hal
ini ada ketidakpastian dan jika terjadi kerugian maka perusahaan asuransi akan menanggung risiko
yang sangat besar, sebaliknya jika tidak terjadi kerugian maka nasabah tidak mendapatkan apa-apa.
Jadi ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan pada kedua sisi.
Sementara Asuransi syariah, akadnya adalah tolong menolong sesama peserta asuransi. Perushaan
asuransi hanya mengelola saja, untuk itu perusahaan mendapat fee atas pengelolaan. Premi yang
dibayar oleh nasabah merupakan dana sumbangan yang dikumpulkan untuk saling tolong menolong
di antara sesama nasabah jika terjadi kerugian pada salah satu nasabah. Jika terjadi kerugian pada
satu nasabah, maka kumpulan dana sumbangan tersebut yang akan digunakan untuk membayar
klaim. Dalam hal ini perusahaan aasauransi syariah tidak mengalami kerugian sama sekali.
Sebaliknya jika nasabah tidak mengalamai musibah, yang bersangkutan juga tidak mengalami
kerugian atas preminya, karena akadnya ketika membayar premi adalah atas dasar tolong-menolong
sesama peserta.
Reksadana, Saham, dll
Reksadana maupun saham yang ditransaksikan secara konvensional, tidak memperhatikan apakan
transaksi tersebut bersifat spekulatif atau tidak dan demikian juga dengan jenis instrumen yang
ditransaksikan tidak melihat apakah emitennya comply secara syariah ataupun tidak.
Sementara reksadana syariah maupun saham syariah, emiten atau instrumennya haruslah comply
dengan syariah. Adapun instrumen maupun saham yang sesuai syariah tersebut dapat mengacu
pada Fatwa MUI yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional.
Kesimpulan
Bagi yang ingin menerapkan syariah dalam transaksi keuangannya, cukup pilih lembaga keuangan
syariah sesuai dengan kebutuhannya. Tidak perlu berdebat apakah ada bedanya atau tidak ada
bedanya dengan konvensional, karena sudah ada yang memikirkannya dan ada Dewan syariah yang
mengawasinya. Karena kalau kita berdebat terus, maka lembaga syariah yang ada tidak akan pernah
maju. Tentunya jika masih ada yang belum 100% sesuai syariah, para praktisi dan MUI akan
menyempurnakannya. Tugas kita adalah menjalankannya dan memberikan masukan untuk
perbaikan. Dengan demikian, syariah akan maju seperti yang terjadi di Malaysia.

2. Pengaruh sistem keuangan ekonomi syariah banking syariah


Peluang jasa keuangan dan ekonomi berbasis syariah (keuangan syariah) terbuka lebar. Apalagi
dengan adanya bonus demografi, dimana kelas menengah tumbuh berkembang dengan pesat.
Kebutuhan kelas menengah untuk menabung dan berinvestasi serta terhadap layanan jasa keuangan
yang beragam, baik di lembaga perbankan syariah maupun lembaga keuangan non-bank syariah
seperti asuransi syariah, dana pensiun syariah, obligasi syariah, perusahaan pembiayaan syariah,
reksadana syariah dan lainnya diperkirakan juga akan meningkat.
Menurut Bank Dunia pada Juni tahun 2011, kelas menengah di Indonesia tumbuh dengan sangat
cepat, yaitu 7 juta orang setiap tahun. Pada tahun 1999, kelas menengah ini tumbuh secara
signifikan, yaitu 45 orang juta atau 25% dari jumlah penduduk Indonesia. Kemudian pada tahun
2010 menjadi 134 juta orang, dan pada 2015 kelas menengah Indonesia mencapai 170 juta atau
70% dari total jumlah penduduk Indonesia. Kelas menengah yang merupakan kelompok penduduk
yang memiliki kekuatan expenditure per hari antara 2 20 dollar AS ini berpotensi menjadi
sumber pembiayaan pembangunan melalui pasar keuangan seiring peningkatan pendapatan kelas
menengah tersebut.
Bank Dunia juga menyebutkan, pada tahun 2014 tercatat hanya 36,1% dari orang dewasa di
Indonesia yang memilikiaccount di lembaga keuangan formal. Dengan demikian sebagian besar
masyarakat Indonesia masih belum mempunyai akses pada layanan jasa keuangan formal, sehingga
peluang tumbuhnya keuangan berbasis syariah masih sangat terbuka luas.
Sementara di sisi lain, keuangan berbasis syariah yang terdiri dari perbankan, pasar modal dan jasa
keuangan syariah non-bank serta aktivitas bisnis berbasis ekonomi syariah lain telah berkembang
dan tumbuh dengan subur, namun pertumbuhannya dirasakan masih perlu dioptimalkan.
Berdasarkan data dari OJK, sampai dengan kondisi Maret 2015 pangsa pasar keuangan syariah
tercatat mencapai 4,7%, dengan volume usaha berjumlah Rp. 268,4 triliun.

Anda mungkin juga menyukai