Anda di halaman 1dari 2

Suasana Natal yang syahdu, damai, dan penuh kegembiraan masih terasa.

Lagu-lagu
Natal masih terngiang-ngiang di telinga. Di banyak rumah orang Kristen, kue-kue dan parsel
Natal belum habis termakan semua. Pohon dan dekorasi Natal yang penuh lampu warna-
warni belum dibongkar. Banyak di antara kita yang masih ingin lebih lama merasakan
suasana dan kemeriahan Natal, padahal kita sudah memasuki bulan Januari di tahun yang
baru. Kita masih mengharapkan seandainya Natal terus ada setiap hari.
"Becanda deh, kamu!" Mungkin itulah kalimat yang akan dilontarkan orang kepada
kita bila kita mengharapkan Natal terjadi setiap hari. Memang, kita semua tahu bahwa Natal
hanya dirayakan setahun sekali. Tetapi itulah letak nikmatnya Natal. Paling tidak setahun
sekali kita
boleh melupakan sejenak pahit dan beratnya pergumulan serta perjuangan
hidup ini. Kita menikmati buaian lagu-lagu syahdu, baik yang berirama klasik, jazz, pop,
bahkan disko. Kita dihibur oleh aneka rupa acara ibadah dan perayaan Natal yang serba-
istimewa.
Ketika Natal tiba, banyak keluarga Kristen terlihat bersukacita ketika datang ke
gereja. Mereka yang jarang ke gereja pun terlihat begitu antusias. Sungguh mengharukan dan
menggetarkan kalbu ketika melihat gereja-gereja dipenuhi umat yang datang berduyun-duyun
untuk merayakan Natal.
Umat yang datang begitu melimpah sehingga gedung gereja tidak mampu lagi menampung.
Akibatnya banyak yang duduk di luar gedung bahkan di halaman. Para panitia Natal dan
koster pun ikut dibuat sibuk, karena harus pontang-panting menyiapkan kursi tambahan.
Yang lebih menggetarkan hati adalah melihat kekhusyukan umat beribadah. Mereka
begitu bersungguh-sungguh, begitu khidmat dan begitu saleh. Di rumah pun, suasananya
sangat menyenangkan. Anggota keluarga tampak saling membantu satu sama lain
mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan Natal, dari menghias pohon Natal,
menyiapkan makanan, serta membeli hadiah-hadiah Natal. Intinya, suasana keluarga terasa
rukun dan damai, penuh sukacita.
Natal memang sungguh luar biasa. Bayangkan, dalam sekali setahun banyak orang
yang terketuk hatinya menjadi dermawan. Orang yang paling kikir pun terdorong untuk
memberi hadiah Natal. Mereka yang miskin pun dapat menikmati bingkisan yang istimewa.
Sayang sekali, suasana seperti itu cuma terjadi setahun sekali. Tidak terjadi setiap hari. Kita
melihat apa yang terjadi, ketika orang-orang yang khidmat beribadah itu kembali ke tengah
dunia yang nyata dan rutinitas.
Ketika lagu-lagu Natal berhenti dinyanyikan, ketika semua pohon dan dekorasi Natal
dibongkar, dimasukkan ke dalam dos dan disimpan di dalam gudang. Begitu jugalah segala
sukacita, damai, dan kedermawanan Natal. Semua menjadi pudar dan lenyap. Baru menjelang
Desember di akhir tahun depan dikeluarkan lagi.
Setelah suasana dan kemeriahan Natal berlalu, kita harus kembali ke tugas dan
pekerjaan sehari-hari. Yang menjadi pertanyaaan adalah apa dampak yang mereka bawa dari
tempat ibadah ke tempat kerja dan kehidupannya? Orang-orang yang kemarin beribadah
dengan begitu khidmat, pada hari ini ternyata telah kembali kepada cara hidup yang kurang
terpuji.
Di jalan raya, tindakan saling menyerobot dan kebut-kebutan terjadi. Di kantor terjadi
lagi gaya kerja yang bermalas-malasan, penuh kolusi, korupsi, dan penyalahgunaan
wewenang. Di tempat perdagangan terjadi lagi penipuan, pemerasan, dan saling sikut satu
sama lain.
Menurut Pdt Andar Ismail dalam buku Selamat Natal, kehidupan beragama memang
berkembang subur, namun rupanya hanya berkembang dalam hal ritual, yaitu dalam hal
melakukan upacara dan peraturan agama. Sementara itu, dunia kerja dan hidup yang nyata
belum tersentuh dan belum menikmati manfaat adanya agama.
Rupanya orang masih berorientasi vertikal, yaitu menganggap bahwa agama hanya
mengurus perkara-perkara rohani antara manusia dengan Allah. Padahal seharusnya
hubungan vertikal itu diwujudnyatakan dalam hubungan horisontal, yaitu dalam hubungan
antarmanusia.
Di dalam ilmu jiwa dikenal apa yang disebut gejala schizofrenia, yaitu gejala
keterpisahan otak, di mana orang tidak mempunyai kesatuan berpikir. Orang yang
mengalaminya memiliki pikiran-pikiran yang saling berlawanan secara serentak. Apa yang
diperbuatnya tidak sama dengan apa yang diyakininya.
Sungguh memprihatinkan bila sikap keagamaan kita menunjukkan gejala seperti itu.
Dalam hubungan dengan Tuhan, kita bersikap saleh. Namun dalam hubungan dengan orang
lain, kita mencuri atau mencaci. Kita memang patut bersyukur bahwa di kalangan umat
Kristen tampak serius dan khidmat merayakan Natal. Namun kita semua akan lebih
bersyukur jika tiap orang Kristen dapat menerjemahkan keagamaannya dalam sikap dan
perbuatan yang mendatangkan manfaat bagi umat manusia. Dalam kehidupan kita yang
paling biasa dan rutin sehari-hari, apakah suasana dan perayaan Natal, yaitu damai, sukacita,
belas kasih, pengorbanan, dan kesalehan masih nampak? Atau malah telah masuk ke dalam
dus dan disimpan di gudang, dan baru keluar setahun lagi? Ah, seandainya Natal terjadi
setiap hari.

Anda mungkin juga menyukai