Anda di halaman 1dari 8

Kebebasan Pers,

Antara Fakta dan Kenyataan


(Press Independence, Dilemmatic between Fact and Reality)
Hidajanto Djamal *)

Abstract
Generally speaking, that the press able to have a power that can
reform paradigm, which has been settled for long time before in
such régime. The press can raise public opinion, even to disperse a
union country such as USSR (Union of Soviet Social Republic) in
1991. With some its characteristics, the press can be used by
someone or groups as well to achieve his or their interest by doing
negative campaign for making down his or their competitor. So,
the press has two main characteristics which contradictive to each
other, i.e. good sense and the bad one. Whether that is caused by
independence of press or not, that is one question should be
answered. Then the second, we can ask to them (press
community), that for whom the independence is to be gained, for
the public or them selves.
__________________________________________________________________
Key words : Kebebasan Pers

Latar Belakang

‘Cover both sides‘, demikian motto yang selalu dikemukakan oleh


insan-pers dalam satu diskusi, dialog, ataupun seminar, bila pembicaraan
menyangkut pertanyaan atau pernyataan tentang ketidakberpihakan pers.
Wakil pers tersebut selalu meyakinkan kepada audience, bahwa pihaknya
selalu netral, tanpa tekanan pihak manapun, karena pers mempunyai
kebebasan untuk menyampaikan setiap informasi yang diperlukan publik,
yang dijamin oleh undang-undang. Undang-undang yang dimaksudkan adalah
Undang-undang Pers, yaitu UU No. 40/1999. Penjaminan kebebasan itu jelas
dituangkan pada Pasal-4 dan 8 UU tersebut.

Dengan netralitas yang selalu (seharusnya) melekat dalam menjalankan


profesi jurnalisnya, maka setiap insan-pers diharapkan menjadi pilar
keadilan, kejujuran, keterbukaan, demokratisasi di republik ini, bahkan
penyebaran berita kemerdekaan Republik Indonesia tempo doeloe dilakukan

1
oleh insan-pers melalui siaran radio gelombang pendek RRI. Banyak fakta
lain yang menunjukkan hal itu, diantaranya yang dilakukan oleh Koran-
Tempo beberapa waktu yang lalu tentang kawasan perbelanjaan Tanah
Abang. Atau pemberitaan wartawan koran Barnas-Yogyakarta waktu
melakukan investigative-report satu kasus di Kabupaten Bantul, yang
ternyata harus dibayar oleh nyawa wartawan tersebut. Betapa adidayanya
pers untuk mengubah keadaan, sehingga pers dapat menjadi pilar
pembangunan satu negara.

Tetapi sayangnya, kenyataan yang berbarengan dengan fakta tersebut


dapat berlangsung sebaliknya. Itu sebabnya mengapa judul ulasan ini
menyejajarkan istilah fakta dan kenyataan (realitas), walaupun sebenarnya
dua kata itu sinonim adanya.

Pembahasan
1. Kenyataan

Pada tahun 1985-an tersebutlah berita dalam satu surat kabar Ibukota,
bahwa telah terjadi penganiayaan seorang wartawan oleh seorang marinir
(perwira menengah) di kawasan Tebet. Akibat pemberitaan tersebut,
seorang perwira marinir itu diberhentikan dengan hormat dari kedinasannya,
karena dianggap telah mencoreng nama baik korps. Tetapi dari informasi
lain, bahwa sebetulnya wartawan bersangkutan mempunyai masalah dengan
teman perwira tersebut yang ketika itu bersama-sama jalan di kawasan
Tebet-MT Haryono. Teman perwira tersebut masih sepupu dengan wartawan
bersangkutan. Terjadilah baku hantam diantara keduanya yang kemudian
dilerai oleh perwira tersebut. Alhasil, perwira marinir itu diberhentikan dari
kedinasannya. Walaupun masih mempunyai hak pensiun, tetapi laporan
wartawan itu telah menghentikan paksa karir seseorang, yang populer
dengan istilah character assassination.

Kita melompat ke tahun 2005, dalam kasus perseteruan antara KPI (Komisi
Penyiaran Indonesia) dengan Pemerintah. Persoalan utama dalam

2
ketidakcocokan keduanya adalah, KPI merasa wewenang untuk menerbitkan
perijinan penyiaran adalah pihaknya, sementara Pemerintah menganggap
kewenangan itu ada pada Negara. Pemahaman Pemerintah tersebut telah
dikuatkan oleh Keputusan Mahkamah Konstitusi. KPI tidak puas dan
melakukan langkah-langkah yang sebetulnya kontraproduktif. Dalam situasi
tersebut, media massa cetak cenderung berpihak ke KPI. Semua statement
anggota KPI dilindunginya dengan tidak menurunkan opini yang bernada
menyanggahnya. Hal ini sebetulnya telah melanggar Pasal-5 UU No. 40/1999
khususnya ayat (2) yang mengatakan bahwa, pers wajib melayani hak
jawab.

Dua contoh kasus di atas menunjukkan bahwa, peranan pers sangat


menentukan sekali untuk membangun pendapat umum. Pada kasus pertama,
pers telah mampu memutar balik keadaan sehingga dapat menyebabkan
‘terbunuh’nya nama baik seseorang. Sedang pada kasus kedua, pers berhasil
menunjukkan pada khalayak ramai, bahwa KPI-lah yang mempunyai
wewenang untuk menerbitkan ijin, sekaligus memberikan citra negatif
kepada Pemerintah sebagai pemerintah yang otoriter, yang memangkas
kewenangan KPI, yang akan menghidupkan kembali Departemen
Penerangan, dsb.

Dalam perannya, pers selalu berlindung dibalik “kebebasan pers”nya.


Kalau kita lihat definisi kebebasan-pers sendiri yang dalam UU No.40/1999
disebut sebagai kemerdekaan-pers, adalah salah satu wujud kedaulatan
rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi
hukum. Tetapi oleh pakar hukum terkenal, dinyatakan, bahwa tidak ada
kebebasan-pers, melainkan yang ada adalah kemerdekaan-pers sesuai
dinyatakan pada Pasal 2 UU No. 40/1999. Menurut pakar hukum tersebut,
Amir Syamsudin, bahwa kemerdekaan pers mempunyai makna, pers harus
dijalankan di dalam bingkai moral, etika dan hukum. Sehingga kemerdekaan
pers adalah kemerdekaan yang disertai dengan kesadaran akan pentingnya

3
penegakan supremasi hukum, yang dijabarkan dalam Kode Etik Jurnalistik
disertai hati nurani insan-pers dalam menjalankan profesinya.

Dengan senjata “kebebasan-pers” itu wartawan seolah mempunyai


kewenangan yang suprastruktur yang terlegitimasi, sehingga merasa berhak
mengorek informasi dari siapapun terutama pejabat publik. Atas nama
kebebasan memperoleh informasi publik, seorang insan-pers merasa
mempunyai hak “menerobos” masuk ke wilayah yang sebetulnya sudah
termasuk rahasia negara. Memang definisi rahasia negara juga masih dapat
diperdebatkan.

Dengan pemahaman yang tidak sejalan definisi (kemerdekaan pers) di


atas, seorang anggota KPI (yang merasa bagian dari insan-pers) berusaha
mengait-kaitkan hak kewenangan menerbitkan ijin penyiaran dengan Pasal
28 huruf-f UUD 1945. Dalam hal ini, karena telah diatur oleh UU No.
32/2002 tentang penyiaran, bahwa kewenangan pemberian ijin itu ada di
tangan Pemerintah, maka hal itu dianggap melanggar Pasal 28 huruf-f
tersebut, yaitu, mematikan hak publik untuk memperoleh informasi.
Padahal satu ijin penyelenggaraan penyiaran itu lebih condong ke urusan
bisnis daripada sebagai media-massa.

2. Lex Specialis

Ketika seorang insan-pers bermasalah dengan pemberitaannya, yaitu


pihak yang diberitakan merasa keberatan, dia atau institusi pers selalu
membawanya ke UU No. 40/1999, sementara pihak yang menuntut berusaha
membawa masalah tersebut ke KUHP (Kitab UU Hukum Pidana), yaitu pasal
pencemaran nama baik.

Menurut kebanyakan insan-pers, persoalan pemberitaan pers yang


bermasalah harus dibawa ke UU No. 40/1999 daripada ke delik pidana.
Dalam UU tentang pers tersebut mengatur mekanisme hak jawab, yaitu
korban pemberitaan yang dirugikan, dapat menyampaikan sanggahan

4
tertulis yang akan dimuat dalam media yang sama, dan selesai. Pihak pers
tidak perduli lagi dengan citra negatif yang ditimbulkan yang masih tersisa
di masyarakat. Umumnya citra negatif itu tidak dapat segera hilang, tidak
seperti pemberitaan itu ketika diturunkan di media massa yang sifatnya
instan.

Alasan pihak pers tidak setuju persoalan pers ditarik ke delik pidana,
karena pihak pers menganggap UU No. 40/1999 adalah bentuk lex specialis
dari KUHP khususnya pencemaran nama baik. Tetapi menurut pakar hukum
tersebut di atas, bahwa UU No. 40/1999 tentang Pers tidak disusun
berdasarkan delik hukum pidana, sehingga dia tidak satu rumpun dengan
Undang-undang tentang KUHP. Ditambahkan lagi, bahwa azas hukum yang
berlaku umum adalah, satu perundangan-undangan sederajat tidak dapat
membatalkan ketentuan dalam perundangan lainnya, apalagi kedua
perundangan tersebut tidak satu rumpun.

Kalau saja insan-pers dalam menjalankan profesinya memegangi kuat


kemerdekaan pers sesuai definisi di atas, yaitu diantaranya supremasi
hukum, maka kemungkinan konflik yang sering terjadi, dapat dihindari.
Karena setiap insan-pers selalu mempertimbangkan sisi lain, yaitu keadilan
yang harus juga dimiliki oleh obyek berita.

Lebih parah lagi dalam kaitan dengan bidang penyiaran. Seorang


anggota KPI perioda 2003/2006 mengatakan, bahwa UU No. 32/2002 tentang
Penyiaran merupakan lex specialis dari UU No. 40/1999 tentang Pers.
Sehingga dalam hal ini terjadi pengkhususan dua tingkat untuk UU No.
32/2002 tersebut.

3. Sikap Pers dalam Media Cetak

Hak jawab dijamin dalam UU No. 40/1999 tentang Pers, dalam Pasal 5
ayat (2). Begitu bunyi aturannya. Tetapi bagaimana kenyataan yang terjadi
sampai saat ini. Pers umumnya ternyata tidak memegangi lagi prinsip
netralitas. Masing-masing institusi pers, baik wartawan dan organisasinya,

5
maupun perusahaan pers, mempunyai visi dan misi-nya sendiri-sendiri yang
cenderung tidak netral. Visi dan misi banyak diwarnai oleh siapa yang
mendanai dibelakangnya, entah itu partai politik, yayasan keagamaan, atau
perorangan. Insan-pers, termasuk wartawan, berenang diantara
kepentingan-kepentingan itu. Kalau dugaan itu salah, maka mungkin tidak
ada satu tim insan-pers khusus liputan istana presiden/wakil presiden, tim
khusus departemen anu, wartawan langganan pejabat tertentu, dsb.

Tetapi bila hal ini dipertanyakan, secara manusiawi pasti semua itu
disangkalnya, karena menyangkut visi dan misi masing-masing institusi pers
tersebut. Jawaban dikemas secara diplomatis sehingga dapat menonjolkan
perisainya, yaitu “kebebasan pers”.

Secara kongkrit contoh sikap tersebut dalam bidang media cetak,


adalah, keputusan tidak menurunkan naskah satu opini yang dinilai
bertentangan dengan satu kebijakan atau putusan satu institusi yang
“menyewanya”. Berbagai kategori alasan yang disampaikan, bila naskah
oposisi tersebut tidak dimuat, diantaranya adalah,

 Kesulitan tempat/ruang untuk memuatnya,


 Fokus kurang tajam,
 Momen kurang tepat,
 Stok berlebih untuk tema yang sama,
 Bahasa kurang menggigit, dsb.

Bila diambil salah satu kategori, yaitu ‘bahasa kurang menggigit’, yang
mungkin berarti ulasan yang ada tidak menarik pembaca atau tidak fokus
pada satu masalah. Atau dapat berarti, bahasa yang digunakan tidak
populer. Bila kita jujur, andaikan satu naskah dengan topik tertentu,
misalnya tentang perekonomian, maka tentu saja orang yang seniman
mungkin tidak akan tertarik dengan ulasan tersebut, sebab, apa itu tentang
obligor, IHSG, dsb bagi dia. Dirasa tidak penting bagi dia, sebab tidak ada
hubungannya dengan seni.

6
Misalnya satu naskah yang mengkritisi tentang ‘jatah laptop untuk
anggota DPR’, kasus yang mencuat beberapa waktu yang lalu. Kalau uraian
naskah tersebut mempertanyakan sikap anggota DPR (yang diwakili Ketua-
nya), yang seolah ‘cuci tangan’ terhadap kasus itu setelah publik
mempertanyakan efektifitas kelengkapan laptop, maka naskah itu secara
pasti tidak akan diturunkan. Alasan yang dikemukakan pasti adalah salah
satu dari kategori di atas, padahal nyatanya karena akan menyangkut
kredibilitas institusi-pers bersangkutan dihadapan DPR kalau jadi
menurunkan berita opini tersebut. Apalagi institusi-pers itu adalah media
massa besar di Ibukota dan penerbitannya di seluruh Indonesia.

Kesimpulan

Dapat disimpulkan kemudian, bahwa “kebebasan-pers” bukan berarti


sebebas-bebasnya tanpa norma apapun. Bila dilihat Pasal 28 UUD 1945
khususnya huruf-f dan kemudian huruf-g, maka mestinya insan-pers dapat
memahami, bahwa kebebasan yang merupakan hak asasi setiap warga
negara Indonesia tanpa kecuali, harus satu paket dengan kewajibannya
untuk menghormati hak warga negara Indonesia yang lainnya secara
seimbang.

Ada baiknya penulis kutib sambutan Wakil Presiden, Jusuf Kalla, dua
tahun yang lalu (Kompas, 3 April 2006) di Bogor dalam rangka Hari Pers
Nasional (HPN) dalam konteks tujuan negara,

“ ............... Media yang bebas bukanlah tujuan. Itu adalah


proses mencapai tujuan. Kalau keterbukaan dan kebebasan itu
bisa mengganggu tujuan, tentu kita harus mengevaluasi proses,
tidak mengevaluasi tujuan. ........................... Jika
kebebasan dan keterbukaan pers sebagai buah reformasi
bertentangan dengan tujuan negara, maka harus ada evaluasi
dan upaya penghentian bersama-sama termasuk oleh pers
sendiri. Kalau karena kebebasan pers yang terjadi masyarakat

7
menjadi brutal, maka harus dihentikan. Kalau pers bebas
memuat apa saja yang bisa menimbulkan masalah untuk moral
bangsa, itu harus dihentikan secara bersama-sama oleh kita
semua, termasuk oleh pers sendiri. “

Inti dari sambutan Wapres itu adalah, bahwa kebebasan pers harus
diikuti dengan tanggung jawab insan-pers sepenuhnya, yaitu dengan
mempertimbangkan hak bebas dari orang warga negara Indonesia yang
lainnya. Kalau pers tetap berperanan menjalani sisi buruknya, maka
pertanyaan besar yang muncul adalah, untuk siapa “kebebasan” itu
sebenarnya, masyarakat luas atau insan-pers sendiri secara monopoli ?

__________________________________________________________________

Daftar Pustaka :

1. Antara; Pers Indonesia Mesti Bela Nasionalisme dan Rakyat, Suara


Karya, 16 April 2007.
2. INU/PUN; Kebebasan Pers Tidak Mutlak, Kompas, 3 April 2006
3. Syamsudin, Amir; UU Pers Lex Specialis ?, Suara Pembaruan, 24
Pebruari 2005.
4. Tim Redaksi FOKUSMEDIA. 2000. Undang-Undang Penyiaran & Pers,
Penerbit FOKUS-MEDIA, Jakarta.

*) Dosen FTI-UMB
hidajanto_djamal@yahoo.com

Anda mungkin juga menyukai