Abstract
Generally speaking, that the press able to have a power that can
reform paradigm, which has been settled for long time before in
such régime. The press can raise public opinion, even to disperse a
union country such as USSR (Union of Soviet Social Republic) in
1991. With some its characteristics, the press can be used by
someone or groups as well to achieve his or their interest by doing
negative campaign for making down his or their competitor. So,
the press has two main characteristics which contradictive to each
other, i.e. good sense and the bad one. Whether that is caused by
independence of press or not, that is one question should be
answered. Then the second, we can ask to them (press
community), that for whom the independence is to be gained, for
the public or them selves.
__________________________________________________________________
Key words : Kebebasan Pers
Latar Belakang
1
oleh insan-pers melalui siaran radio gelombang pendek RRI. Banyak fakta
lain yang menunjukkan hal itu, diantaranya yang dilakukan oleh Koran-
Tempo beberapa waktu yang lalu tentang kawasan perbelanjaan Tanah
Abang. Atau pemberitaan wartawan koran Barnas-Yogyakarta waktu
melakukan investigative-report satu kasus di Kabupaten Bantul, yang
ternyata harus dibayar oleh nyawa wartawan tersebut. Betapa adidayanya
pers untuk mengubah keadaan, sehingga pers dapat menjadi pilar
pembangunan satu negara.
Pembahasan
1. Kenyataan
Pada tahun 1985-an tersebutlah berita dalam satu surat kabar Ibukota,
bahwa telah terjadi penganiayaan seorang wartawan oleh seorang marinir
(perwira menengah) di kawasan Tebet. Akibat pemberitaan tersebut,
seorang perwira marinir itu diberhentikan dengan hormat dari kedinasannya,
karena dianggap telah mencoreng nama baik korps. Tetapi dari informasi
lain, bahwa sebetulnya wartawan bersangkutan mempunyai masalah dengan
teman perwira tersebut yang ketika itu bersama-sama jalan di kawasan
Tebet-MT Haryono. Teman perwira tersebut masih sepupu dengan wartawan
bersangkutan. Terjadilah baku hantam diantara keduanya yang kemudian
dilerai oleh perwira tersebut. Alhasil, perwira marinir itu diberhentikan dari
kedinasannya. Walaupun masih mempunyai hak pensiun, tetapi laporan
wartawan itu telah menghentikan paksa karir seseorang, yang populer
dengan istilah character assassination.
Kita melompat ke tahun 2005, dalam kasus perseteruan antara KPI (Komisi
Penyiaran Indonesia) dengan Pemerintah. Persoalan utama dalam
2
ketidakcocokan keduanya adalah, KPI merasa wewenang untuk menerbitkan
perijinan penyiaran adalah pihaknya, sementara Pemerintah menganggap
kewenangan itu ada pada Negara. Pemahaman Pemerintah tersebut telah
dikuatkan oleh Keputusan Mahkamah Konstitusi. KPI tidak puas dan
melakukan langkah-langkah yang sebetulnya kontraproduktif. Dalam situasi
tersebut, media massa cetak cenderung berpihak ke KPI. Semua statement
anggota KPI dilindunginya dengan tidak menurunkan opini yang bernada
menyanggahnya. Hal ini sebetulnya telah melanggar Pasal-5 UU No. 40/1999
khususnya ayat (2) yang mengatakan bahwa, pers wajib melayani hak
jawab.
3
penegakan supremasi hukum, yang dijabarkan dalam Kode Etik Jurnalistik
disertai hati nurani insan-pers dalam menjalankan profesinya.
2. Lex Specialis
4
tertulis yang akan dimuat dalam media yang sama, dan selesai. Pihak pers
tidak perduli lagi dengan citra negatif yang ditimbulkan yang masih tersisa
di masyarakat. Umumnya citra negatif itu tidak dapat segera hilang, tidak
seperti pemberitaan itu ketika diturunkan di media massa yang sifatnya
instan.
Alasan pihak pers tidak setuju persoalan pers ditarik ke delik pidana,
karena pihak pers menganggap UU No. 40/1999 adalah bentuk lex specialis
dari KUHP khususnya pencemaran nama baik. Tetapi menurut pakar hukum
tersebut di atas, bahwa UU No. 40/1999 tentang Pers tidak disusun
berdasarkan delik hukum pidana, sehingga dia tidak satu rumpun dengan
Undang-undang tentang KUHP. Ditambahkan lagi, bahwa azas hukum yang
berlaku umum adalah, satu perundangan-undangan sederajat tidak dapat
membatalkan ketentuan dalam perundangan lainnya, apalagi kedua
perundangan tersebut tidak satu rumpun.
Hak jawab dijamin dalam UU No. 40/1999 tentang Pers, dalam Pasal 5
ayat (2). Begitu bunyi aturannya. Tetapi bagaimana kenyataan yang terjadi
sampai saat ini. Pers umumnya ternyata tidak memegangi lagi prinsip
netralitas. Masing-masing institusi pers, baik wartawan dan organisasinya,
5
maupun perusahaan pers, mempunyai visi dan misi-nya sendiri-sendiri yang
cenderung tidak netral. Visi dan misi banyak diwarnai oleh siapa yang
mendanai dibelakangnya, entah itu partai politik, yayasan keagamaan, atau
perorangan. Insan-pers, termasuk wartawan, berenang diantara
kepentingan-kepentingan itu. Kalau dugaan itu salah, maka mungkin tidak
ada satu tim insan-pers khusus liputan istana presiden/wakil presiden, tim
khusus departemen anu, wartawan langganan pejabat tertentu, dsb.
Tetapi bila hal ini dipertanyakan, secara manusiawi pasti semua itu
disangkalnya, karena menyangkut visi dan misi masing-masing institusi pers
tersebut. Jawaban dikemas secara diplomatis sehingga dapat menonjolkan
perisainya, yaitu “kebebasan pers”.
Bila diambil salah satu kategori, yaitu ‘bahasa kurang menggigit’, yang
mungkin berarti ulasan yang ada tidak menarik pembaca atau tidak fokus
pada satu masalah. Atau dapat berarti, bahasa yang digunakan tidak
populer. Bila kita jujur, andaikan satu naskah dengan topik tertentu,
misalnya tentang perekonomian, maka tentu saja orang yang seniman
mungkin tidak akan tertarik dengan ulasan tersebut, sebab, apa itu tentang
obligor, IHSG, dsb bagi dia. Dirasa tidak penting bagi dia, sebab tidak ada
hubungannya dengan seni.
6
Misalnya satu naskah yang mengkritisi tentang ‘jatah laptop untuk
anggota DPR’, kasus yang mencuat beberapa waktu yang lalu. Kalau uraian
naskah tersebut mempertanyakan sikap anggota DPR (yang diwakili Ketua-
nya), yang seolah ‘cuci tangan’ terhadap kasus itu setelah publik
mempertanyakan efektifitas kelengkapan laptop, maka naskah itu secara
pasti tidak akan diturunkan. Alasan yang dikemukakan pasti adalah salah
satu dari kategori di atas, padahal nyatanya karena akan menyangkut
kredibilitas institusi-pers bersangkutan dihadapan DPR kalau jadi
menurunkan berita opini tersebut. Apalagi institusi-pers itu adalah media
massa besar di Ibukota dan penerbitannya di seluruh Indonesia.
Kesimpulan
Ada baiknya penulis kutib sambutan Wakil Presiden, Jusuf Kalla, dua
tahun yang lalu (Kompas, 3 April 2006) di Bogor dalam rangka Hari Pers
Nasional (HPN) dalam konteks tujuan negara,
7
menjadi brutal, maka harus dihentikan. Kalau pers bebas
memuat apa saja yang bisa menimbulkan masalah untuk moral
bangsa, itu harus dihentikan secara bersama-sama oleh kita
semua, termasuk oleh pers sendiri. “
Inti dari sambutan Wapres itu adalah, bahwa kebebasan pers harus
diikuti dengan tanggung jawab insan-pers sepenuhnya, yaitu dengan
mempertimbangkan hak bebas dari orang warga negara Indonesia yang
lainnya. Kalau pers tetap berperanan menjalani sisi buruknya, maka
pertanyaan besar yang muncul adalah, untuk siapa “kebebasan” itu
sebenarnya, masyarakat luas atau insan-pers sendiri secara monopoli ?
__________________________________________________________________
Daftar Pustaka :
*) Dosen FTI-UMB
hidajanto_djamal@yahoo.com