Anda di halaman 1dari 9

MAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK INDONESIA
------

KONSTITUSI NEGARA1
Oleh: Moh. Mahfud MD.2

Secara jujur harus diakui bersama bahwa dalam sepuluh tahun terakhir
perkembangan konstitusi dan ketatanegaraan Indonesia bergerak begitu cepat,
baik dari sudut studi ilmiah maupun dari sudut praktik ketatanegaraannya.
Adalah gelombang reformasi 1998 yang pada mulanya membuka tumbuh
suburnya konstitusionalisme di tengah-tengah kehidupan masyarakat seperti
yang terjadi sekarang ini. Pasca meletusnya reformasi, para pelaku kenegaraan
mengumandangkan bahwa untuk memperbaiki masa depan Indonesia haruslah
dimulai dengan melakukan reformasi konstitusi, sehingga muncul jargon “tidak
ada reformasi tanpa amandemen konstitusi”.

Namun demikian, proses perubahan UUD 1945 yang telah terjadi dalam
empat tahapan secara politik ternyata tidaklah mudah untuk direalisasikan.
Terjadi perdebatan cukup keras dan sengit ketika usulan perubahan UUD 1945
tersebut diajukan di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Hal demikian
sangatlah wajar terjadi, sebab konstitusi merupakan kontrak sosial dan politik
yang melibatkan kepentingan dan ideologi dari sebuah negara bangsa yang
sangat plural serta menjadi dasar-dasar aturan main politik untuk menegakkan
HAM dan membatasi kekuasaan dalam negara. Oleh karena itu, perdebatan dan
pergulatan yang mendalam bahkan cenderung keras dan meruncing menjadi
suatu keniscayaan.

1 Makalah disampaikan dalam Acara Orientasi Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan 2009-
2014 pada Selasa, 8 September 2009 di Ball Room Hotel Harris Tebet, Jakarta.
2 Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

1
Konstitusi dan Ideologi Negara

Masih segar di dalam ingatan kita bahwa pada awal reformasi tidak
semua orang setuju atas gagasan perubahan UUD 1945 dengan alasan yang
bisa diterima. PDI Perjuangan dan militer termasuk kelompok kuat yang pada
awalnya menolak gagasan amandemen atas UUD 1945. Saat itu Megawati
Soekarnoputri selaku Ketua Umum PDI Perjuangan yang menjadi pemenang
pertama Pemilu 1999, menyatakan tidak setuju atas gagasan dan usulan
amandemen terhadap UUD 1945. Megawati khawatir apabila gagasan itu hanya
akan menjadi batu loncatan mengganti dasar dan ideologi negara atau
mengganti Pancasila. Alasan serupa disampaikan juga oleh kalangan militer,
dengan selalu mengedepankan Sapta Marga yang mengharuskan mereka untuk
setia mempertahankan Pancasila, UUD 1945, dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

Berdasarkan alasan-alasan itu, kita jadi sangat memahami adanya


kekhawatiran akan tergantikannya dasar dan ideologi negara yaitu Pancasila,
melalui pintu perubahan UUD 1945. Secara teori, kekhawatiran itu beralasan
karena konstitusi memang memiliki fungsi sebagai aturan main (rule of the
game) politik atas dasar terjemahan dan elaborasi dari sebuah ideologi di suatu
negara. Terlebih lagi, pada saat itu tengah bermunculan wacana dan gerakan
untuk memperjuangkan kembali “formalisasi” hukum Islam, misalnya dengan
memberlakukan Piagam Jakarta.

Padahal, apabila kita melihat sejarah awal pembentukan UUD 1945, para
pendiri negara telah melewati masa-masa perdebatan keras dan panas
mengenai dasar negara yang hendak dibangun, apakah sebagai negara Islam
atau negara kebangsaan (nation state). Akhirnya, berdasar keputusan PPKI
tanggal 18 Agustus 1945, dasar negara Indonesia ditegaskan bukan sebagai
negara agama bukan pula negara sekuler, melainkan negara Pancasila. Artinya,
Indonesia disepakati menjadi negara kebangsaan yang dijiwai oleh agama
(religious nation state). Dengan demikian, Indonesia tidak dapat dikatakan

2
sebagai negara agama, karena negara agama hanya mendasarkan diri pada
satu agama tertentu. Begitu juga, Indonesia bukan negara sekuler karena negara
sekuler hampa terhadap agama atau bahkan tak mau peduli dengan agama.
Sebaliknya, Indonesia mengakui dan melindungi hak warga negaranya untuk
memeluk agama apapun asal berkeadaban, berkeadilan dan tanpa diskriminasi.

Dengan demikian, walaupun konstitusi dapat berubah mengikuti situasi


atau keadaan politik, ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat pada waktu
tertentu (sehingga memunculkan doktrin bahwa konstitusi tidak dapat
dipaksakan untuk berlaku selamanya), akan tetapi terhadap nilai-nilai ideologi
negara yang terkandung di dalamnya, tidak boleh berubah. Oleh karenanya,
sebelum dilakukannya amandemen UUD 1945 telah disepakati terlebih dahulu
bahwa Pembukaan UUD 1945 yang memuat Pancasila sebagai dasar negara
tidak akan diubah dan akan dipertahankan. Perubahan-perubahan hanya akan
menyangkut pasal-pasal melalui adendum. Inilah yang harus dipahami lebih dulu
oleh siapapun yang hendak mewacanakan perlu tidaknya perubahan UUD 1945.
Kesepakatan ini pulalah yang kemudian membawa PDIP waktu itu untuk
menyetujui perubahan UUD 1945 dengan syarat-syarat yang ketat.

Dalam konteks kekinian, kita tidak perlu menutup mata terhadap


banyaknya pihak yang mempersoalkan UUD 1945 hasil amandemen yang telah
berlaku secara resmi. Terhadap hal tersebut, setidaknya kita dapat
mengelompokkan beberapa pandangan utama, yaitu pertama, pandangan yang
mempersoalkan substansi isi ataupun keabsahan prosedurnya. Kedua,
pandangan yang ingin kembali kepada UUD 1945 yang asli. Ketiga, pandangan
yang ingin mengambil jeda terlebih dahulu untuk melakukan amandemen
lanjutan karena energi politiknya telah terkuras habis. Keempat, pandangan yang
ingin melakukan amandemen kelima dengan alasan masih hangatnya
pewacanaan dan amandemen yang terdahulu dilakukan dinilai tanpa
pertimbangan matang.

Menghadapi beragam pandangan itu, sebaiknya kita memosisikan diri


untuk berpikir lebih jernih dan mendalam, tidak emosional, dan tidak perlu larut

3
dalam romantisme yang sentimental. Pun demikian, kita jangan sampai bersikap
melawan arus sejarah seperti yang terjadi pada masa lalu dengan melarang
keinginan orang untuk melakukan perubahan. Sebaliknya juga, kita tidak boleh
melarang orang berpendapat agar UUD 1945 dikembalikan lagi kepada bentuk
aslinya. Kesemuanya harus diwadahi untuk kemudian disalurkan melalui proses
yang konstitusional agar tercipta konstitusi buatan rakyat atau konstitusi yang
mencerminkan arus besar kehendak rakyat (people’s constitution). Akan tetapi
pada prinsipnya, UUD 1945 sebagai konsensus tertinggi warga negara yang kini
berlaku secara sah, harus secara bersama-sama dibela dan dilaksanakan
sepenuhnya. Sementara, upaya melakukan amandemen juga diperbolehkan
sepanjang dilakukan dengan cara-cara yang konstitusional dan tak bermaksud
mengubah ideologi bangsa Indonesia.

Dengan dipertahankannya Pancasila sebagai ideologi negara, maka


konsekuensi setiap hukum yang lahir dari konstitusi haruslah memenuhi 4
(empat) kaidah, yaitu pertama, bertujuan untuk membangun dan menjamin
integrasi negara dan bangsa Indonesia baik dalam aspek teritorial maupun
ideologi. Kedua, didasarkan pada keseimbangan prinsip-prinsip demokrasi dan
nomokrasi; Ketiga, ditujukan untuk membangun keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Keempat, didasarkan pada toleransi beragama yang
berkeadaban dengan cara tidak mengistimewakan ataupun mendiskriminasi
kelompok agama tertentu.

Konstitusi sebagai Produk Situasi

Begawan konstitusi K.C Wheare mengatakan dalam bukunya Modern


Constitutions bahwa konstitusi suatu negara itu adalah resultante atau produk
kesepakatan dari situasi politik, sosial, dan ekonomi pada waktu tertentu. Apabila
situasi, kebutuhan, dan tuntutan masyarakat berubah maka UUD sebagai
resultante juga dapat berubah. Persoalan mengenai kapan situasi itu datang
adalah persoalan yang tersendiri. Oleh sebab itu, lanjut Wheare, di dalam setiap
UUD haruslah ada pasal yang mengatur perubahan.

Di Indonesia, hal tersebut telah dibuktikan. Dari aspek sejarah, sejak awal

4
UUD 1945 memang dimaksudkan sebagai UUD interim. Tidak saja berdasar
ucapan Bung Karno pada Sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 yang
menyebutnya sebagai ”UUD darurat yang dibuat secara kilat”, tetapi juga ditulis
di dalam UUD 1945 itu sendiri, yakni di dalam Aturan Tambahan Pasal I dan
Pasal II. Aturan Peralihan menegaskan bahwa setelah enam bulan berakhirnya
Perang Asia Timur Raya (Perang Pasifik), Presiden mengatur segala hal yang
ditentukan di dalam UUD, termasuk membentuk MPR (dengan pemilu).
Kemudian dalam enam bulan setelah dibentuk, MPR bersidang untuk
menetapkan UUD. Meskipun kata ”menetapkan” dapat diartikan menetapkan
yang sudah ada, tetapi dalam konteks ini yaitu untuk mengubah agar sifat
interim, darurat, dan kilat itu menjadi hilang.

Pembuat UUD 1945 yang tergabung di dalam PPKI pun tidak pernah
mengatakan bahwa UUD yang mereka susun sempurna sifatnya dan tak bisa
diubah, namun mereka justru membuka jalan agar UUD itu tidak sulit untuk
diubah, walaupun tidak juga mudah. Dalam berbagai kesempatan, mereka
mengatakan bahwa UUD 1945 dibuat ”darurat” sebagai syarat formal agar
Indonesia dapat merdeka. Atas dasar itu, maka di dalam Pasal 37 UUD 1945
dimuat ketentuan dan cara untuk mengubah UUD 1945 dan di dalam Aturan
Tambahan diperintahkan agar MPR membicarakan dan menetapkan UUD yang
tepat untuk Indonesia di masa-masa mendatang.

Dengan demikian, saat ini siapapun boleh menyoal dan mengusulkan


perubahan UUD yang sedang berlaku, jika memang ternyata terdapat resultante
atau kesepakatan berdasar situasi dan kebutuhan-kebutuhan yang baru.
Kesepakatan itu merupakan penekanan bahwa konstitusi adalah buatan rakyat
dan bukan tindakan pemerintah semata. Hal ini menjadi penting, karena ketika
berbicara perubahan konstitusi maka banyak yang mengukurnya dengan teori,
apakah itu produk pakar atau yang berlaku di negara lain. Misalnya ada yang
mengatakan bahwa konstitusi yang kita punya adalah salah, karena tidak sesuai
dengan teori Trias Politika yang asli sebagaimana yang dimaksud oleh
Montesquieu, atau contoh lainnya yaitu mekanisme judicial review yang kita
jalankan tidaklah sama sebagaimana praktik di Austria.

5
Pertanyaannya, siapa yang mewajibkan kita untuk mengikuti
Montesquieu? Sementara itu, tidak ada yang menyuruh kita untuk mengekor
pada konstitusi negara lain. Jika Montesquieu bisa membuat teori, mengapa kita
tidak? Toh, kita punya kebutuhan yang mungkin harus menggunakan
pendekatan teori lain yang lebih relevan dengan kebutuhan bangsa dan negara
Indonesia. Bukankah setiap negara bebas untuk membuat atau memodifikasi
sendiri konstitusinya masing-masing?

Pernah juga ada yang mengatakan bahwa kesalahan fatal konstitusi kita
adalah karena tidak menganut sistem perwakilan bikameral yang jelas dengan
prinsip checks and balances seperti Amerika Serikat. Akibatnya, parlemen
menjadi asimetris karena DPD tak bergigi dan mandul. Dalam proses legislasi,
DPD tak boleh ikut menetapkan UU, melainkan hanya boleh ikut pada tahap
awal pembuatan UU tertentu. Itu pun terbatas dalam kaitannya dengan sembilan
macam materi UU. Pertanyaannya, siapa yang mengharuskan kita mengikuti
sistem bikameral ala Amerika Serikat? Bukankah kita dapat membuat desain
sendiri tentang parlemen sebagai pilihan politik kita? Bahwa yang ada sekarang
ini dipandang kurang baik, dapat saja kita perbaiki lagi tanpa harus
membelenggu diri untuk meniru yang berlaku di luar negeri.

Kita, bangsa ini, berhak membuat teori konstitusi sendiri. Hukum tata
negara yang berlaku pada suatu negara adalah apa yang dituangkan oleh rakyat
di dalam konstitusinya. Hal tersebut terlepas dari sama atau tidak sama dengan
teori tertentu, sejalan atau tak sejalan dengan yang berlaku di negara lain.
Sebagai wacana, bisa saja teori atau pendapat pakar dan sistem yang berlaku di
negara lain dikemukakan, namun hal itu sekedar menjadi referensi bagi
pembaruan dan kita tidak wajib untuk mengikutinya, sebab kita punya tuntutan
situasi dan kebutuhan sendiri.

Mungkin ada bagian konstitusi yang sama dengan teori tertentu atau
sama dengan yang berlaku di negara lain, sedangkan bagian lainnya berbeda.
Hal tersebut tidak perlu diperdebatkan, sebab sah-sah saja sebagai pilihan politik
kita. Tetapi yang jelas, isi UUD merupakan "pilihan politik" dari lembaga politik

6
yang berwenang menetapkannya atas nama bangsa, sehingga kemudian
berdasarkan teori resultante Wheare, konstitusi adalah kesepakatan tentang
pilihan politik bangsa bersangkutan tanpa harus mengikuti teori apa pun, apalagi
terikat pada apa yang berlaku di negara lain. Prinsipnya, setiap bangsa dapat
memilih politiknya sesuai dengan kebutuhan.

MK: Mengawal Konstitusi

Sebagai kesepakatan “pilihan politik” dari lembaga politik yang berwenang


menetapkannya atas nama bangsa, maka konstitusi berposisi sebagai hukum
tertinggi. Konstitusi sebagai hukum tertinggi menisbatkan bahwa semua produk
hukum di negara ini tidak boleh bertentangan dengan Konstitusi, apalagi
melanggarnya. Untuk itu, sangatlah tepat jika pada perubahan UUD 1945 yang
lalu muncul gagasan mengenai perlunya suatu lembaga yang berfungsi untuk
mengawal konstitusi, sehingga lahirlah Mahkamah Konstitusi (MK).
Sejak awal, MK dibentuk dengan tujuan mengawal supremasi UUD 1945
sebagai hukum dasar (rechtstidee) dan hukum tertinggi (de hoogste wet) di
Indonesia. UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi telah memberi empat kewenangan dan satu kewajiban
kepada MK. Empat kewenangan tersebut, yaitu: Pertama, melakukan pengujian
undang-undang terhadap UUD (judicial review); Kedua, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara; Ketiga, memutus pembubaran partai politik; dan
Keempat, memutus perselisihan hasil pemilu. Sedangkan satu kewajibannya
adalah memberikan putusan atas pendapat DPR terkait proses pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya.

Peran MK dengan judicial review-nya merupakan dorongan untuk terwujudnya


konstitusionalitas undang-undang. Melalui mekanisme tersebut, pihak-pihak
yang merasa dirugikan oleh ketentuan suatu undang-undang berpeluang
memperoleh kembali hak konstitusionalnya yang terlanggar. Alangkah tak adil
dan mengerikan apabila ada UU yang dinilai bertentangan dengan konstitusi,
tetapi hanya karena tidak tersedia mekanisme yang dapat ditempuh, maka tidak
ada yang bisa dilakukan kecuali patuh dan tunduk. Tanpa adanya mekanisme

7
judicial review, undang-undang yang dibuat DPR dan Pemerintah yang jelas-
jelas melanggar kaidah konstitusi dan nyata-nyata mengabaikan hak-hak
konstitusionalitas rakyat akan terus bermunculan. Produk hukum demikian hanya
akan menjadi etalase perundang-undangan yang tidak akan mampu mencapai
tujuan hukum itu sendiri.

Apa itu judicial review? Konsep judicial review berasal dari negara-negara
yang menganut prinsip supremasi konstitusi. Istilah judicial review itu sendiri
merupakan istilah khas hukum tata negara Amerika Serikat yang artinya
wewenang lembaga pengadilan untuk membatalkan setiap tindakan
pemerintahan yang bertentangan dengan konstitusi. Menurut Soepomo, di
Belanda tidak dikenal istilah judicial review, mereka hanya mengenal istilah hak
menguji (toetsingensrecht). Judicial review merupakan mekanisme pengujian
peraturan perundang-undangan tertentu oleh hakim. Pengujian itu dilakukan atas
suatu ketentuan peraturan perundang-undangan terhadap peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi atau terhadap konstitusi sebagai hukum tertinggi.

Mengapa keberadaan judicial review demikian penting? Prinsip utamanya,


undang-undang pada dasarnya adalah kristalisasi dari kepentingan-kepentingan
politik para pembuatnya. Sebagai produk politik, maka patut diduga di dalamnya
terdapat muatan kepentingan yang mungkin saja bertentangan atau melanggar
kaidah-kaidah konstitusi. Sesuai prinsip hierarki hukum, tidak boleh isi suatu
peraturan undang-undang yang lebih rendah bertentangan atau tidak mengacu
pada peraturan di atasnya. Untuk itu perlu tersedia mekanisme untuk menguji
apakah suatu undang-undang bertentangan dengan konstitusi atau tidak.
Mekanisme yang disepakati untuk menjalankan fungsi tersebut adalah judicial
review yang kewenangannya diberikan kepada MK. Jika oleh MK undang-
undang itu kemudian dinyatakan terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka
produk hukum itu wajib dibatalkan. Konstitusi sebagai hukum tertinggi adalah
induk dari semua hukum yang ada di negara. Oleh karena itu, semua produk
hukum harus mengacu dan tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Dalam
kerangka demikian, tak bisa tidak, politik hukum nasional harus didesain sesuai
dengan logika konstitusi.

8
Melalui kewenangan judicial review yang dimilikinya, MK merupakan lembaga negara
yang mengawal politik hukum nasional agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum
yang keluar dari koridor konstitusi. MK dengan segenap kewenangannya
menjadi ikhwal penting bagi ikhtiar mewujudkan konstitusionalitas Indonesia,
sehingga patut dan tidaklah berlebihan jika MK disebut sebagai pengawal
konstitusi (the guardian of constitution).

***

Anda mungkin juga menyukai