Anda di halaman 1dari 12

Namaku Nadya. Aku adalah gadis keturunan chinese yang berkulit kuning langsat.

Badanku
tidak terlalu tinggi hanya sekitar 155 cm dan berat 45 cm. Payudaraku berukuran sedang, sekitar
34B. Usiaku sekarang 22 tahun dan aku tinggal di pinggiran kota Jakarta. Aku sebenarnya
bukanlah wanita penggoda. Cuman aku sering mendengar dari teman-teman kuliahku bahwa aku
termasuk cewek yang berpenampilan sexy dan sering membuat para cowok turun naik jakunnya.
Terlebih aku suka memakai kaos longgar, sehingga jika aku menunduk sering terlihat gundukan
payudaraku yang terbungkus bra hitam kesukaanku.
Di rumahku sendiri, setiap habis mandi, aku selalu hanya membungkus tubuhku menggunakan
kimono mandi warna biru muda berbahan handuk. Seringkali karena habis tersiram air yang
dingin, membuat puting susuku tercetak di balik kimono. Kamar mandiku sendiri terletak di
ruang tamu, dan sering pada saat aku mandi, pacar ciciku datang sedang ngapelin ciciku. Walau
aku tidak pernah berpikiran ngeres, tapi sering aku melihat pacar ciciku menelan ludah jika
melihat aku habis mandi hanya berbalut kimono itu.
Ayahku adalah seorang penyalur TKI yang akan diberangkatkan ke luar negeri. Sering kali ada
TKI baik pria maupun wanita menginap di rumah sebelum diberangkatkan ke luar negeri. Hari
Minggu kemarin papa baru saja membawa pulang 3 orang TKI pria berusia sekitar 20 tahunan
yang kuketahui bernama Maman, Yadi, dan Mulyo. Mereka bertiga orang desa yang bertubuh
kekar dan berkulit gelap. Mereka sedang menunggu akan berangkat ke Malaysia.
Pagi itu hari Senin, aku sendirian di rumah bersama ke 3 orang calon TKI itu. Mamaku sedang
pergi ke Jakarta bersama papaku ada keperluan mendadak. Sementara ciciku pergi bersama
pacarnya entah kemana.
Aku waktu itu habis beraerobik ria di rumah, dan kemudian ingin mandi. Seperti biasa kubawa
saja kimono biruku ke kamar mandi. Dan setelah aku beberapa saat aku selesai mandi, maka
kubalut tubuh telanjangku itu dengan kimonoku tanpa apa-apa lagi di baliknya.
Kemudian aku berjalan ke halaman belakang hendak menjemur pakaian dalam yang baru
kupakai semalam untuk tidur. Kulihat para TKI itu sedang menikmati sarapan pagi. Mereka
menyapaku ramah.
Kulihat mereka memandangiku saat aku memeras BH hitam dan celana dalam kuningku yang
sexy itu. Sebenarnya aku risih juga dilihatin begitu, tapi aku pikir tanggung, sebentar lagi aku
akan kekamar untuk ganti pakaian. Maka aku kemudian menjemur pakaian dalamku itu. Pada
saat aku berjinjit untuk menaruh pakaian dalamku di jemuran, tak terasa kimonoku sedikit
tertarik ke atas, padahal kimono itu hanya sepaha. Maka, tak elak lagi, bulu bulu vaginaku yang
tidak tertutup itu sedikit kelihatan membuat mereka melotot.
Tapi aku tak menyadari hal itu, kemudian aku berbalik dan masuk ke kamar. Kamarku sendiri
ada jendela besar ke halaman belakang. Aku ingat ada para TKI itu, maka korden aku tutup,
namun rupanya tidak tertutup rapat dan masih bisa kelihatan dari halaman belakang.
Aku melepas kimonoku, dan mulai melotioni tubuh telanjangku ini. Aku tak sadar ada 3 pasang
mata yang melotot memandangi tubuh telanjangku ini. Beberapa saat kemudian aku baru sadar
saat melihat bayangan di cermin. Maka aku berteriak dan segera menutup payudara dan
kemaluanku dengan tangan.
Ketiga TKI itu segera lari dan masuk ke kamarku yang memang tak pernah kukunci. Aku kaget
melihat mereka bertiga masuk ke kamarku.
“Non, kami sudah melihat tubuh non yang mulus itu. Sebaiknya non tidak usah melawan karena
di sini tidak ada siapa-siapa lagi ” kata Mulyo cengengesan. Aku masih berusaha galak dan
menyuruh mereka keluar.
Namun Maman dan Yadi segera maju dan memegangi tanganku. Kemudian aku mereka banting
di ranjang. Aku kemudian berpikir daripada aku melawan malah mendapat celaka, maka lebih
baik aku pasrah saja dan tidak melawan.
“Sabar-sabar, jangan pada main kasar gitu donk. Saya kan belum pernah gituan.. pelan2 kek”
tegurku.
Mereka kemudian tidak lagi beringas, dan mendekatiku. Maman segera memelukku dan
menciumi bibirku dengan ganas. Mula-mula aku berusaha menolak bibirnya yang bau itu, namun
saat Yadi mulai menjilati payudaraku, dan Mulyo mulai mengelus-elus bibir vaginaku dengan
tangannya yang kasar itu, aku mulai terangsang dan bibirku mulai membuka untuk membalas
serbuan bibir Maman yang tangannya sibuk meremasi pantatku yang bulat itu.
Tanganku mulai meraba-raba celana mereka. Dan Yadi berinisiatif membuka celananya dan
menyodorkan kontolnya yang lumayan besar itu ke tanganku. Aku agak kaget melihat kontol
pria sebesar itu. Aku sudah sering melihat kontol milik pacar-pacarku namun tidak ada yang
sebesar itu. Apalagi Maman dan Mulyo menyusul bugil. Ternyata kontol mereka begitu besar.
Aku sempat ketakutan, namun dengan halus, Mulyo memegang tanganku dan menaruhnya di
batang penisnya. Akupun perlahan mulai mengelus penisnya. Maman melanjutkan menyusu di
payudaraku yang montok itu.
Aku yang sudah makin terangsang, mulai bergantian menjilati batang penis Mulyo dan Yadi
secara bergantian, sementara Maman kini mulai menjilati klitorisku yang memerah.
Tiba-tiba aku merasa ingin pipis dan akhirnya keluar cairan banyak dari vaginaku. Ketiga cowok
itu segera saja berebut menjilati vaginaku sampai aku kegelian.
Yadi kemudian menelentangkan aku di ranjang. Aku merasa inilah saatnya aku akan kehilangan
keperawananku. Saat Yadi menempelkan kepala kontolnya yang besar itu di bibir vaginaku aku
sempat berusaha menolaknya. Namun dari belakang Mulyo mendorong Yadi sehingga kontolnya
langsung amblas ke memekku. Aku menjerit kesakitan.
Namun Mulyo segera berinisiatif menjilati puting payudaraku sehingga aku kegelian. Yadi
sendiri perlahan mulai menarik majukan kontolnya sehingga aku merasakan kegelian yang amat
sangat di lubang vaginaku. Terasa kontolnya memenuhi lubang vaginaku.
Tiba-tiba sambil memelukku, Yadi menggulingkan aku sehingga aku berada di atasnya.
Mulutnya segera menyerbu ke puting payudaraku yang menggantung bebas. Belum sempat aku
berpikir tiba-tiba dari belakang Mulyo menyodokkan kontolnya yang besar itu ke dalam lubang
anusku. Aku yang berteriak kesakitan, segera disumpal mulutku dengan kontol Maman samai
aku nyaris muntah.
Kini dalam keadaan menelungkup, ketiga lubangku sudah dimasuki kontol yang berbeda. Namun
aku merasakan sensasi yang luar biasa. Seluruh tubuhku serasa dilolosi. Aku mengalami orgasme
sampai 3 kali.
Akhirnya aku merasa ingin orgasme lagi, dan bersamaan dengan orgasmeku, kurasakan Yadi
menyemprotkan banyak sekali spermanya di dalam memekku. Kemudian aku jatuh lunglai di
pelukan Yadi.
Mulyo kemudian segera menarikku duduk di pangkuannya sambil kontolnya masih menancap di
lubang anusku. Dari belakang ia meremas-remas payudaraku yang berguncang-guncang. Maman
yang belum klimaks, segera menyodokkan kontolnya ke dalam vaginaku yang nganggur itu.
Aku benar-benar sudah merasa kepayahan, hingga akhirnya aku merasa ingin keluar lagi. Tak
lama kemudian aku benar-benar tak tahan lagi dan akhirnya aku menyemprotkan cairan
orgasmeku yang kelima. Maman tak lama kemudian menyusul menyemprotkan maninya di
dalam memekku.
Mulyo rupanya memang yang terkuat di antara mereka. Dia belum keluar, sehingga dia
kemudian menunggingkan aku dan kontolnya pindah ke vaginaku. Dari belakang aku
disodoknya sambil tangannya memeras-meras payudaraku.
15 menit kemudian dia akhirnya mencapai klimaks dan aku pun juga mencapai orgasmeku lagi.
Kami berempat akhirnya lunglai di atas ranjang.
Kulihat jam, ternyata sudah hampir 2 jam kami melakukan pesta sex. Aku kemudian mengajak
mereka untuk mandi bersama karena aku khawatir sebentar lagi papa mamaku pulang. Kemudian
kami berempat mandi bersama. Di kamar mandi ketiga laki-laki itu selalu berebutan untuk
menjamah tubuhku yang mulus ini.
Sungguh pengalaman ini tak terlupakan bagiku dan aku mulai mengerti nikmatnya sex sejak itu.
Lain kali akan kuceritakan pengalamanku bersama tetanggaku.

Menjelang senja, aku pergi ke suatu tempat, dimana dulu biasa kukenakan seragam putih abu-
abu. Hari ini, aku berjanji memberikan ‘hadiah’ kepada beberapa pria disana. Sebelum berlanjut
lebih jauh, perkenankan aku memperkenalkan diri. Namaku Lavenia,. aku memiliki darah
campuran. Papiku pribumi dan Mamiku Swedia, aku lahir di Swedia, Papi bekerja sebagai Duta
Indonesia disana. Tentu aku memiliki wajah Indo, paling jelas terlihat dari hidungku yang
mancung lancip, kulit dan tulang pipi. Rambutku hitam kemerahan, lurus panjang sebahu. Selain
rajin merawat wajah, aku juga selalu merawat tubuh dengan fitness di gym atau sekedar jogging
pagi. Tiap hari minggu di Senayan sambil TP (Tebar Pesona). Otomatis, hal itu membuat
tubuhku langsing, selain diet yang cukup ketat. Tadinya kuputuskan untuk melanjutkan studi ke
Australia. Namun karena permasalahan ini, membuatku banting setir untuk kuliah disini. Sama
kasusnya dengan teman-temanku, yang juga ikut acara siang ini di eks sekolah kami. Teman-
temanku bernama Lea, Manda dan Sherry. Geng-ku juga satu team cheers, wajah mereka sama
kebule-bulean, terutama gadis yang bernama Sherry. Kuparkir mobil ketika tiba, di depanku
sudah ada mobil Lea dan Manda. Kami belum mau keluar, tentu menunggu sepi dan semua guru
pulang. Aku sempat melihat beberapa guru yang pernah mendidik-ku, rindu sebenarnya aku pada
mereka. Ingin kusapa dan kucium tangan mereka. Tapi, bisa panjang urusan jika bertemu,
disuruh main ke rumahlah, apalah. Jadinya, aku terpaksa hanya melihat mereka dari balik jendela
mobil, yang terlihat gelap dari luar. Seorang pria seperti sosok tukang becak, keluar dari gerbang.
Ia menghampiri kami satu persatu. Dari Manda, Lea, terakhir aku. Dia mengetuk kaca jendela
mobilku, kutekan tombolnya. Terlihatlah pria hitam bertubuh gempal berpakaian satpam, tertulis
nama Lodi di dadanya.
“Wah Non Nia, makin cakep aja kalo begini” pujinya, melihatku mengenakan kaca mata hitam,
menghias wajah Indo-ku.
“Hai…gimana, udah sepi ?” tanyaku.
“Udah Non…udah kosong engga ada orang, gerbang juga siap di kunci” jawabnya.
“Sherry dimana ? jadi khan ?” tanyaku lagi mempertegas.
“Jadi dong Non, saya udah ngaceng dari kemaren bayanginnya..apalagi ngeliat Non Nia tambah
cakep gini, Non Sherry di kantin nunggunya…” jawab si gemuk itu lagi.
“Ya udah…tunggu aja kita di tempat biasa !” suruhku memastikan.
“Siap Non, hehehe…”, pria itu pergi meninggalkan kami dengan wajah riang. Setelah dia tak
terlihat, jalanan benar-benar sepi, barulah kami satu persatu keluar dari mobil.
“Hai, apa khabar ?” sapaku pada kedua sahabat, mereka balik menyapa dan kami pun bertukar
pipi.
Kami bertiga, mengenakan jeans panjang dan kaus tanpa lengan. Berbincang sedikit, lalu jalan
bersama masuk ke sekolah. Pria gemuk yang tadi menghampiri, berdiri di gerbang memegang
kunci. Matanya menelanjangi kami satu persatu. Ketika melintas di depannya, sempat-sempatnya
dia menepuk pantat kami bertiga. Seperti biasa, setiap hari sabtu, setelah bubaran sekolah. Kami
berjanji melakukan ritual seks dengan mereka, Andre-Tejo-Lodi dan Seto. Tiga diantaranya
bertubuh gemuk pendek, hanya yang bernama Tejo yang tinggi besar. Meskipun dari segi wajah,
sama amit-amitnya. Ibarat pabrik, mereka barang gagal produksi dan harus dibuang. Kami
menghampiri Sherry yang sedang duduk, dia tampak senang dengan kehadiran kami bertiga.
Biasanya, dia sendirian yang dikerubuti para penjaga sekolah itu. Aku menoleh ke arah mereka
bertiga, lalu berkata.
“Gimana…siap ?” tanyaku, yang langsung dijawab dengan anggukan oleh mereka.
Kami pun berjalan menuju ruang olahraga, tempat kami biasa latihan cheers, juga tempat kami
melakukan pesta seks. Persis di depan pintu, aku melihat ke dalamnya. Keempat pria itu
menunggu dengan resah dan gelisah, mereka berubah sumringah melihat kami masuk. Aku lebih
dahulu memasuki ruangan, teman-teman menyusul di belakangku. Kuputar kaset dalam tape
yang ada disitu, alunan musik pun memenuhi ruangan. Kami jejer berempat, meliuk-liukan tubuh
menari seirama beat lagu Horny dari Mousse T. Melepas satu demi satu pakaian, hingga
telanjang bulat. Ke-empat penjaga sekolah itu menatap penuh nafsu, empat gadis Indo tanpa
mengenakan busana, bergoyang erotis. Mereka ikut membuka pakaian tugasnya, kulit hitam
legam pun terpampang. Wajah mereka yang sudah buruk, terlihat makin tak tertolong saja ketika
bernafsu. Kami bergerak memutar tubuh, membelakangi mereka. Dengan nakal, sengaja
kupamerkan isi liang vagina dari belakang. Mereka tak sanggup menahan birahi, bergerak
mendekati kami, masing-masing pejantan mencari betinanya. Aku diincar Andre, Tejo
menghampiri Lea, Lodi mendekati Manda dan Seto menginginkan Sherry.
We giving them a full fun sex party till sun night smiling at us, as a gift. Gift doin’ what ?.
|||||||||||||||||||||||||||||||||||
Two Weeks before,
Hari ini tepat sebulan setelah kejadianku dengan para kuli bangunan yang memperkosaku dan
juga Sherry (baca : Lavenia (lanjutan Adik Kelasku)).
“Pi…ubin di kamar mandi Nia rusak, kena kaki nih berdarah…liat deh !” ujarku manja pada
Papi, menunjukkan kaki yang terluka.
“Ya ampun, Niaa…” seru Papi mengomentari luka-ku. Ia langsung berteriak, memanggil para
pembantu.
Pak Karsimin si tukang kebun, Jaja supir pribadi dan mbok Siti PRT masuk ke kamarku yang
dikiranya ada kejadian apa. Setelah semua berkumpul, melihat keadaan kakiku, mereka segera
berlarian mengambil obat merah, kapas dan perban. Papi ngedumel tentang Pak Hasan dan anak
buahnya yang tak becus kerja, kamar mandi di dalam kamar pribadiku adalah salah satu tempat
mereka merenovasi waktu itu. Mami tidak ada dirumah, dia lebih dulu ke Swedia kemarin.
Rencananya papi menyusul besok, disana mungkin semingguan tapi bisa juga lebih. Setelah
kakiku selesai diobati, para pembantu balik ke tempat masing-masing untuk kembali bekerja.
Papi juga beranjak pergi menuju ke bawah, karena kamarku ada di lantai atas. Kebetulan lukanya
tidak terlalu parah, aku masih bisa berjalan normal walaupun agak nyut-nyutan. Aku menuruni
tangga dengan susah payah, kulihat Papi duduk di samping pesawat telepon dan menekan
beberapa angka disana. Aku duduk di sofa panjang ruang santai keluarga, tiduran menonton Tv.
Samar-samar, aku mendengar pembicaraan Papi dengan seseorang, yang aku yakin sepertinya
Pak Hasan.
“Bapak gimana sih, anak saya jadi berdarah kakinya !!” omel Papi pada Pak Hasan, mandor
sekaligus orang yang memperkosaku kira-kira sebulan yang lalu.
(Iya Pi…omelin aja !, pukulin kalo perlu…dia pernah menggauli anakmu ini sampai tertatih-tatih
jalan seminggu !!), keluhku dalam hati.
“Ya udah…besok pagi kita bicarakan, datang aja” kata Papi, menutup perbincangan.
(What !! kuli bangunan itu mau kesini lagi ?! mati gw…), aku diam termangu.
Mataku melayang ke Tv, namun tidak menonton acara yang tertayang. Aku bingung,
masalahnya, vcd aku mengerjai Sherry (baca : Adik Kelasku) masih dipegangnya. Pasti dia
memanfaatkan moment ini, walaupun aku merasa sedikit aman karena masih ada tukang kebun,
supir dan pembantu, entah bagaimana kejadian besok. Aku terus kepikiran sampai tertidur di
sofa, Papi menggendongku ke kamar-ku.
Esoknya, aku bangun agak kesiangan. Melihat dari jendela kamarku mobil Papi sudah tak ada,
berarti ia sudah berangkat ke kantor. Aku turun ke bawah sarapan, yang biasa disiapkan Mbok
Siti. Tapi kemudian, dia izin hendak pergi ke suatu tempat kemungkinan akan pulang malam
katanya, aku tak berkeberatan memberinya izin. Selesai sarapan, aku ke ruang tengah menunggu
makanan larut dalam perut. Kaki masih terasa sakit, kupijit-pijit pergelangannya, terus turun
sampai dekat jari yang terluka.
(Aduh, sialan tuh kuli-kuli !), keluh-ku.
Kunyalakan Tv untuk melupakan nyerinya, tiba-tiba terdengar ketukan pintu yang rupanya Pak
Karsimin, biasa kupanggil Pak Simin.
“Misi Non, ini ada Dokter yang dikirim Juragan…”.
Masuklah seorang pria setengah baya berpakaian putih-putih, yang kukenal bernama dr.
Purnomo. Dia adalah dokter keluarga, dibayar via per-kedatangan saja. Itupun juga, jika beliau
tidak ada janji lain. Beliau pensiunan RSPAD, rumah sakit yang dikhususkan untuk angkatan
darat. Kegiatan beliau saat ini hanya sesekali disana, Papi mengenalnya dari seorang teman.
“Siang…” ucap Pak dokter santun, padaku yang masih terbaring di sofa.
“Siang dok, silahkan masuk…” sahutku bangkit duduk.
“Non, kalo begitu…saya permisi kebelakang yah ” kata Pak Simin, yang kujawab dengan
anggukan.
“Mari dok masuk…aku sambil tiduran ya, nyeri soalnya” kataku, agar dia tidak sungkan, dokter
Purnomo pun duduk lalu menatapku tajam.
“Hmm, kenapa dok ?!” tanyaku karena risih.
“Anu dik, udah lama yah…‘nda terasa, dik Nia sudah besar sekarang…” ujarnya, yang ternyata
merujuk ke masalah fisik.
(Jangan-jangan, jangan-jangan nih dokter…), prasangkaku dalam hati.
Aku jadi tak nyaman juga, masalahnya aku dalam posisi berbaring dengan celana pendek dibalik
selimut. Walaupun kuakui aku senang dengan pujiannya, sebagaimana wanita yang selalu ingin
disanjung.
Selagi aku berpikir yang tidak-tidak karena narsis, dia menyela.
“Jadi, bagian mana yang sakit ?”.
“Ini dok…” tunjukku, ke ibu jari kaki yang kulitnya sedikit sobek dekat kuku. Dia
menghampirinya dan berjongkok disana.
Setelah melihatnya, dia tersenyum. Memang Ayahku terlalu berlebihan, luka seperti ini tidaklah
perlu mendatangi dokter. Apalagi sekelas dr. Purnomo, tentu biayanya tidaklah murah. Tetapi,
seperti itulah orang kaya membuang duitnya.
“Ini toh…ya ya”, dia mengangguk-angguk dan bangkit menuju tasnya untuk mengambil sesuatu.
Mengenai luka-ku bagaimana sudah dikasih tau Papi, dia hanya ingin melihat langsung takut ada
sesuatu yang fatal akibat infeksi atau apa. Pak dokter mengambil buku kecil, dimana dia biasa
menulis resep untuk ditebus pasien di apotik. Dia membubuhkan sesuatu melalui penanya, lalu
merobek secarik kertas tersebut dan diserahkannya padaku.
“Bisa langsung ditebus yah dok, resepnya ?”.
“Iya, biar cepet hilang nyerinya…itu obat pereda dari dalam” terangnya.
“Oo…”, aku menggaruk-garuk pipi karena gatal.
“Pak Simiiin, Paaak…tolong kesini sebentar !” teriakku keras.
“Iyaaa…sebentar”, terdengar suara derap kaki, dan munculah si tua Simin di muka pintu.
“Ada apa Non ?”.
“Ini Pak, tolong tebus obat yah…” suruhku, kebetulan apotik tidak jauh dari rumah.
“Uangnya Non ?”.
“Ambil aja di kamar saya, dompetnya ada di dalam tas kecil warna Pink Pak”.
“Baik Non…”, Pak Karsimin naik ke atas, tak lama dia turun dan pergi keluar.
(Wah…tinggal gw berdua nih, Hmm…gimana kalau, kuserahkan saja tubuhku ini sebagai
ucapan terima kasih), pikirku nakal.
“Itu tadi…obat penyembuh dari dalam dok ?”.
“Betul dik…”.
“Oo…”.
“Memangnya, obat penyembuh dari luar seperti apa dok ?” pancingku.
“Yaa…musti diurut-urut gitu…” jelasnya.
“Diurut gimana dok ?” tantangku, menarik selimut penutup tubuhku sedikit ke atas.
Pak dokter garuk-garuk kepala salting (salah tingkah), dia sempat melirik beberapa detik betis
putihku yang dipenuhi bulu-bulu tipis, lucu juga untuk pria seumurnya. Sungguh aku tertantang
menggoda pria seperti dia, tidak seperti kebanyakan cowo yang seumuran denganku. Terutama
yang tampan dan berharta, pasti mudah kudapatan. Aku dengar dari Papi, dokter Purnomo telah
ditinggal mati Istrinya 10 tahun yang lalu. Jadi, sudah 10 tahun dia menduda alias kedinginan
(xixixi), kasihan khan ?.
“Diurut gimanaaa ?” tanyaku lagi dengan manja sambil membalik tubuh, sekarang kakiku yang
ada di dekatnya.
“Y-ya-yaa-yaaa…di urut…” jawabnya singkat namun terbata-bata.
(Hi hi hi…dasar laki-laki, sama aja…godain lagi ah ^o^), aku tersenyum geli melihat dr.
Purnomo yang bingung melempar pandangan. Melihat tubuhku salah, melihat ke tempat lain
salah.
“Dokter bisa ajarin urut ‘gak ?” kataku, tidak tanggung-tanggung menarik selimut ke atas hingga
setengah pahaku kini menjadi pemandangan gratis baginya.
Glek !, kudengar suaranya menelan ludah, tatapan matanya tiba-tiba berubah, sang Rubah
menunjukkan ekornya. Melihat gadis belasan tahun blasteran memamerkan keindahan fisik,
membuatnya merasa mubazir jika dianggurkan begitu saja.
“Ehm !” dia berdehem dan menghela nafas, lalu celingak-celinguk seperti maling.
“Dik Nia sendirian ?”.
“Uum…iya, trus gimana urutnyaa ?” kujawab cepat dan kembali menantangnya. Pak
dokter yang sudah terhasut setan mesum, duduk maju mendekatiku.
“Mari dik, kesinikan kakinya!” suruhnya mulai nekat sambil bangkit berdiri, pancinganku
akhirnya mendapatkan ‘ikan’.
Kuangkat kedua kaki, dokter Purnomo duduk dan memapahnya. Dia menaruh tangan dan
memberanikan diri memijat pergelangan kakiku.
(Emhh…nikmatnyaa…), mata sayuku, gigiku yang menggigit bibir bawah, jariku yang meremas
sofa…seolah-olah meng-ekspresikan kata hati.
“Enak dok…Sssh..teruss, biar cepet sembuh” hasutku yang tidak perlu, karena tangannya kini
semakin nakal meraba betis.
“Pijatan bapak enak ya Dik ?” tanyanya, aku menjawab dengan anggukan dan desahan yang
tentu mengundang birahinya.
“Iya Pak, terus dong…enak….emhh !”, aku menggeliatkan tubuh. Dia semakin berani mengelus
paha, bahkan menyentuh pangkalnya.
“Arrhh…Pak !” desahku lantang, ketika kurasakan jarinya mengelusi ‘bagian itu’.
Tubuhku menggelinjang, nafsu dokter Purnomo pun semakin naik dan tak terbendung lagi.
Celana pendek beserta celana dalamku, dipelorotkannya dengan sekali tarik.
“Aawh !” aku ber-acting kaget, menutupi kemaluan dengan telapak tangan.
Melihat reaksiku yang malu-malu kucing, membuat dia semakin gemas saja. Celanaku yang
sudah turun ke lutut, diloloskan dan dilemparnya jauh-jauh, seolah-olah aku tidak boleh
memakainya lagi. Tanganku yang menutupi kemaluan juga dibukanya, sehingga kewanitaan
yang selalu kucukur bersih itu ditatapnya nanar. Pak dokter tertegun beberapa saat
memandanginya, kemudian dia berkata.
“Tubuhmu sempurna dik Nia !” gombalnya. Pipiku merona, tersanjung mendengar pujian seraya
menggigit bibir bawah.
Baru saja dia hendak membenamkan wajah, terdengar pintu garasi terbuka yang artinya Pak
Simin sudah kembali dari apotik, ini membuat kami mati kutu,
(Uuh, gagal deh lanjut !), keluhku, dr.Purnomo juga terlihat kecewa dikarenakan ‘nanggung’.
Kami cepat-cepat berpakaian, kembali bersikap seakan tidak terjadi sesuatu. Pak Simin masuk
memberikan obat pesananku, lalu pamit ke kamarnya yang ada di belakang.
Aku sebenarnya ingin nekat mengajak dokter ke kamarku di atas. Namun, entah kenapa dia
tersadar dari khilafnya. Pak dokter pamit pulang dengan tubuh lesu tak bersemangat. Aku tak
bisa menahannya, dan malah jadi BT dengan tukang kebunku yang tak bersalah. Aku makan,
minum obat dan tidur siang untuk melupakan libido yang tak tersalurkan. Menjelang sore sekitar
pukul 4, aku terbangun, turun ke bawah melahap cemilan untuk menghilangkan lapar. Betul-
betul manjur itu obat, nyeriku di kaki hilang total. Padahal baru saja minum sebutir, hebat
memang dr. Purnomo. Tapi aah, aku jadi teringat lagi dengan beliau dan masalah libido tadi,
juga BT dengan tukang kebun. Aku menuju pintu depan, biasanya jam-jam segini, Pak Simin
sedang mencabut rumput, betul saja. (Awas, kubalas), dendamku, yang Pak Simin sendiri tak tau
ujung pangkal permasalahan. Aku balik ke kamar, untuk persiapan perang. Kulepas bra dan
celdam, kukenakan tank top berdada rendah dan celana pendek full press body. Sehingga, baik
itu dada maupun vagina terceplak bentuknya. Sekiranya cukup, aku turun menuju teras depan
rumah.
“Sore Non…” sapanya, seraya melempar senyum.
“Sore juga, lagi nyabut rumput yah ?” tanyaku menghampirinya.
“Iya nih, udah panjang…” sahutnya singkat.
“Oo…”, aku sengaja berjongkok di depannya.
“Uhuk ! uhuk !, Ehemm…”, Pak Karsimin merasa sesak di dada, kulihat tonjolan besar di
selangkangannya. Aku tertawa menang dalam hati menyukuri.
“Mm, gimana sih…caranya nyabut rumput ? ajarin dong Pak !” pintaku, yang sebenarnya hanya
bertujuan menggoda.
“Ehh…ya…iy-iYa” sahutnya tergagap, melihat vaginaku yang terceplak fisiknya di balik celana.
Aku pura-pura tidak tau, kalau dia memelototinya lapar.
“Gini yah Pak ?”, tangan kananku menggenggam rumput untuk mencabut, sambil sengaja lagi
mencondongkan tubuh hingga payudaraku diintipnya.
“PAK ?!”.
“Eh, iya Non ?”, Pak Karsimin tersentak kaget.
“Gimana doong ? ajarin Niaa…” kataku manja.
“O iya…gini, eh…”, dia terdiam, bingung harus mengajarkannya seperti apa, membantu
bagaimana, karena aku sengaja menggenggam rumput keseluruhan. Tidak ada tempat bagi
tangannya, selain harus menggenggam tanganku.
“Yaa, cabut Non !” suruhnya, tak berani meraih tanganku.
“Cabut gimana ? engga kuat !” omelku merengutkan wajah, sengaja agar dia lebih nekat.
“Y-ya udah…Non awas dulu tangannya !” sahutnya serba salah.
“Yaah, kalo Bapak yang nyabut…aku engga tau gimana rasanya dong…” kilahku.
“Udah ah, bantuin !” kataku lagi meraih tangannya yang gemetaran, menumpukkannya di
pungguk tanganku.
Reaksinya mau mau malu, pasti ini pertama kalinya dia merasakan halusnya tangan gadis belia
berwajah Indo.
“Ayo Pak, tariik !”, aku menggenggam rumput kencang, tapi sama sekali tidak menariknya,
hanya acting agar dia yang menariknya melalui genggaman pada tanganku.
(Berhasil…hihihi), aku tersenyum, akhirnya dia berani menggenggam erat tanganku.
“Iih, Aaawhh…!!”.
“Non, ‘gak pa-pa ?” tanyanya merangkulku, karena setelah rumput berhasil tercabut, aku pura-
pura jatuh dan kepalaku bersandar di dadanya. Dag ! dig ! dug !, jantungnya berdegup di
telingaku.
“Engga papa, makasih ya”, aku tersenyum semanis mungkin sambil mengibaskan rambut [TP
^o^], membuat nafasnya tersendat-sendat.
Pak Simin betul-betul memandangku penuh nafsu. Jika dia tidak mengingat budi baik Papi
padanya, pasti aku sudah diperkosanya habis-habisan.
“Pak Simin, liat deh…” kataku tertawa kecil seakan senang, sambil memasang wajah se-
Innocence mungkin. Padahal sengaja, sedang menarik keluar seluruh syahwat yang dia miliki.
Kakinya yang berjongkok kulihat bergetar, kulirik sedikit, matanya memang sedang
menelanjangiku. Ceplakan vaginaku yang paling dia pelototi, matanya seakan ingin keluar dari
tempatnya. Yang kedua dadaku yang menyembul, tangan Pak Simin meremas rumput dan
mencabik-cabiknya. Dia lakukan dengan tak sadar, hingga hanya rumput di sekitarnya saja yang
gundul. Tangannya itu, pasti ingin melakukan hal tersebut pada payudaraku. Aku pun tak kalah
horny, putingku mengeras membayangkan Pak Simin bebas semaunya melakukan hal itu
padaku. Sayang aku harus jaim, namaku masih putih tak ternoda dalam kaca matanya.
“Nih Pak, Nia ke dalam dulu yaah !” kataku sembari meraih tangannya, menaruh rumput yang
tercabut lalu berdiri dan pergi begitu saja.
Kurasakan tatapan matanya seakan menyorot pantatku dari belakang. Di sisi kebun yang terdapat
pohon besar, aku menghentikan langkah.
“Mm, ini jamur ya Pak ?” tanyaku, merundukan badan menunggingkan pantat.
Pak Karsimin tidak menjawab, kutahu pasti dia sedang asyik memelototi body-ku dari belakang.
“IYA PAK ?!” tanyaku dengan suara keras. Menolehkan wajah ke arahnya, tetapi masih tetap
nungging.
“I-iya Non !” sahutnya tergagap karena busted.
“Oo…”, aku memasang wajah selugu mungkin sambil berlalu meninggalkannya, kembali masuk
ke ruang tamu.
Aku mengintip dari balik jendela yang tertutup horden, kulihat Pak Karsimin berjongkok
menatap kosong, tampak sedang berpikir sesuatu. Aku yakin yang ada dipikirannya kalau tidak
memperkosaku yaa, onani ^o^. Idih, ternyata betul. Kulihat tukang kebunku itu memasukkan
tangannya ke dalam sarung, kemudian membuat gerakan yang tidak lain onani. Godaan
berikutnya sudah kusiapkan. Kujinjing Polytron mini yang biasa kupakai menyetel musik untuk
latihan Cheers, ke teras depan dimana sudah terdapat kaset di dalamnya. Kunyalakan tape dan
kuputar kaset, mengalunlah lagu sexy back dari Justine Timberlake. Aku meliuk-liukkan pantat,
sesuai judul seirama beat. Gerakanku jadi bukan saja gerakan cherrs, malah di dominasi gerakan
erotis. Pak Simin pun jatuh terduduk, kakinya lemas. Dia terang-terangan berani memandangku,
walaupun sesekali aku melenggak-lenggokkan kepala ke kiri dan ke kanan, sengaja melempar
pandangan ke arahnya. Tampaknya, dia juga tau kalau aku sedang ‘pamer’, menggoda dirinya.
Gila !, dia nekat mengeluarkan burungnya dan onani. Aku kini malah yang harus membuang
muka, pura-pura tak melihatnya. Ternyata, dia lebih keladi dari yang kunyana.
Tubuhku semakin terasa panas, seperti ketika cheers saja, deg-deg ser namun semakin di tonton
semakin merasa seksi. Aku melupakan gerakan cheers, melakukan tarian striptis. Tiang
penyangga tingkat rumah berdekorasi ukiran seni, kugunakan untuk berpegangan dan berputar-
putar disitu. Kudengar erangan Pak Karsimin semakin keras, kocokannya secepat kilat. Kugigit
jari telunjuk, sebelah tanganku menampar-nampar pantatku sendiri, yang semakin lama semakin
keras. Sama dengan desahanku, semakin lama semakin bernada tinggi ke arah menjerit orgasme.
CROT CROT !!, Walaupun tak melihat langsung, kulirik sekilas Pak Karsimin ejakulasi,
mennyemburkan maninya di kebun berumput hijau. Setelah aku yakin dia selesai meledakkan
syahwat, aku berjalan mematikan kaset, lalu masuk ke dalam. Sebelumnya, kulihat dia hanya
duduk bersila melongo ke arahku. Dia pasti bertanya-tanya apa maksudku, hanya sekedar pamer
atau menggoda untuk naik ke ranjang. Kubiarkan dia dalam kebingungannya, aku cukup puas.
Dari ruang tamu di balik jendela, kuintip dia sedang apa. Kulihat Pak Karsimin rebahan dengan
nafas tersengal-sengal, penisnya yang cukup panjang kini tertidur lemas.
(Bangunin lagi aah hihihi…), aku bermaksud jahat.
Aku berlari ke kamar mandi, menanggalkan seluruh pakaian, hanya mengenakan handuk.
Kulepit sengaja tinggi-tinggi di atas dada, sependek mungkin membungkus pahaku. Jika saja aku
berjongkok seperti tadi, pasti vagina terlihat keseluruhan. Kuraih kunci mobil pribadiku, untuk
berpura-pura mengambil sesuatu di sana. Aku pun keluar teras, kulihat dia masih rebahan dengan
mata terpejam. Keisenganku pun menjadi-jadi, kutekan alarm mobil.
“Nguin-nguing-nguing-nguing !!”, Pak Simin terbangun kaget, kulihat dari pantulan kaca jendela
mobil di halaman, aku menahan tawa sebisanya.
Kutekan alarm mobil agar berhenti mengaung, kubuka pintu dan pura-pura mengambil sesuatu.
Sekiranya actingku cukup, aku keluar mobil dan menguncinya. Aku sengaja tak memandangnya,
padahal kutau mata dia tak pernah mengedip dan terus menelanjangi. Masih di teras, tepat depan
pintu masuk, sengaja kujatuhkan kunci ke lantai. Dimana Pak Karsimin, juga tepat ada di
belakangku.
“Ups…!” aku berakting.
Kutundukkan badan untuk mengambil kunci, aku mendengar Pak Karsimin menegak ludah
dengan keras, pasti vaginaku dipelototinya. Hanya segitu aksi pamerku ? tentu tidak. Masih
dalam proses mengambil kunci berposisi nungging, kulepas lepitan handuk dengan gerakan yang
seakan-akan tidak sengaja ketika kunci terpegang.
“Kyaaa…”, aku berakting menjerit.
“HHNNNNGGGGFFFKKHH !!!”, Pak Karsimin menahan nafas, kulirik di antara kakiku yang
mengangkang penisnya mengacung konak sampai mentok ke perut.
“Iyaaaahhh…”, aku pura-pura panik.
Bukannya berjongkok mengambil handuk, aku malah berdiri dan bergerak kebingungan diantara
mau mengambil handuk atau kunci mobil. Normalnya tentu mengambil handuk dahulu, tapi
karena dalam masa pamer, aku bersikap demikian. Kedua tanganku menutup payudara dan
vagina sekedarnya, malah jari sengaja kurentang lebar agar toket terlihat putingnya, vagina
terlihat bibirnya. Saat kuambil kunci, kuraih dengan tangan yang menutup vagina. Alhasil, tentu
dia melihat bodyku yang telanjang nungging, plus memek yang merekah dari belakang. Aku
bangkit dan berbalik untuk mengambil handuk. Sengaja kugunakan kedua tangan, yang tentunya
Pak Simin melihat tubuh telanjangku yang berkulit putih salju dari depan. Sengaja lagi aku
bergerak selambat mungkin, kulirik mulut Pak Simin meneteskan liur. Kulihat dia bangkit, aku
dag di dug, akankah dia nekat memperkosa ??. Aku buru-buru menutup tubuh bagian depan,
berbalik badan masuk ke ruang tamu dengan bagian tubuh belakang bugil terpamer indah. Aku
sengaja tidak menutup pintu, dan kembali mengintip di balik jendela. Kulihat dia masuk ke
kamarnya yang ada di belakang halaman, ternyata dia lebih memiih onani. Menjelang sore, Bang
Jaja pulang, pintu gerbang dibuka Pak Simin. Kuintip dari balik tirai jendela kamarku di atas,
Bang Jaja berbicara sesuatu dengan Pak Simin, kulihat dia menyerahkan kunci mobil dan berlalu
pergi.
Bang Jaja memang hanya supir harian, kerja jika ada Papi Mami. Selain itu, dia pulang ke rumah
menemui Istri tercintanya. Pak Simin mengunci gerbang dan masuk ke dalam, dia pasti sedang
menaruh kunci di laci ruang tamu.
(Wah, berduaan donk gua sama si Simin tua…), pikirku, aku pun kembali berniat nakal.
Setelah menyiapkan rencana di kepala, aku segera turun menyusul Pak Simin sebelum dia balik
ke kamarnya.
“Paak ! Pak Simiiin !!” panggilku, kulihat dia hampir saja pergi.
“Iya Non, A-ada apa ?” sahutnya sedikit terbata, dia tau pasti aku akan bertingkah nakal
menggodanya lagi seperti tadi siang.
“Uum, nti malem…temenin Nia makan yah, kita makan bareng !” suruhku, dan langsung naik
kembali ke atas karena tak mau ditolak, pastilah dia sungkan makan bersama Nona majikan.
# Dinner together #
Malamnya, Bang Jaja pamit setelah mengambil kunci mobil padaku untuk menjemput Papi. Aku
pergi ke kamar merias diri, tampil seseksi mungkin di depan Pak Simin. Kupakai rok mini
transparan tanpa dalaman, kaus tanpa lengan berwarna hitam tanpa bra. Kulentikkan bulu mata,
kuhias eyes shadow blue dan kuoles tipis bibir dengan Lippgloss pink. Sejam sebelum jam
makan, kutelpon KFC untuk order delivery. Selesai berdandan, aku menuruni tangga melingkar
rumah. Pak Karsimin terpana dengan apa yang dilihatnya, dandanan-ku tentu tak normal untuk
makan malam, untuk ke ranjang sih iya. Mulutnya terus ternganga, aku tersenyum semanis
mungkin ke arahnya. Dia menyeka mulutnya yang tak terasa mengalir liur, aku tertawa menang
dalam hati. Sambil menunggu orderan datang, aku mengajaknya nonton bersama di ruang
tengah. Karena Home theater, tetap enak tertonton walaupun Tv-nya jauh. Pak Simin duduk
bersila di lantai, sedang aku duduk di sofa panjang, tempat aku biasa tiduran. Aku sedang
berpikir keras, bagaimana cara aku menggodanya.
(Hmm…o-ya, begitu saja…), pikirku.
“Pak, nontonnya disini aja…dingin khan” kataku menepuk sofa di sampingku, seraya memasang
wajah polos tak berdosa.
“Engga papa Non…Bapak udah biasa !” sahutnya, matanya melirik pahaku karena aku duduk
mengangkat kedua kaki.
“Aah, aku khan kehalangan kepala Bapak nontonnya !” aku berkilah.
“Ooh, maaf Non !”, dia menggeser duduknya.
“Percuma Pak kalo Bapak masih disitu…disini aja Ahh !” aku memaksa dengan wajah cemberut.
Tak enak takut aku marah, Pak Simin pun bangkit. Sebelum bangun berdiri, kulihat dia
membetulkan sarungnya, juga ketika berjalan menuju sofa. Tampak dia menekan-nekan
selangkangannya yang menonjol itu.
(Oo, udah ngaceng toh hihihi), pikirku jahat dalam hati.
Dia pun duduk di sofa, kini kami dalam sofa yang sama, hanya dia di ujung aku di ujung. Aku
melayangkan pandangan ke TV, sedangkan Pak Simin tidak konsen.
Kulonjorkan kaki kearahnya, memamerkan putih…mulus dan jenjangnya. Sesekali, aku
menekukkan kedua belah kaki, terkadang sebelah melonjor sebelah terlipat. Jadilah Pak Simin,
posisi menghadap ke TV, namun mata melirik ke diriku punya body. Dengan nakal aku sengaja
menggaruk-garuk paha, sambil menggeser dikit demi sedikit rok mini. Hingga jika dilihat dari
samping, pantatku dapat dinikmati. Kulirik, mata kanan Pak Simin memang miring ke samping,
selangkangannya semakin menonjol saja. Sayang kepuasan matanya hanya sampai sini, karena
bel berbunyi, tanda pengantar makanan telah datang. Pak Simin ke depan untuk menyambut dan
membayar. Kami pun ke ruang makan, aku belum kehabisan akal untuk mengerjainya. Kuatur
posisi bangku agar dia ada di sampingku, untuk kosodori ‘paha’. Pak Simin tak berdaya, kubuat
konak tanpa bisa merasakan hangat vagina. Aku makan ayam bagian dada mentok, sedang dia
kukasih paha. Aku duduk bersila di atas bangku, membuat Pak Simin sering menelan ludah.
Sudah beberapa kali dia minum, karena tenggorokannya terasa kering.
“Enak Pak pahanya ?” tanyaku padanya tiba-tiba sekalian menyindir.
“E-enak Non…enaak” sahutnya tergagap, busted.
“Mbok Siti ko’ belum pulang ya Pak ? tadi sih ijin, pergi kemana sih ?”, kuajak dia berbicara,
agar exibisionis terasa lebih santai.
“I-i-iya, Bapak lupa nyampein…dia kesini besok shubuh, lagi ada perlu sama kakaknya yang ada
di Cengkareng…keponakannya sakit keras !” sahutnya, dengan mata masih saja jelalatan.
“O…Eii !” kujatuhkan sendok ke samping, aku menunduk sengaja menungging, pantatku pasti
dipelototinya.
KRAUK !!, “Wadaw…” teriak Pak Simin, aku menoleh penasaran.
“Kenapa Pak ?” tanyaku, melihat dia memegang pipinya.
“A-anu, kegigit tulang Non…” jawabnya mengeluh.
(Rasain ! lu sih mata keranjang, bukan ngeliat paha ayam malah ngeliat paha gw), pikirku
senang, sukses mengerjainya lagi.
“Ati-ati Pak !” suruhku, tetapi kembali pamer melipat kaki di atas bangku.
Biasanya, Pak Simin makannya cepat, kali ini aku juara satu. Kurapikan bekas makanan, dan
menaruh piring di tempat cucian yang tak jauh.
“Aku duluan ya Pak, temenin Nia nonton lagi lho…” kataku tersenyum manis bertingkah manja,
hidungnya langsung keluar ingus.
Aku berjalan meninggalkan dirinya, sambil melenggak-lenggokan pantat. Sesampainya di ruang
tamu, kunyalakan Tv dan nonton di sofa menunggunya.
(Mudah-mudahan saja, dia selesai sebelum Papi datang…), harapku.
# Grope, while sleeping #
Kudengar suara langkah kaki, rupanya dia telah selesai. Aku langsung pura-pura tiduran
menekuk kaki di sofa. Kurasakan sekali, matanya menelanjangiku. Pasti dia bingung mau
bagaimana. Tapi akhirnya, Pak Simin duduk juga di tempatnya tadi duduk.
“Eh !!”, Pak Simin kaget, karena tiba-tiba aku meregangkan tubuh melonjorkan kaki dan
menaruh di pangkuannya, membuat dia makin salting saja.
Kurasakan di betis yakni selangkangannya meninggi, dia makin konak Yes !!. Pak Simin
menepuk-nepuk telapak kakiku, memanggil namaku untuk mengetahui keadaanku.
“Non, Non Niaa…” dia membangunkanku, namun aku sengaja seperti ini.
Lama kelamaan dia menyerah juga, yang kunanti-nanti datang juga. Tangannya ditaruh di
betisku, lalu digesek-gesek untuk merasakan halusnya. Melihat reaksiku Nol, dia semakin
ketagihan. Jarinya bergerilya menelusuri paha, sampai meremas pantatku kecil-kecil. Dengan
hati-hati, dia mengangkat rok-ku, berniat memuaskan mata melihat isinya.
“HHNGGKH !!”, Pak Simin sesak nafas, dia spontan menyingkap rok-ku sepinggang.
Tubuhku dimiringkannya, sebelah kakiku diangkat dan dipapah ke bahunya. Seketika kurasakan
dengus nafas yang menderu, menerpa belahan kemaluanku.
Sniff ! Sniff !!, dia mengendus wangi vaginaku.
Leeeepph !!, sebuah jilatan panjang yang telak di memek tiba-tiba, membuatku tak kuasa
menahan desahan.
“Aaaaaaaahh…”, kuintip Pak Simin menyeringai melihat reaksiku. Pria seumurnya, tentu tidak
hijau dalam masalah seks. Dia pasti tau kalau aku hanya pura-pura tidur, sengaja menjerumuskan
godaan sampai ke hal ini.
Pak Karsimin tertawa cekikikan seperti orang gila tiba-tiba, selanjutnya dia melahap dan menjilat
kewanitaanku bagai maniak seks, rakus sekali. Suara seruputan sampai-sampai mengalahkan
suara Tv, hal ini menjadi boomerang terhadapku.
(Shit, enak bangeet…), dalam hatiku, tubuhku menggelinjang nikmat tak karuan.
“Sluuurph memek bule…Shrrrrrph Aaaahh, gurih…enak !!” celotehnya.
Senjata makan Nona buatku, aku menyiksa birahi diriku sendiri. Kutahan desahan sebisa
mungkin, kugigit bibir bawah untuk menutup suara keluar.
“Emmh…!” aku tersiksa, gairahku meletup-letup, namun tak bisa ku-expresikan. Baik itu
melalui desahan, maupun jambakan tangan pada kepala si penyeruput.
Aku hanya bisa mengapit kepalanya karena geli-geli enak, yang percuma karena akan kembali
dibentangkan lagi olehnya. Pak Simin menambah serangan, menggerepeh paha dan meremas
pantatku. Jarinya dicelup-celupkan ke liang senggamaku yang sudah becek, hingga membuahkan
bunyi, Clek..clek..clek..clek !!
“Emmmhh…AAAAAAAAAAAAHHHHH…SSSSHHTT !!” aku orgasme dengan mata
terpejam, dan kaki mengapit keras kepalanya.
Kulupakan sejenak status kami, tak peduli bahwa dia adalah tukang kebunku. Yang jelas,
mulutnya yang rakus memek itu, berhasil membuatku orgasme. Kenikmatan berganda, di kala
orgasmeku yang belum mereda, adalah emutan panjang di bibir vagina. Tubuhku mengejat-
ngejat nikmat, Pak Simin tertawa sinting menyaksikan kekalahanku. Mataku masih terpejam,
namun dadaku naik turun karena nafasku tersengal-sengal. Dia mengelus-elus pahaku, bangga
dengan kemenangannya menaklukanku, dimana aku munafik untuk mengakuinya. Pak Simin
melepaskan diri, kuintip dia rupa-rupanya sedang menanggalkan sarungnya. Ternyata, diapun
tanpa dalaman, penisnya yang mengacung kini mengincar vaginaku.
(Shit ! gimana niih…?!), pikirku kebingungan.
Maksudku tidak sampai sejauh ini, tidak sampai bersetubuh. Bisa saja aku bangun dan kemudian
berakting mengomelinya. Tapi…aku akan gagal mendapatkan kenikmatan berikutnya.
Kenikmatan yang lebih nikmat daripada tadi, masuknya penis ke vagina. Selagi aku masih
bingung, Pak Simin sudah mengambil posisi mendekati kewanitaanku. Dia kembali
memiringkan tubuhku, lalu berjongkok disana. Dipapahnya kakiku sebelah di bahunya, agar
lebih mudah memasuki milikku. Aku bingung, Pak Simin melekatkan penis dan bergerak
menggesek kewanitaanku. Aku mendesah lirih, sepertinya, aku menyerah saja pada kenikmatan
yang terlalu sayang untuk ditolak. Dia membuka lebar bibir kemaluanku, penisnya telah tepat
mengarah kesitu.
(Ayo Pak ! setubuhi aku, senggamai aku sampai aku kelojotan bahkan hingga sakit jika jalan…
penuhi liangku dengan mani-mu, acak-acak dalamnya sesukamu…entot aku, perkosa aku…
milikku adalah milikmu…), dalam hatiku lebai, sudah kepalang horny. Namun sayang, sial bagi
kami.
Din Diiiin !!, klakson mobil yang berarti Papi telah pulang.
(Shit ! tanggung banget sih datengnya !!), keluhku, Pak Simin juga bersungut-sungut.
“ADUH !! MEMEK DEPAN MATA, TINGGAL SODOK, WUEDYAAN !!!” omel Pak Simin
kesal, gagal maning-gagal maning.
Aku saja yang sudah dapat klimaks sekali merasa tanggung, apalagi Pak Simin. Dia
menggebrak-gebrak sofa seperti orang STRES !!, aku memakluminya. Penisnya belum rejeki
atas vaginaku, belum jodoh. Pak Simin dengan cepat mengenakan sarung, lalu pergi
meninggalkan diriku. Setelah dia keluar, barulah aku segera naik ke atas untuk melepas pakaian
dan membersihkan diri dengan mandi susu. Selesai mandi, aku ke kamar Papi untuk
menyapanya. Papi sempat bertanya aku tadi dimana sewaktu beliau datang, aku menjawab yang
kebetulan tidak perlu berbohong bahwa sedang mandi. Papi hanya menggangguk, aku pamit
tidur dan balik ke kamar.
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Esoknya, aku terbangun lebih pagi dari biasanya. Aku segera mandi dan sarapan. Lalu menuju
kamar Papi. Pintu kamarnya tampak terbuka, dia sedang beres-beres untuk ke Swedia menyusul
Mami. Aku masuk dan memeluknya manja dari belakang, karena akan berpisah dengannya
kurang lebih seminggu. Papi tertawa, meledek aku yang sudah besar tapi masih seperti anak
kecil. Walaupun dia memaklumi karena aku anak satu-satunya dan perempuan pula. Tiba-tiba
terdengar suara pintu diketuk.
“Maaf tuan…Pak Hasan sudah datang !” kata suara yang rupanya mbak Siti, dia kembali ke
dapur. Raut wajahku pun langsung berubah, Papi memandangku dengan wajah penuh tanda
tanya.
“Kenapa Non ?” tanya Papi meledek.
Biasanya Papi menggunakan panggilan ‘Non’ kalau sedang ingin bercanda, aku merengut manja
menatapnya.
“Sudahlah, jangan terlalu marah sama dia…khan engga sengaja bikin ubin kamar mandi jadi
rusak !” nasihat Papi.
(Bukan itu piii…aduuhh !!), keluhku dalam hati.
“Yuk ke bawah…” ajaknya, kami pun menuju ruang tamu.
Aku melihat Pak Hasan dan Asep sedang duduk di sofa, melempar senyum tanpa dosa ke arah
kami.
“Apa khabar Pak ?” sapa Pak Hasan mengawali, menawarkan jabatan tangan.
“Ya, ya baik…berduaan aja ?” sahut papi menyambut jabatan tangan.
“Iya…khan yang musti diperbaiki engga banyak, jadi tukang satu…kernet satu, cukup !”.
“Oh gitu, ok silahkan duduk !”.
“Trimakasih, Non Nia juga gimana khabarnya ?” tanya Pak Hasan padaku sok ramah.
“Baik !!” sahutku ketus, mereka tertawa yang maksudnya hanya aku dan mereka yang mengerti,
sementara Papi tidak.
Kemudian Papi dan kedua kuli gila seks itu membicarakan mengenai biaya perbaikan. Setelah
selesai dan terjadi kesepakatan, Papi dan pak Hasan kembali berjabat tangan. Mereka
menawarkan jabatan tangan juga padaku, namun aku menolaknya. Papi tertawa sambil
mengelus-elus punggungku, ia menyangkanya aku marah karena kakiku yang terluka. Padahal
bukan itu, tetapi hal yang lebih besar lagi. Mereka tertawa seolah-olah memaklumi, padahal
sebaliknya. Mereka akan semakin bergairah dalam menyalurkan dendam birahi jika ada
kesempatan menyetubuhiku. Pria macam mereka, semakin kami wanita menolak galak melawan,
malah semakin bernafsu gila.
“Nia, Papi berangkat dulu yah !” pamitnya mengelus sayang rambutku.
Aku mencium pungguk tangannya, kuantar dia ke mobil. Papi bilang akan men-transfer uang
jajan di jalan ke rekeningku. Aku langsung tersenyum manis senang, Papi mencubit pipiku
gemas.
“Mbok, aku jalan dulu…titip Nia !”.
“Tuan…anu maaf, saya baru dapat khabar…keponakan saya yang sakit keras…me-me-
meninggal Tuan !!”.
“Ya Tuhan…aku turut berduka mbok” sahut Papi.
Aku yang dekat dengan mbok Siti karena anak tunggal, bergerak mendekatinya dan mengusap-
usap punggungnya, larut dalam duka nestapa bersama.
“Iya tuan trimakasih…jadi, saya mau izin seminggu !” kata mbok Siti seraya menyeka air mata.
“Ya-ya, engga papa…” jawab Papi mengambil dompet di kantung belakang celananya, lalu
mengeluarkan beberapa lembar ratusan ribu untuk diserahkannya ke Mbok Siti.
Mbok Siti menerima pemberian, mengucapkan terima kasih dan pamit lebih dahulu. Aku
meneruskan jalan bersama Papi ke parkiran, Jaja membukakan pintu belakang mobil, Pak
Karsimin menggeser pintu gerbang.
“Pak Simin, titip Nia yah !” teriak Papi pada si tukang kebun pervert berumur.
“Beres tuan, hehehe…” sahutnya, yang kemudian menyeringai ke arahku.
(Shit, jangan-jangan dia mau lanjut yang kemarin…), dalam hatiku.
Mobil Papi pun melaju meninggalkanku. Kini, tinggalah aku bersama Pak Simin dan dua kuli
pemerkosa.
“Aku ke dalam ya Pak…”.
“Iya Non, Bapak juga nerusin kerjaan nih sebentar lagi…nanti juga Jaja pulang abis anter Tuan,
Non kalo ada perlu apa-apa cari aja saya di belakang yah !” terangnya.
Aku mengangguk dengan hati yang lega. Setidaknya, dia akan menjagaku dari niat jahat dua kuli
itu. Aku kembali ke ruang tamu, Pak Hasan dan Asep tampak sudah memulai pekerjaannya di
kamar mandiku yang ada di atas karena bising suara pukulan palu. Kunyalakan Tv tidur
selonjoran di sofa, memakai celana pendek dan kaus tanpa lengan. Betul saja dugaanku, tak
berapa lama Pak Simin mendatangiku. Menurut laporan penis, vaginaku masih punya saldo
hutang birahi.
(Shit, si tua bangka muka memek dateng nyari gw mau ngentot…), keluhku.
Sayang waktunya tak tepat, aku sedang tidak mood. Mana ada dua orang yang kubenci lagi, aku
terpaksa harus tegas menolaknya.
“Non Nia, lagi nonton ?” tanyanya sambil tersenyum mesum.
“Iya…” sahutku ketus singkat, berharap dia pergi karena tak tega aku menolaknya.
“Bapak temenin yah…” katanya dengan cengiran, hingga giginya yang hitam dan mulai ompong
itu terlihat olehku.
“Engga usah Pak kali ini…” sahutku memberinya kode, namun dia terlalu udik untuk mengerti.
“Oo ya udah…” balasnya langsung terdiam, aku jadi semakin tak enak.
“Non engga senam lagi kaya kemaren ?” tanyanya lagi tiba-tiba tak menyerah.
Aku tau dia memancing, tapi ada Pak Hasan yang membuatku BT dan tak mungkin aku
melakukan hal kemarin ada dia. Secara tak langsung, Pak Simin menyudutkanku. Serba salah
dan tak mungkin kujelaskan masalahku, Papi saja tidak tau.
“Ada tukang bangunan khan Pak, engga mungkin sekarang-lah…Nia malu donk, udah Bapak
keluar deh jangan ganggu Nia dulu !” kataku telepasan ketus, Pak Simin terlihat kecewa dan
sedikit marah dari guratan di wajahnya.
Dia bangkit dan berjalan cepat meninggalkanku, aku merasa bersalah jadinya. Habis, harus
bagaimana lagi ?. Sementara ini, Pak Simin pasti berpikiran bahwa aku hanya mempermainkan
dirinya. Seharusnya aku langsung minta maaf padanya. Dalam masa kalutnya hati dan pikiran,
mataku kriyep-kriyep, kata orang sih tidur ayam. Beberapa menit kemudian mataku gelap dan
memetik kembang tidur. Aku bermimpi, mimpi kedatangan dua pria tampan. Keduanya bergerak
menelanjangi dan menggerayangiku. Melihat ketampanannya aku pasrah, satu pria menciumi
pipiku penuh nafsu, satunya menggerayangi pahaku dengan gencar. Tapi aneh ? cumbuan
mereka kasar sekali, tidak sesuai dengan wajah, tidak romansa dan tak senada. Pria yang
menciumi pipi, sekarang menghisap payudaraku. Pria satunya yang menggerayang paha,
melahap rakus kewanitaanku. Keduanya lapar dan dahaga, walau tak kupungkiri aku
menikmatinya. Kuangkat kelopak mata sedikit demi sedikit.
(Aah, kenikmatan ini nyata…tapi, mana ada pria tampan ? di rumah semuanya pria buruk
muka ?!), aku tersadar dengan mata terbelalak.
(AAAARGHH…SHIIITT !!!).

Anda mungkin juga menyukai