Matrik Maping HAM PDF
Matrik Maping HAM PDF
PENDAHULUAN
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat rahmat-Nya kami telah berhasil menyelesaikan Penelitian Pemetaan Daerah Konflik Pelanggaran HAM di Papua pada lima kabupaten, yakni Jayapura , Biak,
Manokwari, Jayawijaya dan Merauke. Penelitian dimaksud untuk melakukan pemetaan terhadap pelaku, motif, dan modus dari konflik yang menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM di Papua selama kurun waktu 1995 – 2001. Penelitian
ini berangkat dari 3 pertanyaan pokok. Pertama siapa, kedua motifnya apa dan ketiga modus yang digunakan dari jawaban ini dapat dijabarkan lebih lanjut mengenai variabel yang berpengaruh terhadap terjadinya konflik pelanggaran
HAM, mengetahui potensi konflik dan perspektif ke depan untuk membangun Papua baru yang lebih adil dan demokratis.
Penelitian ini menghasilkan pemetaan dari tujuan tersebut di atas sehingga bukan untuk menunjukkan siapa yang salah dan siapa yang benar karena hal tersebut merupakan kewenangan yuridiksi dari lembaga peradilan. Oleh karena
itu, maka menjadi sangatlah penting membawa kasus–kasus tersebut ke proses hukum melalui mekanisme hukum yang adil dan benar – memproses semua pihak yang terlibat secara transparan dan jujur. Dengan demikian, ada
pertanggungjawaban hukum dari semua pihak.
C. Methode Penelitian
Jenis penelitian bersifat eksploratif dan deskriptif dengan sasaran penelitian melalui pendekatan proposional dan representatif .Tehnik pengumpulan data dilakukan dengan pendekatan empirik : Observasi dan wawancara.
Tehnik pengelolaan data dilakukan dengan : Editing, coding dan Tabulasi. Sedangkan tehnik analisa data melalui Kualitatif dan Kuantitatif.
Dalam upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, data diperoleh dari dokumentasi tertulis baik berupa buku, majalah, koran, serta dokumen-dokumen yang tidak diterbitkan (untuk kalangan terbatas). Selain itu data juga
diperoleh melalui wawancara mendalam, diskusi kelompok terfokus serta diskusi kritis dengan pakar / tokoh informan yang diwawancarai yang merupakan representasi dari masyarakat, yakni tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh
adat, tokoh perempuan, LSM, aktifis HAM, jurnalis, Pemerintah, Militer, Cendikiawan dan kelompok sipil bersenjata.
Secara tehnis, tahapan pemetaan ini dilakukan sebagai berikut :
Tahap I : Penelitian diawali dengan Training methodelogi selama 2 hari
D. Lokasi Penelitian
Ketika menentukan 5 lokasi daerah penelitian tentang Pemetaan Daerah Konflik Pelanggaran HAM, nampaknya sangat sulit dipilih secara acak, disebabkan setiap daerah di Papua berpotensi konflik yang dapat mengakibatkan terjadi
Pelanggaran HAM. Karenanya kami mencoba memilih dengan mempertimbangan alasan geografis : Utara – Selatan, Laut – gunung, dalam dan perbatasan, sehingga menghasilkan 5 lokasi dari 5 lokasi tersebut kami mengadakan
penelitian pada Kecamatan, Kelurahan/desa dengan pertimbangan geografis (jumlah kecamatan dan kelurahan/desa), demografis (heterogenitas penduduk) dan kecenderungan konflik yang terjadi berdasarkan data awal yang kami
himpun .
Kabupaten/Kodya Jayapura dengan wilayah yang sangat luas karena meliputi 2 wilayah admintsrasi terdiri atas 24 kecamatan 6 Kelurahan dan 225 Desa. Maka penelitian dilakukan pada 11 Kecamatan dan 22 Kelurahan/Desa.
1. Kec. Demta : Desa Muris kecil
Desa Ambora
Kel.Tabri
Desa Besum
Kel. Asano
Kel. Mararena
Desa Safron
Kuefa
SP VIII
Arso PIR IV
Kel. Burokup
Desa Sumberker
Desa Ambroben
Desa Mandala
Desa Wonigi
Desa Angraidi
Desa Oswer
Desa Korem
Desa Keruboi
Desa Warsa
Desa Bu Busdon
Desa Misarway
Desa Amingweri
Kabupaten Manokwari
Terdiri dari 17 Kecamatan 11 kelurahan dan 557 desa.
Kel. Sanggeng
Kel. Kwawi
Kel. Amban
2. Kec. Wasior : Kel/desa Mandomawi 1
Kel/Desa Mandomawi 2
Desa Kebouw
Desa Wondiboi
Desa Isuy
Desa Ramiki
Desa Rasey
Desa Tandia
Desa Sanderawaoy
Desa Tafoi
Desa Plasma
SP II
SP IV
Kilo II
Kabupaten Merauke .
Terdiri dari 23 Kecamatan 512 desa, 9 kelurahan dan 11 Unit Pemukiman Transmigrasi.
Kel. Maro
Desa Sota
Desa Tamanim
Desa Yasiu
Desa Asgon
Desa Kiworo
Desa Persatuan
Desa Perjuangan
Desa Mawan
Desa Asiki
9. Kec. Kurik : Desa Kurik I
Desa Ivimahad
Desa Kurik V
Kabupaten Jayawijaya
Terdiri dari 28 Kecamatan – baru dimekarkan dari 12. Jumlah kelurahan/desa yang semula 269 menjadi 678 sedangkan kelurahan tidak mengalami perubahan yakni 5.
Desa Wouma
Desa Wesaput
2. Kec.Bokondini : Kel.Bokondini
Desa Bilubaga
Desa Timeria
Desa Yapimaket
Desa Kubipkop
Desa Alama
Desa Huarem
Desa Yenggelo
Desa Jigi
Desa Geseleima
Desa Mbua
Dari hasil temuan di lapangan kami menemukan banyak sekali kasus “pelanggaran HAM” akan tetapi sebagai acuan kami berpangkal pada defenisi pelanggaran HAM yang tertuang dalam UU NO 39 / 1999 tentang Hak Asasi
Manusia Bab I : Ketentuan Umum pasal 1 : 6
“Pelanggaran adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau
mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme
hukum yang berlaku’……”
Kalimat “…..tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku….” Menunjukkan indikasi bahwa adanya unsur ( baca : peran)
negara dalam setiap bentuk Pelanggaran HAM yang terjadi baik karena :
Kedua, karena peraturan (violence by judicial) seperti banyak kasus yang terjadi akibat kebijakan tentang pengibaran bendera bintang Fajar oleh Gus Dur, perijinan HPH dan sejenisnya.
Ketiga, karena proses pembiaran yang dilakukan oleh negara seperti pertikaian antar kelompok masyarakat akibat persoalan-persoalan yang tidak pernah diselesaikan secara tuntas sedangkan negara mempunyai tanggungjawab.
Serta perbuatan yang ditimbulkan membawa akibat yang lebih luas bukan saja kepada pelaku dan korban langsung tetapi juga kepada masyarakat. Karena itu ada 2 indicator penting yang kami pakai dalam meneliti kasus adalah :
peran atau keterlibatan dari negara dan akibat dari peristiwa yang terjadi terhadap masyarakat yang terlibat langsung maupun tidak langsung dari peristiwa tersebut.
Untuk periode tahun kami mengambil kurun waktu 1995 s/d 2001 hal ini diharapkan agar dapat mengetahui kecenderungan kasus pelanggaran HAM yang terjadi sebelum era reformasi dan setelah era reformasi..Terbukti bahwa
setelah reformasi maka kasus dengan motif politik cenderung meningkat, kategori pelaku bertambah dan juga meningkatnya wilayah konflik dengan kekerasan bersenjata. Hal ini bisa saja disebabkan karena : Reformasi ditafsirkan
sebagai alat pembenaran untuk mewujudkan kebebasan total dalam segala aspek kehidupan bagi siapa saja sehingga ada “pemaafan“ yang akan diberikan jika orang bertindak mengabaikan hak-hak orang lain mengingat sudah
puluhan tahun sebelumnya rakyat dipaksa untuk bungkam melalui oleh Orde Baru
Hasil penelitian kami memperlihatkan bahwa tingginya intensitas “perlawanan” yang dilakukan oleh masyarakat Papua akhir-akhir ini – terutama setelah reformasi 1998 – dikarenakan munculnya kesadaran kolektif akan proses hukum
dari sejarah integrasi Papua ke dalam NKRI, ketidakadilan pemerintah dan pihak perusahaan serta tindak kekerasan TNI/POLRI. Karena belum adanya persamaan pandangan terhadap hal tersebut maka terjadilah konflik yang
senantiasa menyebabkan terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia atau yang biasa disingkat dengan Pelanggaran HAM di Papua.
Sesungguhnya secara riil adalah sangat sulit untuk memisahkan kasus perkasus secara jelas dan berdiri sendiri karena ada banyak kasus yang terjadi akibat atau menyusul peristiwa sebelumnya dalam waktu yang relatif sangat
singkat. Sehingga hal tersebut pula yang menghasilkan bahwa terkadang sumber konflik / motif tidak dapat berdiri sendiri Selain itu dengan membatasi tahun penelitian 1995 – 2001 rasanya juga kurang “ fair” karena banyak kasus
yang saling berkaitan diluar kurun waktu tersebut. Terutama kasus yang berkaitan dengan proses hukum dari sejarah integrasi Papua ke dalam NKRI. Akan tetapi selama periode 1995-2001 kami menemukan 74 kasus dengan
variasi 87 sumber konflik dari tiga motif utama yakni politik, ekonomi dan sosial budaya.
Penelitian dengan dasar kwalitatif ini mencoba juga merumuskan hasil berupa data kwantitatif – sebagai fungsi pemetaan – yang dapat dilihat melalui motif, modus, pelaku, korban, aspek geografis – teritorial bahkan juga
perubahan/pergeseran motif, perubahan modus, pertambahan pelaku dan meluasnya jenis korban akibat konflik pelanggaran HAM yang terjadi selama kurun waktu tahun 1995 – 2001.
Ucapan terima kasih disertai penghargaan yang setinggi-tingginya kami sampaikan kepada masyarakat terutama yang berada di lokasi penelitian : Jayapura, Manokwari, Biak, Merauke dan Jayawijaya, pemerintah, pihak TNI/POLRI,
teman-teman LSM, para jurnalis serta semua pihak yang telah membantu kami – baik dengan informasi lisan maupun tertulis.
Terima kasih yang sama kami sampaikan pula kepada pihak USAID – CSSP atas kerjasama yang diberikan. Disadari bahwa hasil penelitian ini masih banyak yang harus diperbaiki, diperkaya dan disempurnakan sebagai bagian yang
tak terpisahkan dari upaya mencegah terjadinya pelanggaran HAM di tanah Papua karena kesadaran akan adanya suatu “ketidakadilan”. Di saat kita mulai setuju dengan pendapat di atas maka kita selangkah lebih maju dalam
kesadaran kemanusiaan kita sendiri. Oleh sebab itu kritik dan saran sangat kami harapkan dan untuk itu didahulukan penyampaian terima kasih.
1-3GAMBARAN UMUM
I. Kabupaten Jayapura
A. Batas Wilayah dan Letak Geografis
Secara geografis, Kabupaten Jayapura berbatasan dan mempunyai garis meridian sebagai berikut :
Bagian Utara berbatasan dengan samudera Pasifik, berada pada 10 27’ LS.
Bagian Selatan berbatasan dengan Kabupaten Jayawijaya, berada pada 30 49’ LS.
Bagian Barat berbatasan dengan Kab. Yapen Waropen dan Paniai, berada pada 1370 27’ BT.
Bagian Timur berbatasan dengan Negara Papua New Guinea, berada pada 1410 BT.
B. Luas Wilayah
Berdasarkan data pada Badan Pusat Statistik Kabupaten Jayapura, bahwa luas wilayah Kabupaten Jayapura adalah 61.493 Km 2 .
C. Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk Kabupaten Jayapura berdasarkan hasil sensus yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik Kabupaten Jayapura pada tahun 2000 yaitu 155.439 jiwa dengan perincian, jumlah laki-laki adalah 82.821 jiwa serta
perempuan 72.618 jiwa.
D. Potensi Sumber Daya Alam
Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Jayapura bahwa untuk sumber daya alam khususnya migas tidak terdapat di Kabupaten Jayapura, sedangkan sumber daya alam dari non migas misalnya di
daerah Arso merupakan daerah perkebunan kelapa sawit dan juga sebagai pusat pertanian di samping Kecamatan Kemtuk Gresi dan Kecamatan Nimboran, sedangkan hasil hutan ada pada kecamatan Demta
E. Pembagian Wilayah Pemerintahan.
Kabupaten Jayapura mempunyai 24 Kecamatan dengan perincian 6 kelurahan dan 225 desa.
Bagian Utara berbatasan dengan laut Pasifik, berada pada 0,550 LS.
Bagian Selatan berbatasan dengan selat Yapen, berada pada 1,36 LS
Bagian Barat berbatasan dengan Kabupaten Manokwari, berada pada 1340 47’ BT.
Bagian Timur berbatasan dengan laut Pasifik, berada pada 1360 BT.
B. Jumlah Penduduk
Secara kuantitas, data kepadatan penduduk Kabupaten Biak Numfor, berdasarkan data di Badan Pusat Statistik hingga tahun 2000, adalah sebanyak 115.958 jiwa. Dengan angka rata-rata kepadatan penduduk per-desanya
sebesar 37,05%.
D. Potensi Sumber Daya Alam
Potensi sumber daya alam yang terdapat di Kabupaten Biak Numfor, memang tergolong minus karena tidak terdapat hasil bumi seperti kandungan migas. Yang ada hanya non-migas berupa kawasan samudara pasifik yang di
dalamnya menghidupkan biota laut yang sangat endemic, mulai dari jenis ikan lautnya yang beragam dan terumbu karangnya yang unik. Sehingga potensi ini merupakan objek parawisata yang andalan Kabupaten Biak Numfor
khususnya dan Provinsi Papua secara umum.
E. Pembagian Wilayah Pemerintahan.
Secara administratif, Kabupaten Biak Numfor membawahi 12 Kecamatan, yaitu Kecamatan Biak Kota, Kecamatan Samofa, Kecamatan Yendidori, Kecamatan Biak timur, Kecamatan Padaido, Kecamatan Biak Barat, kecamatan
Biak Utara, Kecamatan Warsa, Kecamatan Supiori Utara, Kecamat Supiori Selatan, Kecamatan Numfor Timur dan Kecamatan Numfor Barat. Yang kesemuanya itu, membawahi langsung 11 kelurahan dan 142 desa.
Bagian Utara berbatasan dengan laut Pasifik, berada pada 00, 35’ LS
Bagian Selatan berbatasan dengan Kabupaten Fakfak, berada pada 30, 25’ LS
Bagian Barat berbatasan dengan Kabupaten Sorong, berada pada 1320, 35’ BT
Bagian Timur berbatasan dengan Kabupaten Biak Numfor, berada pada 1340, 45 BT
B. Luas Wilayah
Kabupaten Manokwari memiliki luas wilayah 37.901 Km².
C. Jumlah Penduduk
Berdasarkan data yang ada pada Pemerintah Daerah, sampai tahun 2002, Kabupaten Manokwari memiliki jumlah penduduk 201.080 jiwa.
D. Pembagian Wilayah Pemerintahan.
Terdiri atas 17 Kecamatan yang membawahi 11 Kelurahan dan 557 desa.
Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Jayawijaya dan berada pada 137º BT.
Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Arafura, berada pada 141º BT.
Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Mimika dan berada pada 5º LS.
Sebelah Timur berbatasan dengan Papua New Guinea dan berada pada 9º LS.
B. Luas Wilayah
Kabupaten Merauke merupakan wilayah tertimur di Indonesia. Kabupaten Merauke yang berada pada ketinggian 3,5 meter di atas permukaan laut mempunyai luas wilayah 119.749 Km2 atau 28,87% dari luas propinsi Papua.
Bentangan jarak terjauh adalah dari Utara ke Selatan, yaitu sejauh 445 Km. Kecamatan Kimaam merupakan daerah terluas, yakni 14.357 Km2 atau 11, 99 %, sedangkan Kecamatan Citak Mitak adalah wilayah terkecil, yaitu 491
Km2 atau 0,41 % dari total luas Kabupaten Merauke.
C. Jumah Penduduk
Berdasarkan hasil registrasi penduduk Badan Pusat Statistik, pada pertengahan tahun 2000, jumlah penduduk Kabupaten Merauke adalah 304.996 jiwa, yang terdiri dari 157.667 laki-laki dan 147.329 perempuan. Dengan jumlah
tersebut, berarti Kabupaten Merauke memiliki Kepadatan penduduk yang mencapai 2,55 / Km 2. Dari jumlah penduduk tersebut, Kecamatan Merauke merupakan daerah kosentrasi penduduk dengan jumlah 85.400 jiwa, serta yang
terkecil adalah di Kecamatan Waropko, dengan jumlah penduduk 3.097 jiwa.
D. Potensi Sumber Daya Alam
Kondisi wilayah Kabupaten Merauke yang terdiri dari dataran rendah yang sangat luas dan subur, sangat tepat untuk menjadikan Kabupaten Merauke sebagai daerah Lumbung Padi Nasional, yang pada tahun 2000 lalu berhasil
memanen 61.773 ton beras. Selain itu, keterbukaan hidrologis dan luasnya tumbuhan bakau pada pesisir pantai dan sepanjang daerah aliran sungai di sebagian besar daerah Kabupaten Merauke menunjukan betapa potensialnya
habitat fauna air seperti, ikan dan udang, yang tahun 2000 lalu berhasil mengekspor tidak kurang dari 50.000 ton ikan dan udang. Juga hasil hutan, selain jenis kayu gaharu yang memiliki nilai ekonomi sangat tinggi, dengan
hamparan hutan yang sangat luas, Kabupaten Merauke telah berhasil mengekspor tidak kurang dari 140.000 M 3 pada tahun 2000.
E. Pembagian Wilayah Pemerintahan.
Secara administratif, setelah dimekarkan, Kabupaten Merauke memiliki 23 kecamatan dengan 512 desa, dan 9 kelurahan serta 11 Unit Pemukiman Transmigrasi.
V. Kabupaten Jayawijaya
A. Batas Wilayah dan Letak Geografis
Secara geografis, Kabupaten Jayawijaya berbatasan dan mempunyai garis meridian sebagai berikut :
Bagian Utara berbatasan dengan Kabupaten Jayapura, berada pada 03º 20’ LS.
Bagian Selatan berbatasan dengan Kabupaten Merauke dan Mimika, berada pada 05º 12’ LS.
Bagian Barat berbatasan dengan Kabupaten Puncak Jaya dan Paniai, berada pada 137º 19’ BT.
Bagian Timur berbatasan dengan Negara Papua New Guinea, berada pada 141º 00’ BT.
B. Luas Wilayah
Wilayah Kabupaten Jayawijaya memiliki luas 52.916 Km2 dengan jarak dari Barat ke Timur sepanjang 339 km dan dari Utara ke Selatan 209 km.
C. Jumah Penduduk
Jumlah penduduk Kabupaten Jayawijaya hingga terakhir ( data tahun 2000 ) berjumlah sebanyak 434.036 jiwa, yang terdiri dari Laki-laki 221. 477 jiwa dan Perempuan 212. 559 jiwa. Berdasarkan persentase, maka penduduk laki-
laki 51,03 % sedangkan perempuan adalah 48,97 % dari jumlah penduduk kabupaten Jayawijaya. Dimana penduduk terbanyak di Kecamatan Anggruk sebanyak 50.917 jiwa dan yang tersedikit di kecamatan Iwur sebanyak 4.476
jiwa.
D. Potensi Sumber Daya Alam
Berdasarkan data dari BP3D, bahwa Kabupaten Jayawijaya memiliki kekayaan sumber daya alam seperti Tembaga, Besi, Khrom, Aluminium, Emas dan Minyak bumi. Akan tetapi belum dikelola. Hasil hutan juga tidak kalah
potensialnya sebagai sumber daya alam yg dapat diperbaharui.
Kondisi kesuburan tanah dengan iklim pegunungan sangat mendukung pertumbuhan sayur-mayur hidup dengan subur. Di Kabupaten Jayawijaya juga banyak mengalir sungai dengan arusnya yang deras. Ini sangat sesuai bila
digunakan sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA ).
E. Pembagian Wilayah Pemerintahan.
Setelah pemekaran daerah Kabupaten Jayawijaya yang dulunya hanya mempunyai 12 telah menjadi 28 kecamatan. Jumlah desa yang awalnya berjumlah 269 menjadi 678 buah. Sedangkan Kelurahan tidak mengalami perubahan,
yaitu 5 kelurahan.
BAB II
WAJAH PELANGGARAN HAM
A. Kecamatan Demta
1. 1999
Pemalangan Log Pound PT. Youliem Sari
Pada tahun 1983 penandatanganan HPH dilakukan di Jakarta antara pihak Pemerintah Pusat dan pihak pemilik HPH. PT. Youliem Sari, tanpa melibatkan masyarakat dalam kesepakatan yang dilakukan.
Setahun kemudian 1984, PT. Youliem Sari untuk pertama kalinya membuka base camp di demta dan mulai melakukan pengoperasian dengan penebangan hutan tanpa sepengetahuan masyarakat pemilik hak ulayat. Hal ini
terus berlangsung selama 5 tahun, yaitu 1988 tindakan tersebut mengundang pertanyaan dan tuntutan masyarakat pemilik hak ulayat agar pihak perusahan memberikan ganti rugi atas hak ulayat yang digunakan oleh
perusahaan. Tuntutan tersebut oleh pihak PT. Youliem Sari berjanji akan membayar kepada masyarakat pemilik hak ulayat sebesar Rp.150,0 per meter dari 10.000 Ha yang digunakan oleh perusahaan dan berjanji kepada
masyarakat pemilik akan membuka sekolah, memberikan bea siswa bagi para anak didik, membuka sarana kesehatan/ Puskesmas, membangun rumah bagi masyarakat, memasukkan listrik dan air bersih. Kesepakatan
tersebut tidak terealisasi satupun sebagaimana yang dijanjikan hingga tahun 1989, pihak masyarakat kembali menuntut agar memperhatikan kesepakatan yang pernah dibuat setahun sebelumnya. Sehingga ketika itu juga
dilakukan penandatanganan ulang tentang janji-janji antara kedua belah pihak.
Pada Tahun 1997 mengirim surat ke Gubernur Papua menuntut PT. Youliem Sari dan meminta gubernur mengeluarkan rekomendasi ganti rugi sesuai dengan perjanjian PT. Youliem Sari.
Pada tahun 1998 (5/12) penandatanganan perjanjian perusahaan untuk ganti rugi sebesar Rp. 400 juta.
Pada Tahun 1999 (14/9) pihak masyarakat dan PT. Youliem Sari menandatangani perjanjian untuk membuka pemalangan yang dilakukan masyarakat untuk pengoperasian PT. Youliem Sari.
Pada tahun 2000, masyarakat melakukan demonstrasi ke DPRD Propinsi Papua dan Polda Papua, menuntut PT. Youliem Sari memberikan ganti rugi atas selama kurang lebih 10 tahun.
2. 2000
Kesewenangan yang dilakukan oleh TNI Pasukan Non Organik
Show force yang dilakukan oleh pasukan non organik (Kopasus, Marinir), maksud dari show force di sini yaitu bahwa mereka melakukan aksi dengan membunyikan senjata yang diarahkan ke atas, aksi mereka dilanjutkan
dengan melakukan tindakan intimidasi.
B. Kecamatan Nimboran
1. 1996
Sengketa Tanah Pada Lokasi Transmigrasi (1996)
Besum ditetapkan sebagai wilayah/daerah transmigrasi pada tahun 1980-an. Semenjak itu pula perlawanan rakyat terhadap kebijakan pemerintah tiap tahun tetap ada, alasanya bahwa pada saat Besum dibuka sebagai
wilayah tarnsmigrasi, Pemerintah belum pernah menyelesaikan persoalan penggantian pemakaian tanah adat untuk mendatangkan warga trans pada 14 suku yang mempunyai tanah di Besum juga disebabkan bahwa ada
perbedaan antara 14 suku tadi dalam hal menyangkut prosedur pelepasan tanah adat akibatnya bahwa para tuan tanah mempersengketakan tanah tersebut pada tahun 1996 yang dimana para warga trans akhirnya tidak bisa
menggarap lahan sebesar 300 dan 600 hektar. Dari akumulasi berbagai macam persoalan dan kekecewaan tersebut akhirnya masyarakat adat dan warga Trans menghadap Pemerintah tapi dari hasil dari pertemuan tersebut
tidak ditanggapi dan hanya dijanjikan bahwa mereka (Pemerintah) akan segera menindaklanjuti permasalahan yang terjadi di Besum, yang pada akhirnya sampai sekarang belum ada realisasi dari janji Pemerintah.
2. 1998
Kesewenangan Brimob Terhadap Massa Pengibar Bendera Bintang Kejora
Pengibaran Bendera Bintang Kejora terjadi pada bulan 1 Juli 1998 tepatnya di Kota Kecamatan Nimboran (Genyem). Aksi yang dilakukan oleh masyarakat tersebut membuat Camat, Kapolsek Nimboran kaget. Masyarakat
menginginkan bahwa bendera naik pagi dan turun pada sore harinya. Pada proses selanjutnya terjadi dialog antara masyarakat, Bupati, Camat Nimboran, Kapolsek Nimboran, Kapolres Jayapura dan Dandim Jayapura. Dialog
tersebut berlangsung di ruangan Kapolres Jayapura.
Hasil dialog pihak Polres Jayapura menginginkan mereka yang terlibat dalam aksi pengibaran Bendera harus ditahan, tetapi Camat serta Kapolsek Nimboran menginginkan bahwa mereka jangan ditahan dan ditangkap dan
mereka(Camat, Kapolsek Nimboran dan tokoh masyarakat) siap menjadi jaminan dan bisa dipanggil sewaktu-waktu kalau ada surat panggilan, akhirnya mereka tidak jadi ditahan. Keesokan harinya Brimob turun ke Kota
Kecamatan dengan melakukan penggeledahan dan penangkapan terhadap masyarakat yang terlibat dalam aksi pengibaran Bemdera Bintang Kejora. Sampai akhirnya mereka ditangkap dalam dilepas dalam beberapa bulan.
3. 1999
Pencaplokan Tanah Masyarakat
Kasus ini bermula ketika Pdt Andreas Ayomi selaku Ketua Wilayah Gereja XIX Irian Jaya meminta kepada warga Nimboran dengan sukarela agar memberikan tanah seluas 6 Hektar untuk berkebun.. Tidak lama kemudian Pdt
Andreas Ayomi menjual tanah tersebut kepada Pihak Yasuka dengan luas Tanah melebihi 6 Hektar (57, 96 H) Atas dasar itulah Pihak Yasuka mengklaim bahwa tanah yang mereka miliki sebesar 57,96 Hektar dari hasil
pembelian dengan Pdt Andreas Ayomi. Hal inilah yang mejadi awal konflik antara Adam Tanggarang (pemilik tanah) dengan Pihak Yasuka. Adam Tanggarang selaku pemilik hak atas tanah tersebut tidak menerima sehingga
melakukan perlawanan atas tindakan yang dilakukan oleh Pihak Yasuka. Atas tuntutan masyarakat, dalam hal ini keluarga Adam Tanggarang, Maka pihak Yasuka melakukan tindakan hukum yaitu dengan memperkarakan
masalah tanah tersebut di Pengadilan Negeri pada Tanggal 4 Juni 1999. Selain itu pihak Yasuka mempertahankan tanah yang mereka tempati sekarang dengan memakai Kepolisian dari Kesatuan Brimob Jayapura. Dalam
kejadian tersebut pihak Yasuka mendatangkan satu Kompi Brimob untuk mengambil/menangkap pemilik tanah, selain itu mereka membongkar rumah milik masyarakat dan memukul salah seorang pemuda bernama Decky
Sewar, satu hal yang perlu kami kemukakan bahwa Pihak Polres Jayapura sudah menerima suap. Setelah Pihak Yasuka memperkarakan kasus tersebut di Pengadilan Negeri Jayapura , maka pihak Keluarga Adam
Tanggarang membawa bukti yang lengkap serta saksi, akhirnya dalam persidangan tersebut pihak Yasuka Kalah dan hak atas tanah dikembalikan kepada keluarga Adam Tanggarang. Menyangkut putusan dari Pengadilan
Negeri dibacakan pada tanggal 19 Juni 2000.
Di sisi lain bahwa dalam kasus Yasuka sempat terjadi perkelahian antar dua kubu di Pengadilan Negeri Jayapura. Awalnya hanya bersitegang, tapi tiba-tiba masyarakat (pemuda) mengurung mobil yang dikendarai Pdt Andreas
Ayomi pada pukul 10.30 WP. Akibat kejadian yang mereka alami bahwa pihak korban sudah melaporkan kejadian ke Polres Jayapura, tetapi pihak Polres tidak respon/ menanggapi surat yang kami layangkan. Penembakan
dan penyisiran terhadap masyarakat dengan memakai stigma separatis, ternyata dari kasus di atas ada terkesan permainan/rekayasa yang dilakukan oleh pihak keamanan agar kasus ini tidak terungkap secara jelas dan
transparan.
Atas peristiwa tersebut masyarakat marah dan mulai melakukan protes. Pada peristiwa tersebut masyarakat melakukan aksi dengan mengusung mayat Robby sambil berjalan kaki ke Pos Boroway dan sampai ke DPRD
Propinsi Papua, selain itu atas kejadian tersebut membawa dampak hingga ke Sentani masyarakat pada saat itu membakar ban-ban mobil dan mengambirkan pasir ditengah-tengah depan Rumah Bpk Theys Elluay,aksi
berlanjut dengan meminta kepada pihak yang berwajib agar pelaku penembakan diproses secara hukum dan meminta agar jenazah Robby dimakamkan di Depan Koramil Kecamatan Nimboran, dan akhirnya lewat
kesepakatan antara masyarakat dengan Pangdam Trikora Amir Sembiring dan Ketua DPRD Propinsi Papua N. Kaiway yang akhirnya disepakati bahwa TNI akan mengganti segala kerugian yg dialami oleh pihak korban
kemudian meminta maf atas kejadian tersebut dan jenazah Robby boleh dimakamkan di Koramil Nimboran tepatnya di bawah papan 8 Sapta Marga TNI sebagai bukti pelanggaran HAM.
D. Kecamatan Sentani
1. 2000
Kasus Pembakaran Pasar Sentani (Juli)
Awal mula terjadinya pembakaran Pasar Sentani bermula adanya peristiwa pembunuhan terhadap korban yang bernama Palo yang terjadi di Tanjung Elmo Sentani yang dilakukan oleh seorang warga yang tidak diketahui
namanya. Oleh pihak keluarga Palo yang berasal dari kampung Ifale mendesak agar pihak aparat Polsek Sentani agar segera menangkap pelaku pembunuhan yang dicurigai masyarakat Kampung Ifale sengaja disembunyikan
oleh warga disekitar Pasar Sentani. Namun keterlambatan aparat kepolisian (Polsek Sentani) dalam menangani peristiwa tsb, maka kembali lagi terjadi pembunuhan dan pembalasan oleh warga masyarakat terhadap salah
seorang warga pasar Berinisial A. Peristiwa ini kemudian memicu kemarahan warga pasar Sentani dan terjadi bentrok antar warga menyebabkan salah seorang warga masyarakat Kampung Kehiran berinisial CW di bunuh di
pasar Sentani , kemudian pasar sentani semakin tegang.
Tanggal 8 Juni 2000, tepatnya pukul 15.00 WP, kampung Kehiran dan kampung Yoboi dinformasikan bahwa CW dibunuh oleh warga pasar Sentani, mendengar itu warga kampung Kehiran dan Yoboi dalam jumlah ratusan
orang berlari menuju pasar sentani dengan parang, panah, tombak dan alat tajam lainnya untuk melakukan perlawanan dan melakukan pembakaran-pembakaran pasar Sentani dan rumah-rumah warga pasar sentani.
Pada pukul 17.00 aparat keamanan dari kesatuan TNI 751 Sentani sebanyak 6 Truk dengan kekuatan bersenjata otomatis melakukan penembakan kearah warga masyarakat. Dalam peristiwa ini seoarang korban tertembak
oleh aparat langsung mati ditempat. Dan korban DW tertembak dikaki kanan dan masih hidup sampai saat ini. Menurut salah satu responden yg kami wawancarai bahwa kejadian pembakaran Pasar Sentani tidak lepas dari
peranan Pemerintah bahwa sebelum terjadinya peristiwa tersebut ada beberapa indikasi keterlibatan pemerintah, diantaranya ada surat edaran dari Bupati Jayapura yang mengatakan bahwa sebelum tgl 7 harus dikosongkan
pemukiman Pasar Sentani, kemudian ada pertemuan yang dilaksanakan di hotel Sentani tentang pemindahan Pasar Sentani. Dari kedua indikasi keterlibatan Pemerintah maka jelaslah bahwa ini merupakan hasil rekayasa
yang dilakukan oleh pemerintah agar para warga pasar sentani pindah dengan alasan bahwa pasar tidak dipergunakan karena ada peristiwa pembakaran pasar Sentani.Dampak dari peristiwa tsb yaitu korban nyawa dan cacat
tubuh yang tertembak oleh pihak aparat keamanan sedangkan kerugian materaial mencapai Rp 9,7 Milyard.
2. 2001
Meninggalnya Ketua PDP, Theys H Elluay dan Pembakaran Aset Perekonomian
Hari Sabtu Tanggal 10 November 2001
Sekitar pukul 19.00 WIT, Theys Hiyo Eluay menuju markas Satgas Tribuana di Hamadi guna mengikuti resepsi Hari Pahlawan atas undangan Komandan Satgas Tribuana. Sekembali dari resepsi, sekitar pukul 22.15 WIT,
informasi via hand phone dari Aris Masoka, sopir Theys Hiyo Eluay, ke Ny. Yaneke Eluay, mengatakan bahwa bapak Theys diculik oleh sekelompok Amber (Pendatang) yang berbadan tegap, dan mobil dibawa lari oleh
mereka.
Minggu Tanggal 11 November 2001, Pukul 12.30, istri Theys Hiyo Eluay, dengan didampingi kuasa hukum beliau, melaporkan perihal tersebut ke Polda Papua. Tim Kepolisian yang melakukan upaya pencarian sejak malam
sebelumnya akhirnya berhasil menemukan Theys Hiyo Eluay bersama mobilnya di daerah Koya Tengah dalam keadaan sudah tidak bernyawa lagi. Sedangkan sopir beliau tidak berada di tempat.
Kabar meninggalnya Theys H. Eluay telah menyulut kemarahan beberapa orang masyarakat Papua. Di Sentani, aksi spontanitas mereka ekpresikan dengan membakar beberapa bangunan pertokoan dan perkantoran. Akan
tetapi aksi tidak meluas.
Setelah diotopsi di RSUD Jayapura, keesokan harinya jenazah disemayamkan di gedung DPRD Papua, kemudian jenazah dengan diirngi puluhan ribu massa dibawa menuju ke kediaman almarhum di Sentani pada tanggal 13
November. Suasana ketegangan sangat terasa di seluruh kota Jayapura.
Setelah disemayamkan di rumah duka, pada 17 November, jenazah dikebumikan di lapangan Sepak Bola Sentani.
E. Kecamatan Abepura
1. 1996
Pembakaran Pasar Abepura (Maret)
Peristiwa pembakaran Pasar Abepura sebagai rentetan peristiwa di Sentani, Abepura dan Jayapura atas wafatnya Tokoh Politik Papua Thomas Wanggai secara tidak wajar di LP Cipinang – Jakarta .
Berikut Kronologis Kasus yang dihimpun oleh Tim Peneliti Aliansi Demokrasi Untuk Papua (AlDP).
Tanggal 16 Maret 1996. Berita Kematian Thomas Wanggai sampai di keluarga Besar Wanggai di- Dok IX Jayapura dan oleh Keluarga Besar Wanggai meminta agar Jenazah Thomas Wanggai dikirim ke Jayapura.
Tanggal 17 Maret 1996. Dilaksanakan rapat untuk membentuk Panitia penjemputan Jenazah Alm Thomas Wanggai. Untuk mengkoordinir penjemputan ini dipercayakan Kepada para Mahasiswa sekaligus pengarahan massa
penjemputan.
Tanggal 18 Maret 1996. Pukul 07.00 s/d 09.30 WP : Massa Simpatisan Thomas Wanggai dari Jayapura, Abepura & Sentani dengan menggunakan kenderaan maupun berjalan kaki ke Sentani bermaksud menunggu dan
sekaligus mengiringi jenasah dari Sentani sampai ke Jayapura.
a. Sentani
Pukul 10.00 WP : Jenasah tiba di Bandar Udara Sentani dengan menggunakan pesawat, setelah itu jenasah diturunkan dari pesawat dan langsung dinaikkan di mobil jenasah. Di halaman bandar udara penjagaan sangat
ketat sekali, karena ribuan massa hadir untuk menjemput jenasah. Aparat Keamanan menahan mobil dan meloloskan mobil jenasah tersebut melewati jalan Yabaso Sentani dan keluar melalui pompa bensin dengan truk
tentara yang dikawal ketat menuju Jayapura dengan melalui Abepura. Massa simpatisan yang menjemput yang terdiri dari para Pelajar, Mahasiswa dan masyarakat bersama-sama bergabung di Kampus Uncen
b. Abepura
Pukul 09.30 WP : Mobil Jenasah yang berisi peti mayat kosong dikawal oleh aparat TNI dan POLRI tiba didepan Kampus Uncen langsung dihadang oleh para Mahasiswa dan bermaksud mengarahkan jenasah ke Aula
Kampus Uncen untuk penghormatan terakhir. Dengan perlahan mobil Ambulance yang diduga membawa peti kosong mengambil haluan kanan dan ternyata diketahui oleh para mahasiswa bahwa peti yang berada didalam
mobil jenasah kosong.
Dalam situasi itu Truk Tentara yang membawa jenasah Thomas Wanggai berhasil melarikan jenasah itu dan diikuti oleh mobil Ambulance dengan kecepatan tinggi. Karena penculik jenasah itu, menyebabkan para
mahasiswa marah dan terjadilah pelemparan dan pembakaran mobil, Taxi, Truk dan motor roda dua di depan Kampus Uncen. Massapun melakukan long March dari Abepura menuju Jayapura sambil melakukan
pelemparan dan pembakaran-pembakaran sesampainya massa simpatisan Thom Wanggai di Skyline. Mereka dihadang oleh pasukan Tentara dan Kepolisian agar tidak sampai ke Jayapura. Akhirnya massa simpatisan
Thom Wanggai kembali ke Abepura dan bermaksud membakar Kantor Pengadilan Negeri. Kira-kira pukul 10.00 WP Aparat Kemanan melepaskan tembakan untuk membubarkan massa.
Massa pun kemudian berpencar hingga ke Pasar dan melakukan pembakaran terhadap terhadap Pasar Abepura, sehingga menyebabkan penikaman oleh warga sekitar Pasar Abepura terhadap 3 orang asal suku
Wamena dalam keadaan luka parah sehingga dilarikan ke Rumah Sakit Dok II Jayapura. Pada korban Jiwa , harta benda dan penangkapan sewenang-wenang oleh Aparat Keamanan trehadap Massa simpatisan Thomas
Wanggai.
2. 1998
Uncen Berdarah
Peristiwa ini diawali oleh kegiatan mimbar bebas yang dilakukan oleh mahasiswa Uncen yang dikoordinir langsung Senat Mahasiswa Universitas Cenderawasih pada hari Jumaat tanggal 03 Juli 1998, aksi tersebut bertempat di
depan Ruang Rektorat lama Kampus Uncen Abepura. Aksi itu pada intinya menuntut diselesaikannya kasus-kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua, sebelum aksi mimbar bebas itu dilaksanakan di Uncen terlebih dahulu
mereka laksanakan di Kantor DPRD Propinsi Papua. Aksi mimbar bebas ini dilaksanakan merupakan rangkaian dari kegiatan yang dilangsungkan sejak tanggal 01 Juli 1998. Setelah beberapa hari melangsungkan Demonstrasi
di Gedung DPRD maka para mahasiswa mengalihkan kegiatan mereka di Kampus Uncen tanggal 03 Juli 1998. Kegiatan mimbar bebas itu sendiri dimulai pada pukul 10.00 WP. Selama berlangsungnya aksi tersebut tidak ada
tanda-tanda akan terjadi chaos semuanya berjalan dengan tertib, aman dan damai, tapi tiba-tiba saja terjadi keributan tatkala ada anggota intel Polres Jayapura duduk diatas pagar dan ini diketahui oleh para mahasiswa,
mereka langsung memukul dan menghajar intel tersebut sehingga mengakibatkan suasana menjadi kacau balau, oknum yang diduga intel tersebut mengalami luka yang serius disamping itu senjata yang ia miliki dirampas. Tak
lama kemudian muncul mobil patroli dan langsung melepaskan tembakan dan mengejar para mahasiswa yang mengikuti aksi mimbar bebas, akibatnya bahwa dari kejadian tersebut telah menelan korban Mahasiswa Fakultas
Hukum Semester IV yang bernama Steven Suripaty yang pada waktu itu tengah menyaksikan aksi mimbar bebas. Steven Suripaty tertembak di Gedung PGSD-Uncen dengan mengalami luka yang serius, tembakan peluru
nyasar yang dilakukan oleh Militer mengenai kepala Steven Suripaty dan tergeletak tak berdaya, disamping itu tembakan tersebut mengenai siswa SMP St Aquino yang bernama Monim pada bagian kaki.
Melihat Steven Suripaty tergeletak tak berdaya, seketika itu pula para Mahasiswa langsung membawanya kerumah sakit Dok II Jayapura. Selama dirawat di RS Dok II penjagaan yang dilakukan oleh mahasiswa sangat ketat
sekali dan ekstra hati-hati. Akhirnya selama sempat dirawat Di Rumah Sakit kurang lebih 14 hari, Steven Suripaty meninggal dunia akibat tembakan yang mengenai dikepala. Mendengar kabar Steven Suripaty Meninggal dunia
maka seketika itu Uncen berkabung. Pasca Kematian Steven Suripaty pihak Uncen langsung membentuk Tim Pencari Fakta yang beranggotakan dari unsur Dosen dan Mahasiswa yang diketuai oleh Elly Lewerissa, SH, M.H.
Hasil dari investigasi tersebut ada indikasi kuat bahwa institusi TNI terlibat dengan berdasarkan fakta di lapangan yaitu berupa peluru , motif, modus serta keterangan dari para saksi. Meskipun Tim Pencari Fakta telah bekerja
secara optimal dan sudah merampungkan hasil laporannya dan menyerahkannya kepada pihak yang berwajib tapi hingga kini belum ditindaklanjuti hasil laporan tersebut.
3. 2000
Konflik Etnik (November)
Konflik yang terjadi di pasar Abepura pada tanggal 14 November 2000 berawal dari 2 (dua) orang pemuda Papua yang mabuk, masuk ke warung makan milik pendatang (makassar). Setelah selesai makan kedua pemuda tadi
tidak membayar. Oleh pemilik warung diminta untuk harus membayar, dan kedua pemuda tadi “membayar” dengan pukulan kepada pemilik warung kejadian ini terjadi kurang lebih pukul 16.00 WP.
Akibat dari kejadian tersebut warga pemilik warung dan massa sekitarnya melakukan reaksi untuk membalas perbuatan kedua pemuda tadi dan akhirnya meluas kepada seluruh warga penghuni pasar yang kemudian
melakukan reaksi tanpa melihat siapa pelakunya. Reaksi warga pribumi yang berjualan di pasar menjadi sasaran dari warga pasar.
Warga pribumi yang berjualan berlarian untuk menyelamatkan diri sebagian besar kelompok tersebut berlari dan berkumpul di sepanjang jalan depan toko Garuda dan kantor LBH-Papua. Pada saat itu terjadi aksi pelemparan
batu dari warga pribumi (yang dikejar) kepada warga pasar yang mengejar dengan peralatan tajam.
Masyarakat disekitar tempat kejadian yang ingin mengetahui apa yang sedang terjadi (sebagian besar warga pribumi) berkumpul bersama-sama dengan warga pribumi yang dikejar dari pasar. Akhirnya terjadi kelompok-
kelompok yaitu bagian atas (sepanjang jalan) bagian besar warga pribumi dan kelompok di pasar bagian besar warga pendatang dan terjadilah baku serang antara warga pasar dan warga pribumi.
Warga pendatang yang menggunakan alat tajam, panah wayar, senjata rakitan dsb melakukan penyerangan kepada warga pribumi dan masyarakat yang melihat kejadian dengan melepaskan panah sehingga menyebabkan
warga yang tidak tahu persoalan menjadi korban. Juga sebaliknya warga pribumi dan masyarakat melakukan serangan balik dengan menggunakan batu, kayu dsb juga menyebabkan korban dari warga pasar. melihat kondisi
tersebut ada sebagian warga pribumi kemudian mengambil tombak, panah dan parang untuk menyerang warga pasar namun niat tersebut bisa dihalangi oleh warga disekitar tempat kejadian.
Ketika konflik terjadi sudah cukup lama (2 jam atau pukul 18.00 WP), kemudian 4 (empat) orang polisi datang, namun masyarakat melempari mereka karena kejengkelan masyarakat atas keterlambatan polisi dalam menyikapi
keadaan. Akibat perlakuan massa ini, maka Petugas dari Polsek Abepura kembali ke markasnya. Setelah itu kurang lebih 3 jam kemudian Polisi dar kesatuan Brimob (PHH) dengan peralatan lengkap datang untuk
mengamankan lokasi dan membuat batasan-batasan (garis demarkasi) bagi kedua kubu yang bertikai. Anehnya, Brimob kemudian menghadang kelompok pribumi sementara kelompok warga pasar tidak sehingga mereka
bebas berkeliaran dengan membawa peralatan tajam.
Ketua KKSS Kota Jayapura - Salam Usman – setelah mengetahui adanya peristiwa tersebut segera datang ke lokasi kejadian. Anehnya bahwa ada di antara massa yang menghadang maksud baik dari Ketua KkSS tersebut.
Sekelompok orang ini kemudian dicurigai oleh KKSS sebagai kelompok yang bukan sebagai warga pasar Abepura. Karena bagaimanapun juga hampir semua warga pasar mengenal Bpk. Salam Usman, paling tidak
mengetahui peran dan fungsi KKSS.
Aparat terus berjaga-jaga di lokasi kejadian sampai hari keempat.. pada hari keempat, Aparat Keamanan melakukan sweeping dan yang didapati hanya sebuah clurit dan sebuah badik.
Di Asrama Ninmin, Satuan Brimob, sekitar pukul 02.00 dini hari di bawah komandan Bripka Hans Fairnap menggerbek mahasiswa yang sedangpulas tidur. Setelah melakukan tindak kekerasan, beberapa anggota Brimob
tersebut membawa para mahasiswa dan pelajar yang berjumlah 23 orang dengan truk Brimob ke Polres Jayapura.
Di pemukinan warga Kobakma Mamberamo, Wamena dan kampung Wamena di Abe Pantai, satu regu Brimob dibawah pimpinan Bripka Zawal Halim sekitar pukul 05.30 WP, tanggal 7 Desember, mengepung rumah-
rumah warga sambil melepaskan tembakan. Anggota memerintahkan semua warga yang berjumlah sekitar 75 KK untuk berkumpul di gereja GIDI dan melakukan pemukulan sebagian warga dengan popor senjata. Setelah
dipisahkan berdasarkan jenis kelamin, kelompok laki-laki terus di pukul dengan popor senjata dan ditendang dengan sepatu lars sambil melepaskan tembakan untuk menakut-nakuti warga. Kemudian anggota Brimob
membawa 4 orang, yaitu Matias Heluka, Yepam Yokosam, Yonir wanimbo dan Arnol Mundu Soklayo dengan paksa ke Polsek Abepura.
Di Asrama Yapen Waropen, satuan Brimob yang terdiri dari 15 orang dibawah pimpinan Iptu Suryo Sudarmadi sekitar pukul 05.30 WIT, juga melakukan penyiksaan.
Ketika melarikan diri, satu diantara mahasiswa penghuni asrama yang bernama Timotius Sirami mengalami luka di bagian kepala (8 jahitan) akibat terserempet peluru. 4 orang dari mereka berhasil ditangkap, 3 orang di
antara mereka yaitu Yason Awaki, Yedit Koromat dan John Ayer di pukul dengan popor senjata dan di tendang, kemudian diseret, diangkat dan dilemparkan ke dalam truk selanjutnya dibawa ke polsek abepura.
Sedangkan seorang lagi, Djen Mambrasar menyusul yang lainnya ke Polsek Abepura.
Di pemukiman warga suku Lani asal Mamberamo dan wamena Barat di Jalan Baru Kotaraja, Satu regu anggota Brimob dipimpin Iptu Suryo Sudarmadi sekitar pukul 08.00 WP, tanggal 7 Desember. Anggota Brimob
bergerak masuk ke dalam pemukiman penduduk sambil melepaskan tembakan ke udara. Dan memaksa para warga yang berada di halaman rumah untuk tiarap. Bersamaan dengan itu beberapa anggota Brimob mulai
melakukan pemukulan terhadap warga dengan popor senjata dan menendang serta menginjak bagian dada dan kaki warga yang sudah bertiarap. Sebagian anggota Brimob yang lain memasuki rumah-rumah dan
memaksa orang-orang keluar untuk bergabung dengan warga yang sudah berada di halamansebelumnya. Selain itu aparat Brimob mengambil parang, sabit, panah dan pisau-pisau dapur di dalam rumah penduduk.
Kemudian mereka dipisahkan menjadi 2 kelompok, yaitu laki-laki dan perempuan. Di sini, anggota Brimob membawa 48 orang dengan paksa ke Polres Jayapura.
Di pemukiman Warga suku Yali,Anggruk di Skyline, satu regu Brimob dibawah pimpinan Brigpol John Kamudi sekitar pukul 09.00 WIT hari yang sama. Anggota Brimob mengepung rumah tempat kediaman Elkius
Suhuniap dan langsung melepas tembakan ke udara. Ketika berusaha melarikan diri, ia di tembak anggota Brimob dari jarak 3 meter yang langsung tewas di tempat akibat luka tembak di punggung tembus bagian dada
sebelah kanan. Adik sepupu Elkius, yang bernama Lilimus Suhuniap yang juga lompat keluar lewat jendela, langsung ditangkap anggota Brimob. Korban lainnya yaitu Agus Kabak, di tembak di bagian tubuh sisi kanan
tembus perut bagian atas. Agus berusaha sembunyi di semak dekat kali, dan dalam keadaan luka, ia berhasil dari kejaran anggota Brimob yang kemudian menyeret jenasah Elkius dan menggiring Lilimus ke Polres
Jayapura.
Di Asrama IMI (Ilaga) di Kampkey, Abepura. Kembali Satu regu Brimob, masih dibawah pimpinan Iptu Suryo Sudarmadi sekitar pukul 23.00 WIT. Asrama ini di huni oleh mahasiswa dan pelajar asal daerah Ilaga
Kabupaten Puncak Jaya. Anggota Brimob langsung mengepung asrama sambil melepaskan tembakan ke udara. Sebagian penghuni yang sedang duduk di halaman asrama langsung di perintahkan diam di tempat dan
angkat tangan. Sebagian lagi dari anggota Brimob memasuki asrama. Ada yang mendobrak pintu dan ada yang masuk melalui belakang. Sesampai di dalam asrama anggota Brimob membangunkan secara paksa Teofilus
Murib, Erenis Tabuni, Kelinus Tabuni dan Naman Tabuni yang sedang tidur di dalam kamar dengan memukul dan menodongkan senjata dan selanjutnya diseret ke halaman asrama. Anggota Brimob juga mengobrak-abrik
isi kamar dan mengambil dompet. Selanjutnya anggota Brimob mengumpulkan mereka yang berjumlah 14 orang laki-laki. Setelah melalui penyiksaan yang panjang, mereka selanjutnya dibawa ke Polres Jayapura.
Tidak sampai di situ, di Polres Jayapura, beberapa masyarakat yang berhasil ditangkap dan dibawa ke Polres langsung disambut dengan siksaan. Perempuan dan laki-laki, semua mendapat perlakuan yang sama.
Beberapa dari mereka berasal dari asrama Ninmin, yakni sebanyak 23 orang; 14 laki-laki, 8 perempuan dan 1 orang anak perempuan berusia 7 tahun di perintahkan turun dari truk langsung di pukul satu per satu oleh
aparat kepolisian dengan tongkat plastik, popor senjata, skop, rotan dan balok.
Mereka kemudian didata dan dipisahkan laki-laki dari perempuan, sekitar pukul 05.30 para korban laki-laki di masukkan kedalam ruang besuk tahanan polres sambil di pukul dan di tendang. Mereka juga di pisahkan antara
pelajar dan mahasiswa. Disana mereka terus di pukul dan di siksa sehingga lantai dan dinding ruangan penuh darah akobat luka-luka yang di derita. Dan beberapa orang dari mereka di perintahkan untuk membersihkan
darah tersebut dengan air dan dipaksa meminumnya. Salah seorang yang bernama Eky Gwijangge rambutnya dipotong dan dipaksa memakan potongan rambut itu sambil ditodong dengan pisau di leher. Setelah itu satu
per satu diinterogasi di ruang ruang serse Polda di bawah pimpinan kasat serse AKBP Drs. Prasetyo Widiono, setelah itu mereka dibawa kembali ke ruangan tahanan Polres dan sebagian dibawa lagi ke dalam sel. Di
dalam sel mereka disatukan dengan tahanan lainnya sehingga berdesak-desakkan. Di sana mereka bertemu dengan seorang tahanan WNA asal Swiss, bernama Iten Oswald Joseph mereka menyaksikan Ory Ndrongky
tewas di tahanan Polres Jayapura akibat penyiksaan yang dilakukan aparat polres.
Kira-kira pukul 09.00 wpb 48 orang berasal dari jalan baru dalam kondisi babak belur diangkut dengan satu truk Brimob tiba di Polres Jayapura. Mereka diturunkan satu per satu sambil dipukul terus menerus dan digiring ke
ruang besuk tahanan Polres dan rambut para korban diberi cat warna putih sambil terus dipukul dan disiksa. Para korban yang berasal dari jalan baru ini dibebaskan pada tanggal 8 Desember 2000 sekitar jam 16.00 wpb.
Pukul 03.00 dini hari tanggal 8 Desember 2000 14 orang penghuni asrama IMI diangkut ke Polres Jayapura, sampai ke Polres Jayapura mereka terus dipukul dan disiksa berulang kali secara bergantian.
Pukul 05.00 wpb mereka dimasukkan ke dalam ruang tahanan Polres Jayapura. Pukul 16.00 sebanyak 14 orang dipulangkan dengan menggunakan truk polisi. Sementara itu pada pukul 08.00 para korban yang ditangkap
di asrama Yapen Waropen dan Abe Pantai tiba di Polsek Abepura, merekapun dipukul dan disiksa secara bergilir oleh aparat kepolisian.
Semua tahanan baru dipulangkan pada tanggal 8 Desember 2000 sekitar jam 17.00 wpb setelah terlebih dulu dipaksa menandatangani surat pernyataan untuk tidak mengulangi perbuatan yang sama dan wajib lapor.
F. Kecamatan Sarmi
1. 2000
Penyerangan TPN/OPM Oleh Polsek Sarmi
Kontak senjata antara pihak TPN/OPM dengan Polsek Sarmi terjadi pada bulan November 2000 tepatnya di Pasar Sarmi-Kota Pukul 14.00 WP. Awal mula peristiwa tersebut terjadi ketika sekelompok TPN/OPM berbelanja di
Pasar untuk kebutuhan hidup. Pada saat mereka berbelanja mereka bertemu dengan salah satu anggota Polsek Sarmi, mereka terlihat terlibat pembincangan yang sungguh bersahabat, maklum anggota Polsek Sarmi tersebut
sudah saling kenal baik dengan mereka (TPN/OPM) sehingga mereka sangat akrab. Tiba-tiba saja pasukan Polsek Sarmi menyerang dan membuat kelompok TPN/OPM menghindar dan lari bersembunyi. Pada saat peristiwa
tersebut Pasukan Polsek Sarmi berhasil melukai beberapa orang dan satu orang diantaranya tewas ditempat kejadian. Selain itu peluru yang ditembakkan oleh Pasukan Polsek Sarmi melukai dua orang warga sipil, dua orang
tersebut terkena peluru nyasar ketika peristiwa berlangsung. Camat Sarmi pada saat itu langsung memerintahkan membawa korban ke Rumah Sakit Jayapura dengan mencarter pesawat dari Sarmi ke Jayapura.
Kecamatan Bonggo
1. 2000
Terlantarnya Warga Trans Di Lokasi Transmigrasi
Pada awal tahun 1999, Pemerintah Indonesia melalui program transmigrasi nasional, menempatkan 65 KK transmigran umum dari NTT dan Jawa ditambah 35 KK transmigran local di Satuan Pemukiman/SP VIII Armopa,
Bonggo. Para transmigran yang didatangkan tepat dengan Krisis Moneter yang tengah melanda Negara Indonesia ini ditempatkan pada lokasi yang sudah dibuka dua tahun sebelumnya. Lokasi sudah menjadi hutan kembali,
rumah-rumah penduduk tergenang dalam air rawa karena tidak ada drainase. Tidak ada fasilitas infrastruktur yang memadai seperti gedung sekolah untuk anak-anak usia sekolah dasar dan tenaga guru, Puskesmas dan
petugas kesehatannya, kantor KUPT, rumah ibadah (Mesjid dan gereja). Jalan raya dan sarana transportasi serta pasar pun tidak ada. Jembatan-jembatan timbunan pun putus karena banjir. Sementara jarak lokasi SP VIII
dengan kota Sentani, Jayapura lebih dari 300 km. Warga harus berjalan kaki sejauh 50 km untuk mendapatkan kendaraan di kali Miruway, SP. IV Bonggo. Mereka dapat meneruskan perjalanan ke kota dengan menumpangi
bus kendaraan angkutan umum dengan tariff Rp. 40.000 – 50.000 per-orang.
Karena lokasi itu tanah berawa dan tidak ada drainasenya, maka tidak ada hasil tanaman pangan seperti jagung, padi dan singkong yang tidak bisa tumbuh. Tanah di lokasi tidak cocok untuk bertani. Sementara jaminan hidup
(Jadup) dari Deptrans itu tersendat-sendat, bahkan selama enam bulan warga tidak menerima jaminan hidup. Akhirnya warga menderita kelaparan yang mengakibatkan munculnya berbagai macam penyakit hingga tercatat 18
korban meninggal di lokasi.
Pengalaman penderitaan di atas yang mendorong para transmigran umum dari Jawa dan NTT yang bermukim di lokasi Armopa VIII Bonggo ini untuk keluar meninggalkan lokasi transmigrasi. Mereka mengungsi ke kota
Jayapura dengan membawa aspirasi tuntutan untuk dipulangkan kembali ke daerah asal masing-masing. Mereka mendatangi Kakandep Transmigrasi Kabupaten Jayapura, Ir. Yan Pali, Kakanwiltrans Propinsi Papua/ Irian
Jaya, Ir. Budi Sinulingga, dan Ketua DPRD Propinsi Papua/Irian Jaya, Nathaniel Kaiway,SH (alm). Namun unjukrasa yang dilakukan berkali-kali sejak Februari 2000 hingga Juli 2000 itu ternyata hanya membuahkan hasil teror,
intimidasi dan ancaman hukuman penjara yang terbukti dengan tiga orang juru bicara warga ditahan selama 68 hari di Polres Jayapura dengan tuduhan provokator/penghasutan, pasal 160 KUHAP. Selama perjuangan mereka
untuk menuntut perlakuan adil dari pemerintah di Jayapura ini telah tercatat dua orang korban meninggal. Hingga bulan November 2001 ini nasib para ‘pengungsi’ korban pembangunan transmigrasi di Propinsi Papua ini
terkatung-katung. Meski demikian, mereka masih terus berjuang menuntut pemerintah dengan mengambil sikap tetap bertahan di tempat penampungan di halaman kantor LBH Papua sebagai aksi protes terhadap pemerintah
Indonesia dalam hal ini pemerintah Daerah Propinsi Papua
Warga transmigran eksodus Bonggo ini masih bermukim di halaman kantor LBH Papua. Jumlahnya masih 30 KK (115 jiwa), laki-laki, perempuan dan anak-anak. Ke-30 KK ini mayoritas warga dari Timor Barat, NTT ditambah
sejumlah KK dari Jawa Barat.
Kecamatan Arso
1. 1999
Kasus Penyanderaan Warga Sipil Arso Pir IV (Mei)
Pada Tanggal 31 Mei 1999 sebelas Warga Arso disandera oleh Kelompok OPM Hans Bomay. Kelompok OPM/TPN Pimpinan Hans Bomay tiba-tiba saja memasuki daerah PIR IV-Arso dan menyandera 11 orang pada peristiwa
tersebut. Ke sebelas Warga Arso yang disandera terdiri dari empat orang laki-laki dan tujuh orang laki-laki. Peristiwa tersebut terjadi tepat pukul 14.30 WP. Pada saat penyanderaan Kelompok TPN/OPM mempergunakan
senjata dan alat tajam tradisional berupa panah dan tombak. Dampak dari peristiwa penyanderaan tersebut masyarakat sekitarnya mengalami ketakutan. Dari sebelas orang yang disandera empat orang tewas, kesemuanya
laki-laki. Sebelum penyanderaan terjadi, Kelompok TPN/OPM Pimpinan Hans Bomay ingin bertemu dengan Pangdam Trikora di Jayapura, tetapi setelah mereka sampai ditempat tujuan Pangdam tidak berada di tempat.
Mereka akhirnya kecewa dan sesampainya dilokasi PIR IV-Arso langsung menyandera sebelas orang warga Trans, selain itu menurut informasi dari korban bahwa satu hal yang mereka tuntut yaitu merdeka dalam arti lepas
dari NKRI, sedangkan korban penyanderaan tersebut mengalami ketakutan., tetapi akhirnya mereka dibebaskan oleh Tentara PNG di lembah Bewani, selanjutnya proses pengembalian para korban penyanderaan diselesaikan
sepenuhnya oleh pemerintah Papua New Guinea (Tentara dan polisi PNG). Mereka disandera kurang lebih satu bulan dengan berpindah-pindah tempat di dalam hutan. Penjemputan para korban penyanderaan langsung
disambut oleh Pangdam Trikora Amir Sembiring.
Kota Manokwari
1999
Polisi terus mengejar massa, yaitu lewat 2 arah bawah (pasar Sanggeng) arah atas Jl. Diponegoro kendaraan yang lewat atas ini terdiri atas dari 2 kendaraan yaitu mobil Daihatsu Rocky yang dikendarai Kasat Intel Polres
Manokwari (saat itu, Letda Hamdani) bersama 3 orang anggota kepolisian, kemudian di belakang mobil itu ada sebuah truck penuh dengan anggota kepolisian (Dalmas) yang menggunakan pakaian anti hura-hara lengkap
dengan senjata. Di sepanjang jalan mereka terus menerus mengeluarkan tembakan kemudian turun lewat Jl. Taman Makam Pahlawan ke Jl. Yos Sudarso, tepatnya di perempatan antara Jl. Yos Sudarso – Pasar Ikan –
Pahlawan. Di bawah Trafick Light depan komplek Fasarkhan ada sekelompok massa yang cukup banyak berkumpul di situ untuk melihat apa yang terjadi, karena mendengar bunyi tembakan yang dikeluarkan oleh aparat.
Pada saat meluncur ke bawah, kedua mobil itu dibagi dalam 2 jalur, truk yang membawa anggota Dalmas pada saat melucur mendekati massa langsung melakukan tembakan kearah massa. Massa menjadi panik sehingga lari
terpencar untuk menyelamatkan diri. Di perempatan itu ada seorang di antara massa yang berdiri yaitu Jhon Wamafma karena panik juga maka ia berlari menyelamatkan diri tiba-tiba ia jatuh terkena tembakan. Menurut salah
satu orang saksi yang sempat tiarap/berlindung (jongkok) tepat dibawah Trafic Light di bawah bak mobil truk anggota (Dalmas) dia melihat bahwa ada beberapa senapan/senjata diarahkan pada massa dan terdengar pula
letupan bunyi senjata berturut-turut, tetapi saksi (orang tersebut) tidak dapat memastikan apakah senapan/senjata tersebut yang digunakan untuk menembak massa atau bunyi dari senjata yang lain. Ada dua orang saksi lain
yang lari dan berlindung di gedung sekitar jalan itu salah seorang diantaranya sempat melihat korban yang jaraknya sekitar 20-30 meter mencoba lari, kemudian jatuh dan lari lagi lalu jatuh lagi setiap bunyi tembakan, akan
tetapi dia tidak mengenali siapa-siapa orang yang jatuh-jatuh tersebut, nanti setelah keadaan aman barulah dia melihat bahwa orang tersebut adalah John Wamafma dan polisi sudah ada yang datang di lokasi itu. Saksi lainnya
mengatakan (orang-orang di sekitar lokasi kejadian), ketika mendekati lokasi mayat tadi sempat mendengar bunyi botol-botol yang dipecahkan disekitar lokasi tersebut, setibanya di lokasi ternyata ada mayat yang sudah
dikerubungi banyak orang dan disekitar mayat tersebut banyak pecahan botol. Tidak lama setelah truk polisi datang lalu mayat itu diangkut petugas ke atas truk dibawa ke rumah sakit. Belakangan setelah kejadian ada
informasi di koran menurut polisi bahwa orang tersebut mati karena boom Molotov dalam botol yang dipegangnya pecah, padahal menurut keterangan (visum) dokter pada beberapa bagian tubuh korban ada lobang yang saling
berhubungan serta pinggiran luka tidak rata dan ada bekas luka bakar.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pasukan terbagi menjadi dua bagian ada yang menuju jalan ke atas dan ada yang kebawah, yang menuju jalan kebawah ini kemudian melepaskan tembakan kearah massa
yang berlarian. Tepat didepan Kantor Pos Sanggeng ada satu lagi korban tertembak pada bagian belakang tubuh korban dan terjatuh kedalam parit, orang tersebut biasa dipanggil Momo nama aslinya Abraham Mambraku.
Disekitar lokasi ini juga ada lagi korban lainnya namanya Nehemia Kapissa tertembak pada bagian pinggul bagian kanan.
Besoknya tanggal 25 September 1999 pagi massa mulai mendatangi rumah sakit untuk membawa pulang mayat John Wamafma, diperjalan sekitar Jalan Merdeka dekat pos Polisi yang dijaga oleh Polisi, Marinir dan sebagian
Angkatan Darat. Massa mulai beringas ketika melihat ada Polisi yang berjaga di pos tersebut kemudian melakukan pelemparan ke arah Polisi dan pada saat pelemparan itulah Polisi mulai melepaskan tembakan peringatan.
Massa kemudian menjadi panik dan berlarian tak tentu arah, salah satu dari massa yang berlarian tadi ada yang tertembak pada bagian kepala namanya Markus Kambu selanjutnya korban dibawa berobat ke rumah sakit AD di
Jakarta. Dua jam setelah kejadian di depan gedung DPRD Manokwari polisi datang dengan mengendarai truck kembali melepaskan tembakan ke arah massa yang berdiri di pinggir jalan, ada satu lagi korban yang tertembak
pada bagian paha sebelah kiri namanya Yan Makabori.
2. 2000
Kasus Amban Pantai (13 Desember )
Hiskia Opur adalah seorang operator sensor (Chain saw) yang dipekerjakan oleh dinas kehutanan untuk melakukan survei jalan dan pematokan areal hutan lindung di Testega, Kecamatan Anggi. Pada tanggal 13 Desember
2000 pagi hari, karena tidak ada kayu bakar dirumah, orangtuanya menyuruh Hiskia untuk memotong kayu bakar dengan sensor (chain saw) didepan rumah tepat dimuara kali Pami Amban Pantai. Tidak lama berselang datang
sebuah truk milik Hock Marani yang bertempat tinggal di Fanindi Bengkel Tan, yang dikemudikan oleh Wilson Hihatubun untuk mengangkut pasir. Dalam truk tersebut ada 6 orang pemuda 5 asal Biak, 1 asal Serui.
Mereka sudah dua kali mengambil pasir secara diam-diam, dimana pasir yang mereka muat itu sudah dibeli oleh CV. Fulica untuk membuat talud jembatan kali Pami yang terletak di Amban Pantai dari orang tua Hiskia. Pada
ret (Trip) yang ketiga saat mereka mau mengambil pasir lagi, anak Hiskia melapor kepada bapaknya yang sedang memotong kayu bakar di muara kali “bapak truk yang tadi pagi angkat pasir ada datang mengambil pasir lagi”.
Begitu mendengar laporan dari anaknya Hiskia langsung menghentikan kegiatannya dan pergi melihat truk yang saat itu sudah memuat pasir ± ½ truck, kemudian Hiskia bicara dengan mereka agar pasir yang mereka muat itu
jangan diambil karena sudah dibeli oleh CV. Fulica dari orang tuanya. Hiskia katakan pada mereka silahkan ambil pasir disini namun harus ada persennya karena pasir yang sudah kamu ambil itu sudah dibeli. Akan tetapi
mereka menolak untuk memberikan persenan sehingga Hiskia tetap bersikeras kepada mereka untuk menurunkan kembali pasir yang sudah diisi dalam truk, setelah terjadi adu mulut antara Hiskia dan 6 orang ditambah 1
orang supir. Kemudian mereka (6 orang bersama sopir tersebut)mengalah dan meninggalkan areal penambangan pasir. Namun tak lama kemudian mereka datang kembali dengan membawa dua orang anggota Brimob yang
berasal dari Tanah Merah (Jayapura) dan satu lagi berasal dari Key temannya Wilson Hihatubun. Ketika mereka tiba dengan sikap arogan anggota Brimob asal Jayapura ini langsung memukul Hiskia dengan popor senjata dan
dinaikan ke atas truk. Dalam perjalanan menuju pos Brimob sepanjang jalan Hiskia dipukuli oleh kedua anggota brimob tersebut. Tiba dipos Brimob ada 5-6 orang anggota Brimob lainnya yang langsung melakukan penyiksaan
dengan cara ditendang, dipukul dan diinjak dengan menggunakan sepatu lars sampai Hiskia jatuh pingsan, dalam keadaan tidak sadarkan diri Hiskia diangkat dan dibawa ke belakang gedung Pepera (Posko Brimob),
Kemudian para anggota Brimob menyiram tubuh Hiskia dengan 3 ember air. Menurut para saksi mata Hiskia sudah tidak bergerak saat itu dan suhu tubuhnya dingin. Selanjutnya Hiskia dibawa ke RSUD Manokwari, tiba
dirumah sakit Hiskia Opur sudah tidak bernyawa lagi.
3. 2001
Kasus Fanindi Dalam (1 Mei)
Dari hasil penelitian diketahui bahwa, Peristiwa Fanindi Dalam adalah peristiwa yang sarat dengan rekayasa. Hal ini diketahui dari hasil diskusi dengan beberapa nara sumber yang ada di Manokwari. Peristiwa ini dimulai
dengan keinginan pihak keamanan untuk menurunkan bendera Bitang Kejora. Upaya kearah ini telah dilakukan oleh pihak keamanan dengan cara pendekatan kepada pihak Panel Presidium Dewan Papua Manokwari, tetapi
pihak Panel Manokwari tetap bertahan pada kesepakatan dan ijin yang diberikan oleh Presiden Republik Indonesia KH Abdurrahman Wahid, dimana hasil keputusannya adalah bendera Bintang Kejora dapat dikibarkan
sebagai lambang kultur asalkan bersamaan dengan bendera Merah Putih dan harus lebih besar dan lebih tinggi dari bendera Bintang Kejora. Menurut keterangan anggota Panel, dalam berbagai pertemuan dengan Kapolres
Manokwari pada waktu itu AKBP Bambang Budi Santoso selalu menekankan kepada Panel untuk segera menurunkan bendera Bintang Kejora dengan menyebutkan bahwa Kab, Manokwari adalah daerah yang sangat bandel,
jika dibandingkan Kabupaten lain yang telah menurunkan bendera Bintang Kejora, inilah yang menyebabkan Kapolres Manokwari dan Jajarannya selalu mendapatkan tekanan dari Kapolda Papua dan Kapolri. Selain
pertemuam dengan Panel PDP Manokwari, aparat keamanan juga telah menurunkan berdera Bintang Kejora dibeberapa tempat seperti di Kelurahan Amban, Kelurahan Wosi, Desa Aroi dan beberapa tempat lainnya.
Peristiwa ini, diawali dengan penghadangan kendaraan milik Setwilda Manokwari (baru dilantik pagi tadi) yang lagi merayakan kemenangannya, oleh sekelompok pemuda yang tidak dikenal. Pada saat penghadangan, terjadi
pertengkaran mulut antara para penghadang dengan Setwilda baru dan sempat keluar kata-kata kasar dari mulut setwilda baru, sehingga memicu kemarahan kelompok pemuda yang menghadang. Dalam kemarahannya
kelompok pemuda tersebut kemudian membakar mobil setwilda dan berlari menuju ke arah Pos Satgas Papua (rumah kediaman ketua LMA Manokwari yang juga sebagai Ketua Panel Manokwari). Pihak keamanan
menganggap peritiwa ini dilakukan oleh pihak Satgas Papua, kemudian melakukan pengejaran dan penembakan kearah anggota satgas Papua yang bertahan di depan wartel Surya, karena tidak mampu lagi bertahan atas
tekanan aparat yang terus menerus menembaki. Kemudian mereka mengundurkan diri ke kawasan Fanindi Dalam (lokasi Rumah Ketua LMA Manokwari/Posko). Aparat terus mendesak menuju posko LMA dan berhasil
menurunkan bendera Bintang Kejora serta membubarkan posko. Massa disekitar itu tetap berusaha untuk mempertahankan berkibarnya bendera Bintang Kejora, maka terjadilah bentrok antara aparat keamanan dengan
anggota Satgas dan massa. Kasus Fanindi mengakibatkan korban 7 orang luka tembak dan penganiayaan terhadap masyarakat.
Kecamatan Wasior
2001
Masyarakat Desa Wombu mengungsi ke kehutan karena terdengar informasi, pihak aparat keamanan akan menembaki siapa saja yang mereka temui di desa wombu, dengan alasan telah terjadi persekongkolan antara
masyarakat adat dengan pihak TPN-OPM.
Sebelum terjadinya penyerangan ke pos Brimob pernah terjadi sebuah bentrok kecil, dimana pemilik hak dari marga Yoteni yang diwakili oleh dua orang (nama kedua orang ini tidak ditampilkan karena alasan keamanan),
menuntut perusahaan agar membayar 2 (dua) Milyar, tuntutan sebesar ini dimaksudkan agar ada perhatian yang serius dari perusahan.
Dan karena perusahaan tidak mengabulkan permintaan tersebut, pelampiasan dari tuntutan mereka ialah menahan speed boat perusahaan sebagai jaminan. Penahanan speed boat dirasakan perusahaan mengganggu
produktivitas. Maka mantan kepala Desa Tandia ( Markus Webori ) yang sekaligus menjabat sebagai Manejer Camp CV. Vatika Papuana Perkasa mengontak pimpinan perusahaan di Manokwari untuk mendatangkan aparat
keamanan dalam rangka mengamankan aset perusahan. Aparat keamanan (Brimob) didatangkan oleh Pak. Nataniel Kateri direktur CV Vatika Papuana Perkasa dan Mr Ling Ai Ung Direktur Trimajaya Sukses Lestari
(perusahaan kontraktor pelaksana eksploitasi hutan).
Dampak dari kehadiran pihak keamanan di Desa Wondiboy adalah masyarakat adat mulai tidak percaya kepada pihak pemerintah (aparat sipil maupun keamanan) mereka beranggapan bahwa seharusnya pemerintahlah yang
membela kepentingan masyarakatat adat bukan sebaliknya membela perusahaan.
Lebih lanjut menurut keterangan beberapa masyarakat, ada anggota TPN-OPM yang berada di Kecamatan Wasior, mereka sangat bersimpati dengan persoalan yang dialami oleh masyarakat adat dan sangat sakit hati terhadap perbuatan
pihak perusahaan yang dilindungi oleh aparat pemerintah. Selain itu, penyerangan ke kamp (Logpon) perusahaan dan Brimob sebagai akibat sakit hati dari perlakuan Brimob pada saat penyerangan yang terjadi di Desa Rasiey terhadap 22
orang Paniai.
Pada Tanggal, 13 Juni 2001, dini hari jam 03.00 Wit, sekelompok masyarakat sipil bersenjata masuk ke kamp (logpound) perusahaan dan membunuh 5 orang anggota Brimob dan 1 orang karyawan serta mengambil 6 pucuk
senjata. Pagi hari 16 0rang karyawan yang hendak masuk kerja tiba-tiba mereka ditangkap dan dipukul dengan alasan mengetahui/ikut dalam peristiwa ini dengan todongan senjata mereka disuruh naik ke atas speed boat oleh
anggota Brimob dan Polisi dibawa ke Manokwari untuk ditahan di Polres Manokwari.
Pasca peristiwa menyerangan pos Brimob di Log Pon Wondiboy terjadi penangkapan semena-mena, penganiayaan, pembakaran rumah penduduk, bahkan penembakan oleh aparat keamanan pada masyarakat adat, peristiwa
seperti ini terjadi di beberapa desa.
Dari hasil penelitian diperoleh gambaran sebagai berikut :
a. Penganiayaan : 74 orang
Wondiboy 19 org
Isuy 9 org
Rasiey 3 org
Tandia 10 org
Kaibi 1 org
Kabuow 18 org
Wondiboy 1 org
Isuy 2 org
Penembakan/
Sanderawoy 1 org
3. Penganiayaan
Iriaty 5 org
(meninggal)
Ramiki 1 org
Wondiboy 5 bh
Isuy 1 bh
Pengrusakan/
Isey 3 bh
4. Pembakaran
Sanderawoy 50 bh 1 kampung
Rumah masyarakat
Iriaty 3 bh
Wasior kota 1 bh
sementara ini issu yang sangat mengganggu aktifitas masyarakat adalah adanya team kemanusiaan (tim penyelamatan senjata), team ini beranggotakan masyarakat setempat dan dibantu oleh aparat keamanan. Tetapi sampai
saat ini tidak jelas siapa anggota team tersebut, sehingga membuat masyarakat mulai saling mencurigai diantara mereka sendiri dan yang sangat berbahaya adalah, kecurigaan ini bukan hanya terjadi antara anggota masyarakat
didalam satu desa tetapi antara masyarakat satu desa dengan desa yang lain. Selain itu ada juga satu team yang dibentuk oleh masyarakat Wandama di rantau, team ini diberi nama Team Peduli Kemanusiaan Teluk Wandama,
dengan tujuan mengupayakan agar pemerintah segera membangun kembali rumah-rumah yang dirusak oleh aparat keamanan.
C. Kecamatan Babo
1. Lintas Kasus yang Dilakukan oleh Djayanti Group (1995 – 2001)
Djayanti Group merupakan salah satu perusahan besar yang terdiri dari beberapa perusahan, yang melakukan berbagai eksplorasi dan eksploitasi di Kecamatan Babo. Dari hasil penelitian yang dilakukan di kawasan ini diperoleh
gambaran tentang aktifitas Djayanti Group sebagai berikut, (peneliti mencoba mengangkat beberapa persoalan yang diakibatkan oleh tiga perusahan yang tergabung dalam Djayanti Group)
Masyarakat adat telah beberapa kali meminta kepada Pemerintah (Camat dan Dinas Perikanan) untuk menegur perusahan, agar tidak melanggar batas wilayah operasi masyarakat adat (nelayan tradisional) tetapi sampai
saat penelitian ini berjalan, pelanggaran tetap berlangsung.
Masalah batas 4 Mil ini kami sudah pernah bicarakan dengan pihak Pemerintah tetapi tidak ada perhatian. Masyarakat juga pernah minta perhatian dari perusahan, tetapi Perusahan Djayanti ini seperti perusahan adat, jadi dia seenaknya bikin
apa saja disini, dan saya jadi bingung pemerintah ini ada untuk urus apa, dan untuk siapa ?
Perlu diketahui bahwa, perusahan ini bekerja pada seluruh perairan kawasan teluk Bintuni, bahkan menurut laporan masyarakat, bila air pasang kapal-kapal mereka masuk sampai ke sungai-sungai.
Kedua persoalan ini harus dibicarakan terpisah karena, yang memiliki ijin perkebunan yaitu PT. Varita Maya Tani. Sedangkan kayu dikelolah oleh PT. Agoda Rimba Irian dalam bentuk IPK (Ijin Pemanfaatan Kayu), selain itu
karena aktifitas kedua perusahan ini berbeda. Lebih lanjut diakui oleh Kepala Desa bahwa memang masyarakat pemilik hak ulayat pernah menerima uang recognisi sebesar Rp 100.000.000,- dengan perincian Rp 500,-/m²,
yang dipahami oleh masyarakat adalah sebagai berikut.
Ijin yang dikeluarkan oleh Dirjen Pengolahan Hutan Produksi bagi PT. Agoda Rimba Irian No. 137/KPTS/KWL.d/2000 adalah seluas 6.300 Ha. Artinya sebesar itu pula (paling tidak saat ini) ijin yang diperoleh untuk areal
perkebunan. Bila demikian masyarakat adat beranggapan bahwa, uang recognisi untuk tanah ulayat sebesar 6.300 Ha X 100 m² X Rp 500 = Rp 315.000.000,- (tiga ratus lima belas juta rupiah) dengan demikian ada selisih
yang besar antara nilai yang harus diterima dengan yang telah diterima.
Untuk kegiatan pengambilan kayu oleh PT Agoda Rimba Irian dalam bentuk IPK terjadi beberapa kali pergantian nilai fee. Menurut keterangan Kepala Desa Tofoy, pergantian nilai fee ini akibat ketidak jujuran pihak Perusahan
dan aturan (SK Gubernur) yang tidak berpihak pada masyarakat adat, sebagai contoh SK Gubernur yang tidak berpihak ialah SK Gubernur 1995, nilai fee sebesar Rp 500,- (lima ratus, rupiah)/m³. Setelah tahun 1999, akibat
ketidak puasan masyarakat adat maka naik lagi menjadi Rp 1.000,-/m³ sampai saat ini. Menurut Kepala Desa, mereka telah mendengar bahwa, besar nilai fee ini telah naik lagi tetapi dibagi berdasarkan jenis kayu (Klas) yaitu,
Klas Merbau Rp 2.000,- per meter kubik sedangkan untuk klas kayu campuran Rp 600,- per meter kubik. Namun sampai saat ini mereka belum pernah mendapatkan kepastian tentang berapa fee yang sebenarnya. Bahkan
sampai saat ini masyarakat tidak pernah tahu dengan pasti berapa besar produksi perusahan
1. Amirudin
2. Latif Manuama
3. Alfred Inanosa
4. Elieser
5. Vitalis
6. Ruben
7. Tinus Inanosa
8. Ferdinan
Peristiwa ini membuat para karyawan selalu bertanya, untuk apa aparat keamanan berada di Tofoy kalau hanya untuk melindungi pihak perusahan ? Bila ada karyawan / masyarakat yang melakukan kesalahan aparat
mengambil tindakan itu baru benar, dan kami bisa terima. Apakah jika karyawan memperjuangkan perbaikan nasib itu merupakan tindakan yang salah?
Pembentukan SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia)
Kesadaran akan berserikat ternyata telah tumbuh dan berkembang dikalangan pekerja yang berada di Kawasan Teluk Bintuni, terutama mereka yang bekerja pada Djayanti Group. Yonathan Kailele (salah satu pekerja di saw
mill Djayanti Group), mendapat mandat dari SBSI sorong untuk mendirikan cabang SBSI di Tofoy, dengan tujuan agar mereka dapat membela hak-hak para karyawan. Yonathan Kailele mulai menghimpun para pekerja
(mendaftar dan membentuk cabang SBSI), beberapalama kemudian dia bermaksud berangkat ke kota Sorong untuk melaporkan perkembangan kegiatannya, tetapi Yonathan tidak mendapat izin dari pihak perusahan. Dia
tetap memaksa untuk berangkat, pada saat berada diatas kapal datang beberapa aparat keamanan memaksa Yonathan untuk membatalkan niatnya, tetapi Yonathan bersikeras untuk berangkat (bahkan dia bersedia
membayar ongkos kapal sebesar Rp 100.000,-). Karena merasa perintah mereka (aparat) tidak diindahkan, Yonathan pun dipukul. Menurut keterangan beberapa karyawan yang berada ditempat kejadian (nama-nama ada
pada peneliti, mereka mohon untuk tidak ditampilkan namanya karena takut dipecat perusahan). Yonathan, walaupun dipukul masih tetap saja berangkat ke Sorong. Selanjutnya sampai saat ini mereka tidak mendapat kabar
lagi dari Yonathan, tetapi para pekerja ini tetap berharap kedepan ada sebuah institusi yang berpihak kepada karyawan berdiri di Kec. Babo untuk membela kepentingan mereka.
Peneliti AlDP pernah mengkonfirmasikan masalah ini kepada Pihak pemerintah dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja Manokwari. (Drs. H. Kaharuddin Latarang. KASUBDIN Perlindungan Tenaga Kerja), tetapi terkesan persoalan
ini kurang mendapat perhatian dengan beberapa alasan antara lain;
- Pendirian SBSI, seharusnya tidak melalui Kab. Sorong, tetapi harus melalui Kabupaten Manokwari karena Perusahan Djayanti Group camp Tofoy (saw mill, tempat Yonathan Kailele bekerja) berada diwilayah kerja Dinas Tenaga Kerja Kab.
Manokwari. apa lagi pihak SBSI dan Yonathan Kailele, tidak pernah melaporkan keberadaanya kepada Dinas Tenaga Kerja Kab. Manokwari.
- Bila di bandingkan dengan SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia), aktifis SBSI dinilai lebih sering melakukan protes.
Alasan-alasan inilah yang membuat para petugas Dinas Tenaga Kerja Kab. Manokwari tidak bersimpati. Tetapi menurut keterangan beberapa pekerja di Djayanti Group (Camp Tofoy). Pihak Dinas Tenaga Kerja Kab.
Manokwari, sebenarnya tidak berpihak pada para pekerja terbukti, para petugas Dinas Tenaga Kerja Kab. Manokwari bila datang ke Tofoy, sekalipun tidak pernah bertemu dengan para pekerja. Dari hasil penelitian ini,
diketahui bahwa persoalan-persoalan yang timbul lebih diakibatkan oleh ketidak terbukaan pihak Djayanti dan keterbatasan informasi menyangkut undang-undang maupun aturan-aturan ketenaga kerjaan, serta apa yang
menjadi hak dan kewajiban pekerja.
Tanah Termurah di Dunia
Desa Tanah Merah merupakan salah satu desa yang berada di wilayah kecamatan Babo, dengan luas wilayah 9,470Km². ± 24,9% dari luas Kabupaten Manokwari(± 37.901 Km² luas Kab. Manokwari, Data Bapeda Dati I
Papua, 1999). Dimana desa tersebut dihuni oleh 511 jumlah jiwa (110 KK) yang pada umumnya mereka tergabung dalam suku Simuri (data Team Peneliti Unipa, 2002) – salah satu suku asli Teluk Bintuni dimana kawasan
mereka, berikut akan dieksploitasi sumberdaya alamnya oleh Pertamina-Arco. Sementara marga/keret-nya berjumlah 9 marga yang terdiri dari; Kamisopa, Sabandafa, Dokasi, Wayuri, Agofa, Siwana, Mayera, Masipa dan Dofa.
Dimana mereka sudah tinggal atau bermukim sejak lama diatas hak ulayat marga Soway.
Rencana pembangunan Kilang LNG Tangguh yang akan dibangun di desa Tanah Merah menjadikan sebuah permasalahan bagi penduduk setempat, karena mau atau tidak mau, suka atau tidak suka mereka harus rela untuk
meninggalkan tempat yang selama ini didiaminya, untuk berpindah ke lokasi pemukiman baru yaitu desa Saengga yang jaraknya lebih kurang 500m (dihuni oleh suku Simuri).
Pada tanggal 20 Mei 1999 yang kemudian lebih dipertegas lagi pada tanggal 19 Juli 1999 ada sejumlah negoisasi yang disepakati oleh pemegang hak ulayat marga Simuna dengan pihak Pertamina-Arco, yang difasilitasi oleh
Pemerintah Kabupaten Manokwari. Salah satunya adalah akan dilakukan program (relokasi dan resettlement) dengan melibatkan masyarakat desa Tanah Merah dan masyarakat desa Saengga.
Guna mendukung pelaksanaan relokasi dan resettlement penduduk Tanah Merah maka dalam kedua kesepakatan itu memuat juga hal sebagai berikut :
a. Marga Simuna telah melepaskan hak atas tanah adatnya seluas 200 ha kepada Pertamina-Arco untuk keperluan relokasi dan resettlement.
b. Harga tanah disepakati sebesar Rp. 150.000,- per hektar.
Sementara ganti rugi tanaman dan tumbuhan disepakati berdasarkan SK Bupati Kepala Daerah Tingkat II Manokwari Nomor: 213 tahun 1997 tanggal 12 Mei 1997.
Kemudian yang menjadi permasalahan adalah mengenai harga tanah yang menurut peneliti jauh dibawah harga standar sehingga menimbulkan tanda tanya sebagai berikut ;
a. Apakah harga tanah Rp.15 per meter² layak untuk ukuran sekarang ?
b. Apakah karena ketidak pahaman masyarakat atas harga Rp. 150.000,-/hektar, sehingga dipahami lain oleh masyarakat bahwa Rp. 150.000,- itu adalah /m² ?
c. Ataukah ada intervensi pihak ketiga dengan cara mengintimidasi masyarakat untuk menerima kesepakatan tersebut ?
Ketika peneliti tiba di desa Tanah Merah yang menjadi obyek daerah penelitian, terlihat masyarakat terkesan apatis bahkan cenderung apriori terhadap orang-orang baru yang datang di desa itu. Ternyata ada kesepakatan
yang dibuat dari sebuah lembaga yang di bentuk Community Developmen BP dan masyarakat desa Tanah Merah (masyarakat setempat menyebutnya dengan comite) untuk tidak menerima bahkan berbicara dengan orang
baru yang datang ke desa itu, terutama organisasi-organisasi kemasyarakatan (LSM).
Menurut keterangan yang peneliti dapat dari Team Sensus Ekonomi Unipa 2002 (setelah peneliti kembali ke Manokwari), mereka juga sampai 3 kali mendapat perlakuan yang sama, bahkan ada yang mengancam akan memotong leher salah
satu dari Team Sensus Ekonomi Unipa 2002.
Kami mungkin masih beruntung karena ada salah satu tokoh masyarakat namanya Salim Masipa (responden yang ditunjuk oleh Key Person di kec. Babo) masih mau menerima kami kendati kelihatan setengah hati untuk
memberikan keterangan. Hal tersebut terlihat dari sikapnya yang selalu gelisah saat kami berbincang-bincang bahkan ketika salah satu dari peneliti menawarkan untuk merekam wawancara tersebut, beliau menolak dengan
alasan sedang melakukan pelatihan komite. Sehingga baru saja dialog berlangsung beberapa saat kemudian beliau pamit untuk pergi mengikuti kembali pelatihan dan berjanji akan segera menemui peneliti setelah pelatihan
selesai. Akan tetapi pak Salim Masipa tidak muncul sampai pelatihan usai. Satu jam kemudian beliau muncul akan tetapi belum lagi kami sempat berbincang-bincang, tiba-tiba terjadi keributan yang berasal dari sekelompok
pemuda mabuk dan berakhir dengan perkelahian diantara mereka. Ditengah keributan itu kami sempat mendengar teriakan-teriakan dari mereka antara lain;
“stop sudah latihan, bubarkan komite, komite apa itu, kami ini marga Masipa tetap saja miskin yang jadi kaya itu orang lain !”
Kejadian tersebut membuat kami menangguhkan perbincangan dengan pak Salim Masipa karena beliau harus menenangkan keadaan, kami sempat menunggu beberapa saat akan tetapi keributan tidak juga reda, akhirnya
kami mengambil inisiatif untuk segera meninggalkan desa tersebut dan kembali nanti setelah keadaan tenang.
Ternyata rencana pembangunan Kilang LNG Tangguh masih banyak menyimpan permasalahan dalam masyarakat, seperti boom waktu yang dapat meledak setiap saat jika tidak diantisipasi dan dicarikan solusinya. Teriakan-
teriakan pemuda mabuk itu mengungkapkan rasa ketidakpuasan atas hadirnya mega proyek tersebut – ini hanya sebuah contoh kecil dampak dari keberadaan Kilang LNG Tangguh yang belum beroperasi, apalagi kalau sudah
berproduksi ?
Dari hasil wawancara singkat yang dapat peneliti catat dengan bapak Salim Masipa adalah sebagai berikut;
“Harga tanah yang paling murah didunia ini hanya ada di desa Tanah Merah, Rp.15/m², bahkan lebih murah dari harga satu buah gula-gula“.
ketika peneliti mencoba menanyakan kenapa tidak dibicarakan lebih lanjut dengan pihak Pertamina – Arco ? Jawabannya adalah;
“Kami ini hanya orang kecil yang tidak bisa berbuat apa-apa, kami pikir bahwa biar kami tolak juga perusahaan itu akan tetap ada“.
Pembangunan Kilang LNG Tangguh di kawasan Teluk Bintuni terkesan dipaksakan, tanpa menghiraukan dampak-dampak yang akan muncul dikemudian hari akibat persoalan-persoalan yang tidak diselesaikan secara baik
dengan masyarakat setempat sebagai pemilik hak ulayat atas tanah yang hendak di eksploitasi sumberdaya alamnya.
D. Kecamatan Bintuni
1. 2001
Penyerangan Polsek Bintuni (26 Agustus)
Peristiwa ini bermula dari aspirasi Masyarakat Papua yang berada di Kec. Bintuni untuk menuntut kembali kemerdekaan yang pernah diproklamirkan pada 1 Desember 1961. Seiring dengan bertiupnya angin reformasi maka di
kecamatan ini banyak pemuda yang menghimpunkan dirinya bergabung dengan Satgas Papua, salah satu pemuda yang berkumpul dalam satgas papua ialah Yulian Nauw.
Pada tanggal 26 Agustus 2001 malam, Saudara Max Ronsumbre dan beberapa temannya berkumpul untuk minum-minuman keras, tiba-tiba datang beberapa anggota polisi menangkap mereka, pada proses penangkapan ini
tidak terjadi keributan apa-apa, selain itu penangkapan ini tidak diketahui pula oleh para anggota Satgas Papua, dini hari kira-kira pukul 04.00 WIT baru peristiwa tersebut diketahui oleh mereka. Yulian Nauw dan beberapa
temannya merasa tidak terima akan kejadian ini,
(Pada banyak kasus mabuk, biasanya polisi tidak mengambil tindakan apapun, kecuali si pemabuk melakukan tindakan yang melanggar ketertiban. Menurut keterangan beberapa saksi, Max Ronsumbre dan teman-temannya tidak melakukan
pelanggaran apapun)
langsung mendatangi Polsek Bintuni untuk minta agar Max Ronsumbre dan teman-temannya dibebaskan. Menurut keterangan saksi mata, bahwa ada teman Yulian Nauw yang membawa senjata tradisional. Polisi
menganggap tindakan ini merupakan penyerangan, sehingga kedatangan Yulian dan teman-temannya langsung disambut dengan tembakan dan pemukulan.
(1). Yulian Nauw mengalami luka tembak dan menjadi cacat seumur hidup, padahal Yulian adalah tulang punggung dalam keluarga keluarga Baldus Nauw.
Sementara itu upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah adalah mengirim Yulian Nauw ke Surabaya untuk berobat (Yulian telah berada kembali di Bintuni, tetapi dalam keadaan cacat seumur hidup) sedangkan upaya
masyarakat adalah meminta berbagai pihak untuk dapat melepaskan mereka dari jerat hukum.
KABUPATEN MERAUKE
I. Kecamatan Merauke
1. 1996
Pencaplokan Tanah Adat
Berawal dari keinginan Yakob Banggo, salah satu dari 2 marga pemilik tanah, sekaligus –waktu itu–kepala desa Sota, yang mengusulkan kepada Pemda Merauke agar mendatangkan transmigran di daerah tersebut. Atas
kehadiran para transmigran, marga Ndiken, sebagai pemilik sah hak ulayat lainnya yang merasa tidak pernah dilibatkan sebelumnya –juga tidak mendapatkan ganti rugi– lantas mengadukan hal ini kepada Pemda Merauke,
tetapi tidak mendapatkan tanggapan.
Pada tahun 2000, (Yakob Banggo tidak lagi menjabat sebagai Kepala Desa) kembali marga Ndiken menuntut ganti rugi. Atas tuntutan tersebut, Pemda Merauke menjanjikan untuk mempertemukan kedua marga pemilik tanah
dan akan memberikan ganti rugi. Akan tetapi hal tersebut belum terealisasi sampai sekarang. Alasan Pemda Merauke adalah Perda tentang tanah belum dirampungkan.
Sementara itu, transmigran yang menempati kawasan sengketa tersebut sampai sekarang belum mendapatkan sertifikat tanah. Padahal keberadaan mereka telah menjadi tanggung jawab Pemda Merauke. Akibatnya,
transmigran kebingungan menentukan sikap. Hendak membangun rumah dan keperluan lain yang berhubungan dengan tanah yang ditempatinya, akan tetapi mereka merasa takut jika nanti menimbulkan masalah dengan
pemilik tanah adat yang tengah menuntut ganti rugi. Dalam kebimbangannya, sebagian transmigran memilih kembali pulang ke tanah asalnya di Jawa, sedangkan sebagian lainnya memilih pindah ke daerah lain. Transmigran
yang tetap bertahan di lokasi tersebut lantas mengadukan nasib mereka ke pihak Pemda Merauke yang sampai sekarang belum mendapatkan jawaban yang pasti.
Pertikaian Etnis
Berawal dari keributan kecil, telah mengakibatkan perkelahian antara seorang masyarakat Papua dengan non Papua yang berbuntut pada meninggalnya etnis Papua. Hal ini telah membuat sekelompok masyarakat Papua
melampiaskan kemarahannya kepada etnis non Papua yang berada di dalam dan di sekitar kompleks pasar. Setelah mengusir keluar masyarakat non Papua (sambil mengancam dengan menggunakan senjata tradisonal) dari
dalam kompleks pasar, beberapa kios dan toko milik etnis non Papua dirusak dan dijarah.
Pada saat yang bersamaan, di terminal yang merupakan bagian dari pasar Ampera, sekelompok masyarakat Papua lainnya juga melakukan hal yang sama. Beberapa mobil/taksi tidak diperbolehkan masuk terminal. Bahkan
ada yang sempat dikejar, dirusak dan sopirnya dianiaya. Beberapa orang dilaporkan mengalami luka-luka dan mengharuskan mereka menjalani perawatan di RSUD Merauke. Selain luka-luka, tidak ada korban jiwa dalam
insiden tersebut. Selama beberapa hari, keadaan kota Merauke sempat terlihat lengang. Pasar macet total dan sebagian besar toko tutup.
Dari laporan beberapa responden (pelaku – masyarakat Papua), bahwa kemarahan mereka sebetulnya dilatarbelakangi oleh kecemburuan sosial atas keistimewaan fasilitas yang diperoleh etnis non Papua dalam pasar. Sebelum kejadian tersebut,
masyarakat Papua tidak boleh menempati areal di dalam pasar. Mereka hanya berjualan di sekitar pinggiran pasar.
Seorang responden lain (pedagang di dalam pasar – etnis non Papua), mengemukakan alasannya, bahwa bagaimana mungkin di los penjualan pakaian, makanan atau juga kelontongan harus bercampur dengan para penjual buah, sayur, atau ikan
dan daging. Tentunya para konsumen tidak akan ada yang mau belanja di tokonya karena terkesan kotor.
2. 1999
Pengrusakan Aset Pemerintah dan Warga Non Papua (September)
Peristiwa penghancuran beberapa bangunan milik pemerintah dan BUMN, serta penjarahan beberapa toko dan kios milik etnis non Papua berawal dari tenggelamnya KM. Bimas Raya II di perairan laut Merauke, dengan
korban meninggal dunia mencapai 300-an orang.
Kelambanan tim penyelamat ketika mengevakuasi korban pada akhirnya telah menyebabkan sekelompok masyarakat Papua sudah tidak mampu untuk bersabar lagi. Dalam suasana duka, marah dan lelah menunggu terlalu
lama, (menurut responden berinisial FK) tiba-tiba muncul seorang Papua dalam keadan mabuk dan tidak mereka kenali, lalu mengeluarkan kalimat bernada menghasut –dengan memakai isu Papua Merdeka– kepada semua
masyarakat Papua yang berada di sekitar pelabuhan. Hasutan itulah yang telah menyebabkan beberapa perkantoran milik pemerintah (diantaranya Kantor Pelni, Navigasi dan Administrator Pelayaran) rusak berat akibat
amukan massa.
Massa yang kian brutal terus mengarahkan aksinya menuju kantor DPRD Merauke untuk menyampaikan tuntutannya. Sepanjang jalan yang mereka lalui (Jl. Brawijaya dan Jl. TMP Polder), beberapa toko dan kios milik etnis
non Papua menjadi korban penjarahan dan pengrusakan. Tidak puas dengan hal itu, aksi massa –yang kini telah kental dengan nuansa Papua Merdeka– masih juga melakukan pengrusakan terhadap bangunan kantor DPRD.
Hal yang patut disesalkan adalah tindakan aparat keamanan yang terkesan membiarkan gelombang massa dalam jumlah yang cukup besar melakukan aksinya. Hal ini terlihat dari meluasnya wilayah konflik yang tentu saja
menyebabkan kerugian yang semakin bertambah banyak.
Atas peristiwa tenggelamnya kapal, Pemda Merauke memberikan santunan sebesar Rp. 5.000.000,- per korban. Selain itu, mendatangkan 3 buah kapal untuk melayani daerah-daerah di pedalaman Merauke. Tetapi yang
aneh, Muspida Merauke terkesan tidak menghiraukan korban dari penjarahan yang dilakukan oleh massa Papua ketika meluapkan amarahnya. Padahal kerugian material di pihak etnis pendatang saat itu cukup besar.
Walaupun telah ada yang dikembalikan, namun sebagian dari pemilik barang yang dijarah masih belum mendapatkan barangnya. Juga tidak ada upaya dari penegak hukum terhadap para pelaku.
Pasca munculnya tuntutan kemerdekaan secara terang-terangan yang ditandai dengan dikibarkannya bendera Bintang Kejora Juli 1998 di Jayapura, telah berakibat pada menguatnya institusi dan ideologi Papua Merdeka di
seluruh tanah Papua. Di beberapa daerah kecamatan di pedalaman Merauke, isu yang beredar lebih besar lagi, yakni bahwa Papua telah merdeka dan masyarakat Papua tinggal datang ke kota (Merauke) untuk mengambil
atau memilih rumah sendiri, dan untuk Satgas Papua telah disediakan uang dan senjata.
Isu inilah yang telah membuat masyarakat Papua di pedalaman Merauke –tanpa memikirkan keselamatannya– berbondong-bondong ke kota Merauke dengan menumpang kapal perintis (alternatif transportasi paling murah)
yang mempunyai daya angkut tidak lebih dari 100 orang, akan tetapi penumpang kapal telah melebihi 700 orang. Dengan over bagasi yang sangat besar ditambah dengan kondisi kapal yang sudah tua (lama beroperasi di
pedalaman Kalimantan) telah menyebabkan tidak kurang dari 300 orang menjadi korban akibat tenggelamnya kapal.
Pada saat yang bersamaan, di kota Merauke, tengah terbangun isu pertentangan antaragama (Protestan – Katolik juga Protestan – Katolik – Islam), antarsuku di Papua (Utara –Selatan) juga antar etnis Papua dan non Papua.
3. 2000
Penolakan Otonomi (16 Februari)
Sehari sebelumnya, 15 Februari, bakal calon Bupati Merauke (Drs. Jhon Gluba Gebze – sekarang Bupati Merauke) melakukan kampanye otonomisasi yang disiarkan langsung melalui RRI. Pada 16 Februari, sekelompok
masyarakat sipil Papua menuju bandara Mopah Merauke dengan maksud mencegat kelompok yang mereka duga sebagai utusan yang akan meminta otonomi ke Jakarta dan meminta sdr Drs. John Gluba Gebze untuk
meluruskan perkataannya di RRI. Aksi kemudian dilanjutkan –setelah upaya negosiasi yang coba dilakukan oleh Uskup Agung Merauke dan yang lainnya gagal– dengan melakukan pengrusakan pada kantor RRI yang telah
dianggap ikut menyebarluaskan otonomi. Massa Papua yang bersenjatakan panah dan kampak serta senjata tajam lainnya semakin marah ketika mereka kembali berhadapan dengan satuan Kepolisian. Akibatnya, seorang
anggota Kepolisian dan seorang pegawai RRI terluka parah ketika berhadapan dengan kelompok massa. Di pihak massa, tercatat seorang langsung meninggal dunia dan 2 orang lainnya luka terkena terjangan peluru aparat.
Tidak sampai di sini. Kelompok massa yang semakin brutal, dengan membawa beberapa jenis senjata tradisional kemudian mengalihkan obyek amuknya pada kantor Bupati Merauke serta mendatangi Polres Merauke guna
meminta pertanggungjawaban Kepolisian atas jatuhnya korban di pihak mereka. Kapolres Merauke, Letkol Pol. I Nyoman Rubrata dan Kajari Merauke yang berusaha melakukan negosiasi, tidak dihiraukan oleh kelompok
massa. Melihat gelagat ini, pihak Kepolisian langsung memberikan tembakan peringatan ke arah kerumunan massa yang belum juga bergeming. Sampai akhirnya seorang dari kelompok massa –yang ternyata bukan bagian
dari kelompok massa penyerang– tertembak dan langsung menghembuskan nafas terakhirnya, serta 7 orang lainnya mengalami luka-luka, telah mengkocar-kacirkan barisan massa. Selain itu, di pihak Kepolisian tercatat
sekitar 10 orang mengalami luka-luka.
Sampai sekarang, kasus tersebut tidak pernah ada upaya penyelesaian hukum terhadap oknum polisi yang melakukan penembakan terhadap masyarakat di kantor RRI dan Polres Merauke.
Kasus Jl. Natuna (4 – 11 November)
Bermula dari persoalan keluarga di Jl. Natuna (yang kebetulan berdekatan dengan Markas Brimob Merauke dan Posko Satgas Papua) pada 3 November 2000. Masing-masing pihak yang bertikai ada yang melapor ke Markas
Brimob dan ada yang melapor ke Posko Satgas Papua. Ketika anggota Brimob datang ke TKP, terjadi pertengkaran mulut dengan salah seorang masyarakat Papua yang berada di TKP (salah satu responden mengatakan
bahwa anggota Brimob tersebut dianiaya oleh salah seorang Satgas Papua).
Anggota Brimob yang tidak menerima perlakuan Satgas Papua kemudian memanggil teman-temannya lalu menodongkan senjata ke salah seorang dari mereka sehingga menimbulkan perseteruan kecil antara anggota Satgas
Papua dan anggota Brimob di TKP. Dankie Brimob selanjutnya melaporkan perihal pemukulan anggotanya oleh masyarakat Papua tersebut kepada satuan Sabhara Polres Merauke yang kebetulan mengantar anggota Brimob
BKO yang akan berjaga di Polres Merauke.
Laporan resmi Polres Merauke :
Terjadi kesalahan informasi, bahwa tidak benar ada anggota Brimob dianiaya oleh Satgas Papua.
Pada 4 November 2000, sekitar pukul 11.00 WIT, 2 peleton aparat kepolisian dari Brimob dan Polres Merauke diturunkan untuk menangkap oknum sipil Papua yang melakukan penganiayaan terhadap anggota Brimob.
Kehadiran mereka dengan arogansi yang tinggi telah menimbulkan perlawanan dari Satgas Papua di Posko Jl. Natuna. Akibat perlawanan tersebut, 3 truk pasukan dari Polres dan Brimob Merauke kembali diturunkan untuk
mem-back up satuan sebelumnya. Perlawanan Satgas Papua berhasil dilumpuhkan dan 25 orang massa Papua ditangkap pada saat kejadian, 5 orang lainnya ditembak ketika berusaha melarikan diri dan menewaskan salah
seorang dari mereka (Lukas Base, 29 tahun, laki-laki, etnis Asmat). Tidak hanya di Jl. Natuna. Aparat keamanan kemudian meluaskan daerah operasinya ke beberapa tempat.
Di Jl. Ampera IV, oknum Polisi menembak salah seorang massa Papua di bahu sebelah kanan (Robertus Waimu, 21 tahun, etnis Yakai). Sementara di daerah Jl. Raya Mandala (Muli), masyarakat Papua yang mengadakan
perlawanan dengan panah, kampak dan parang memaksa satuan polisi menembak 2 orang dari mereka, masing-masing Ferry Tandigaimu, suku Mapi dan Aloysia Bivak, suku Asmat). Di Bea Cukai dan Pintu Air, 2 orang, yakni
Adam Baiyt dan Kolitus Kandaimu, masing-masing suku Asmat dan suku Mapi menyusul menghembuskan nafas terakhirnya. Selain itu, korban luka-luka dari masyarakat Papua yang harus menjalani opname dan perawatan di
RSUD Merauke mencapai 14 orang.
5 November 2000. Pihak Kepolisian terus mengadakan pengejaran dan pembongkaran terhadap Posko-Posko Satgas Papua dan penurunan serta penyobekan bendera Bintang Kejora. Sementara itu, di beberapa tempat,
masyarakat etnis Papua juga terus melakukan penganiayaan dan berbagai intimidasi lainnya terhadap etnis non Papua. Pada hari ini, Sulistio, Risaumidin, Sukarno dan Yono, suku Jawa serta Sangkala, suku Bugis juga Zet
Manggape harus menjalani opname di RSUD Merauke karenanya.
6 November 2000, di daerah Blorep, seorang etnis non Papua dianiaya oleh beberapa orang Papua dan meninggal setelah mendapatkan perawatan (RB. Purba, suku Batak).
9 November 2000, aparat kepolisian yang kini telah di-back up oleh satuan TNI kembali menembak mati seorang Papua (Thomas Tombi, suku Muyu) di Mopah Lama. Pada saat yang bersamaan, kelompok Papua juga
melakukan aksinya, seorang dipanah dan satu lagi diperkosa (Abraham Bangaling Lindo dan Damaris masing-masing suku Toraja). Masyarakat Papua yang semakin frustrasi, terus melakukan aksi balas dendamnya terhadap
etnis non Papua. Kembali 2 orang meninggal dan 4 orang dari etnis non Papua lainnya menderita luka-luka.
Aksi balas membalas antara massa Papua terhadap etnis non Papua dan aparat keamanan terhadap masyarakat Papua terus terjadi. Pada 11 November 2000, seorang oknum non Papua (Djuhari, suku Jawa) dibakar hidup-
hidup bersama mobilnya di daerah Mopa Lama dan Ahmad Junaedi, suku Jawa, menderita luka akibat dianiaya oleh massa Papua, setelah massa Papua mengetahui aparat keamanan kembali menembak mati salah seorang
dari kelompok mereka sehari sebelumnya. Pada saat yang sama, seorang Papua (Sebastianus Ayep, suku Asmat) harus diopname setelah terkena luka tembak oleh aparat keamanan.
Pada 16 November, Kapolres Merauke (AKBP Yohanes Agus Mulyono) mengakui, bahwa sikap represif anggotanya bukan atas perintahnya, hal itu dilakukan karena luapan emosi saja. Akan tetapi ironisnya, bahwa peristiwa
yang telah merenggut dan mencabut hak hidup manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna tersebut, dianggap tidak pernah ada oleh Muspida dan juga DPRD Merauke. Hal ini terbukti tidak digubrisnya
tuntutan beberapa kelompok masyarakat dan atau kelompok aktivis HAM yang mendesak untuk diadakannya pengusutan dan upaya hukum terhadap aparat TNI/Polisi sebagai pelaku atas state crime. Juga terhadap kelompok-
kelompok sipil bersenjata (Papua maupun non Papua) yang telah saling menghilangkan eksistensi kemanusiaan satu sama lainnya.
Pengibaran Bintang Kejora (2 – 4 Desember)
Tanggal 9 November 2000, Muspida tingkat I Papua mengadakan pertemuan dengan Presidium Dewan Papua (PDP) di Jayapura, yang menghasilkan kesepakatan antara lain, hanya boleh ada 1 bendera Bintang Kejora yang
berkibar di setiap rumah Ketua LMA Kabupaten. Pada tanggal 29 November 2000, Kapolres Merauke dalam suratnya bernomor B/1859/XI/2000/Res Mrk, perihal, pemberitahuan kepada Ketua Panel Dewan Papua (Januarius
Wiwaron) dan Komandan Satgas Papua di Merauke (Nicolaus Yeem) menyatakan antara lain, 1 Desember 2000, Bendera Bintang Kejora hanya ada 1 yang dikibarkan di rumah Ketua LMA Merauke berdampingan dengan
Merah Putih.
Akan tetapi, pada tanggal 30 November 2000, pukul 08.00 WIT, pihak Muspida Merauke mengadakan pertemuan dengan pimpinan dan ketua-ketua fraksi DPRD Merauke yang isinya antara lain melarang pengibaran bendera
pada tanggal 1 Desember 2000.
Kesepakatan tersebut oleh Muspida Merauke, kemudian dibawa dalam pertemuan dengan Dewan Panel Kabupaten Merauke pada hari yang sama, sekitar pukul 20.00 WIT. Pengakuan seorang responden yang kebetulan
anggota PDP dari Kabupaten Merauke mengatakan bahwa, pada pertemuan tersebut tidak ada kesepakatan, melainkan pemaksaan kehendak untuk menerima kesepakatan antara Muspida dengan DPRD Merauke pada pagi
harinya.
Setelah kurang lebih 5 jam berselang usai pemaksaan kehendak tersebut, 1 Desember, masyarakat Papua yang bermaksud mengibarkan bendera Bintang Kejora di lapangan Pemda Merauke mendapat halangan dari pihak
keamanan. Setelah dilakukan negosiasi antara Kapolres dan Bupati Merauke dengan massa Papua, bendera tidak jadi dinaikan. Masyarakat kembali ke rumah masing-masing.
Pagi hari 2 Desember, sekelompok masyarakat Papua berhasil mengibarkan bendera Bintang Kejora. Setelah melalui negosiasi dengan Kepoliisian, maka bendera diturunkan setelah sekitar 30 menit berkibar, dan masyarakat
kembali ke rumah masing-masing. Pada hari yang sama, di daerah Kuda Mati, seorang non Papua meninggal setelah dianiaya oleh massa Papua beberapa saat setelah mereka kembali dari lapangan Pemda.
Setelah itu, kembali puluhan etnis Papua, kali ini dengan membawa senjata tradisional, dari arah Kuda Mati menuju lapangan Pemda Merauke. Ketika melewati kantor pariwisata, beberapa dari kelompok massa tersebut
menurunkan dan menyobek bendera Merah Putih serta bermaksud hendak menyerang aparat keamanan. Kondisi tersebut kemudian memancing emosi pihak keamanan yang langsung melakukan penembakan terhadap
kerumunan massa Papua hingga akhirnya mengakibatkan 1 orang meninggal di tempat kejadian dan 6 orang lainnya menyusul setelah tidak berhasil diselamatkan di RSUD Merauke.
Sedangkan 4 orang Papua lainnya mengalami luka-luka. Setelah itu, menyusul 1 orang non Papua meninggal dunia dan beberapa harus menjalani perawatan di rumah sakit.
Hari itu juga, pihak kepolisian melakukan pembongkaran Posko Satgas, pengejaran dan penangkapan terhadap massa Papua yang dicurigai sebagai anggota Satgas di sekitar Kuda Mati dan Jl. Sesate, Gudang Arang serta
kantong-kantong massa Papua sampai tanggal 4 Desember 2000.
Menyangkut LMA, di Kabupaten Merauke jauh sebelumnya telah dibentuk Forum Komunikasi Cendikiawan Masyarakat Adat Merauke (FKCMAMER) yang diketuai oleh Januarius Wiwaron. Organisasi ini telah diakui penguasa sebelumnya dan
masyarakat adat Papua sebagai representase dari kelompok adat di Kabupaten Merauke serta dianggap sebagai LMA Kabupaten. Akan tetapi paham ini tidak berlaku bagi Bupati Drs. John Gluba Gebze. FKCMAMER bukan LMA, dan Januarius
Wiwaron bukan Ketua LMA. Dengan alasan belum adanya LMA di Kabupaten Merauke tersebut, maka Muspida Merauke melarang pengibaran bendera Bintang Kejora.
Kembali, aparat keamanan yang melakukan penyisiran dan penangkapan dengan menggunakan peluru tajam yang mematikan, belum mampu juga mengidentifikasi pelaku dan yang bukan pelaku. Akibatnya, masyarakat yang
tidak berdosa dan tidak mengerti apa-apa dengan persoalan Papua Merdeka pun juga ditangkap, dipukul serta dianiaya oleh aparat kemanan.
Pendeknya, selain perempuan dan orang tua serta bayi semuanya ditangkap, bahkan anak laki-laki yang masih kecil juga tidak luput dari tindakan brutal aparat keamanan. Sehingga menurut pengakuan responden (etnis
pribumi dan pendatang), di daerah Kuda Mati, setidaknya ada 2 titik yang diduga sebagai tempat kuburan massal (perlu pembuktian lebih akurat lagi). Selain banyaknya korban yang meninggal dan luka-luka, juga tidak sedikit
masyarakat Papua yang mengungsi sampai ke PNG untuk menyelamatkan diri dan keluarganya dari kejaran pihak kepolisian.
Sementara itu, di pihak masyarakat pribumi, isu kemerdekaan Papua telah dipahami dan dimaknai sebagai gerakan rasialis dan telah diterjemahkan dalam bentuk pengusiran, pengintimidasian, bahkan yang lebih parah adalah
pembunuhan terhadap etnis pendatang yang dianggap sebagai orang-orang Indonesia. Hal ini juga diperparah dengan rasa frustrasi mereka ketika tidak mampu menghadapi tindakan represif dari aparat keamanan. Sedangkan
di pihak etnis non Papua, semangat mempertahankan diri semakin dipertebal dengan propaganda nasionalisme dari aparat keamanan dan pemerintah. Akibatnya, nuansa konflik horizontal semakin kental. Siapa yang
diuntungkan ?
Sampai sekarang, Muspida dan DPRD Merauke masih bersikap apatis terhadap peristiwa yang dapat dikategorikan sebagai violence by action atas state crime tersebut. Hal ini terbukti dari tidak adanya keinginan dari Muspida
dan juga DPRD Merauke untuk mengupayakan pengusutan sampai tuntas persoalan tersebut, apa lagi upaya hukum terhadap pelaku (oknum aparat keamanan dan juga masyarakat sipil secara keseluruhan). Bahkan Kapolres
Merauke (AKBP Yohanes Agus Mulyono) dengan sangat tegas sekali tidak menyetujui adanya rekonsiliasi di antara pihak-pihak yang bertikai pada peristiwa yang semakin memperpanjang deretan praktek impunity tersebut.
Menyertai insiden 4 November dan 2 Desember 2000 yang telah mengakibatkan tidak kurang dari 50 orang etnis non Papua menjadi korban dari tindakan anarkis kelompok Papua. Di beberapa tempat, telah lahir kelompok-
kelompok sipil non Papua bersenjata dalam bentuk keamanan lingkungan yang mempersenjatai diri mereka dengan parang, tombak, keris, badik bahkan senjata dan bom rakitan.
Menurut salah seorang responden, kebanyakan dari senjata rakitan tersebut mendapat dukungan peluru dari aparat keamanan (?).
Tindakan mereka berawal dari himbauan Kapolda Papua (Irjen SY. Wenas) pada tanggal 29 September 2000 kepada seluruh etnis pendatang untuk mempersenjatai diri. Himbauan ini telah ditafsirkan oleh masyarakat non
Papua -- setelah sekian lama cenderung berdiam diri dalam ketakutan oleh tindakan anarkis masyarakat Papua – sebagai legitimasi untuk melakukan perlawanan. Tindakan kelompok masyarakat sipil non Papua bersenjata ini
kerap kali hampir menyamai kebrutalan dan arogansi dari aparat, bahkan cenderung tindakan mereka berubah menjadi anarkis.
C. Kecamatan Suator
1. 1997
Kembali, masyarakat terasing ini bermaksud mengusir pencari kayu tersebut, akan tetapi kesigapan dan kelihaian anggota TNI tersebut telah berhasil menembak mati 7 orang dari kelompok masyarakat suku terasing,
sementara beberapa diantaranya mengalami luka-luka.
Oknum TNI dan Polri, masih saja seringkali mengabaikan tugas utamanya. Mereka juga terobsesi dengan besarnya keuntungan materi yang didapatnya jika berhasil. Hal ini merupakan kewajaran bagi mereka, mengingat gaji
mereka yang sangat kecil sedangkan kebutuhan pemenuhan biaya hidup di pedalaman sangat tinggi, demikian pengakuan seorang responden yang kebetulan seorang anggota kepolisian.
D. Kecamatan Atsy
1. 1999 – 2000
Arogansi Anggota Satgas dan Masyarakat Papua
Kecamatan Atsy tidak luput dari menguatnya isu Papua merdeka. Praktek intimidasi terhadap etnis non Papua menjadi hal yang biasa dilihat sehari-hari. Keberanian mengaktualisasikan diri inilah yang dijadikan peluang untuk
menggugat status tanah yang dipakai oleh etnis non Papua sejak jauh sebelumnya. Intimidasi yang cenderung mengarah ke penganiayaan sering kali dilakukan oleh oknum masyarakat Papua terhadap etnis non Papua ketika
menuntut hak atas tanah juga pada saat oknum Satgas Papua menagih uang untuk biaya operasional Satgas.
Kecamatan Atsy, sebagai salah satu daerah penghasil kayu gaharu, banyak terdapat rumah keluarga, warung makan dan penginapan yang beralih fungsi sebagai tempat prostitusi. Ironisnya adalah –pengakuan 2
orang responden yang kebetulan pegawai negeri namun beda instansi– para wanita ini dipasok dari Agats dan Timika oleh oknum TNI dan Polisi yang bertugas di Polsek dan Koramil Atsy.
E. Kecamatan Assue
1. 1995 – 2001
Perilaku Aparat Keamanan
Perlakuan petugas keamanan (TNI dan Polisi) di Kecamatan Assue tidak berbeda dengan Kecamatan Citak Mitak dan Atsy. Bahkan dalam melakukan manuvernya, mereka telah menguasai semua sentra kehidupan
masyarakat. Beberapa dari mereka menjadi beking dari pengusaha, mendatangkan dan melindungi WTS, perjudian dan minuman keras. Seorang responden (anggota Polisi) mengakui jika beberapa dari mereka ada yang
melakukan hal tersebut. Laporan dari tokoh masyarakat di Kecamatan Assue juga memperkuat hal itu. Tindakan oknum kepolisian sering kali bertentangan dengan keinginan dan aturan adat. Ketika pihak kelompok adat
berkeinginan untuk membubarkan judi, minuman keras dan mengusir WTS, maka mereka senantiasa harus berhadapan dengan senjata aparat kemanan. Tercatat setidaknya 3 kali kelompok mama-mama dan wanita di
kecamatan Assue melakukan unjuk rasa menuntut pengembalian para WTS liar, tetapi sebanyak itu pula mereka harus berhadapan dengan aparat kepolisian. Bahkan seorang ibu yang menggerakan demonstrasi tersebut
justru ditampar oleh oknum polisi.
Kepolisian sering kali menindak masyarakat yang mabuk dengan dentuman dan popor senjata. Tercatat pada 1999, 2 orang warga Papua ditembak mati oleh seorang oknum TNI dan pada 2000, seorang Papua meninggal
setelah terkena peluru milik oknum kepolisian (Brimob).
Sampai sekarang tidak pernah ada upaya hukum terhadap pelaku. Kalaupun atasan mereka mengetahui dan menindak oknum-oknum tersebut, paling berat adalah sanksi administrasi.
Perihal perilaku dan kesewenangan aparat kepolisian dan TNI ini telah dilaporkan oleh LMA ke Muspida dan instansi terkait, akan tetapi sampai sekarang belum ada tanggapan.
F. Kecamatan Kimaam
1. 1995 – 2001
Kesewenangan Perusahaan dan Aparat Keamanan (TNI/Polisi)
Masyarakat lokal, yang hidup di kampung-kampung sekitar pantai barat dan selatan laut dan kali/sungai di pulau Kimaam sangat menggantungkan kehidupan mereka pada kemurahan alam. Alam bagi mereka tidak hanya
bermakna pada dimensi ekonomi, akan tetapi juga bermakna sosial dan budaya. Selain itu, kondisi tanah yang bisa dikatakan tidak layak untuk pertanian, karena jika musim hujan tiba, maka semua permukaan tanah tertutup
oleh air. Pun ketika musim kemarau, tanah menjadi retak-retak, kering dan tandus. Olehnya itu, masyarakat sangat menjaga perairan (laut, kali/sungai dan rawa) sebagai kekayaan mereka satu-satunya dan tempat mereka
menggantungkan hidup.
Sejak kehadiran perusahaan PT. Djarma Aru (Djajanti Grop) di Wanam Camp –serta kapal penangkap ikan dari Sumatera, Jawa dan Sulawesi– yang melakukan operasinya di perairan (laut dan kali/sungai) pulau Kimaam,
kedamaian masyarakat terusik. Karena bagaimanapun juga sumber penghasilan mereka akan berkurang. Pula sering kali tanpa pamit, mereka langsung menebar jaring di kali-kali.
Undang-Undang Perairan yang mengatakan bahwa Zona I dari Zona Territorial (± 5 mill dari peisir pantai) diperuntukam bagi nelayan tradisional. Tapi kenyataannya pihak perusahaan telah jauh memasuki daerah tersebut
bahkan sampai di sepanjang kali dan sungai. Tidak jarang masyarakat yang hidup di sekitar areal penangkapan ikan menjadi obyek penipuan dari beberapa pencari ikan, bahkan dari aparat keamanan sekaligus ekonom, serta
dari pedagang.
Atas kebijakan perusahaan, pihak Polsek Kimaam diberikan 1 unit kapal pencari ikan yang digunakan untuk menangkap ikan sendiri. Kehadiran Polisi penangkap ikan ini yang pada prakteknya sering kali melakukan tindakan
intimidasi dengan bentuk menembakan senjata dengan maksud menakut-nakuti, memukul, menodongkan senjata kepada masyarakat agar mau menjual ikannya dengan harga murah, bahkan tidak jarang menghina eksistensi
orang Papua sebagai suku terasing, kotor, bodoh serta perkataan bermakna menghina lainnya. Seorang kepala desa Kawe pernah dianiaya oleh aparat keamanan sampai babak belur dan tidak diberikan makan sehari penuh.
Apalagi hanya seorang masyarakat biasa.
Masyarakat lokal yang berusaha mempertahankan hidup di tengah tingginya harga barang yang dijual oleh para pedagang dan –terkadang– aparat keamanan, akhirnya menaikan harga jual ikan. Akan tetapi, upaya mereka
selalu berhadapan dengan moncong senjata aparat keamanan. Kecewa dan marah, itu hal yang pasti dirasakan mereka.
Akibat dari seringnya masyarakat diperlakukan demikian, timbul kemarahan masyarakat lokal terhadap pencari ikan, keamanan dan para pedagang. Sikap antipati ini, telah diterjemahkan dalam bentuk merusak beberapa jaring
dari kapal pencari ikan serta beberapa bentuk protes lain. Atas ulah kelompok masyarakat tersebut, pihak perusahaan mulai mengikutkan seorang aparat keamanan pada setiap kapal untuk melindungi pencari ikan.
Pihak perusahaan tentu tidak mugkin kehabisan stok aparat keamanan, sebab di lokasi perusahaan (Wanam Camp – desa Wogekel), 5 satuan keamanan, yakni Brimob, Kostrad, Polairud, Pos Polsek, Pos Koramil, plus Satpam perusahaan telah
siap untuk mengamankan asset perusahaan sekaligus asset negara.
Dalam prakteknya, kerap kali kehadiran aparat keamanan melakukan intimidasi dalam bentuk yang lebih besar lagi, antara lain melakukan penyiksaan terhadap masyarakat yang dianggap pengganggu. Intimidasi juga biasanya
dilakukan dengan melakukan penembakan dengan maksud agar masyarakat tidak mendekati kapal serta menghalangi kebiasaan-kebiasaan lama aparat kemanan. Tidak jarang, aparat juga menembakan langsung senjatanya
kepada masyarakat, hingga mengakibatkan beberapa dari mereka mengalami luka.
2. 1999 – 2000
Arogansi Kelompok Masyarakat Sipil Pro Merdeka
Isu Papua Merdeka juga ikut merambah ke daerah Kimaam. Kehadiran Yakosarai, seorang penasehat TPN/OPM yang berusaha untuk memobilisir massa pro merdeka dengan membentuk Satgas Papua. Tidak jarang dari
mereka melakukan intimidasi psikis, bahkan fisik terhadap masyarakat non Papua dengan memakai isu Papua Merdeka. Akan tetapi, belum pernah ada satupun laporan tentang adanya korban jiwa akibat intimidasi tersebut.
Keberadaan mereka berjalan tidak begitu mulus, karena kelompok Willem Onde yang selalu menyebut diri dan kelompoknya sebagai TPN (Tentara Pembebasan Nasional Papua), kini membubarkan kelompok Satgas Papua
bentukan Yakosarai.
3. 2001
Insiden ini tidak dapat dipisahkan dengan point 1 –lihat : Kasus Kesewenangan Aparat Perusahaan dan Aparat Keamanan (TNI/Polri). Karena akumulasi kemarahan dan kekecewaan terhadap kapal pencari ikan, perusahaan,
aparat keamanan (TNI/Polri), dan pihak Muspika (pemerintah) yang tidak pernah menggubris pengaduan mereka serta belum pernah sekalipun melakukan kunjungan kerja ke daerah pantai barat, terus bertumpuk sejak 1995,
kini telah diekspresikan melalui perlawanan terhadap kapal pencari ikan.
Pembakaran Kapal dan Pembunuhan ABK KM. Jala Perkasa
Peristiwa ini masih merupakan rangkaian dari point 1 –lihat : Kesewenangan Aparat Perusahaan dan Aparat Keamanan (TNI/Polri). Sekelompok masyarakat Papua, masih di bawah pimpinan Yacob Mawen, dengan
menggunakan perahu mendatangi kapal pencari ikan KM. Jala Perkasa (kapal dari Tanjung Balai). Ketika merapat, seorang dari kelompok masyarakat tersebut meminta rokok pada salah satu ABK, akan tetapi pada saat yang
bersamaan, terdengar bunyi tembakan dari arah anjungan kapal. Bunyi tembakan tersebutlah yang membuat Yacob Mawen marah dan langsung mengejarnya. Yacob Mawen dan orang yang membunyikan senjata akhirnya
berkelahi sampai di kamar mesin.
Dalam keremangan malam, karena semua lampu kapal dipadamkan, Yacob Mawen keluar dari kamar mesin, ketika itu seorang dari anak buahnya tidak bisa lagi mengetahui dengan jelas posisi pimpinannya langsung
melepaskan anak panah yang telah mengakibatkan nyawa Yacob Mawen tidak dapat diselamatkan lagi.
Mengetahui pimpinannya telah meninggal, dengan seketika semua anak buahnya yang sebelumnya berada di atas perahunya masing-masing menyerbu ke atas kapal. 2 buah drum yang berisi persediaan bahan bakar
ditumpahkan ke atas kapal dan langsung membakar kapal. Seluruh ABK serta-merta menyelamatkan diri dengan jalan melompat ke kali. Kondisi ini dijadikan kesempatan oleh sekelompok masyarakat Papua tersebut yang
langsung menyerang mereka dengan busur dan anak panah, kampak serta tombak.
Akibatnya, 19 orang ABK KM. Jala Perkasa dan seorang aparat keamanan (Bharada Asep Firkah Fansuri –tidak diketemukan jenazahnya) dari sat Pol Airud di Wanam Camp langsung meninggal. Seorang ABK lainnya, Sofyan
Hadi, berhasil diselamatkan oleh tim yang diturunkan untuk melakukan evakuasi.
Pembakaran Desa (September)
Setelah peristiwa 12 Agustus 2001, masyarakat Kawe mengungsi ke kampung Kawe lama. Sementara itu, akibat dari 2 peristiwa pembunuhan dan pembakaran kapal pada Juli dan Agustus 2000 tersebut, sekelompok aparat
Kepolisian dari satuan Brimob dan Polairud yang bertugas di Wanam Camp (areal perusahaan) ditambah dengan beberapa anggota dari Polsek Kimaam melakukan pembakaran bevak-bevak di sekitar aliran kali Kontuar.
Selain itu, 9 buah rumah di kampung Sibenda dan 6 buah rumah di kampung Wetau serta 64 buah rumah masyarakat di desa Kawe (baru) habis dibakar. Beberapa simbol negara antara lain, bendera Merah Putih, stempel dan
arsip/dokumen desa serta baju dinas kepala desa Kawe ikut terbakar.
Akibatnya, 2 orang dari Pasukan 3 Buta, yakni Yohanis Racu tertembak di dada dan lengan kiri serta Ruben Munbera, tertembak di paha, lutut dan bokong, langsung meninggal di tempat. Beberapa lainnya mengalami luka-
luka, 2 diantaranya dievakuasi ke RSUD Merauke dengan menggunakan helicopter bersama-sama dengan rombongan Kapolres, Wakil Bupati dan Ketua DPRD Merauke yang turun langsung ke TKP.
Pengakuan Pasukan 3 Buta, mereka sedang dalam posisi menari-nari dan belum melewati tiang bendera sebagai batas antara kedua pasukan ketika tembakan terdengar. Melihat bekas proyektil peluru aparat di dinding SD
YPPK St. Don Bosco, yang berada di ujung lapangan Maskura, dimana Pasukan 3 Buta berhenti. Sebagian besar bekas proyektil tersebut mengarah ke bagian dada dan kepala. Jelas terlihat bahwa pihak aparat tidak
menerapkan sepenuhnya Prosedur Tetap (Protap) pengendalian massa.
Atas rentetan tragedi kemanusiaan di Kecamatan Kimaam tersebut, telah mengundang simpati dari para pejuang HAM di kota Merauke yang kemudian membentuk FORMED (Forum Merauke untuk Demokrasi), serta bertindak
sebagai Tim Pencari Fakta dan telah melaporkan hasilnya ke pihak Pemda Merauke. Belum ada tanggapan serius dari Pemda Merauke, minimal sampai akhir bulan Mei 2002.
G. Kecamatan Mandobo
1. 1995 – 1999
Pada 1999 – 2001, setelah ada SK Gubernur mengenai harga kayu, perusahaan baru mau mulai membayarkan kompensasi. Tuntutan demi tuntutan terhadap perusahaan pada areal hutan yang sama kerap kali muncul.
Ternyata perusahaan tidak pernah menuntaskan persoalan sampai ke akar-akarnya. Lihat point 1 denga kasus yang sama di kecamatan Jair.
2. 1998 – 2000
Arogansi Kelompok Papua Sipil Bersenjata
Di Kecamatan Mandobo, kelompok perjuangan Papua Merdeka terbagi dalam tiga faksi, yakni SORANDA, Willem Onde –yang mengkalim diri sebagai TPN/OPM– dan Satgas Papua. Kecenderungan arogansi mereka terhadap
kelompok non Papua sangat terasa ketika memasuki tahun 1999 – 2000.
H Kecamatan Jair
1. 1995 – 1999
2. 1998 – 2001
Arogansi kelompok masyarakat sipil Papua bersenjata
Pengaruh Willem Onde sampai juga di Kecamatan Jair. Begitu pula SORANDA yang berbasis di Kecamatan Mandobo serta Satgas Papua di Kecamatan Jair. Pertikaian mereka dalam perebutan pengaruh dan wilayah
kekuasaan kerap kali terjadi. Misalnya pada September 2000, Wilem Onde membubarkan kelompok Satgas Papua yang sedang melakukan latihan, dan menuntut untuk segera membubarkan kelompok Satgas Papua, serta
melarang penaikan bendera Bintang kejora pada 1 Desember 2000. Padahal pada November 1999, Willem Onde-lah yang mengkoordinir masyarakat Papua untuk melakukan aksi penaikan bendera Bintang Kejora.
Selain itu, Willem Onde juga sering kali melakukan serangan (menakut-nakuti) terhadap masyarakat Auyu sebagai penduduk asli yang sah di Asiki (lokasi peusahaan plywood – PT. Korindi Group), dan tidak jarang pula di
tempat-tempat umum (pasar), kelompok Willem Onde menembakan senjata berkali-kali dengan maksud menakut-nakuti masyarakat. Juga sering kali melakukan pemalangan terhadap setiap mobil dari dan ke kota Merauke.
Ketika hal ini dikonfirmasikan ke pihak kepolisian, secara implisit, Kapolsek Jair mengakui bahwa ada ketakutan tersendiri pada kekuatan lain yang ada di belakang barisan Willem Onde jika harus menindaknya.
Kelompok Willem Onde sering kali melakukan pemerasan terhadap perusahaan. Sehingga atas koordinasi dengan semua satuan keamanan di sekitar Perusahaan (Kopasus, Kostrad, Brimob, Koramil dan Polsek –Kapolsek
Jair tidak mengakui jika ada koordinasi tersebut), maka perusahaan memberikan 1 unit rumah kepada kelompok Willem Onde sebagai Markas, dan memberikan tunjangan makanan dan uang setiap bulannya. Hal yang diakui
oleh Kapolsek Jair tersebut, (karena pernah menyaksikan langsung) dibantah oleh pihak perusahaan.
Dampak yang timbul pada masyarakat adat di sekitar perusahaan adalah, kecemburuan sosial atas sikap perusahaan pada perlakuan istimewa terhadap Willem Onde, sedangkan dia bukan suku asli di daerah tersebut (Willem
Onde adalah suku Muyu di Kecamatan Waropko).
3. 2001
Penyanderaan karyawan dan Pimpinan PT. Korindo Group (17 Januari 2001).
Aksi Willem Onde berawal dari kekecewaannya ketika mabuk di kota Merauke, dan dihajar oleh seorang anggota Brimob. Pada saat yang bersamaan, anak buahnya yang berada di markas perusahaan di Asiki, meminta 6
drum bahan bakar kepada perusahaan, akan tetapi pihak perusahaan tidak menghiraukan permintaan mereka. Kekecewaan dan kemarahan terhadap penolakan perusahaan atas permintaan anak buahnya ditambah dengan
kejengkanyya terhadap anggota Brimob di kota Merauke telah dilampiaskannya dengan menyandera 16 orang karyawan perusahaan, termasuk salah satu pimpinan perusahaan berkebangsaan Korea.
Proses pembebasan berhasil setelah Bupati dan Kapolres Merauke –yang turun langsung– menjanjikan untuk memenuhi tuntutan Willem Onde dalam bentuk uang senilai Rp. 1 milyar dan bertemu dengan Presiden Republik
Indonesia.
I Kecamatan Kurik
1. 1995 – 2001
Nuansa konflik horizontal ini mereda ketika ada penempatan pasukan keamanan (Brimob) di Kecamatan Kurik.
KABUPATEN JAYAWIJAYA
C. Kecamatan Bokondini
1. 1999
Penanganan yang Berlebihan (1 Desember)
Di Kecamatan ini tidak terjadi konflik yang berskala besar. Tetapi akibat peningkatan eskalasi kegiatan politik sehingga militer mengerahkan kekuatan guna terus mengawasi gerak – gerik warga dari berbagai aktivitasnya. Hal
ini tentu saja meresahkan warga karena mereka merasa tidak bebas untuk bergerak karena akan di terror serta diintimidasi. Hal ini terjadi pada tokoh – tokoh yang berperan di sana (tokoh agama, masyarakat, dll).
Peristiwa yang terjadi di Bokondini ini bermula dari pengibaran bendera pada tanggal 1 Desember 1999, akibat Bupati David Hubi tidak menijinkan pengibaran di Wamena. Pengibaran ini di lakukan pukul 07.20 WIT dan
diturunkan pada pukul 15.45 WIT setelah Pdt. Obed Komba didatangkan dengan helikopter dari Wamena. Akibat pengibaran bendera tersebut maka pada tanggal 12 Desember di Wamena Polres Jayawijaya memeriksa 9
orang pelaku pengibaran bendera. Dan pada tanggal 19 Desember ditangkap lagi 1 orang pelaku pengibaran bendera yang kesemuanya berjumlah 10 orang.
Di Kecamatan Bokondini aparat keamanan dalam memperlakukan masyarakat telah bertindak di luar batas–batas kemanusiaan. Harga diri sebagai manusia sangat begitu tidak dihargai padahal mereka adalah manusia yang
juga ingin hidup bebas beraktifitas sebagaimana mestinya. Kondisi ini pernah dilaporkan beberapa kali kepada Bupati David Hubi dan juga Dandim Kabupaten Jayawijaya namun sepertinya tidak digubris.
Dampak peristiwa itu akhirnya masyarakat menjadi resah karena diteror dan diintimidasi oleh aparat. Hingga sekarang daerah ini menjadi mencekam karena gerak–gerik mereka diawasi terus. Masyarakat menjadi tidak bebas
di tanahnya sendiri, hal ini dikarenakan adanya penambahan pasukan dalam jumlah yang besar. Aparat keamanan menunjukkan kesewenang–wenangannya (show power) dan menakuti–nakuti warga dan mengancam dengan
senjata sehingga warga semakin takut dan ada warga yang akhirnya meninggalkan kampungnya untuk pergi ke kampung lain atau ke hutan (mengungsi).
Pada saat Peneliti tiba di Bokondini, Bendera bintang kejora masih berkibar di daerah Bilu baga yang merupakan dampak dari traumatis pengalaman tahun 1977 dan aspirasi politik yang terjadi di seluruh Papua. Akibatnya
masyarakat di kecamatan Bokondini khususnya desa Bilubaga mengalami ketakutan dan kecemasan akan terjadinya konflik antara militer dengan pengikut bapak Yatan Weah dan Elias Baminggen. Tokoh adat desa Bilubaga
meminta kepada Tim Peneliti (AlDP) untuk memfasilitasi ke PDP memberikan penguatan kepada masyarakat desa Bilubaga agar bendera diturunkan sehingga potensi konflik pelanggaran HAM dapat dihindari. Sekarang ini
bendera Bintang Kejora telah di turunkan setelah ada perintah dari Presidium Dewan Papua (PDP) yang difasilitasi oleh AlDP. Sehingga ketakutan akan terjadinya konflik yang dikuatirkan oleh masyarakat menjadi sedikit
berkurang.
Sebagai contohnya, bahwa di ibu kota Kecamatan Bokondini, responden (Ketua Klasis Bokondini) ditodong dengan senjata karena dituduh mengijinkan tim peneliti untuk bertemu dengan korban penyiksaan tahun 2002 (Tote
Weah dan Jondi Weah) serta Elias Baminggen. Akibatnya Tim Peneliti juga diancam akan dibunuh apabila datang ke Ibu kota Kecamatan Bokondini.
D. Kecamatan Kelila
1. 1999
Penanganan yang Berlebihan (1 Desember)
Aparat sering melakukan banyak tindakan kekerasan, baik itu penyiksaan secara fisik maupun non fisik seperti, intimidasi, terror serta beban psikologis karena dihina, dicaci maki dan diberikan stigma inferior (malas, bodoh dan
primitif). Keadaan tersebut menyebabkan masyarakat di Kelila dicap sebagai Daerah Merah. Warga menjadi tidak bebas bergerak di wilayahnya sendiri. Sebelum tahun 1999, teror dan intimidasi lainnya terus dilakukan oleh
aparat karena daerah ini dianggap sebagai daerah merah. Akibat pendekatan represif yang dilakukan oleh militer dan juga berbagai stigma yang mendiskreditkan warga sehingga telah menjadi stereotip warga bahwa militer
identik dengan kekerasan.
Setelah 1999, eskalasi kegiatan politik semakin meningkat dimana roda reformasi bergulir melanda negeri dan juga setelah diijinkannya pengibaran bendera oleh Penguasa. Suasana telah berubah semakin mencekam karena
tindakan terror, penyiksaan menunjukkan peningkatan yang signifikan
Aparat militer khususnya pasukan non organik yang ditempatkan di sana tidak berusaha untuk beradaptasi dengan masyarakat, tetapi malah mempertontonkan kehebatannya dengan menggunakan senjata (show power).
Berbagai aturan-aturan adat telah dilecehkan dan menganggap bahwa dialah hukum yang berlaku. Penghormatan terhadap tokoh yang berperan dirasa sudah tidak ada. Padahal bagi masyarakat seperti tokoh adat dan tokoh
Agama begitu dihormati dan dihargai. Simbol-simbol adat (topi kepala suku) sebagai lambang keagungan masyarakat adat dan hanya dipakai pada acara-acara khusus saja (bersifat sakral), kini dipermainkan seperti barang
sampah, padahal seharusnya simbol tersebut. Apa yang diinginkan harus dipenuhi dan bila tidak maka akan berhadapan dengan moncong senapan. Keadaan ini semakin menjadikan kebencian yang mendalam kepada militer
apalagi memori 1977 belum hilang dari ingatan di mana terjadi pembantaian besar-besaran dan kini memoria pasionis tersebut kembali bertambah dengan banyaknya penyiksaan, teror, intimidasi, penyiksaan dan berbagai
macam tekanan yang membuat masyarakat depresi.
F. Kecamatan Mapnduma
1. 1996
Penyanderaan Tim Lorentz (8 Januari)
Kejadian ini bermula dari kedatangan Tim Lorenzt ke Mapnduma pada tahun 1996 untuk melakukan penelitian terhadap tumbuhan dan tanah yang ada di kawasan Taman Nasional Lorentz. Masyarakat merasa kurang suka
melihat keadaan ini karena bertentangan dengan budaya setempat. Mereka menyandera dan membawa tim tersebut ke tengah hutan.
Adapun kronologis peristiwa dari penyanderaan hingga pembebasan dan akhirnya diadakan operasi penyisiran, adalah :
c. 8 Mei 1996
Dilakukan operasi pembebasan sandera oleh Kopassus yang di pimpin oleh Mayjen Prabowo. Sedang yang diturunkan di Mapnduma di pimpin oleh Kapten Made. Selain itu juga dari kesatuan lain seperti Kostrad, Pasukan
Kasuari dsb.
Penyanderaan yang dilakukan terhadap tim peneliti terjadi diakibatkan ketidakpahaman peneliti Lorentz mereka terhadap budaya lokal, di mana mereka mengambil tanah dan tumbuhan yang akan digunakan untuk keperluan
penelitian dan akan diangkut ke Wamena Kota dan akhirnya ke luar dari Papua. Padahal kegiatan tersebut bertentangan dengan adat yang berlaku dan menyebabkan warga tersinggung dan marah. Masyarakat merasa seluruh
hasil bumi mereka akan diangkut ke luar dan nantinya mereka tidak akan dapat hidup lagi karena semuanya telah habis.
Untuk peristiwa tersebut dapat dibagi dalam 3 (tiga) tahapan yang terdiri dari :
Pertanyaan dia adalah tentang pengalaman suku Amungme yang memprihatinkan dan tragis, di mana hanya jadi penonton atas pengrusakan habitat mereka yaitu dengan beroperasinya PT. Freeport. Ketakutan dan
kecemasan inilah yang membuat warga tersebut marah dan ke luar dari ruangan karena pendapatnya tidak diterima. Kemudian tidak berapa lama dia datang dengan sejumlah temannya dan langsung melakukan
penyanderaan terhadap 24 orang peneliti, termasuk masyarakat sipil yang mengikuti rapat tersebut (tanggal 8 januari 1996).
Namun karena negosiasi tidak berhasil, maka langkah yang diambil selanjutnya adalah melakukan operasi militer. Di sinilah awal terjadinya berbagai peristiwa yang menakutkan dan mencekam.
Militer kemudian membuat basis pangkalan di daerah sekitar penyanderaan seperti di Keneyam, yang jumlah mereka sangat banyak dan dari berbagai kesatuan seperti dari Kostrad, Kodam VIII Trikora, Pasukan Kasuari,
kopassus dll. Mobilisasi pasukan ini dilakukan dengan menggunakan pesawat helikopter. Selain itu juga dilakukan “Silent Operation“. Operasi yang dilakukan dan terkesan Show Power semakin membuat warga diliputi
rasa ketakutan, shock karena tertekan dan tidak bebas, karena takut dituduh sebagai anggota dari TPN/OPM.
Padahal ketika merencanakan pembebasan sandera telah diperingatkan oleh ketua Klasis untuk berhati-hati, bahwa harus dibedakan mana yang masyarakat sipil biasa dan mana yang anggota TPN/OPM. Namun pada
kenyataannya hal tersebut tidak diindahkan. Militer melakukan penyisiran dan mengejar warga hingga ke dalam hutan yang menyebabkan warga banyak yang mati tertembak. Bahkan rumah warga ada yang dijadikan
basis militer sehingga mereka pergi mengungsi ke keluarga mereka. Selain itu sekolah juga turut dipakai sehingga aktifitas belajar terganggu. Warga dilarang untuk tidak boleh ke mana-mana padahal mereka bisa bertahan
hidup dari hasil berkebun.
Selain itu, militer juga melakukan penyisiran terhadap kampung-kampung yang ada. Warga karena yang akhirnya melarikan diri ke hutan-hutan yang diperkirakan berjumlah sekitar 500 Jiwa. Kemudian militer juga
melakukan penyisiran di pinggir-pinggir kampung dan banyak membunuh warga karena dituduh termasuk anggota penyandera. Padahal mereka inilah para warga yang mengungsi ke hutan-hutan.
Bahkan ada pula yang mati karena kelaparan sebab tidak mempunyai cadangan makanan. Warga yang menyerahkan diri karena sudah kelaparan juga disiksa dan dibunuh. Warga yang telah mati ditembak, lantas
ditinggalkan begitu saja hingga mayatnya dimakan oleh binatang liar.
Militer yang melakukan penyisiran ke kampung-kampung terus melakukan kekerasan serta meneror masyarakat. Setidaknya ada 5 (lima) desa yang diobrak-abrik oleh aparat rumah dan tanaman dirusak dengan bom.
Tempat ibadah (Gereja) di Soroama juga dihancurkan dengan bom. Perempuan diperkosa (dewasa + di bawah umur). Bahkan ada perempuan yang hamil digilir oleh 7 orang aparat. Penembakan membabi buta dilakukan
sehingga banyak yang cedera hingga cacat dan juga mati. Penganiayaan juga terus dilakukan dan bahkan ada seorang warga yang disuruh minum air kencing (urine) aparat, yang bernama Leon Nerigi.
a. Desa Geseleima
b. Desa Yenggelo
c. Desa Alama
d. Desa Huarem
e. Desa Nolak
Eskalasi kekerasan militer semakin meningkat tatkala penyandera menunda pembebasan sandera. Akhirnya warga kembali mengalami penderitaan. Rumah ibadah dan sarana lainnya digunakan sebagai basis militer.
Hutan dirusak dengan cara dibom yang akan digunakan sebagai tempat pendaratan helicopter. Juga ada tokoh agama mengalami nasib yang tragis dimana ditembak hingga mati di depan gereja yang dilakukan oleh Yonif
751, yang sebelumnya gereja tersebut lebih dahulu di bom dari udara. Jadi penyisiran yang dibuat oleh aparat militer dilakukan baik dari darat maupun dari udara. Juga pernah terjadi di Keneyam yaitu peledakan bom yang
ditinggalkan oleh aparat di rumah penduduk di mana mengakibatkan 5 orang meninggal dan 2 orang lainnya luka – luka.
Ketika terjadi pembebasan sandera telah diberikan bantuan berupa bahan makanan kepada masyarakat. Namun ternyata usaha bantuan kemanusiaan dinodai oknum tertentu di mana helicopter yang berencana
menurunkan bahan makanan, tetapi di dalamnya telah bersiap pasukan dari luar negeri untuk menghabisi warga, karena pada waktu itu ada pertemuan antara masyarakat dengan penyandera. Masyarakat mengira
helicopter itu akan menurunkan bahan makanan seperti biasanya karena terlihat dari pesawat tersebut dikeluarkan bendera lambang Palang Merah. Masyarakat mendekati pesawat itu. Tetapi kemudian ketika pintu
pesawat dibuka maka tembakan membabi buta dilakukan oleh pasukan yang memang telah berada pada posisi siap tempur. Akhirnya korban pun tidak bisa dihindarkan. Warga yang selamat kemudian mengungsi lagi ke
hutan. Ada warga yang mati di tempat, ada yang akhirnya cacat seumur hidup dan lainnya luka-luka.
Menurut responden, pesawat yang dipakai dalam operasi pembebasan sandera adalah milik PT. Freeport yang dipakai oleh Air Fast untuk melakukan pengejaran dan menembak masyarakat hingga ke hutan. Dan juga
helikopter militer TNI berjenis Twin Otter maupun Puma.
Pada tanggal 15 Mei 1996 para sandera dibebaskan, namun ada 2 orang peneliti yang meninggal yaitu Nafi (Sulawesi Utara) dan Matias dari Ambon. Sedangkan di pihak TPN/OPM meninggal 1 orang.
Selama terjadi penyisiran dan selama operasi pembebasan di lakukan, kurang lebih ratusan jiwa meninggal (menurut responden 300) dan banyak penduduk yang mengungsi serta perempuan-perempuan kampung yang
diperkosa, namun karena malu sehingga tidak dilaporkan. Ada yang menderita cacat. Namun yang paling berat adalah beban mental (kondisi psikologis) yang dirasakan akibat operasi pembebasan sandera. Kondisi ini
semua pernah dilaporkan oleh warga kepada Els-HAM (Lembaga Studi dan Advokasi HAM) di Jayapura. Sedang pemerintah nampaknya bersifat apatis melihat kondisi tersebut.
Keadaan ini (setelah pembebasan sandera pada tanggal 15 Mei 1996) tidak secara otomatis langsung menghilangkan penderitaan warga. Karena setelah itu penyiksaan, pembunuhan dan bentuk kekerasan lainnya tetap
dirasakan. Karena walaupun telah di cabut status Mapnduma dari Daerah Operasi Militer (DOM) menjadi Pengawalan Daerah Rawan (PDR), toh tindak kekerasan terus terjadi. Pernah terjadi di Keneyam yaitu peledakan
bom yang ditinggalkan oleh aparat dimana mengakibatkan 5 orang meninggal dunia dan 2 orang luka-luka. Juga anak ketua Klasis yang bernama Joni, ikut meninggal karena tertembak oleh pasukan 751 pada tanggal 16
Juni 2000, bahkan ada anak perempuan yang berumur 3 dan 11 tahun di perkosa.
G. Kecamatan Oksibil
1. 1996
Perilaku Kelompok Sipil Bersenjata
Daerah ini merupakan salah satu dari 6 (enam) Kecamatan yang berada di sebelah Timur Kabupaten Jayawijaya. Konflik yang terjadi di sini pada umumnya akibat ulah militer yang bertindak di luar aturan. Hal ini di karenakan
daerah ini dekat dengan negara tetangga, PNG.
Adapun kasus yang terjadi pada tahun 1996 di Desa Kutdol Kecamatan Oksibil yaitu :
Kasus ini berawal dari seorang anggota OPM, bernama Titus Uropdana yang tinggal bersama dengan Komandan OPM Paulus Kaladana di perbatasan wilayah Oksibil dengan Kiwirok dan PNG (Yapsi). Pada saat itu di daerah
tersebut terdapat seorang anak perempuan yang orang tuanya memiliki hutang terhadap keluarganya Titus Uropdana. Pada saat Titus Uropdana menagih hutang tersebut untuk segera dibayar, keluarga yang berhutang malah
mengembangkan isyu bahwa Titus membayar orang untuk membunuh keluarga yang berhutang tersebut.
Pada awalnya pula Titus Uropdana ini bukanlah anggota OPM, dalam hal ini yang menjadi anggota OPM adalah adiknya yang bernama Xaverius Uropdana. Kemudian Titus tersebut melaporkan permasalahannya kepada
adiknya Xaverius Uropdana yang kemudian keduanya bersama rombongan OPM lainnya dengan membawa senjata lantas mendatangi kampung tempat tinggal keluarga yang berhutang tersebut dan membunuh serta
mengambil hasil ternak dan kebun para warga Kampung. Setelah selesai melakukan hal itu, kemudian mereka turun ke kampung berikutnya. Kebetulan pada saat itu Hari Jumat, TNI bersama masyarakat sedang ke Desa
Kutdol untuk melaksanakan ABRI Masuk Desa. Mendenganr hal itu, rombongan Titus dan Xaverius Uropdana langsung merencanakan penghadangan dan menjaga di jalan yang akan dilewati oleh TNI dari Kostrad 509
bersama masyarakat.
Pada saat TNI dan masyarakat lewat di jalan tersebut, rombongan Titus dan Xaverius langsung melepaskan tembakan ke arah TNI dan masyarakat, namun tembakan tersebut meleset. Setelah melepaskan tembakan,
rombongan Titus dan Xaverius berlari kearah kampung tempat di mana keluarga yang berhutang kepada Titus tersebut tinggal. Akibatnya TNI dari Kostrad 509 mengejar kelompok penyerang dengan mengepung kampung dan
melepaskan tembakan secara beruntun.
Ketika TNI sedang melakukan penyerangan terhadap kelompok Titus dan Xaverius Uropdana, tiba-tiba Yunus Gobay, seorang anggota Koramil yang kebetulan ikut bersama TNI pada saat itu, berlompat menerobos masuk
menuju ke arah kelompok Titus dan Xaverius Uropdana. Dan pada saat itu pula Komandan TNI yang bernama Zulkifli langsung menembak anggota Koramil tersebut hingga tewas dan rombongan OPM Titus dan Xaverius lari
masuk hutan. Seorang anggota masyarakat yang bernama Uropyambul Ningmabin tewas tertembak dan ada pula seorang ibu tua yang meninggal karena terkejut setelah mendengar suara tembakan terus-menerus.
Setelah kejadian tersebut, masyarakat kemudian memindahkan warga kampung ke Ibukota Desa untuk menghindari terjadinya konflik susulan.
2. 1996 – 1997
Penanganan yang Berlebihan
Teror dan intimidasi tersebut dilakukan oleh Kopasus dan Militer dengan menuduh masyarakat menyimpan senjata dan masyarakat dituduh berhubungan dengan OPM. Teror dan intimidasi dilakukan pula dengan penodongan
senjata kepada masyarakat sehingga masyarakat menjadi takut dan cemas.
Kasus ini telah dilaporkan oleh masyarakat kepada lembaga keagamaan (Keuskupan) dan Kodam XVII Trikora dan berbagai pihak namun nampaknya tidak ditindak lanjuti.
H. Kecamatan Kiwirok
1. 1995
Balas Dendam
Adapun runtutan peristiwa yang terjadi mulai tahun 1995 – 2002 antara lain :
Pembantaian yang dilakukan oleh aparat militer pada masa pemberlakuan DOM terhadap masyarakat desa Kukihil, desa Tapahik hingga desa Marikong Pahik Kecamatan Kiwirok.
Peristiwa ini berawal dari persoalan keluarga yang diadukan oleh Yosepha Taplo yang merupakan anak dari Hegap Kaweng Taplo ( korban penyiksaan oleh Kapolsek Kiwirok tahun 1982 ) mengadu ke pos 732 dengan
mengatakan bahwa di desa Kukihil dan kampung sekitarnya terdapat markas kelompok TPN/OPM pimpinan Daniel Taplo.
Mendengar laporan tersebut aparat langsung menuju ke desa tersebut dan melakukan operasi. Masyarakat kemudian di kumpulkan dan ditangkap serta dimasukkan dalam suatu rumah lalu di tembak mati semuanya dan
rumahnya di bakar. Jumlah korban peristiwa tersebut berjumlah 579 orang. Dan salah seorang warga yang lolos dari peristiwa itu bernama Tabub Kakadier kini telah menjadi kepala desa Asua. Adapun pelaku pembantaian
adalah Komandan Pos Tirton dengan Komandan operasinya Adolof Telepari dengan sandi Operasi Pembersihan GPK. Setelah kejadian pembantaian tersebut Pos yonif 732 langsung ditarik ke luar dari kecamatan Kiwirok.
2. Tahun 1996
Penanganan yang Berlebihan
a. Terjadi pembunuhan terhadap Yusak Taplo salah seorang anggota Majelis Gereja oleh Yonif 403, pada tanggal 10 Maret pada pukul 06.00 WIT bertepatan dengan hari Minggu.
Peristiwa ini berawal pada pukul 04.00 dini hari, di mana anggota TNI dari Yonif 403 menyerang kampung Depsos desa Kiwi. Karena ketakutan, korban kemudian berlari ke luar dari rumah. Pada saat itu korban langsung
ditangkap di jalan raya kemudian di tembak mati langsung di seret.
Setelah di tembak mati, mayat korban di jaga oleh aparat dan bagi masyarakat yang mendekat untuk melihat mayat tersebut akan di tembak. Pelaku penembakan tersebut bernama Prada Supriyono dari Yonif 403 yang
dilakukan di depan Camat Kiwirok Drs. Yusuf Syawal. Korban kemudian di makamkan pada pukul 15.00 WIT setelah masyarakat pulang dari kebaktian di Gereja. Alasan pembunuhan tersebut adalah bahwa korban bukan
merupakan warga desa Kiwi dan tidak memiliki KTP. Alasan lain adalah bahwa korban sering menyembunyikan anaknya yang bernama Marius Taplo yang di duga merupakan anggota TPN/OPM.
b. Tiga (3 ) bulan setelah terjadi penembakan terhadap Yusak Taplo, anak dari korban yang bernama Marius Taplo di tangkap oleh Team Merah Putih yang sengaja dibentuk yang terdiri dari putra asli setempat.
Korban kemudian ditangkap lalu di bunuh di desa Okbab yang terletak di antara Kecamatan Kiwirok dan Kecamatan Okbibab. Alasan pembunuhan terhadap Marius Taplo karena di tuduh sebagai anggota TPN/OPM dan
juga menyebarkan paham / ideologi Kargoisme.
3. Tahun 2001
Mogok Kerja Pegawai Puskesmas
a. Terjadi aksi mogok pegawai Puskesmas dan Bidan Puskesmas Kiwirok sebagai akibat dari pemotongan gaji yang tidak transparan kegunaannya. Pemotongan ini mulai terjadi dari bulan Maret hingga Desember 2001 dan
juga terhadap Tunjangan Hari Raya (THR) untuk tahun tersebut.
Jumlah pegawai dan Bidan PPT yang dipotong gajinya sebanyak 19 orang dengan total pemotongan sebesar Rp 42.177.000 yang dilakukan oleh Kepala Puskesmas Kiwirok yaitu Henok Uropmabin.
Dari uraian kasus yang pertama terlihat nampak bahwa tindakan aparat militer sangatlah arogan. Oknum aparat terlalu over action dalam menghadapi masyarakat. Tidak ada pendekatan persuasif yang dilakukan guna
menyelesaikan persoalan yang muncul ataupun menyeleksi berita – berita yang diinformasikan. Akhirnya dengan suatu doktrin agar menumpas habis gerakan separatis menjadi alat legitimasi untuk melakukan kekerasan
yang walaupun korban berasal dari masyarakat sipil tidak tahu – menahu tentang kegiatan TPN/OPM.
Dan yang sangat disayangkan dan disesalkan bahwa aparat pelaku tindak kekerasan terhadap warga walaupun sudah di tarik dari Kiwirok namun tidak diambil tindakan tegas kepada mereka, terkesan seolah – olah tindakan tersebut
direstui oleh pimpinannya.
Sedangkan bagi kasus ke dua di mana terjadi aksi mogok pegawai Puskesmas Kecamatan Kiwirok yang di latar belakangi akibat pemotongan gaji mereka yang dilakukan oleh pimpinan Puskesmas tempat mereka bertugas. Upaya
untuk memperkaya diri dengan jalan yang tidak benar (korupsi) telah menyebabkan orang lain menderita kerugian. Selain itu juga beliau sering mengancam pasien dan menyuruh pulang tanpa alasan yang jelas. Bahkan beliau sering
mengambil apa yang menjadi tugas orang lain dengan alasan, dia adalah putra asli.
Walaupun sudah melapor ke pimpinan di kabupaten dan Propinsi namun tidak di gubris. Warga yang mengalami kerugian kini tetap menanti akan tegaknya keadilan bagi mereka.
Dampak dari aksi mogok tersebut kini Puskesmas tersebut menjadi terlantar dan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat tidak berjalan dengan baik.
BAB III
PEMBAHASAN DAN ANALISA
KONFLIK PELANGGARAN HAM DI PAPUA
A. Motif
Dari hasil penelitian sangatlah sulit dipisahkan bahwa tiap kasus berdiri sendiri karena lebih banyak ditemukan kasus yang terjadi menyusul seketika atau hampir bersamaan dengan peristiwa sebelumnya atau dapat disinyalir
merupakan rentetan kasus. Dari motif / penyebab munculnya konflik pelanggaran HAM ditemukan adanya 3 motif utama yakni politik, ekonomi dan sosial budaya serta dijumpai bahwa terdapat pergesaran motif sehingga dari 74
kasus terdapat 87 kali konfigurasi motif hal ini terjadi karena bisa saja pada satu peristiwa tidak saja terdapat satu motif tetapi bisa terdapat 2 atau 3 motif sekaligus yang ketika ditarik ke sumber konflik maka ada 87 pergeseran motif.
Hal ini dapat di lihat pada Matriks Pelanggaran HAM di 5 kabupaten.
Seperti diketahui bahwa sejak lama telah muncul perjuangan dalam rangka menggugat kembali proses masuknya Papua ke dalam NKRI yang terjadi di beberapa tempat yang didominasi oleh kekuatan bersenjata dengan pola
perjuangan tertutup karena lebih banyak bergerilya berbasis di hutan. Reformasi tahun 1998 memunculkan pola–pola perjuangan baru yang merupakan babak baru dari perjuangan untuk menggugat kembali proses masuknya Papua
ke dalam NKRI tersebut. Secara internal, kondisi ini ditandai dengan dimulainya dialog Tim 100, kemudian Mubes Papua 2000 dan Konggres Papua II 2000. Secara eksternal, kondisi ini ditandai dengan perubahan pola kepemimpinan
nasional yang dilakukan oleh presiden Abdurrahman Wahid sehingga memberikan peluang demokrasi yang lebih besar – walaupun konsistensinya dipertanyakan kemudian – hal ini ditandai dengan disetujuinya pengibaran bendera
Bintang Fajar.
Maka hal tersebut menjadi momentum dari perubahan pola perjuangan Papua Merdeka ke areal yang lebih terbuka. Kondisi ini disikapi pula dengan berbagai banyak cara berjuang yang dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat,
ternyata langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap pelaksanaan ketetanegaraan dan pemerintahan (baca : politik pembangunan) di Papua melalui penjinakan (domestikasi), seperti politik bagi-bagi duit yang dilakukan oleh
pemerintah, dana crash program, JPS maupun Otsus – nampaknya hal yang sama merupakan pengulangan dari sejarah era 60-an (blueprint) ketika proses masuknya Papua ke dalam NKRI : penjinakan dilakukan kepada para
tokoh-tokoh masyarakat.
Dilihat dari matriks Pergeseran Motif / Tahun (Matrix D1) berdasarkan kabupaten, maka ditemukan :
Pertama, motif politik dimulai pada daerah Jawawijaya tahun 1995 dengan peristiwa di desa Kukihil - Kiwirok berkaitan dengan munculnya keinginan atau aspirasi masyarakat untuk merdeka dan di daerah Biak Numfor Kecamatan
Biak Barat dan Supiori Selatan yang berkaitan dengan terkekangnya masyarakat atas label daerah separatis yang disebabkan oleh momentum empirik perjuangan masyarakat pada waktu lampau. Motif ekonomi dimulai di Biak Selatan
pada Januari 1995, yakni pembakaran pasar Inpres dan juga di Merauke tentang reclaiming hutan masyarakat adat di kecamatan Mandobo—sekaligus merupakan motif sosial budaya. Motif sosial budaya dimulai juga pada desa
Karuboi – Biak dan Kecamatan Jair – Merauke mengenai reclaiming hutan masyarakat adat.
Kedua, terdapat kasus yang terus terjadi atau dapat dipandang terjadi lebih dari setahun yakni selama periode 1995-2001. Biasanya tidak muncul dengan intensitas tinggi atau memuncak akan tetapi dampak / pengaruhnya terhadap
masyarakat setempat tidak dapat dikatakan lebih ringan dari kasus yang muncul sekaligus dalam tempo yg relatif singkat. Dari motif politik setidaknya ada beberapa desa di Biak Barat dan Supiori Selatan, yakni pada desa-desa yang
diberi stigma TPN/OPM karena dipandang sebagai basis TPN/OPM.
Kondisi ini mempengaruhi psikologis masyarakat karena masyarakat menjadi takut dan merasa tidak aman untuk melakukan aktifitas kehidupan sehari-hari.Hal yang sama terjadi pula di daerah Merauke pada Kecamatan Mandobo
dan Kecamatan Kurik. Hanya saja masyarakat yang menjadi korban dari situasi tersebut di wilayah ini justru masyarakat migran / non Papua akibat ulah kelompok Satgas Papua dan Kelompok papua bersenjata lainnya.
Untuk motif ekonomi yang terus terjadi sepanjang tahun adalah reklaiming atas tanah, hutan dan kekayaaan alam. Hal ini terjadi di Kecamatan Babo – mulai dari pelanggaran batas wilayah penangkapan ikan oleh perusahaan,
ketidakjelasan luasnya areal perkebunan perusahaan, pengalihan tanah untuk pemukiman transmigrasi dan kasus Tanah termurah di dunia. Di Merauke untuk alasan yang sama, yakni persoalan reclaiming tanah terjadi juga di
Kecamatan Mandobo, Kecamatan Jair dan penguasaaan asset / kekayaan alam di Kecamatan Kimaam, Assue dan Citak Mitak.
Untuk kasus dengan motif sosial budaya secara khusus, kasus yang menyangkut persoalan budaya terjadi di desa Andey di Biak dan di Manokwari – Kecamatan Babo (masih bersinggungan dengan motif ekonomi) serta Merauke pada
Kecamatan Assue, Jair dan Mandobo (juga masih bersinggungan dengan motif ekonomi).
Politik
Dari hasil penelitian dijumpai pelanggaran HAM yang terjadi dengan motif politik yang terjadi sekitar tahun 1995 di daerah Jayawijaya dan Biak Numfor. Hal ini sendiri perlu diselidiki lebih lanjut apakah ini terjadi berkaitan dengan siklus
peristiwa Wamena 1977 dan Biak 1971 – 1972 akibat akumulasi penderitaan selama 20 tahun yang tergambar dalam memoria pasionis sehingga memunculkan perlawanan (Tentu saja tanpa bermaksud mengabaikan kasus–kasus
pelanggaran HAM lainnya yang terjadi sekitar masa tersebut di daerah lain). Tahun 1999 – 2000, sedikitnya ada 34 kasus bermotif politik (lihat Matrix D1& D2) yang mencuat terjadi hampir di setiap daerah. Mulai dari Jayapura,
Manokwari, Jayawijaya, Merauke dan Biak . Hal ini justru terjadi pada saat era reformasi : sekali lagi dapat ditandai sebagai akibat kondisi internal dan eksternal Papua – kebangkitan Nasionalisme Papua dan juga perubahan kebijakan
pemerintahan era Gus Dur.
Adanya beberapa daerah yang merupakan basis TPN/OPM terutama sebagai tempat pengerahan kekuatan sipil bersenjata seperti Pantai Timur, Tor Atas maupun Betaf yang ditandai sebagai daerah merah termasuk pada daerah-
daerah yang diberi stigma basis TPN/OPM menjadi tempat yang signifikan terhadap munculnya motif politik. Motif politik mulai pada kasus yang benar-benar nampak dengan pemicunya politik murni seperti kasus Wamena 6 Oktober
2000; Biak Juli 1998; Merauke November dan Desember 2000 maupun dari kasus kasus yang muncul seolah–olah bermotif ekonomi dan sosial budaya.
Catatan menarik adalah, bahwa semua kasus yang terjadi berkaitan dengan motif politik selalu mengenai 2 kehendak yang berbeda, yakni bergabungnya Papua dalam NKRI serta Papua yang merdeka terlepas dari NKRI. Bahkan dari
data dapat dilihat dengan sangat lugas seperti contoh semua kasus politik yang terjadi di Jayawijaya yang hanya berkisar pada 2 kehendak tersebut. Motif politik di sini tidak lagi dikategorikan pada perbedaan jangka pendek, perubahan
kebijakan persoalan politik pembangunan dan sejenisnya, tetapi lebih pada perdebatan soal nation.
Sosial Budaya
Motif Sosial budaya tidak saja ditandai dengan penguasaan terhadap sumber daya alam tetapi juga penguasaan terhadap nilai-nilai yang telah lama ada seperti nilai kepatutan, keharmonisan dan keseimbangan yang semuanya
tercermin dalam kebudayaan Papua. Pergeseran akibat penguasaan terhadap nilai-nilai tersebutlah yang menjadi motif dari pelanggaran HAM. Tanah yang semula bernilai religius magis, berubah menjadi nilai ekonomis. ritual dan
simbol–simbol adat yang semula dihargai berubah menjadi hal yang biasa-biasa saja ,rakyat yang semula sebagai pemilik hak ulayat serta seluruh kekayaan alam tiba-tiba berubah menjadi buruh dan lain sebagainya.
Masuknya kekuatan-kekuatan kapitalis , perusahaan – Group Center – dapat dilihat dari sejumlah perusahaan semisal di Kecamatan Kimaam – Merauke, Perusahaan Kayu DMP Wasior – Manokwari, Kecenderungan BP – LNG
Bintuni dan sejenisnya.Pembukaan lahan sebagai pemukiman transmigrasi seperti di Sota – Merauke, desa Besum dan desa Karya Bumi – Jayapura juga merupakan kisah nyata dari hilangnya penguasaan hak atas tanah dan
kekayaan alam local people. Hal ini biasanya disertai dengan proses alienasi system demokrasi local ke dalam institusi-institusi formal buatan pemerintah seperti dibentuknya LKMD atau LMA demi kepentingan pemerintah yang
kemudian digunakan oleh pemerintah sebagai representase dari rakyat ketika pemerintah menyelesaikan persoalan dengan rakyatnya. Intervensi pemerintah terhadap hak ulayat dapat juga menyebabkan konflik sosial budaya
antara local people seperti yang terlihat pada penggunaan lahan transmigrasi di desa Sota – Merauke tahun 1996, yang masih merupakan permasalahan 2 ( dua ) marga yang berbeda sampai sekarang ini.
Masuknya nilai-nilai baru dari luar selalu mengalienasi nilai-nilai budaya yang telah ada sebelumnya.Sehingga membingungkan rakyat setempat tentang nilai–nilai yang harus dipatuhi kemudian : benar-salah, baik – buruk, penting
– tidak penting : rakyat mengalami disorientasi nilai dan juga memarginalkan diri mereka pada skema social : majikan – buruh, pemilik – pekerja : rakyat mengalami disorientasi lokasi pada skema sosial yang kemudian ada.
Ekonomi
Kekayaan sumber daya alam Papua menjadikan Papua sangat diminati oleh tidak hanya pelaku usaha tetapi pemerintah – TNI/POLRI. Kondisi ini menyebabkan terjadinya ekploitasi dan manipulasi kekayaan alam yang sungguh luar
biasa (out of countrol). Sehingga akhirnya semua kelompok kepentingan (pelaku usaha maupun bukan pelaku usaha) berbondong-bondong mendatangi dan menguasai sumber-sumber kekayaan alam. Nampak dengan terdapatnya
banyak perusahaan, keterlibatan pemerintah dan juga kekuatan TNI/POLRI di daerah-daerah yang memiliki sumber kekayaan alam. Hal ini menyebabkan rakyat “kehilangan“ kekuatan untuk mengelola kekayaan alamnya sendiri melalui
seperti : pertambangan rakyat, perkebunan rakyat, kendati ada beberapa perusahaan yang memakai label “rakyat”. Lihat saja penguasaan hak ulayat oleh pihak perusahaan kayu di desa Wombu. Bahkan para kelompok kepentingan
yang bukan pelaku usaha memanfaatkan kondisi tersebut. Lihat saja penguasaan para aparat TNI/POLRI terhadap daerah yang kaya akan hasil hutan dan laut pada Kecamatan Kimaam di Merauke.
Ternyata motif ekonomi tersebut tidak saja terjadi antara pihak kapitalis – perusahaan dengan masyarakat pemilik hak ulayat, akan tetapi mulai nampak terjadi juga pada soal tingkat kesejahteraan buruh perusahaan sendiri.
Hal ini dapat dilihat dari kasus tuntutan perbaikan kesejahteraan karyawan dan pembentukan SBSI tahun 1999 – 2001 yang terjadi di Kecamatan Babo – Manokwari dan persoalan PHK karyawan Hotel Marau – Biak, Juni 2001. Walau
kasus tersebut baru terjadi pada sebagian kecil perusahaan akan tetapi berpotensi meledak sewaktu-waktu pada perusahaan–perusahaan lainnya.
Dominasi sentra-sentra ekonomi rakyat pada kelompok etnis tertentu menyebabkan kecemburuan yang berakibat pada kesenjangan sosial. Konflik ini biasanya tidak muncul langsung akan tetapi terjadi/muncul mengikuti konflik yang
lain seperti pembakaran pasar sentral Abepura tanggal 18 Maret 1996 setelah kedatangan jenazah Tom Wanggai dari Jakarta. Pembakaran pasar Inpres Biak awal Januari 1995 akibat dari pengroyokan antara etnis pendatang dengan
pribumi, pengrusakan dan penganiayaan yang terjadi di pasar Ampera Merauke tahun 1996 sampai pada pembakaran pasar Sentani November 2001 menyusul kasus penculikan dan pembunuhan ketua Presidium Dewan Papua.
Bahwa kasus yang terjadi pada sentra eknomi rakyat tersebut disebabkan karena semua sentra ekonomi rakyat tersebut didominasi oleh kelompok etnis pendatang baik pada pasar-pasar tradisional tetapi juga pada pemilik modal
besar.Penguasaan sumber daya alam melalui masuknya para investor/kapitalis/Groups Center selalu bersamaan dengan masuknya persoalan ekonomi ke dalam komunitas masyarakat tersebut. Sehingga sulit ditemui bahwa secara
ekonomis masyarakat mengalami perbaikan tingkat kesejahteraan akibat adanya perusahaan karena biasanya justru terjadi sebaliknya. Pada Kecamatan Kimaam, dimana dulu masyarakat dengan bebas mencari ikan untuk memenuhi
kehidupannya justru setelah ada perusahaan di Wanam Camp. Masyarakat malah dibatasi areal pencahariaannya, bahkan juga dibatasi nilai jualnya. Kemudian juga kasus tanah termurah, Rp.15 / m2 = Rp.150.000 untuk 1.000 / m2.
Logikanya adalah, tanah seluas 1.000 / m2 tentu dapat memenuhi kebutuhan sekian orang hidup selama batas waktu yang tidak dapat ditentukan akan tetapi dengan nilai Rp.150.000 pastilah tidak mampu membiaya hidup seseorang
apalagi untuk sepanjang usianya. Hal yang sama juga terjadi pada perkebunan PIR – Jayapura .
Biasanya tahap awal perusahaan membangunan usahanya jarang sekali melibatkan masyarakat bahkan ada masyarakat yang tidak mengetahui luas areal sesungguhnya yang dikuasai oleh perusahaan. Seperti luas areal perusahaan
perkebunan pada Kecamatan Babo – Manokwari. Perusahaan selalu menggunakan kekuatan dari luar baik itu dengan menggunakan campur tangan pemerintah seperti kasus hak ulayat desa Andei Kecamatan Biak Utara tahun 2000,
Kasus BP LNG tahun 2001 (Pembuatan Kesepakatan) dan juga menggunakan kekuatan TNI/POLRI untuk menjaga kelangsungan usahanya seperti PT. Djarma Aru (Djajanti Group) di Kimaam – Merauke dan perusahaan DMP di
Wasior – Manokwari. Bahkan ada perusahaan yang menggunakan kekuatan TNI/POLRI lebih dari 1 kesatuan – setidaknya ada 5 kesatuan seperti di Wanam Camp – Kimaam Merauke .
Selain itu, melimpahnya sumber daya alam/kekayaan alam seperti kayu Gaharu menjadi sebab munculnya konflik pelanggaran HAM di bidang ekonomi karena perebutan penguasaan sumber daya alam tersebut dengan cara-cara
kekerasan. Seperti di Kecamatan Citak Mitak, Suator, Assue dan Kecamatan Atsy di Merauke. Pihak keamanan TNI/POLRI ikut melakukan bisnis tersebut dengan melakukan intimidasi terhadap rakyat setempat.
Secara khusus, masalah hak ulayat baik yang berkaitan dengan motif politik, ekonomi dan sosial budaya terjadi hampir di setiap tempat lokasi penelitian di Papua. Bahkan dapat dilihat dari 87 pergeseran motif maka jika dipiliah ada
sekitar motif politik sebanyak 43 kasus, motif ekonomi 26 kasus dan motif sosbud ada 18 kasus (lihat Matrix A) serta yang menyangkut hak ulayat terdapat 14 kasus. Antara lain seperti yang terjadi pada kasus sengketa tanah lokasi
transmigrasi desa Besum 1996, Desa Andei Biak utara tahun 2000, desa Yeroboy 1995 di Biak, desa Sota – Merauke tahun 1996 dan Kecamatan Babo di Manokwari, dan lain-lain. Jika hal ini tidak juga diselesaiakan maka akan selalu
berpotensi konflik yang menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM untuk waktu-waktu yang akan datang.
B. Modus
Modus atau cara yang digunakan dalam melakukan konflik pelanggaran HAM pada dasarnya tidak terlepas dari cara-cara kekerasan fisik bahkan sampai menyebabkan kematian dan juga kekerasan/intimidasi secara psikologis.
Modus masih berupa : penangkapan yang sewenang-wenang, penyisiran, penganiayaan, penipuan,mengancam , ingkar janji, pembakaran, demonstrasi dan lain-lain.
TNI – POLRI
Modus yang digunakan selalu berupa kekerasan fisik mulai dari pemukulan, penganiayaan, penangkapan yang sewenang-wenang, penembakan, penyisiran sampai pembunuhan. Serta kekerasan psikis melalui intimidasi psikologis
juga merupakan hal yang sangat ditakutkan masyarakat modus ini digunakan baik di perkotaan maupun di daerah yang jauh dari kota. Intimidasi psikologis ini biasanya justru membawa kesan yang mendalam mengingat
pengalaman traumatik masa lalu, memoriapasionis Wamena 77 atau Biak Barat 71-72. Perilaku TNI/POLRI pada desa-desa di luar kota dimana orang memandang TNI/POLRI sebagai suatu kekuatan penguasa yang datang dari
luar perilaku aparat TNI di daerah perbatasan, aparat POLRI di daerah pedalaman seperti Kecamatan Assue, Atsy, Kimaam di Merauke serta Kecamatan Bokondini, Tiom, Kelilla di Jayawijaya.
Secara khusus, perilaku aparat Brimob di desa Rasey, Wombu, Wondiwoy di Kecamatan Wasior di Manokwari; desa-desa di Kecamatan Biak Barat antara lain desa Sarwa, Napdori, Krisdori, Orkdori, Farusi Adadikam; desa Sopen
dan Desa Mansram Kecamatan Supiori Selatan.Selain itu modus yang digunakan adalah penjinakan / pembudidayaan/domestikasi terhadap kelompok sipil bersenjata terutama yang terjadi di daerah perbatasan seperti Jayawijaya
Timur – Pengunungan Bintang, dikhawatirkan jika target pembudidayaan selesai, maka kelompok tersebut akan dihabiskan – hal ini perlu diselidiki lebih lanjut.
Kelompok Sipil bersenjata
Melakukan penganiayaan, penembakan seperti terjadi pada kasus desa Wondiboy – Wasior, kasus perampasan senjata di Tor Atas pada 25 Desember 2000 di Jayapura, peristiwa desa Kutdol – Oksibil pada 1996 di Jayawijaya,
dan juga intimidasi psikologis seperti terjadi di Kecamatan Mandobo dan Kecamatan Jair di Merauke. Kelompok TPN-OPM yang berada di daerah perbatasan dengan negara PNG biasanya modus yang digunakan berbeda. Untuk
daerah yang berbatasan darat dengan negara PNG modus yang digunakan adalah penyanderaan, lihat kasus penyanderaan warga PIR VI Arso – Jayapura tahun 1999, kasus Penyanderaan karyawan PT.Korindo Group 17
Januari 2001 – Merauke dan kasus penyanderaan Tim Peneliti Lorenzt – Mapnduma 06 Januari 1996.
Sedangkan untuk daerah perbatasan yang terbuka karena berbatasan dengan laut misalnya, maka modus yang digunakan lebih banyak dengan melakukan kontak senjata dengan TNI/POLRI, seperti daerah pesisir Pantai Timur
Tor Atas dan Sarmi tahun 2000, Betaf tahun 2001– Jayapura; desa Rasiey – Kecamatan Wasior – Manokwari.
Kelompok Sipil
Bagi kelompok sipil Papua modus yang digunakan biasanya pembakaran, pemalangan dan juga intimidasi terhadap kaum migran, selain itu, modus lain yang digunakan adalah dengan mencari kelompok tertentu yang biasanya
“berseberangan” dengan institusi pemerintah dan TNI/POLRI. Hal ini terjadi pada saat rakyat kehilangan kepercayaan dan harapannya kepada pemerintah dan atau pihak keamanan TNI/POLRI dalam menyelesaikan persoalan
maka mereka memilih alternatif baru, yakni mengadukan persoalan kepada kelompok sipil bersenjata maupun Satgas Papua. Hal ini nampak pada kasus desa Wombu – Manokwari, pengaduan masyarakat tentang perusahaan
HPH yang sebelumnya telah disampaikan kepada pemerintah tetapi tidak ditanggapi, desa Kutdol – Jayawijaya : persoalan hutang piutang antara keluarga yang dilaporkan kepada kelompok TPN/OPM, Merauke Kota : persoalan
keluarga di Jl. Natuna, yang mana ada yang melapor kepada satgas dan ada yang ke Brimob.
Mempersenjatai diri dengan senjata rakitan adalah juga modus baru yang digunakan terutama oleh kaum migran biasanya terjadi di daerah konsentrasi pemukiman kaum migran seperti daerah transmigrasi.
Kurangnya perhatian dan atau sikap yang tidak tepat dari pemerintah termasuk TNI/POLRI dalam meresponi pengaduan masyarakat tidak menyebabkan masyarakat berdiam diri saja akan tetapi masyarakat mencoba mencari cara-
cara baru untuk menyelesaikan masalah mereka. Dan cara-cara ini selalu dipandang oleh pemerintah dan TNI/POLRI sebagai “perlawanan”. Bahayanya adalah, jika kemampuan untuk menemukan cara-cara baru tersebut digunakan
oleh kelompok tertentu untuk mengadu domba antara pemerintah dan TNI/POLRI dengan rakyat.
Pemerintah dan Perusahaan
Agak sulit membedakan antara pemerintah dan perusahaan. Karena biasanya kedua pelaku ini menggunakan modus yang sama untuk mengamankan kepentingannya. Modusnya dapat berupa ingkar janji (inkonsistensi), khusus
sikap pemerintah terhadap kebijakan pengibaran bendera Bintang Fajar. Penipuan dan ingkar janji melalui kesepakatan, perijinan, penyerahan luas wilayah HPH sering dilakukan atau merupakan persekongkolan antara pemerintah
dan perusahaan. Bahkan juga mereka menggunakan pihak ketiga, seperti kekuatan TNI-POLRI untuk mengamankan kebijakan dan kepentingan usahanya. Termasuk juga membentuk institusi-institusi formal untuk menggantikan
sistem demokrasi local yang telah lama ada dan dijadikan alat adu dengan rakyat setempat.
C. Pelaku
Sebelum tahun 1996, kasus pelanggaran HAM cenderung didominasi oleh kekuatan bersenjata TNI/POLRI dan TPN/OPM. Pergeseran sekaligus penambahan pelaku pada pihak perusahaan mulai terjadi di era awal 90-an yang
ditandai dengan munculnya beberapa perusahaan. Di Kecamatan Kimaam – Merauke, Kecamatan Biak Utara – Biak, Kecamatan Babo – Manokwari. Di era reformasi sekitar tahun 1999 – 2000, terutama akibat motif politik maka
muncul pula kekuatan baru sebagai pelaku yakni Satgas Papua dari pihak pribumi. Mulanya perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat Papua ditujukan kepada pemerintah dan TNI/POLRI akan tetapi ketika tidak sesuai dengan
keinginan mereka maka beralih kepada masyarakat migran karena dianggap bagian dari pemerintah Indonesia, bagian dari TNI/POLRI dan bagian dari yang menindas mereka. Sehingga memunculkan pula perlawanan dari kaum
migran (momentum internal). Himbauan lewat radio oleh Kapolda Papua, Irjen S.Y. Wenas, menjelang pengibaran bendera 1 Desember 2000, oleh sebagian kaum migran ditafsirkan sebagai alasan untuk melakukan perlawanan
terhadap pribumi ( momentum eksternal) .Maka lahirlah model-model perlawanan bersenjatakan rakitan. Seperti yang terjadi di Merauke, Jayapura maupun di Wamena Kota. Ternyata motif politik berpeluang lebih besar terhadap
munculnya kasus yang bernuansa horizontal serta berbanding lurus terhadap bertambahnya jumlah pelaku yang berasal dari masyarakat pribumi maupun migran.
Secara umum dapat dilihat, bahwa selama kurun waktu 1995-2001, TNI, terutama pasukan non organic adalah pelaku pada hampir seluruh kasus pelanggaran HAM di Jayawijaya, selain beberapa pelaku sipil seperti TPN/OPM. Untuk
daerah Manokwari pelakunya banyak dari Brimob. Beberapa desa di Biak, terutama Biak Barat dan Supiori Selatan banyak dilakukan oleh TNI, baik organic maupun non organic. Untuk daerah lainnya, Merauke dan Jayapura ditemukan
pelaku yang sangat variatif, hal ini bisa disebabkan bahwa semakin luasnya wilayah, letak geografis sebagai daerah terbuka, tingginya jumlah penduduk dan heterogenitas penduduk serta banyaknya perusahaan menyebabkan
meningkatnya jumlah/kategori pelaku.
Baik TNI/POLRI, TPN/OPM ditemukan banyak melakukan pelanggaran HAM di sekitar jazirah Jayapura, Jayawijaya Timur dan Merauke. Secara kwantitatif dapat dilihat bahwa pelaku didominasi adalah POLRI, terutama terjadi setelah
era reformasi. Sedangkan sebelum reformasi adalah pihak TNI. Prosentase keseluruhan adalah POLRI ( 22 %), TNI 19 %, sipil Bersenjata 14 %, sipil tidak bersenjata 14 %, pemerintah 15 %, Perusahaan 10 % serta lain-lain 5 %. Hal
ini bisa jadi disebabkan karena, pertama dampak pemisahan institusi TNI/POLRI sehingga sekarang POLRI yang dikedepankan dalam menghadapi setiap konflik yang terjadi (secara eksternal) akan tetapi bisa juga disebabkan karena
perubahan perilaku (secara internal) hal ini perlu dibuktikan lebih lanjut.
Selain itu muncul pula pelaku akibat dari banyaknya kekuatan sipil bersenjata yang ada seiring dengan menguatnya aspirasi Papua Merdeka (motif politik), seperti di Merauke, ada kelompok TPN/OPM, kelompok Satgas Papua dan
Kelompok SORANDA, dan dari non Papua ada kecenderungan muncul kelompok sejenis (Barisan Merah Putih, Pasukan Jihad dan Laskar Kristus) – perlu dikaji lebih lanjut.
D. Geografis - Teritorial
Pertama, dari keseluruhan peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi sepanjang tahun dapat dilihat terjadi di daerah- daerah yang jauh dari ibu kota kabupaten : Kecamatan Babo di Manokwari; Kecamatan Jair, Assue dan Mandobo serta
Kimaam yang jauh dari Merauke serta Kecamatan Kiwirok dan Oksibil di Jayawijaya. Hal ini sangat berhubungan dengan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi dari program pembangunan. Karena khusus daerah– daerah
yang jauh dari ibu Kabupaten dan juga Kecamatan perhatian yang diberikan oleh pemerintah kepada aparatur negara sangat terbatas sekali. Hal yang sama juga terjadi pada management di TNI/POLRI terhadap anak buah mereka.
Akibatnya baik aparatur negara maupun TNI/POLRI di daerah yang jauh dari kota kurang mendapat pengawasan sehingga cenderung melakukan tindakan kesewenang–wenangan, kendati hal ini terjadi juga bagi aparat yang berada di
kota.
Kedua, letak geografis termasuk luas wilayah, memberikan peluang yang lebih besar terhadap meningkatnya pelanggaran HAM baik dari segi kwantitas maupun kwalitas serta melahirkan pelaku-pelaku baru yang sangat luas dan
heterogen, baik dari segi jumlah tiap motif, juga memunculkan pelaku-pelaku yang baru, seperti kekuatan sipil non papua bersenjata. Terlihat pada daerah Merauke yang sangat luas wilayahnya, Jayapura sebagai ibukota propinsi dan
jumlah penduduk yang banyak juga daerah-daerah terbuka sebagai basis perusahaan : Jayapura – Merauke dan Manokwari.
Ketiga, bagi kabupaten yang berbatasan langsung dengan negara PNG, mempunyai ciri khusus dalam hal konflik pelanggaran HAM yang terjadi. Dari kasus yang didapat sepanjang tahun 1995 – 2001 ditemui bahwa kasus dengan
motif politik sebanyak 55 kasus terjadi di sepanjang pesisir Jayapura, sebelah Timur Jayawijaya dan Merauke. Jazirah ini ditandai sebagai daerah dengan “kekerasan bersenjata” terbanyak. Maka nampak dari besarnya konsentrasi
kekuatan TNI organik maupun non organik dan POLRI disatu pihak, serta juga kelompok sipil Papua bersenjata atau TPN/OPM di pihak lain.
Kontak senjata sering terjadi di daerah pesisir Jayapura. Nampak kontak senjata paling banyak terjadi di daerah Kecamatan Pantai Timur (Betaf), Tor Atas, Bonggo dan Sarmi. Dapat dicatat pula bahwa daerah Biak Barat, Supiori
Selatan ini dipandang strategis karena memberikan ruang gerak yang cukup besar bagi posisi TPN/OPM.Orientasi ruang ini berubah setelah kekuatan awal di daerah sekitar Biak dan manokwari (basis tertutup) kurang memberikan
ruang gerak yang cukup luas. Kondisi ini dipahami pula sebagai alasan untuk menempatkan pasukan non organic dan organic secara besar-besaran, sehingga pada daerah-daerah perbatasan selalu terjadinya konflik pelanggaran
HAM.
Daerah yang berbatasan langsung dengan negara PNG dapat dipahami sebagai wilayah yang harus dijaga karena merupakan batas negara RI dengan PNG sehingga terjadi konsentrasi TNI/POLRI yang cukup besar pada pos-pos
sekitar perbatasan termasuk pos-pos di sekitar pemukiman transmigrasi – di Jayapura, dari sekitar 40 pos TNI – non Organik, sekitar 75 % berada justru di daerah transmigrasi. Di sisi lain, daerah perbatasan menjadi daerah “ terbuka”
bagi kekuatan Sipil bersenjata TPN/OPM.
E. Peran dalam menyelesaikan Konflik.
Pemerintah
1. Dari 74 kasus, tidak semua ditindaklanjuti oleh pemerintah. Pemerintah lebih banyak menanggapi semua kasus sebagai persolan kesejahteraan sehingga lebih banyak melakukan bantuan kemanusiaan yang sifatnya lebih
banyak jangka pendek seperti memberikan bahan makanan dan santunan – kasus di desa Wouma Wamena, Kasus Wasior – Manokwari dan juga di Merauke, rehabilitasi pasar (kasus Biak Selatan), pencarian dan membantu
evakuasi korban – kasus Kimaam – Merauke, membantu pembebasan sandera – Kasus Korindo di Merauke, menampung keluhan masyarakat tanpa menindaklanjuti – kasus Puskesmas di Kiwirok, mengupayakan refungsi
badan-badan usaha – kasus hotel Marauw – Biak.
2. Melakukan dialog dengan Masyarakat : pembakaran pasar abepura dan pertikaian etnis, Kasus Desa Besum dan desa Kayu Bumi, desa Sabron Samon, akan tetapi dari semua dialog biasanya mengeluarkan kesepakatan dari
pemerintah seperti ganti rugi tanah hak ulayat tapi hanya sebagian kecil dari kesepakatan itu yang kemudian direalisasikan.
3. Membentuk Tim Pencari Fakta seperti kasus Uncen Berdarah di Jayapura dan Biak 1998, Pembentukan KPP HAM untuk kasus Abepura 2000, pembentukan KOMNAS HAM dan KPN (kasus penculikan dan pembunuhan ketua
PDP) dan pembentukan Pansus melalui DPRD.
4. Ada upaya untuk membuat Peraturan Daerah batas-batas wilayah dan tanah adat, seperti keinginan pemerintah Merauke tetapi belum juga direalisasikan sampai saaat ini.
5. Ada kasus yang diproses hukum sampai persidangan di pengadilan Negeri, akan tetapi tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar. Kasus Betaf – Jayapura dan Kasus Wasior Manokwari, kasus Wouma
Wamena dan kasus penahanan Tokoh PDP memang sampai pada tingkat pengadilan akan tetapi terjadi perubahan dalam tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU), baik dari pasal-pasal makar ke UU Darurat No. 12/1951,
perubahan pada tuduhan peran/keterlibatan dan juga mengenai lokasi kejadian. Ada yang ditangkap dan ditahan cukup lama kemudian ditangguhkan,ada yang sudah menjalani beberapa kali pemeriksaan tetapi kemudian
prosesnya tidak dilanjutkan, termasuk pada perkara yang sudah didaftarkan dan disidangkan di Pengadilan Jayapura setelah sebelumnya telah menjalani penahanan Kepolisian ,Kejaksaan dan pengadilan sekitar seratus hari
lebih tetapi kemudian kasusnya “terbengkalai”. Seharusnya ada pertanggungjawaban hukum terhadap semua pihak yang melakukan proses tersebut.eRehabilitasi dan pemulihan nama baik bagi mereka yang mengalami
“proses extrajudicial” yang telah dilakukan oleh pemerintah dan para penegak hukum. Selain itu, proses hukum tidak ditujukan kepada semua pihak yang terilbat dalam kasus tersebut. Dengan kata lain, dari kasus tersebut
yang diproses sampai ke pengadilan hanyalah rakyatnya saja. Lantas bagaimana dengan pelaku lainnya yang terlibat atau turut serta dan juga pada kasus-kasus yang lain ?
Institusi Lain
Peran ini banyak dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat, melalui proses pendampingan litigasi, pendampingan hukum di tingkat kepolisian, kejaksaan dan pengadilan, serta upaya non litigasi. Termasuk dengan melakukan
investigasi, membentuk Tim Pencari Fakta dan juga bantuan kemanusiaan : membantu evakuasi korban dan lain-lain. Juga adanya pendampingan yang terus-menerus terhadap masyarakat yang senantiasa merasa tidak aman
hidupnya sebab selalu berada dalam kondisi penindasan dan intimidasi.
Masyarakat
Masyarakat selalu berperan dengan menggunakan lembaga adat maupun komunitas-komunitas budaya lainnya. Mulai dengan memberikan surat kepada pemerintah local, nasional maupun institusi–institusi internasional,
demonstrasi, membentuk forum Komunikasi bersama, melakukan pembangunan kembali pasar secara swadaya dan juga dialog dengan masyarakat maupun pemerintah .
Peran dari pemerintah, institusi lain dan juga masyarakat sejauh ini masih kurang efektif karena tidak adanya sinergis dari ketiga komponen tersebut. Pemerintah masih dalam tahapan menerima dan merencanakan tindak lanjut atau
melakukan aksi-aksi jangka pendek, selain proses hukum yang tidak tepat. Hasil-hasil temuan investigasi yang dilakukan oleh instutusi lain seperti LSM, Tim Pencari Fakta, KPN dan KPP HAM, masih sebatas hasil dokumentasi yang
belum bisa langsung siap dibawa ke proses peradilan, karena mengalami hambatan hukum yang cukup besar akibat intervensi kepentingan penguasa pada lembaga penegak hukum dan juga lemahnya aturan hukum yang ada.
Catatan penting lainnya adalah, adanya perbedaan sikap pemerintah dalam menyelesaikan persoalan konflik kemanusiaan di Papua baik yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Khusus pendekatan yang dilakukan oleh
pemerintah di daerah berbeda-beda. Nampak sekali bahwa tidak ada konsep dasar yang jelas mengenai para pihak, tujuan dan bentuk-bentuk kewenangan yang harus dilakukan dalam menyelesaikan konflik pelanggaran HAM. Di
Jayapura dan Merauke masih nampak ada upaya dari pemerintah yang cukup “nampak“ juga di Manokwari – walaupun tidak efektif – untuk meresponi persoalan yang ada, akan tetapi ada juga pemerintah yang berperan sangat kecil
dalam menyelesaikan konflik yang terjadi seperti di Jayawijaya. Hal ini menimbulkan kesan sangat terbatasnya peran pemerintah di mata masyarakat.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pelanggaran HAM dengan politik disebabkan pada 2 perbedaan pokok, yakni Papua di dalam wilayah NKRI dan Papua di luar NKRI, merdeka, lepas dari NKRI.
2. Motif politik nampak mencuat setelah era reformasi dan memberikan peluang yang sangat besar terhadap bertambahnya pelaku pelanggaran HAM.
3. Pelanggaran HAM dengan motif ekonomi disebabkan karena kekayaan sumber daya alam Papua yang tidak saja dilakukan oleh pelaku usaha tetapi juga oleh oleh pihak-pihak diluar pelaku usaha seperti pemerintah dan TNI –
POLRI.
4. Pelanggaran HAM dengan motif Sosbud terjadi akibat penguasaan sumber daya alam sekaligus nilai-nilai budaya oleh kelompok luar (non local people) terutama yang dilakukan oleh pihak perusahaan sehingga rakyat mengalami
disorientasi nilai dan disorientasi lokasi.
5. Penyelesaian persoalan di Papua dengan menggunakan pendekatan kekerasan tidak efektif bahkan justru menimbulkan perlawanan-perlawanan baru karena tidak mendapatkan simpatik rakyat.
6. Tidak pernah ada penyelesaian yang tuntas berdasarkan mekanisme hukum yang adli dan benar—terhadap semua pihak -- terhadap semua kasus pelanggaran HAM yang terjadi sepanjang 1995-2001.
7. Karena kondisi geografis dan demografis Papua yang sangat luas dan beragam maka peran media massa sangat besar sekali untuk mempublikasi suatu kasus pelanggaran HAM terutama yang terjadi di daerah-daerah
pedalaman / terpencil.
B. Rekomendasi
Perubahan policy, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun institusi TNI/POLRI, harus juga diikuti dengan perubahan yang signifikan pada struktur dan perilaku. Karena kendati beberapa policy telah berubah seperti penghapusan
DOM, UU No. 39/1999 tentang HAM, UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus, maupun UU No. 26/1999 tentang Peradilan HAM, akan tetapi jika pada tingkat implementasi tidak mencerminkan adanya perubahan seperti misalnya
memperpendek jalur birokrasi demi mempermudah pelayanan, mengadili pelaku pelanggaran HAM, penarikan pasukan non organic, memperhatikan kehendak masyarakat dalam mengeluarkan perijinan HPH, pengakuan kembali hak-
hak dasar masyarakat, pendelegasian wewenang dan lain-lain. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka sesungguhnya yang terjadi adalah pemerintah termasuk TNI/POLRI hanya “bermetamorfosa” dari bentuk bentuk lama ke dalam
bentuk-bentuk yang lebih sempurna. Selain itu segenap komponen masyarakat : lembaga adat, lembaga keagamaan, tokoh masyarakat, LSM, Pers dan juga kekuatan sipil bersenjata termasuk TPN/OPM harus terus menempuh cara-
cara damai dalam menyelesaikan semua konflik yang ada di Papua. Sehingga dapat memperbaiki kenyataan (kesalahan) yang terjadi sekarang ini walaupun dikatakan sebagai era reformasi bagi seluruh komponen termasuk
pemerintah dan TNI/POLRI, akan tetapi pelanggaran HAM yang terjadi baik secara kwantitatif, modus, pelaku dan korban justru meningkat jumlahnya. Karena itu hal-hal yang dapat direkomendasikan adalah sebagai berikut :
Politik
1. Mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM yang terjadi selama kurun waktu tersebut bahkan sebelum tahun 1995 dan setelah tahun 2001.Proses ini diawali dengan adanya upaya untuk melakukan inventarisasi kasus-kasus
yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM melalui peran serta masyarakat, LSM dan pihak pemerintah. Mendorong pembentukan dan peran institusi-institusi kenegaraan untuk melakukan investigasi, penyelidikan,
penyidikan dan pengadilan HAM. Seperti mempercepat terbentuknya Komda HAM , menyiapkan sarana dan prasarana agar terbentuknya Peradilan HAM serta menyelesaikan perbedaan pandangan mengenai Hak Asasi
Manusia di dalam system hukum Indonesia (Perbedaan antara UU HAM dan UU Otonomi Khusus tentang pembentukan perwakilan dan Komisi Daerah : HAM ). Serta adanya pelimpahan kewenangan yang sinergis – bukan
pelimpahan administrasi antara semua penegak hukum.
2. Perlu diadakan rekonsiliasi antara semua komponen masyarakat guna mencari solusi yang konkrit, jelas dan bertanggungjawab. Rekonsiliasi ini harus diprakarsai oleh kelompok-kelompok yang teribat dalam konflik. Seperti
mendorong peran Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan rakyat.
3. Kebijakan pemerintah mengenai fungsi pertahanan keamanan dari TNI/POLRI perlu ditinjau kembali. Terutama mengenai kebijakan pengirim dan penempatan pasukan non organic ke wilayah Papua.
4. Perlunya peningkatan partisipasi peran dari negara asing dalam membantu proses penegakan nilai-nilai kemanusiaan yang sifatnya universal : Hak Asasi Manusia di Indonesia. Seperti memberikan bantuan tehnis terhadap
terbentuknya Peradilan HAM, termasuk sikap terhadap perilaku penguasa (Indonesia) dalam menjalankan pemerintahannya, yakni secara khusus dimohon agar pemerintah USA tidak mencabut embargo senjata terhadap
pemerintah Indonesia.
5. Penertiban aparat pemerintahan dan keamanan melalui monitoring dan pemberian sanksi yang tegas terutama kepada aparat Kepolisian yang berada di daerah-daerah pedalaman seperti Merauke : Kecamatan Atsy, Asgon
dan Kimaam yang selalu bertindak sewenang-wenang terhadap aset dan akses ekonomi rakyat. Juga terhadap aparat pemerintahan yang selalu meninggalkan tugasnya seperti : guru, tenaga medis dan pegawai kecamatan.
6. Meningkatkan peran institusi pemerintah, LSM dan masyarakat dalam melakukan penguatan terhadap upaya untuk mencegah terjadinya Pelanggaran HAM melalui advokasi litigasi dan non litigasi termasuk dengan
pembentukan institusi local – model-model pertahanan masyarakat desa yang sesuai dengan system demokrasi local seperti dibentuknya polisi adat untuk menjaga keamanan kampung .
7. Perbedaan politik yang menyebabkan kekerasan bersenjata baik yang dilakukan oleh TNI/POLRI, TPN/OPM hendaknya dihentikan dan kelompok-kelompok tersebut termasuk Satgas Papua hendaknya menghindari segala
bentuk intimidasi phisik maupun psikologis terhadap penduduk Papua maupun non Papua yang sedang melaksanakan kehidupan normal sehari-hari karena itu perlu dilakukan upaya damai tanpa kekerasan baik yang
dilakukan langsung antar pihak maupun dengan menggunakan bantuan pihak ke tiga (mediasi).
8. Meninjau kembali sejumlah kebijakan pemerintah dalam menyelesaikan masalah baik untuk kepentingan jangka pendek seperti bagi-bagi uang ataupun seperti pemekaran wilayah agar semuanya mengacu kepada
kepentingan local people. Hendaknya penyelesaian masalah yang dilakukan oleh pemerintah tidaklah semata-mata menggunakan pendekatan (politik) pembangunan tetapi juga pemerintah turut aktif mendorong penyelesaian
perkara melalui proses hukum dengan memberikan ruang yang sehat terhadap proses hukum tersebut seperti mendorong tindak lanjut pekerjaan yang dilakukan oleh Tim Pencari Fakta atau bahkan KPP HAM sehingga
mempercepat proses peradilan HAM.
Ekonomi
1. Menghentikan dominasi kelompok tertentu terhadap sentra-sentra ekonomi rakyat dengan cara memperhatikan siklusi akumulasi modal agar tidak terkonsentrasi pada satu kelompok tertentu saja melalui penghapusan
monopoli hasil pertanian, perkebunan, kehutanan dan laut serta memberikan subsidi terhadap pedagang-pedagang tradisional yang mengalami keterbatasan modal melalui bantuan yang tidak mengikat. Serta mengarahkan
prioritas pembangunan ekonomi dan bantuan/pinjaman luar negeri lebih kepada pelaku usaha kelas menengah ke bawah dan bukan kepada kapitalis/konglomerat .
2. Melakukan penguatan masyarakat terutama melalui masyarakat adat dalam hal pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki melalui penyediaan tenaga management pola usaha yang berbasis pada pasar-pasar tardisional
yang memasarkan produk-produk local dalam rangka mengurangi ketergantung masyarakat terhadap produk luar. Pengelolaan tanaman sagu, perikanan, hasil hutan melalui lembaga setempat
3. Memperketat/selektif dalam pemberian ijin investor/ perusahaan yang akan membuka usaha di Papua seperti penetapan areal HPH, perkebunan dan pertambangan, perikanan dengan mengedepankan equity partisipation
rakyat.Caranya dengan melibatkan masyarakat sejak awal dalam setiap proses usaha yang berkaitan dengan hak ulayat mereka.
4. Mengontrol standar harga terutama kebutuhan pokok masyarakat pada daerah-daerah pedalaman/terpencil dengan melakukan subsidi pada sarana transportasi dan juga komunikasi.
5. Perlunya memperhatikan tingkat kesejahteraan TNI/POLRI melalui penyediaan sarana tempat tinggal yang memadai termasuk subsidi untuk yang bertugas di daerah terpencil.
Sosial Budaya
1. Perlunya pengetahuan dan pemahaman bagi semua orang terutama non local people terutama termasuk para investor dan juga TNI/POLRI mengenai nilai-nilai budaya yang ada di tanah Papua agar muncul penghormatan
dan penghargaan terhadap eksistensi kemanusiaan. Misalnya perlu melakukan kajian yang mendalam mengenai Analisa Sosial (Ansos) dan kajian antropologis terhadap suatu daerah yang akan dijadikan tempat
usaha/investasi tetapi juga daerah-daerah yang akan dilaksanakan program pembangunan maupun penempatan pasukan TNI-POLRI.
2. Memberikan penguatan pada masyarakat adat sesuai dengan system demokrasi local dengan jalan menghidupkan kembali pranata-pranata adat yang mencerminkan kearifan tradisional dan menghindari munculnya institusi
buatan pihak luar yang dapat dipakai untuk menimbulkan konflik antara sesama masyarakat adat. Seperti menghidupkan kembali penggunaan dusun, pengembalian batas-batas wilayah yang berdasarkan “pembagian“
administrasi pemerintahan kepada batas-batas wilayah berdasarkan adat.
3. Penanggulangan terhadap penyakit-penyakit social masyarakat seperti perjudian, praktek prostitusi, mafia kayu, miras dan lain-lain dengan jalan melakukan manegement usaha yang transparan dan menghidari monopoli ,
penertiban kependudukan desa serta penertiban aparat pemerintahan dan keamanan yang memback –up praktek-praktek penyakit social tersebut.
4. Diberikannya perhatian yang lebih besar terhadap dunia pendidikan dan juga sarana dan prasarana kesehatan terutama pada daerah-daerah perbatasan dan pedalaman Jayawijaya bagian Timur, Kimaam, Asgon, Atsy di
Merauke, Manokwari, Biak dan Jayapura. Hal ini dapat dilakukan dengan penambahan tenaga guru dan medis, mengefektifkan proses belajar mengajar di sekolah, kehadiran guru dan para medis termasuk juga perhatian
terhadap tingkat kesejahteraan mereka (para guru dan tenaga medis).
5. Memaksimalkan peran media massa terutama di daerah pedalaman untuk membantu mempublikasikan kasus-kasus yang terjadi melalui upaya membangunan kontak dan jaringan dengan lembaga setempat, masyarakat, LSM
dan lain-lain atau menyediaakan tenaga-tenaga local dengan methode-methode sederhana yang dapat digunakan membantu memberikan laporan-laporan tentang kasus pelanggaran HAM.
Geografis – Teritorial
Agar dihentikannya kekerasan bersenjata terutama pada daerah-daerah yang berbasis TNI/POLRI dan TPN/OPM karena di daerah tersebut terdapat juga masyarakat sipil yang membutuhkan kehidupan sehari-hari yang normal
dan damai. Akan tetapi jika kekerasan bersenjata tidak dapat dihentikan oleh kedua belah pihak, maka perlu melokalisir wilayah/daerah tertentu kontak senjata berdasarkan kesepakatan para pihak : TNI/POLRI dan TPN/OPM
(berlaku hukum Humaniter). Hukum yang mengatur tata cara perang dan juga perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil agar rakyat yang tak berdosa tidak menjadi korban – pertama dan terbanyak– baik secara
phisik maupun psikis. Kasus Wasior dan Mapnduma serta Pantai Timur Betaf adalah contoh nyata TPN/OPM.
Catatan akhir dari rekomendasi ini adalah : Perlunya keterbukaan dalam memberikan informasi yang akurat dan jujur mengenai peristiwa pelanggaran HAM dari pihak pemerintah, DPRD terutama TNI/POLRI (hanya sebagian kecil
yang bersikap informative seperti Polres Merauke). Semoga dapat menghindari kesan apatis, memberikan data yang tidak sesuai (data kriminal murni) bahkan intimidasi terhadap para pencari informasi mengenai peristiwa pelanggaran
HAM seperti yang terjadi pada peneliti kami pada saat mengumpulkan data di lapangan. Hendaknya kerjasama ini dipandang sebagai rangkaian usaha bersama segenap komponen dalam mengatasi dan mencegah terjadinya konflik
yang menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM di Papua.
Demikian hasil ini disampaikan sebagai pertanggungjawaban penelitian yang telah kami lakukan pada 5 lokasi di Papua : Jayapura, Merauke, Biak, Manokwari dan Jayawijaya. Secara tertulis hasil ini akan kami sampaikan juga kepada
pihak pemerintah sipil maupun militer di Propinsi Papua dari 5 lokasi penelitian.
Semoga hasil penelitian ini memberikan kontribusi yang signifikan terhadap upaya mencegah terjadinya konflik pelanggaran HAM di tanah Papua guna mewujudkan terciptanya Papua sebagai Zona Damai untuk semua orang tanpa
memandang suku, ras, agama maupun warna kulit.
LOKASI KASUS PEMICU MODUS SUMBER KONFLIK AKTOR KORBAN PERAN DALAM PENYELESAIAN KONFLIK
PEMERINTAH INSTITUSI LAIN MASYARAKAT
Kecamatan Biak Barat
Ter-belenggu-nya Stigma yang diberikan
masyara- thd ~Stigma-isasi Politik : ~Pemerintah ~Masyarakat Desa ~ ~Melakukan Investigasi ~
kat atas lebel sebagai
desa desa-desa tersebut ~Kejadian empirik waktu ~TNI/Polri
separatis Papua lampau atas
Merdeka memperjuang-
kan Papua Merdeka
~Akumulasi keinginan
warga
desa dalam
memperjuang-
kan Kemerdekaan
Papua
~Melepaskan Pasukan
Desa Ambora Kesewenangan yang Stigma sebagai daerah tembakan Politik : N.Organik ~Masyarakat Sipil ~ ~ ~
dilakukan oleh TNI basis TPN/OPM ~Intimidasi ~Meredam Aspirasi
Pasukan Non Organik ~Interogasi Papua Merdeka
Kecamatan
Nimboran
Kel. Pobain Pencaplokan Tanah ~Peng-klaim-an tanah ~Penipuan Ekonomi/Politik : ~Oknum Pendeta ~Masyarakat Pemi- ~Proses melalui ~ ~
~Penangkapan
Masyarakat sebesar masyarakat oleh sewenang ~Kepemilikan atas Tanah ~Yasuka lik tanah Pengadilan dan
57,96 Ha (1999) Yasuka ~Kekerasan Fisik ~Tidak adanya kompen- ~Brimob keputusan dime-
~Eksistensi Brimob
guna ~Intimidasi sasi thd luasan tanah nangkan oleh Pe-
kepentingan Yasuka ~Penyisiran yang diambil milik tanah
~Stigma sebagai ~Pengalihan perhatian
daerah separatis kepada persoalan aspi-
rasi Papua Merdeka
Instansi
Desa Besum dan Sengketa Tanah pada Dibukanya areal lahan Kebijakan Pemerintah Ekonomi : Pemerintah Masyarakat pemilik ~Dialog dgn warga ~ ~Berdialog dengan
lokasi Transmigrasi
Desa Karya Bumi (1996) masyarakat untuk Tidak adanya ganti rugi terkait tanah pemilik tanah dan pemerintah
ttransmigran terhadapa tanah warga trans
masyarakat yang digarap ~Menjanjikan akan
adanya
oleh pemerintah kompensasi
ganti rugi
LOKASI KASUS PEMICU MODUS SUMBER KONFLIK PELAKU KORBAN PERAN DALAM PENYELESAIAN KONFLIK
PEMERINTAH INSTITUSI LAIN MASYARAKAT
Kecamatan
Sentani
Kelurahan ~Pemerintah
Inakombe Pembakaran Pasar ~Perkelahian yang ~Penikaman Politik : Daerah Masyarakat sekitar ~ ~ ~Pembangunan kem-
menyebabkan ~Surat Edaran Pemda
Sentani (Juli 2000) seorang Tk. ~Kebijakan Pemda Tk II ~Kel. Masyarakat Pasar bali pasar secara
II ttg pengosongan ~Kepolisian &
warga lokal meninggal pasar atas keberadaan warga TNI swadaya
~Penanganan konflik
di Tj. Elmo oleh di Pasar ~Membentuk Forum
~Misinformation aparat secara represif ~Penempatan aparat Komunikasi
Kepolisian dan TNI
untuk menangani konflik
~Pembentukan
Kel. Sentani Kota Meninggalnya Ketua Tokoh pergerakan ~Penculikan Politik : Kopassus Ketua PDP KPN ~Membentuk Tim ~Aksi Damai
~Mengutus
Presidium Dewan Kemerdekaan Papua ~Kekerasan Fisik Aspirasi Papua Merdeka Komnas Investigasi
Papua (PDP) ~Penganiayaan HAM
10 November 2001
Pembakaran aset pere- Meninggalnya Ketua ~Pembakaran Masyarakat Para pemilik aset ~ ~ ~
konomian (implikasi- perekonomian
nya) Presidium Dewan ~Penjarahan terse-
11 November 2001 Papua (PDP) but
Kecamatan
Abepura
~Informasi atas ~Merehabilitasi Pendampingan
Kelurahan Asano Pembakaran Pasar kematian ~Penyerangan Politik : ~Masyarakat ~Masyarakat Pasar Hukum ~Berdialog dgn Peme-
~Dialog dgn
Abepura (18 Maret 96) Bpk. Thom Wanggai ~Pembakaran Meninggalnya Bpk. Thom ~Mahasiswa masyara rintah Kota
yang tidak wajar ~Penjarahan Wanggai sebagai tokoh ~Polisi kat ~Siskamling
~Tidak terlaksananya ~Penganiayaan Perjuangan Papua Mer-
keinginan masyarakat ~Pelemparan deka
~Penanganan yg
& mahasiswa untuk lambat
memberikan peng- dari kepolisian
hormatan terakhir kpd
Bpk. Thom Wanggai
~Demonstrasi
Kelurahan Hedam Uncen Berdarah Mahasiswa ~Penembakan Politik :
menuntut
03 July 1998 penyelesaian Aspirasi Papua Merdeka ~Mahasiswa ~Mahasiswa ~ Membentuk tim Aksi Damai
kasus pelanggaran
HAM ~TNI ~Murid SMP Pencari Fakta
di Papua & ~Seorang Intel
Pengibaran Polisi
Bendera Bintang
Kejora
~Penganiayaan
terhadap
seorang intelPolisi
LOKASI KASUS PEMICU MODUS SUMBER KONFLIK AKTOR KORBAN PERAN DALAM PENYELESAIAN KONFLIK
PEMERINTAH INSTITUSI LAIN MASYARAKAT
Serangan fajar yang ~Melakukan
Kelurahan Hedam Polsek Abepura dilaku- ~Kekerasan Fisik Politik : ~Kelompok tak dike- ~Anggota Polisi ~ investigasi ~
kan oleh kelompok tak
07 Desmber 2000 di- ~Intimidasi ~Perjuangan Papua Mer- nal ~Mahasiswa ~Membentuk KPP
kenal pada Polsek Abe, ~Penembakan deka ~Brimob ~Masyarakat Sipil HAM
Kantor Otonom & Ruko ~Penanganan secara rep-
resif yang dilakukan oleh
Brimob
Kec. Jayapura Penahanan PDP ~Melaksanakan Mubes, ~Penangkapan Politik ~Pemerintah Anggota PDP ~ ~ ~
29 November 2000 1 Desember, Kongres ~Penahanan Penyikapaan akumulasi ~Kepolisian
~Melaksanakan
Kegiatan- ~Persidangan persoalan dgn melakukan
kegiatan yang
mengarah kegiatan-kegiatan politik
kepada pemisahan
NKRI
Kecamatan Sarmi
Penyerangan
Pasar Sarmi TPN/OPM Separatis Penembakan Politik : Angg. Polsek Sarmi ~OPM/TPN ~Mengevakuasi kor- ~ ~
oleh Polsek Sarmi Separatis TPN/OPM yg ~Warga Sipil ban yang tertembak
November 2000 ingin berpisah dari NKRI ke Jayapura
(Camat)
Kecamatan Tor
Atas
Perampasan Senjata
Desa Samanente oleh Keinginan Merdeka ~Penyergapan Politik : TPN/OPM Anggota Polsek Tor ~ ~ ~
TPN/OPM ~Ancaman Adanya keinginan untuk Atas
25 Desmber 2000 ~Kekerasan Fisik memisahkan diri dari Masyarakat
NKRI
Kecamatan Betaf
(Pantai Timur)
Kontak Senjata ~Merebut kembali Melindungi
Desa Kuefa TPN/OPM senjata ~Penyerangan Politik : ~TPN/OPM ~TPN/OPM masyarakat ~ ~
TPN/OPM yang
di Pos Satgas Tribuana diserah- ~Penganiayaan ~Adanya keinginan untuk ~Satgas Tribuana ~Anggota Satgas di rumah camat
03 February 2001 kan ~Kekerasan Fisik memisahkan diri dari Tribuana
~Keinginan Merdeka NKRI ~Masyarakat
~Penempatan Pos-Pos
Militer
LOKASI KASUS PEMICU MODUS SUMBER KONFLIK AKTOR KORBAN PERAN DALAM PENYELESAIAN KONFLIK
PEMERINTAH INSTITUSI LAIN MASYARAK
Kecamatan
Bonggo
Terlantarnya warga
SP VIII Armopa Trans Didatangkannya warga Kebijakan Pemerintah Politik : ~Menampung tuntutan ~Menampung warga Aksi Damai
trans dari jawa dan Warga Trans SP
di lokasi Transmigran NTT Adanya kebijakan atas Instansi Pemerintah VIII masyarakat yang meninggalkan
February 2000 Transmigrasi ke Papua Terkait ~Meninjau Lokasi lokasi
~Pendampingan
Demonstrasi menuntut ~Teror Sosbud :
perbaikan hidup di Warga Trans SP
lokasi ~Penangkapan Keinginan mendapatkan Ke-polis-ian VIII ~Menampung tuntutan ~Menampung warga Aksi Damai
Trans ~Penahanan kesejahteraan hidup Pemerintah masyarakat yang meninggalkan
~Meninjau Lokasi lokasi
~Pendampingan
Kecamatan Arso
PIR-IV Arso Penyanderaan Warga ~Pertemuan yang tidak ~Penyergapan Politik :
terlaksana dgn
31 Mey 1999 Pangdam ~Penyanderaan ~Adanya keinginan untuk TPN/OPM Warga PIR IV Mengupayakan untuk ~ ~
~Keinginan Merdeka memisahkan diri dari melepaskan sandera
NKRI
Merauke Kota
Pertikaian etnis di Penikaman seorang ~Pengusiran Sosbud/Ekonomi : ~Klpk. Masy. Papua ~Masyarakat Papua ~ ~ ~
~Klpk. Masy. non ~Masyarakat non
areal pasar (1996) masyarakat Papua ~Pengrusakan ~Sikap arogan Papua Papua
~Penjarahan sekelompok warga papua
~Kekerasan fisik ~Penguasaan aset pasar
oleh migran
~Masyarakat non
Pengrusakan aset Tenggelamnya kapal ~Pengrusakan Politik : ~Masyarakat Papua Papua ~ ~ Menuntut ganti rugi
pemerintah dan
masyara- KM. Bimas Raya II ~Penjarahan Mengkristalnya aspirasi ~Masyarakat Papua
kat migran (Sep 1999) ~Kekerasan fisik Papua Merdeka ~Instansi pemerintah
Pemberian
Penolakan Otonomi Pemaparan visi dan misi ~Pengrusakan Politik : ~Klpk. Masy. Papua ~Klpk. Masy. Papua santunan ~ ~
16 February 2000 calon Bupati ~Penembakan Mengkristalnya aspirasi ~Aparat Polisi ~Aparat Polisi
~Kekerasan fisik Papua Merdeka ~Pegawai RRI
Jalan Natuna Arogansi anggota Brimob ~Pembongkaran Posko Politik : ~Aparat Kepolisian/TNI ~Klpk. Masy. Papua ~ Pendampingan Menuntut penyelesaian
4 - 11 November 2000 dan Satgas Papua ~Kekerasan fisik ~Mengkristalnya aspirasi ~Klpk. Masy. Papua ~Satgas Papua
~Penembakan Papua Merdeka ~Satgas Papua
~Penyisiran ~Penanganan yang
~Penangkapan represif dari Kepolisian
Frustrasi masy. Papua & ~Pemerkosaan ~Klpk. Masy. Papua Masy. Non Papua
Satgas ketika
menghadapi ~Pemalangan ~Satgas Papua
tekanan aparat
Kepolisian ~Pembunuhan
(Implikasi-nya) ~Kekerasan fisik
Serangan yang dilakukan ~Pembunuhan Klpk. Masy. Non Papua ~Klpk. Masy. Papua
oleh klpk. Masy. Papua ~Kekerasan fisik ~Satgas Papua
Satgas Papua ~Mempersenjatai diri
(implikasi-nya)
LOKASI KASUS PEMICU MODUS SUMBER KONFLIK PELAKU KORBAN PERAN DALAM PENYELESAIAN KONFLIK
PEMERINTAH INSTITUSI LAIN MASYAR
~Pelarangan
Merauke Kota Pengibaran Bendera pengibaran ~Kekerasan fisik Politik : ~Aparat Kepolisian/TNI ~Klpk. Masy. Papua ~ Pendampingan ~
bendera Bintang
Bintang Kejora Kejora ~Penembakan ~Mengkristalnya aspirasi ~Satgas Papua
2 - 4 Desember 2000 ~Sikap politik Pemda ~Penyisiran Papua Merdeka
yang plin-plan ~Penangkapan
~Penyobekan bendera ~Pembunuhan
Merah Putih ~Pembongkaran Posko
Kecamatan Suator
Penembakan 7 orang
suku Masuknya pencari ~Penembakan Ekonomi/Sosbud : ~Aparat Koramil Masy. Suku terasing ~ ~ ~
terasing (1997) kayu Gaharu ~Kekerasan fisik ~Penguasaan aset ~Pencari kayu Gaharu
ekonomi
~Upaya memperkaya diri
oleh anggota Koramil
~Pelanggaran terhadap
nilai-nilai adat
LOKASI KASUS PEMICU MODUS SUMBER KONFLIK PELAKU KORBAN PERAN DALAM PENYELESAIAN KONFLIK
PEMERINTAH INSTITUSI LAIN
Kecamatan Atsy :
Arogansi anggota
Satgas Mengkristalnya isu ~Intimidasi Politik/Ekonomi/Sosbud : ~Klpk. Masy. Papua ~Masy. Non Papua ~ ~
dan klpk. Masy. Papua Papua Merdeka ~Kekerasan fisik ~Mengkristalnya aspirasi ~Satgas Papua ~Masy. Papua
Kecamatan Kimaam
Kesewenang-
wenangan Kesewenangan aparat ~Intimidasi Ekonomi/Sosbud : ~Perusahaan Masyarakat lokal/adat ~ ~
dan perusahaan
aparat TNI/Polisi dan mengeks- ~Kekerasan fisik ~Penguasaan aset ~TNI/Polisi
Perusahan ploitasi hasil alam serta ~Penembakan ekonomi masy. Lokal ~Pedagang
1995 - 2001 pelanggaran budaya ~Penipuan secara paksa ~Pemerintah
masyarakat lokal ~Penghinaan martabat ~Pelanggaran terhadap
orang Papua batas-batas wilayah adat
masyarakat oleh aparat
dan perusahaan
~Anggota Satgas
Arogansi kelompok Eksistensi Klpk. Masy. Intimidasi Politik : Papua Klpk. Masy. Non Papua ~ ~
masyarakat Pro
Merdeka sipil Papua bersenjata Mengkristalnya aspirasi ~Klpk. Masy. Papua
1999 - 2001 Papua Merdeka
Pembunuhan ABK Akumulasi kekecewaan ~Pembunuhan Ekonomi/Sosbud : Masyarakat lokal ~ABK KM. Kiman 15 Pencarian korban Pencarian korban
masyarakat lokal
Kimaam 15 terhadap ~Kekerasan fisik ~Penguasaan aset ~Perusahaan
23 July 2001 ulah perusahaan dan ~Menyembunyikan kapal ekonomi masy. Lokal
aparat TNI/Polisi secara paksa
~Pelanggaran terhadap
batas-batas wilayah adat
masyarakat oleh aparat
dan perusahaan
LOKASI KASUS PEMICU MODUS SUMBER KONFLIK PELAKU KORBAN PERAN DALAM PENYELESAIAN KONFLIK
PEMERINTAH INSTITUSI LAIN MASYARAKAT
Kecamatan Kimaam
~ABK KM. Jala
Pembunuhan ABK Jala Akumulasi kekecewaan ~Pembunuhan Ekonomi/Sosbud : Masyarakat lokal Perkasa ~Pencarian pelaku ~Evakuasi korban ~
masyarakat lokal
Perkasa terhadap ~Pembakaran kapal ~Penguasaan aset ~Perusahaan ~Evakuasi korban
24 Agstus 2001 ulah perusahaan dan ~Kekerasan fisik ekonomi masy. Lokal ~Aparat Polisi
aparat TNI/Polisi secara paksa
~Pelanggaran terhadap
batas-batas wilayah adat
masyarakat oleh aparat
dan perusahaan
Penanganan yang
berle- Pembakaran kapal dan ~Pembakaran desa Kelompok Polisi Masyarakat lokal ~ ~ ~
bihan oleh Brimob pembunuhan ABK ~Pembakaran bevak
Sep 2001 (implikasi dari KM Jala Perkasa ~Penyisiran
kasus pembakaran
kapal) ~Penembakan
~Menyetujui dan
Lapangan Maskura Pembakaran desa dan ~Penyerangan Polsek ~Klpk. Masy. Papua Masyarakat lokal memfasi- ~Pembentukan TPF ~
28 Nov 2001 (implikasi bevak milik masy. tasi TPF kasus
dr Lokal ~Penembakan (Pasukan 3 Buta) Kimaam ~Pendampingan
kasus penanganan ~Bantuan
Brimob) ~Pembunuhan ~Aparat TNI/Polisi kemanusiaan
~Penyisiran
~Penangkapan
~Kekerasan fisik
Kecamatan Jair
Pembuatan HPH Merealisasikan
Reklaiming hutan oleh sepihak Eksploitasi hutan Ekonomi/Sosbud : ~Pemerintah Masyarakat adat ~SK Gubernur sebagian ~
masyarakat adat oleh perusahaan ~Tidak adanya keterlibatan ~Perusahaan ~Merancang Perda tuntutan
(1995 - 1999) masyarakat adat dalam tentang tanah
eksploitasi hutan adat
~Tidak dipahaminya
pranata sosial antropo-
logis dan sosiologis
masyarakat adat
Kesewenangan klpk Klpk. Masy. Papua ~Klpk. Masy. Masy. Lokal
Arogansi klpk. Masy. masy. ~Intimidasi Politik : Sipil Papua ~ ~ menuntut
~Klpk. Masy. Non pembubaran
Papua sipil bersenjata Papua sipil bersenjata ~Penembakan ~Mengkristalnya aspirasi bersenjata Papua klpk. Masy.
Papua sipil
(1999 - 2001) ~Pemalangan jalan Papua Merdeka bersenjata
~Kekerasan fisik
~Pemerasan
LOKASI KASUS PEMICU MODUS SUMBER KONFLIK PELAKU KORBAN PERAN DALAM PENYELESAIAN KONFLIK
PEMERINTAH INSTITUSI LAIN MASYARAKAT
Kecamatan Jair :
Penyanderaan Kekecewaan klpk. Klpk. Masy. Papua ~Proses ~Proses
karyawan Masy. ~Penyanderaan Politik : Sipil Perusahaan pembebasan pembebasan ~
~Mengkristalnya aspirasi
Papua Merdeka
~Merealisasikan ~Merealisasikan
PT. Korindo Group Papua sipil bersenjata ~Intimidasi ~Tidak terealisasikannya bersenjata sebagian sebagian
tuntutan tuntutan
(17 Januari 2001) ~Tuntutan tuntutan klpk. Masy. penyandera penyandera
Papua sipil bersenjata
Kecamatan Mandobo
Pembuatan HPH Merealisasikan
Reklaiming hutan oleh sepihak Eksploitasi hutan Ekonomi/Sosbud : ~Pemerintah Masyarakat adat ~SK Gubernur sebagian ~
~Merancang
masyarakat adat oleh perusahaan ~Tidak adanya keterlibatan ~Perusahaan Perda tuntutan
1995 - 1999 masyarakat adat dalam tentang tanah
eksploitasi hutan adat
~Tidak dipahaminya
pranata sosial antropo-
logis dan sosiologis
masyarakat adat
Kecamatan Kurik
Arogansi anggota Klpk. Masy. Non
Satgas Mengkristalnya isu ~Intimidasi Politik : Anggota Satgas Papua Papua ~ ~ ~
dan klpk. Masy. Papua Papua Merdeka ~Kekerasan fisik Mengkristalnya aspirasi
(1999 - 2000) Papua Merdeka
~Meminta
Fanindi Dalam Fanindi Dalam ~Pembakaran Mobil ~Kekerasan Fisik Politik : ~Satgas Papua ~ Melakukan advokasi Advokasi
~Menyampaikan
1 May 2001 Sekwilda terpilih ~Penganiayaan ~Aspirasi Papua Merdeka ~Brimob ~Warga Sipil disekitar persoa-
lan kepada
~Penurunan Bendera ~Penembakan lokasi Parlemen Uni
Bintang Kejora ~Penagkapan Eropa
Kecamatan
Wasior
Melakukan
Desa Wombu Wombu ~Tidakadanya pembayaran ~Pemalangan Ekonomi : ~Perusahaan ~Warga Sipil ~ pendampingan Meminta Advokasi
fee oleh perusahaan ~Kelompok Sipil
31 Marat 2001 selama ~Penyerangan ~Pengabaian tuntutan masya- Bersenjata ~Karyawan Perusahaan
2 tahun ~Penembakan rakat adat atas konpensasi ~Brimob
~Pemalangan Jalan di hak Ulayat
km. 35 oleh Masyarakat
adat wombu
LOKASI KASUS PEMICU MODUS SUMBER KONFLIK PELAKU KORBAN PERAN DALAM PENYELESAIAN KONFLIK
PEMERINTAH INSTITUSI LAIN
Ekspansi lokasi Penyerobotan batas
Kec. Babo Pelanggaran wilayah penangka- hak Ekonomi : ~Pemerintah Masyarakat ~ ~
penangkapan ikan
yang di- pan ikan ulayat masyarakat ~Adanya proteksi pemerintah ~Perusahaan
lakukan oleh
Perusahaan kepada perusahaan
1995 - 2001 ~Kesewenangan perusahaan
~Perluasan Areal
Ketidakjelasan areal garapan Perampasan lahan Ekonomi/Sosbud : ~Pemerintah Masyarakat ~ ~
Perkebunan
Perusahaan oleh perusahaan ~Penguasaan secara paksa ~Perusahaan
1996 - 2001 ~Pencaplokan Tanah aset masyarakat adat
masyarakat adat ~Konpensasi yang tidak
layak atas tanah & kayu
~Penyalahgunaan ijin
~Pengabaian nilai adat
Pembangunan
pemukiman ~Pembukaan SP Trans. ~Pencaplokan Tanah Ekonomi/Sosbud : ~Pemerintah Masyarakat ~ ~
untuk transmigrasi masyarakat adat ~Penguasaan secara paksa ~Perusahaan
Kec. Bintuni Penyerangan Polsek Penagkapan terhadap ~Penangkapan Politik : ~Polisi ~Warga Sipil ~ ~
Bintuni seorang warga sipil ~Penembakan ~Adanya keinginan untuk
2001 ~Pemukulan merdeka
~Pembongkaran pos ~Perilaku kesewenangan
satgas oleh aparat Polsek Bintuni
MATRIX KONFLIK PELANGGARAN HAM DI KABUPATEN
JAYAWIJAYA
LOKASI KASUS PEMICU MODUS SUMBER KONFLIK PELAKU KORBAN PERAN DALAM PENYELESAIAN KONFLIK
PEMERINTAH INSTITUSI LAIN MASYARAKAT
Kec. Wamena
Desa Wouma Wamena Berdarah ~Penurunan Bendera Bin- ~Pembunuhan Politik : ~Kepolisian/TNI ~Masyarakat sipil Bantuan Kemanusiaan ~Pendampingan ~Mengungsi
(Papua & Non
06 Oktobr 2000 tang Kejora ~Penembakan Keinginan masyarakat ~Pemerintah Papua) ~Rekonsiliasi
~Perilaku kesewenangan ~Penangkapan untuk Merdeka ~Masyarakat Sipil ~Satgas Papua
~Anggota PDP &
dari aparat Kepolisian & ~Penganiayaan ~Satgas Papua Panel
TNI ~Pembakaran ~Anggota Polisi
~Penculikan
~Intimidasi
Kec. Tiom
Pemaksaan
Desa Nggola Penurunan ~Penurunan Bendera Bin- ~Pembunuhan Politik : ~Aparat TNI ~Aparat TNI ~ ~ Mengembalikan senjata
Bendera Bintang
Kejora tang Kejora ~Penembakan Keinginan masyarakat ~Masyarakat Sipil ~Masyarakat Sipil yang dirampas
15 Desmber 2000 ~Perilaku kesewenangan ~Penangkapan untuk Merdeka ~Satgas Papua ~Satgas Papua
dari aparat TNI ~Penganiayaan
~Pembakaran
Kec. Bokondini
Penanganan Yang
Kota Kecamatan Berle- ~Pengibaran Bendera ~Penangkapan Politik : Aparat TNI Masyarakat Sipil ~ ~ ~
bihan (01 Desember
1999) Bintang Kejora ~Intimidasi Keinginan masyarakat
~Mengamati gerak-
~Perilaku kesewenangan gerik untuk Merdeka
dari aparat TNI masyarakat
~Pamer Kekuatan
Penanganan Yang
Desa Bilubaga Berle- ~Pengibaran Bendera ~Penangkapan Politik : Aparat TNI Masyarakat Sipil ~ ~ ~
bihan (1999) Bintang Kejora ~Intimidasi Keinginan masyarakat
~Mengamati gerak-
~Perilaku kesewenangan gerik untuk Merdeka
dari aparat TNI masyarakat
~Pamer Kekuatan
Penanganan Yang
Kec. Kelila Berle- ~Pengibaran Bendera ~Penangkapan Politik : Aparat TNI Masyarakat Sipil ~ ~ ~
bihan (1999) Bintang Kejora ~Intimidasi Keinginan masyarakat
~Mengamati gerak-
~Perilaku kesewenangan gerik untuk Merdeka
dari aparat TNI masyarakat
~Tidak adanya penghorma- ~Pamer Kekuatan
tan terhadap nilai-nilai
budaya & adat istiadat
SUMBER
LOKASI KASUS PEMICU MODUS KONFLIK PELAKU KORBAN PERAN DALAM PENYELESAIAN KONFLIK
PEMERINTAH INSTITUSI LAIN MASYARAKAT
Penyanderaan Tim
Kec. Mapnduma Pene- ~Pengabaian terhadap ~Penembakan Politik : ~TNI Masyarakat Sipil ~ Pendampingan ~
~Tidak adanya
liti Lorenzt nilai-nilai budaya ~Penyisiran penghorma- ~TPN/OPM
tan terhadap
08 January 1996 ~Pembakaran pemukiman nilai-nilai ~Pasukan Asing
budaya & adat
dan sarana ibadah istiadat
~Keinginan
~Pemerkosaan masyarakat
untuk
~Penganiayaan Merdeka
~Pembantaian
Kec. Oksibil Perilaku kelompok sipil ~Penghadangan thd anggota Penembakan Politik : ~TNI Masyarakat Sipil ~ Pendampingan Melaporkan Persoalan
~Arogansi
Desa Kutdol Bersenjata (1996) TNI & Masyarakat yg kelompok TPN/ ~TPN/OPM
melakukan bakhti sosial OPM
~Keinginan
masyarakat
untuk
Merdeka
Penaganan yang
berlebi- ~Kecurigaan yang berlebihan ~Swiping senjata Politik : TNI Masyarakat Sipil ~ Pendampingan Melaporkan Persoalan
~Keinginan
han 1997 kepada masyarakat ~Kekerasan Fisik masyarakat
untuk
Merdeka
Kec. Kiwirok
Desa Kukihil Balas Dendam ~Memberikan informasi yang ~Penembakan Politik : TNI Masyarakat Sipil ~ Pendampingan Melapor ke Keuskupan
~Keinginan
Tahun 1995 salah ~Penganiayaan masyarakat dan Pangdam Trikora
untuk
~Pembakaran Pemukiman Merdeka
Penaganan yang
Desa Kiwi berlebi- ~Kecurigaan atas melindungi ~Penembakan Politik : TNI Warga Sipil ~ ~ ~
~Keinginan
han (10 Maret 1996) anggota TPN/OPM masyarakat
untuk
Merdeka
Penaganan yang
berlebi- ~Tuduhan sebagai TPN/OPM ~Penganiayaan Politik : TNI Warga Sipil ~ ~ ~
~Keinginan Kelompok
han (Juni 1996) ~Kekerasan Fisik masyarakat Masyarakat
untuk
~Penembakan Merdeka
Kepala
Kota Kecamatan Kasus Puskesmas ~Mogok kerja oleh pegawai ~Penggelapan Gaji Sosial : Puskesmas ~Pegawai Puskesmas ~ ~ ~
(Maret Desember ~Kesejahteraan
2001) Puskesmas Pegawai ~Masyarakat
~Penyelewengan Gaji
pegawai