Anda di halaman 1dari 48

Pengantar

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena dengan rahmat dan perkenaan-Nya
kami dapat menyelesaikan: Laporan Investigasi dan Monitoring Pemekaran Berdarah di Timika.
Maksud dan tujuan dari kegiatan tersebut adalah:
1. Mengidentifikasi sumber konflik
2. Mengidentifikasi pihak-pihak yang berkonflik
3. Mengidentifikasi dinamika konflik yang berkembang dan
4. Mengidentifikasi proses perdamaian yang telah terjadi. Sehingga mendapatkan gambaran
yang lengkap mengenai konflik pemekaran propinsi Irian Jaya Tengah di Timika dan segala
implikasinya.
Terima kasih yang tak terhingga kami sampaikan kepada: Penguatan Institusi dan Kapasitas
Lokal (PIKUL), Pemerintah Sipil dan TNI - POLRI, Paroki Tiga Raja Timika, Tim Zona Damai,
Senat Mahasiswa FH UPAMA Timika, YAHAMAK, LEMASA, Presidium Dewan Papua, Panel
Papua, para tokoh agama, adat, perempuan, pemuda, mahasiswa, jurnalis, aktivis HAM, teman-
teman LSM serta Bapak, Ibu, mace, pace, ipar-ipar dorang dan sobat-sobat di tanah Papua,
teristimewa yang berada di Tanah Amungsa, Timika. Secara khusus terima kasih patut kami
sampaikan kepada teman-teman yang bekerja di lapangan dengan semangat dan penuh
keberanian: harus mondar-mandir di tengah-tengah perang dan mengejar-ngejar sumber
informasi.
Terima kasih yang sama kami sampaikan juga kepada semua pihak yang namanya tak dapat
kami sebutkan satu persatu, atas segala dukungan dan kerjasama yang telah diberikan kepada
kami selama ini.
Semoga dukungan dan perjuangan kita untuk saudara-saudara kita di Timika yang telah
menjadi korban kebijakan dari konflik pemekaran provinsi Irian Jaya Tengah dan juga kepada
teman-teman yang terus berjuang untuk menciptakan perdamaian di Tanah Amungsa dapat
memberikan kontribusi positif bagi kemajuan penyelesaian konflik yang lebih adil dan ber-
martabat.
Semoga Tuhan memberkati setiap usaha kita menuju kepada penegakkan Demokrasi dan Hak
Asasi Manusia di Tanah Papua.

Port Numbay, 30 Oktober 2003

Salam Hangat

Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP)

Tragedi Pemekaran Berdarah 1


DAFTAR ISI

Pengantar

Daftar Isi

Bagian Rangkuman 1
Isi Laporan 1
Sedikit yang Bisa Dilakukan 1

Pendahuluan
3
Bagian Satu: Kondisi Geografis dan
Situasi Pra Deklarasi
5
Kondisi Geografis
5
Sejarah Perlawanan Rakyat
5
Stigma Penduduk Lokal
6
Hal yang Menjadi Perhatian
7
Bagian Dua: Kronologis Pra dan Saat Peristiwa 9
Situasi Pasca Inpres No. 1/2003 dan Pra-Deklarasi Provinsi Irian Jaya Tengah 9
Kronologis Deklarasi Provinsi Irian Jaya Tengah 10
Bagian Tiga: Beberapa Kejadian Pasca-Deklarasi
12
Pertikaian Horizontal
12
Pengrusakan dan Penjarahan Rumah Penduduk
12
Pemerkosaan Terhadap Perempuan
13
Pengungsian
14
Penculikan dan Penyekapan Terhadap Abner Daundi
14
Upaya Pembunuhan Kilat Beruntun serta Dampaknya
16
Mayat Misterius
18

Tragedi Pemekaran Berdarah 2


Bagian Empat: Peran Para Pihak 19
Pemerintah Pusat dan BIN 19
Pemerintah Provinsi Papua 19
Pemerintah Kabupaten Mimika 20
Kepolisian 21
DPRD Mimika 22
TNI 23
Partai Politik 23
Lembaga Adat 24
Paguyuban Pendatang 24
Kelompok Mahasiswa 25
Kelompok Pimpinan Agama 25
Kelompok Perempuan 25
Masyarakat 26

Bagian Lima: Sedikit Tentang Etno-Politik 27

Bagian Enam: Upaya Membangun Perdamaian 30


Proses Menuju Perdamaian 30
Situasi Sosial Pasca Perdamaian
31

Bagian Tujuh: Penutup 33


Sejumlah Simpulan Awal dan Pertanyaan Mendasar 33
Rekomendasi 34

Lampiran-lampiran

Tragedi Pemekaran Berdarah 3


Laporan Investigasi dan Monitoring
TRAGEDI PEMEKARAN BERDARAH DI TIMIKA

BAGIAN RANGKUMAN
Laporan ini disusun berdasarkan pemantauan di lapangan oleh Tim Investigasi Aliansi
Demokrasi untuk Papua (ALDP) dibantu oleh Tim Gereja Tiga Raja Timika, pada peristiwa
Tragedi Pemekaran Berdarah di Timika. Kunjungan lapangan dilakukan sebanyak dua kali,
yakni: kunjungan pertama pada 29 Agustus s/d 13 September 2003. Sedangkan kunjungan
kedua dilaksanakan pada 6 s/d 23 Oktober 2003.

Isi Laporan
Untuk memudahkan pemahaman kita dalam membaca laporan ini, maka kami memetakannya
dalam beberapa bagian, sebagai berikut:
Pendahuluan : digambarkan tentang situasi politik di daerah Papua ketika memasuki masa
transisi kepemimpinan nasional. Sikap Jakarta menanggapi pergolakan di
Papua hingga pada kebijakan – kontroversial – untuk menerbitkan Inpres No.
1/2003 yang menghidupkan kembali UU No. 45/1999, juga dijelaskan dalam
bagian ini.
Bagian Satu : tentang kondisi geografis daerah Kabupaten Mimika. Bagian ini juga sedikit
menjelaskan beberapa kejadian pada beberapa masa yang lampau yang
menimpa warga masyarakat di sekitar daerah Kabupaten Mimika. Juga
tentang melekatnya stigma OPM terhadap kelompok masyarakat.
Bagian Dua : merupakan uraian kronologis pada saat proses Deklarasi Irian Jaya Tengah.
Disebutkan juga peristiwa pascaturunnya Inpres No.1/2003. Dan sedikit
peristiwa menjelang dilaksanakannya acara deklarasi.
Bagian Tiga : adalah bagian yang membeberkan beberapa kejadian usai deklarasi Irian Jaya
Tengah. Beberapa peristiwa adalah merupakan dampak langsung dari acara
deklarasi, namun beberapa kejadian – yang oleh pemerintah daerah setempat
– dikatakan tidak ada kaitannya sama sekali dengan acara deklarasi.
Bagian Empat : digambarkan tentang peran para pihak yang secara langsung maupun tidak
langsung terlibat dalam peristiwa pada saat dan pascadeklarasi.
Bagian Lima : sedikit catatan tentang etnopolitik penduduk di pegunungan tengah.
Bagian Enam : menggambarkan upaya membangun perdamaian dan prosesnya. Pada bagian
ini juga disinggung tentang situasi sosial pascaperdamaian antara kelompok
kontra dan propemekaran.
Bagian Tujuh : terdiri dari beberapa simpulan dan rekomendasi.

Sedikit yang Bisa Dilakukan


Pada kunjungan pertama, Tim Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) lebih memfokuskan diri
pada pekerjaan investigasi kasus. Pekerjaan ini banyak dibantu oleh petugas dari Paroki Tiga
Raja Timika (Anna Yosepina Balla). Pada kesempatan ini, kami (Tim ALDP dan Anna Balla)
mendampingi kehadiran Tim Komnas HAM Jakarta selama 3 hari: 8 s/d 10 September 2003.

Tragedi Pemekaran Berdarah 4


Peran yang dilakukan selama mendampingi misi Tim Komnas HAM di Timika tidak hanya
terbatas pada kegiatan menentukan jadwal pertemuan sekaligus mempertemukan Tim Komnas
HAM dengan beberapa stakeholder yang signifikan, tetapi juga dengan komponen masyarakat
yang menjadi korban.
Perkembangan selanjutnya, ketika fokus kerja lebih dititikberatkan pada kegiatan monitoring,
kami melihat sebuah fenomena sosial akibat timbulnya pertikaian. Hal yang paling terasa adalah
adanya korban: meninggal dan luka, perkosaan, penjarahan dan pengungsian. Kondisi ini telah
mengusik nurani kemanusiaan kami yang pada akhirnya menimbulkan keprihatinan yang
mendalam. Tentu saja tidak cukup sampai pada rasa keterusikan dan keprihatinan, namun kami
bersepakat untuk harus ada sebuah karya nyata sebagai implementasi dari kedua rasa tersebut.
Untuk melihat hal ini, kami kemudian melibatkan komponen lain: LSM dan mahasiswa.
Pada Rabu, 3 September 2003, kami berhasil membentuk sebuah kelompok kecil yang
beranggotakan LBH Pos Timika, Paroki Tiga Raja Timika, Senat Mahasiswa Fakultas Hukum
UPAMA Timika dan ALDP Jayapura. Kelompok ini diberi nama Tim Zona Damai dan diketuai
oleh Pastor Jack Mote. Kehadiran tim ini dalam bentuk bantuan kemanusiaan bertugas
mengumpulkan bahan makanan serta pakaian laik pakai dari komponen masyarakat yang
umumnya adalah paguyuban pendatang. Selain itu, dengan pendekatan spiritual juga
melakukan ibadah bersama dengan kelompok pengungsi. Beberapa perempuan korban
perkosaan juga dibawa ke Rumah Sakit Mitra Masyarakat (RSMM) Timika untuk mendapatkan
pengobatan sekaligus dilakukan proses konseling seperlunya. Khusus pekerjaan memimpin
ibadah dan konseling korban perkosaan, lebih banyak diperankan oleh Anna Balla selaku
petugas gereja sekaligus aktivis perempuan.
Pada kunjungan kedua. Ada keinginan dari kelompok mahasiswa FH UPAMA agar Tim Zona
Damai menjadi sebuah organisasi yang permanen (Tim Zona Damai awalnya memang dimaksudkan
hanya bersifat temporer). Digelarlah pertemuan-pertemuan rutin untuk membahas keinginan
tersebut. Kali ini kelompok diperluas dengan melibatkan kelompok jurnalis (Timika Pos) dan
YAHAMAK serta Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi Akademi Tekhnik Timika dan Politekhnik
Amapapare Timika. Selain itu, beberapa individu juga bergabung di dalamnya, di antaranya
adalah Theo Sukoco dan Pastor Laurens (keduanya dari Paroki Tiga Raja Timika). Dari hasil
beberapa pertemuan tersebut, disepakati agar kelompok LSM dan Gereja serta Jurnalis hanya
bertindak untuk mem-back up dan mendorong mahasiswa agar lebih memainkan peran yang
lebih besar di dalamnya. Nama kelompokpun kemudian berubah menjadi Mimika Study Club
(MSC), dan Max Werinussa, mahasiswa FH UPAMA menjadi Ketua Umum di MSC. Kedudukan
ALDP, YAHAMAK, Paroki Tiga Raja Timika dan wartawan Timika Pos hanya sebagai dewan
konsultatif bagi Dewan Pengurus MSC.
Selain itu, Tim ALDP juga menyadari, bahwa pemahaman mahasiswa di Timika akan eksistensi
kemahasiswaannya masih sangat minim. Hal ini disebabkan oleh usia lembaga perguruan tinggi
yang masih muda, juga tidak adanya organisasi kemahasiswaan di Timika. Sehingga
peningkatan kapasitas mahasiswa adalah hal yang dirasa sangat penting untuk disegerakan
pelaksanaannya. Untuk itu, Tim ALDP bekerja sama dengan Senat Mahasiswa Fakultas Hukum
UPAMA berencana membuat kegiatan latihan kepemimpinan di tingkat mahasiswa. Bersama
MSC juga, ALDP memfasilitasi terbentuknya organisasi kemahasiswaan ekstra kampus: PMKRI,
GMKI dan HMI di Timika.

Tragedi Pemekaran Berdarah 5


PENDAHULUAN
Tahun 1999, ketika Papua menggeliat dari keterbungkamannya selama 3 dasawarsa lebih,
gejolak sosial politik dengan nuansa konflik vertikal (keinginan memisahkan diri dari NKRI) dan
horizontal (konflik SARA) terasa sangat kental. Kepimimpinan nasional ketika itu berada pada
masa transisi, Habibie menjadi Presiden RI menggantikan Suharto yang telah 32 tahun
berkuasa dengan gaya sentralistik dan militeristik.
Oleh Jakarta, geliat Papua tersebut – secara sepihak – justru dijawab dengan mengundangkan
UU No. 45/1999, tentang pemekaran provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat serta
kabupaten Mimika, Paniai, Puncak Jaya dan kota Sorong. UU No. 45/1999 tersebut kemudian
disusul dengan SK Presiden RI No. 372/M tahun 1999 yang mengangkat Abraham Atururi
sebagai pejabat gubernur Irian Jaya Barat dan Herman Monim sebagai pejabat gubernur Irian
Jaya Tengah. SK tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan pelantikan kedua pejabat gubernur
yang dilaksanakan di Jakarta.
Kekuatan rakyat Papua yang ketika itu tengah berada pada posisi power full, lantas melakukan
demonstrasi besar-besaran yang dimotori oleh mahasiswa dengan menduduki kantor Gubernur
Papua selama kurang lebih sepekan. Ketika itu mereka berhasil mendesak DPRD Papua untuk
mengadakan sidang pleno istimewa guna menyatakan ketidaksetujuannya terhadap kebijakan
pemekaran provinsi tersebut. Sikap DPRD ini kemudian dituangkan dalam sebuah Keputusan
DPRD No. 11/DPRD/1999 tentang Pernyataan Pendapat DPRD provinsi Irian Jaya kepada
Pemerintah Pusat untuk Menolak Pemekaran Provinsi Irian Jaya dan Usul Pencabutan SK
Presiden RI No. 327/M tahun 1999.
Pada akhirnya, pemekaran provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat ditunda, namun
pembentukan kabupaten Paniai, Mimika, Puncak Jaya dan Kota Sorong tetap berjalan.
Waktu terus bergulir, sementara tuntutan disintegratif rakyat Papua semakin gencar dilakukan.
Untuk menyikapi kondisi tersebut, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR
RI) dalam sidang tahunannya pada Oktober 1999 membuat TAP MPR RI No. IV/MPR RI/1999.
Ketetapan MPR RI tersebut mengamanatkan kepada pemerintah mengenai perlunya memberi-
kan status Otonomi Khusus (Otsus) kepada Provinsi Irian Jaya dan penyelesaian masalah
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Setahun kemudian, MPR RI kembali membuat ketetapan, TAP MPR RI No. IV/MPR RI/2000
yang memuat rekomendasi kepada DPR RI dan Presiden agar selambat-lambatnya pada 1 Mei
2001, Otonomi Khusus untuk Aceh dan Papua sudah terlaksana.
Ketika itu, perjuangan rakyat Papua untuk melepaskan diri dari bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia semakin keras dikumandangkan. Dimulai dengan pertemuan tim 100
dengan Presiden Habibie pada Februari 1999 yang meminta kemerdekan Papua. Kemudian
setelah sukses menggelar peringatan Hari Kemerdekaan pada 1 Desember 1999, rakyat Papua
kemudian menggelar Musyawarah Besar Rakyat Papua pada Februari 2000. Kemudian
dilanjutkan dengan Kongres Rakyat Papua II pada Mei s.d Juni 2000.
Pada masa-masa itu, Papua masih sangat alergi dengan segala produk Jakarta. Hingga ketika
tim asistensi Otsus – tim yang dibentuk DPRD Papua untuk menggodok RUU Otsus – mencari
masukan dari masyarakat di kampung-kampung (desa) justru menjadi obyek pelampiasan
amarah rakyat. Puncaknya, 28 Maret 2001, ketika RUU Otsus disosialisasikan kepada
masyarakat yang dipusatkan di Gelanggang Olah Raga (GOR) Cenderawasih Jayapura,
seorang demonstran mahasiswa meninggal dunia serta puluhan lainnya mengalami luka-luka
serius dalam sebuah bentrok dengan aparat keamanan.
Jakarta tetap menutup mata dengan aksi penolakan rakyat meski telah memakan korban. Pada
tanggal 1 Januari 2002, Megawati yang menggantikan Gus Dur sebagai Presiden resmi
menandatangani RUU Otsus menjadi UU No. 21/2001. Timbul berbagai kontroversi tentang UU
Otsus, bagi sebagian kalangan akademisi dan politisi Otsus dapat digunakan sebagai jembatan

Tragedi Pemekaran Berdarah 6


untuk mencapai tujuan yang lebih besar lagi. Bagi pemerintah Jakarta ada yang berpendapat
Otsus sebagai tawaran final tetapi juga kekhawatiran akan digunakan sebagai super body
terutama bagi berkembangannya aspirasi Merdeka sedangkan bagi rakyat Papua Otsus
dicurigai sebagai strategi untuk menghancurkan aspirasi Merdeka.
Rakyat Papua yang sebelumnya sangat antipati terhadap UU No. 21/2001, dalam keapatisan-
nya mencoba untuk mempelajari produk pemerintah pusat tersebut. Pada perkembangannya,
selama setahun perjalanan Otsus, Jakarta terbukti tidak pernah serius mengimplementasikan
kebijakannya sendiri. Peraturan Pemerintah (PP) tentang Majelis Rakyat Papua (MRP), sebagai
sebuah lembaga yang sangat vital dalam pelaksanaan Otsus tidak pernah dikeluarkan. Setidak-
nya sampai akhir Oktober 2003. Padahal TAP MPR RI No. IV/MPR RI/2000 telah mengamanat-
kan agar selambat-lambatnya pada Mei 2001, Otonomi Khusus untuk Aceh dan Papua sudah
berjalan.
Hingga akhirnya, Januari 2003, Papua kembali dikejutkan dengan gelegar Instruksi Presiden
(inpres) nomor 1 tahun 2003, yang berisi perintah kepada Mendagri, Menkeu, Gubernur Papua
dan Bupati se-Papua untuk mempercepat pelaksanaan UU No. 45/1999. Inpres ini kemudian
ditindaklanjuti oleh Mendagri pada tanggal 3 Februari 2003 berupa Radiogram No. 134/221/SJ
dengan klasifikasi Segera untuk merealisasikan Inpres tersebut.
Di Manokwari, ibukota provinsi Irian Jaya Barat – versi UU No. 45/1999 – pelaksanaan Inpres
dan Radiogram Mendagri yang kontroversial tersebut berhasil dengan mendeklarasikan Provinsi
Irian Jaya Barat pada 6 Februari 2003 di tengah teriakan berbagai komponen masyarakat
Papua yang menolak kedua kebijakan tersebut. Kurang lebih enam bulan kemudian, 23 Agustus
2003, kebijakan yang tidak populer dan membutakan azas hukum tersebut pada akhirnya telah
merenggut nyawa masyarakat sipil di Timika, ketika sekelompok orang hendak melakukan
kegiatan yang sama: Deklarasi Provinsi Irian Jaya Tengah.
Siapa yang pantas bertanggungjawab terhadap semua ini? Rakyat yang menolak UU No.
45/1999? Ataukah pemerintah yang tidak konsisten dengan kebijakannya sendiri? Biarkanlah
nurani kita sendiri yang menjawabnya.

Tragedi Pemekaran Berdarah 7


BAGIAN SATU:
KONDISI GEOGRAFIS DAN SITUASI PRA DEKLARASI

Kondisi Geografis
Mimika adalah sebuah kabupaten di daerah Selatan Pulau Papua. Daerah ini awalnya adalah
bagian dari kabupaten Fakfak. Tahun 1996, atas dasar PP No. 54/1996, Mimika kemudian
berubah menjadi daerah kabupaten administratif. Mimika menjadi kabupaten defenitif ketika UU
No. 45/1999 lahir. Undang-undang yang kemudian menjadi pokok persoalan dalam Tragedi
Pemekaran Berdarah di Timika.
Luas wilayah kabupaten Mimika adalah 19.592 km2 atau 4,77% dari luas wilayah provinsi
Papua. Posisinya terletak antara 4030 – 4044 LS dan 136036 – 136048 BT. Keadaan geografis-
nya sangat bervariasi, terdiri dari dataran rendah yang berawa-rawa di bagian selatan dan
daerah pegunungan di bagian Utara. Di bagian Utara berbatasan dengan kabupaten Paniai, di
bagian Selatan berbatasan dengan Laut Arafura, di bagian Timur berbatasan kabupaten
Merauke dan di bagian Barat berbatasan dengan kabupaten Fakfak.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Jayapura, jumlah penduduk kabupaten Mimika
pada tahun 2002 mencapai 110.522 jiwa, terdiri dari laki-laki dengan jumlah 62.164 jiwa dan
wanita 48.358 jiwa yang tersebar di 4 kecamatan dan 70 desa/kelurahan.
Penduduk aslinya adalah suku Amungme di bagian Utara dan suku Kamoro di bagian Selatan,
tetapi ada juga masyarakat lokal yang melakukan urbanisasi (nomaden) seperti suku Dani,
Nduga, Damal, Lani, Moni dan Ekagi serta yang lainnya. Urban lain yang berasal dari luar
Papua seperti Jawa, Sulawesi, Sumatera dan Kalimantan serta kepulauan Maluku yang
berprofesi sebagai PNS, aparat TNI/POLRI, karyawan perusahaan, dan pekerja swasta lainnya,
kian membaurkan komposisi penduduk kabupaten Mimika.

Sejarah Perlawanan Rakyat


Seperti daerah lain di Papua, konflik vertikal bernuansa politik juga menjadi pergumulan
masyarakat Papua yang berada di daerah kabupaten Mimika – yang sebelum UU No. 45 tahun
1999 lahir menjadi bagian dari kabupaten Fakfak – dan sebagian daerah Pegunungan Tengah.
Kuantitas perseteruan menjadi semakin meningkat dan meluas ketika daerah ini juga menjadi
kawasan penambangan PT. Freeport. Kelly Kwalik, Daniel Yudas Kogeya dan Simon Kogeya
adalah sebagian nama-nama yang sempat go international karena aksi-aksinya memimpin
pemberontakan rakyat terhadap pemerintah RI di daerah Pegunungan Tengah sampai ke
bagian selatan Papua, daerah Mimika, maupun melakukan sabotase terhadap aktivitas PT.
Freeport di Tembagapura. Terekam dalam memori orang Papua, sekitar tahun 1970-an, militer
Indonesia menjawab pergerakan mereka dengan membombardir daerah pegunungan Tengah.
Oleh masyarakat pegunungan dan Papua pada umumnya, peristiwa berdarah ini dikenal
dengan sebutan Gejolak Sosial 77. Meski tidak ada data akurat mengenai hal ini, namun semua
pelaku sejarah ketika itu menyepakati akan adanya aksi bombardir tersebut.
Pada bulan Januari 1996, terjadi penyisiran besar-besaran di daerah Mapnduma oleh pasukan
TNI (KOPASSUS) yang resonansinya sampai ke daerah Jila dan Tsinga di kabupaten Mimika –
Timika adalah Pusat pengendalian operasi ketika itu – akibat dari aksi penyanderaan yang
dilakukan oleh Kelly Kwalik, cs terhadap tim peneliti di taman nasional Lorentz.
Sementara itu, keberadaan PT. Freeport Indonesia telah menjadi sebuah problema tersendiri di
kalangan masyarakat lokal karena menjadi salah satu faktor yang signifikan terhadap gerakan
rakyat di Timika. Papua, khususnya Timika menjadi tumbal kapitalis dan pampasan perang ketika
Papua diintegrasikan ke dalam NKRI. Nampak dari kontrak karya pertama PT. Freeport dengan

Tragedi Pemekaran Berdarah 8


pemerintah Indonesia yang ditandatangani pada tahun 1967 ketika itu belum ada UU PMA dan
Papua sendiri belum secara resmi menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dua tahun kemudian, 19 September 1969, Papua baru resmi mendapatkan pengakuan dunia
internasional lewat resolusi PBB No. 2504.
Pada perkembangannya, protes masyarakat lokal berubah menjadi sebuah gerakan perlawanan
sosial. Upaya PT. Freeport untuk menarik simpati rakyat lewat Januari Agreement (1974) juga
tidak membuahkan hasil. Puncaknya adalah peristiwa Maret 1996, ketika itu sekelompok
masyarakat melakukan pengrusakan terhadap fasilitas milik PT. Freeport. Insiden itu kemudian
berhasil memaksa PT. Freeport, yang pada Juni 1996 akhirnya mengucurkan dana 1% dari
penghasilan kotor yang didapatnya kepada suku-suku asli yang berdiam di sekitar areal
penambangan. Kebijakan ini pada akhirnya justru melahirkan pesoalan baru di kalangan
masyarakat sendiri.1

Stigma Penduduk Lokal


Timika sebagai bagian dari Papua, sebagai bagian dari areal konflik vertikal maka penduduk
lokalnya menjadi bagian juga dari pemberian stigma separatis. Bahkan Timika disebut-sebut
sebagai salah satu wilayah produsen dan tempat persembunyian tokoh-tokoh separatis asal
pengunungan.
Aksi yang dilakukan oleh Kelly Kwalik cs, (yang memiliki wilayah kekuasaan sampai di daerah
Timika) pada beberapa peristiwa telah cukup sebagai alasan untuk senantiasa menempelkan
stigma Separatis terhadap segala aktivitas masyarakat lokal pada peristiwa-peristiwa lain.
Stigma inilah yang menjadi alasan Brigjen Prabowo Subianto – Danjen Kopasus ketika itu –
untuk melakukan penyisiran (penembakan, pembunuhan dan penyiksaan) terhadap masyarakat sipil
di daerah Mapnduma dan daerah sekitarnya ketika operasi pembebasan Tim Peneliti Lorentz
yang disandera oleh kelompok Kelly Kwalik pada tahun 1996. Ironisnya, operasi tersebut
dilakukan tanpa – sebelumnya – mengidentifikasi sasaran. Akibatnya, masyarakat yang sama
sekali tidak memiliki hubungan dengan kelompok penyandera juga tidak luput dari berbagai
tindakan kekerasan.
Pada November 2001 ketika Ketua Presidium Dewan Papua, Theys Hiyo Eluay, diculik dan
dibunuh oleh KOPASSUS (terbukti di pengadilan militer), pihak KODAM XVII/Trikora sendiri pada
awalnya menuding kelompok Kelly Kwalik – yang tinggal jauh dari Jayapura, daerah
pegunungan Tengah – sebagai pelakunya. Begitu pula dengan peristiwa penembakan terhadap
rombongan guru internasional di mil 62 – 63 Tembagapura.
Meskipun penyelidikan kasus ini telah melibatkan penyelidik sekelas Federal Buerau
Investigation (FBI) Amerika Serikat, toh FBI sendiri yang telah melakukan penyelidikan dan juga
pihak Kepolisian Daerah (POLDA) Papua, selaku penyelidik dan penanggungjawab keamanan
di Papua-pun tidak pernah mengeluarkan penyataan resmi kepada publik tentang hasil
investigasi yang telah dilakukan walau ada warga sipil yang menjadi korban. Ketertutupan
invenstigasi justru mendorong kristalisasi stigma terhadap penduduk lokal.
Terakhir, tuduhan separasi justru datang dari seorang anggota fraksi Golkar DPRD Mimika,
yang juga merupakan Ketua Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS), H. M. Arsad Ilham,
ketika bertatap muka dengan anggota Komnas HAM pada tanggal 9 September 2003 di ruang
rapat DPRD – beberapa hari setelah Deklarasi Provinsi Irian Jaya Tengah, sebagai berikut:

1
Kebijakan dana 1% tersebut, telah merubah pola hidup masyarakat loakl Timika menjadi masyarakat yang
konsumtif. Masyarakat tidak lagi meributkan Tambelo yang rusak, hutan sagu yang berubah menjadi padang pasir
atau lingkungan yang beracun. Mereka justru tenggelam dalam perdebatan pembagian dana. Segala sesuatu telah
dihargai dengan uang – model yang sama sekali tidak dikenal oleh nenek moyang mereka.
Pada saat yang sama, kini di masyarakat tengah tumbuh subur sifat malas bekerja. Dan tanpa disadari, mereka
semakin larut dalam pergelutan beribu penyakit sosial.

Tragedi Pemekaran Berdarah 9


“Ini bukan lagi persoalan pemekaran, di dalam kelompok kontra ini sudah ada
kelompok OPM, kita semua harus hati-hati, jangan sampai sebentar malam
bendera (Bintang Kejora) berkibar lagi di Timika”.

Tuduhan berupa stigma tersebut pada akhirnya telah cukup untuk menjustifikasi keberadaan
militer di daerah pegunungan tengah dan Timika pada khususnya dengan alasan: menjaga
integritas NKRI, sekaligus mengamankan obyek vital nasional, PT. Freeport.

Hal yang Menjadi Perhatian


Untuk mengelolah dana 1% dari PT. Freeport, Gubernur kemudian mengeluarkan SK nomor
352/1996 tentang Pembentukan Anggota Tim Unit Koordinasi Proyek dan Tim Unit Pelaksana
Proyek Program Pengembangan Wilayah Terpadu Timika (PWT2). Pada aras masyarakat,
pemerintah kemudian mendorong pembentukan yayasan-yayasan berdasarkan suku sebagai
obyek penyaluran dana.
Ketika itu, LEMASA (Lembaga Masyarakat Adat Suku Amungme) yang telah terbentuk jauh
sebelum adanya dana 1%, menolak kebijakan tersebut, namun Direktur Eksekutif yang ketika itu
dijabat oleh Andreas Anggaibak (seorang anggota Polisi berpangkat Sersan Mayor, sekarang Ketua
DPRD Mimika), tanpa sepengetahun pengurus yang lain kemudian berhubungan dengan
manajemen PT. Freeport dan menerima dana tersebut. Ketika beberapa pengurus
mempertanyakannya, Andreas Anggaibak justru marah dan menyatakan keluar dari LEMASA.
Andreas Anggaibak kemudian bergerilya bersama pemerintah membentuk yayasan-yayasan
suku penerima dana 1%. Pada perkembangannya, beberapa informasi yang didapat
menyebutkan bahwa kelompok Andreas Anggaibak sering kali berbuat ulah: soal pembagian
dana 1% dan pada saat pemilihan Bupati serta ketika LPJ Bupati. Kelompok ini pula yang
menjadi penggerak masyarakat untuk menghadiri acara deklarasi Provinsi Irian Jaya Tengah.
Informasi lainnya adalah bahwa kelompok Andreas Anggaibak ini kemudian melatih beberapa
orang warga lokal ala militer. Salah seorang yang pernah mengikutinya memberikan kesaksian
bahwa mereka yang tergabung dalam Front Pembela Merah Putih (FPMP) ini dijanjikan akan
dikirim ke Jakarta untuk mengikuti pelatihan militer dan akan diberikan senjata. Informasi ini
tentu tidaklah berlebihan. Ini diperkuat dengan adanya Surat Tugas dari Dewan Pimpinan Pusat
Front Pembela Merah Putih (DPP FPMP) dengan nomor: ST-07/DPP-FPMP/IX/2003 kepada
Kahar Rasyid dan Iskandar Tumpas untuk membentuk Dewan Pimpinan Daerah FPMP di
kabupaten Mimika. Surat yang tertanggal 16 September 2003 ini ditandatangani langsung oleh
Eurico Guterres, SE dan Norman Sophan, SE, MM, selaku Ketua Umum dan Sekretaris Umum
DPP FPMP, dan juga diteruskan ke Bupati, DPRD, Kapolres, Dandim, Kajari dan Kepala
Kesbang kabupaten Mimika.
Dalam beberapa kesempatan perbincangan kami dengan Kahar Rasyid, diketahui bahwa
kelompok ini adalah eks pengungsi Timor Timur, yang berjumlah 374 kepala keluarga. Mereka
semua merupakan mantan anggota Aitarak, kelompok yang kita tahu adalah milisi di masa
pergolakan Timor Leste. Ketika menerima Surat Tugas tersebut di Jakarta bulan September
2003 lalu, Kahar Rasyid telah ditanyakan kesiapannya oleh Eurico Guterres untuk mengirim
senjata bagi mereka, namun hal ini masih ditolak oleh Kahar karena belum terlalu dibutuhkan.
Diakuinya pula bahwa keberadaan FPMP di Timika telah diketahui dan dikoordinasikan dengan
Muspida kabupaten Mimika. Menurut pengakuan Kahar pula, bahwa Muspida Mimika sangat
mendukung keberadaan mereka, bahkan Kapolres Mimika telah meminta kelompok ini untuk
bertemu. Kelompok ini telah mengangkat Philipus Wakerkwa sebagai Ketua Umum dan H.
Munawar sebagai Sekretaris Umum. Sekedar diketahui, Philipus Wakerkwa ini merupakan
seorang anggota TNI berpangkat Sersan Kepala yang masih aktif. Selain itu, Philipus Wakerkwa
juga merupakan Ketua Umum DPD Partai Amanat Nasional (PAN) kabupaten Mimika sekaligus
Ketua Gabungan Pengusaha Jasa Konstruksi (GAPENSI) kabupaten Mimika.

Tragedi Pemekaran Berdarah 10


Masih menurut Kahar, bahwa mereka kerap kali melakukan operasi di daerah kali kopi (daerah
yang sering disebut pihak keamanan sebagai sarang OPM). Tidak jelas apa makna operasi yang
dimaksudkannya. Yang pasti bahwa ketika beroperasi, mereka selalu membawa senjata yang
dipinjamkan oleh anggota KOPASSUS kepada mereka. Saat ini, Kahar mengklaim anggotanya
yang berada di Timika sekitar 3.000 orang.
Selentingan kabar juga menyebutkan bahwa ketika aksi kelompok kontra pada hari Minggu, 24
Agustus 2003 lalu, dari dalam Graha TDS terlihat beberapa orang yang membawa senjata
genggam (pistol), dan beberapa anak panah yang dikeluarkan oleh kelompok pro pemekaran
yang dilumuri warna merah dan putih. Ketika didesak tentang siapa mereka, sumber informasi
tidak mengetahui pasti siapa mereka.

Tragedi Pemekaran Berdarah 11


BAGIAN DUA:
KRONOLOGIS PRA DAN SAAT PERISTIWA
Kronologi peristiwa ini dihimpun dari berbagai sumber: YAHAMAK dan LEMASA (8 September 2003), DPRD
Mimika, Bupati Mimika, LEMASKO (9 September 2003) serta sumber informasi dari berbagai komponen
masyarakat lainnya.

Situasi Pasca Inpres No. 1/2003 dan Pra-Deklarasi Provinsi Irian Jaya Tengah
Turunnya Instruksi Presiden RI nomor 1 tahun 2003 menimbulkan berbagai macam reaksi. Di
Jakarta, Jayapura dan beberapa daerah lain di Papua, gelombang demonstrasi yang menuntut
pencabutan Inpres dan UU No. 45/1999 kembali menjadi model penolakan komponen
masyarakat. Beberapa LSM lokal dan nasional juga mengajukan penolakannya dengan cara
mereka sendiri. SNUP (Solidaritas Nasional untuk Papua), sebuah LSM yang intens menyuarakan
persoalan Papua, pada bulan Juni 2003 bahkan mengajukan gugatan pra peradilan kepada
pemerintah pusat, tapi kemudian ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Berbagai kajian
dan seminar yang digelar oleh berbagai komponen juga menghasilkan penolakan serupa.
Kondisi tersebut sangat bertolak belakang dengan apa yang terjadi di kabupaten Manokwari.
Beberapa orang dan juga oknum pejabat tingkat I Papua justru tengah menyiapkan sebuah
Deklarasi Provinsi Irian Jaya Barat, sebuah cara yang sama sekali tidak dikenal dalam sistem
pemerintahan Indonesia. Keinginan mereka kemudian terlaksana setelah pada 6 Februari 2003,
Laksamana Muda (Mar) Purn. Abraham Atururi, resmi mendeklarasikan provinsi Irian Jaya Barat
dengan Manokwari sebagai ibukota provinsi. Abraham Atururi juga lantas mengangkat dirinya
sebagai pejabat sementara Gubernur Irian Jaya Barat.
Beragam reaksi dari berbagai komponen masyarakat mengiringi pendeklarasian tersebut. Di
kabupaten Mimika, sebagai ibukota provinsi Irian Jaya Tengah melalui ketua DPRD-nya,
Andreas Anggaibak menyikapi hal tersebut dengan mengatakan bahwa pendeklarasian provinsi
Irian Jaya Tengah tidak perlu terburu-buru, dan harus mendapatkan dukungan dari masyarakat.
Pernyataan ketua DPRD Mimika tersebut rupanya tidak bertahan lama. Pada tanggal 16
Februari 2003, ketua dan beberapa anggota DPRD Mimika menuju Jakarta guna
memperjuangkan pemekaran provinsi Irian Jaya Tengah. Pada tanggal 15 Juni 2003, para
Bupati di daerah provinsi Irian Jaya Tengah mengadakan pertemuan di Bali dan menyepakati
deklarasi provinsi Irian Jaya Tengah yang kemudian ditindaklanjuti dengan pertemuan serupa di
Biak pada 25 Juli 2003.
Persiapan terus dilakukan, hingga pada tanggal 21 Agustus 2003, bertempat di ruang sidang
DPRD Mimika, panitia deklarasi mengundang pihak Muspida: Bupati, Kapolres, Ketua
Pengadilan Negeri dan kepala Kejaksaan Mimika serta anggota DPRD sendiri, untuk duduk
bicara mengenai persiapan deklarasi. Awalnya pertemuan tersebut dilaksanakan pada 20
Agustus 2003, namun Bupati dari kabupaten lain tidak hadir, maka pertemuan ditunda keesokan
harinya. Dalam pertemuan 21 Agustus 2003 tersebut, panitia melaporkan perkembangan
persiapan pemekaran kepada Muspida Mimika.
Ketika itu Bupati dan beberapa anggota dewan meminta kepada ketua panitia untuk menunda
deklarasi, hal ini mengingat derasnya tuntutan pembatalan deklarasi. Bahkan Kapolres sendiri
sempat mempertanyakan keabsahan panitia deklarasi.
Tanggal 22 Agustus 2003, untuk ke lima kalinya, ratusan massa kembali melakukan aksi damai
di halaman DPRD Mimika untuk mengajukan tuntutan pembatalan deklarasi. Pada hari itu,
massa hanya bertemu dengan puluhan aparat keamanan yang menjaga kantor DPRD, anggota
dewan sendiri tidak ada yang berada di tempat. Sampai sekitar pukul 16.00, tidak ada satupun
anggota dewan yang menemui massa kontra, akhirnya beberapa tetua adat bersepakat untuk
melakukan ritual adat di Graha TDS, rencana lokasi kantor gubernur, dengan maksud untuk

Tragedi Pemekaran Berdarah 12


melarang segala macam acara deklarasi di tanah adat. Setelah itu massa kembali ke DPRD.
Sekitar pukul 19.00, beberapa ibu-ibu masih bertahan di kantor DPRD meski beberapa orang
lainnya sudah meninggalkan kantor dewan.
Malam harinya, sekitar pukul 20.00 WIT, panitia kembali melakukan pertemuan dengan Muspida
Mimika ditambah dengan ketua DPRD Paniai dan Nabire di hotel Sheraton. Mengetahui hal ini,
ibu-ibu yang masih bertahan di kantor DPRD, meski tanpa undangan, memaksakan diri untuk
ikut dalam pertemuan tersebut.
Pertemuan yang dipimpin langsung oleh Andreas Anggaibak tersebut kembali melaporkan
persiapan panitia kepada Muspida. Pada pertemuan tersebut, semua Muspida Mimika dan juga
beberapa anggota dewan yang juga hadir pada saat itu serta ketua DPRD Paniai dan Nabire,
meminta panitia untuk menunda deklarasi. Bahkan Kapolres sendiri mengatakan tidak bersedia
mengamankan jalannya deklarasi jika keabsahan panitia tidak jelas. Kelompok ibu-ibupun
menyuarakan hal yang sama.
Meski demikian, Andreas Anggaibak selaku ketua panitia deklarasi seakan tidak mau
menggubris peringatan semua peserta rapat dan tetap pada pendiriannya: melaksanakan
deklarasi pada keesokan harinya, 23 Agustus 2003. Bahkan ketika itu, Andreas Anggaibak,
sang ketua DPRD sempat mengeluarkan kalimat sebagai berikut:
“Kalian ibu-ibu kerjanya hanya bikin kacau terus, di mana ada kekacauan pasti
saja ada kalian. Saya tidak akan mundur. Saya hukum, saya tentara, saya laki-
laki. Bukan perempuan yang balik dan naiki saya, tapi saya yang balik dan naiki
perempuan, saya akan tanggung jawab kalau nanti ada korban”.
Rapat mengalami jalan buntu dan tidak ada kesepakatan. Andreas Anggaibak tetap dengan
keinginannya untuk terus melakukan acara deklarasi.

Kronologis Deklarasi Provinsi Irian Jaya Tengah


Provinsi Irian Jaya Tengah dideklarasikan pada hari Sabtu, 23 Agustus 2003, di Graha Tata
Disantara, Timika. Kronologisnya sebagai berikut:

Pukul 07.00 : massa kontra pemekaran yang melakukan demonstrasi sejak beberapa hari
sebelumnya telah memenuhi ruas Jl. Cenderawasih, tepat di hadapan kantor
DPRD Mimika. Sementara itu, massa pro pemekaran telah melakukan persiapan
deklarasi Provinsi Irian Jaya Tengah di Graha TDS sejak malam harinya.
Pukul 08.00 : massa pro pemekaran melakukan pawai keliling kota Timika dengan
menggunakan beberapa buah truk dan ratusan ojek. Massa juga mengusung
papan nama kantor gubernur provinsi Irian Jaya Tengah di atas sebuah truk. Di
atas mobil, terlihat beberapa orang dengan pakaian seragam sekolah. Kelompok
ojek terlihat di bagian depan dan di belakang mereka menyusul beberapa buah
mobil. Rombongan pawai dipimpin langsung oleh beberapa anggota Dewan:
Hasan Adadikam dan Samsudin Labok.
Pukul 09.00 : massa pro pemekaran yang tengah melakukan pawai kini memasuki ruas jalan
Cenderawasih. Pada saat yang sama, ruas jalan tersebut – di depan kantor
DPRD – telah dipadati oleh massa kontra pemekaran yang tengah melakukan
protes. Massa pro pemekaran yang hendak meneruskan pawai dihadang dan
tidak diperbolehkan untuk lewat di depan kantor DPRD. Seketika suasana sedikit
memanas. Massa kontra tetap tidak bersedia memberikan jalan kepada massa
pro pemekaran. Setelah negosiasi, massa pro akhirnya mundur dan kembali ke
Jl. Yos Sudarso dan berputar melalui Jl. Mambruk terus ke Jl. Budi Utomo dan
hendak kembali ke Jl. Cenderawasih, sekitar 200-an meter dari kantor DPRD.

Tragedi Pemekaran Berdarah 13


Pukul 10.00 : mengetahui hal ini, massa kontra kembali menutup Jl. Budi Utomo. Dua
kekuatan massa yang saling berbeda tuntutan berdiri berhadap-hadapan dalam
suasana tegang. Beberapa tokoh di kedua belah pihak bertemu, Kapolres juga
hadir ketika itu. Solusinya: massa pro dibiarkan lewat, namun truk dan papan
nama kantor gubernur tidak boleh lewat. Ketika itulah, seorang oknum anggota
DPRD Mimika (Hasan Adadikam) yang memimpin pawai, dengan sangat kasar
meraung-raungkan motornya seakan menabrak kerumunan massa kontra.
Melihat hal ini, seorang tokoh dari kelompok kontra (Yopi Kilangin) kemudian
menarik kerah baju anggota dewan tersebut dan memperingatkannya bahwa
seorang anggota dewan tidak pantas untuk melakukan hal itu. Melihat insiden
ini, bagaikan dikomando, kedua massa langsung saling melemparkan batu dan
beberapa terlibat dalam perkelahian. Chaos. Tercatat 3 terkena lemparan batu di
pelipisnya dan langsung dievakuasi ke Rumah Sakit Mitra Masyarakat. Setelah
suasana dapat dikendalikan, massa pro pemekaran kemudian melanjutkan
perjalanan ke Graha TDS, sedangkan massa kontra kembali ke kantor DPRD
Mimika.
Pukul 11.00 : massa pro pemekaran yang kini telah berada di Graha TDS tengah menunggu
detik-detik acara deklarasi Provinsi Irian Jaya Tengah.
Pukul 12.00 : acara deklarasi provinsi Irian Jaya Tengah dimulai dan dipimpin langsung oleh
Andreas Anggaibak selaku ketua Panitia. Pembacaan deklarasi berturut-turut
dibacakan oleh 4 perwakilan daerah kabupaten: Sekda kabupaten Mimika,
Richard Kaemong, SE; Ketua DPRD Mimika, Andreas Anggaibak; Bupati Yapen
Waropen, Drs. Philipus Wona dan Ketua DPRD Paniai, Yakobus Muyapa.
Usai pembacaan deklarasi, Andreas Anggaibak langsung membuka selubung
papan nama Provinsi Irian Jaya Tengah yang diikuti oleh aplaus panjang dari
massa pro pemekaran.
Pukul 17.00 : massa kontra – yang setelah chaos bertahan di kantor DPRD – akhirnya
berangsur-angsur meninggalkan kantor DPRD. Sementara itu, massa pro
pemekaran masih terlihat memenuhi halaman Graha TDS. Suasana
kegembiraan di Graha TDS berlangsung sampai larut malam.

Tragedi Pemekaran Berdarah 14


BAGIAN TIGA:
BEBERAPA KEJADIAN PASCA-DEKLARASI

Pertikaian Horizontal
Usai pendeklarasian Provinsi Irian Jaya Tengah, pertikaian bersaudara antara massa pro dan
kontra pemekaran tidak terelakan. Ribuan masyarakat lokal dengan senjata tradisional seperti
panah, tombak, parang dan tulang kasuari terlibat dalam peperangan yang oleh Muspida
setempat menyebutnya: Perang Adat. Perang berlangsung selama 4 hari.
Pada hari pertama, Minggu, 24 Agustus 2003 – usai kebaktian di gereja – ratusan orang massa
kontra pemekaran bergerak menuju Graha TDS untuk menurunkan papan nama Provinsi Irian
Jaya Tengah. Suasana seketika menjadi rusuh sewaktu Andreas Anggaibak bersama massa
pro pemekaran berusaha untuk menghalangi kelompok kontra. Pada hari ini, Jemy Kibak, salah
seorang dari massa kontra yang terkena lemparan batu dari Andreas Anggaibak langsung
meninggal dunia. Andreas Anggaibak tidak hanya menggunakan batu untuk menghalau massa
kontra pemekaran, tapi juga mengambil anak panah dari dalam Graha TDS dan kemudian
mengarahkannya kepada kelompok massa kontra. Pada hari ini, massa kontra belum membawa
senjata (panah, tombak dan lainnya) sedangkan massa pro pemekaran yang berada di dalam
Graha TDS telah mempersiapkan diri dengan berbagai jenis senjata tradisional.
Konflik berubah menjadi perang. Pada hari ke 2, Senin 25 Agustus 2003, perang terbuka
tersebut disaksikan oleh Kapolres Mimika, AKBP Drs. Paulus Waterpauw; Dandim 1710/Timika,
Letkol Togap F. Gultom serta Dansat Brimob Detasemen B Mimika, IPTU Widianto. Hari ini,
Tinus Mom, massa dari kelompok pro pemekaran meninggal dunia, kemudian menyusul Teris
Murib (kontra). Setelah itu Lambertus Uniyoma dari massa pro meninggal pada hari Rabu, 27
Agustus 2003. Pada Rabu malam, Yulita Takati menjadi korban terakhir pada pertikaian
langsung tersebut.
Beberapa hari setelah itu, ratusan massa di kelompok pro dan kontra pemekaran masih kerap
terlihat dengan senjatanya mendatangi lokasi perang (yang telah ditentukan secara adat), namun
tidak lagi terlibat dalam peperangan.
Data yang sempat kami himpun mencatat 5 orang meninggal dunia, puluhan lainnya mengalami
luka ringan dan berat selama kontak senjata. (Data korban terlampir). Angka yang disampaikan
kelompok kontra pemekaran berjumlah 120 orang.

Pengrusakan dan Penjarahan Rumah Penduduk


Sejak pecahnya perang terbuka tersebut, beberapa daerah yang merupakan hunian penduduk
sipil menjadi korban pengrusakan dan sebagian besar isi rumahnya seperti TV, tape, pakaian,
ijazah sekolah, SK PNS, peralatan dapur dan yang lainnya dijarah oleh sekelompok orang yang
tidak bertanggungjawab. Tidak hanya itu, penjarah juga mengambil ternak milik masyarakat
seperti babi dan ayam. Seorang informan mengatakan bahwa, di jalur V Satuan Pemukiman
(SP) II, massa penjarah dipimpin oleh Bonifasius Solme – salah seorang kepercayaan Andreas
Anggaibak. Penjarah kerap kali melaksanakan aksinya dengan menggunakan truk.
Pengrusakan dan penjarahan rumah terus terjadi sampai memasuki minggu ke empat sejak
acara deklarasi Provinsi Irian Jaya Tengah. Sebagian besar rumah yang dijarah berada di
pinggiran kota: Jl. Baru dan Jl. Cenderawasih, dan di Satuan-satuan Pemukiman: SP II, III, V,
VI, IX dan XII. (data korban terlampir).
Pada waktu yang bersamaan. Empat anggota DPRD Mimika juga didatangi oleh sekelompok
orang yang hendak mengambil secara paksa mobil dinas mereka. HM. Arsyad Ilham, salah

Tragedi Pemekaran Berdarah 15


seorang anggota DPRD yang menjadi korban, pada saat ditemui di rumahnya, 29 Agustus 2003,
mengatakan demikian:
“Saya baru saja didatangi oleh sekitar 20 orang dengan membawa panah dan
tombak, mereka mencari saya dan hendak merampas mobil dinas saya. Mereka
bilang bahwa mereka disuruh oleh Mus Pigay”.
Atas kejadian ini, Mus Pigay, yang merupakan anggota DPRD dari fraksi PDKB tidak berada di
tempat untuk dikonfirmasi.

Pemerkosaan Terhadap Perempuan


Mengiringi aksi penjarahan di atas, beberapa perempuan juga menjadi korban perkosaan. Dua
di antara delapan perempuan korban perkosaan yang sempat teridentifikasi dalam keadaan
hamil. Umumnya korban diperkosa lebih dari satu orang. Bahkan seorang ibu yang rumahnya
dijadikan lokasi perkosaan di jalur V SP II, mengakui bahwa salah satu korban diperkosa oleh
30 orang laki-laki. IM, salah satu korban perkosaan yang sementara hamil dua bulan mengaku
mengalami perkosaan sebanyak dua kali, pertama hanya satu orang di Jl. Baru, tetapi pada
kejadian ke dua, korban diperkosa oleh lima orang di Kwamki Baru. (Data korban terlampir).
Salah satu Kronologis Pemerkosaan terhadap seorang Ibu yang sementara hamil:
 Kejadian I: 29 Agustus 2003
Sekitar pukul 12.00 WIT, saya pergi ke kebun untuk mengambil sayur di Jl. Baru. Tiba-tiba
dikejar oleh satu orang dari suku Moni. Kemudian saya berlari masuk ke rumah bapak
Simon. Saya lari ke kamar, tapi laki-laki itu kemudian menyusul ke kamar pula dan dia
meniduri saya. Saya minta tolong tetapi tidak ada satupun orang yang dapat menolong,
karena semua orang yang ada di Jl. Baru telah mengungsi. Beberapa saat setelah itu, saya
memberhentikan seorang tukang ojek. Tetapi karena terlalu sakit dan tidak bisa jalan, maka
laki-laki yang tadi memperkosa saya sempat juga menolong saya mengangkatkan barang
(sayuran). Akibat peristiwa ini saya tidak bisa makan dan tidur. Saya merasa tidak bersalah
tapi mengapa saya dibuat seperti begini. Saya ketakutan, mengapa tidak ada orang yang
mau membela saya. Beberapa hari kemudian, saya pergi ke RSMM untuk memeriksa diri.
Dari hasil pemeriksaan dokter, saya dianjurkan tidak boleh bekerja keras, misalnya
mengangkat air dan lain-lain. Semenjak perang ini saya tinggal di camp suku Moni dan
Amungme di bawah pimpinan Darius Beanal di Kwamki Baru. Di tempat ini, mau tidak mau
saya harus bekerja untuk memasak, mengangkat air untuk keperluan para laki-laki yang
berperang dari kelompok kontra.
 Kejadian II: Senin, 8 September 2003, sekitar pukul 15.00 WIT.
Pada jam tersebut, saya mau pergi mengambil kain di rumah Andreas Anggaibak, Ketua
DPRD, di Kwamki Baru (yang telah diduduki oleh kelompok Dani, kontra pemekaran) saya tidak
tahu ketua kelompoknya. Karena hujan terus di luar, maka saya menggunakan payung.
Tiba-tiba di pertigaan jalan ada 2 kelompok orang dari suku Dani yang duduk. Saya tidak
mengenal dengan pasti wajah-wajah mereka. Di tempat ini mereka mengerubungi saya,
mengangkat saya dan terus memukul badan, kaki, tangan saya dengan menggunakan
payung. Mereka juga mendorong saya di depan sebuah mobil yang ada di tempat itu. Kaki
saya luka dan saya merontak-rontak. Mereka pun membuat lingkaran dan mendorong saya
dari satu orang ke orang lain yang membuat lingkaran. Akibat perlakuan itu saya merasa
pusing. Saya tidak tahu apa yang terjadi pada diri saya. Setelah itu, saya kemudian sadar
bahwa saya telah berada di kamar tidur Andreas Anggaibak. Dalam kesakitan, saya
mencoba untuk keluar namun ada seseorang yang menggunakan helm putih berdiri di
depan pintu dan terus mengancam saya. Saya tidak dapat berbuat apa-apa. Sementara itu
ada seorang laki-laki yang sedang tertidur, saya tidak kenal dia. Dia kemudian terbangun
dan langsung ke hadapan saya. Dia menarik celana dalam saya, kemudian memperkosa
saya. Setelah itu, masuk lagi laki-laki ke dua, juga memperkosa saya. Sedangkan laki-laki

Tragedi Pemekaran Berdarah 16


yang pertama masuk dan menutup mulut saya. Setelah 2 orang selesai, menyusul kemudian
orang ke tiga dan ke empat. Setelah itu, seorang laki-laki lain juga masuk kamar, tetapi dia
tidak memperkosa saya. Hal ini justru membuat laki-laki pertama marah kepada saya. Dia
mengambil korek api dan membakar leher saya. Saya tidak dapat berbuat apa-apa selain
pasrah. Laki-laki ke enam masuk pula ke kamar dan marah-marah, dia lantas mencekik
leher dan kepala saya diletakannya di atas lantai. Seluruh badan saya sangat sakit.
Beberapa saat kemudian, ada laki-laki lain lagi yang masuk ke kamar. Badannya besar, dia
marah kepada laki-laki lain dan dia pun berkata: “mengapa kalian berbuat demikian kepada
perempuan ini?”. Kata-kata itu terdengar seperti mau menolong. Tetapi kemudian dia juga
memperkosa saya.
Saya merasa sangat lemas sekali. Semua persendian saya sangat sakit, dan saya merasa
sangat tidak berdaya. Laki-laki terakhir ini kemudian mengambilkan pakaian saya dan
membantu saya memakainya. Setelah itu ada laki-laki lain lagi yang membantu saya keluar
dari kamar dan saya disuruh pulang.
Waktu saya diperkosa, banyak orang dari suku Dani di dalam rumah yang menonton saya.
Mereka juga mengatakan kata-kata demikian kepada saya: “Selama peperangan ini kami
orang Dani akan buat seperti ini kepada anak gadis Amungme dan para istri sampai perang
berakhir”. Karena saya tidak kuat jalan, maka 2 orang laki-laki mengantar saya pulang.
Sampai di rumah, saya membicarakan persoalan ini kepada teman saya, Kristin. Sampai
saat ini, saya dan juga orang Amungme lainnya terutama perempuan, sangat merasa
ketakutan.
(Berdasarkan penjelasan dokter yang menangani korban, sebenarnya korban tengah hamil. Akibat
perkosaan yang dideritanya, janin yang diperkirakan sudah berumur satu bulan dalam
kandungannya menjadi rusak).

Pengungsian
Pertikaian bersaudara ini telah menimbulkan perasaan mencekam di kalangan masyarakat
sendiri. Perasaan ini timbul setelah beberapa kelompok melakukan penjarahan dan pengejaran
terhadap masyarakat yang tidak ingin terlibat dalam pertikaian. Selain itu, keluarga dari
kelompok yang bertikai juga menjadi sasaran kemarahan bagi musuhnya. Rumah-rumah milik
masyarakat yang kontra pemekaran, yang kebetulan berada pada daerah yang dikuasai oleh
kelompok pro pemekaran akan menjadi sasaran kemarahan massa pro pemekaran. Begitupun
sebaliknya. Kondisi inilah yang menyebabkan ketakutan di hati masyarakat hingga
mengakibatkan mereka mengungsi.
Umumnya mereka adalah ibu-ibu, orang tua dan anak-anak. Beberapa laki-laki dewasa yang
tidak ingin terlibat dalam pertikaian juga terlihat di dalam kelompok ini. Mereka menyelamatkan
diri dengan pakaian yang hanya ada di badan. Mereka mengungsi di rumah saudara atau
kenalan mereka. Sebagian besar ditampung di kompleks Yayasan Hak Asasi Manusia Anti
Kekerasan (YAHAMAK) milik Mama Yosepa Alomang. Beberapa di antaranya justru lari
menyelamatkan diri ke dalam hutan.

Penculikan dan Penyekapan Terhadap Abner Daundi


Pada Minggu, 31 Agustus 2003, terjadi penculikan dan penyekapan terhadap seorang aktivis
HAM oleh 6 orang yang tidak dikenal. Korban yang juga berprofesi sebagai pendamping di
YAHAMAK diculik dan disekap sejak pukul 22.00 WIT sampai pada pukul 19.00 keesokan
harinya. Motif penculikan tidak diketahui, tetapi yang pasti bahwa korban mengaku mendapat
pertanyaan seputar pemekaran Provinsi Irian Jaya Tengah. Mesi demikian, korban mengaku
tidak disiksa oleh penculiknya.

Tragedi Pemekaran Berdarah 17


 Kronologi:
Ketika itu, hari Minggu, 31 Agustus 2003. Saya pulang ke rumah di Jl. Kartini sudah sekitar
pukul 21.00 WIT bersama seorang teman kuliah yang sekarang kerja di PT. Freeport.
Sekitar pukul 22.00, saya hendak mengantar teman saya ke jalan raya (jarak antara rumah dan
jalan raya sekitar 50-an meter) untuk pulang. Ketika kembali ke rumah, di pinggir jalan masuk
ke rumah saya ada mobil kijang. Sepertinya berwarna merah tua. Saya dipanggil oleh
seseorang dari mereka, “Abner” dan saya jawab: “ya”. Dia bilang: “Mari ke sini”. Saya pikir
teman saya. Ketika saya mendekat, tangan kanan saya dipegang, ketika itu posisi saya
sudah di depan pintu mobil, dan tiba-tiba seseorang mendorong saya masuk ke dalam
mobil. Sementara di dalam mobil, saya melihat ada empat orang laki-laki lain. Semuanya
mengenakan tutup muka sehingga saya tidak bisa mengetahui siapa mereka. Mobil lantas
dijalankan.
Saya diperintahkan untuk duduk di dasar mobil, di depan jok tengah. Saya tidak
diperbolehkan duduk di atas jok. Setahu saya, mobil menuju ke arah Sempan. Kemudian
saya sudah tidak tahu arah kami, karena perjalanan sudah sekitar 1,5 jam. Saya tidak tahu
berada di tempat mana.
Ketika berada di dalam kamar, saya mulai diberondong dengan berbagai macam pertanyaan
seputar pemekaran: “Kenapa kamu menolak pemekaran”, “Kau tahu pemekaran itu untuk
bantu orang Papua yang bodoh supaya menjadi pintar, kenapa kau tidak mendukung”,
“kenapa kau bersama-sama dengan Yopi Kilangin, Thomas Wanmang dan Hermina Pigay”.
Saya jawab: “saya hanya datang melihat kondisi, apa yang terjadi. Sehingga kalau mama
(Yosepha Alomang) menelephon saya untuk menanyakan perkembangan, saya bisa mudah
menjawab, saya juga memberikan masukan kepada masyarakat untuk tidak boleh ada
perang dan tidak boleh ada konflik, saya harus netral”.
Mereka kemudian bilang: “Kalau begitu kamu bilang ke Yopi Kilangin, Thomas dan Hermina
untuk mendukung pemekaran, progam Andreas Anggaibak itu bagus untuk memanusiakan
kamu orang Papua”. Saya jawab: “sebagai lembaga (HAMAK), saya tidak boleh menolak
aspirasi masyarakat yang begitu banyak, saya harus menerima aspirasi mereka, tapi
lembaga saya independen”. Mereka langsung potong: “Tidak bisa, anda harus mengikuti
pemekaran, kalau anda tidak mau, anda akan kami kasih hilang”. Saya bilang: “dalam posisi
begini, silahkan lakukan apa saja, saya sudah pasrah”. Mereka kemudian menanyakan
keterlibatan Kely Kwalik di dalam kelompok kontra pemekaran, tapi saya katakan bahwa
tidak ada sama sekali keterlibatan Kelly Kwalik di dalam perang ini. Karena saya tahu sekali,
ini aspirasi murni dari masyarakat. Saya juga katakan bahwa saya tidak mengerti maksud
bapak-bapak melakukan hal ini kepada saya.
Saya dipaksa untuk jujur menjawab pertanyaan mereka, kalau tidak saya akan dihilangkan,
begitu kata mereka. Saya juga diancam untuk tidak boleh memberitahukan hal ini kepada
siapa saja. “Kalau hal ini terbongkar, kami akan kasih hilang kamu”, begitu ancaman mereka
kepada saya. Sekitar pukul 15.00, saya diistirahatkan, tetapi hanya beberapa saat saja.
Setelah itu masuk empat orang lagi dan kembali memberondong saya dengan pertanyaan
masih seputar pemekaran. Sekitar pukul 18.45, saya dikeluarkan dan masuk kembali ke
dalam mobil.
Setelah sekitar 1,5 jam perjalanan, saya kemudian diperintahkan untuk turun. Saya awalnya
tidak tahu di mana saya diturunkan, yang pasti sangat sepi dan gelap. Hanya berkas cahaya
lampu bandara yang menjadi patokan saya. Beberapa saat, saya baru sadar kalau saya
ternyata diturunkan di belakang SMU Negeri 1. Saya kemudian berjalan dan mencari ojek
untuk kemudian mengantar saya ke HAMAK, saya tidak berani kembali ke rumah. Waktu itu
memang saya tidak bisa berbuat apa-apa, karena HP saya diambil, dompet saya juga
diperiksa sama mereka. Saya disekap dari pukul 22.30 tanggal 31 Agustus 2003, sampai
dengan sekitar pukul 19.00 tanggal 1 September 2003. Selama dalam penyekapan, saya
tidak pernah diberi makan dan minum.

Tragedi Pemekaran Berdarah 18


Saya menduga dari logat kalau mereka adalah pendatang, antara orang Manado atau orang
Batak, dan ada juga orang Jawa. Postur badan mereka tegap-tegap, saya yakin itu bukan
orang Papua, apalagi orang Amungme.

Upaya Pembunuhan Kilat Beruntun serta Dampaknya


Pada hari yang sama dengan peristiwa penculikan dan penyekapan di atas, di beberapa titik di
kota Timika terjadi upaya pembunuhan terhadap enam orang warga sipil dalam waktu yang
relatif bersamaan. Korban umumnya adalah warga pendatang dan berprofesi sebagai tukang
ojek. Dua orang korban tukang ojek (Safarudin asal Bugis dan Ismail asal Buton) tidak sempat
terselamatkan meski telah mendapat perawatan di RS Mitra Masyarakat Timika (RSMM).
Sementara seorang tukang ojek lainnya sempat menjalani perawatan intensif di ruang ICU
RSMM Timika.
Satu dari enam orang korban adalah warga lokal yang ketika kejadian sedang berjalan kaki di
sekitar pasar Damai di Sempan. Korban, tukang ojek, yang selamat mengaku kalau pelakunya
adalah penumpangnya sendiri. Semua korban mengalami luka akibat tusukan benda tajam
sejenis pisau dari orang yang tidak dikenali oleh korban.
 Kronologis upaya pembunuhan terhadap tukang ojek
a. Safarudin: Pemuda asal Makassar, Sulawesi Selatan, tukang ojek yang terbunuh.
b. Ismail: pemuda asal Buton, Sulawesi Tenggara, tukang ojek yang terbunuh.
c. Longginus Wergudi (LW):
Pria kelahiran Manggarai – Flores pada 34 tahun lalu ini selain berprofesi sebagai tukang
ojek juga seorang loper koran di kota Timika. Sekitar pukul 21.00, keluar rumah menuju
ke arah Sempan. Di Jl. Yos Sudarso, seseorang menyetopnya dan memintanya untuk
mengantarnya ke kampung Karang Senang di SP 3 lewat Kwamki Lama. Untuk ke SP III
dari kota Timika, sebenarnya lebih dekat kalau lewat Jl. Cenderawasih, tapi sang
penumpang memintanya untuk memutar lewat Kwamki Lama.
Tiba di ujung lapangan pesawat terbang (bandara Timika), penumpang minta berhenti.
LW bertanya apakah penumpangnya akan turun di sini yang dijawab bahwa dia akan
turun di Kwamki Lama. LW melarikan motornya sampai di Kwamki Lama, sampai di
Kwamki Lama, sang penumpang memintanya lagi untuk meneruskan perjalanan ke SP
III. Tanpa curiga, LW pun mengikuti permintaan penumpangnya. Selama perjalanan,
mereka bercerita tentang kondisi jalan yang tidak baik tetapi kenapa ada saja orang yang
ingin Timika jadi provinsi. Ketika mendekati sebuah jembatan di ujung aspal di jalur V
Kwamki Lama, sang penumpang meminta LW untuk turun dan menuntun saja motornya
karena kondisi jalan yang licin (karena pada malam kejadian, hujan memang terus
mengguyur kota Timika). Beberapa saat ketika mereka berjalan beriringan, LW
merasakan sebuah benda sejenis kayu balok menghantam bagian kanan wajahnya dan
membuatnya terjatuh di semak-semak. Sang penyerang masih berusaha untuk
menyerang, namun LW segera berkelit dan berusaha untuk melarikan diri dalam
kegelapan malam. Setelah sekitar 1,5 km berlari, LW menemukan sebuah rumah dan
meminta pertolongan dari pemilik rumah. Selang beberapa saat, ada mobil aparat
keamanan yang lewat (padahal aparat keamanan ketika itu belum dihubungi) di depan rumah
dan pemilik rumah meminta mereka untuk menolong LW yang lantas oleh petugas patroli
dari Polsek Mimika Baru membawa LW ke RSMM.
LW menderita luka di bagian pipi kanan bagian bawah memanjang sampai ke bibir
depan. Gigi bagian bawah semua rontok, sehingga membuatnya sulit untuk berbicara,
apalagi mengunyah makanan.

Tragedi Pemekaran Berdarah 19


d. Markus Taruk (MT):
Baru setahun terakhir dia berada di Timika dari kampung halamannya di Toraja – Sulsel.
Malam itu sekitar pukul 21.00, ia baru keluar dari rumah kakaknya di Jl. Timika Indah II.
Setelah beberapa saat keliling kota mencari penumpang, bersama lima orang rekannya
sesama ojek akhirnya mendapatkan penumpang dengan tujuan yang sama: jalur II
Kwamki Lama. Beriringan mereka berlima menyusuri jalan sepanjang sekitar 3 km dari
kota Timika. Ketika akan kembali (empat orang temannya sudah berpencar) setelah
menurunkan penumpangnya di Kwamki Lama, masih di sekitar jalur II, seseorang
menyetopnya dan sang penumpang memintanya untuk mengantarkannya ke kota
Timika. Dengan kecepatan sekitar 80km/jam, tidak jauh dari gapura Kwamki Lama,
dalam kegelapan malam tiba-tiba dari arah kanan sedikit menyongsongnya, seseorang
yang berpakaian serba gelap berlari keluar dari semak-semak dan mencoba untuk
menusukan sesuatu ke arah dirinya. Dengan refleks, tangan kanannya yang masih
memegang stang motor mencoba untuk menepisnya hingga tusukan terus lolos dan
hanya menyerempet bagian dada sebelah kiri. Dalam keadaan terluka, MT masih
mencoba dan berhasil menguasai laju motornya. MT terus melarikan motornya dengan
penumpang yang masih berada di belakangnya langsung menuju ke Polsek Mimika Baru
untuk melapor, masih dengan penumpangnya.
MT menderita luka di bagian dada sebelah kiri, tetapi tidak sampai menembus rusuknya.
e. Bustami Gombo (BG):
Seorang pemuda asal Wamena. Malam itu sekitar jam 20.00 WIT, BG sedang berjalan di
sekitar pasar Damai Sempan – Timika. BG merasakan jika ada seseorang mengikutinya
dari belakang. Namun keadaan pasar yang cukup ramai membuatnya berpikir bahwa
mungkin saja orang lain yang juga lagi ada keperluan di pasar. Firasat BG rupanya
benar. Orang yang mengikutinya tersebut lantas menusukan sesuatu dari arah belakang
sebelah kiri dan mengenai di bagian rusuk. Benda tajam tersebut tepat berada di antara
dua tulang rusuk sebelah kirinya. Sadar akan bahaya, BG berusaha untuk berbalik. Pada
saat berbalik itulah, sebuah benda tajam kembali dihujamkan ke bagian dahinya, tepat di
antara dua buah kelopak matanya dan tertancap di sana tanpa sempat dicabut oleh
pelaku. Sang penyerang lantas lari, dan BG mencabut sendiri benda tajam yang
tertancap di dahinya. BG berlari ke arah Kwamki Lama di rumah saudaranya yang
berjarak sekitar 10 km dari TKP. Oleh keluarganya, BG lantas dibawa ke RSMM.
f. Anto:
Pemuda ini berusia 19 tahun dari Bugis – Sulawesi Selatan. Malam itu sekitar pukul
20.00 WIT. Dari arah Nawaripi, Anto mengambil penumpangnya. Tempat kejadian di
sekitar Sempan. Sang penumpang menusuknya dari belakang. Benda tajam tersebut
masuk lewat bagian belakangnya sebelah kiri dan tembus ke bagian perut. Anto
langsung menghubungi saudaranya yang kemudian melaporkan kejadian ke ketua
pangkalan ojek tempat Anto mangkal.
Tidak jelas apakah motor dalam keadaan berjalan atau berhenti ketika kejadian
berlangsung, Keluarga Anto yang dihubungi masih belum mau memberikan keterangan
yang lengkap dan terkesan mencurigai kedatangan kami. Anto sendiri belum sadar.
Di antara korban yang selamat, hanya Anto yang sempat mendapat perawatan di ICU dan
dalam keadaan koma, bahkan sempat diisukan telah meninggal dunia. Sedangkan
kronologis dari dua orang korban yang meninggal dunia tidak kami ketahui.

Keesokan harinya, 1 September 2003, suasana kota Timika tegang. Pasar Baru di Jl. Yos
Sudarso tutup. Para pedagang lebih memilih bergerombol membicarakan tindakan selanjutnya.
Beberapa di antara mereka terlihat membawa senjata (badik) yang diselipkan di pinggang.
Sementara itu, massa pendatang dengan jumlah mencapai ribuan orang terkonsentrasi di

Tragedi Pemekaran Berdarah 20


lapangan Timika Indah. Teriakan-teriakan bernada provokatif terdengar dari mereka, dan kian
mengentalkan nuansa konflik horizontal – kembali akan terjadi.

Dalam suasana demikian, Ketua KKSS, H. Arsyad Ilham, menemui massa dengan membawa
senjata tajam (parang panjang) yang diikatkan di pinggangnya, dan berorasi di atas panggung, di
hadapan ribuan massa. Setiap kali berorasi, massa selalu menyambutnya dengan teriakan
bernada provokatif pula. Salah satu penggalan orasinya demikian:
“Saudara-saudara semua harus mendengarkan saya. Saya adalah kepala suku
besar pendatang, dan saya yang akan memimpin kalian semua. Saya akan
memberikan kesempatan kepada pihak keamanan untuk mengamankan kota
Timika dalam waktu 50 menit. Jika polisi tidak mampu, saya selaku panglima
perang suku pendatang akan memimpin kalian untuk mengamankan kota
Timika”.
Di tengah-tengah orasinya, Muspida kabupaten Mimika yang terdiri dari Bupati, Kapolres,
Dandim, Dan Lanud, Dan Lanal serta Ketua Pengadilan Negeri Mimika telah datang menemui
massa. Sehingga kalimat-kalimat provokatif tersebut terdengar dengan jelas oleh mereka.
Massa kemudian meminta kepada Muspida untuk melucuti senjata-senjata tradisional yang
masih dipegang oleh kelompok kontra dan pro pemekaran. Kapolres dan Bupati kemudian
memberikan jawaban dan pernyataan untuk menenangkan emosi massa. Dikatakan bahwa,
kejadian semalam adalah tindakan kriminal murni dan tidak ada sangkut pautnya dengan
kejadian yang mengiringi pemekaran Provinsi Irian Jaya Tengah. Selain itu, Bupati juga
mengatakan bahwa akan mengeluarkan Maklumat setelah nanti bertemu dengan semua
komponen masyarakat di kota Timika.
Suasana semakin memanas ketika seorang korban (Ismail) dihadirkan dengan mobil ambulans
ke lapangan Timika Indah. Ketika itu massa sudah tidak lagi mempedulikan Muspida, dan Ketua
KKSS kembali meneruskan orasinya. Beberapa orang terlihat berteriak histeris sambil terus
mengucapkan kalimat yang bernada provokatif. Massa kemudian membawa mayat ke rumah
duka.
Sampai pukul 13.00, suasana lambat laun berangsur tenang kembali. Pada pukul 14.00,
Muspida mengadakan pertemuan dengan seluruh komponen masyarakat, termasuk kelompok
pro dan juga konra pemekaran di Hotel Serayu dan berhasil mengeluarkan Maklumat. (Isi
maklumat terlampir). Untuk diketahui, sebelum pertemuan secara keseluruhan bersama seluruh
komponen masyarakat lainnya, Muspida terlebih dahulu mengadakan pertemuan tertutup
dengan perwakilan dari kelompok pro dan kontra pemekaran. Isi pertemuan tidak diketahui
secara pasti.

Mayat Misterius
Pada tanggal 30 Agustus 2003, sesosok mayat ditemukan terapung di sebuah kolam sekitar
bandara. Korban diidentifikasi sebagai etnis pendatang dan berjenis kelamin laki-laki. Pada
tanggal 12 September 2003, kembali sesosok mayat perempuan pribumi ditemukan di sebuah
kebun milik Ny. Halija, suku Buton, di dekat kantor KPKN Jl. Cenderawasih, dekat markas
kelompok pro pemekaran. Kondisi mayat sudah rusak, bahkan tengkorak kepalanya sudah
kelihatan sehingga wajah sudah tidak dikenali. Korban diperkirakan telah meninggal dunia
seminggu sebelum ditemukan.

Tragedi Pemekaran Berdarah 21


BAGIAN EMPAT:
PERAN PARA PIHAK

Pemerintah Pusat dan BIN


Ketika hari pertama munculnya pertikaian, Minggu, 24 Agustus 2003, Menko Polkam Susilo
Bambang Yudhoyono langsung menetapkan Provinsi Irian Jaya Tengah dalam keadaan status
quo. Mendagri yang telah mengeluarkan radiogram dalam rangka menindaklanjuti Inpres No.
1/2003 menyatakan keheranannya terhadap orang Papua yang mempersoalkan pemekaran
provinsi tapi tidak meributkan pemekaran kabupaten. Mendagri juga menyinggung tidak adanya
pertentangan antara UU No. 45/1999 dengan UU No. 21/2001. Selain itu Menteri Hukum dan
HAM Yusril Izha Mahendra mengeluarkan statement akan melakukan upaya sinkronisasi
terhadap UU No 45/1999 dan UU No.21/2001 namun tidak jelas UU mana yang dilakukan
sinkronisasi terhadap UU yang lainnya serta pasal-pasal yang disinkronisasikan.
Sedangkan Presiden Megawati menyayangkan timbulnya korban dalam deklarasi Provinsi Irian
Jaya Tengah tersebut. Presiden juga menyebutkan bahwa proses pemekaran tidak semudah
membalik telapak tangan. Presiden bahkan kembali menyalahkan daerah karena belum siap
tetapi sudah meminta pemekaran. Sehingga menimbulkan kesan bahwa kedua UU tersebut
merupakan kebijakan pemerintah pusat yang tidak bisa ditawar-tawar t yang tidak bisa ditawar-
tawar rintah pusat yang masih tetap berusaha mempertahankan ke dua UU tersebut agar
dilakukan bersamaan tanpa ada jalan keluar yang konkrit mengenai pelaksanaannya.
John Letsoin, anggota fraksi PDIP di DPRD Mimika menyebutkan keterlibatan Depdagri dan
Badan Intelijen Negara (BIN) dalam proses deklarasi Provinsi Irian Jaya Tengah. Hal ini
diungkapkannya pada sebuah pertemuan antara Komnas HAM dengan anggota DPRD Mimika
di ruang sidang DPRD pada 9 September 2003 lalu, sebagai berikut:
“Ada keterlibatan BIN di dalam proses ini. Mereka pasti menyangkalnya tetapi
saya sangat yakin akan hal ini. Sejak sebulan lalu, dua orang anggota BIN selalu
datang ke sini, yang satu bernama Marthen, tapi yang satunya saya lupa. Kita
sebenarnya sudah mengingatkan ketua DPRD untuk menunda deklarasi, tetapi
dia sudah terlalu diyakinkan oleh BIN”.
Sedangkan keterlibatan Depdagri, John melanjutkan bahwa:
“Ada bisikan-bisikan dari Depdagri yang menyatakan bahwa, sudah, laksanakan
saja, siapkan papan namanya dulu, nanti yang lainnya menyusul”.
Informasi yang didapat dari seorang pastor (masih memerlukan bukti yang lebih akurat)
menyebutkan bahwa ketika terjadi pertemuan di Biak antara para Bupati di wilayah Provinsi Irian
Jaya Tengah, Bupati Nabire yang waktu itu tidak ingin menandatangani persetujuannya
terhadap pemekaran ditodong oleh anggota BIN dengan senjata di kepalanya. Sehingga
dengan sangat terpaksa dia memberikan persetujuannya. Bahkan dikabarkan beberapa
muspida di beberapa tempat didatangi oleh BIN agar mendukung pembentukan propinsi Irian
Jaya Tengah.

Pemerintah Provinsi Papua


Indikasi keterlibatan pihak pemerintah provinsi Papua dalam kelompok kontra pemekaran
disebutkan oleh beberapa orang anggota DPRD dalam pertemuannya dengan anggota Komnas
HAM pada tanggal 9 September 2003 lalu. seperti yang disampaikan oleh John Letsoin berikut
ini :

Tragedi Pemekaran Berdarah 22


“Saya melihat ada keterlibatan pemerintah provinsi dalam kelompok kontra ini
sebagai penyandang dana. Kalau tidak, dari mana mereka mendapatkan uang
untuk membayar ongkos puluhan truk seharga 400 ribu sehari? Dan juga untuk
memberikan makan ribuan orang? Kita semua tahu bahwa ada pertentangan
yang serius antara Gubernur Papua dengan Ketua DPRD Mimika”.
Ketika itu, bahasa serupa yang mendukung kalimat John Letsoin ini juga dilontarkan oleh
beberapa anggota DPRD lainnya. Di antaranya adalah dari wakil ketua I DPRD Mimika,
Wilhelmus Tahalele.
“Saya sependapat dengan pak John Letsoin. Dari mana uang untuk membayar
puluhan truk dengan harga 400 ribu per hari, belum lagi dengan memberikan
makan ribuan orang yang demo dan ikut perang. Ini benar bahwa ada indikasi
adanya penyandang dana dari kelompok kontra”.
Yang lebih jelas tentang hal ini terlontar dari seorang tokoh masyarakat Amungme yang juga
merupakan tokoh di LEMASA, Viktor Beanal. Beliau mengatakan:
“Gubernur Papua sudah banyak memberikan bantuan dana kepada kelompok
kontra sejak aksi demonstrasi sampai pada saat perang dan menjelang proses
perdamaian. Saya lihat sendiri uangnya yang diterima oleh Yopi Kilangin dan
memberikannya kepada Hermina Pigay untuk memegangnya”.
Seorang aktivis LSM di Timika juga menyebutkan juga bahwa dia pernah melihat langsung
kwitansi yang berasal dari Gubernur Papua, dan tidak hanya berjumlah satu lembar. Hal ini
diketahuinya ketika kantor LSM tersebut dipakai untuk melakukan transaksi antara tokoh-tokoh
kontra pemekaran (seseorang yang ditunjuk untuk itu) dengan sopir truk yang dipakai pada saat
aksi: menuju perang, atau pada saat kosentrasi massa lainnya. Untuk diketahui, kantor lembaga
aktivis LSM tersebut berada tepat di tengah-tengah markas kelompok kontra pemekaran di
Kwamki Baru.
Ketika hal ini dikonfirmasikan ke beberapa tokoh kontra pemekaran, mereka menolak adanya
bantuan tersebut. Bahkan Gubernur Papua dalam beberapa pernyataan persnya secara tegas
juga menolak dengan mengatakan bahwa keinginan menolak pemekaran itu datang dari bawah
yakni dari masyarakat Timika sendiri.

Pemerintah Kabupaten Mimika


Bupati mengaku bahwa panitia deklarasi Provinsi Irian Jaya Tengah tidak pernah melakukan
koordinasi dengan Muspida kabupaten Mimika. Muspida dilibatkan pertama kalinya oleh panitia
pada tanggal 21 Agustus 2003, ketika persiapan panitia sudah memasuki tahap terakhir.
Bupati Mimika memang tidak menandatangani isi Deklarasi Bali yang menyatakan dukungan
dari Bupati dan ketua DPRD di wilayah Provinsi Irian Jaya Tengah terhadap pemekaran
provinsi. Tidak jelas apakah Bupati hadir dalam pertemuan tersebut atau tidak. Melihat besarnya
tuntutan pembatalan dari masyarakat, Bupati merasakan akan adanya konflik jika ini diteruskan,
sehingga ketika pertemuan dengan panitia tanggal 21 Agustus 2003 di kantor DPRD dan
tanggal 22 Agustus 2003 malam di hotel Sheraton, Bupati telah mengusulkan untuk menunda
acara pendeklarasian Provinsi Irian Jaya Tengah. Menurut Bupati, pihaknya tidak berhak untuk
membatalkan acara deklarasi tersebut. Benar bahwa Bupati tidak hadir ketika acara deklarasi di
Graha TDS. Tapi kehadiran Sekda kabupaten Mimika, Richard Kaemong, yang juga ikut
membacakan naskah deklarasi ketika itu harus juga dibaca sebagai keterlibatan pihak
Pemerintah kabupaten secara institusi.
Tentang pertikaian antara masyarakat lokal yang telah memakan korban, Bupati menilai hal itu
adalah perang adat. Sehingga pemerintah kabupaten menyerahkan sepenuhnya kepada
masyarakat adat untuk menyelesaikannya sendiri dan pemerintah kabupaten tidak berhak untuk
ikut campur. Hal ini disampaikannya ketika menerima rombongan Komnas HAM pada 10

Tragedi Pemekaran Berdarah 23


September 2003, di kediamannya, Rumah Negara. Pemerintah hanya mendesak kepada
masing-masing Way Mum (yang punya persoalan) untuk segera menyelesaikan pertikaian ini.
Akibat pertikaian muncul berbagai masalah seperti kerusakan tempat tinggal, penjarahan dan
pengungsian. Akan tetapi dengan tegas bupati tidak mau mengakui ada masyarakat yang
mengungsi. Menurutnya laporan tentang adanya pengungsi terlalu dipolitisir oleh pihak-pihak
tertentu. “Kalaupun ada, itu adalah konsekuensi dari perang adat, begitu juga dengan timbulnya
penjarahan di berbagai lokasi pemukiman penduduk, itu juga konsekuensi dari perang adat”.
Demikian penegasan dari orang nomor satu di Timika.
Untuk mengatasi kondisi keamanan pasca terbunuhnya tukang ojek dan melakukan penertiban
penduduk, tidak hanya masyarakat Timika, tetapi juga masyarakat yang hendak berkunjung ke
Timika (mencegah masuknya provokator) pada tanggal 1 September 2003, Bupati Mimika
kemudian mengeluarkan Maklumat dengan nomor 01/Bup/MMK/2003. Namun pelaksanaan di
lapangan, tidak lebih dari sekedar formalitas belaka, bahkan kian memberatkan masyarakat.
Sebagai contoh, di sebuah tempat sweeping, setiap orang yang kedapatan tidak membawa KTP
diharuskan membayar uang sebesar Rp. 20.000,- tetapi tidak diberikan sesuatu sebagai bukti
bahwa telah membayar, atau untuk pengurusan KTP nantinya. Ketika tiba pada sebuah tempat
sweeping lainnya, orang tersebut akan mengalami perlakuan yang sama: membayar Rp. 20.000,-
lagi dan juga tidak diberikan sesuatu sebagai bukti pembayaran.
Dengan metode demikian, cukup efektifkah mengantisipasi masuknya provokator? Kondisi ini
tidak disadari justru menjadi lahan korupsi serta pungli sejumlah oknum pejabat pemerintah.
Berapa jumlah uang yang terkumpulkan serta dipergunakan untuk apa? Tidak jelas.

Kepolisian
Ketika pihak kepolisian (Kapolres) diundang pada pertemuan dengan panitia pada tanggal 21
Agustus 2003 dan 22 Agustus 2003, Kapolres sudah menghimbau kepada ketua panitia untuk
menunda deklarasi. Ketika itu Kapolres mempertanyakan keabsahan panitia deklarasi Provinsi
Irian Jaya Tengah. Bahkan Kapolres juga sempat mengatakan bahwa jika keabsahan panitia
tidak jelas, maka aparat kepolisian tidak siap untuk mengamankan jalannya deklarasi. Dapat
diindikasikan bahwa pihak Polres telah memprediksikan kemungkinan adanya konflik jika hal ini
dipaksakan, namun ketika itu, Kapolres tidak secara tegas melarang pelaksanaan acara
deklarasi.
Terhadap pertikaian yang terjadi – sama halnya dengan Bupati Mimika – Kapolres menilai
bahwa pertikaian masyarakat pro dan kontra terhadap pemekaran sebagai persoalan adat:
Perang Adat. Atas persoalan ini, Polisi senantiasa mengedepankan pendekatan persuasif
berpola adat. Hal ini tampak dari setiap kali pernyataan Kapolda Papua tentang perlunya
memahami tradisi daerah setempat dan menjadikan adat sebagai pola penyelesaian masalah.
Hal ini yang menyebabkan penanganan dari pihak terkesan sangat lamban dalam meminimalisir
lokasi, waktu dan korban yang timbul akibat pertikaian. Aparat keamanan hanya setia berjaga-
jaga di dalam kota dan beberapa kantor pemerintahan. Meski kasus penjarahan dan
pemerkosaan di beberapa daerah pinggiran kota telah dilaporkan ke pihak kepolisian, toh aparat
keamanan tidak segera menempatkan personilnya di daerah-daerah rawan tersebut atau
komunitas-komunitas lainnya yang rawan konlfik. Kelambanan aparat kepolisian ini diakui juga
oleh beberapa anggota DPRD Mimika. John Letsoin bahkan menyebutkan bahwa aparat
keamanan menjadikan kasus ini sebagai proyek.
Selama Timika dalam status siaga I, pihak kepolisian hanya mendatangkan 1 SSK pasukan
Brimob dari Polda Sulawesi Selatan dan 1 SSK dari Polda Papua. Ketika Maklumat Bupati
keluar, aparat keamanan masih belum terlihat tegas dalam mengamankan maklumat tersebut.
Di beberapa lokasi di dalam kota, masih nampak terlihat beberapa orang dengan membawa
senjata panah dan tombak yang hanya dibiarkan begitu saja oleh aparat keamanan. Ketika ada
rumah-rumah penduduk yang dijarah oleh sekelompok orang, polisi bersikap malas tahu, tapi

Tragedi Pemekaran Berdarah 24


ketika mobil dinas beberapa anggota DPRD dijarah oleh sekelompok orang pula, pihak
kepolisian langsung bereaksi cepat menangkap mereka. Aparat kemudian sempat menahan
beberapa orang penjarah mobil dinas anggota DPRD tersebut, tapi karena tuntutan rekan-rekan
dan keluarganya, mereka kemudian dilepas. Lagi-lagi karena pertimbangan adat.
Kabid Humas Polda Papua, Kombes Drs. Daud Sihombing, SH, menyatakan bahwa ada
keterlibatan beberapa oknum pejabat di pusat dalam pemekaran ini. Mengenai keterlibatan
oknum pejabat di tingkat pusat ramai menjadi polemik antara POLDA Papua, Gubernur Papua,
pihak Depdagri dan BIN di media massa. Namun ketika didesak oleh pihak Depdagri, Daud
Sihombing tidak bersedia menyebutkannya.
Sementara itu, Kapolres sangat membatasi diri terhadap pertemuan-pertemuan yang di luar
pertemuan dengan Muspida. Hal ini nampak dari tidak bersedianya beliau untuk bertemu
dengan kami dan juga menolak bertemu dengan Komnas HAM.

DPRD Mimika
Ketika Inpres No. 1/2003 turun dan Provinsi Irian Jaya Barat telah resmi dideklarasikan, maka
pada 15 Februari 2003, sebanyak 23 dari 25 jumlah keseluruhan anggota DPRD Mimika segera
menghadap Jakarta untuk menyampaikan dukungannya terhadap Inpres No.1/2003 terutama
tentang pembentukan propinsi Irian Jaya Tengah. Selain itu sebanyak 24 orang anggota dewan
kemudian menindaklanjutinya dengan membuat dan menandatangani pernyataan dukungan
terhadap Inpres No. 1/2003 tersebut. Seorang anggota dewan mengakui bahwa aspirasi yang
telah disampaikan ke Pusat tersebut tidak melalui mekanisme pengambilan keputusan formal di
DPRD seperti rapat Panmus, rapat dewan atau rapat paripurna misalnya. Aspirasi yang mereka
sampaikan tersebut – menurut beberapa anggota dewan, bertujuan hanya untuk mengamankan
perintah presiden dan menjalankan amanat UU No. 45/1999, karena memang UU ini belum
dicabut. “Kenapa daerah lain (maksudnya: daerah Irian Jaya Barat) bisa melakukannya sementara
di sini tidak”. Demikian salah satu pernyataan mereka.
Menurut ketua panitia deklarasi yang juga ketua DPRD Mimika, bahwa semua anggota DPRD
Mimika adalah juga merupakan panitia deklarasi, meski mereka sendiri tidak pernah mengetahui
atau melihat, atau diperlihatkan adanya SK kepanitiaan tersebut. Sejak acara deklarasi, tidak
ada satupun anggota dewan yang berada di kantor. Sampai ketika tim Komnas HAM Jakarta
menemui mereka pada tanggal 9 September 2003 lalu, itupun hanya 12 orang yang hadir.
Sampai sekarang, belum ada satupun pernyataan resmi dari DPRD Mimika guna menyikapi
pertikaian masyarakat yang mereka wakili serta impilikasi yang timbul karenanya. Justru di
beberapa kesempatan anggota DPRD Mimika sangat menyayangkan sikap yang telah diambil
oleh kelompok kontra pemekaran, dan menuduh bahwa kelompok kontra telah menjadi
kekuatan yang bergabung dengan kelompok TPN/OPM. Beberapa di antara mereka justru
menyalahkan kebijakan pemerintah pusat, atau juga melemparkan kesalahan kepada beberapa
oknum anggota DPRD sendiri yang terkesan hanya mencari pembenaran. Selain itu, mereka
juga menyampaikan penyesalannya atas kelambanan pihak kepolisian dalam menyikapi
persoalan yang terjadi.
Pernyataan beberapa anggota DPRD berikut ini mungkin menarik untuk disimak. Pernyataan ini
disampaikan pada pertemuan DPRD Mimika dengan tim Komnas HAM pada 9 September 2003
lalu, sebagai berikut:
HM. Arsyad Ilham (fraksi Golkar):
“Bagi saya, ini bukan lagi persoalan pro atau kontra Pemekaran. Tapi sudah ada
indikasi kelompok yang mau Merdeka di belakang kontra Pemekaran. Komnas
HAM harus selidiki ini, jangan sampai bendera naik sebentar malam.

Tragedi Pemekaran Berdarah 25


Ini sudah ada “M” di belakang kelompok kontra Pemekaran. ini semua ulahnya
2
Mus Pigay . Untuk mengamankan kota Timika, hanya satu saja: usir Mus Pigay
dari Timika”.
“Waktu kasus pembunuhan tukang ojek dulu, saya sudah bilang ke Kapolres,
kalau tidak bisa mengamankan Timika dalam 50 menit, maka saya selaku kepala
suku besar dan panglima perang masyarakat pendatang akan mengambil alih
untuk mengamankan Timika, dan saya tidak akan dikenai HAM”.
John Letsoin (fraksi PDIP):
“Ketua DPRD bilang bahwa semua anggota DPRD masuk dalam kepanitiaan
pemekaran, tapi saya sendiri sampai sekarang tidak pernah melihat apalagi
menerima SK kepanitiaan tersebut”.
Selain itu, sebetulnya pertikaian ini juga berasal dari arogansi pemerintah provinsi
dalam membagi dana Otsus. Selama ini Mimika sangat dirugikan, begitu banyak
dana yang seharusnya bisa kami kelola, tapi selama ini dipakai oleh provinsi,
seperti royalti Freeport atau dana Otsus. Sehingga dewan berpikir bahwa kalau
ini jadi provinsi, maka semua dana-dana tersebut kita sendiri yang kelola.
Derek Waita (wakil ketua II):
“UU No. 45/1999 dan UU No. 21/2001 bagi kami kurang jelas. Artinya bahwa
kalau melaksanakan UU No. 21/2001, terus UU No. 45/1999 diapakan? Ini yang
tidak jelas. Sehingga kami berpikir bahwa UU No. 45/1999 masih berlaku. Kami
sendiri bingung, UU yang mana yang harus dilaksanakan. Kenapa Irian Jaya
Barat sudah dideklarasikan tanpa harus mempertentangkan keduanya? Menurut
kami, UU No. 45/1999 sebagai produk hukum wajib untuk dilaksanakan. Karena
memang tidak ada penjelasan dari Pusat terhadap ke 2 UU ini”.
Andreas Anggaibak sendiri selaku ketua DPRD Mimika berpikir bahwa jika Papua dimekarkan,
maka akan banyak sekali dana-dana yang bisa dikelola oleh Provinsi Irian Jaya Tengah tanpa
harus dibagi dengan provinsi lainnya. Selama ini dana-dana tersebut terlalu dihabiskan oleh
pemerintah provinsi Papua dan kabupaten Mimika yang seharusnya mendapatkan dana yang
lebih dari pengelolaan PT. Freeport – misalnya – dibanding provinsi sendiri atau kabupaten
lainnya.

TNI
Secara umum, peran pihak TNI sama sekali tidak terdeteksi. Kehadiran DANDIM, DANLANAL
dan DANLANUD Mimika dalam setiap pertemuan yang berkaitan dengan pertikaian konflik
pemekaran propinsi Irian Jaya Tengah seolah-olah hanya menjadi pelengkap unsur Muspida
kabupaten Mimika. Tidak ada satupun pernyataan resmi yang signifikan dari unsur militer di
daerah Mimika – minimal memberikan pernyataan yang bersifat meneduhkan emosi. Hal yang
cukup menjadi perhatian adalah ketika Timika berjibaku dalam kubangan konflik horizontal,
Komandan KODIM 1710/Tmk diserah-terimakan dari Letkol Togap F. Gultom kepada Letkol
Siburian pada tanggal 6 September 2003, hanya 13 hari pasca deklarasi. Pergantian terkesan
sangat mendadak, karena sama sekali tidak ada publikasi sebelumnya.
Berkaitan dengan unsur militer, beberapa sumber informasi menyebutkan bahwa di Timika
setidaknya ada sepuluh orang anggota KOPASSUS yang tidak di-BKO-kan ke KODAM
XVII/Trikora. Hal ini juga diakui oleh Kahar Rasyid (yang ditugaskan oleh Eurico Guterres untuk
membentuk Front Pembela Merah Putih di Timika). Kahar Rasyid menyebutkan bahwa hubungan
mereka dengan KOPASSUS sangat dekat, dan antara mereka selalu melakukan koordinasi

2
Mus Pigay (Wilhelmus Pigay) adalah seorang anggota DPRD Mimika dari fraksi PDKB. Adalah satu-satunya
anggota DPRD yang tidak mau menandatangani dukungan DPRD Mimika terhadap Inpres No. 1/2003. Fraksi PDKB
juga yang menjadi satu-satnya fraksi yang tidak ke Jakarta untuk menyatakan dukungannya setelah Inpres No.
1/2003 dan Radiogram Mendagri terbit.

Tragedi Pemekaran Berdarah 26


sehubungan dengan situasi Mimika pada umumnya dan khususnya yang berkaitan dengan
konflik pemekaran Propinsi.

Partai Politik
Awal pembentukan panitia pemekaran Provinsi Irian Jaya Tengah, satu-satunya fraksi di DPRD
Mimika yang tidak menandatangani pernyataan dukungan terhadap pelaksanaan UU No.
45/1999 adalah PDKB. Dan menjelang acara deklarasi Provinsi Irian Jaya Tengah, serta ketika
masyarakat pro dan kontra pemekaran bentrok dalam perang, beberapa partai politik terjun
langsung mengerahkan massa. Ketua-ketua partai yang cenderung antusias tersebut adalah
juga merupakan tokoh-tokoh pro pemekaran, yakni: Philipus Wakerkwa, Partai Amanat Nasional
(PAN); Markus Timang, Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK); Heronimus Taime,
Partai Indonesia Tanah Air Kita (PITA). Sedangkan Partai Buruh, Yopi Kilangin, adalah salah
satu tokoh di kelompok kontra.
Sulit dipahami secara transparan mengapa para pemimpin partai turut terlibat sebagai tokoh-
tokoh sehubungan dengan konflik pemekaran, apakah karena – secara sederhana – konflik
tersebut dapat dijadikan momentum dalam mencari dukungan massa, ataukah karena
berkepentingan terhadap pengembangan partai dari level kabupaten menjadi level propinsi,
money politik? Ataukah karena sebagian besar dari tokoh-tokoh tersebut sejak lama merupakan
tokoh-tokoh yang selalu berperan dalam dinamika sosial politik dan kemasyarakatan di Mimika,
tidak hanya karena konflik pemekaran tetapi jauh sebelum itu. Dana 1%, misalnya.

Lembaga Adat
LEMASA adalah lembaga adat yang terang-terangan menolak pemekaran Provinsi Irian Jaya
Tengah. Beberapa pengurusnya bahkan menjadi motor penggerak kekuatan massa kontra
pemekaran. Meski demikian, pada prakteknya para tokoh dan masyarakat suku Amungme
sendiri dalam perang ini terpecah ke dalam dua kubu yang berkonflik: kontra dan pro
pemekaran.
Pilihan politik LEMASA tersebut tidak diikuti oleh LEMASKO (Lembaga Masyarakat Adat Suku
Kamoro). Secara kelembagaan, LEMASKO lebih menunjukan sikap yang netral, sebagian besar
tokoh dan masyarakat adatnya juga tidak ingin terlibat dalam konflik. Pilihan ini justru
menimbulkan konsekwensi tersendiri bagi mereka. Masyarakat yang tidak mengambil bagian
dalam perang, justru menjadi korban dari dua kelompok yang berkonflik.

Paguyuban Pendatang
KKSS (Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan) dan Kerukunan Keluarga Kei, adalah dua
paguyuban yang sejak awal mendukung adanya pemekaran Provinsi Irian Jaya Tengah. Bahkan
jauh sebelum konflik terjadi ketua KKSS telah sering memberikan pernyataan dukungannya
terhadap pemekaran propinsi. Tetapi ketika konflik pecah, mereka memilih mundur dan tidak
berkomentar. Paguyuban lainnya cenderung memilih tidak terlibat dalam perdebatan seputar
pemekaran propinsi.
Ketika peristiwa 31 Agustus 2003 (pembunuhan beruntun terhadap tukang ojek), KKSS adalah
kelompok yang secara lembaga memperlihatkan sikap yang sangat reaktif. Ketua KKSS, yang
juga salah satu anggota DPRD Mimika, sering kali mengeluarkan kalimat bernada provokatif di
hadapan massa pendatang. Bahkan dengan tegas beliau memberikan ultimatum kepada
Kapolres untuk mengamankan kota Timika dalam waktu 50 menit.
“Jika tidak, saya selaku panglima perang dan kepala suku besar pendatang yang
akan memimpin pendatang untuk mengamankan Timika”,

Tragedi Pemekaran Berdarah 27


Demikian dia mengklaim diri sebagai kepala suku besar dan panglima perang suku pendatang.
Kalimat itu diucapkan di hadapan massa pendatang dan Muspida Mimika, ketika itu, di
pinggangnya juga sudah terselip sebilah parang panjang yang terus dibawanya, bahkan ketika
pada pertemuan antara Muspida dan segenap komponen masyarakat di hotel Serayu, tanggal 1
September 2003.
KKBSU (Kerukunan Keluarga Besar Sulawesi Utara) nampak lebih bersikap hati-hati dan
akomodatif dalam upayanya menenangkan situasi. Hal ini terlihat ketika pada 4 September 2003
bertempat di Hotel Serayu Timika, mereka menggelar acara doa bersama untuk semua agama
atas peristiwa yang telah terjadi. Sayang, kegiatan tersebut diselenggarakan di sebuah hotel
dengan kapasitas dan sosialisasi yang sangat terbatas akibatnya untuk bisa diakses oleh
komponen masyarakat yang lebih luas.

Kelompok Mahasiswa
Kelompok cendekiawan muda ini relatif kecil dan masih belum memahami posisinya di tengah
masyarakat. Ketika perang pecah, mahasiswa dari etnis pribumi justru ikut meleburkan diri di
dalam kelompok yang berkonflik. Beberapa di antara mereka bahkan menjadi panglima perang.
Sedangkan mahasiswa dari etnis pendatang lebih memilih diam. Kesan ketidakpedulian
mahasiswa ini juga harus dipahami karena rata-rata usia lembaga perguruan tinggi di Timika
masih sangat muda dan relatif sedikit dengan media komunikasi yang sangat terbatas pula.
Setelah beberapa saat, komponen mahasiswa mulai menyadari situasi yang terjadi dan
pentingnya membangun kekuatan bersama. Mereka kemudian mencoba melakukan upaya-
upaya konsolidasi di kalangan mereka, mendekati teman-teman mahasiswa satu persatu,
membangun ruang yang lebih netral dalam satu kelompok kecil. Pekerjaan ini nampak dimotori
oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Penyalur Aspirasi Massa Amungsa Timika (FH
UPAMA). Kelompok kecil ini kemudian menyatukan diri ke dalam Tim Zona Damai yang
beranggotakan Paroki Tiga Raja Timika, LBH Pos Timika dan ALDP Jayapura, yang kemudian
memprakarsai bantuan-bantuan kemanusiaan, seperti mengumpulkan bahan makanan untuk
masyarakat yang mengungsi.

Kelompok Pimpinan Agama


Tidak ada konsensus bersama yang lahir dari tokoh-tokoh agama dalam menyikapi persoalan
ini. Namun dapat dilihat bahwa ada pilihan cara-cara tersendiri yang telah dilakukan oleh
beberapa kalangan agama. Paroki Tiga Raja Timika misalnya, lebih memilih beraliansi dengan
beberapa LSM dan mahasiswa (Tim Zona Damai) untuk memberikan bantuan kemanusiaan
kepada korban yang timbul kibat konflik. Gereja Kemah Injili, di bawah pimpinan Pendeta Isack
Onawame terjun langsung ke tengah-tengah konflik. Dengan cara menjadi kelompok yang
bergerilya berdoa dari rumah ke rumah untuk menenteramkan warga masyarakat. Selain itu,
mereka juga bertindak sebagai pengawas jalannya perang. Mereka mengawasi kelompok yang
bertikai agar hanya berhadapan langsung dan tidak boleh mengepung dari segala penjuru.
Mengingat jumlah kelompok pro pemekaran jauh lebih kecil dibanding kelompok kontra.
Sehingga dikhawatirkan akan jatuh korban yang jumlahnya sangat besar dari kelompok pro jika
kelompok kontra menyerang dari segala penjuru. Langkah ini diambil dengan etika perang di
dalam adat, yakni bahwa perang hanya diperbolehkan jika kedua kubu saling berhadapan
langsung.
Sedangkan kelompok dan tokoh-tokoh agama lain seperti Islam (MUI) dan Hindu serta Budha
sama sekali tidak memperlihatkan perannya untuk mencoba mendamaikan pertikaian ini.

Tragedi Pemekaran Berdarah 28


Kelompok Perempuan
Dalam beberapa kasus sebelumnya, kelompok perempuan yang dimotori oleh YAHAMAK,
sering kali menjadi penengah di antara kelompok yang bertikai. Tetapi untuk kasus ini, mereka
tidak mampu melakukannya. Hal ini diakui oleh kelompok YAHAMAK sendiri yang kemudian
menjadi sebuah tanda tanya besar bagaimana mungkin konflik ini dikatakan perang adat apabila
konflik tidak dapat selesai walaupun sudah menggunakan mekanisme penyelesaian secara
adat. Menurut YAHAMAK, kepentingan politik inilah yang telah membuat kekuatan mereka
menjadi lumpuh, bahkan mereka sendiri menjadi korban.

Masyarakat
Beberapa pengakuan masyarakat menarik untuk diketahui. Salah seorang dari kelompok pro
mengatakan sebagai berikut:
“Kami tidak tahu tiba-tiba ada truk yang menjemput kami dan mereka mengajak
kami untuk mengikuti pesta bakar batu di Graha TDS. Kami juga tidak tahu kalau
pesta yang kami ikuti ini dalam rangka apa. Kami sama sekali tidak pernah
membayangkan kalau nantinya kami sendiri akan terlibat dalam perang dengan
saudara kami sendiri”.
Ditambahkan pula oleh beberapa masyarakat pro pemekaran bahwa pada hari Minggu, 17
Agustus 2003 usai kebaktian di Gereja, ada pengumuman untuk mengikuti acara bakar batu dan
makan babi di Graha TDS pada 23 Agustus 2003 nanti.
Sedangkan kelompok kontra pemekaran, kita akan temui pengakuan sebagai berikut:
“Waktu itu kami tidak tahu apa-apa tapi tiba-tiba ada mama-mama dari HAMAK
(maksudnya: kelompok ibu-ibu dari YAHAMAK) dengan truk dan mengajak kami
untuk ke Graha TDS, katanya untuk tolak pemekaran. Kami tidak tahu kalau
nantinya akan terjadi perang”.
Pada kelompok pro pemekaran, kita akan banyak bertemu dengan masyarakat yang tidak
mengetahui apa itu pemekaran, apa itu Otonomi, apalagi dengan UU No. 45/1999, UU No.
21/2001 atau bahkan Inpres No. 1/2003 dan Radiogram Mendagri. Kondisi ini juga akan kita
dapatkan di kelompok kontra. Banyak masyarakat yang tidak tahu menahu duduk persoalannya,
karena mereka hanya ikut-ikutan saja terhadap keramaian yang ada. Namun ketika sudah
timbul perang, semua lantas membagi diri menjadi dua kekuatan dan saling berlawanan.
Sedangkan di kalangan masyarakat urban. Tidak ada satupun yang mencoba untuk melakukan
gerakan reaktif apalagi proaktif sampai ketika peristiwa pembunuhan tukang ojek terjadi. Ketika
itu, reaksi yang ditimbulkan oleh masyarakat pendatang cenderung memancing timbulnya
pertikaian yang lebih luas: SARA. Jika situasi saat itu tidak segera diatasi, kemungkinan
terburuk tersebut tidak mustahil terjadi.
Ada pernyataan menarik dari seorang tukang ojek yang ikut melakukan pawai bersama
kelompok pro pemekaran lainnya pada saat acara deklarasi Provinsi Irian Jaya Tengah, 23
Agustus 2003 lalu, sebagai berikut:
“Keikutsertaan saya dengan teman-teman ojek yang lain dalam pawai itu jujur
hanya karena kami dibayar. Satu orang 50 ribu rupiah dalam waktu yang relatif
singkat kan lumayan”.
Mama Theresia, salah satu anggota kelompok ibu-ibu dari YAHAMAK, yang melihat langsung
pembagian jatah kepada kelompok ojek ini mengatakan sebagai berikut:
“Waktu itu saya lihat dengan mata kepala sendiri, dorang (panitia pemekaran) bagi
uang seperti bagi kartu saja”.

Tragedi Pemekaran Berdarah 29


BAGIAN LIMA:
SEDIKIT TENTANG ETNO-POLITIK

Sehari setelah deklarasi Provinsi Irian Jaya Tengah, terjadi pertikaian yang tidak dapat dihindari
antara massa pro dan kontra pemekaran. Atas peristiwa ini, pemerintah pusat dan juga
pemerintah daerah langsung memberikan stempel Perang Adat kepadanya. Sosialisasi perang
adat ini kian lengkap setelah beberapa surat kabar memblow up peristiwa tersebut dengan font
berukuran besar pada setiap headline-nya. Kendati propaganda perang adat tersebut telah coba
untuk dibantah oleh beberapa orang seperti tokoh adat: Tom Beanal, Ketua Dewan Adat Papua,
akan tetapi isu perang adat tetap dikedepankan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, hingga
menenggelamkan klarifikasi tersebut.
Pertanyaannya, benarkah tragedi yang mengiringi deklarasi Provinsi Irian Jaya Tengah pada 23
Agustus 2003 lalu adalah perang adat? Tentu sangat tidak mudah untuk menjawab pertanyaan
ini, namun kita akan mencoba mengeksplorasi sejumlah fakta untuk sampai pada kesimpulan:
konflik tersebut merupakan perang adat atau bukan.
Pada umumnya, suku-suku yang berdiam di daerah pegunungan tengah memiliki karakteristik
yang hampir sama, namun dalam beberapa hal setiap suku memiliki aturan adat yang spesifik.
Tipe kepemimpinan masyarakat yang hidup di daerah pegunungan adalah Big Man, atau Pria
Berwibawa yang didapat melalui usaha dan kerja keras. Ciri terpenting dari tipe kepemimpinan
ini adalah kecakapannya untuk memanipulasi orang dan sumber daya guna mencapai maksud
dan tujuan politiknya. Keberanian yang diperlihatkan dalam hal berperang dan memimpin
perang adalah salah satu syarat yang sangat penting dalam tipe kepemimpinan Big Man.3
Dalam kehidupan sosial, setiap anak yang sudah dianggap dewasa harus hidup terpisah dari
orang tua dan tinggal bersama rekan-rekannya di Rumah Bujang. Di sinilah seorang anak diuji
kemandiriannya. Seorang anak laki-laki yang hendak menikah harus memenuhi syarat yang
antara lain: sanggup memanah babi, membuat kebun dan ikut berperang. Begitupun juga
halnya dengan perempuan yang sudah menginjak dewasa.
Hal inilah yang membuat masyarakat yang hidup di daerah pegunungan gemar – Bupati Mimika
bahkan menyebutnya kecanduan – berperang. Di kalangan kelompok pemuda, situasi perang
ini justru ini dijadikan sebagai ajang untuk memperlihatkan kemampuan berperangnya dengan
maksud agar mendapatkan simpati dari seorang perempuan.
Jika seseorang mempunyai masalah dan tidak sanggup mengatasinya sendiri, maka dia bisa
meminta orang lain untuk membantunya. Bantuan yang diberikan biasanya didasarkan atas
ikatan emosional, atau berdasarkan hubungan kekerabatan, atau juga sejarah masa lalu di
antara mereka. Orang yang punya masalah ini disebut Way Mum (sebutan dalam suku Amungme).
Segala kebutuhan pasukan perang ditanggung oleh Way Mum. Termasuk memberikan uang
kepala kepada (jika ada) korban yang meninggal dunia, juga memberikan uang pengobatan
kepada mereka yang terluka. Seorang Way Mum tidak berhak menolak berapapun uang kepala
yang diajukan oleh korban. Jika Way Mum tidak sanggup membayarnya, maka korban bisa
mengambil apa saja kepunyaan sang Way Mum, termasuk anak gadisnya sekalipun. Perang
biasanya timbul karena persoalan perempuan, babi, tanah dan atau pembunuhan bermotif
kriminal. 4

3
Lihat Yulfita Raharjo dalam Proseding Seminar: Membangun Masyarakat Irian Jaya. Diterbitkan oleh Puslitbang
Kependudukan dan Ketenagakerjaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 1995.
4
Wawancara dengan Bupati Mimika tanggal 9 September 2003 dan tokoh masyarakat Amungme pada beberapa
kesempatan.

Tragedi Pemekaran Berdarah 30


Bagi sebagian besar suku di pegunungan, perang memiliki etika tersendiri. Ada hukum perang
yang telah menjadi kesepakatan secara adat di antara mereka. Pada suku Amungme misalnya
mengenal aturan perang antara lain:
1. Laki-laki yang ikut berperang harus tinggal di Rumah Bujang dan tidak boleh kembali ke
rumah. Laki-laki yang sudah berkeluarga tidak boleh berhubungan dengan istri selama
perang. Bagi yang masih bujang tidak boleh mengganggu perempuan meski hanya
bercanda.
2. Tidak boleh mencuri barang yang menjadi milik musuh atau milik orang lain yang tidak ikut
berperang.
3. Tidak boleh memperkosa apalagi membunuh perempuan, anak kecil dan orang tua dari
pihak musuh.
4. Tidak boleh menerima pemberian apapun dari pihak yang tidak ikut dalam peperangan.
5. Orang dari luar tidak diperbolehkan masuk dan memakan makanan yang disediakan untuk
pasukan yang berperang.
6. Perang tidak boleh pada malam hari dan lokasi perang sudah ditentukan. Biasanya pada
daerah yang jauh dari pemukiman penduduk.
7. Ada waktu-waktu tertentu yang disepakati untuk menghentikan perang guna memberikan
kesempatan bagi kelompok yang berperang untuk makan.
8. Jumlah korban di kedua belah pihak harus sama.

Betapa etisnya mereka mengatur kehidupan sosial mereka sendiri. Bahkan ketika berperang
sekalipun penghormatan terhadap hak milik orang lain dan eksistensi perempuan dan kelompok
yang rentan dengan konflik lainnya begitu besarnya. Dalam kondisi perang saja demikian,
apalagi dalam situasi yang aman.
Meski demikian, Semua masyarakat adat pada suku-suku di pegunungan yang memiliki tradisi
perang juga memiliki tradisi damai. Sehingga walaupun perang sering terjadi namun selalu ada
mekanisme untuk membangun perdamaian . Tradisi tersebut melambangkan kearifan lokal.
Semenjak pecahnya perang ( konflik pemekaran propinsi Irja Tengah ), kenyataan di lapangan
menyadarkan kita bahwa tidak satupun unsur perang dalam aturan adat di atas yang terpenuhi.
Termasuk dengan fenomena sejarah masa lalu mereka sendiri. Kaitannya dengan hal ini,
ucapan Pendeta Ishak Onawame, mungkin ada baiknya juga kita simak, sebagai berikut:
“Memang ini bukan perang adat, ini perang melawan kebijakan pemerintah yang
telah menggunakan orang Papua untuk melaksanakan kebijakannnya tersebut,
hingga akhirnya kami orang Papua sendiri yang saling berperang. Pemerintah ini
memang sangat terkenal dengan politik adu dombanya”.
“Bagi kami masyarakat Papua, adalah merupakan sebuah penghinaan yang
teramat besar ketika nama Irian Jaya kembali digunakan. Papua adalah
pertaruhan jati diri dan harga diri kami, maka jangan katakan ini perang adat”.
Selain itu, pihak-pihak yang terlibat dalam konflik terdiri dari enam suku besar: Amungme, Dani,
Damal, Moni, Ekagi dan Nduga yang uniknya setiap suku ini terpecah menjadi dua kekuatan
yang saling berhadapan: pro dan kontra pemekaran.
Bahkan dalam keluargapun ada yang terpecah menjadi dua. Ada orang tua yang bergabung di
kelompok pro pemekaran tetapi anaknya ada di bagian kontra pemekaran, atau ada seorang
kakak di kelompok kontra tetapi adiknya ikut bersama massa pro pemekaran.
Hal yang harus mendapatkan stabilo adalah bahwa dalam sejarah perang suku-suku di
pegunungan, belum pernah sekalipun suku Amungme berkoalisi dengan suku Dani untuk
menyerang suku atau kelompok lain. Hampir dapat dipastikan bahwa tidak ada satupun issue

Tragedi Pemekaran Berdarah 31


yang bisa menyatukan kedua suku ini. Sehingga ada benarnya jika dikatakan bahwa suku
Amungme merupakan musuh abadi bagi suku Dani.
Ungkapan Pendeta sekaligus tokoh masyarakat Amungme tersebut di atas telah membawa kita
pada sebuah temuan alasan kenapa suku Amungme dan suku Dani – dalam sejarah
peperangan orang Amungme – bisa bersama-sama menyerang kelompok lain.
Masih adakah alasan untuk mengatakan bahwa ini perang adat?

Tragedi Pemekaran Berdarah 32


BAGIAN ENAM:
UPAYA MEMBANGUN PERDAMAIAN

Proses Menuju Perdamaian


Inisiatif para pihak yang paling berkeinginan untuk melakukan perdamaian dengan
menggunakan mekanisme adat dalam menyelesaikan konflik pemekaran propinsi Irja Tengah di
Mimika adalah para Muspida, terutama Bupati dan Kapolres. Sedangkan pihak-pihak adat yang
berkonflik sendiri cenderung tidak pernah memberikan pernyataan bahwa perang tersebut
adalah perang adat dan perlu diselesaikan dengan cara adat.
“Apapun yang terjadi, upacara perdamaian harus segera dilaksanakan. Hal ini
untuk mencegah jangan sampai ada pihak ketiga yang membuat suasana yang
kian membaik ini menjadi rusuh lagi”.
Demikian kalimat yang selalu diucapkan oleh Bupati dan Kapolres Mimika pada beberapa
kesempatan. Harus diakui bahwa pihak Muspida kabupaten Mimika sangat pro aktif dalam hal
mengusahakan perdamaian bagi kedua kubu. Tak henti-hentinya mereka bergerilya dari satu
pertemuan ke pertemuan lainnya. Pertemuan terkadang dilakukan terpisah antara kelompok,
yang bertikai tetapi juga tidak jarang pertemuan dilakukan dengan dua kelompok secara
bersamaan. Kesemuanya itu dilakukan hanya untuk terlaksananya perdamaian. Muspida –
khususnya Bupati dan Kapolres Mimika – memang layak mendapat simpatik – tentu saja tanpa
menafikkan usaha kelompok lain yang juga aktif mengajak pihak yang berkonflik untuk
berdamai.
Usaha mereka nampaknya tidak sia-sia. Setelah selama 33 hari perseteruan, maka pada Jumat,
26 September 2003, bertempat di lapangan Timika Indah, Muspida Mimika berhasil
memfasilitasi proses perdamaian di antara dua kubu yang bertikai. Meski sempat terjadi sedikit
ketegangan ketika memulai ritual perdamaian, namun hal tersebut tidak menunda acara yang
telah lama diusahakan oleh Muspida Mimika.
Untuk diketahui, bahwa sesaat sebelum penandatanganan naskah perdamaian, Elminus Mom,
kepala perang kelompok kontra meminta kejelasan tentang status pemekaran, apakah
dilanjutkan atau tidak. Selain itu, dia juga meminta kepada pemerintah untuk meminta maaf
kepada masyarakat. Elminus Mom mengatakan bahwa kelompoknya tidak akan
menandatangani perdamaian jika hal ini tidak segera mendapat jawaban. Suasana sedikit
menegang, hingga akhirnya Kapolres Mimika mengambil alih acara. Kapolres mengatakan
sebagai berikut:
“Di sini tidak ada pernyataan politik, saat ini kita hanya fokuskan pada proses
perdamaian. Jika-jika saudara-saudara bersikeras, maka kalian akan berhadapan
dengan saya. Keputusan perdamaian ini adalah hal yang harus segera
dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang telah kita sepakati bersama”
“Mengenai aspirasi saudara-saudara, hal itu bisa disalurkan melalui orang-orang
yang telah kalian percayakan, di sini tidak ada pernyataan politik”
Melihat sikap tegas Kapolres ini, kelompok kontra yang sebelumnya sangat keras, kini mulai
melunak. Dan akhirnya proses perdamaian tetap dilaksanakan meski tidak dihadiri oleh Andreas
Anggaibak. Sementara itu, beberapa tokoh sentral di kelompok kontra, seperti Yopi Kilangin dan
Hermina Pigay juga tidak terlihat pada acara tersebut.
Mengapa perdamaian begitu lama dan terkesan sulit untuk dilaksanakan? Mungkin informasi
berikut sedikit menjawab persoalan tersebut.
Bahwa masyarakat yang terlibat dalam pertikaian ini kita tahu tidak hanya dari satu suku saja,
namun melibatkan enam suku di daerah Mimika: Amungme, Dani, Ekagi, Damal, Moni dan
Nduga. Meski secara garis besar, suku-suku yang bermukim di daerah pengunungan ini

Tragedi Pemekaran Berdarah 33


memiliki karakteristik yang hampir sama, namun dalam beberapa hal terdapat perbedaan
mendasar.
Dalam hal ritual pada masing-masing kelompok sebelum proses perdamaian dilaksanakan,
seperti acara memberi makan kelompok perempuan, kemudian acara memberi makan kelompok laki-
laki yang ikut perang, serta acara makan bersama-sama di dalam kelompok. Hal ini sama sekali
tidak dikenal oleh suku Amungme, tetapi bagi suku Dani, acara ini merupakan sebuah ritual
yang harus dilaksanakan sebelum proses perdamaian. Perdebatan-perdebatan demikianlah
yang sering kali menjadi penghambat proses perdamaian. Dalam situasi demikian, biasanya
suku Dani yang terkenal bertempramen tinggi dibanding suku lainnya yang selalu menjadi
pemenangnya.

Situasi Sosial Pasca-Perdamaian


Acara perdamaian telah dilaksanakan, namun benarkah tidak ada lagi persoalan? Menilik
kondisi sosial yang terjadi di lapangan pasca perdamaian 26 September 2003 lalu, kita akan
diperhadapkan pada sebuah kondisi yang bertolak belakang dengan semangat perdamaian itu
sendiri. Setidaknya situasi ini masih berlangsung sampai pada akhir Oktober 2003.
Hal yang langsung terlihat adalah, para pengungsi masih berada di tempat-tempat pengungsian.
Bahkan menurut Abner Daundi, seorang pendamping di YAHAMAK yang menampung ratusan
orang pengungsi, mengatakan bahwa jumlah pengungsi makin bertambah. Di sekitar lokasi SP
II, kita masih melihat kelompok pro yang membawa anak panah dengan posisi tali busur masih
terpasang pada busurnya. Posisi ini – dalam pandangan adat – sebagai makna kesiapsiagaan
terhadap segala situasi. Seorang tokoh suku Amungme, Viktor Beanal, bahkan memaknakan
hal ini sebagai pertanda belum ikhlasnya kelompok pro pemekaran menerima perdamaian.
Lantas, apakah kelompok kontra telah ikhlas menerima perdamaian ini? Thomas Wanmang,
seorang tokoh LEMASA sekaligus koordinator lapangan kelompok kontra mengatakan demikian:
“Belum, kami merasa terpaksa menandatangani kesepakatan perdamaian waktu
itu. Secara adat sebenarnya masih ada hal-hal yang belum dilaksanakan
sebelum memasuki perdamaian”.
Bahwa belum adanya kejelasan tentang status pemekaran menjadi hal yang sangat urgen
terhadap proses perdamaian itu sendiri. Selain itu, Andreas Anggaibak selaku pencetus
pemekaran Provinsi Irian Jaya Tengah yang telah menimbulkan perang saudara di antara
mereka sendiri belum meminta maaf atas perbuatannya. Ditambah lagi dengan
ketidakhadirannya ketika pelaksanaan perdamaian pada 26 September 2003 lalu, adalah
merupakan beberapa hal yang menjadi persoalan mendasar. Hal ini ditambah lagi dengan
belum adanya pembayaran uang kepala kepada mereka yang telah meninggal dunia selama
peperangan (setidaknya sampai pada 23 Oktober 2003).
Mengenai tuntutan kelompok kontra terhadap Andreas Anggaibak untuk meminta maaf,
Kapolres ketika pelaksanaan proses perdamaian itu mengatakan bahwa:
“Mengenai permintaan maaf, hal ini bisa dilakukan usai perdamaian karena
masih banyak waktu. Yang penting proses perdamaian yang disponsori oleh
pemerintah daerah ini harus dilaksanakan secepatnya. Soal permintaan maaf itu
bisa dilakukan pada waktu-waktu mendatang”.
Pengungsi yang masih berada di lokasi pengungsian nampaknya sudah tidak bisa lagi kembali
ke rumah masing-masing. Hal ini terjadi karena rumah mereka sekarang sudah ditempati oleh
kelompok pro pemekaran. tidak jelas alasan apa yang ada di benak mereka sehingga harus
menguasai rumah-rumah yang bukan menjadi miliknya tersebut. Kondisi ini juga terjadi di
beberapa rumah milik kelompok pro pemekaran yang kini juga dikuasai oleh masyarakat yang
berasal dari kelompok kontra pemekaran.

Tragedi Pemekaran Berdarah 34


Pihak Kepolisian yang sudah mendapatkan laporan ini hanya memberikan himbauan kepada
mereka untuk mengosongkan rumah-rumah yang bukan miliknya. Tidak ada ketegasan dari
pihak kepolisian, menangkap dan memproses mereka sesuai hukum, misalnya.
Pertanyaannya, kenapa perdamaian yang sejati belum juga terwujud di tanah Amungsa?
Sedangkan menurut adat, jika proses perdamaian telah dilakukan, maka semua telah kembali
seperti semula, tidak ada lagi rasa saling bermusuhan, semua kembali menjadi rukun kembali
tanpa ada lagi yang mengungkit-ungkit persoalan di masa lalu. Semua kembali beraktifitas
seperti semula.
Mengikuti seluruh proses perdamaian yang dilakukan oleh Muspida kabupaten Mimika, kita
akan berhenti pada satu titik kesimpulan. Bahwa proses perdamaian hanya terjadi di lapisan luar
(sosial: perang antara masyarakat). Sedangkan inti pokok persoalan (politik: pemekaran Provinsi Irian
Jaya Tengah) sama sekali tidak tersentuh. Selain itu, Muspida hanya bersikeras mengusahakan
ritual perdamaian secepat mungkin hingga mengabaikan hal-hal prinsip.
Bagi masyarakat, proses perdamaian model ini tidak lebih dari sekedar seremonial belaka.
Tidak ada sama sekali ruh damai di dalamnya. Hal lainnya adalah, Muspida hanya
mempertemukan panglima-panglima perang dari kedua kubu yang menjadi ujung tombak di
lapangan. Sedangkan tokoh-tokoh utama di belakang peristiwa ini (Andreas Anggaibak, cs di
kelompok pro dan Yopi Kilangin, cs di kelompok kontra) sama sekali belum pernah duduk bersama.
Pun juga mereka ini tidak hadir dalam acara perdamaian pada Jumat, 25 September 2003 lalu.
Sikap Muspida yang hanya mengambil langkah-langkah untuk menghentikan pertikaian tanpa
mencoba menyentuh akar persoalan tergambar dari naskah pernyataan perdamaian yang
ditandatangani oleh kelompok yang bertikai. Sehingga akan memberikan peluang terhadap
munculnya konflik kembali dalam kurun waktu dan isue yang berbeda.
Hal ini kian menguatkan argumen kita bahwa yang terjadi di Timika usai deklarasi Provinsi Irian
Jaya Tengah adalah bukan perang adat, seperti tudingan pemerintah dan juga pers. Jika
persoalannya demikian. Maka siapa yang berani menjamin terciptanya dunia yang damai di
tanah Amungsa?

Tragedi Pemekaran Berdarah 35


BAGIAN TUJUH:
P E N U T U P

Sejumlah Simpulan Awal dan Pertanyaan Mendasar


a. Menilik sejarah pembentukan kabupaten Mimika. Bahwa kabupaten ini berubah menjadi
kabupaten devenitif atas dasar UU No. 45/1999. Ketika pro kontra UU No. 45/1999 pada
tahun 1999 lalu, daerah ini masih berbentuk kabupaten administratif dalam wilayah
kabupaten Fakfak. Logiskah daerah yang mulanya hanya bersifat administratif tiba-tiba
dirubah menjadi devenitif – pada saat sistem pemerintahan belum stabil, di mana beberapa
perangkat masih dibentuk berdasarkan penunjukan: anggota DPRD Mimika – sekaligus
sebagai ibukota provinsi Irian Jaya Tengah?
b. Persoalan belum akan berakhir hanya dengan menetapkan Provinsi Irian Jaya Tengah ke
dalam Status Quo. Dibutuhkan ketegasan Jakarta untuk menetapkan pilihan kebijakan
politik terhadap Papua berdasarkan pertimbangan azas hukum dan sosial budaya serta
situasi politik yang berkembang.
Hal ini menimbulkan kecurigaan terhadap upaya beberapa pihak yang berkepentingan untuk
me-redesign konflik dari konflik vertikal menjadi konflik horizontal dengan memperluas aktor
dan medan konflik. Bahwa kejadian pembunuhan terhadap beberapa masyarakat sipil
pasca perang merupakan bukti awal terhadap hal itu.
c. Disinyalir adanya keterlibatan BIN dalam rencana deklarasi Provinsi Irian Jaya Tengah. Hal
ini didasarkan atas keterangan seorang anggota DPRD Mimika sendiri. Menurut anggota
dewan tersebut, hal inilah yang membuat ketua DPRD tetap kukuh untuk melaksanakan
deklarasi Provinsi Irian Jaya Tengah. Sumber informasi lain mengatakan bahwa sejumlah
Bupati dan ketua DPRD yang ada di wilayah Provinsi Irian Jaya Tengah ditekan di bawah
todongan senjata untuk menandatangani persetujuan mereka terhadap pemekaran Papua.
d. Mengapa Gubernur Papua dan Kapolda Papua yang mempunyai kewenangan untuk
menghentikan semua kegiatan yang dikhawatirkan akan menimbulkan korban di kalangan
masyarakat sipil justru diam dan terkesan tidak berani menghadapi kelompok Andreas
Anggaibak?
e. Demikian pula Bupati dan Kapolres Mimika, meskipun telah mencium timbulnya konflik jika
pendeklarasian Provinsi Irian Jaya Tengah tetap dipaksakan, namun mengapa Kapolres
tidak menggunakan kewenangannya untuk menghentikan atau menunda acara tersebut?
f. Aparat kepolisian juga sangat lamban menyelesaikan konflik. Pendekatan persuasif berpola
adat yang mereka kedepankan pada akhirnya justru telah berakibat pada semakin
meluasnya wilayah konflik, bertambahnya korban dengan bermacam modus serta
berlarutnya penanganan dan penyelesaian konflik.
g. Fakta di lapangan yang mereka saksikan selama berlangsungnya perang dan dampaknya
telah membawa mereka pada persoalan yang kompleks dan sangat pelik untuk mereka
temukan solusinya.
h. Ada ikatan benang merah antara Tragedi Pemekaran Berdarah dengan pengucuran dana
1% dari PT. Freeport. Di mana tokoh-tokoh yang bertikai sekarang adalah juga merupakan
tokoh-tokoh ketika timbulnya persoalan dana 1% pada beberapa tahun lalu.
i. Benarkah, rentetan upaya pembunuhan terhadap 5 orang tukang ojek dan seorang warga
lokal adalah kriminal murni? Ketika itu, waktu kejadiannya hampir bersamaan pada lokasi
yang berlainan. Pada saat yang hampir sama pula, terjadi penculikan dan penyekapan
terhadap Abner Daundi.
Rekomendasi

Tragedi Pemekaran Berdarah 36


a. Harus ada pertanggungjawaban hukum dari Pemerintah terhadap timbulnya korban akibat
pertikaian: meninggal dan luka, perkosaan dan penjarahan rumah penduduk.
b. Pemerintah harus tegas menentukan pilihan politiknya pada provinsi Papua dengan
memperhatikan azas hukum, sosial budaya yang dianut masyarakat lokal serta situasi politik
nasional dan daerah yang berkembang.
c. Dibutuhkan sebuah tim investigasi yang kredibel dan independen guna mengusut adanya
indikasi pelanggaran hak asasi manusia yang timbul akibat dualisme kebijakan pusat, serta
pengusutan terhadap dugaan keterlibatan beberapa lembaga dan pejabat pusat dan daerah
dalam Tragedi Pemekaran Berdarah di Timika.
d. Pihak Kepolisian harus memanggil dan memeriksa para deklarator Provinsi Irian Jaya
Tengah serta semua oknum yang telah terlibat di dalamnya. Demikian pula kepada
kelompok kontra pemekaran, kaitannya dengan telah jatuhnya korban di pihak penduduk
sipil serta timbulnya pelanggaran hukum terhadap warga sipil karena peseteruan mereka.
e. Segera dilakukan recovery psikologi terhadap masyarakat sipil yang menjadi korban dalam
pertikaian melalui pemberian konseling.

Jayapura, 30 Oktober 2003

Tim Investigasi dan Monitoring


Aliansi Demokasi untuk Papua

Tragedi Pemekaran Berdarah 37


PERNYATAAN SIKAP
PENOLAKAN PEMEKARAN PROPINSI PAPUA
OLEH MASYARAKAT PAPUA DI TIMIKA

Bentrokan fisik antara sesama penduduk sipil di Timika, Papua yang menewaskan lima (5)
orang, korban luika-luka sebanyak seratus dua puluh (120) orang dan pemerkosaan tiga (3)
orang perempuan warga sipil pasca Deklarasi Propinsi Irian Jaya Tengah pada tanggal 23
Agustus 2003 lalu, merupakan tragedi yang dipicu oleh kepentingan elite-elite politik baik di
Pusat maupun di Daerah yang telah mengorbankan rakyat sipil.

Bahwa telah terjadi pro-kontra di antara penduduk di Kabupaten Mimika mengenai pemekaran
Propinsi Papua, adalah suatu prestasi yang telah diraih oleh elite politik di Jakarta dan di Papua
dalam menciptakan konflik horizontal di tengah masyarakat dan mengalihkan perhatian
masyarakat dari pelaksanaan Otonomi Khusus sesuai UU No. 21 tahun 2001 tanggal 21
Nopember 2001.

Oleh karena itu kami masyarakat di Timika menyadari bentrokan fisik yang telah terjadi diantara
kelompok pro dan kontra bukan semata-mata disebabkan oleh masalah pemekaran propinsi
tetapi kami menyadari bahwa ada upaya terselubung yang ingin menghancurkan rakyat Papua
dengan cara menghidupkan kembali Undang-undang No. 45 tahun 1999 untuk memekarkan
propinsi Papua, yang sebenarnya validitas UU tersebut dipertanyakan dengan dikeluarkannya
UU No.21 tahun 2001 tentang Otsus Papua.

Kami masyarakat Papua di Timika memahami bahwa bentrokan berdarah yang menimpa
penduduk sipil di Timika, Papua merupakan akibat dari dikeluarkannya Inpres No.1 tahun 2003
secara misterius dan tergesa-gesa, dan sekaligus mematahkan identitas orang Papua.

Kami berpendapat bahwa dengan UU No.45 tahun 1999 yang menjadi dasar hukum Inpres No.1
tahun 2003, justru dikhawatirkan dapat memecah-belah rakyat Papua; antara lain dengan
menginterpretasikan Papuanisasi secara sempit, dalam arti tanah Papua Barat untuk rakyat
Papua Barat, tanah Timika untuk Rakyat amungme dan Kamoro, tanah Sorong untuk rakyat
Sorong, tanah Biak untuk rakyat Biak ddan sebagainya. Oleh karena itu kami mendukung
sepenuhnya UU tentang Otonomi Khusus Papua yang bertujuan untuk menempatkan orang asli
Papua dan penduduk Papua umumnya sebagai subjek utama keberadaan pemerintah,
pemerintah propinsi, pemerintah Kabupaten/Kota serta semua perangkat di bawahnya,
uuntukmemberikan pelayanan kepada rakyat Indonesia di tanah Papua.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan mendalam tersebut di atas, maka secara tegas kami


masyarakat Papua yang ada di Timika menyatakan sikap sebagai berikut:

1. Meminta dengan tegas DPR RI untuk mendesak Presiden RI mencabut segera Inpres No.1
tahun 2003 karena selain tidak dikenal dalam hirarki perundang-undangan menurut TAP
MPR No.III/MPR/2000, juga bertentangan dengan UU No.21 tahun 2001 dan memicu
bentrokan berdarah serta mengakibatkan korban jiwa antara sesama penduduk yang tidak
bersalah.
2. Mendesak DPR RI untuk memanggil Presiden dan Mendagri untuk mempertanggung
jawabkan INPRES No.1/2003 yang dipandang sebagai bentuk kooptasi negara terhadap hak
politik rakyat Papua Barat dan merupakan bentuk KUDETA SIPIL pemerintah Pusat terhadap
pemerintah daerah Propinsi Papua yang berakibat timbulnya korban jiwa dan luka-luka di
Timika Papua Barat.

Tragedi Pemekaran Berdarah 38


3. Mendesak aparat penegak hukum untuk memanggil dan meminta keterangan serta
pertanggungjawaban hukum dari Ketua DPRD Kab. Timika dan Bupati Kabupaten Yapen
serta Panitia Pelaksana Pendeklarasian Propinsi IrjaTeng dan peresmian kantor Gubernur
Irian Jaya Tengah berkaitan dengan konflik fisik yang terjadi di Timika Papua Barat.
4. Meminta KAPOLRI untuk tidak menjawab peristiwa Timika dengan mengirim pasukan yang
sebenarnya tidak perlu dan yang hanya akan menambah beban Kepolisian di Papua.
Sebaliknya Kepolisian di daerah diarahkan untuk bertindak secara jujur dan adil mengungkap
kebenaran peristiwa tersebut secara berimbang.
5. Menyerukan kepada semua pihak (dalam dan luar negeri) untuk mencegah terjadinya
DARURAT MILITER di Papua Barat dengan mendesak dikedepankannya DIALOG untuk
menyelesaikan konflik politik di Papua Barat.
6. Kami secara tegas mendukung penuh agar segera dilaksanakannya OTONOMI KHUSUS
(UU No.21 tahun 2001) di wilayah Tanah Papua dalam waktu satu (1) bulan, jika waktu yang
telah ditetapkan tidak dilaksanakan maka kami dengan tegas menyerukan kepada
pemerintah Republik Indonesia segera membuka diri bagi rakyat Papua untuk melaksanakan
REFERENDUM.
7. Mendesak pemerintah pusat agar tidak boleh dan tidak pernah ada untuk menggunakan
nama IRIAN JAYA dalam bentuk apapun sehingga nama PAPUA yang telah ditetapkan agar
digunakan karena hal itu merupakan wujud terhadap harkat, martabat serta sejati orang
Papua.
8. Mendesak pemerintah pusat, pemerintah daerah propinsi Papua dan Pemerintah kabupaten
Mimika segera mengeluarkan Surat Keputusan untuk membekukan Lembaga Legislatif
(anggota dan jabatan Ketua DPRD Kabupaten Timika). Dan menuntup kantor DPRD
kabupaten Mimika sampai dengan dilantiknya anggota DPRD kabupaten Mimika hasil
Pemilihan Umum tahun 2004.
9. Kami menuntut agar pemerintah Republik Indonesia bertanggung jawab atas korban baik
korban meninggal, korban luka-luka dan kerugian materiil yang ditimbulkan akibat konflik.

Demikian pernyataan sikap masyarakat Papua di wilayah adat Amungsa guna menghindari
adanya konflik vertikal dan horizontal di Tanah Papua.

Dibuat di : Timika
Pada tanggal : 3 September 2003

Hormat kami,

PIMPINAN LEMASA,

VIKTOR BEANAL LUKAS AMISIM

BARTOLOMEUS MAGAL MATIAS KELANANGAME

YOHANNES A. DEIKME
Direktur Executif LEMASA

PIHAK KORBAN I PIHAK KORBAN II

Tragedi Pemekaran Berdarah 39


(Disalin kembali sesuai aslinya)

Tragedi Pemekaran Berdarah 40


BUPATI MIMIKA
MAKLUMAT
Nomor: 01/Bup/MMK/2003

Diumumkan kepada semua lapisan masyarakat kabupaten mimika bahwa berdasarkan


hasil pertemuan antara muspida kabupaten mimika dengan tokoh masyarakat, tokoh
agama, tokoh pemuda, tokoh perempuan dan forum ojek disepakati bahwa:
1. Peritiwa yang terjadi pada tanggal 31 Agustus 2003 adalah tindakan terkutuk dan
murni perbuatan kriminal dan tidak ada hubungannya dengan peristiwa / konflik politik
yang terjadi sebelumnya.
2. Tindakan kriminal akan ditangani secara proporsional oleh aparat berwajib sesuai
ketentuan hukum yang berlaku.
3. Bagi masyarakat diminta untuk tidak terpancing untuk melakukan tindakan main
hakim sendiri dan menyerahkan penanganannya kepada aparat yang berwajib.
4. Tidak diperkenankan membawa, memiliki, menyimpan dalam persediaan semua jenis
senjata tajam seperti panah, tulang kasuari, badik/keris, parang, tombak dan
sejenisnya ke tempat umum (pasar, pemukiman, pertokoan, perkantoran dan
sebagainya).
5. Segera melaporkan kepada pihak yang berwajib atau melalui posko di kantor DPRD
kabupaten Mimika jika ada orang / kelompok yang sengaja memprovokasi agar
suasana kabupaten Mimika menjadi keruh.
6. Segera akan diadakan Operasi Yustisi berupa pemeriksaan identitas diri seperti KTP
dan surat-surat lainnya.
7. Bandar udara dan Pelabuhan Laut akan diperketat dengan pemeriksaan semua
penumpang yang masuk tentang maksud dan tujuan kedatangannya di Timika.

Demikian maklumat ini dikeluarkan untuk dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung
jawab.

Timika 1 September 2003

Bupati Timika

Klemen Tinal, SE

(Disalin kembali sesuai aslinya)

Tragedi Pemekaran Berdarah 41


PERNYATAAN DAMAI

Pada hari ini Jumat, 26 September 2003, kami kedua pihak yang pernah bertikai
pascapendeklarasian Provinsi Irian Jaya Tengah, dengan ini menyatakan dengan sungguh-
sungguh bahwa:
1. Sepakat untuk menyelesaikan konflik dimaksud dengan cara damai dan penuh
kekeluargaan.
2. Menghentikan semua bentuk perselisihan, pertikaian, permusuhan dan segala bentuk tindak
kekerasan di antara kedua pihak.
3. Persoalan korban jiwa di antara kami akan diselesaikan secara kekeluargaan oleh masing-
masing pihak dan bukan merupakan penghalang perdamaian ini.
4. Akan meletakan dan menyimpan semua jenis senjata tajam yang kami miliki.
5. Kembali beraktivitas seperti sedia kala sebelum kami bertikai dalam suasana persaudaraan,
kekeluargaan dengan penuh cinta kasih dan rasa damai.
6. Tidak ada lagi rasa sakit hati dan dendam di antara kami.
7. Menyerahkan sepenuhnya kepada aparat penegak hukum untuk memproses sesuai
ketentuan perundang-undangan yang berlaku apabila di antara kami ada yang tidak
mentaati perdamaian ini
Demikian pernyataan ini kami buat dengan sebenarnya dan penuh persaudaraan tanpa
paksaan atau tekanan dari siapapun juga.

Tragedi Pemekaran Berdarah 42


Lampiran-lampiran

1. Korban Akibat Perang Terbuka:

L/
NO. NAMA KET. NO. NAMA L/P KET.
P
1. Jemmy Beanal L Meninggal 29. Bole Songgonau L Luka-luka
2. Tinus Mom L Meninggal 30. Etinus Mom L Luka-luka
3. Teris Murib L Meninggal 31. Elipinus Beanal L Luka-luka
4. Yulia Takati P Meninggal 32. Yulius Onawame L Luka-luka
5. Lambert Oniowa L Meninggal 33. Tadius Karaginal L Luka-luka
6. Beni Amisim L Luka-luka 34. Deky Mom L Luka-luka
7. Peya Murib L Luka-luka 35. Alinus Katagame L Luka-luka
8. Kedianus Mom L Luka-luka 36. Ronny Pinimet L Luka-luka
9. Kibenus Kiwak L Luka-luka 37. Yunus Wandik L Luka-luka
10. Karolus Kwalik L Luka-luka 38. Yohanis Dogomo L Luka-luka
11. Yesaya Beanal L Luka-luka 39. Samuel Amisim L Luka-luka
12. Supriyadi Dani L Luka-luka 40. Tulas Tabuni L Luka-luka
13. Arinus Amisim L Luka-luka 41. Jhon Anggaibak L Luka-luka
14. Yosafat Kiwak L Luka-luka 42. Yustinus Timang L Luka-luka
15. Yohanes Mamukang L Luka-luka 43. Urbanus Murib L Luka-luka
16. Jenis Mom P Luka-luka 44. Anton Pinimet L Luka-luka
17. Petrus Katagame L Luka-luka 45. Tomer Dolame L Luka-luka
18. Elfius Umabak L Luka-luka 46. Terinus Jolemal L Luka-luka
19. Yance Solme L Luka-luka 47. Yohanes Mom L Luka-luka
20. Jhon Amisim L Luka-luka 48. Manus Kogoya L Luka-luka
21. Yuli Murib L Luka-luka 49. Kamerakon Jolemal L Luka-luka
22. Matius Wandik L Luka-luka 50. Timotius Giay L Luka-luka
23. Welmianus Mom L Luka-luka 51. Simon Anggaibak L Luka-luka
24. Ekimis Kora L Luka-luka 52. Yoab Kibak L Luka-luka
25. Sengki Lokbere L Luka-luka 53. Doni Magai L Luka-luka
26. Yermias Wandiko L Luka-luka 54. Jery Magay L Luka-luka
27. Sura Yolemal L Luka-luka 55. Anius Kula L Luka-luka
28. Anton Kiwak L Luka-luka 56. Domi Mom L Luka-luka

Tragedi Pemekaran Berdarah 43


NO. NAMA L/P KET. NO. NAMA L/P KET.
57. David Elas L Luka-luka 69. Yohanis Wandikmo L Luka-luka
58. Welius Alom L Luka-luka 70. Alpius Duwitau L Luka-luka
59. Eris Onggomang L Luka-luka 71. Simon Along L Luka-luka
60. Sumaji L Luka-luka 72. Ladius Wandikmo L Luka-luka
61. Andreas Duwitau L Luka-luka 73. Tadius Katagame L Luka-luka
62. Yunius Niwilinggame L 74. Mathias Katagame L Luka-luka
Luka-luka
63. Winus Kiwak L 75. Sapira Kiwak L Luka-luka
Luka-luka
64. Karel Mom L 76. Damianus Wena L Luka-luka
Luka-luka
65. Yohanes Wamang L 77. Deni Amisin L Luka-luka
Luka-luka
66. Tadius Beanal L 78. Gedianus Mom L Luka-luka
Luka-luka
67. Elias Jona L 79. Elsitus Humabak L Luka-luka
Luka-luka
68. Steven Almabul L Luka-luka

2. Korban Perkosaan

NO. NAMA LOKASI KET.


1. Rosalina Sugumol SP II
2. Marike Beanal SP II
3. Marina Beanal SP II
4. Imelia Metawaro Jl. Baru & Kwamki baru
5. Agustina Bagao Jl. Baru
6. Dea Bagao Jl. Baru
7. Anike Bagao Jl. Baru
8. Magdalena Beanal Jl. Baru

Tragedi Pemekaran Berdarah 44


3. Korban Penjarahan.

a. Jl. Baru

NO. NAMA NO. NAMA


1. Theresia Magal 19. Bernade Takum
2. Carolus Kamagopme 20. Bartolomius Timang
3. Natalis Eloba 21. Yakobus Alomang
4. Maksi Magal 22. Demianus Yamang
5. Norbeth Kamanggopme 23. Petrogibak Tsenawatme
6. Yan Piligame 24. Dominikus Mamukang
7. Marinus Amisin 25. Kontranus Aim
8. Elias Wamang 26. Edi Kwalik
9. Simon Wamang 27. Eli Kwalik
10. Anton Oniyomak 28. Ambrosius Solme
11. Yance Wandoka 29. Kwalik
12. Pia Anggaibak 30. Agustinus Mamukang
13. Ludakinus Alomang 31. Yoisan Aim
14. Nikodimus Timang 32. Karel Kasamul
15. Isak Obalgame 33. An Kemong
16. Herman Beanal 34. Iba Kelabepme
17. Herman Oniyoma 35. Lukas Sugumol
18. Jemmy Beanal 36. Mathius Kemong

b. Jl. Cenderawasih
NO. NAMA NO. NAMA
1. Kosmas Kemong 6. Irene Timang
2. Dani Kemong 7. Lambert Oniyoma
3. Ema Kwalik 8. Niko Magal
4. Ema Magal 9. Hermina Pigay
5. David Magal

c. SP II Jalur V sebanyak 26 buah


d. SP III, V dan VI belum jelas.

Tragedi Pemekaran Berdarah 45


4. Korban Upaya Pembunuhan Berantai

NO N A M A A S A L A L A M A T KETERANGAN
1. Saparudin Bugis Gorong-gorong Timika Meninggal
2. Gustomi Gombo Wamena Sempan Timika Luka-luka
3. Longginus Dawergudi Flores Bambu kuning koprapoka Luka-luka
4. Markus Taruk Toraja Timika indah Luka-luka
5. Anto Bugis Jl. Pendidikan Perawatan di ICU
6. Ismail Buton Koprapka Timika Meninggal

Tragedi Pemekaran Berdarah 46


PERNYATAAN SIKAP
PENOLAKAN PEMEKARAN PROPINSI PAPUA
OLEH
MASYARAKAT PAPUA DI TIMIKA

Bentrokan fisik antara sesama penduduk sipil di Timika, Papua yang menewaskan lima (5) orang, korban luika-luka
sebanyak seratus dua puluh (120) orang dan pemerkosaan tiga (3) orang perempuan warga sipil pasca Deklarasi
Propinsi Irian Jaya Tengah pada tanggal 23 Agustus 2003 lalu, merupakan tragedi yang dipicu oleh kepentingan
elite-elite politik baik di Pusat maupun di Daerah yang telah mengorbankan rakyat sipil.
Bahwa telah terjadi pro-kontra di antara penduduk di Kabupaten Mimika mengenai pemekaran Propinsi Papua,
adalah suatu prestasi yang telah diraih oleh elite politik di Jakarta dan di Papua dalam menciptakan konflik horizontal
di tengah masyarakat dan mengalihkan perhatian masyarakat dari pelaksanaan Otonomi Khusus sesuai UU No 21
tahun 2001 tanggal 21 Nopember 2001.
Oleh karena itu kami masyarakat di Timika menyadari bentrokan fisik yang telah terjadi diantara kelompok pro dan
kontra bukan semata-mata disebabkan oleh masalah pemekaran propinsi tetapi kami menyadari bahwa ada upaya
terselubung yang ingin menghancurkan rakyat Papua dengan cara menghidupkan kembali Undang-undang No. 45
tahun 1999 untuk memekarkan propinsi Papua, yang sebenarnya validitas UU tersebut dipertanyakan dengan
dikeluarkannya UU No.21 tahun 2001 tentang Otsus Papua.
Kami masyarakat Papua di Timika memahami bahwa bentrokan berdarah yang menimpa penduduk sipil di Timika,
Papua merupakan akibat dari dikeluarkannya Inpres No.1 tahun 2003 secara misterius dan tergesa-gesa, dan
sekaligus mematahkan identitas orang Papua.
Kami berpendapat bahwa dengan UU No.45 tahun 1999 yang menjadi dasar hukum Inpres No.1 tahun 2003, justru
dikhawatirkan dapat memecah-belah rakyat Papua; antara lain dengan menginterpretasikan Papuanisasi secara
sempit, dalam arti tanah Papua Barat untuk rakyat Papua Barat, tanah Timika untuk Rakyat amungme dan Kamoro,
tanah Sorong untuk rakyat Sorong, tanah Biak untuk rakyat Biak ddan sebagainya. Oleh karena itu kami mendukung
sepenuhnya UU tentang Otonomi Khusus Papua yang bertujuan untuk menempatkan orang asli Papua dan
penduduk Papua umumnya sebagai subjek utama keberadaan pemerintah, pemerintah propinsi, pemerintah
Kabupaten/Kota serta semua perangkat di bawahnya, uuntukmemberikan pelayanan kepada rakyat Indonesia di
tanah Papua.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan mendalam tersebut di atas, maka secara tegas kami masyarakat Papua
yang ada di Timika menyatakan sikap sebagai berikut :
10. Meminta dengan tegas DPR RI untuk mendesak Presiden RI mencabut segera Inpres No.1 tahun 2003 karena
selain tidak dikenal dalam hirarki perundang-undangan menurut TAP MPR No.III/MPR/2000, juga bertentangan
dengan UU No.21 tahun 2001 dan memicu bentrokan berdarah serta mengakibatkan korban jiwa antara sesama
penduduk yang tidak bersalah.
11. Mendesak DPR RI untuk memanggil Presiden dan Mendagri untuk mempertanggung jawabkan INPRES
No.1/2003 yang dipandang sebagai bentuk kooptasi negara terhadap hak politik rakyat Papua Barat dan
merupakan bentuk KUDETA SIPIL pemerintah Pusat terhadap pemerintah daerah Propinsi Papua yang berakibat
timbulnya korban jiwa dan luka-luka di Timika Papua Barat.
12. Mendesak aparat penegak hukum untuk memanggil dan meminta keterangan serta pertanggungjawaban hukum
dari Ketua DPRD Kab. Timika dan Bupati Kabupaten Yapen serta Panitia Pelaksana Pendeklarasian Propinsi
IrjaTeng dan peresmian kantor Gubernur IrjaTeng berkaitan dengan konflik fisik yang terjadi di Timika Papua
Barat.

Tragedi Pemekaran Berdarah 47


13. Meminta KAPOLRI untuk tidak menjawab peristiwa Timika dengan mengirim pasukan yang sebenarnya tidak
perlu dan yang hanya akan menambah beban Kepolisian di Papua. Sebaliknya Kepolisian di daerah diarahkan
untuk bertindak secara jujur dan adil mengungkap kebenaran peristiwa tersebut secara berimbang.
14. Menyerukan kepada semua pihak (dalam dan luar negeri ) untuk mencegah terjadinya DARURAT MILITER di
Papua Barat dengan mendesak dikedepankannya DIALOG untuk menyelesaikan konflik politik di Papua Barat.
15. Kami secara tegas mendukung penuh agar segera dilaksanakannya OTONOMI KHUSUS (UU No.21 tahun
2001) di wilayah Tanah Papua dalam waktu satu (1) bulan, jika waktu yang telah ditetapkan tidak dilaksanakan
maka kami dengan tegas menyerukan kepada pemerintah Republik Indonesia segera membuka diri bagi rakyat
Papua untuk melaksanakan REFERENDUM.
16. Mendesak pemerintah pusat agar tidak boleh dan tidak pernah ada untuk menggunakan nama IRIAN JAYA
dalam bentuk apapun sehingga nama PAPUA yang telah ditetapkan agar digunakan karena hal itu merupakan
wujud terhadap harkat, martabat serta sejati orang Papua.
17. Mendesak pemerintah pusat, pemerintah daerah propinsi Papua dan Pemerintah kabupaten Mimika segera
mengeluarkan Surat Keputusan untuk membekukan Lembaga Legislatif (anggota dn jabatan Ketua DPRD
Kabupaten Timika). Dan menuntup kantor DPRD kabupaten Mimika sampai dengan dilantiknya anggota DPRD
kabupaten Mimika hasil Pemilihan Umum tahun 2004.
18. Kami menuntut agar pemerintah R4epublik Indonesia bertanggung jawab atas korban baik korban meninggal,
korban luka-luka dan kerugian materiil yang ditimbulkan akibat konflik.

Demikian pernyataan sikap masyarakat Papua di wilayah adat Amungsa guna menghindari adanya konflik vertikal
dan horizontal di Tanah Papua.

Dibuat di : Timika
Pada tanggal : 3 September 2003

Hormat kami,

PIMPINAN LEMASA,

Tragedi Pemekaran Berdarah 48

Anda mungkin juga menyukai