Anda di halaman 1dari 10

KOALISI MASYARAKAT SIPIL UNTUK MASYARAKAT ADAT

laporan awal:

Penolakan Masyarakat Adat Terhadap Penempatan


Komando Teritorial Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat
di Distrik Nimbokrang, Nimboran, Namblong, Kemtuk,
Kemtuk Gresi, Depapre, Demta dan Kaureh

Bagian satu

PENDAHULUAN

“Demokrasi haruslah dibangun yang berbasis pada keutuhan kedaulatan rakyat melalui landasan
dan prinsip rakyat yang bebas dari ketakutan, penindasan, kekerasan dari berbagai bentuk
pelanggaran Hak Asasi Manusia”. Yang merupakan Visi NGO/LSM HAM di Papua sebagai
kelompok yang memperjuangkan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia.
Advokasi dan Pendidikan HAM adalah aktivitas yang bertujuan memberikan sebuah poses
pembelajaran seputar upaya penegakan Hak Asasi Manusia bagi masyarakat Indonesia. Acuan
hukum yang digunakan adalah konvensi-konvensi dan prosedur-prosedur pengaduan tentang
hak-hak asasi manusia baik melalui mekanisme PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) aturan-
aturan Regional dan Nasional Republik Indonesia seperti UU No 39/1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
Upaya Advokasi dan Pendidikan HAM khusus bagi Masyarakat di tanah Papua ini didasari atas
berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang sampai saat ini belum terselesaikan dan
masih menjadi sebuah tanda tanya besar terutama bagi korban yang secara langsung mengalami
pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Sejak Propinsi Papua menjadi Daerah Operasi Militer (DOM) yang berlangsung dari tahun 1961-
1998. Sehingga melahirkan beberapa peristiwa di wilayah adat Grime Nawa dan Demta,
melahirkan beberapa peristiwa kekerasan di daerah ini. Daerah ini juga sebagai tempat
perlawanan bersenjata antara ABRI (sekarang TNI) dan OPM dengan strategi dan cara yang
digunakan sehingga melahirkan korban jiwa dan harta benda yang tidak sedikit, baik dipihak
TNI, OPM dan penduduk setempat, penempatan beberapa pos TNI, transmigrasi, bisnis militer
yang di back up oleh perorangan dan kelompok tertentu dengan perusahaan semakin membuat
wilayah adat Grime Nawa dan Demta rawan kekerasan.
Bagian Dua

KONDISI DI LAPANGAN
a. Data Faktual
Berikut ini akan disampaikan beberapa kondisi faktual yang terjadi di beberapa kampung
yang berada di wilayah kabupaten Jayapura. Data tersebut dirangkum berdasarkan
investigasi lapangan yang dilakukan tim ( terbagi dalam 3 Tim) pada tanggal 7 November
2005 s/ d 18 November 2005 di kampung Besum distrik Namblong , di kampung
Yaugabsa, Ambora, Demta Kota di distrik Demta, serta Besum distrik Namblong.
(Dilakukan oleh ALDP)
Latar belakang informan cukup beragam, di antaranya, kepala kampung, ketua Dewan
Adat Suku dan Dewan Adat Wilayah, anggota TNI, pegawai pemerintah, tokoh adat,
tokoh agama, tokoh perempuan, tokoh pemuda. Untuk pertimbangan tertentu, semua
nama informan kami gunakan inisial.
 Distrik Sentani Barat
1. Pengakuan seorang informan di kampung Sabron Yaru, FY, pada sekitar bulan
Agustus 2005, mendapatkan informasi langsung dari salah seorang pejabat di
Polres Jayapura, bahwa nanti sekitar bulan November dan Desember 2005, akan
ada penempatan anggota Kepolisian di beberapa distrik di kabupaten Jayapura
dengan jumlah sekitar 15 orang setiap kampung. Anggota Kepolisian tersebut
akan menetap di beberapa rumah penduduk dan akan membantu pekerjaan
masyarakat sehari-hari.
2. Pada tanggal 16 November 2005, SR yang bermukim di kampung Kertosari,
melaporkan bahwa saat ini telah ada 15 orang anggota TNI yang berada di
kampung Kertosari. Kehadiran mereka di kampung tersebut adalah untuk
menjalankan program TNI Bina Desa. Pada waktu yang sama, SR juga
memberitahukan bahwa selain satuan TNI tadi, ada satuan TNI lain dengan
jumlah sekitar 3 SSK yang melakukan latihan tempur di sekitar kampung dan
kebun milik warga.
3. Tanggal 9 November 2005, sekitar pukul 10.30, Dandim 1701/Jayapura, Letkol
Viktor Tobing, mendatangi Ketua Dewan Adat Mamberamo Tami (Mamta),
Forkorus Yaboisembut, S.Pd, menyampaikan bahwa akan ada penempatan sekitar
15 orang anggota TNI di setiap kampung selama kurang lebih 50 hari. Ketika itu,
Ketua Dewan Adat Mamta membolehkan hanya sekitar 1 sampai 2 minggu,
mengingat Natal makin dekat. Pun jika terpaksa harus diturunkan juga, maka itu
hanya di kampung-kampung yang bersedia menerima kehadiran TNI. Tidak ada
kesepakatan antara Dandim Jayapura dan Ketua Dewan Adat Mamta. Dan sekitar
1 jam kemudian, Danramil Sentani juga ikut dalam pertemuan tersebut.
Pada tanggal 15 November 2005, pagi hari sekitar jam 07.00 WP, Ketua Dewan
Adat Mamta melihat 4 truk berisi anggota TNI yang bergerak masuk ke
kampungnya dari arah Selatan ke Utara dan dari Barat ke Timur, bahkan ada 2
orang yang sempat bergerak di sekitar halaman rumahnya seperti sedang
memperhatikan atau mencari sesuatu, tidak ada aksi dari TNI sampai
meninggalkan tempat tersebut. Tapi sejak itu dikabarkan banyak sekali TNI yang
beraktifitas di sekitar Kertosari hingga sekarang masih ada sekitar satu regu, atau
15 anggota TNI.
 Distrik Nimbokrang
1. SS, seorang warga di kampung Hamongrang, mengakui bahwa ada pertemuan
pada tanggal 7 November 2005 yang membahas penempatan TNI. Pertemuan
tersebut, menurut SS, dihadiri oleh Danramil dan Kapolsek Nimbokrang. SS
mengakui bahwa Danramil mengatakan jika anggota TNI tersebut akan
membantu pekerjaan masyarakat setempat.
2. Berdasarkan laporan SR, seseorang yang memiliki kerabat dekat di Lokasi I, dan
diutus khusus untuk memastikan kabar penempatan pasukan TNI di daerah
tersebut, mengakui bahwa di Nimbokrang I terdapat 6 orang anggota Kopasus
yang tinggal di rumah warga transmigran. 2 orang di blok A, 2 orang di Blok B,
dan di Blok C dan D, masing-masing satu orang.
Masih berdasarkan laporan SR, bahwa di Nimbokrang II, terdapat 5 orang
anggota Kopasus yang menetap di rumah warga transmigran. Kesemuanya
menetap di salah satu rumah di Blok E lokasi 400.
3. Informasi dari JK, bahwa di kalangan masyarakat transmigran di Nimbokrang I
dan II telah beredar isu akan ada kelompok yang akan menyerang masjid.
Sehingga menurut AT, pada malam hari, masjid kini dijaga oleh anggota
kepolisian, sedangkan gereja dijaga oleh anggota TNI.
 Distrik Nimboran
1. Pada pertengahan Oktober, di kampung Koipons, SD, salah seorang warga,
mengatakan bahwa ada pengumuman yang mengatakan akan ada pertemuan
dengan Danramil. Pada pertemuan tersebut, Danramil menjelaskan bahwa akan
ada penempatan anggota TNI yang akan bekerja membantu masyarakat bekerja.
dikatakan oleh SD, bahwa ketika itu masyarakat menolak rencana penempatan
pasukan TNI tersebut. Meski demikian, kepala desa menerima karena alasannya
di kampung tersebut masih ada pembangunan balai kampung serta rehabilitasi
gereja.
Dikatakan bahwa pasukan akan berada bersama masyarakat dari tanggal 14
November sampai dengan 31 Desember 2005.
2. AT, salah seorang warga desa Benyom, melaporkan bahwa kondisi di kampung
mereka lebih rumit, karena selain rencana pendirian pos di kampung tapi juga
penempatan pasukan telah dilakukan di belakang kampung mereka, di sekitar
hutan. Ini diketahui oleh beberapa masyarakat yang menemukan tentara ketika
sedang berburu di hutan.
Menurut AT juga, bahwa ada pasukan TNI yang mencari Helikopter yang jatuh
pada 12 Agustus 2005 lalu di sekitar kampung mereka.
3. JK, warga Besum mengatakan, bahwa sebelum 12 Agustus 2005 (waktu
demosntrasi penolakan Otsus oleh DAP), di Genyem, telah beredar isu bahwa ada
senjata yang di-drop untuk masyarakat. Ini makin diperparah dengan adanya
kelompok masyarakat yang diidentifikasi oleh JK sebagai kaki tangan TNI.
 Distrik Namblong
1. SW memberikan pernyataan, bahwa pada tanggal 27 Oktober 2005, ada
pertemuan antara Danramil dengan masyarakat Besum yang membahas
penempatan anggota TNI yang akan bertugas membantu pekerjaan masyarakat.
Waktu itu, SW mengakui bahwa masyarakat menolak rencana tersebut, karena
pada beberapa tahun lalu, 4 orang masyarakat Besum meninggal karena perilaku
beberapa oknum TNI. Seorang perempuan bahkan diperkosa oleh oknum TNI
yang tidak bertanggungjawab. Karena penolakan tersebut, menurut SW,
Danramil sempat marah dan mengatakan bahwa, “kalau kamu bisa merdeka,
potong jari saya”, selain itu, Danramil juga mengatakan bahwa, “saya Danramil
yang akan menjadi komandan operasi nanti”.
 Distrik Kemtuk Gresi
1. Tanggal 17 November 2005, MD, melihat ada pasukan yang diturunkan melalui
helicopter di sekitar kampung mereka untuk mencari helicopter milik TNI AU
yang hilang. Informasi ini diperkuat dengan pernyataan dari PU dan JU yang juga
masyarakat di kampung Braso. Informasi dengan alasan yang sama, juga
disampaikan oleh RI, warga kampung Nandai yang melihat ada sekitar 7 buah
truk pasukan TNI pada dini hari. Tanggal 14 Oktober 2005, MD, juga melihat
adanya helicopter yang terbang di sekitar kampung Bongrang.
2. Pada tanggal 11 November 2005, Kapolres Jayapura, Yacob Kalembang, BA, ke
kampung Braso untuk memberitahukan bahwa akan dibangun pos Polisi .
3. Di kampung Ibub, kepala desa Ibub mengatakan bahwa akan ada penempatan
sekitar 15 orang personel kepolisian untuk membantu masyarakat. Rencana ini
menurut kepala desa ditolak oleh masyarakat.
Informasi dengan alasan yang sama juga disampaikan oleh AK di kampung
Jangrang.
 Distrik Demta
1. DY, salah seorang tokoh adat yang tinggal di kampung Ambora, mengatakan
bahwa pada tanggal 27 Oktober 2005, telah didatangi oleh Danramil Demta, Letda
Triyono, bahwa akan ada penempatan anggota TNI di 3 kampung di Demta, yaitu
kampung Ambora, kampung Demta Kota dan kampung Yaugabsa.
Informasi ini juga disampaikan oleh Kepala Desa Ambora, yang menyerahkan
sepenuhnya kepada Dewan Adat Suku di Demta. Yang pasti, bahwa kepala desa
keberatan jika anggota TNI tersebut ditempatkan di rumah-rumah penduduk.
2. Pada tanggal 4 Oktober, LW salah seorang aparat desa Yaugabsa di beritahukan
oleh Danramil Demta, Letda Triyono mengenai rencana penempatan personil TNI
di kampung mereka, penempatan anggota TNI direncanakan pada tanggal 9
November dan berakhir pada tanggal 31 Desember 2005 yang berjumlah 15 orang
dan akan di tempatkan di rumah-rumah penduduk.
Pada waktu itu, LW mengatakan bahwa mereka menolak rencana tersebut karena
mereka hendak berkonsentrasi pada perayaan Natal dan Tahun Baru.
3. Berdasarkan pengakuan Danramil Demta yang baru, Letda Sahanudin, pada
tanggal 9 November 2005, bahwa pada tanggal 14 November 2005 akan ada
penempatan pasukan di 3 kampung: Demta Kota, Ambora dan Yaugabsa. Masing-
masing kampung akan ditempatkan 15 orang anggota TNI.
 Distrik Depapre
1. Pada tanggal 27 Oktober, masyarakat kampung Wambena diberitahukan oleh
seorang anggota Koramil Depapre bahwa akan ada sekitar 15 orang personel TNI
yang akan ditempatkan di kampung.
Informasi ini didapatkan dari surat penolakan Tri Tungku Kampung Wambena
terhadap rencana tersebut, yang disampaikan kepada ketua Dewan Adat Mamta.
 Distrik Kaureh
1. Berdasarkan informasi dari DT, bahwa pada tanggal 9 November 2005, telah
terjadi penyiksaan di tempat tinggal karyawan PT. Sinar Mas, di Lereh. Ini terjadi
ketika anggota TNI di wilayah tersebut melakukan sweeping KTP terhadap warga
yang tinggal di lokasi tersebut. Kepada mereka yang tidak memiliki KTP
direndam dalam lumpur.
Dalam informasinya, DT mengatakan bahwa adiknya pernah bertemu dengan
beberapa anggota TNI di dalam hutan, dan anggota TNI tersebut mengatakan
bahwa mereka baru saja didatangkan dari Jawa, dan kepada mereka, dikatakan
kalau di Papua saat ini sedang dalam keadaan perang. Dijawab oleh adik DT,
bahwa di Papua saat ini tidak ada apa-apa, semua aman.
2. JK, memberikan informasi, bahwa di Tajah dan Lereh, telah ada sekitar 12 orang
anggota TNI yang berada di setiap barak perusahaan PT. Sinar Mas. Sementara
barak yang ada di sekitar kampung tersebut berjumlah 9 buah. Artinya kini telah
ada sekitar 108 orang anggota TNI di lokasi tersebut.

b. Reaksi Masyarakat
 Tri Tungku Kampung Wambena, distrik Depapre, pada tanggal 28 dan 30 Oktober,
telah mengadakan rapat serta menyatakan sikap, MENOLAK rencana penempatan
anggota TNI di kampung tersebut. Surat tersebut juga ditandatangani oleh unsur
pemuda, LSM, perempuan, dan beberapa tokoh adat lainnya. Surat penolakan
terlampir.
 Ketua DAW Mamta, menyampaikan permohonan kepada ALDP melalui suratnya
bernomor 35/DAM/X/2005, tertanggal 28 Oktober 2005, dengan perihal, Mohon
Upaya Investigasi dan Advokasi Masyarakat di Wilayah Terindikasi Hilangnya
Helikopter milik TNI AU.
 Salah seorang masyarakat distrik Demta, DD, yang mengaku diperintah oleh para
kepala suku untuk menyampaikan kondisi keamanan di kampung Ambora, Yaugabsa
dan Demta Kota, distrik Demta, melalui surat kepada ALDP, tanggal 4 November
2005. Dalam surat tersebut, disampaikan juga bahwa masyarakat juga MENOLAK
keinginan Danramil Demta tersebut.
 Tanggal 26 Oktober 2005, masyarakat di kampung Besum telah menyampaikan sikap,
MENOLAK rencana yang disampaikan oleh Danramil. Penolakan tersebut
disampaikan langsung di hadapan Danramil yang kebetulan ikut serta dalam rapat
tersebut. Penolakan masyarakat atas kehadiran TNI tersebut tidak sempat dibuat
dalam bentuk tertulis.
 Sebagian besar masyarakat yang berada di distrik-distrik tersebut di atas, tengah
berada dalam kecemasan. Bahkan seorang Kepala Desa di distrik Nimbokrang
(kebetulan berasal dari suku Jawa), pernah menyampaikan rasa kesalnya atas
kehadiran anggota TNI ini. Beberapa warga transmigrasi di daerah Besum dan
Nimbokrang juga merasakan hal yang sama, karena beberapa perempuan di daerah
itu menjadi korban “kebirahian” anggota TNI.
 JK menyampaikan bahwa informasi akan adanya penempatan pasukan TNI telah
beredar luas di masyarakat sebelum ada kabar hilangnya helicopter. Sehingga
masyarakat sama sekali tidak percaya atas kebenaran cerita tersebut. Masyarakat
meyakini bahwa itu hanya rekaan dari kelompok tertentu.
 Pada tanggal 5 November 2005, masyarakat di kampung Sabron Yaru, lewat Forum
Musyawarah Tiga Tungku Sabron Yaru, menyampaikan permohonan kepada Kapolda
Papua, lewat surat bernomor 331/FMTT-SY/XI/2005, agar program Bina Mitra
diundur sesudah perayaan Natal dan Tahun Baru 2006.
 Pada tanggal 5 November 2005, Dewan Adat Suku Souw Warry, yang membawahi
suku-suku di kampung Demta Kota, Ambora dan Yaugabsa, menyampaikan surat
bernomor 01/MAY/XI/2005, kepada Panglima Kodam XVII/Trikora dengan isi
MENOLAK kehadiran TNI (Koter) di kampung Demta Kota, Ambora dan Yaugabsa.
 Pada tanggal 15 November 2005, Dewan Adat Suku Grime Nawa, yang membawahi
suku-suku di distrik Kemtuk, Kemtuk Gresi, Namblong, Nimbokrang, Unurum Guay
dan Kaureh, membuat Surat Pernyataan bernomor 8-027/DAP/ Wil-I.MT/DAD-
GN/XI/05, tentang “Penolakan Kehadiran dan Penempatan Satuan TNI AD dan
Kepolisian RI yang Berkehendak Tinggal Bersama di Rumah Masyarakat dalam
Wilayah Hukum Dewan Adat Suku Grime Nawa”.
Bagian Tiga

SIMPULAN AWAL DAN REKOMENDASI

Pertama perlu dicatat, bahwa hasil Pemantauan Tim di lapangan dalam kasus Penempatan
Pasukan TNI/Polri di wilayah Demta, Nimbokrang, Nimboran, Namblong, Depapre dan Sentani
Barat, ini merupakan suatu upaya tahap awal yang masih perlu dilengkapi dengan data-data
pendukung lainnya. Namun sebagai suatu data awal tentang kasus tersebut, sudah merupakan
dasar yang kuat untuk mengajukan secara bertanggungjawab sejumlah uraian, pertanyaan
mendasar serta rekomendasi yang bisa menjadi bahan pertimbangan sejumlah instansi terkait.

a. Sejumlah Pertanyaan Dasar


 Mengenai hilang atau jatuhnya helicopter milik TNI AU yang di-BKO-kan di Kodam
XVII/Trikora, tanggal 12 Oktober 2005, menyusul dilakukannya berbagai cara pencarian
yang sudah dilakukan oleh pihak TNI dari berbagai kesatuan dengan bantuan berbagai
pihak. Hingga dihentikan dan belum ditemukannya helicopter tersebut, telah
menimbulkan berbagai pertanyaan pada kita semua, mengingat bahwa:
a. Wilayah yang diindikasinya sebagai tempat hilang atau jatuhnya pesawat adalah
dusun dan tempat pemukiman warga.
b. Helicopter adalah benda dengan bentuk yang relative besar, sehingga paling tidak
sebelum hilang, setidaknya ada warga masyarakat yang sempat mendengar dan atau
melihat benda tersebut. Namun hal tersebut tidak pernah ada pengakuan warga yang
sempat mendengar dan atau melihat helicopter tersebut pada tanggal 12 Oktober
2005, atau beberapa saat sebelum jatuh.
Pertanyaanya adalah, mengapa sampai sekarang helicopter tersebut belum ditemukan
juga, padahal sudah dilakukan pencarian optimal – secara tim dan peralatan – dan titik
hilang atau jatuhnya diketahui dan diperkirakan di antara pemukiman dan dusun?
 Saat pemberitaan hilang atau jatuhnya helicopter, masyarakat sudah menyimpan
kecurigaan mengenai kemungkinan penempatan pasukan TNI/Polri di wilayah mereka.
Hal ini terbukti dengan berbagai peristiwa yang berkaitan dengan rencana penempatan
pasukan TNI dan juga Polri (untuk wilayah Kemtuk Gresi). Berbagai pendekatan telah
dilakukan, baik secara tertutup melalui pembicaraan informal (mendatangi kepala
kampung dan tokoh-tokoh masyarakat), bahkan sampai pada pertemuan formal.
Pendekatan yang dilakukan oleh aparat militer, yakni Banbinsa maupun Danramil dan
Polri: aparat Polsek setempat.
Hasilnya adalah, masyarakat MENOLAK (baik secara lisan maupun dengan membuat
pernyataan/surat resmi), dengan berbagai alasan, antara lain sebagai berikut:
a. Keberatan, karena sudah ada Koramil dan Polsek, bahkan telah ada pos tentara di
beberapa tempat, seperti di Demta Kota. Mengapa harus ada penambahan pasukan
lain lagi, sedangkan kondisi daerah sangat aman, tidak sedang perang dan masyarakat
sibuk dengan aktifitas mereka masing-masing: berkebun, ke laut, menyekolahkan
anak dan berbagai aktivitas social kemasyarakatan lainnya.
b. Keberatan, karena tidak ada rumah untuk menempatkan pasukan. Tapi alasan ini
dijawab oleh aparat TNI/Polri, bahwa pasukan akan dititipkan pada rumah-rumah
penduduk.
c. Keberatan karena masih trauma dengan pengalaman kehadiran pasukan TNI di masa
lalu. Jawaban Danramil yang membawahi tiga distrik: Nimbokrang, Nimboran dan
namblong, justru makin membuat masyarakat khawatir dan merasa diintimidasi
(baca kronologis).
d. Di beberapa kampung, ada kebiasaan yang selalu berlaku dan ditaati oleh masyarakat
setempat (terutama di kampung Yaugabsa), bahwa di bulan Oktober dan November
pada tahun berjalan, seluruh aktivitas masyarakat berkonsentrasi pada penyambutan
hari raya Natal dan Tahun Baru.
Pertanyaannya:
e. Apakah masih dapat dipertanggungjawabkan secara moral penambahan pasukan TNI
maupun Polri. Padahal masyarakat secara tegas telah menolak, karena khawatir
peristiwa buruk di masa lalu akan terulang kembali. Dalam hal ini diawasi terus
menerus, sehingga hidup mereka selalu dalam situasi ketakutan, justru di kampung
halamannya sendiri. Mereka menjadi tidak bebas berkebun, ke laut atau
menyekolahkan anak serta melakukan aktivitas-aktivitas lainnya.
f. Apakah penempatan pasukan TNI berkaitan dengan ‘pengaktifan’ kembali Komando
Teritorial (Koter) ? yang sebenarnya masih terjadi perdebatan di kalangan pemerintah
sendiri. Menurut Panglima TNI, Jenderal Endriartono Sutarto, tidak diperlukan
payung hukum tambahan (Cepos, Selasa 8 November 2005), dan dapat dijalankan
sambil menunggu ijin dari Presiden (Pemberitaan Metro TV, 15 November 2005).
Akan tetapi mendapat reaksi keras dari Komisi I DPR RI karena harus dibicarakan
terlebih dahulu agar tidak membuat rakyat menjadi takut.
Berkaitan dengan konstruksi hukum dari keberadaan Koter ini, dapat dilihat dalam
UU No. 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, Bab Ketiga, Tugas TNI,
Pasal 7 huruf (2), yang memuat 14 Tugas Pokok Operasi Militer selain perang, di
mana pada huruf (3), bahwa itu dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan
politik Negara.
Pertanyaanya, apakah Panglima TNI (pihak TNI) telah memperoleh persetujuan yang
merupakan keputusan politik negara untuk mengaktifkan Komando Teritorial
ataupun Desk Antiteror?
Selain itu juga disebutkan dalam pasal 17 (1), bahwa kewenangan dan tanggung jawab
pengerahan kekuatan TNI berada pada presiden, di mana hal tersebut harus
mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Maka pertanyaannya adalah, apakah pengerahan kekuatan TNI melalui pengaktifan
Komando Teritorial dapat dilaksanakan tanpa persetujuan presiden bahkan belum
atau tanpa mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat RI?
Nampaknya selain menyangkut issu pertahanan keamanan yang bersifat nasional,
bahwa penempatan pasukan berkorelasi dengan issu yang secara khusus menyangkut
Papua, seperti pengumuman hasil kajian ilmiah mengenai PEPERA dari Prof.
Drooglever di Den Haag, The Netherland, tanggal 15 November 2005.
Sebagaimana diketahui, menjelang pengumuman hasil kajian ilmiah Prof. Drooglever,
mendapat reaksi dari masyarakat dan pemerintah, baik di tingkat lokal dan nasional.
Walaupun sudah jelas diterangkan, bahwa pengumuman tersebut merupakan hasil
penelitian atau kajian ilmiah, namun sulit dijamin bahwa tidak akan ada reaksi dari
pihak manapun – terutama dari orang Papua sendiri – setelah pengumuman tersebut
dipublikasikan. Maka dilakukan antisipasi terhadap hal tersebut, misalnya
pertemuan yang diselenggarakan oleh Gubernur Propinsi Papua, publikasi yang di
blow up oleh media massa dan lain-lain. Nyatanya bahwa di saat yang bersamaan, pada
bulan November hingga Desember 2005, suhu politik di Papua “cenderung”
meningkat, seperti tahun-tahun sebelumnya berkaitandengan tanggal : 10 November ,
1, 10 dan 14 Desember. Secara khusus di tahun ini pula, terjadi proses penyelenggaraan
Pilkada provinsi Papua, sehingga penempatan (penambahan) pasukan di daerah-
daerah yang diindikasikan sebagai “daerah merah”, sebagai antisipasi terhadap issu
nasional maupun lokal Papua dipandang cukup beralasan.
Pertanyaannya adalah, mengapa kebijakan yang dikeluarkan selalu tidak taat pada
dasar hukum yang sudah ada dan kepentingan masyarakat yang mewakilinya?
Mengapa kebijakan – baik yang bersifat nasional maupun local – yang merupakan
antisipasi terhadap peristiwa yang dikhawatirkan – untuk mempertahankan
“Indonesia Satu“ – justru menjadi kontraproduktif dari tujuan yang dikehendaki,
terus menerus meminggirkan dan makin menjauhkan orang Papua dari Indonesia?

b. Rekomendasi
Dari hasil kronologis, simpulan dan pertanyaan awal di atas, maka disampaikan beberapa
rekomendasi, sebagai berikut:
a. Perlu ada pernyataan resmi dari pihak yang berwenang mengenai hilang atau jatuhnya
helicopter. Mengingat berbagai upaya pencaharian sudah dilakukan, namun sampai
sekarang tidak atau belum diketahui keberadaan helicopter yang hilang atau jatuh
tersebut. Hal ini penting untuk mencegah berkembangnya interpretasi yang bermacam-
macam, saling mencurigai dan berkembang prasangka yang dapat menyudutkan salah
satu pihak atau lebih, sehingga justru merusak relasi sosial yang sedang dibangun
bersama.Sehingga juga bila nanti dikemudian hari helicopter tersebut diketemukan maka
akan bisa dipertanggungjawabkan tentang keberadaaannya selama kehilangannya.
b. Pemerintah dalam mengeluarkan kebijakannya, harus melihat dasar hukum yang ada dan
dengan mempertimbangkan kepentingan atau pendapat dari masyarakat, sehingga
kebijakan yang dikeluarkan secara normative tidak bertentangan dengan aturan yang ada
di atasnya, dan secara moral mendapat dukungan dari lembaga politik dan masyarakat.
Berkaiatan dengan upaya mengaktifkan kembali Komando Teritorial, di mana secara
legalitas formal belum dilengkapi defenisi operasional (PP) , keputusan politik, dan
masih terjadi penolakan di masyarakat, maka agar tidak dilakukan terlebih dahulu.
Adapun pasukan yang sudah ada untuk ditempatkan di kampung-kampung, agar ditarik
kembali.
c. Terhadap isu yang berkembang secara internasional, nasional dan lokal, atau khusus
Papua, hendaknya direspon secara wajar tanpa melalui pendekatan pertahanan
keamanan secara sepihak, yang justru akan membuat hasil-hasil yang kontraproduktif,
dan makin memperdalam jurang antara pemerintah, khsususnya TNI dan Polri dengan
masyarakat. Pendekatan yang dilakukan agar menggunakan bentuk dan cara yang
disesuaikan dengan situasi dan kondisi, sehingga menghasilkan tujuan yang menjadi cita-
cita bersama.
d. Diharapkan dukungan dari berbagai pihak untuk memperjuangkan Hak Hidup Orang
Papua, dan seluruh masyarakat di Papua dalam melakukan aktifitas kehidupan sehari-
hari yang bebas dari rasa takut, provokasi dan intimidasi. Oleh sebab itu, peristiwa yang
dialami oleh masyarakat di Demta, Nimbokrang, Nimboran, Kemtuk Gresi, Kaureh dan
Depapre, harus dipahami sebagai peristiwa yang bisa terjadi di mana saja kita berada dan
merupakan ancaman terhadap kehidupan yang aman tanpa rasa takut yang menjadi
keinginan kita semua.
Jayapura, 21 November 2005
KOALISI MASYARAKAT SIPIL UNTUK MASYARAKAT ADAT
ttd
Pascalis Letsoin, SH
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua

ttd
Latifah Anum Siregar, SH
Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP)

ttd
Pieter Ell, SH
KontraS PAPUA

ttd
Budi Hernawan, OFM
Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Jayapura

ttd
Jefri Simanjuntak, S.Sos
Front Pembebasan Penindasan Papua (FP3)

ttd
Jefri Pagawak
Parlemen Jalanan

Anda mungkin juga menyukai