DOK II JAYAPURA
Yang Terhormat,
di
Jakarta
Dengan hormat,
Kami atas nama Koalisi LSM Papua untuk Solidaritas Perawat, Bidan dan
Tenaga Medis RSUD Dok II Jayapura yang terdiri dari ALDP, KontraS Papua
dan LBH Papua yang beralamat pada kantor AlDP di Padang Bulan Jayapura,
dengan ini menyampaikan fakta – fakta sebagai berikut:
1. Bahwa Perawat, Bidan dan Penunjang medis di RSUD Dok II Jayapura telah
menerima insentif sejak tahun 2005 dan pada tahun 2010 direncanakan akan
ada perubahan/kenaikan insentif.Sejak awal april 2010 Perawat,Bidan dan
Penunjang medis RSUD DOK II Jayapura berkirim surat kepada Gubernur
Provinsi Papua untuk minta berdialog sehubungan dengan perubahan
tersebut.
2. Pada tanggal 2 desember 2010 Perwat,bidan dan penunjang medis RSUD
Dok II Jayapura melakukan demonstrasi pertama DPRP Papua karena tidak
dibukanya ruang dialog meski telah diajukan berulang kali. Tanggal 3
desember 2010, Komisi E DPRP, Sekda provinsi Papua,kepala Biro Hukum
Provinsi Papua,Perwakilan Dinas Kesehatan provinsi Papua ,pejabat RSUD
Dok II Jayapura dan perwakilan pendemo melakukan pertemuan untuk
membahas insentif yang belum dibayarkan sejak1 januari 2010. Akhirnya
dicapai kesepakatan insentif akan dibayarkan
3. Maka pada tanggal 06 Desember 2010 dikeluarkan Keputusan Gubernur
Nomor 125 Tentang PEMBERIAN INSENTIF KEPADA SUMBERDAYA
MANUSIA KESEHATAN YANG BERTUGAS DI RSUD JAYAPURA TAHUN
ANGGARAN 2010.
4. Rencana realisasi pembayaran insentif tersebut ditegas kembali oleh Sekda
Provinsi Papua dalam sambutannya pada perayaan natal di RSUD Dok II
Jayapura tanggal 17 desember 2010 dengang mengatakan bahwa “insentif
akan segera dibayarkan tinggal menunggu penyelesaian administrasi..”
5. Kenyataannya hingga akhir tahun 2010,Perawat,bidan dan penunjang medis
RSUD Dok II jayapura tidak menerima realisasi pembayaran insentif
terhitung 1 Januari 2010.Diketahui kemudian bahwa gubernur Provinsi Papua
telah mengeluarkan Keputusan Gubernur Nomor 141 Tahun 2010 tertanggal
30 Desember 2010 yang mencabut Keputusan Gubernur Nomor 125 tahun
2010.Dengan pertimbangan bahwa apabila insentif dibayarkan akan terjadi
duplikasi anggaran,padahal sebelum insentif telah dibayarkans ejak tahun
2005 dan perawat RSUD Abepura diwaktu yang bersamaan(untuk tahun
2010) tetap menerima insentif.
6. Bahwa perawat,bidan dan penunjang medis sempat menarik diri/tidak
melakukan pelayanan kesehatan namun setelah difasilitasi oleh Persatuan
Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Provinsi Papua,perawat, bidan dan
penunjang medis melakukan aktifitas kembali sambil tetap menuntut realisasi
pembayaran insentif.
7. Meski telah meminta berdialog berulang kali (Sejak april 2010 sd maret 2011)
,gubernur provinsi Papua tetap tidak menyediakan waktu, mereka pernah
dijanjikan untuk bertemu setelah difasilitasi oleh Komisi E DPRP,akan tetapi
setelah berada di ruang tunggu gubernur,mereka tidak diberikan waktu.
Bahkan pemerintah provinsi Papua melalui Sekda bertemu dengan
perawat,bidan dan penunjang medis RSUD Dok II di RSUD Dok II tanggal 12
Maret 2011 dan mengeluarkan kata- kata ancaman seperti “..”kamu belum
tahu otak saya,saya akan selesaikan dengan cara saya...”
8. Pada hari senin tanggal 14 Maret 2011 sekitar pukul 22.00 WIT,setidaknya
sekitar 8 orang penyidik dari POLDA Papua mendatangi rumah suster Leni
Ebe,koordinator Perawat,bidan dan penunjang medis dengan perintah akan
membawa suster Leni Ebe untuk diminta keterangan sebagai Saksi.Sehari
sebelumnya Leni Ebe telah menerima surat panggilan sebagai saksi untuk
dimintai keterangannya pada hari Senin tanggal 14 Maret 2011.Akan tetapi
karena mengikuti pertemuan dengan PPNI, Leni Ebe tidak memenuhi
panggilan pertamanya.Penasehat Hukum menjanjikan bahwa Leni Ebe akan
didampingi pada hari selasa tanggal 15 maret 2011.
9. Pada hari selasa tanggal 15 maret 2011 sekitar pukul 10.00 WIT Leni Ebe
dan seorang bidan Popi Mauri diperiksa sebagai SAKSI. Setelah menjalani
pemeriksaaan, sekitar pukul 15.00 WIT,pihak penyidik mengeluarkan surat
baru mengenai status Leni Ebe dan Popy Mauri bersama ke 6 perawat,bidan
dan penunjang medis lainnya yakni :....dengan status sebagai TERSANGKA
dikenakan Pasal 160 KUHP jo Pasal 335 ayat(1) KUHP dan langsung dengan
perintah PENANGKAPAN.
10. Pada waktu tersebut diperiksa 5 orang yakni :Leni Ebe, Popi Mauri,Fransiska
Mandosir,Lutrhina Rumkabu dan Valen Steven Siahaya.Sedangkan 3 orang
lainnya tidak berada ditempat.Sekitar pukul 19.00 WIT kelimanya diberikan
surat PERINTAH PENAHANAN untuk 20 hari pertama.
11. Bahwa pada tanggal 16 Maret 2011 dilakukan pertemuan antara pihak DPRP
dengan Wakapolda Papua,bersama dengan Kasat II Reskrim Polda
Papua.Pada saat itu wakapolda Papua sempat melakukan komunikasi via
telepon dengan Kapolda Papua kemudian disepakati bahwa Penangguhan
Penahanan setelah dilakukan proses administrasi.Kasat II RESKRIM Polda
Papua menyampaikan hasil pertemuan tersebut kepada seluruh
perawat,bidan dan penunjang medis. Sehari setelahnya, proses belum dapat
ditindaklanjuti karena DIRESKRIM Polda Papua sedang berada di luar
Jayapura.Setelah DIRESKRIM berada di Polda Papua, kami mendapatkan
informasi bahwa telah ada disposisi wakapolda Papua yang isinya menunggu
petunjuk dari Kapolda yang hingga saat ini tidak berada ditempat.
12. Sehingga kesan yang timbul dari TERSANGKA,Keluarga,rekan sejawat dan
Penasehat Hukum bahwa kesepakatan yang telah dilakukan pada tanggal 16
Maret 2011 tidak dipenuhi oleh pihak Polda Papua dengan menggunakan
alasan Kapolda Papua tidak berada ditempat padahal pada saat pertemuan
Wakapolda sudah melakukan komunikasi langsung dengan kapolda dan
diketahui oleh semua yang hadir pada pertemuan tersebut.
Maka berdasarkan fakta- fakta diatas kami berpendapat dan bermohon :
2. Persoalan yang terjadi di RSUD DOK II Jayapura yang hingga kini belum
menemukan solusi menunjukkan kepada publik ketidakmampuan Pemerintah
provinsi untuk menjawab problematika sektor kesehatan sebagai salah satu
Prioritas UU OTSUS.Sikap perawat,bidan dan penunjang medis pada saat
menarik diri dari tugas pelayanan adalah dampak dari tidak diselesaikannya
permasalahan pemenuhan hak – hak mereka dan managemen RSUD yang
harus ditempuh secara internal dengan merujuk kepada peraturan
kepegawaian yang berlaku.
Dominggus Frans, SH
Direktur LBH Papua