Anda di halaman 1dari 5

Laporan

Peringatan Hari Anti Penyiksaan – Jayapura – Papua, 26 June 2009

Refleksi Penanganan Buat Korban Penyiksaan :


Su Adilkaaa?...”

Setiap tanggal 26 Juni, AlDP melakukan kegiatan Hari Anti Penyiksaan, pada tanggal
tersebut Konvensi Melawan Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Kejam, Tak
Berperikemanusian atau Merendahkan Martabat diberlakukan secara resmi oleh PBB.
“Keadilan Tanpa Diskriminasi” dipilih menjadi thema lokal tahun ini, berkaitan dengan
berbagai peristiwa proses hukum yang dijalani oleh rakyat sipil di Papua, dinilai tidak
adil. Selain itu secara phisik praktek penyiksaan makin banyak dijumpai justru pada saat
rakyat patuh dan siap menjalani proses hukum baik di tingkat penyidikan ,penahanan
hingga proses persidangan dan pemidanaan.

Kegiatan ALDP untuk Hari Anti Penyiksaan selalu didukung oleh ICMC Jakarta dan IRCT
namun untuk tahun 2009 sepenuhnya didukung oleh IRCT (International Rehabilitation
Council for Torture Victims) yang bermarkas di Kopenhagen, Denmark. AlDP adalah
salah satu anggota IRCT di Indonesia selain RATA di Aceh dan ICMC Jakarta yang telah
mengikuti berbagai program dan pertemuan IRCT seperti di Istambul, Berlin maupun
India.

Setiap tahun, perayaan Hari Anti Penyiksaan selalu dikemas dengan cara yang berbeda
dan penuh inovasi tetapi satu tradisi yang tidak pernah ditinggalkan adalah Aksi bagi
Bunga. Aksi dilakukan pada pagi hari bertepatan dengan mobilisasi orang yang
berpergian ke tempat kerja atau memulai aktifitas di hari itu. Tujuannya tentu supaya
akan lebih banyak lapisan masyarakat dengan berbagai profesi yang menerima pesan
moral melalui bunga tersebut, kemudian mereka akan memberitahukan atau bercerita
kepada teman mereka pada saat tiba di tempat kerja ,begitupun ketika mereka pulang
ke rumah sore harinya. Interaksi melalui bunga di permulaan hari,diharapkan memberi
kesan yang spesial.

Aksi bagi bunga dilakukan pada 3 (tiga) lokasi yakni Sentani, Abepura dan Jayapura
dengan 9 titik strategis. Seperti tahun – tahun sebelumnya Aksi didukung oleh teman –
teman dari Kohati, Himpunan Mahasiswa Islam,Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia,
Pergerakan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia, Asrama Nabire, Wisma Lidya, KPKC
Sinode GKI,ICMC Jayapura, Asrama Talitakum, Kelompok Berbagi Cerita SAN (Stop Aids
Now), Komunitas Survivor Abepura dll. Aksi bagi bunga diakhiri dengan kumpul bersama
di tugu lingkaran atas Abepura. Tak ada orasi, tak ada spanduk, sebagian peserta aksi
berjejer sambil memegang kertas bertuliskan “Stop Penyiksaan” sedangkan yang lainnya
kembali membagikan bunga. Sebagian bunga ditancapkan pada pagar kawat berduri
milik Polsekta Abepura yang sengaja ditaruh di depan tugu oleh Polsekta Abepura sejak
bulan mei 2009. Pagar tersebut jika malam hari digunakan pihak Polsekta untuk
membatasi (menutup) jalan di sisi kanan dan kiri Polsekta, sehingga tak ada satupun
yang dibolehkan lewat di depan Polsekta, akibatnya semua kendaraan mesti
menggunakan ruas jalan lain. Hal ini dilakukan Polsekta menyusul aksi dan isu akan ada
penyerangan (lagi) ke Polsekta Abepura.Pagar –pagar kawat berduri sebagai blokade
aparat polisipun menjadi cantik setelah diselipkan bunga- bunga bertuliskan…”su
adilkah?’…

Setelah bagi bunga,tim AlDP yang berjumlah 13 (tigabelas) orang termasuk Dr.Muridan
Widjojo, Fadhal Alhamid dan Yuli Langawuyo, 3 juru foto AlDP dan Ayu (Putri dari
Fauzia) melakukan kunjungan ke LP Abepura dan LP Narkoba. Sebenarnya kunjungan ke
kedua LP diagendakan pada tanggal 25 Juni 2009 namun karena ada pertemuan internal
kalapas se Papua di tanggal tersebut sehingga digabung pada tanggal 26 Juni 2009,
akibatnya cukup melelahkan karena acara dimulai dari pagi hingga malam hari.

Di LP Abepura,Kepala Lembaga pemasyarakatan (kalapas) menceritakan kondisi LP


Abepura yang overcrowd karena jumlah narapidana dan tahanan melebihi daya dukung
LP. Kalapas mengaku, bahwa dirinya merupakan orang terakhir yang dipilih sebagai
kalapas LP Abepura pada bulan Agustus 2008 dengan tugas khusus yakni melakukan
normalisasi di LP Abepura yang sebelumnya telah sarat dengan berbagai persoalan.
Kalapas mengatakan bahwa kondisi ini membutuhkan perhatian dan dukungan dari
berbagai pihak.

Pemerintah sendiri dinilai masih tidak menganggap LP sebagai institusi yang penting
untuk diberikan dukungan. Pemerintah bahkan belum melihat para tahanan dan
narapidana sebagai sumber tenaga kerja produktif yang semestinya diberikan peran
sehingga dapat menghasilkan/produktif. Kalapas memberikan contoh, di Hongkong,
pemerintahnya memberikan satu sector bisnis yakni menjalankan pelayanan jasa
laundry seluruh Hongkong kepada Lembaga Pemasyarakatannya. Di LP Abepura, sector
perkebunan sayur mulai dihidupkan untuk memberikan penghasilan kepada narapidana
bahkan pihak Bank sudah diundang untuk melayani transaksi menabung buat
penghasilan mereka. Beliau juga menantang pemerintah agar mau memberikan satu
mesin daur ulang dan satu truk pengangkut sampah “kami akan daur ulang seluruh
sampah plastic di Jayapura…”katanya…”sayangnya, meski sudah ada OTSUS dan banyak
narapidana dan tahanan orang papua akan tetapi pemda tidak perhatikan,kami hanya
dibantu pada saat gubernur Freddy Numberi…”akunya.

Dia menyadari adanya kondisi psikologis narapidana dan tahanan yang tidak stabil dan
dapat menyebabkan banyak masalah diantara mereka dan juga dengan petugas. Kalapas
juga mulai menjalankan program kerja bakti ke luar LP seperti ke rumah sakit, ke pasar
dan membersihkan jalan –jalan sekitar Abepura. “ternyata bukan saja napi yang senang
merasa ada penyegaran tetapi juga petugas LP semangat..”katanya.

Kalapas sempat mengeluhkan laporan HRW Asia yang melaporkan sejumlah kasus
penyiksaan di LP Abepura,menurutnya kasus – kasus tersebut terjadi sebelum
kepemimpinannya sedangkan di masanya hanya kasus Ferry Pakage dan itupun sudah
diproses. Terhadap pemberitaan tersebut telah dilakukan klarifikasi meski tak sesuai
harapannya. Memang ada beberapa pihak yang tidak dapat menerima sikapnya ketika
mencoba menjalankan aturan secara tegas,seperti memperketat ijin keluar buat
narapidana, di sisi lain dia pun kadang merasa terancam karena langkah –langkah
normalisasi yang diputuskannya terutama karena berhadapan dengan orang Papua
sendiri.

Setelah itu,Tim bertemu dengan Bukhtar Tabuni dan Sebi Sambom, aktifis mahasiswa
tahanan politik. Bukhtar yang pernah mengikuti kegiatan 26 juni AlDP mengatakan
bahwa ‘…hari ini saya juga minta teman – teman berpakaian hitam sebagai dukungan
terhadap korban penyiksaan …”akunya. Wajahnya dipenuhi keringat sebab mereka baru
selesai kerja bakti. Bukhtar dan Sebi hanya sedikit menceritakan proses hukum yang
sedang dijalani sebab selebihnya pertemuan kali itu seperti forum saling melepas rindu
terutama buat teman – teman yang jarang bertemu dengan mereka. Ayu ,anaknya
Fauzia yang berusia 5 tahun memberikan sekuntum bunga kepada kalapas. Kemudian
bunga lainnya dan baju kaos dibagikan buat kalapas, Bukhtar dan Sebi, kalapas minta
tambahan baju untuk diberikan ke tim music dari LP yang akan mengisi acara lagu – lagu
sore harinya di salah satu stasiun TV lokal.

Dari LP Abepura, setelah makan siang tim AlDP bergerak menuju LP Narkoba di Doyo
Baru untuk bertemu dengan Selfius Bobby dan kawan – kawan tapi sebagian anggota
Tim tidak ikut dalam rombongan karena harus mempersiapkan acara Refleksi dan
Diskusi malam harinya. Sesampai di LP Narkoba waktu menunjukkan pukul 15.00 sore,
kalapas dan kepala pembinaan sudah menanti tim AlDP ,tak lama kemudian Selfius
Bobby, Ricky Jitmau, Nelson Rumbiak, Elias Tamaka dan Cosmos Yual memenuhi ruang
pertemuan.

Kalapas Narkoba menegaskan bahwa prosedur penanganan tahanan dan napi narkoba
tentu beda dengan menangani tahanan politik seperti Selfius Bobby dkk akan tetapi dia
berusaha maksimal untuk melakukan pembinaan sesuai dengan kebutuhan Selfius
Bobby dkk dan kapasitas yang mereka miliki. Status Selfius Bobby dkk hanya titipan dan
beliau sudah melanjutkan keinginan Selfius Bobby dkk untuk dipindahkan kembali ke LP
Abepura namun hingga kini belum ada persetujuan dari pihak Kanwil Hukum dan HAM
propinsi Papua,menurutnya mungkin masih banyak hal yang dipertimbangkan termasuk
di kalangan petugas LP Abepura.

Selfius Bobby, Yusak Pakage dan lainnya menjadikan pertemuan tersebut sebagai
kesempatan untuk menceritakan kembali proses pemindahan mereka, khususnya
perlakukan penyiksaan yang mereka alami di LP Abepura. Peristiwa tersebut dipicu
padaa saat pemindahan sementara Bukhtar dari LP Abepura ke tahanan Polda saat
kunjungan Menteri Hukum dan HAM RI. Saat kembali ke LP, Bukhtar digeledah dan
kedapatan membawa HP, saat itu Bukhtar sempat dipukul. Keesokan harinya, Yusak
Pakage menanyakan alasan pemukulan Bukhtar tersebut, cara menanyakan yang
dilakukannya dan juga yang dilakukan Selfius Boby serta yang lainnya,berbuntut
pemukulan terhadap petugas sehingga mereka diamankan ke dalam ruang isolasi.

Peristiwa ruang isolasi diawali pada malam hari ketika petugas LP sekitar 6 orang yang
diduga dipengaruhi minuman keras mendatangi kamar mereka satu persatu. Pada saat
mereka dipanggil,begitu pengakuan Selfius Bobby, mereka disuruh melepas pakaian
masing – masing hingga tinggal pakaian dalam, sambil dipukul satu persatu digiring ke
ruang isolasi. Semula Selfius Bobby menyangka hanya dirinya karena ruang isolasi dalam
keadaan gelap akan tetapi setelah saling menyapa dalam kegelapan barulah diketahui
bahwa mereka ada enam orang.

Ruang isolasi terdiri 2 bilik, satu bilik merupakan kamar kecil dan satunya tempat
mereka tidur namun karena keterbatasan air dan tidak dibersihkan maka kamar kecil
praktis tidak digunakan,kotoran manusia di sekeliling mereka, udara yang mereka hirup
benar – benar tak sedap. Selama 3 hari di dalam ruang isolasi mereka bergantian tidur
dengan kaki menempel lurus pada dinding, mereka juga bergantian berdiri di depan
lubang kecil yang menempel di pintu guna menghirup udara segar dari luar.

Saat diisolasi mereka tidak diberikan makan, hanya saja ada tahanan lain yang tidak
sampai hati dan kemudian memberi makan secara sembunyi –sembunyi sebab jika
ketahuan tentu akan dipukul oleh petugas LP. Untuk pakaian, untung ada seorang sipir
yang baik…’dia seorang pendatang..”aku Selfius Bobby, dia yang setiap malam, pelan-
pelan membawa sepotong pakaian mereka hingga akhirnya mereka berpakaian saat
keluar dari ruang isolasi.

Selfius Bobby dkk memiliki pengalaman buruk semasa di LP Abepura tapi mereka tetap
ingin kembali ke sana. Meski juga ada kekhawatiran adanya ‘dendam’dari pihak petugas
LP, misalnya dengan memasukan nama mereka pada “register F”,register F adalah buku
yang berisi orang – orang yang tidak layak diberikan remisi,padahal beberapa diantara
mereka sudah akan menjalani pembebasan bersyarat (PB) karena akan melewati 2/3
dari masa pemidanaan.Setelah perbincangan yang cukup cair akhirnya tim AlDP balik ke
padang bulan untuk mempersiapkan acara malam.

Acara malam, diskusi Refleksi dan Renungan. Tidak ada MC dan acara formal lainnya,
sedikit pengantar dari ketua AlDP kemudian pembacaan surat dari Enos Lokobal, napi
pembobolan Gudang Senjata Kodim Wamena 2003 yang bercerita tentang proses
pemindahan paksa dan penderitaan yang mereka alami saat menjalani
hukuman..”hanya untaian kalimat – kalimat doa yang mampu meredam pilunya jiwa
ini.Hanya dengan semangat yang masih tersisa sehingga siksaan ini tak mampu
meruntuhkan tekad kami…”rintihnya dalam catatan harian yang ditulis pada tanggal 17
Desember 2005. Setelah itu Fauzia membacakan pernyataan umum IRCT. Kemudian
dilanjutkan dengan diskusi tentang Praktek Penyiksaan dan tanggung Jawab Negara
dengan narasumber Iwan K Niode dari AlDP dan Juhari dari Perwakilan KOMNAS HAM
Papua, Fadhal Alhamid bertindak sebagai moderator.

Selain itu ada hiburan lagu – lagu Mambesak, secara khusus lagu – lagu Arnold Ap
(tahanan politik yang mati tertembak dalam penjara yang dilantunkan oleh grup Ayaser.
Ada juga lagu dan music special dari Moh Pieter Alhamid dan Faisal Tura. Acara berakhir
pada pukul 23.30. Semua dalam keadaan sangat lelah tapi juga kepuasan yang luar biasa
karena keseluruhan agenda berjalan lancar : Syukur BagiMu Tuhan !.

Dengan acara tersebut diharapkan dapat terus menghidupkan kampanye Anti


penyiksaan, menggugah keprihatinan sekaligus ketidaktahuan aparat mengenai
tanggungjawabnya dan konsekwensi Negara yang telah meratifikasi Konvensi Anti
Penyiksaan. Kita berusaha membangun pemahaman dan kesadaran yang lebih luas
mengenai betapa pentingnya berjuang bersama – sama menentang praktek
penyiksaan, menggugat Keadilan Tanpa Diskriminasi.

Jayapura, 26 june 2009


Aliansi Demokrasi Untuk Papua

Anda mungkin juga menyukai