Oleh:
USMAN
usmanunja@yahoo.com
I. PENDAHULUAN
Hak asasi manusia (HAM) merupakan seperangkat hak yang melakat pada khakekat
dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-
Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Demikian
Pasal 1 ke-1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM memberikan batasan tentang HAM.
Persoalan HAM sebenarnya bukan merupakan isu baru, sejarah pengakuan HAM dan
pengaturannya dalam dokumen yang bersifat universal tidak terlepas dari sejarah umat
manusia. Sekalipun belum dikenal konsep HAM, namun pemikiran HAM sudah muncul sejak
awal abad 13, sebagaimana termuat dalam dokumen Magna Charta (1215), Petition of Rights
(1628), dan Bill of Rights (1689). Pada masa itu pemmikiran HAM banyak dipenaruhi oleh buah
pikir para filsuf seperti Thomas Hobbes, John Locke, Jean Jacques Rousseau dan
sebagaimnya. Sejarah pemikiran tersebut juga diwarnai oleh pemikiran yang tumbuh di jazirah
arab, seperti Piagam Madinah, tahun 622. Baru pada tahun 1948 PBB mengesahkan Deklarasi
Univesal Hak Asasi Manusia yang merupakan tolok ukur pencapaian bersama bagi semua
rakyat dan bangsa. Tahun 1966 Majlis Umum PBB mengesahkan Konvenan Internasional
mengenai Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, serta Konvenan Internasional mengenai hak-hak
Sipil dan Politik (Arinanto, 1999).
Di Indonesia, perkembangan pemikiran HAM, juga sudah dimulai sejak lama. Imbrio
pemikiran dan perdebatan HAM telah muncul sejak awal abad ke-20, sekalipun tidak dalam
istilah hak asasi manusia, namun konsep hak telah muncul dalam pikiran Kartini, Sukarno,
Douwes Dekker, dan kalangan Serikat Islam (SI). Kemudian setelah Indonesia merdeka
mendapat tempat pengaturannya dalam konstusi. Persoalannya apakah pengaturan tersebut
telah cukup memadai bagi jaminan perlindungan HAM warga negara? Untuk melihat hal
tersebut berikut ini akan diuraikan sekilas tentang pengaturan HAM dalam UUD 45 sebelum
dan setelah amandemen.
II. PENGATURAN HAM DALAM UUD 45 SEBELUM AMANDEMEN
Dalam sejarah perumusan UUD 45, persoalan HAM merupakan salah satu substansi
yang menjadi bahan perdebatan yang intens. Dalam proses perumusan konstitusi tersebut
terjadi perbedaan pendapat antara Supomo dan Muhammad Hatta mengenai perlunya
pencantuman hak-hak kewarganegaraan secara eksplisit di dalam konstitusi. Supomo dan
Sukarno berpendapat, bahwa pencantuman hak-hak kewarganegaran secara eksplisit di dalam
konstitusi tidak perlu karena landasan filsafat negara yang dianut bukan liberalisme. Sementara
Muhammad Hatta dan M. Yamin menekankan perlunya pencantuman hak-hak
kewarganegaraan untuk mencegah agar negara tidak otoriter.
Perdebatan tersebut merefleksikan dua visi politik yang bertentangan, yakni antara visi
negara integralistik di satu sisi dan negara yang berdasarkan visi kewarganegaraan di sisi yang
lain. Konsep integralistik menegaskan bahwa negara adalah pengejawantahan kesatuan
masyarakat, oleh karena negara mengatasi individu dan golongan serta menyatukan seluruh
elemen menjadi satu kesatuan organik untuk mencapai satu tujuan. Konsekuensinya hak-hak
individu tidak perlu dicantumkan secara eksplisit dalam konstitusi, sebab menurut Supomo
dalam negara integralistik tidak ada dualisme antara negara dan individu. Sementara Hatta
berpendapat, sekalipun Indonesia tidak mengikuti filsafat liberal, namun dalam konstitusi harus
ada jaminan atas hak-hak warga negara, supaya negara tidak menjadi negara kekuasaan dan
penindas. Individu di sini bukanlah individualisme sebab dalam kolektifitas juga dibutuhkan hak.
Namun perdebatan tersebut tidak berlangsung lama, karena ada kebutuhan praktis yang harus
dikejar, yakni merdeka lebih dahulu. Perumusan lebih jauh mengenai hak asasi manusia dapat
diperdebatkan kemudian dan konstitusi dapat diperbaiki (Lubis, 1996).
Dengan latar belakang sejarah seperti itu maka dapat difahami mengapa dalam UUD
45 substansi tentang HAM diatur secara terbatas. Hal ini dapat dilihat dalam bagan berikut:
Dari gambaran di atas terlihat bahwa substansi tentang HAM dalam UUD 45 diatur
secara terbatas, tidaklah selengkap Deklarasi HAM PBB. Hal ini disebabkan oleh pertama,
sebagaimana disebutkan di atas adalah karena ada kebutuhan praktis yang harus dikejar,
yakni merdeka lebih dahulu; kedua belum ada acuan universal tentang HAM, karena Deklarasi
HAM baru lahir tiga tahun setelah UUD 45 disahkan.
Apabila kita teliti hukum positif Indonesia, ternyata ada berbagai UU yang berkenaan
dengan HAM, yang seharusnya merupakan penjabaran norma HAM dalam UUD 45, akan tetapi
tidak sedikit ditemui ketentuannya justru mengurangi pelaksanaan HAM, seperti UU Pers, UU
Partai Politik dan Golkar, UU Pemilu, UU tentang Hukum Acara Pidana, dll. Namun seiring
dengan perubahan tantanan sosial politik di Indonesia telah terjadi reformasi terhadap berbagai
peraturan perundang-undangan tersebut (Sri Sumantri, 2002).
Meskipun telah ada jaminan perlindungan HAM dalam UUD 45, yang telah juga
dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan, namun dalam kenyatannya tidak sedikit
pelanggaran HAM yang terjadi dengan segala bentuknya, sekedar contoh dapat dikemukakan
di sini catatan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Rezim Orde Baru selama Januari 1995
sampai dengan Maret 1996, sebagaiberikut:
Selain itu, khusus untuk pelanggaran HAM berat, dapat dikemukkan bebrapa contoh
kasus di antaranya sebagai berikut:
Peristiwa Korban sipil Pejabat militer Keterangan
Penembakan Diperkirakan 10.000 Suharto sebagai presiden
misterius (Petrus) preman dibunuh mengakui sendiri dalam
selaam tahun selama operasi biografinya, jika itu atas
1983 instruksinya
Tanjung Priok 12 18 tewas, 53 luka Panglima ABRI Beni Murdani, Pemerintah membentuk Komisi
September 1984 (versi pemerintah) 50 Kasad Rudini, Pangdam Jaya penyelidikan dan pemeriksaan
tewas 61 luka versi Tri sutrisno pelanggaran HAM Tanjung Priokj yang
warga malahandalam rekomendasinya
tidakmenyebutkan adanya
pembantaian. Meskipun proses
penyelidikan masih berlangsung
muncul piagam islah antara
petinggimiliter dengan korban. Kini
dipuatuskan pemecahnnya pada
peradilan HAM adhoc.
Marsinah 1 tewas Panglima ABRI Faesal Siap pembunuh marsinah sampai kini
8 Mei 1993 Tanjung, Kasad Wismoyo A, tidak jelas.
Pangdam Brawijawa Haris Danramil Porong Kapten Kusaeri
Sudarsono diadilim mahmil dengan hukuman 9
bulankurungan,
Kasi intel Kodim Sidoiarjo Kapten
Sugeng dan Dandim Sidoarjo letkol
Max Salaki dengan hukuman dimutasi
Penembakan 5 tewas Panglima ABRI Wieanto, 6 Pama Polri diadili oleh Mahmil
Trisakti Pangdam Jawa Safri dengan hukum 2-10 bulan kurungan
12 Mei 1998 Samsudin, Kapolda Hamami
nata
Penyerbuan Data Komnas HAM: 5 Panglima ABRI Faesal
Kantor PDIP orang tewas, 23 Tanjung, Kasospol sarwan
27 Juli 1996 hilang, 143 luka. Data Hamid, Zaki Anwar makarim
Pemerintah: 4 orang (BIA) Susilo Bambang Y Staf
tewas, 26 luka-luka Kodam Jaya. Pangdam Jaya
200 ditahan Sutioso. Kapolri Dibyo
Widodo, Kapolda Hamami
nata
Sumber: HAM Kejahatan Negara dan Imperialisme modal
Sekalipun selama rezim orde baru yang sangat represif diskursus HAM kurang
berkembang, namun pada tahun 90-an berbarengan dengan munculnya Komnas HAM sebagai
konsekuensi masuknya Indonesia ke dalam Komite Hak Asasi PBB, wancana tentang HAM
kembali berkembang. Meskipun perdebatan masih kurang mendalam, namun menjelang
Kongres HAM sedunia di Wina tahun 1993, gerakan HAM tidak dapat ditolak oleh pemerintah
dan menjadikan HAM sebagai bagian dari kebijakan pemerintah. Terlpas dari kelemahan yang
ada, pada tahun 1999 pemerintah telah memberlakukan UU HAM (UU No. 39 Tahun 1999).
Demikian pula pengadilan Koneksitas digelar dalam rangka mengungkap berbagai pelanggaran
HAM dan pembentukan berbagai komite untuk menyelesaiakan pelanggaran HAM. Lebih lanjut
untuk mengefektifkan kerja-kerja penegakan HAM, Kementrian HAM dibentuk dan UU
Pengadilan HAM pun dirancang (Lubis, 1996).
Pasal 28 I (4) Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia
adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
Pasal 28 I (5) Untuk menegakan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan
prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi
manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-
undangan.
Kewajiban asasi
Pasal 28 J (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pasal 28 J (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan denganundang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak dan kebabasan orang lain, nilai-nilia agma, kemanusiaan,
ketertibanumum dalam suatu masyarakat demokratis.
Dari gambaran di atas, maka setelah amandemen UUD 45 (ke dua) substansi HAM
diatur secara khusus dan meliputi hak-hak asasi yang lebih luas dan spesifik di banding
pengaturan dalam UUD 45 sebelum amandemen.
V. PENUTUP
Meskipun persoalan HAM telah mendapat pengaturan dalam konstitusi, bukan berarti
persoalan HAM kemudian menjadi selesai. Karena dalam tataran kenyataan yang dapat kita
saksikan bersama, perlindungan HAM sampai saat sekarang inipun relatif masih
memprihatinkan. Banyak terjadi kasus-kasus pelanggaran HAM yang sangat merugikan
masyarakat, namun tidak mendapat penyelesian yang memuaskan, yang disebabkan
ketidaktahuan dan lemahnya posisi mereka yang menjadi korban.
Banyak faktor yang menyumbang terjadinya realitas tersebut, di antaranya: pertama
masih kurang responsifnya negara (pemerintah) dalam melindungi HAM; kedua, prilaku elit
politik yang cenderung hanya mengedepankan kepentingan pribadi dan kelompoknya,
sehingga mengabaikan hak-hak rakyat, dan ketiga belum tersosialisasinya secara luas
gagasan HAM di kalangan masyarakat yang berakibat lemahnya penghormatan terhadap nilai-
nilai dan norma HAM. Oleh karena itu, setelah adanya pengakuan HAM dalam UUD dan
peraturan perundangan lainnya, upaya perlindungan HAM harus dimulai dari pemahaman dan
penyadaran pada nilai-nilai HAM, karena hanya dengan demikian maka kemudian timbul
penghormatan terhadap HAM orang lain. Oleh karena itulah maka pendidikan HAM bagi warga
negara itu menjadi langkah penting dalam usaha penegakan HAM .
Daftar Pustaka
Lubis, Mulya, 1996 “ Perkembangan Pemikiran dan Perdebatan HAM”, Paper, Jakrta.
__________, 1993. Hak Asasi Manusia dalam Masyarkat Dunia : Isu dan Tindakan. Yayasan
Obor, Jakarta.
Prsetio, Eko, 2001. HAM Kejahatan Negara dan Imperialisme Modal. Insist, Yogyakarta.`
Sumantri, Sri, 2002. “Perlindungan dan Pemajuan Hak Asasi Manusia.” Makalah disampaikan
dalampelatihan dosen mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan Perguruan Tinggi,
diselenggarakan di Yogyakarta.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia.
YPUSHAM, Majalah HAM Imparsial, Tahun 1, Oktober 1996