Anda di halaman 1dari 6

Kegiatan pelayanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat di RSCC difokuskan pada kegiatan-

kegiatan pelayanan yang lebih spesialistik. Beberapa model dan pendekatan dipadukan dalam
satu model yang sesuai dengan kondisi masyarakan Jawa Barat sebagai pengguna pelayanan.
Konsep pengembangan menggabungkan model pelayanan berbasis masyarakat dan pelayanan
berbasis rumah sakit disebut sebagai Modern Mental Health Services (Thornicroft, 2005).
Menurut hasil penelitian di negara-negara Eropa model pelayanan kesehatan jiwa berbasis rumah
sakit ternyata tidak lebih baik mengatasi gangguan jiwa dibanding pelayanan berbasis
masyarakat. Penggabungan dua model tersebut merupakan suatu terobosan sehingga tercapai
pelayanan yang optimal. Lebih lanjut dijelaskan Thornicroft bahwa sifat pelayanan kesehatan
jiwa harus dekat dengan masyarakat dan bersifat tidak statis.

1. Pelayanan Krisis (Crisis Services)


Krisis didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana individu mengalami gangguan mental
emosional yang menyebabkan individu tersebut memiliki tingkat stress dan kecemasan yang
tinggi, dan telah dilakukan pertolongan oleh orang lain disertai usaha koping yang dilakukan
individu tersebut namun upaya tersebut tidak memberikan perbaikan berarti. Pelayanan krisis
adalah pelayanan yang diberikan tenaga kesehatan jiwa professional untuk menurunkan tingkat
stress dan kecemasan pasien. Intervensi krisis berupa sistem penanganan pasien gangguan jiwa
akut pada tingkatan sedang dan berat. Intervensi ini dimaksudkan untuk meminimalisir pasien
rawat inap di rumah sakit (Bonynge, 2005).

1.1. Urgent Care


Konsep penanganan krisis di unit ini memiliki kesamaan dengan penanganan di UGD pasien
dengan gangguan jiwa. Ada beberapa kategorisasi yang harus diperhatikan untuk pemilihan
pasien yang akan masuk ke ruang observasi, yaitu:
- Membahayakan diri sendiri
- Membahayakan orang lain
- Mengalami gangguan kesadaran secara kualitatif
- Mengalami depresi berat
- Mengalami penurunan fungsi sensori motorik
Jika pasien mengalami salah satu hal tersebut, maka pasien diharuskan menjalani perawatan di
ruang observasi selama kurang lebih 3 hari sebelum di tetapkan apakah akan di rawat inap atau
gejala dapat ditangani.

Termasuk kategorisasi pasien yang dilayani di urgent care adalah pasien-pasien dengan
intoksikasi akibat NAPZA yang akan diberikan tindakan pelayanan 24 jam monitoring dan
observasi melalui program detoksifikasi. Pelayanan untuk pasien-pasien dengan kasus Post
Traumatic Stress Disorder (PTSD) juga diberikan sebagai salah satu bagian dari crisis service.

1.2. Crisis Hotline


Pelayanan hotline dibuka untuk masyarakat 24 jam sehari diterima oleh Tenaga terlatih dalam
penanganan masalah kesehatan jiwa. Bila kasus yang diterima membutuhkan penanganan yang
segera, dapat segera menghubungi tenaga profesional atau dirujuk ke tim keswamas (Community
Care Teams) untuk berkoordinasi dengan tim yang lain.
1.3. Professional On-Call (POC)
Tim dalam POC ini terdiri dari psikiater dan master kesehatan jiwa lainnya yang siap selama 24
jam dihubungi untuk dapat menyelesaikan kasus yang diterima urgent care dan hotline service.

1.4. Mobile Outreach


Kegiatan yang dilakukan tim ini adalah mengunjungi langsung ke rumah pasien atau tempat lain
sesuai dengan rujukan dari tim lain. Bila kondisi pasien cukup stabil dan hanya memerlukan
bantuan minimal, pasien bisa tetap berada di rumah, namun bila setelah dilakukan assessment
ternyata memiliki tingkat resiko tinggi maka dirujuk ke fasilitas untuk ditangani lebih lanjut.

2. Pelayanan non krisis (non crisis service)


Model pelayanan ini mengadopsi konsep poliklinik spesialistik yang disesuaikan dengan kategori
usia pasien. Klinik-klinik yang ada seperti kesehatan jiwa anak dan remaja (Keswara), kesehatan
jiwa dewasa (Keswasa), dan kesehatan jiwa lanjut usia (Keswalansia). Dapat juga disediakan
klinik spesialis penunjang lain.

3. Pelayanan Penunjang Tim Keswamas


• GP Liaison
• Psikologi
• Rehabilitasi
• Laboratorium
• Farmasi
• Radiologi
• Elektromedik
• Gizi
30 Persen Masyarakat Indonesia Alami Gangguan Kesehatan Jiwa
Jakarta, Kasus gangguan kesehatan jiwa di Indonesia terus menunjukkan peningkatan. Jumlah
masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan jiwa seperti stres, depresi, cemas berlebihan,
ketakutan, hingga kasus parah shizoprenia mencapai angka 20-30 persen.

Dari jumlah di atas, 2-3 persen mengalami gangguan jiwa kronis kegilaan dan schizofrenia.
Meningkatnya pasien gangguan kesehatan jiwa ini karena dipicu oleh masalah ekonomi, stres
sosial, stres kerja, trauma bencana, korban kejahatan. Sayangnya masalah gangguan kesehatan
jiwa belum menjadi prioritas kesehatan yang dibuat pemerintah.

Demikian dikatakan oleh pakar kesehatan jiwa, Dr. Suryo Dharmono, SpKJ(K) dalam acara
media gathering: Kesehatan Jiwa Sebagai Tanggung Jawab Siapa?, di Hotel Manhattan, Jakarta,
Senin (26/10/2009).

"Diperkirakan orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan ringan hingga berat jumlahnya
30 persen, lebih besar daripada sekedar angka 2 persen hingga 3 persen dalam data statistik," ujar
Dr. Suryo.

Padahal bila salah satu anggota keluarga ada yang mengalami gangguan kesehatan jiwa berat
maka praktis seluruh sistem kehidupan keluarga terganggu. Seperti dicontohkan Dr Suryo
terhadap kasus yang dialami seorang ibu yang sebut saja bernama Nyonya A berusia 65 tahun.

Ny A divonis menderita dementia (pikun) disertai gangguan perilaku dan sudah beberapa kali
tinggal di rumah sakit. Ny A tinggal bersama putra sulung, menantu, dan tiga orang cucu dengan
status sosial ekonmi yang cukup baik.

Beban yang dialami Ny A ternyata juga menjadi beban berat bagi keluarganya. Sampai-sampai
putranya mengungkapkan keinginannya untuk memindahkan sang ibu ke panti jompo. "Daripada
kami sekeluarga ambruk bersama," tutur sang anak seperti diceritakan Dr Suryo.

Tidak mudah memang untuk bisa mendeteksi gangguan kesehatan jiwa, karena banyak
masyarakat yang belum terlalu peduli dengan masalah ini. Bahkan di beberapa negara di Eropa,
sebagian besar orang harus melewati waktu 5 sampai 10 tahun hingga akhirnya gangguan
kesehatan jiwa tersebut terdiagnosa dengan tepat.

Dr Suryo mengatakan untuk bisa membantu proses penyembuhan penderita gangguan kesehatan
jiwa dibutuhkan kombinasi dari terapi medis, toleransi serta dukungan yang besar dari keluarga
dan orang sekitarnya terhadap pasien. Namun, seringkali stigma buruk dari masyarakat terhadap
orang dengan gangguan kesehatan jiwa membuat pengobatan tersebut terhambat.

"Sampai saat ini kesehatan jiwa masih menjadi prioritas bawah dan tidak termasuk dalam bagian
utama praktik, kebijakan dan agenda kesehatan, sehingga banyak orang yang sulit mendapatkan
pelayanan kesehatan untuk jiwa," ungkap dokter dari departemen Psikiatri FKUI/RSCM.

Dr Suryo menambahkan karena kurangnya pelayanan kesehatan jiwa, membuat orang yang
memiliki gangguan kesehatan jiwa tidak mendapatkan pengobatan yang tepat. Sehingga banyak
terjadi kasus pemasungan, penelantaran, gelandangan psikotik, perilaku kekerasan,
penyalahgunaan obat-obatan dan kriminalitas.

Untuk dapat memperbaiki masalah ini, Dr Suro menyarankan agar rumah sakit jiwa diganti
menjadi fasilitas rehabilitasi psikososial. Dia juga menilai perlunya penyediaan konsultasi di tiap
puskesmas seperti yang sudah dilakukan puskesmas Tebet Jakarta dimana terdapat poli
konsultasi, sehingga orang tidak merasa sungkan untuk berobat.

Di puskesmas tersebut rutin diadakan perkumpulan antara pasien dengan keluarga untuk
menjelaskan masalah dan apa saja yang dubutuhkan oleh pasien. Sehingga pasien lebih merasa
dihargai dan tidak mendapatkan perbedaan yang berarti dengan masyarakat lainnya. Serta
dilakukan pula kunjungan ke rumah sebagai pendekatan langsung untuk mengontrol pengobatan
dan kondisi dari pasien itu sendiri.

Masalah gangguan kesehatan jiwa bisa dideteksi oleh diri sendiri. Misalnya, jika mengalami
sedih yang berlebihan yang membuat sulit untuk konsentrasi dan menurunkan kualitas hidup,
sebaiknya segera dikonsultasikan agar tak keterusan menjadi gangguan kesehatan jiwa.
http://health.detik.com/read/2009/10/26/181344/1228933/763/30-persen-masyarakat-indonesia-
alami-gangguan-kesehatan-jiwa
KESEHATAN JIWA SEBAGAI PRIORITAS GLOBAL (14 Oct 2009)

Saat ini lebih dari 450 juta penduduk dunia hidup dengan gangguan jiwa. Di Indonesia, berdasarkan Data Riskesdas tahun 2007, menunjukkan
prevalensi gangguan mental emosional seperti gangguan kecemasan dan depresi sebesar 11,6% dari populasi orang dewasa. Berarti dengan
jumlah populasi orang dewasa Indonesia lebih kurang 150.000.000 ada 1.740.000 orang saat ini mengalami gangguan mental emosional.

Mengingat besarnya masalah tersebut, setiap tanggal 10 Oktober diperingati sebagai Hari Kesehatan Jiwa Sedunia. Peringatan World Mental
Health Day (WMHD) tahun 2009 merupakan Kampanye Kesadaran Global (Global Awareness Campaign) yang bertujuan untuk melanjutkan
harapan menjadikan kesehatan jiwa sebagai prioritas global (make mental health health issues a global priority)”. Dengan demikian diharapkan
tidak ada lagi diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia dengan masalah kejiwaan (ODMK). Kesehatan jiwa adalah bagian integral dari
aspek kesehatan dan kesejahteraan secara keseluruhan.

Demikian sambutan Menkes yang dibacakan Dirjen Bina Pelayanan Medik dr. Farid W. Husein ketika membuka seminar sehari dalam rangka
memperingati Hari Kesehatan Jiwa Sedunia, di kantor Depkes, Jakarta (14/10).

Peringatan Hari Kesehatan Jiwa tahun 2009 mengangkat tema Kesehatan Jiwa di Pelayanan Kesehatan Primer: Meningkatkan Penyembuhan
dan Promosi Kesehatan Jiwa. Tema ini, menurut Menkes, sangat tepat dengan salah satu grand strategi Depkes yaitu Meningkatkan akses
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas, termasuk akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan jiwa.

Menkes menyebutkan 7 alasan perlunya mengintegrasikan pelayanan kesehatan jiwa pada pelayanan primer, yaitu

* 1. Beban biaya dan psikis pada keluarga atas gangguan kesehatan jiwa sangat besar.
* 2. Masalah kesehatan jiwa dan masalah kesehatan fisik saling terkait satu sama lain, tidak bisa dipisahkan.
* 3. Kesenjangan ketersediaan perawat untuk gangguan jiwa sangat besar.
* 4. Pelayanan kesehatan primer untuk kesehatan jiwa dapat meningkatkan aksesibilitas.
* 5. Pelayanan kesehatan jiwa yang dilaksanakan pada pelayanan kesehatan tingkat primer dapat meminimalisasi timbulnya stigma dan
diskriminasi terhadap masalah gangguan jiwa.
* 6. Pelayanan kesehatan primer untuk kesehatan jiwa yang dilakukan di Puskesmas jauh lebih murah daripada biaya pelayanan di Rumah Sakit
Jiwa / Rumah Sakit Umum.
* 7. Mayoritas individu dengan gangguan kesehatan jiwa yang dirawat pada layanan dasar menunjukkan hasil yang baik.

Menurut Menkes, masalah kesehatan jiwa adalah masalah yang sangat mempengaruhi produktifitas dan kualitas kesehatan perorangan maupun
masyarakat yang tidak mungkin ditanggulangi oleh satu sektor saja, tetapi perlu kerja sama multi sektor.

Mutu Sumber Daya Manusia tidak dapat diperbaiki hanya dengan pemberian gizi seimbang saja namun harus mulai dari dasar dengan melihat
bahwa manusia selalu terdiri dari tiga aspek yaitu organ biologis (fisik/jasmani), Psikoedukatif (mental-emosional/jiwa) dan sosiokultural (sosial-
budaya/lingkungan), jelas Menkes.

Apabila ingin memperbaiki mutu sumberdaya manusia, maka ketiga aspek tersebut harus diperhatikan. Jika salah satu dari ketiga aspek
tersebut terabaikan, maka upaya kita hanya tinggal sebagai harapan belaka yang mungkin tidak pernah akan tercapai, tegas Menkes di hadapan
undangan yang terdiri dari Pejabat dari Departemen dan Instansi terkait, Pejabat eselon I dan II Depkes RI, Perwakilan WHO Indonesia, serta
LSM dalam dan luar negeri.

Direktur Bina Kesehatan Jiwa dr. H.M. Aminullah dalam laporannya menyatakan, pelayanan kesehatan jiwa di pelayanan primer dapat
meningkatkan akses masyarakat terhadap kebutuhan pelayanan kesehatan jiwa sehingga dapat segera tertangani. Beberapa Puskesmas di
Indonesia telah berhasil menyelenggarakan pelayanan Keswa dan menjadikannya sebagai program prioritas.

Oleh karena itu beberapa narasumber dalam seminar ini bukan para ahli dari universitas atau ahli kesehatan jiwa (Keswa) tapi mereka adalah
para praktisi kesehatan dan masyarakat yang telah berhasil menyelenggarakan pelayanan Keswa di Puskesmas, kata dr. Aminullah.

Pembicara pada seminar ini adalah wakil dari Puskesmas Kab Bireun, Puskesmas Sindang Barang Kota Bogor dan Puskesmas Tebet Jakarta
Selatan. Mereka menyampaikan pengalaman mengelola program tersebut termasuk mengkoordinir para kader kesehatan, kelompok pasien dan
keluarga yang secara sukarela telah membantu pemulihan orang dengan masalah kejiwaan di masyarakat.

Tiga Puskesmas tersebut telah membuktikan, pelayanan kesehatan jiwa yang selama ini dianggap hanya bisa dilakukan di RSJ, ternyata dapat
dilakukan di Puskesmas sebagai sarana pelayanan kesehatan primer. Keberhasilan ini dapat meningkatkan cakupan, memberikan hasil yang
baik serta menurunkan stigma masyarakat terhadap gangguan jiwa. Kunci keberhasilannya yaitu dengan meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan mengelola pasien Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) bagi tenaga kesehatan baik dokter maupun perawat, tersedianya obat
psikofarmaka, serta adanya peran aktif masyarakat, pasien dan keluarga dalam proses pemulihan dan rehabilitasi pasien.

Selain paparan dari Puskesmas, juga disampaikan beberapa materi diantaranya Prioritas global terhadap kesehatan jiwa oleh WHO, Kebijakan
Puskesmas tentang Kesehatan Jiwa, oleh Direktur Bina Kesehatan Komunitas, dan Pembangunan Sistem Pelayanan Kesehatan Jiwa
Komprehensif di Provinsi Aceh oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Aceh.

Topik lain yag dibahas adalah Ketika tidak ada Psikiater, Apa yang Harus Dilakukan Masyarakat, merupakan Ringkasan dari buku Where
there is no psychiatrist karangan Vikram Patel seorang penulis terkenal di bidang kesehatan jiwa disampaikan Direktur CBM International
sebagai pihak yang menterjemahkan dan mendistribusikan kepada banyak Puskesmas di Indonesia. Serta Spritualitas dan Peningkatan
Kesejahteraan Jiwa Individu oleh Prof. Achmad Mubarak seorang Politikus dan juga ahli dibidang Kesehatan Jiwa.

Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan. Untuk informasi lebih lanjut dapat
menghubungi melalui nomor telepon: 021-52907416-9, faks: 52921669, Call Center: 021-30413700, atau alamat e-mail
puskom.publik@yahoo.co.id, info@puskom.depkes.go.id, kontak@puskom.depkes.go.id.
[In

Anda mungkin juga menyukai